Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sindrom Terowongan Karpal (STK) merupakan suatu kelainan


yang terjadi ketika nervus medianus, saraf utama yang mengurus
sensasi di sebagian besar daerah telapak tangan ibu jari dan jari-jari
lainnya (kecuali kelingking) serta memberikan impuls kepada
beberapa otot-otot kecil tangan, tertekan atau terjepit pada daerah
pergelangan tangan (NINDS, 2005). STK yang dapat mengakibatkan
cacat ini digolongkan kedalam cummulative trauma disorders (CTDs)
dan merupakan kelainan yang erat hubungannya dengan kegiatan
kerja atau pekerjaan (Aryawan Wichaksana, Kartiena A. Darmadi,
2002; Lusianawaty Tana, 2003).
Para penderita STK biasanya mengeluh untuk waktu yang cukup
lama, bahkan hingga beberapa bulan karena mengalami gangguan
pada tangan maupun pergelangan tangannya. Mereka merasakan
kesemutan, mati rasa, perasaan terbakar, kaku, hilangnya kekuatan
menggenggam, tangan terasa membengkak, lalu tiba-tiba sakit yang
menusuk menyerang tangan dan pergelangan tangan mereka.
Namun sayangnya banyak dari mereka yang mengalami gejala-
gejala diatas tidak mengetahui apa yang terjadi. Sering mereka
mengira ini adalah kram biasa. Sebenarnya sangatlah mungkin
keluhan-keluhan tadi itu adalah gejala dari STK (NINDS, 2005).
Sejalan dengan perkembangan dunia yang sangat pesat,
perkembangan pelbagai bidang yang menggunakan keahlian atau
penggunaan tangan pun meningkat, seperti industri perakitan
elektronik, penggunaan komputer, industri pakaian, maupun
pusatpusat perbelanjaan. Pelbagai kegiatan atau aktivitas yang
menggunakan tangan berikut pergelangannya erat hubungannya
dengan peningkatan insidensi STK. Mendukung pernyataan diatas,

1
berdasarkan data dari Bagian Saraf di Itali, menunjukkan bahwa
dalam 8 tahun terakhir hingga tahun 2003 terdapat peningkatan
insidensi STK yang terus meninggi (Bland, Rudolfer, 2003). Bahkan
di Amerika 1 2 sekitar 480.000 kasus sempat dilaporkan pada tahun
1992, jauh lebih tinggi dibanding 50.000 kasus pada tahun 1985
(Atcheson, 2001; CCOHS, 1998).
Di Indonesia, insidensi STK belum diketahui, karena sangat sedikit
diagnosis penyakit ini yang dilaporkan (Lusianawaty Tana, 2003).
Sebagai contoh dari sumber di beberapa negara lain, pada tahun
1992, sekitar 960.000 kasus CTDs (Cummulative Trauma Disoders)
dilaporan di kalangan pekerja Amerika pada tahun 1992. Catatan
Bureau of Labor Statistics (BLS) 1992, menunjukkan bahwa dari
seluruh kasus CTDs yang dilaporkan, separuhnya (480.000)
didiagnosis sebagai STK (Aryawan Wichaksana, Kartiena A.
Darmadi, 2002). Sebuah penelitian lain yang dilakukan terhadap 400
orang dokter ahli bedah tangan Amerika, mendapatkan bahwa rata-
rata setiap dokter tadi menangani 65 kasus operasi STK setiap
tahun. Dengan demikian, dapat diartikan di Amerika sedikitnya
dilakukan sekitar 26.000 operasi setiap tahun untuk kasus STK, dan
rata-rata waktu kerja yang hilang akibat STK ini sekitar 32 hari per
pasien, lebih lama dari penyakit-penyakit lainnya (Atcheson, 2001;
CCOHS, 1998). Di Inggris, antara tahun 1992 hingga 2001 sebuah
penelitian dilakukan berdasarkan laporan dari 11.233 pasien yang
dicurigai memiliki keluhan gejala mirip STK atau yang dicurigai
mengalami kerusakan saraf tepi pada lengan. Dari hasil pemeriksaan
lebih lanjut, sebanyak 6.245 pasien (55,6%) terbukti menderita
kelainan yang dikonfirmasi sebagai STK. Dan terhadap 4.646 dari
6.245 pasien tadi (73,4%) dilakukan tindakan operasi (Bland,
Rudolfer, 2003). Sementara itu hasil penelitian lainnya di Kanada
mengungkapkan bahwa 614 orang dari 982 penjaga kasir pasar
swalayan (62.5%) didapati mengalami gejala-gejala STK. Dan dari

2
788 pekerja industri pemotongan daging, 117 orang (14,8%) pernah
mengalami tindakan operasi atau pembedahan karena menderita
STK (CCOHS, 1998).
Berdasarkan data-data diatas dan berhubungan dengan masih
sedikitnya bukubuku yang membahas mengenai STK (Ashworth,
2005), maka dirasakan perlu mencari dan menyebarkan informasi
mengenai gejala-gejala STK. Sehingga dengan tersedianya
informasi yang memadai, mereka yang mungkin mengalami keluhan
pada tangan dan pergelangan tangannya dapat mengetahui dan
lebih memperhatikan gangguan yang mereka alami. Dengan
demikian, diagnosis dan penanganan STK dapat dilakukan lebih dini
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik

1.2 Rumusan Masalah


Program pencegahan dan penanggulangan CARPAL TUNER
SINROM oleh pemerintah dan tenaga kesehatan khususnya di
kawasan desa lolu dan pengetahuan akan carpal tuner sindrom
masih sangat kurang, upaya-upaya dari pemerintah di antaranya
sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat masih minim diakukan
namun dilihat dari tingginya status pekerjaan masyrakat yang masih
bertani yang merupakan salah satu faktor resiko carpal tuner
sindrom di Kecamatan Marawola, hal ini mendorong saya akan
melakukan penulisan karya tulis ilmiah dengan rumusan masalah:
DETEKSI DINI CARPAL TUNER SINDROM.

3
1.3 Tujuan Penulisan
Maksud : Untuk meningkatkan pengetahuan serta menambah
sarana informasi mengenai CTS
Tujuan : memberikan pengetahuan atau wawasan mengenai
gejala-gejala CTS, agar setiap orang dapat mengetahui siapa yang
berisiko terkena dan mengetahui lebih dini terhadap kecenderungan
adanya kelainan CTS. Sehingga mereka dapat segera berkonsultasi
untuk mendapatkan penanganan lebih dini
1.3 Manfaat Penulisan
1. Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca sebagai informasi dan sumber pengetahuan
mengenai STK sehingga dapat bermanfaat, terutama untuk
mendiagnosis adanya kelainan ini lebih dini.
2. Bagi badan atau organisasi kesehatan, diharapkan KTI ini dapat
menjadi dasar pertimbangan sebagai gambaran keadaan klinis
dan sasaran-sasaran tujuan apabila akan dilakukan pelatihan,
penyuluhan atau sejenisnya yang berhubungan dengan STK,
terutama dalam dunia kerja.
3. Bagi penulis, merupakan wujud aplikasi dan pelayanan dari
pelbagai ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti pendidikan
di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha.
4. Bagi penulis atau peneliti berikutnya, Karya Tulis Ilmiah ini
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan .

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi STK

Sindroma Terowongan Karpal merupakan neuropati perifer karena


tekanan atau getaran mekanis pada nervus medianus di dalam
terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah fleksor
retinakulum (Moeliono, 1993). Dalam kepustakaan lain STK ini
dikelompokkan dalam gangguan pada ekstremitas atas karena trauma
kumulatif (Cumulative Trauma Disorders of The Extremitas) (Zens, et al.,
1994, Levy, et al., 1994). Sindroma terowongan karpal akibat kerja adalah
sindroma terowongan karpal yang terjadi karena pekerjaan ataupun
keadaan/agen yang ada di lingkungan kerja, misal getaran, tekanan dan
faktor ergonomi (Suma’mur, 1995; WHO. 1995). STK pertama kali
dipublikasikan oleh Piere Marie dan C. Foix pada tahun 1913. Istilah
sindroma terowongan karpal diperkenalkan oleh Moersch pada tahun
1938. Steven dkk. melaporkan pada populasi Rochester, Minnesota
ditemukan rata-rata 99 kasus dari 100.000 orang dalam setahun. Voitk et
al. (1983) menemukan jumlah STK yang cukup tinggi pada kehamilan
(Moeliono, 1993). Prevalensi sindroma terowongan karpal dikaitkan
dengan pekerjaan diperkirakan kurang dari 1%, masih jauh lebih rendah
dari gangguan musculoskeletal lainnya, seperti Low Back Pain Levy, et
al., 1994). Meskipun demikian, bila seseorang telah mengalami gangguan
berupa STK ini dapat mengakibatkan keterbatasan dalam penggunaan
tangannya sehari-hari.
Orang awam kadang menganggap ini sebagai akibat kelelahan
bekerja. Atau pada keadaan yang lebih ekstrim bisa dianggap
kelumpuhan total akibat serangan stroke. Walau kemungkinannya ada
seperti dugaan itu namun ada suatu penyakit lain yang lebih sering terjadi
dan mengakibatkan gejala-gejala di atas. Penyakit itu disebut dengan

5
“Carpal tunnel syndrome” atau sering disingkat menjadi CTS. Penyakit ini
disebabkan terjepitnya saraf perifer (nervus medianus) oleh ligamen
transversus carpii (ligeman otot yang berada di pergelangan tangan) yang
mengalami degenerasi dan pengerasan akibat kerjanya yang hiperaktif
dan berulang. Pada orang-orang yang bekerja dengan menggunakan
tangan dan dengan gerakan tangan yang monoton berulang akan memiliki
resiko pengerasan dan degenerasi ligamen tersebut lebih tinggi seperti
halnya pada para petani yang lebih dominan menggunakan. Sehingga
resiko terkena penyakit CTS akan menjadi lebih tinggi pula.

2.2 PENYEBAB STK


Kawasan sensorik N. Medianus bervariasi terutama pada permukaan
volar. Dan pola itu sesuai dengan variasi antara jari ketiga sampai jari
keempat sisi radial telapak tangan. Pada permukaan dorsum manus,
kawasan sensorik N. Medianus bervariasi antara dua sampai tiga palang
distal jari kedua, ketiga dan keempat. Di terowongan karpal N. Medianus
sering terjepit. N. Medianus adalah saraf yang paling sering mengalami
cedera oleh trauma langsung, sering disertai dengan luka di pergelangan
tangan. Tekanan dari n median sehingga menghasilkan rasa kesemutan
yang menyakiti juga. Itulah parestesia atau hipestesia dari “Carpal Tunnel
Sydrome”. Terdapat beberapa kunci co-morbiditas atau human factor
yang berpotensi meningkatkan risiko CTS. Pertimbangan utama meliputi
usia lanjut, jenis kelamin perempuan, dan adanya diabetes dan obesitas.
Faktor risiko lain termasuk kehamilan, pekerjaan yang spesifik, cedera
karena gerakan berulang dan kumulatif, sejarah keluarga yang kuat,
gangguan medis tertentu seperti hipotiroidisme, penyakit autoimun,
penyakit rematologi, arthritis, penyakit ginjal, trauma, predisposisi anatomi
di pergelangan tangan dan tangan, penyakit menular, dan
penyalahgunaan zat. Orang yang terlibat dalam kerja manual di beberapa
pekerjaan memiliki insiden dan tingkat keparahan yang lebih besar.

6
Beberapa penyebab dan factor-faktor yang berpengaruh terhadap
kejadian carpal tunnel syndrome antara lain (6,12):
1. Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy,
misalnya HMSN (hereditary motor and sensory neuropathies) tipe III.
2. Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah,
pergelangan tangan dan tangan .Sprain pergelangan tangan. Trauma
langsung terhadap pergelangan tangan.
3. Pekerjaan : gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan
tangan yang berulang-ulang. Seorang sekretaris yang sering mengetik,
pekerja kasar yang sering mengangkat beban berat dan pemain musik
terutama pemain piano dan pemain gitar yang banyak menggunakan
tangannya juga merupakan etiologi dari carpal turner syndrome.
4. Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
5. Metabolik: amiloidosis, gout, hipotiroid - Neuropati fokal tekan,
khususnya sindrom carpal tunnel juga terjadi karena penebalan
ligamen, dan tendon dari simpanan zat yang disebut mukopolisakarida.
6. Endokrin : akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes
mellitus, hipotiroidi, kehamilan.
7. Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.
8. Penyakit kolagen vaskular : artritis reumatoid, polimialgia reumatika,
skleroderma, lupus eritematosus sistemik.
9. Degeneratif: osteoartritis.
10. Iatrogenik : punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk
dialisis, hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.
11. Faktor stress
12. Inflamasi : Inflamasi dari membrane mukosa yang mengelilingi
tendon menyebabkan nervus medianus tertekan dan menyebabkan
carpal tunnel syndrome.

7
2.3 PATOGENESIS STK
Secara anatomis, canalis carpi (carpal tunnel) berada di dalam
dasar pergelangan tangan. Sembilan ruas tendon fleksor dan N.
Medianus berjalan di dalam canalis carpi yang dikelilingi dan dibentuk
oleh tiga sisi dari tulang – tulang carpal. Nervus dan tendon
memberikan fungsi, sensibilitas dan pergerakan pada jari – jari tangan.
Jari tangan dan otot – otot fleksor pada pergelangan tangan beserta
tendon – tendonnya berorigo pada epicondilus medial pada regio cubiti
dan berinsersi pada tulang – tulang metaphalangeal, interphalangeal
proksimal dan interphalangeal distal yang membentuk jari tangan dan
jempol. Canalis carpi berukuran hampir sebesar ruas jari jempol dan
terletak di bagian distal lekukan dalam pergelangan tangan dan
berlanjut ke bagian lengan bawah di regio cubiti sekitar 3 cm.
Pada terowongan carpal, N. Medianus mungkin bercabang
menjadi komponen radial dan ulnar. Komponen radial dari N. Medianus
akan menjadi cabang sensorik pada permukaan palmar jari-jari pertama
dan kedua dan cabang motorik m. abductor pollicis brevis, m. opponens
pollicis, dan bagian atas dari m. flexor pollicis brevis. Pada 33 % dari
individu, seluruh fleksor polisis brevis menerima persarafan dari N.
Medianus. Sebanyak 2 % dari penduduk, m. policis adduktor juga
menerima persarafan N. Medianus . Komponen ulnaris dari N.
Medianus memberikan cabang sensorik ke permukaan jari kedua,
ketiga, dan sisi radial jari keempat. Selain itu, saraf median dapat
mempersarafi permukaan dorsal jari kedua, ketiga, dan keempat bagian
distal sendi interphalangeal proksimal.
Tertekannya N. Medianus dapat disebabkan oleh berkurangnya
ukuran canalis carpi, membesarnya ukuran alat yang masuk di
dalamnya (pembengkakan jaringan lubrikasi pada tendon – tendon
fleksor) atau keduanya. Gerakan fleksi dengan sudut 90 derajat dapat
mengecilkan ukuran canalis. Penekanan terhadap N. Medianus yang
menyebabkannya semakin masuk di dalam ligamentum carpi

8
transversum dapat menyebabkan atrofi eminensia thenar, kelemahan
pada otot fleksor pollicis brevis, otot opponens pollicis dan otot abductor
pollicis brevis yang diikuti dengan hilangnya kemampuan sensorik
ligametum carpi transversum yang dipersarafi oleh bagian distal N.
Medianus. Cabang sensorik superfisial dari N. Medianus yang
mempercabangkan persarafan proksimal ligamentum carpi transversum
yang berlanjut mempersarafi bagian telapak tangan dan jari jempol (6).
N. Medianus terdiri dari serat sensorik 94% dan hanya 6% serat motorik
pada terowongan karpal. Namun, cabang motorik menyajikan banyak
variasi anatomi, yang menciptakan variabilitas yang besar patologi
dalam kasus Capal Tunnel Syndrome.

1.1 struktur anatomi n.medianus

Patogenesis CTS masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan


untuk menjelaskan gejala dan gangguan studi konduksi saraf. Yang
paling populer adalah kompresi mekanik, insufisiensi mikrovaskular,
dan teori getaran. Menurut teori kompresi mekanik, gejala CTS adalah

9
karena kompresi nervus medianus di terowongan karpal. Kelemahan
utama dari teori ini adalah bahwa ia menjelaskan konsekuensi dari
kompresi saraf tetapi tidak menjelaskan etiologi yang mendasari
kompresi mekanik. Kompresi diyakini dimediasi oleh beberapa faktor
seperti ketegangan, tenaga berlebihan, hyperfunction, ekstensi
pergelangan tangan berkepanjangan atau berulang .
Teori insufisiensi mikro - vaskular mennyatakan bahwa kurangnya
pasokan darah menyebabkan penipisan nutrisi dan oksigen ke saraf
yang menyebabkan ia perlahan-lahan kehilangan kemampuan untuk
mengirimkan impuls saraf. Scar dan jaringan fibrotik akhirnya
berkembang dalam saraf. Tergantung pada keparahan cedera,
perubahan saraf dan otot mungkin permanen. Karakteristik gejala
CTS, terutama kesemutan, mati rasa dan nyeri akut, bersama dengan
kehilangan konduksi saraf akut dan reversibel dianggap gejala untuk
iskemia. Seiler et al menunjukkan (dengan Doppler laser flowmetry )
bahwa normalnya aliran darah berdenyut di dalam saraf median
dipulihkan dalam 1 menit dari saat ligamentum karpal transversal
dilepaskan. Sejumlah penelitian eksperimental mendukung teori
iskemia akibat kompresi diterapkan secara eksternal dan karena
peningkatan tekanan di karpal tunnel. Gejala akan bervariasi sesuai
dengan integritas suplai darah dari saraf dan tekanan darah sistolik .
Kiernan dkk menemukan bahwa konduksi melambat pada median
saraf dapat dijelaskan oleh kompresi iskemik saja dan mungkin tidak
selalu disebabkan myelinisasi yang terganggu (5).
Menurut teori getaran gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari
penggunaan jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di
karpal tunnel. Lundborg et al mencatat edema epineural pada saraf
median dalam beberapa hari berikut paparan alat getar genggam.
Selanjutnya, terjadi perubahan serupa mengikuti mekanik, iskemik,
dan trauma kimia.

10
Hipotesis lain dari CTS berpendapat bahwa faktor mekanik dan
vaskular memegang peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya
CTS terjadi secara kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinakulum
yang menyebabkan tekanan terhadap nervus medianus. Tekanan
yang berulang-ulang dan lama akan mengakibatkan peninggian
tekanan intrafasikuler. Akibatnya aliran darah vena intrafasikuler
melambat. Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu nutrisi
intrafasikuler lalu diikuti oleh anoksia yang akan merusak endotel.
Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein
sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini menerangkan
bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang timbul terutama pada
malam atau pagi hari akan berkurang setelah tangan yang terlibat
digerakgerakkan atau diurut, mungkin akibat terjadinya perbaikan
sementara pada aliran darah. Apabila kondisi ini terus berlanjut akan
terjadi fibrosis epineural yang merusak serabut saraf. Lama-kelamaan
saraf menjadi atrofi dan digantikan oleh jaringan ikat yang
mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu secara menyeluruh
.
Selain akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan perfusi
kapiler akan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik
saraf. Keadaan iskemik ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan
intrafasikuler yang menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah.
Selanjutnya terjadi vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga
sawar darah-saraf terganggu yang berkibat terjadi kerusakan pada
saraf tersebut (13). Penelitian yang telah dilakukan Kouyoumdjian
yang menyatakan CTS terjadi karena kompresi saraf median di bawah
ligamentum karpal transversal berhubungan dengan naiknya berat
badan dan IMT. IMT (indeks masa tubuh) yang rendah merupakan
kondisi kesehatan yang baik untuk proteksi fungsi nervus medianus.
Pekerja dengan IMT minimal ≥25 lebih mungkin untuk terkena CTS
dibandingkan dengan pekerjaan yang mempunyai berat badan

11
ramping. American Obesity Association menemukan bahwa 70% dari
penderita CTS memiliki kelebihan berat badan. Setiap peningkatan
nilai IMT 8% resiko CTS meningkat (13).

2.4 GEJALA KLINIS


Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja.
Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal
biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa
seperti terkena aliran listrik (tingling) pada jari 1-3 dan setengah sisi
radial jari 4 sesuai dengan distribusi sensorik nervus medianus
walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh jari-jari.
Komar dan Ford membahas dua bentuk carpal tunnel syndrome:
akut dan kronis. Bentuk akut mempunyai gejala dengan nyeri parah,
bengkak pergelangan tangan atau tangan, tangan dingin, atau gerak
jari menurun. Kehilangan gerak jari disebabkan oleh kombinasi dari
rasa sakit dan paresis. Bentuk kronis mempunyai gejala baik disfungsi
sensorik yang mendominasi atau kehilangan motorik dengan
perubahan trofik. Nyeri proksimal mungkin ada dalam carpal tunnel
syndrome.
Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala
lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada
malam hari sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya.
Rasa nyeri ini umumnya agak berkurang bila penderita memijat atau
menggerak-gerakkan tangannya atau dengan meletakkan tangannya
pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila penderita
lebih banyak mengistirahatkan tangannya.
Apabila tidak segera ditagani dengan baik maka jari-jari menjadi
kurang terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil.
Kelemahan pada tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan
adanya kesulitan yang penderita sewaktu menggenggam. Pada tahap
lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar (oppones pollicis dan

12
abductor pollicis brevis).dan otot-otot lainya yang diinervasi oleh nervus
medianus
.
2.5 DIAGNOSA DAN PENCEGAHAN
Diagnosa CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala-klinis seperti di
atas dan perkuat dengan pemeriksaan yaitu :

1) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan


menyeluruh pada penderita dengan perhatian khusus pada fungsi,
motorik, sensorik dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes
provokasi yang dapat membantu menegakkan diagnosa CTS adalah:
a) Phalen's test : Penderita diminta melakukan fleksi tangan
secara maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti
CTS, tes ini menyokong diagnosa. Beberapa penulis berpendapat
bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa CTS.

Gambar 2.2 Phalen’s Test

b) Torniquet test : Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan


tomiquet dengan menggunakan tensimeter di atas siku dengan
tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul
gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.

13
c) Tinel's sign : Tes ini mendukung diagnosa bila timbul
parestesia atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus jika
dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan
sedikit dorsofleksi.

Gambar 2.3 Tinel’s Test d) Flick's sign :

Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau


menggerakgerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau
menghilang akan menyokong diagnosa CTS. Harus diingat bahwa
tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit Raynaud.
e) Thenar wasting : Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan
adanya atrofi otot-otot thenar.
f) Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara
manual maupun dengan alat dynamometer
g) Wrist extension test : Penderita diminta melakukan ekstensi
tangan secara maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua
tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul
gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini menyokong diagnosa CTS. h)
Pressure test : Nervus medianus ditekan di terowongan karpal

14
dengan menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120
detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
i) Luthy's sign (bottle's sign) : Penderita diminta melingkarkan ibu
jari dan jari telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan
penderita idak dapat menyentuh dindingnya dengan rapat, tes
dinyatakan positif dan mendukung diagnose
j) Pemeriksaan sensibilitas : Bila penderita tidak dapat
membedakan dua titik (two-point discrimination) pada jarak lebih dari
6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif dan
menyokong diagnose
k) Pemeriksaan fungsi otonom : Pada penderita diperhatikan
apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin yang
terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan
mendukung diagnose CTS. Dari pemeriksaan provokasi diatas
Phalen test dan Tinel test adalah test yang patognomonis untuk
CTS.

2). Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik) Pemeriksaan


EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang positif
dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar. Pada
beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG
bisa normal pada 31% kasus CTS. Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada
15-25% kasus, KHS bisa normal. Pada yang lainnya KHS akan menurun
dan masa laten distal (distal latency) memanjang, menunjukkan adanya
gangguan pada konduksi saraf di pergelangan tangan. Masa laten
sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik.
3) Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan sinar-X terhadap
pergelangan tangan dapat membantu melihat apakah ada penyebab lain
seperti fraktur atau artritis. Foto polos leher berguna untuk menyingkirkan
adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT-scan dan MRI dilakukan
pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi. USG dilakukan

15
untuk mengukur luas penampang dari saraf median di carpal tunnel
proksimal yang sensitif dan spesifik untuk carpal tunnel syndrome.
4) Pemeriksaan Laboratorium Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya
pada penderita usia muda tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif,
dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti kadar gula darah , kadar
hormon tiroid ataupun darah lengkap.

2.6 PENCEGAHAN
1. Pemeriksaan kesehatan sebelum penempatan mencakup riwayat
medis dan perhatian khusus pada sirkulasi perifer, sistem saraf.
2. Pemeriksaan kesehatan berkala, biasanya dilaksanakan setahun
sekali diarahkan pada keluhan pergelangan tangan dan lengan,
khusus untuk pemeriksaan foto sinar X hendaknya dilakukan selang
waktu 5 tahun (WHO, 1995).
3. Pengendalian gerakan tangan berulang dengan menggunakan
alat-alat otomatis atau rotasi pekerjaan.
4. Pengendalian terhadap posisi tangan yang salah dengan
menyesuaikan alat kerja.
5. Isolasi sumber getaran dengan pegas, atau bamper (Suma’mur,
1995; Zens, et al., 1994, Levy, et al., 1994; WHO, 1995)

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan :
1. STK merupakan suatu keadaan terjepit atau tertekannya
n.medianus pada canalis carpi sehingga menimbulkan gejala
tertentu, dan erat hubungannya dengan pekerjaan atau
aktivitas tertentu dari pergelangan tangan dan tangan yang
dilakukan berulang-ulang.
2. Gejala-gejala STK adalah nyeri, kesemutan, mati rasa, tidak
dapat membedakan sensasi suhu, tangan terasa seperti
membengkak, perasaan terbakar pada telapak tangan dan tiga
setengah jari pertama kemampuan menggenggam yang
berkurang, serta pada kasus yang berat dan lama dapat terjadi
atropi otot-otot dasar ibu jari (thenar atropy).
3. Mereka yang berisiko tinggi menderita STK adalah mereka
yang menggunakan pergelangan tangan dan tangan secara
berulang, dalam posisi yang buruk, mendapat getaran, atau
sering mendapat tekanan mekanis pada tangan. Risiko ini
diperbesar oleh keadaan atau penyakit lain yang
mempermudah terjadinya STK. • STK pada umumnya dapat
dicegah dan disembuhkan. • Diagnosis dan penanganan lebih
dini memberikan prognosis yang lebih baik.
3.2 Saran
saran:
1. Perlunya sarana informasi dan edukasi yang cukup mengenai
STK agar lebih banyak masyarakat mengetahui dan
memperhatikan kelainan ini, terutama pada kelompok yang
berisiko tinggi.

17
2. Diperlukan rekam medis yang terpadu mengenai penderita STK,
sehingga dapat menjadi dasar pegangan dalam melakukan
pencegahan dan pelayanan medis yang lebih baik terhadap
kelainan ini.
3. Perlunya penerapan sistem ergonomi dan desain kerja yang
baik sebagai usaha pencegahan STK terutama dalam dunia
kerja dimana banyak pekerja dengan risiko tinggi terkena STK
bekerja.

18
DAFTAR PUSTAKA
1. A.D.A.M. 2005. Carpal tunnel syndrome.
http://adam.about.com/reports/000034_3.htm., 16 Mei 2005.
2. A.D.A.M. Medical Illustration Team. 2001. Carpal tunnel syndrome.
http://adam.about.com/reports/000150.htm., 23 Mei 2005.
3. Agur, Anne M. R., Dalley, Arthur F. 2005. Grant’s atlas of anatomy.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 247-9, 361-6
4. American Association of Orthopaedic Surgeons (AAOS). 2000. Carpal
tunnel syndrome.
http://orthoinfo.aaos.org/brochure/thr_report.cfm?Thread_ID=5&topcateg
ory=Ha nd., 16 April 2005. American Soiety for Surgery of the Hand
(ASSH). 2003. Carpal tunnel syndrome.
http://www.assh.org/Content/NavigationMenu/Patients_and_Public/Carpal
_Tunne l_Syndrome/Carpal_Tunnel_Syndrome.html., 16 April 2005.
Annonym. 2005. http://members.aol.com/wayneheim/carpal.jpg., 19 April
2005.
5. Sweetman Dan; Massart Stephanie. 1998. Exercising to prevent carpal
tunnel syndrome. http://www.uwlax.edu/ehs/CTS.html., 23 Mei 2005.
6. Tonkin, John. 2005. Carpal tunnel syndrome - a patient's guide.
http://www.medic8.com/healthguide/articles/carpaltunnel.html., 29 Juli
2005.
7. University of Maryland Medical Center (UMMC). 2002. Vitamin B6
(Pyridoxine).
http://www.umm.edu/altmed/ConsSupplements/VitaminB6Pyridoxinecs.ht
ml., 29 Agustus 2005.
8. Wikipedia, the free encyclopedia. 2005. Carpal tunnel syndrome.
http://en.wikipedia.org/wiki/Carpal_tunnel_syndrome#Anatomy., 3 Mei
2005.
9.

19

Anda mungkin juga menyukai