Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS KECIL BANGSAL RSR

CHRONIC KIDNEY DISEASE & DIABETES MELLITUS TIPE2

Pembimbing:

dr. Pugud Samodro,Sp.PD-K.EMD

Disusun oleh:

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL BANGSAL RSR

CHRONIC KIDNEY DISEASE & DIABETES MELLITUS TIPE2

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun Oleh :

Pada tanggal, Juni 2019

Mengetahui
Pembimbing,

dr. Pugud Samodro,Sp.PD-K.EMD


PENDAHULUAN
STATUS PASIEN

A. INDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
TTL (usia) : 08 Juli 1946/72 th
Alamat : Jl. Bhayangkara RT 002/003, Karangmangu, Kab.
Cilacap. Jaa Tengah
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk : 02 Juni 2019
Tanggal periksa : 04 Juni 2019
No. CM : 00170407
Bangsal : RSR Atas

B. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
1. Keluhan utama
Lemas sejak 3 hari yang lalu
2. Keluhan tambahan
Mual, muntah, dan gatal-gatal seluruh tubuh
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS pada tanggal 02 Juni 2019 dengan keluhan
lemas sejak 3 hari yang lalu, terus menerus, dan mengganggu aktivitas. Lemas
berkurang jika pasien istirahat dan semakin berat jika pasien melakukan
aktivitas. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sebelum dan setelah
makan. Mual dan muntah dirasa terus menerus dan mengganggu aktivitas.
Mual dan muntah berkurang setelah mendapatkan obat dari RSMS. Selain itu,
pasien juga mengeluhkan gatal-gatal seluruh tubuh sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit, tidak meninggalkan bekas, dan berkurang setelah dioleskan
minyak kayu putih. Pasien mengaku memiliki penyakit gula atau tekanan darah
tinggi sejak 10 tahun yang lalu. Pasien menyangkal adanya keluhan lain seperti
demam, kejang.

4. Riwayat penyakit dahulu


a. Riwayat penyakit yang sama : diakui
b. Riwayat hipertensi : diakui (10 tahun yang lalu)
c. Riwayat DM : diakui (10 tahun yang lalu)
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat operasi : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : diakui (3 tahun yang lalu)
g. Riwayat cuci darah : diakui (3x)
h. Riwayat penyakit paru : disangkal
i. Riwayat penyakit jantung : disangkal
j. Riwayat alergi : diakui (cefadroxil, meloxicam)
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
e. Riwayat penyakit paru : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat sosial dan ekonomi
a. Community
Pasien tingal bersama dengan anak pertama, menantu, dan 2 cucu.
Hubungan pasien dengan keluarganya sangat dekat. Setiap antar anggota
keluarga saling membantu, menyayangi, dan mendukung satu sama lain.
b. Home
Pasien tinggal di dalam rumah bertembok dengan sirkulasi udara yang
cukup memadai.
c. Occupational
Pasien seorang ibu rumah tangga.
d. Personal Habit
Pasien mempunyai pola makan yang teratur dan sering makan sayur, jarang
olahraga. Pasien bukan perokok. Pasien dulu sering minum teh manis setiap
hari.

C. OBJEKTIF
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
3. Vital sign
TD : 145/80 mmHg
N : 75 x/menit
RR : 20 x menit
S : 36.8 oC
4. Berat badan : 42 kg
5. Tinggi badan : 155 cm
6. Indeks Massa Tubuh : 17,5 kg/m2

D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Kepala
Bentuk : Mesosefal, simetris, venektasi temporal (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex cahaya (+/+)
normal, pupil bulat isokor
Hidung : Deformitas (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut : Bibir sianosis (-)
Leher : Deviasi trakea (-),KGB tidak teraba pembesaran

2. Pemeriksaan Dada
Paru
Inspeksi : Dada simetris (+), retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Fremitus kanan = kiri,
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantungz
Inspeksi : Iktus cordis (+)
Palpasi : Iktus cordis teraba di linea midclavicula sinistra lebih lateral
ICS 5, lebar 1cm, kuat angkat
Perkusi : Batas jantung dbn
Auskultasi : S1>S2, murmur (-), gallop (-)
3. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar, jaundice (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Hepar : tak teraba
Lien : tak teraba
4. Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - +
Sianosis - - - -
Akral hangat + + + +
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
Ulkus - - - -

5. Status lokalis
Dalam batas normal
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Hasil
Pemeriksaa Nilai Rujukan
02/06/2019
Darah Lengkap
Hemoglobin 10.0 L 11,2 - 17,3 g/dL
Leukosit 7480 3600 - 10600 U/L
Hematokrit 31 L 40- 52 %
Eritrosit 3.6 L 4.4 -5.9
Trombosit 176000 150.000 – 440.000 /uL
MCV 85.7 80-100 fL
MCH 27.5 26-34 pg/cell
MCHC 32.1 32-36 %
RDW 14.6 H 11.5-14.5 %
MPV 10.8 9.4-12.3 fL
Basofil 0.1 0 -1 %
Eosinofil 13.6 H 2–4%
Batang 2.4 L 3-5 %
Segmen 51.0 50-70 %
Limfosit 26.2 25 – 40 %
Monosit 6.7 2–8%
Kimia Klinik
Ureum Darah 241.8 H 14,98 – 38,52 mg/Dl
Kreatinin Darah 8.84 H 0,55 1,02 mg/Dl
Glukosa sewaktu 143 <= 200 mg/dL
Natrium 136 134-146 mEq/L
Kalium 4.9 H 3.4-4.5 mEq/L
Klorida 109 H 96-108 mEq/L

F. DIAGNOSIS
CKD Stage V, DM tipe 2
G. PENATALAKSANAAN
1. IVFD Nacl 0.9% 8 tpm
2. Inj Furosemid 3x1 Amp
3. Inj Ranitidin 2x1 Amp
4. Bicnat 3x1 tab
5. Asam folat 2x1 mg
6. CACO3 3x500 mg

H. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

I. FOLLOW UP

Tanggal S O A P

03-06-19 Mual- KU/Kes:Sedang/E4M5V6 CKD Stage  IVFD Nacl 0.9% 8


V, DM tipe
Muntah- TD : 140/80 mmHg 2 tpm
Lemas + RR: 20 x/menit  Inj Furosemid 3x1
Gatal seluruh N : 70 x/menit Amp
badan +
T :36,5°C  Inj Ranitidin 2x1
Mata : CA -/- Amp
Cor : BJ I,II reg M(-)G(-)  Bicnat 3x1 tab
Pulmo :SD vesikuler +/+,  Asam folat 2x1 mg
Rh -/- Wh -/-
 CACO3 3x500 mg
Abd : datar, BU (+),

Ext : akral hangat, edema -


/-/-/+, sianosis -/-/-/-, ulkus
di pedis sinistra terbalut
kassa +, rembes -

04-06-19 Mual- KU/Kes:Sedang/E4M5V6 CKD Stage  IVFD Nacl 0.9% 8


V, DM tipe
Muntah- TD : 145/80 mmHg 2 tpm
Lemas + RR: 20 x/menit  Inj Furosemid 3x1
Gatal seluruh N : 75 x/menit Amp
badan +
T :36.8 °C
Mata : CA -/-  Inj Ranitidin 2x1
Cor : BJ I,II reg M(-)G(-) Amp
Pulmo :SD vesikuler +/+,  Bicnat 3x1 tab
Rh -/- Wh -/-
 Asam folat 2x1 mg
Abd : datar, BU (+),
 CACO3 3x500 mg
Ext : akral hangat, edema -  Pro HD
/-/-/+, sianosis -/-/-/-, ulkus
di pedis sinistra terbalut
kassa +, rembes -
TINJAUAN PUSTAKA

1. PENYAKIT GINJAL KRONIK


A. Definisi Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit Ginjal Kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progesif dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible , pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi
ginjal. (Ketut, 2014)

B. Epidemiologi Penyakit Ginjal Kronik

C. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik


Diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonefritis kronis, nefritis intersisial
kronis, penyakit ginjal polikistik, obstruksi, infeksi saluran kemih dan obesitas.
National Health Insurance (NHI) menyatakan bahwa pertambahan usia, diabetes,
hipertensi, hiperlipidemia dan jenis kelamin berhubungan dengan faktor resiko
terjadinya PGK. Faktor risiko terpenting terjadinya PGK ialah hipertensi dengan
prevalensi 74,5 juta dan diabetes sekitar 23,6 juta. Pernefri pada tahun 2012
mencatat penyebab penyakit gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia.

Gambar 1. Indonesian renal registry. 5 th report of indonesian renal registry 2012.


2012;12–3.2
D. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik
E. Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik
a Gambaran Klinis
Manifestasi klinis pasien PGK sesuai dengan penyakit yang
mendasari. Bila menimbulkan sindrom uremia maka gejala yang timbul
berupa lemah, anoreksia, mual,muntah, nokturia, letargi, kelebihan volume
cairan, uremic frost, perikarditis, neuropati perifer, pruritus, kejang-kejang
sampai koma. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, dan gangguan
keseimbangan elektrolit.

b Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan GFR dan kadar kreatinin serum penting pada pasien PGK
untuk menilai fungsi ginjal. Kadar elektrolit seperti sodium, potassium
klorida dan bikarbonat dapat menentukan kelainan biokimiawi darah
meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat,
hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia, hiperkloremia atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.
c Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit gagal ginjal kronik berupa foto polos,
USG, Pielografi dan renografi. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-
opak. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, kalsifikasi. Pielografi intravena bersifat toksik dan kontras sering
tidak bisa melewat glomerulus sehingga jarang dikerjakan. Pielografi
antegrad atau retrograd dan renografi dikerjakan bila ada indikasi.

F. Tatalaksana dan Komplikasi


Penatalaksana penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Terapi spesifik terhadap penyakit mendasari
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
3. Memperlambat pemburukan fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat


dilihat pada tabel 1:
Tabel 1. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai derajat (Ketut, 2014)
Derajat LFG Rencana Tatalaksana
1 ≥90 Terapi penyakit dasar,
kondisi komorbid,
evalusia perburukan
fungsi ginjal,
memperkecil risiko
kardiovaskuler
2 60 – 89 Menghambat perburukan
fungsi ginjal
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi
komplikasi
4 15 – 29 Persiapan terapi
pengganti ginjal
5 <5 Terapi pengganti ginjal

I. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya


Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya dilakukan sebelum terjadi
penurunan LFG sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Sebaliknya jika
LFG sudah menurun 20-30 % dari normal untuk terapi dasar sudah tidak
bermanfaat.

II. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid


Secara rutin mencatat dan mencatat kecepatan LFG pada pasien, hal ini
dapat mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan. Faktor
komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi trakturs urinarius, obat-obat
nefrotoksik bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

III. Menghambat Pemburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab pemburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Terdapat dua cara untuk menguragi hiperfiltrasi
glomerulus :
 Pembatasan asupan protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤60ml/menit.
Protein diberikan 0,6 – 0,8/kg.bb/hari, yang 0,35- 0,50 gr diataranya
merupakan nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari. Pada kelebihan protein tidak dapat disimpan dalam tubuh
tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
diekresikan melalui ginjal. Makanan tinggi protein yang mengandung ion
hydrogen, pospat, sulfat dan ion uroganik lain juga dieksresikan melalui
ginjal yang akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion
anorganik lainnya dan mengakibatkan gangguan klinis metabolik yaitu
uremia.
 Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi pada penaykit ginjal kronik untuk mengurangi
hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, disamping
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa obat
antihipertensi, terutama menghambat Enzim Konverting Angiotensin (ACE
inhibitor). Melalui beberapa studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria.
IV. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
 Anemia
Anemia terjadi pada 80 – 90 % pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-
hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,
kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh subtansi uremik, proses inflamasi akut
maupun kronik .evaluasi anemia dimulai saat kadar HB ≤10 g/dl atau Ht ≤
30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron,
kapasitas ikat besi total, mencari sumber perdarahan, morfologi eritosit,
kemungkinan ada hemolisis. Pemberian transfuse pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan secara hati-hati sesuai indikasi, jika tidak cermat
akan mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemi dan pemburukan
fungsi ginjal.
 Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yangs
sering terjadi. Penatalaksana osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara
mengatasi hiperfostemia dan pemberian hormone kalsitrol. Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputo pembatasan asupan fosfat disaluran cerna. Dialisis
yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal dalam mengatasi
hiperfostatemia. Mengatasi hiperfosfatemia:
 Pembatasan asupan fosfat
 Pemberian pengikat fosfat, pengikat fosfat yang banyak dipakai
adalah garam kalsium, almunium hidroksida. Garam-gara, ini
diberikan secara oral untuk menghambat absropsi fosfat yang
berasal dari makanan.
 Pemberian bahan kalsium memetik
Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untk mencegah terjadinya edem dan komplikasi
kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air
yang keluar, baik melalui insensinble water loss. Dengan berasumsi bahwa
air yang keluar melalui insensinble water loss antara 500-800 ml/hari., maka
air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit
yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Kadar kalium
dalam darah dianjurkan 3,5 -5,5 mEq/lt. pembatasan natrium dimaksudkan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
V. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi penganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu LGF kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.

G. Prognosis

2. DIABETES MELLITUS
A. Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2015).

B. Etiologi
Gambar 2. Klasifikasi tipe diabetes mellitus dan etiologinya (PERKENI,2015):

C. Faktor Risiko
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa yaitu
(PERKENI, 2015) :
1. Faktor Risiko yang Tidak Bisa Dimodifikasi
a. Ras dan etnik
b. Riwayat keluarga dengan DM
c. Usia >45 tahun (Harus dilakukan pemeriksaan DM)
d. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG).
e. Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.

2. Faktor Risiko yang Bisa Dimodifikasi


a. Berat badan lebih (IMT ≥23 kg/m2).
b. Kurangnya aktivitas fisik
c. Hipertensi (>140/90 mmHg)
d. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida >250 mg/dl)
e. Diet tak sehat (Tinggi glukosa dan rendah serat)

D. Penegakan Diagnosis
1. Riwayat Penyakit (PERKENI, 2015)
a. Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
b. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan perubahan BB
c. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
d. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap
e. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani.
f. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia).
g. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenital. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal,
mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.
h. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
i. Faktor risiko
j. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
k. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi

2. Pemeriksaan Fisik (PERKENI, 2015)


a. Pengukuran tinggi dan berat badan.
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan funduskopi.
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
e. Pemeriksaan jantung.
f. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
g. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular,
neuropati, dan adanya deformitas).
h. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi,
necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas penyuntikan insulin).
i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain

3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria (PERKENI, 2015).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan (PERKENI, 2015).:
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Gambar 2 . Kriteria Penegakan DM

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria


DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi
glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
(PERKENI, 2015).
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dl.
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan GDP <100 mg/dl
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2. Kadar gula darah sebagai acuan diagnosis DM

HbA1c Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam


(%) puasa (mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes > 6,5 > 126 mg/dL > 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal < 5,7 < 100 < 140

Gambar 3. Cara pelaksanaan TTGO


Gambar 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM (mg/dl)

E. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes, yang meliputi (PERKENI, 2015):
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
secara komprehensif.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
secara komprehensif. Langkah-langkah penatalaksanaan umum yaitu dengan
menggali riwayat penyakt, pemeriksaan fisik, laboratorium, serta penapisan
komplikasi. Langkah-langkah penatalaksanaan khusus dilakukan dengan
edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, serta intervensi farmakologis
(PERKENI, 2015).
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan (PERKENI, 2015):
1. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid
a. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi insulin oleh sel
beta pankreas.
b. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion (TZD)
a. Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.
b. Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti termasuk di sel
otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC IIIIV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan
bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
3. Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan bila GFR
≤30ml/min/1,73 m2 , gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome.
4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent).
5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal dengan
cara menghambat transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan
ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

Gambar 5. Profil obat antihipergilikemia oral di Indonesia


Gambar 6. Algoritma pengelolaan DM tipe 2
Pada kasus nefropati diabetik, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut
(PERKENI, 2015):
1. Optimalisasi kontrol glukosa untuk mengurangi resiko ataupun menurunkan
progresi nefropati.
2. Optimalisasi kontrol hipertensi untuk mengurangi resiko ataupun
menurunkan progresi nefropati.
3. Pengurangan diet protein pada diet pasien diabetes dengan penyakit ginjal
kronik tidak direkomendasikan karena tidak mengubah kadar glikemik,
resiko kejadian kardiovaskuler, atau penurunan GFR.
4. Terapi dengan penghambat ACE atau obat penyekat reseptor angiotensin II
tidak diperlukan untuk pencegahan primer.
5. Terapi Penghambat ACE atau Penyekat Reseptor Angiotensi II diberikan
pada pasien tanpa kehamilan dengan albuminuria sedang (30-299 mg/24 jam)
dan albuminuria berat (>300 mg/24 jam). Perlu dilakukan monitoring
terhadap kadar serum kreatinin dan kalium serum pada pemberian
penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II, atau diuretik lain.
6. Diuretik, Penyekat Kanal Kalsium, dan Penghambat Beta dapat diberikan
sebagai terapi tambahan ataupun pengganti pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi penghambat ACE dan Penyekat Reseptor Angiotensin II.
7. Apabila serum kreatinin ≥2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut dilibatkan.
8. Pertimbangkan konsultasi ke ahli nefrologi apabila kesulitan dalam
menentukan etiologi, manajemen penyakit, ataupun gagal ginjal stadium
lanjut

F. Komplikasi
Komplikasi dari diabetes terbagi menjadi (WHO, 2017):
1. Komplikasi mikrovaskular (kerusakan saluran darah kecil):
a. Retinopati
Retinopati dapat menyebabkan penurunan penglihatan dan kebutaan. Hal
ini disebabkan oleh kerusakan saluran darah kecil di retina

b. Nefropati
Nefropati diabetikum disebabkan oleh kerusakan saluran darah kecil di
ginjal. Proses jangka panjang akan menyebabkan gagal ginjal dan bahkan
kematian.
c. Neuropati
Diabetes dapat menyebabkan kerusakan pada saraf karena mekanisme dari
hiperglikemi dan penurunan aliran darah ke saraf akibat kerusakan saluran
darah kecil. Kerusakan pada saraf dapat mengakibatkan penurunan
kepekaan sensoris bahkan impotensi pada pria
d. Kaki diabetikum
Perubahan akibat kerusakan saluran darah kecil dan saraf dapat
mengakibatkan ulserasi pada ekstremitas yang memerlukan amputasi.
Komplikasi ini merupakan komplikasi tersering dari diabetes, terutama
pada masyarakat yang tidak sering menggunakan alas kaki.
2. Komplikasi makrovaskular (saluran darah besar):
Cardiovascular disease. Hiperglikemi dapat menyebabkan kerusakan
saluran darah yang prosesnya dinamakan atherosclerosis. Penyempitan
arteri dapat menurunkan aliran darah ke otot jantung yang dapat
mengakibatkan infark miokard, sedangkan penurunan darah ke otak dapat
mengakibatkan stroke
DAFTAR PUSTAKA

Perkeni. 2015. Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia 2015. Jakarta : Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PB Perkeni)
PERNEFRI. 2011. Fourth Annual Report of IRR 2012. Jakarta: 2012.

Anda mungkin juga menyukai