Anda di halaman 1dari 23

Makalah Agama

Masa Kejayaan Islam di bidang fiqih

Sebelum 1850 M

Nama Penyusun

 Edo Aditya Nugroho ( 12 )


 Ferdi Ardana ( 17 )
Pengertian Fiqih Dan Perkembangannya

A. Pengertian Fiqih

Uraian dalam bab ini akan dibatasi pada upaya menjelaskan fiqih dari segi
pengertaian, cakupan isi dan sistematika, perkembangan, serta hubungan antara fiqih
sebagai hukum positif dengan penguasa (negara) baik pada masa yang lalu (era
kekhalifahan), yang kekuasaan relatif terpusat pada khalifah, ataupun masa sekarang
(era negara bangsa) yang telah menerapkan prinsip trias politika.

Di dalam sejarahnya, istilah fiqih (fiqh) telah mengalami pergeseran atau


perkembangan makna. Pada masa awal (priode Sahabat dan tabi`in), istilah ini
cenderung masih dipahami dalam arti harfiahnya, menjadi sandingan untuk istilah
ilmu (`ilm). Pada priode ini fiqih diartikan dengan paham atau mengerti, yaitu
pengetahuan yang didapat melalui pemikiran atau perenungan. Sedang ilmu, pada
masa ini diartikan sebagai pengetahuan yang didapat melalui penuturan atau
periwayatan. Jadi orang yang menyelesaikan masalah dengan merujuk kepada
makna harfiah ayat Al-qur’an atau hadis Nabi dikatakan orang yang mempunyai
ilmu. Begitu juga orang yang mengetahui banyak tentang cerita, peristiwa atau
sejarah masa lalu dianggap sebagai orang yang mempunyai ilmu. Berbeda dengan
itu, orang yang berusaha menyelesaikan masalah dengan pemikirannya, maksudnya
menarik kesimpulan dengan cara mendeduksikan atau membandingkan ayat Al-
qur’an atau hadis terhadap masalah yang akan diselesaikan dikatakan sebagai orang
yang menguasai fiqih. Begitu juga orang yang mampu memberikan nasehat atau
petunjuk berdasarkan pikiran jernih dan pertimbangan logisnya disebut sebagai
orang yang menguasai fiqih. Jadi istilah fiqih relatif indentik dengan istilah rakyu,
yaitu pertimbangan subjektif (ra`y). Dalam arti inilah kita memahami pernyataan
bahwa si fulan adalah seorang yang menguasai ilmu, maksudnya banyak menghafal
ayat Al-qur’an dan hadis Rasulullah, mengetahui peristiwa dan cerita masa lalu
(termasuk pengetahuan tentang diskusi-diskui dan perbedaan pendapat yang tejadi
pada masa Sahabat), sedang si fulin dianggap sebagai orang yang menguasai fiqih
dalam arti orang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah atau memberikan
nasehat-nasehat dengan pemikiran logis atau pertimbangan subjektif mereka yang
disinari oleh ayat dan hadis.

Pada masa kedua, di masa para imam mazhab, istilah fiqih menjadi lebih teknis,
tidak lagi sekedar pemikiran bebas dan pertimbangan subjektif, tetapi telah
merupakan pemikiran yang sistematis, seperti kaidah-kaidah. Dalam arti inilah kita
memahami istilah yang digunakan Imam Abu Hanifah, al-fiqh al-akbar untuk
menunjuk pengetahuan tentang berbagai masalah (kaidah-kaidah) di bidang aqidah.
Dalam arti ini pulalah kita harus memahami istilah fiqih yang digunakan dalam fiqh
al-lughah yang berarti kaidah-kiadah bahasa atau fiqh al-da`wah yang berarti kaidah-
kaidah dalam berdakwah. Lebih dari itu ada juga ulama yang menggunakan istilah
fiqih untuk menunjuk beberapa aspek dari kajian tasawuf.

Setelah ini Imam asy-Syafi`i menggunakan istilah fiqih untuk arti yang lebih sempit
lagi, terbatas pada pengetahuan tentang kaidah-kaidah di bidang perilaku dan
perbuatan keseharian seseorang, yang secara bebas dapat kita sebut sebagai aspek
“hukum” dalam Islam. Beliau membedakan fiqih secara relatif tajam dengan ilmu
1

kalam (pengetahuan sistematis tentang masalah akidah) dan tasawuf (pengetahuan


sistematis tentang tatacara mensucikan jiwa dalam upaya lebih mendekatkan diri
kepada Allah). Dalam arti yang terakhir ini fiqih adalah pengetahuan sistematis
2

tentang tuntunan atau peraturan mengenai perilaku dan tata kehidupan keseharian.
Akhirnya pada masa modern, terjadi lagi pergeseran makna fiqih, dari ilmu atau
kemampuan menghasilkan fiqih, menjadi produk yang dihasikan tersebut. Jadi kalau
pada masa dahulu fiqih selalu dikaitkan dengan orang, maka pada masa sekarang
tidak lagi seketat itu. Fiqih sering dikaitkan dengan himpunan peraturan itu sendiri.
Bahkan menyebut himpunan peraturan itu sebagai fiqih pada masa sekarang adalah
lebih sering daripada menyebut seorang ulama yang menghafal banyak ketentuan
fiqih atau yang mampu menghasilkan fiqih sebagai faqih. Pada masa sekarang fiqih
dalam arti yang pertama hampir tidak pernah lagi digunakan, sedang dalam arti yang
kedua masih ada yang menggunakannnya walaupun tidak banyak. Secara umum
sekiranya tidak disebutkan lain, maka fiqih pada masa sekarang selalu merujuk pada
arti yang ketiga atau yang keempat.

Perlu disebutkan pada masa setelah priode imam mazhab, para ulama kelihatannya
berupaya mempopulerkan sebuah istilah lain yaitu siyasah syar`iyyah. Istilah ini
digunakan untuk menunjuk aspek-aspek fiqih yang pelaksanaannya melibatkan
negara. Akar dari istilah ini sebetulnya sudah ditemukan dalam surat Umar selaku
khalifah kepada para gubernurnya yang berisi bimbingan dan petunjuk apabila
mereka harus menyelesaikan sengketa antar penduduk—katakanlah berisi semacam
prinsip-prinsip hukum acara. Kelihatannya beberapa ulama setelah kehadiran
mazhab mengangkat kembali istilah yang terakhir ini untuk menunjuk aspek fiqih
yang pelaksanaannya memerlukan keterlibatan negara, yaitu aspek fiqih yang tidak
dapat dilaksanakan oleh orang perorangan sebagai individu atau oleh masyarakat
sebagai kumpulan orang yang bersifat swasta (bukan sebagai pemerintah). Lebih
dari itu siyasah syar`iyyah digunakan juga untuk menunjuk aspek-aspek fiqih yang
berkaitan erat dengan kebijakan negara, yaitu aspek fiqih yang dari satu segi tidak
mempunyai dalil yang cukup jelas dalam Al-qur’an atau hadis (biasanya hanya
diatur secara umum), sedang disegi yang lain harus mempertimbangkan
kemaslahatan masyarakat (jadi bukan kepentingan individu) secara relatif menonjol,
seperti kebijakan pelaksanaan hukum pidana, kebijakan pemanfaatan dan
peruntukan tanah (tata ruang), serta prosedur penyelesaian sengketa termasuk
hukum acara termasuk sistem peradilannya. Dengan kata lainsiyasah
syar`iyyah digunakan untuk menunjuk aturan dalam fiqih yang pelaksanaannya perlu
melibatkan negara karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas. Jadi
pembahasan tentang pencurian misalnya, ketika uraiannya berkaitan dengan halal
atau haram maka fiqih yang akan membahasnya secara relatif menonjol. Tetapi
ketika pembahasannya berkaitan dengan pencuri bagaimana yang dapat diajtuhi
hukuman potong tangan, dan bagaimana cara melaksanakannya, pencuri bagaimana
yang perlu dijatuhi hukuman ta`zir (jadi bukan hukuman had), dan lebih dari itu
pencuri bagaimana yang tidak dapat dihukum, maka pembahasannya akan
ditemukan lebih banyak di dalam siyasah syar`iyyahdaripada di dalam fiqih. Akibat
lanjutnya, karena relatif selalu terhubung dengan kebijakan para penguasa, maka
norma yang dianggap sebagai siyasah syar`iyah ini menjadi relatif longgar dalam tata
cara penentuan dan pengubahannya, atau menjadi lebih, bahkan sangat dinamis
sekiranya dibandingkan dengan perubahan norma pada aspek yang dibahas dan
dijelaskan oleh fiqih. Aspek fiqih yang tetap menjadi fiqih, cenderung kaku bahkan
sangat kaku, yang sampai batas tertentu, oleh banyak ulama, tertutama pada masa
kemunduran dianggap sudah final dan karena itu tidak akan (boleh) berubah.

Walaupun sudah digunakan, ulama yang memberi perhatian kepada siyasah


syar`iyyah relatif sangat sedikit, sehingga kehadirannya tidak dapat disejajajarkan
dengan fiqih. Buku-buku yang ditulis tentang hal ini pun sekiranya dibandingkan
dengan buku-buku fiqih, jumlahnya sangatlah kecil, kelihatnnya hanya ditulis oleh
para ulama yang pernah menjadi qadhi. Secara tradisional, fokus kajian di lembaga
pendidikan psantren adalah fiqih; sedang bidangsiyasah syar`iyyah tidak dipelajari
sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri, bahkan jarang disentuh. Kelihatannya
kitab tentang siyasah syar`iyyah baru akan dibaca oleh santri kalau dia mempunyai
minat khusus untuk itu, misalnya akan bertugas sebagai qadhi. Hatta pada zaman
modern sekarang pun ketika pengamalan fiqih semakin tergantung pada keterlibatan
negara, pembahasan tentang siyasah syar`iyyahtetap belum signifikan, dapat dianggap
masih terabaikan dan tidak diperhatikan secara layak. Pantas ditambahkan, pada
program pascasarjana Fakultas Syari`ah Universitas Al-Azhar, siyasah
syar`iyyah sudah merupakan jurusan (syu`bah) bersama-sama dengan tiga jurusan
lainnya yaitu: ushul al-fiqh, fiqh al-muqaran dan fiqh tahiliy. Sedang pada fakultas
syari`ah di Indonesia siyasah syar`iyyah belum merupakan jurusan yang berdiri
sendiri. Pembagian jurusan pada fakultas syari`ah di Indonesia, sesuai dengan SK
MENTERI AGAMA adalah: 1. al-ahwal al-syakhshiyyah, 2. al-mu`amalah, 3.
perbandingan hukum, serta 4. jinayah dan siyasah. Menurut penulis kajian tentang
disiplin siyasah syar`iyyah perlu dihidupkan dan digalakkan agar kekakuan yang
ditemukan di dalam fiqih bisa dilonggarkan dan dilenturkan. Menurut penulis, kalau
perhatian dan pengembangan pada siyasah syar`iyyahdiberikan secara lebih sungguh-
sungguh, maka paling kurang sebagian aturan yang ada dalam fiqih, yang selama ini
dianggap kaku dan tidak boleh diubah, akan menjadi lebih lentur dan karena itu akan
lebih dinamis.

Beralih ke definisi, secara umum fiqih didefinisikan dengan: ilmu tentang seperangkat
hukum-hukum syara` yang bersifat furu`iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau
istidlal.3Definisi ini di dalam banyak kitab disebutkan dengan sedikit variasi,
misalnya ada yang menukar kata “furu`iyah” (cabang) dengan “`amaliyah” (praktis);
ada juga kitab yang menambahkan frasa “dari dalil yang tafshili” sehingga definisi
tersebut menjadi: ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara` yang bersifat furu`iyah
(`amaliyah) yang berhasil didapatkan melalui penalaran (istinbath) atau istidlal dari dalilnya
yang tafshili (dalil yang langsung atau khusus untuk masalah yang dinalar itu). Dengan
memperhatikan penggunaan definisi ini dari masa ke masa dengan berbagai variasi
yang ada, tidaklah berlebihan sekiranya dikatakan bahwa definisi ini sudah sangat
tua. Seperti disebutkan di atas, menurut Wahbah definisi ini pertama sekali
diperkenalkan oleh Imam asy-Syafi`i, dan setelah itu terus digunakan oleh Al-
Ghazaliy (w. 505 H), Al-Raziy (w. 606 H) dan Al-Asnawiy (w. 772 H). Pada zaman
4 5

sekarang definisi di atas masih digunakan oleh Abu Zahrah, Salam Madkur, Yusuf
al-Qaradhawiy, dan banyak buku ushul fiqih lainnya. Penulis-penulis Indonesia pun
cenderung menggunakan definisi yang sama, karena mereka pada umumnya hanya
mengutip dari buku-buku berbahasa Arab.

Dari uraian-uraian yang ada, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan
“ilmu” dalam definisi di atas adalah pengetahuan (tahu, al-idraku muthlaqan) baik
yang bersifat yaqin ataupun zhan tentang hukum syara` yang diperoleh dari dalil;
artinya diperoleh melalui istinbath (penalaran atau pertimbangan rasional). Jadi
aturan syara` yang sudah cukup jelas (di dalam nash) sehingga tidak perlu
diistinbathkan seperti adanya kewajiban shalat dan zakat tidak dianggap sebagai
fiqih (bukan merupakan pengetahuan yang mendetil yang memerlukan
istinbath). Begitu juga pengetahuan yang diperoleh melalui taqlid tidak dianggap
6

sebagai fiqih (karena diperoleh bukan melalui pengistinbathan sendiri). Karena fiqih
merupakan pengetahuan, maka keberadaan orang yang menguasainya adalah
penting, dan mereka disebut faqih. Menurut para ulama fiqih tidak dapat dilepaskan
dari faqih, dan karena itu ada yang menganggap bahwa fiqih adalah malakah, yang
secara harfiah dapat diartikan dengan kemampuan yang diperoleh dari belajar secara
mendalam dan setelah itu mampu mengaktualisasikannya secara benar dan terus
menerus pada sang faqih. Dengan adanya malakah orang yang menguasai fiqih bukan
saja mahir, tetapi mempunyai semacam “talenta”, atau “kiat” yang dia ciptakan
sendiri berdasarkan pengalamannya, sehingga dapat menjelaskan dan menggunakan
ilmu fiqih yang telah menjadi malakah tersebut secara tepat, akurat, efektif dan
efisienm kapan saja diperlukan. Jadi seseorang dianggap sebagai faqih apabila dia
sudah mempunyai malakah di dalam fiqih, yaitu mempunyai kemampuan untuk
menemukan hukum dari dalil, atau kemampuan untuk menemukan hukum syara`
dari masalah-masalah di bawah sinaran dalil, secara sedemikian rupa sehingga kita
beranggapan bahwa temuan atau pengajarannya itulah yang paling tepat dan paling
maslahat. Mungkin karena cara pandang inilah maka pembahasan tentang siapa yang
berhak menjadi faqih (berhak melakukan istinbath) termasuk masalah yang dibahas
secara mendalam di dalam ushul fiqih.

Sedang maksud dari al-hukm al-syar`iy(biasa diterjemahkan dengan hukum syara`,


tetapi dapat juga disebut sebagai norma syara`), adalah hukum (norma hukum) yang
7

disimpulkan dari nash Al-qur’an dan Sunnah, yang berhubungan dengan perbuatan
seseorang. Dalam fiqih (ushul fiqih) hukum syara` (norma syara`) dibagi menjadi al-
hukm al-taklifiy (hukum taklifi) dan al-hukm al-wadh`iy (hukum wadh`i). Hukum taklifi
adalah norma yang berisi perintah (yang mutlak yaitu wajib dan yang tidak mutlak
yaitu sunat) dan larangan (yang mutlak yaitu haram dan yang tidak mutlak yaitu
makruh) serta norma netral yang beisi keizinan (boleh dikerjakan dan boleh tidak
dikerjakan). Sedang hukum wadh`i adalah norma yang menjelaskan atau
berhubungan dengan kondisi dari sesuatu perbuatan, yaitu sebab (menjadi sebab
untuk suatu perbuatan), syarat (menjadi syarat untuk suatu perbuatan), mani`
(menjadi mani` [penghalang] untuk suatu perbuatan), serta sah, batal, fasid, `azimah,
dan rukhsah. Uraian lanjut tentang hal ini dapat dilihat dalam buku-buku ushul fiqih.

Adapan istilah “yang bersifat furu`iyah (`amaliah)” digunakan untuk menunjuk


semua “perbuatan lahir” manusia, guna membedakannya dengan “perbuatan batin
atau keyakinan” manusia, yang dalam kajian keislaman menjadi objek ilmu kalam.
Perbuatan (maksudnya perbuatan lahir manusia) dalam fiqih dipisahkan menjadi tiga
yaitu, perbuatan anggota tubuh (seperti menyerahkan, menerima, melindungi,
membayar, mencuri, memukul, memakan), perbuatan dalam bentuk ucapan (seperti
pengakuan, pernyataan dalam sebuah transaksi, tuduhan yang dilontarkan terhadap
seseorang, bacaan dalam ibadat), dan perbuatan hati yaitu niat (maksud atau kata
hati yang menjadi dasar dari suatu perbuatan). Hukum syara` di atas, baik yang
taklifi ataupun yang wadh`i akan melekat pada ketiga jenis perbuatan tersebut. Jadi
ada niat yang dari satu segi dianggap wajib (sunat atau mubah) sedang dari segi yang
lain diangap sebagai (menjadi) sebab atau syarat.

Sedangkan istilah “dalil yang tafshili” digunakan untuk menunjuk dalil yang
mendasari sebuah peraturan. Jadi pernyataan bahwa sesuatu peraturan adalah
berdasar (berdalil) ayat Al-qur’an (secara umum) tidak dianggap cukup, harus
menyebut ayat berapa dan surat apa. Begitu juga sekiranya menyebut berdasar
(berdalil) kepada hadis maka harus disebutkan matan hadisnya disertai dengan
kualitas sanadnya. Begitu juga kalau dikatakan berdalil kepada qiyas atau istihsan,
harus menjelaskan bagaimana logika dan urutan berpikirnya sehingga dapat
diketahui apakah jalan pikiran tersebut sudah memenuhi syarat atau belum.
Pernyataan bahwa Al-qur’an dan hadis (sunnah) adalah dalil atau qiyas adalah dalil,
serta uraian untuk membuktikan bahwa Al-qur’an, qiyas dan seterusnya itu
mempunyai otoritas sebagai dalil, dianggap sebagai “dalil umum” dan itu diuraikan
di dalam ushul fiqih. Sedang dalil di dalam hadis, seperti disebutkan tadi harus
berhubungan langsung dengan perbuatan yang sedang diselesaikan atau dicarikan
hukumnya itu.

Di pihak lain, dengan memperhatikan uraian para ulama di dalam ushul fiqih, dapat
juga disimpulkan bahwa perhatian para ulama ketika menguraikan dan menjelaskan
definisi fiqih, kelihatannya sangat terfokus pada: bagaimana cara memperoleh, atau
mengambil hukum syara` (meng-istinbath dan meng-istidlal) dari nash (dalil tersebut)
dan siapa yang berhak melakukannya dan apa persyaratannya. Sedang masalah
lainnya yang pada masa sekarang sering dipertanyakan ketika
membahas/menguraikan hukum, seperti (1) siapa yang menjadi subjek hukum dan
apa persyaratannya serta (2) bagaimana cara merumuskan pengertian dari sesuatu
perbuatan hukum, cenderung tidak dibahas secara mendalam. Buku-buku (ushul
fiqih) yang membahas masalah subjek hukum secara relatif memadai hanyalah
buku-buku bermazhab Hanafi, sedang buku ushul fiqih lain hanya membahasnya
secara sambil lalu. Adapun mengenai metode atau cara untuk menentukan atau
membuat pengertian dari sesuatu perbuatan, (meliputi definisi, cakupannya, bedanya
dengan perbuatan lain yang hampir sama), atau perbuatan bagaimana yang akan
dikenai hukum syara`, dengan kata lain apa yang dimaksud dengan perbuatan
hukum, bagaimana menentukan rukun dan syaratnya, dan bagaimana
mengelompokkannya cenderung tidak diuraikan ketika menjelaskan definisi fiqih
ataupun ushul fiqih. Lebih dari itu, bukan hanya tidak dijelaskan ketika menguraikan
definisi, tetapi di dalam buku-buku ushul fiqih pun uraian tentang ini cenderung
tidak dibahas dan tidak diberi perhatian secara memadai. Ijtihad ulama masa awal
(Sahabat dan tabi`in serta tabi` tabi`in) mengenai pengertian dari sebuah perbuatan
hukum, cenderung diterima menurut apa adanya, sehingga yang ditambahkan oleh
ulama mazhab hanyalah menetapkan atau merincikannya sehingga menjadi jelas
rukun dan syaratnya. Biasanya mereka tidak memberi penjelasan yang memadai
(metodologis) tentang bagaimana kesimpulan itu dibuat. 8

Begitu juga pembahasan tentang pihak atau orang yang bertanggung jawab untuk
menegakkan hukum syara` tersebut, cenderung tidak dibahas di dalam ushul fiqih.
Sehingga pembahasan tentang fiqih cenderung berhenti pada pencarian dan
perumusan norma, tidak sampai kepada upaya penegakan hukumnya. Sedangkan
buku fiqih, dalamkaitan dengan penegakan hukumini, biasanya hanya menyatakan
bahwa umat Islam wajib melaksanakan fiqih karena mereka adalah muslim, karena
mereka harus patuh kepada Allah. Adapun penegakan fiqih ketika ada pelanggaran,
biasanya hanya dibahas secara sambil lalu, sekedar dinyatakan ada bagian fiqih yang
menjadi tugas individu untuk menegakkannya, ada yang menjadi tugas masyarakat
menegakkannya, dan ada yang menjadi tugas pemerintah. Individu sekiranya
melakukan kesalahan diminta untuk bertaubat, misalnya dengan berjanji tidak akan
mengulangi kesalahan itu lagi, atau membayar ganti rugi atau meminta maaf
sekiranya berkaitan dengan hak orang lain, tanpa perlu menunggu gugatan atau
putusan pengadilan. Pelaksanaan fiqih diserahkan kepada masyarakat sekiranya
kesalahan yang terjadi merupakan sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase. Sedang bagian yang menjadi tugas pemerintah adalah bidang-bidang yang
tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase atau perdamaian (yang di atas tadi sudah
disebutkan sebagai siyasah syar`iyyah), seperti penjatuhan hukuman. Tetapi
pembahasan rinci tentang pihak yang bertugas dan berwenang (bertanggung jawab)
terhadap penegakan hukum cenderung tidak ditemukan baik di dalam ushul fiqih,
fiqih ataupun siyasah syar`iyyah. Masalah yang berkaitan dengan hukum acara yang
dibahas di dalam fiqih (maksudnya buku fiqih yang lengkap, yang membahas semua
masalah fiqih dari awal sampai akhir) relatif sedikit sekali, sehingga uraian tersebut
tidak memadai untuk digunakan sebagai pegangan. Kalau uraian ini digunakan maka
dapat dikatakan, para hakim dan aparat penegak hukum harus berijithad dalam
banyak segi pada setiap kasus yang mereka hadapi, sehinga kepastian hukum tidak
akan terwujud. Masalah hukum acara sering dibahas terpisah dari buku fiqih yang
9

lengkap. Biasanya dibahas dalam buku-buku tersendiri, dan karena itu ada yang
menganggapnya tidak mempunyai hubungan yang erat dengan fiqih dalam arti ruang
ijtihad dan kebebasan pemerintah (negara, aparat pengak hukum) untuk berijtihad,
mengubah, mengembangkan dan menyesuaikannya dengan keperluan semasa dan
setempat adalah besar sekali. Karena itu bidang ini barangkali dapat disebut sebagai
bidang utama darisiyasah syar`iyyah.

Di zaman modern ada beberapa definisi fiqih yang diungkapkan secara relatif
berbeda. Dalam kitab kodifikasi fiqihMajallat al-Ahkam al-`Adliyyahmisalnya, fiqih 10

didefinisikan dengan:ilmu tentang hukum syara` yang bersifat ilmiah (Pasal 1); jadi
lafaz furu`iyyahatau `amaliyyah yang digunakan dalam definisi-definisi sebelumnya,
dalam kitab kodifikasi ini ditukar dengan lafaz`ilmiyyah. Dengan pengertian ini
11

hukum syara’ tidak dihubungkan dengan perbuatan, tetapi dihubungkan dengan cara
memperolehnya yang harus bersifat ilmiah. Namun penjelasan yang diberikan atas
definisi yang baru ini relatif sama saja dengan penjelasan yang diberikan atas
definsi-definisi yang sudah ada sebelumnya, sehingga boleh dikatakan tidak ada
perubahan penting yang dihasilkan oleh penggunaanlafaz baru tersebut. Sebagian
buku yang lain, misalnya Abdul Wahab Khallaf menukar kata “ilmu” dengan
“kaidah”, sehingga definisi tersebut menjadi: Seperangkat (himpunan) kaidah hukum-
hukum syara` yang bersifat furu`iyah yang berhasil didapatkan dari dalinya yang tafshiliyah
melalui penalaran atau istidlal. Dengan definisi ini produk dari kegiatan fuqaha’ pun
dapat diangap sebagai fiqih dan bukan lagi terbatas pada proses pembuatan fiqih atau
kemampuan membuat fiqih itu sendiri.

Sejalan dengan pendapat ini, Mushtafa Ahmad Al-Zarqa’, seorang ulama


kontemporer dari Suriah menyatakan bahwa fiqih mempunyai dua makna: yang
pertama fiqih sebagai ilmu (pengetahuan) tentang hukum syara` beserta dengan dalilnya;
dan yang keduafiqih sebagai himpunan kaidah (norma) yang berhubungan dengan
perbuatan praktis yang berlaku di dalam Islam. Dalam arti pertama, fiqih adalah
kemampuan atau proses untuk menemukan fiqih. Sedang dalam arti yang kedua fiqih
adalah produk atau hasil dari kegiatan yang pertama tadi. Pengetahuan tentang
hukum syara’ ini menurut beliau diketahui melalui pengaturannya secara jelas atau
hanya sekedar melalui isyarat di dalam Al-qur’an atau penjelasan Rasulullah, atau
melalui pengaturannya di dalam ijma`, atau melalui ijtihad para ulama atas nash Al-
qur’an dan hadis, baik pada masa lalu atau masa sekarang, dan juga melalui prinsip-
prinsip serta maqashid (tujuan) syari`ah.
12

Dengan demikian definisi fiqih, dari masa lalu sampai sekarang, cenderung tetap
terfokus pada upaya penyusunan atau penetapan hukum syara` kepada perbuatan-
perbuatan, dengan menyebutkan dalil-dalilnya secara jelas. Definisi tersebut seperti
terlihat, belum menyentuh aspek yang lainnya, seperti tata cara perumusan
pengertian dari perbuatan hukum atau pembahasan tentang subjek hukum. Dengan
demikian sekiranya fiqih (bersama-sama dengan ushul fiqih) dianggap sebagai
disiplin ilmu yang sejajar dengan ilmu hukum, maka definisi di atas perlu
disempurnakan dan dirumuskan ulang, sehingga definisi fiqih bukan hanya sekedar
berisi cara menemukan hukum, tetapi juga akan mencakup pembahasan yang lebih
luas dari itu, mencakup cara mendefinisikan sesuatu perbuatan hukum, cara
menegakkan hukum dan mungkin lebih dari itu cara untuk memilih sistem yang akan
digunakan. 13

B. Karakteristik, Isi dan Sitematika Fiqih

Mengenai substansi atau materi yang menjadi isi fiqih dan sistematikanya, rasanya
perlu didahului dengan sedikit uraian tentang sejarah kelahiran fiqih. Semua ulama
tahu dan sepakat bahwa Nabi Muhammad bukanlah ahli hukum dan beliau tidak
mengajarkan hukum secara khusus kepada umat atau Sahabatnya. Beliau, seperti
disebutkan dalam beberapa ayat dan hadis, diutus untuk membawa hidayah,
memberi petunjuk dan bimbingan agar manusia hidup berbahagia di dunia dan di
akhirat, di bawah sinaran dan bimbingan ilahiah, keluar dari kegelapan cara berpikir
jahiliah. Mungkin secara sederhana dapat disebut bertugas untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas moral masyarakat. Beliau mengajarkan pokok-pokok
keimanan, pokok-pokok keislaman (peribadatan), pokok-pokok tata perilaku sehari-
hari (tata peri laku pergaulan hidup), baik sebagai individu dalam hubungannya
dengan khalik, sebagai individu dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan
dengan sesama manusia sebagai anggota masyarakat, dan juga dalam berhubungan
dengan alam lingkungannya. Hukum-hukum yang tertera dalam Al-qur’an pada
umumnya adalah respon atau jawaban atas kebutuhan nyata yang dialami
masyarakat. Jadi Al-qur’an dan begitu juga Rasulullah di dalam hadis, tidak
berbicara tentang teori, sistem, ataupun paradigma hukum. Sistem yang kita kenal
sekarang, baik dalam membagi-bagi isi fiqih dan mengurutkannya dalamsistematika
tertentu, dalam merumuskan dan menetapkan sistem peradilan, mengenai tata cara
dan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam penegakan fiqih dan sebagainya,
adalah hasil pemikiran para ulama setelah Rasulullah wafat, yang berkembang
sedikit demi sedikit, berdasarkan bimbingan dan sinaran yang diperoleh dari Al-
qur’an dan hadis (sunnah), serta kebutuhan nyata masyarakat tempat para ulama itu
hidup.

Fiqih atau hukum fiqih seperti yang kita pahami sekarang dibuat dan disimpulkan
ulama dari ayat-ayat Al-qur’an dan hadis-hadis (bimbingan Rasulullah) dengan
metode dan pertimbangan tertentu, sesuai dengan kebutuhan, setelah beliau wafat.
Pada masa Sahabat, khususnya masa Khulafa’ur Rasyidin hukum yang dibuat dan
dirumuskan pada dasarnya adalah sekedar mengikuti keperluan dalam arti
menyelesaikan masalah yang timbul di tengah masyarakat, bukan untuk menyusun
sebuah sistem hukum yang lengkap. Karena itu kesimpulan atau ijtihad yang
dihasilkan cenderung bersifat parsial dan ad hoc, bukan merupakan sesuatu yang
dipikirkan dan dirumuskan secara sistematis, padu dan menyeluruh. Kelihatannya
dorongan dasar untuk membuat kesimpulan dan ijtihad tersebut adalah kepatuhan
dan ketaatan kepada Allah, sebagai bagian dari upaya dan ketaatan untuk
menjalankan ajaran agama di satu segi dan menjaga ketertiban masyarakat
berdasarkan sinaran wahyu tersebut dipihak lain. Jadi dorongan utamanya adalah
mematuhi Allah, bukan motivasi politik, ekonomi atau hukum, dalam arti sekedar
mengupayakan adanya ketertiban di tengah masyarakat ataupun olah pikir untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Metode yang mereka gunakan dalam
menghasilkan peraturan-peraturan ini, kelihatannya adalah pengalaman mereka
hidup bersama Rasulullah, atau dengan kata lain keinginan untuk mengikuti
bimbingan dan arahan serta keinginan Rasulullah berdasar pengalaman mereka
hidup bersamanya. Mungkin dapat disebut sebagai metode internalisasi.

Pernyataan bahwa fiqih bersifat parsial tidak dimaksudkan untuk merendahkannya


apalagi untuk menyatakan kelemahan dan kekurangan para ulama yang sudah
berijtihad dan sudah dengan susah payah menghasilkan dan menyusunnya sejak
beberapa abad yang lalu. Dibandingkan dengan hukum yang ada dalam budaya dan
masyarakat lain pada masa itu, tidaklah terlalu berlebih-lebihan sekiranya
disimpulkan bahwa fiqih relatif lebih unggul dan lebih sempurna. Sampai dengan
awal zaman modern, tidak ada masyarakat yang menghasilkan pemikiran tentang
hukum, baik pada kualitas ataupun kuantitas, melebihi masyarakat muslim. Di Eropa
sendiri, hukum baru keluar dari sifat parsial menjadi relatif komprehensif adalah di
awal zaman modern, setelah kelahiran kodifikasi Napoleon, di awal abad kesembilan
belas. Penyebutan fiqih bersifat parsial disini adalah dalam pembandingannya
dengan ilmu hukum modern yang sekarang berkembang, yang bagaimanapun juga
harus diakui adalah lebih komprehensif dari fiqih yang masih merupakan produk
para ulama masa lalu. Dengan kata lain fiqih yang bersifat ilahiah harus dipikirkan
dan disusun ulang sesuai dengan keprluan masyarakat masa kini, dan hanya dengan
cara inilah fiqih dapat menjadi komprehensif dan dapat memenuhi keperluan
masyarakat masa kini.

Karena kuatnya sifat keilahiahan dari fiqih, karena keterikatan anggota masyarakat
terhadap fiqih pada dasarnya berdasarkan keimanan dan kepatuhan kepada Allah,
maka pembahasan tentang pengadilan atau sistem peradilan dan tata cara beracara
atau penegakan hukumoleh negara, kelihatannya menjadi kurang penting di mata
para Sahabat dan mungkin juga para ulama yang datang sesudahnya. Dalam fiqih
penunjukan hakim oleh khalifah (dapat dianggap sebagai cikal bakal dari
pembentukan pengadilan) sudah dilakukan sejak masa khulafa’ur rasyidin. Tetapi
keberadaan badan arbitrase (hakam) juga diakui sejak masa awal, dan mungkin lebih
sering digunakan (karena itu lebih berperan dalam menyelesaikan sengketa)
daripada lembaga resmi pengadilan. Mungkin karena alasan inilah perhatian ulama
kurang terarah pada penegakan hukum, lebih banyak pada upaya merumuskan dan
mengeluarkan hukum dari Al-qur’an dan hadis. Untuk penegakan hukum kaum
muslimin akan mencari caranya sendiri, sehingga tidak perlu diatur secara kaku dan
rinci.

Dipihak lain, karena tidak ada upaya untuk menyusun sebuah sistem yang berdiri
sendiri, maka adat Arab Jahiliah yang tidak bertentangan atau tidak secara nyata
diubah oleh Al-qur’an atau Sunnah Rasulullah, oleh para Sahabat tidak akan diubah,
cenderung diterima bahkan dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam perintah
Allah dan Rasulullah tersebut. Begitu juga setelah mereka melakukan dakwah ke
luar jazirah Arab, melakukan perang pembebasan dan perluasan wilayah,
bersentuhan dengan berbagai adat dan sistem yang mungkin dianggap asing, maka
adat dan budaya yang ada di tengah masyarakat baru tersebut, yang dianggap tidak
bertentangan dengan Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah cenderung diterima, dan
lebih dari itu secara sengaja atau tidak, oleh para Sahabat bahkan imam mazhab
diintegrasikan sehingga menjadi bagian dari fiqih. Dengan demikian fiqih ketika
14

pertama lahir cenderung merupakan kumpulan dari bimbingan untuk melakukan


ibadah dan bimbingan untuk menyelesaikan kasus-kasus kongkrit kemasyarakatan
yang dihadapi, sesuai keadaan di daerah masing-masing. Jadi bukan merupakan
sebuah sistem hukum dengan struktur yang padu, yang memang dirancang dan
dipikirkan untuk itu. Sepanjang bacaan penulis tidak ada upaya para Sahabat untuk
mengubah seluruh hukum dan adat yang ada disesuatu daerah dan menggantikannya
dengan hukum baru berdasarkan fiqih. Kuat dugaan para Sahabat (dan ulama
sesudah mereka) menyusun materi-materi fiqih adalah sebagai jawaban atas
keperluan dan tuntutan nyata masyarakat, dalam upaya menjadikan mereka berada
dalam ketaatan kepada Allah, melaksanakan perintah yang ada dalam Al-qur’an dan
sunnah Rasulullah, agar terhindar dari melanggar tuntunan Allah. Bahwa hal
tersebut bukan atau belum merupakan sebuah sistem yang padu, atau hanya sekedar
modifikasi dari hukum yang lama—untuk menyesuaikannya dengan tuntunan dan
ruh syari`at, kemungkinan besar tidak menjadi perhatian mereka, dan juga tidak
dapat digunakan untuk merendahkan hasil gemilang yang telah mereka peroleh.

Upaya menyusun fiqih dalam sebuah sistem atau struktur yang relatif padu
kelihatannya baru muncul pada masa belakangan, ketika imam mazhab berupaya
mensistematisasi bahan yang ada sejak masa Sahabat dalam sebuah urutan dan tata
aturan yang relatif padu, mencakup dan sistematis (paling kurang lebih sistematis).
Upaya sistematisasi ini dalam catatan sejarah, tampaknya didorong oleh kenyataan
bahwa metode dan praktek penyusunan (pengijtihadan, pengistinbatahan) yang
diterapkan oleh Sahabat (keinginan untuk taat kepada Allah yang dipandu oleh iman
dan pengalaman semata), sudah tidak dapat memenuhi keperluan masyarakat, dan
tidak dapat dipertahankan lagi. Pada generasi tabi`in (generasi sesudah Sahabat),
terjadi pertambahan jumlah umat Islam di luar tanah Arab yang kuat dugaan
sangatlah spektakuler. Sebagian dari mereka adalah orang yang terdidik dan cerdik
cendekia dalam masyarakat atau agama yang sebelumnya mereka peluk. Sebagian
dari mereka setelah memeluk Islam mampu mengembangkan diri sehingga menjadi
ulama. Sebagian dari mereka masuk Islam dengan tulus dan menjadi ulama yang
15

keluasan ilmu dan kepahamannya tentang ruh dan tujuan syari`at tidak perlu
diragukan, sehingga mereka sangat dihormati. Tetapi sebagian dari mereka tidaklah
demikian. Ada diantara mereka yang pemahamannya tentang Islam tidak
semendalam pemahaman Sahabat yang sudah hidup dan bergaul dengan Rasulullah.
Di pihak lain, sebagian dari mereka, baik karena tidak mampu menangkap ruh
syari`at, atau karena keterikatan yang masih tinggi pada budaya asal, atau karena
kecenderungan politik atau karena sebab-sebab lainnya, berusaha menafsirkan Al-
qur’an dan hadis Rasulullah dengan latar belakang budaya, adat istiadat dan
kepercayaan mereka sebelumnya. Kecenderungan dan kegiatan seperti ini, sampai
batas tertentu diizinkan karena akan dapat mempekaya fiqih dan lebih mendekatkan
syari`at dengan masyarakat dari berbagai latar budaya tersebut. Tetapi harus diakui
juga, sampai batas tertentu kegiatan ini telah menyebabkan bias, bahkan
menyebabkan penyimpulan hukum yang bertentangan dengan tujuannya semula. Di
pihak lain terjadi berbagai peristiwa politik dan perebutan kekuasaan yang
mempengaruhi paham keagamaan, sampai ke tingkat ada yang berani memalsukan
hadis Rasulullah untuk kepentingan duniawi mereka. Keadaan ini mendorong para
16

ulama untuk merumuskan fiqih secara lebih sistematis, teliti dan hati-hati sehingga
dapat lebih dipertanggung jawabkan.

Namun perlu ditegaskan kembali bahwa kecenderungan untuk menjadikan fiqih


sebagai sarana untuk taat dan menjalankan perintah Allah Swt. kelihatannya tetap
lebih menonjol dari upaya menyusun sebuah kumpulan hukum yang akan dijalankan
oleh negara atau pengadilan untuk menjaga ketertiban masyarakat. Kesimpulan ini
penulis tarik berdasarkan lima alasan sebagai berikut.
1. Pengaitan semua perbuatan dengan azab dan pahala akhirat yang sangat menonjol;
2. ketiadaan pemisahan bidang ibadat dan bidang lainnya, serta penonjolan bidang ibadat
yang relatif sangat tinggi, sampai separuh isi kitab fiqih;
3. pembahasan peraturan atau hukum cenderung terbatas pada masalah-masalah yang
disebutkan dan disinggung di dalam Al-qur’an dan Hadis (dan masalah baru yang
muncul pada masa Sahabata), sehingga masalah yang tidak disinggung oleh Al-qur’an
dan hadis cenderung terabaikan;
4. upaya penegakan hukum di tengah masyarakat oleh aparat penegak hukum tidak
dibahas secara memadai, bahkan mengenai tertib pengadilan dan hukum acara pun
cenderung dibahas sekedarnya saja;
5. usul salah seorang menteri khalifah waktu itu, agar dibuat sebuah kitab hukum yang
akan digunakan di seluruh wilayah negara sebagai upaya unifikasi tidak diterima oleh
para ulama, dengan alasan semua orang (ulama) diberi izin untuk berijitihad sehingga
tidak ada hak seorang ulama untuk memaksakan pendapatnya kepada orang (ulama)
lain, dan lebih dari itu keadaan (adat dan budaya) di berbagai daerah tidaklah sama,
sehingga penyusunan dan pembuatan hanya satu hukum untuk semua wilayah tersebut,
sangat boleh jadi akan menimbulkan kesulitan serius paling kurang untuk sebaian dari
mereka.

Penjelasan lebih lanjut atas lima poin di atas dapat diberikan sebagai berikut.
Pertama, kecenderungan ulama untuk mengaitkan ketentuan fiqih dengan azab dan
pahala di akhirat tetap lebih menonjol dari upaya mengaitkannya dengan penjatuhan
hukuman atau keharusan campur tangan penguasa untuk menjalankan hukum. Pada
jual beli dan nikah umpamanya, para ulama cenderung membahas secara panjang
lebar hukum dasar dari dua perbuatan tersebut, apakah mubah, sunat atau wajib.
Setelah itu mereka membahas rukun dan persyaratannya agar kedua bentuk akad ini
dianggap sah dan memenuhi syarat. Setelah ini mereka bahas pula akibat dan
konsekwensi dari perbuatan hukum tersebut. Tetapi pembahasan tentang akibat dan
konsekwensi dari tersebut, cenderung tidak selengkap pembahasan tentang hukum
dasar dan anjuran untuk berjual beli dan menikah. Dengan kata lain, hubungan
hukum yang muncul akibat adanya akad cenderung tidak dibahas secara memadai,
sehingga bagaimana hubungan hukum antara suami dengan isteri sebagai contoh;
apa yang menjadi hak dan kewajiban kedua belah pihak selama di dalam perkawinan
cenderung tidak terjelaskan secara memadai apalagi rinci. Jadi pembahasan bahwa
pernikahan akan memberikan banyak pahala atau dosa lebih menonjol dari
pembahasan tentang apa yang harus dilakukan para pihak termasuk hakim sekiranya
terjadi sengketa antara suami dengan isteri.

Kedua, buku fiqih yang lengkap selalu memulai pembahasannya dengan bagian
ibadat, dan bagian ibadat tetap merupakan bagian fiqih yang dominan dalam semua
buku fiqih yang lengkap. Dalam kebanyakan kitab fiqih (yang lengkap, bukan yang
membahas topik atau bagian tertentu saja), bagian ibadat hampir tidak pernah kurang
dari separuh isi kitab. Begitu juga pernyataan tentang adanya konsekuensi akhirat
(suatu perbuatan adalah berpahala atau berdosa) tetap lebih menonjol dari
pernyataan tentang adanya akibat hukum yang bersifat duniawi, seperti penjatuhan
hukuman atau adanya hak serta kewajiban yang timbul akibat sesuatu perbuatan
hukum. Jadi penjelasan bahwa mencuri diberi hukum haram misalnya, adalah lebih
menonjol dari pernyataan mengenai bagaimana seorang pencuri harus diadili, lantas
dibuktikan bersalah dan setelah itu dijatuhi hukuman. Seperti telah diuraikan
sebelumnya, masalah keterkaitan dengan pengadilan cenderung dibahas hanya
secara sederhana, tidak sampai mendalam, bahkan ada yang tidak dibahas sama
sekali. Mengenai kitab-kitab fiqih yang tidak lengkap, sekiranya dibandingkan
antara yang membahas ibadat dengan bukan ibadat, dari pengamatan sekilas penulis
dapat diketahui, bahwa kitab yang membahas ibadat adalah lebih banyak dari kitab
yang membahas maslah nikah atau jual beli ataupun jinayat. 17

Ketiga, sekiranya kitab fiqih diperhatikan, maka pembahasannya cenderung


mengikuti masalah yang pernah terjadi pada masa Rasulullah dan Sahabat, atau yang
tersebut di dalam Al-qur’an atau hadis saja. Masalah baru yang tidak terjadi atau
tidak memerlukan pemecahan pada masa Rasulullah dan Sahabat cenderung tidak
dibahas, tetapi dikembalikan kepada adat atau kebijakan penguasa setempat, dan ada
juga yang secara begitu saja dimasukkan ke dalam fiqih. Dengan demikian aturan
tentang penguasaan tanah pertanian misalnya, cenderung mengikuti dan
melestarikan kebiasaan yang ada di berbagai daerah pada masa itu (sistem feodal),
sehingga tidak mendapat bab atau pembahasan khusus di dalam fiqih. Begitu juga
aturan tentang penentuan perbuatan pidana selain yang ada dalam Al-qur’an dan
hadis, cenderung diserahkan kepada kebijakan penguasa (negara), seperti akan
diuraikan di bawah. Masalah peradilan juga dianggap sebagai bagian dari siyasah
syar`iyyah, yang cenderung dibahas secara relatif sangat ringkas.

Keempat, ketika menyangkut dengan tugas dan kewajiban pemerintah, para ulama
cenderung menghindari pembahasan yang bersifat rinci. Kelihatannya para ulama
sudah merasa puas dengan berkata, bahwa masalah tersebut diserahkan kepada
pemerintah untuk memikirkan dan merumuskan tata aturannya sekali gus diberi
tugas dan tanggung jawab untuk menjalankannya. Masalah ta`zir seperti telah
disinggung di atas tadi, cenderung dirumuskan secara singkat dan sederhana saja.
Masalah tersebut diserahkan kepada pemerintah untuk menentukan jenis, rukun dan
syarat-syaratnya; begitu juga tentang jenis dan besaran hukumannya. Jenis alat
pembuktian yang diperlukan serta ukurannya, serta tata cara menjalankan peradilan
dan tata cara pelaksanaan hukumannya pun cenderung diserahkan kepada
pemerintah, dengan kalimat-kalimat yang umum. Semua ini diserahkan kepada
pemerintah untuk menentukannya, berdasar pertimbangan kemaslahatan yang
mereka anggap pantas pada setiap situasi dan keadaan. Di sebagian buku fiqih,
pengertian ta`zir menjadi lebih bahkan sangat longgar lagi sekiranya diukur dengan
ukuran yang berkembang dalam ilmu hukum modern. Menurut sebagian buku fiqih,
hak ayah untuk menasihati anaknya, bahkan sampai batas tertentu menghukumnya
(sebagai bagian dari pendidikan), begitu juga hak suami untuk menasehati isteri
bahkan sampai batas tertentu untuk menghukumnya, begitu juga perlakuan guru
terhadap murid-muridnya, dianggap juga sebagai bagian dari ta`zir. Jadi ta`zir bukan
hanya hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan, tetapi hukuman yang dijatuhkan
oleh orang yang bertanggung jawab (berkuasa) atas anak buahnya dianggap juga
sebagai ta`zir.

Dapat ditambahkan, persyaratan umum yang ditetapkan ulama untuk dipedomani


pemerintah dalam menetapkan suatu perbuatan dapat dijadikan sebagai perbuatan
pidana, adalah maksiat. Maksudnya perbuatan itu dapat digolongkan sebagai
perbuatan maksiat. Begitu juga tentang jenis dan besaran hukuman yang layak dan
patut untuk ditentukan oleh pemerintah atas sesuatu perbuatan pidana, diberikan
kelapangan dan ruang yang relatif sangat luas, yaitu pertimbangan kepatutan dan
keadilan. Dengan kata lain kitab-kitab fiqih tidak mempunyai peraturan tentang
perbuatan pidana di luar hudud dan qishash/diyat. Apa yang disebut sebagai ta`zir
adalah sekedar pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan jenis,
pengertian, bentuk dan pesyaratan dari perbuatannya, jenis dan besar hukumannya,
serta tatacara pembuktian dan prosedur pengadilannya. Semua ini barangkali
menjadi petunjuk bahwa penyusunan fiqih agar individu taat kepada Allah (fiqih)
adalah lebih penting daripada menjadikan pemerintah taat kepada Allah (fiqih), atau
menjadikan aturan fiqih merupakan sistem yang lengkap yang harus dijalankan oleh
pemerintah.
Kelima, adanya perbedaan isi peraturan (fiqih) dan adanya perbedaan dalam tata cara
penerapannya di berbagai wilayah, merisaukan Ibnu al-Muqaffa’, sekretaris
Khalifah Al-Manshur (w 754/136) dan Al-Mahdi (w 775/158). Atas pertimbangan
ketertiban dan kepastian hukum, beliau mengajukan saran kepada Khalifah Al-
Manshur agar dilakukan unifikasi hukum dan unifikasi tatacara penegakannya di
seluruh wilayah kekhalifahan. Khalifah Al-Manshur menerima saran ini dan beliau
meminta Imam Malik—pendiri mazhab maliki (w. 795/179) untuk menyusunnya.
Imam Malik tidak bersedia, karena beliau takut ijtihad (hukum) yang beliau hasilkan
tidak akan sesuai dengan keperluan di berbagai wilayah sehingga akan menyulitkan
penduduk yang ada disana, dan lebih dari itu beliau tidak yakin bahwa kitab fiqih
yang akan dia susun itu nanti terbebas dari kesalahan-kesalahan. Permintaan ini
diulangi kembali oleh Khalifah Al-Mahdi, tetapi tetap ditolak oleh Imam Malik.

Sejak saat ini kelihatannya tidak ada lagi upaya negara untuk menyusun sebuah kitab
hukum baik untuk tujuan unifikasi ataupun sekedar kodifikasi. Penyusunan fiqih
menjadi kewenangan penuh para ulama. Keterlibatan khalifah biasanya terbatas
sekedar pada pengangkatan hakim, dan setelah itu sang hakim bebas menjalankan
hukum sesuai dengan kewenangan yang diberikan khalifah (yang biasanya tidak
mencakup kewenangan di bidang pidana dan pajak, karena dua masalah ini biasanya
tetap merupakan kewenangan khalifah). Khalifah Al-Mahdi mengangkat Abu Yusuf
(w. 798/182) sebagai Qadhi Qudhahdan beliau merupakan Hakim Agung pertama
dalam tradisi Islam. Kenyatan ini juga dapat menjadi petunjuk bahwa upaya
menyusun fiqih untuk keperluan negara terkalahkan oleh perasaan takut berdosa
kepada Allah, karena memaksakan hasil ijtihadnya kepada orang lain. Alasan bahwa
negara memerlukan unifikasi untuk adanya tertib hukum, tidak cukup menjadi
dorongan kepada para ulama untuk memenuhi permintaan tersebut.

Kembali kepada sistematika atau pengelompokan isi kitab fiqih, Imam Abu Hanifah
(w. 767/150) dan Imam Malik cenderung membaginya menjadi dua bagian besar
saja: ibadah dan mu`amalah (adat). Sedang Imam Syafi`i (w. 820/204) membaginya
menjadi empat: ibadat, munakahat, mu`amalat dan jinayat. Konon Imam Syafi`i
membagi materi fiqih menjadi empat bidang, menyesuaikannya dengan empat
gharizah (naluri) yang ada pada manusia yang harus diatur dan disalurkan. Aturan
ibadah perlu untuk mengatur dan mengawasi penyaluran naluri ingin menyembah
Allah yang ada pada manusia; aturan munakahat perlu untuk mengatur dan
mengawasi penyaluran naluri seksual dan berketurunan yang ada pada manusia;
aturan mu`amalat perlu untuk mengatur dan mengawasi penyaluran naluri ingin
memiliki atau mempunyai harta kekayaan yang ada pada manusia; serta aturan
jinayat perlu untuk mengatur, mengawasi dan mencegah naluri merusak yang ada
pada mansuia, yang apabila dibiarkan akan merusak dan mengacaukan kehidupan
manusia. Pembagian menjadi empat ini menyebabkan masing-masing bidang
disebut sebagairubu` (perempat), yaitu rubu` `ibadah,rubu` munakahat,
rubu`mu`amalat dan rubu` jinayat, yang kalau diterjemahkan menjadi: perempat
ibadah, perempat munakahat, perempat mu`amalat dan perempat jinayat.
Dari dasar pemikiran dan landasan pembagian sistematika fiqih di atas semakin
terlihat bahwa penyusunan fiqih tidak dimaksudkan untuk memenuhi keperluan
pemerintah atau negara untuk menjaga ketertiban masyarakat dan juga tidak
dimaksudkan untuk memenuhi keperluan pengadilan untuk menyelesaikan
sengketa. Penyusunan tersebut cenderung untuk memenuhi perintah yang ada dalam
Al-qur’an dan sunnah agar manusia mematuhi dan melaksanakan perintah Allah
dalam kedudukannya sebagai manusia atau hamba yang harus menyembah Allah.
Kalaupun hukum (fiqih) tersebut dimaksudkan dan diperlukan untuk menjaga
ketertiban masyarakat, maka fungsi tersebut bukan sebagai fungsi utama, tetapi
hanya sebagai pelengkap, sebagai bagian dari upaya mengabdi dan menyembah
Allah swt.

Sekiranya kesimpulan di atas dapat diterima, maka semakin mudahlah untuk


memaklumi bahwa pertimbangan `illat (rasio legis, kausa efisien) ataupun maslahat
dalam menghasilkan fiqih oleh para ulama masa lalu tidaklah terlalu menonjol
bahkan sangat boleh jadi akan diabaikan. Keterikatan mereka dengan nash dalam
arti memahami nash secara harfiah terlepas dari keadaan sosial, baik keadaan sosial
masa Rasulullah ataupun keadaan sosial ketika para ulama itu hidup, kelihatannya
semakin lama semakin tinggi. Mayoritas ulama sesudah masa imam mazhab
cenderung berpendapat bahwa makna literal (arti hakiki) dari sesuatu lafaz harus
diikuti, dan hanya ketika makna literal tidak diketahui, atau tidak dapat diikuti, atau
sukar untuk dilaksanakanlah, seseorang boleh beralih kepada makna majas ataupun
takwil. Lebih dari itu maslahat sebagai salah satu pertimbangan dalam memahami
nash akan diterima apabila sejalan dengan makna literal nash. Dalam keadaan
maslahat tidak sejalan dengan makna literal nash maka maslahat tersebut tidak akan
dipertimbangkan. Setelah priode ini, ketika taqlid muncul dan bahkan menguasai
(menjadi) semangat zaman, maka kecenderungan menjadikan fiqih sebagai sarana
untuk taat kepada Allah, dalam arti melakukan pemahaman secara literal dan tidak
mempertimbangan kemaslahatan atau `illat dari sesuatu nash, menjadi semakin
tinggi. Pendapat yang diberikan oleh ulama mazhab cenderung dipahami sebagai
teks yang absolut, yang tidak lagi terikat dengan ruang dan waktu, cenderung
diperlakukan sama dengan syari`at itu sendiri.

Kembali ke isi fiqih di atas, al-Zarqa’ kelihatannya berupaya untuk menyusun ulang
pengelompokan materi fiqih, yang dia bagi menjadi tujuh bidang:
1. Hukum (norma hukum) yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah, seperti shalat,
puasa dan seterusnya, yang akan disebut sebagai ibadat;
2. Hukum (norma hukum) yang berkaitan dengan keluarga seperti
pernikahan, perceraian, hubungan nasab, nafkah, dan seterusnya yang
akan disebut sebagai al-ahwal al-syakhshiyyah (hukum tentang orang).
3. Hukum (norma hukum) yang berkaitan dengan perbuatan orang ketika
berhubungan dengan orang lain di bidang harta kekayaan dan hak-hak,
serta penyelesaian persengketaannya, yang akan disebut sebagai hukum
perdata (al–mu`amalah).
4. Hukum (norma hukum) yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintah atas
rakyat, serta hak dan kewajiban yang berhubungan dengannya secara
timbal balik, yang oleh sebagian fuqaha’ diberi namaal-ahkam al-
sulthaniyyah dan oleh sebagiannya diberi nama al-siyasah al-syar`iyyah. Dalam
istilah sekarang bagian ini masuk ke dalam hukum tata negara (al-huquq al-
dusturiyyah) dan hukum tata pemerintahan (al-huquq al-idariyyah).
5. Hukum (norma hukum) yang berkaitan dengan penjatuhan hukuman
terhadap orang yang melakukan kejahatan serta pengaturan sistem
perlindungan masyarakat, yang akan disebut sebagai al-`uqubat (hukum
pidana).
6. Hukum (norma hukum) yang berkaitan dengan pengaturan hubungan
antara suatu negara muslim dengan negara lainnya, serta mengatur
prinsip-prinsip perdamaian dan peperangan; yang diberi nama al-siyar(jama`
darisirah); yang dalam istilah kontemporer hukumantar negara;
7. Hukum (norma hukum) yang berkaitan dengan perilaku, penetapan sesuatu
sebagai baik atau buruk, yang diberi nama dengan al-adab (perilaku).18

Sekiranya dibandingkan dengan isi dari hukum moden sekarang, apa yang diusulkan
oleh al-Zarqa’ di atas masih juga belum lengkap, masih ada yang mungkin untuk
ditambahkan seperti hukum yang berkaitan dengan benda, seperti hak atas tanah,
dan hak atas kekayaan intelektual; serta hukum dagang dan hukum lingkungan. 19

Lepas dari kekurangan di atas, walaupun al-Zarqa’ sudah menawarkan konsepnya


sejak tahun 40-an yang lalu, di dalam kenyataan belum ada buku fiqih yang disusun
mengikuti model ini. Dua buku fiqih yang penulis anggap penting karena bernuansa
pembaharuan, yang disusun sesudah kehadiran pendapat al-Zarqa’ di atas yaituFiqh
al-Sunnah karangan Sayyid Sabiq (sebagian edisi dicetak dalam tiga jilid, sebagian
lagi empat jilid), dan Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (terakhir berjumlah sepuluh
20 21

jilid) karangan Wahbah Zuhaili, sampai batas tertentu masih mengikuti pola lama,
tetap dibagi kepada empat bidang utama. Kitab yang pertama mengikuti sistematika
fiqih lama secara relatif total. Namun kitab yang kedua sudah menggunakan istilah
yang sedikit berbeda, bagian pertama tetap diberi nama Al-`Ibadah tiga jilid, bagian
kedua diberi nama Al-Nazhariyyat al-Fiqhiyyah wa al-`Uqud wa al-Milkiyyah wa
Tawabi`uha dua jilid, bagian ketiga Al-Fiqh al-`Am satu jilid, dan bagian yang
keempat Al-Ahwal al-Syakhshiyyah dua jilid juga. Dengan demikian, dari segi jumlah
sistematika fiqih pun boleh dikatakan tidak mengalami perubahan yang berarti sejak
pertama dicetuskan oleh para imam mazhab khususnya Imam Syafi`i, sampai ke
masa kita sekarang ini.

Sedikit perkecualian ditemukan pada Az-Zarqa’ dan Wahbah Zuhailiy. Al-Zarqa`


mengusulkan sistematika baru tetapi tidak ada yang mengikutinya, sehingga masih
harus dilihat apakah usulan ini akan berlanjut dan berkembang, atau akan merupakan
pendapat sempalan yang tidak diikuti oleh para ulama lain. Sedang Wahbah tetap
menggunakan sistematika lama, tetapi dengan isi yang sudah tidak sama. Terhadap
istilah dan sistematika yang digunakan Wahbah ada tiga catatan yang ingin penulis
sampaikan. Pertama, adanya penggunaan istilah baru kelihatannya tidak mendorong
Wahbah untuk mengubah jumlah sistematika, karena pembagiannya masih tetap
empat, sama seperti yang ada dalam pembagian Imam Syafi`i. Kedua, dari segi isi,
pada bagian yang kedua, sudah muncul istilah al-nazhariyyat al-fiqhiyyah (teori-teori
fiqih) yang dalam sistematika lama tidak ditemukan, dan memang beliau sudah
berupaya untuk memasukkan prinsip, asas dan teori-teori tentang akad (obligasi) ke
dalamnya, sehingga bagian ini sudah berbeda dengan fiqih lama, menjadi lebih luas
dan menjadi lebih padu. Pembahasan tentang teori akad sebelum membahas tentang
akadnya sendiri, penulis anggap penting dan merupakan upaya monumental, karena
pembahasan tentang akad tidak lagi bersifat lepas dan terpisah-pisah. Sudah ada
22

upaya untuk mengikatnya menjadi satu kesatuan yang bulat, yang didukung oleh
teori dan prinsip-prinsip. Karena itu akan sangat baik sekiranya pembahasan tentang
prinsip dan teori ini tidak hanya diberikan terhadap bidang perikatan (akad,
obligasi), tetapi juga dimasukkan di bidang ibadah, munakahat dan jinayat. Ketiga,
untuk bagian yang ketiga digunakan istilah yang relatif baru, yang kelihatannya tidak
digunakan dan belum diusulkan oleh ulama lain pada masa sebelumnya. Lebih dari
itu, isinya pun kelihatannya relatif berbeda dengan kitab fiqih tradisional, telah
diberi perluasan sebagai berikut. Bab petama tentang Al-Hudud al-Syar`iyyah, bab
yang kedua Al-Ta`zir, bab yang ketiga, Al-Jinayat wa `Uqubatuha (Al-Qishash wa al-
Diyyat), bab yang keempat, Al-Jihad wa Tawabi`uh, bab yang kelima, Al-Qadha’ wa
Thuruqu Itsbat al-Haq, bab yang keenam, Nizham al-Hukm fi al-Islam. Bab yang terakhir
ini beliau isi dengan tiga pasal, pertama Al-Siyadah-Sulthah al-Tasyri` al-`Ulya fi al-
Hukm al-Islamiy(kekuasaan legislasi); yang keduaSulthah al-Tanfidz al-
`Ulya (kekuasaan eksekutif) dan yang ketiga al-Sulthah al-Qadhaiyyah fi al-
Islam (kekuasaan yudikatif). Pembahasan ini berisi masalah-masalah yang
sebelumnya tidak ada di dalam fiqih, sehingga isi bab ini relatif sudah sangat luas
sekiranya dibandingkan dengan fiqih lama. Apa yang kita sebut sebagai hukum tata
negara, termasuk sistem peradilan, sampai batas tertentu sudah beliau bahas di dalam
bagian ini.

Dari uraian di atas terlihat, walaupun tetap masih membaginya menjadi empat
bagian, beliau sudah menggunakan istilah baru dan sudah memasukkan beberapa
pembaruan yang relatif mendasar, yaitu memasukkan hukum yag berkaitan dengan
tata negara, mengenai adanya pembagian kekuasaan yan sering disebut sebagai trias
politika. Memasukkan pembahasan ini ke dalam fiqih menurut penulis, secara
langsung atau tidak telah mengakui keberadaan negara bangsa, dan mengakui
kewenangan badan legislatif untuk membuat peraturan perundang-undangan sebagai
hukum positif pada suatu negara, sehingga kewenangan ulama untuk merumuskan
fiqih yang pada masa sebelumnya secara serta merta menjadi hukum positif menjadi
tergeser dan perlu ditata ulang. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa dari segi
isi sudah ada perubahan penting yang dilakukan oleh Wahbah al-Zuhailiy, yang
tentu sangat kita harapkan untuk terus dikuti dan disempurnakan lagi oleh para
ulama yang datang kemudian.
C. Priodesasi Perkembangan Fiqih

Beralih ke perkembangan fiqih, penulis membaginya menjadi enam priode, satu


priode pra fiqih dan lima priode fiqih. Priode pertama adalah priode priode tasyri`
atau pra fiqih yaitu masa kerasulan Muhammad saw. atau masa turun wahyu, yang
lamanya sekitar 23 tahun. Priode ini penuis sebut sebagai masa tasyri` karena inilah
masa turun berbagai perintah dan larangan melalui wahyu, serta masa Rasul
mengajarkan berbagai praktek, baik yang bersangkutan dengan ibadah ataupun
perbuatan hukum lain, yang beliau ingini untuk dikerjakan oleh umatnya. Nabi
Muhammad memberitahu Sahabt sekiranya ada wahyu yang turun dan lantas
memerintahkan mereka (Sahabat yang ditunjuk sebagai sekretaris (dikenal dengan
sebutan para penulis wahyu) untuk menuliskannya secara resmi dan inilah yang kita
sebut sebagai Al-qur’an. Sedang praktek keseharian Nabi, baik dalam bentuk
23

ibadah, perilaku, bimbingan dan pengarahan kepada umat Islam, atau juga
keputusan-keputusan Nabi, baik untuk menyelesaikan persengketaan, atau yang
beliau ambil sebagai kebijakan kenegaraan, juga merupakan wahyu, tetapi tidak
diperintahan oleh Rasulullah untuk ditulis secara resmi sehingga tidak menjadi Al-
qur’an. Bahan ini oleh para ulama disebut sebagai hadis dan baru ditulis secara resmi
sekitar dua abad sesudah Rasulullah wafat. Dua bahan ini dianggap sebagai dalil,
Al-qur’an sebagai dalil pokok dan utama, dan hadis Rasulullah sebagai
pelengkapnya.

Priode ini disebut sebagai pra fiqihkarena keputusan atau ijtihad Rasul dan Sahabat
yang terjadi pada masa ini pada akhirnya dianggap bukan sebagai fiqih, tetapi
sebagai dalil, menjadi bagian dari hadis Rasulullah. Sejarah mencatat bahwa
Rasulullah dalam beberapa hal telah melakukan ijtihad. Kalau ijtihad Rasulullah ini
dianggap salah oleh Allah, maka akan turun wahyu untuk menegur dan
meluruskannya sehingga ijtihad itu menjadi tidak berlaku. Sebaliknya, apabila
24

ijtihad ini tidak ditegur oleh Allah, dan ini yang sering terjadi, maka ijtihad tersebut
dianggap benar. Setelah Rasulullah wafat semua ijtihad ini akan menjadi sunnah
(hadis) dan karena itu menjadi bagian dari dalil. Apabila yang melakukan ijtihad
adalah Sahabat maka hasil ijtihad tersebut akan dikonfirmasikan kepada Rasulullah,
dan beliau akan meneguhkan atau paling kurang menyetujuinya (membiarkannya)
sekiranya beliau anggap benar; dan akan menegur dan memperbaikinya sekiranya
beliau anggap salah. Dengan demikian ijtihad Sahabat tersebut akan meningkat
kedudukannya menjadi hadis paling kurang hadis taqririyah sesudah Rasulullah
wafat. Dengan demikian semua keputusan, bimbingan, larangan atau peristiwa yang
terjadi pada masa Rasulullah baik yang berasal dari wahyu tidak langsung ataupun
berasal dari ijtihad beliau sendiri, akan berubah menjadi sunnah (hadis) setelah
beliau wafat. Dengan kata lain tidak ada keputusan atau hasil ijtihad baik yang
dilakukan oleh Rasulullah ataupun yang dilakukan oleh Sahabat ketika Rasulullah
masih hidup yang dianggap sebagai fiqih.

a. Priode Kesatu
Yang kedua adalah priode fiqih yang pertama yaitu priode Sahabat (dan tabi`in) yang
25

dimulai sejak Rasulullah wafat dan berakhir dengan kewafatan Sahabat yang
terakhir, sekitar tahun 100 H, (untuk memudahkan mungkin dapat diperpanjang
26

sampai saat berakhirnya dinasti Bani Ummayah dan munculnya dinasti Bani Abbas,
tahun 132 H). Para Sahabat dapat dibagi menjadi dua, Sahabat besar yaitu para
Sahabat yang relatif sebaya dengan Rasulullah atau yang sudah Islam sebelum hijrah
dan sudah dewasa ketika hijrah, dan Sahabat kecil yaitu para Sahabat yang umumnya
lahir sesudah masa kerasulan, bahkan ada yang lahir di Madinah ,sehingga ketika
Rasulullah wafat sebagian mereka masih anak-anak. Priode Sahabat Besar adalah
masa sejak Rasulullah wafat sampai akhir khulafa’ur rasyidin (sekitar 45 hijriah),
dan priode Sahabat kecil masa Dinasti Bani Umayyah. Pada masa Sahabat kecil,
kehadiran tabi`in sudah mulai diperhitungkan, dan banyak yang sudah berkiprah
memberikan fatwa, yang dapat disebut sebagai tabi`in besar. Sebagian dari mereka
ini lebih berpengaruh dari Sahabat kecil. Pada bagian ujung priode Sahabat kecil,
sudah mulai berkiprah generasi ketiga yang disebut dengan tabi` tabi’in. Karena hal
tersebut tidaklah salah sekiranya priode ini disebut juga dengan priode Sahabat dan
Tabi`in.

Secara politik masa ini dibedakan menjadi dua bagian penting, masa
pemerintahan Khulafa’ur Rasyidin (11-45 H) dan masa pemerintahan Dinasti Bani
Umayyah (45-132 H). Pada masa yang pertama pengembangan fiqih didominasi oleh
para Sahabat besar (utama), sedang pada masa yang kedua Sahabat besar sudah
meninggal dunia, dan yang tinggal adalah Sahabat kecil yang bersama-sama dengan
tabi`in memegang kendali pengembangn fiqih. Pada paroh kedua priode yang
pertama ini dominasi tabi`in sudah mulai menonjol, walaupun ijtihad dan pendapat
dari Sahabat kecil masih tetap dihargai. Para tabi`in jadi menonjol karena mereka
menjadi murid para Sahabat besar, dan karena itu sebagiannya menjadi lebih alim
dari Sahabat kecil.

Masa ini dapat dianggap sebagai masa yang sangat penting dalam perkembangan
fiqih karena alasan-alasan berikut.

b. Priode Yang Kedua

Ketiga, adalah priode fiqih yang kedua,yaitupriode kelahiran mazhab; yang dimulai
dari kewafatan Sahabat yang terakhir dan mulainya kiprah tokoh mazhab yang
pertama. Abdullah ibn ‘Ibadh pendiri mazhab fiqih Ibadhiah, wafat tahun 705 M/86
H, jadi masih pada priode Sahabat. Sedang mazhab paling tua yang masih
bekembang di kalangan sunni didirikan oleh Abu Hanifah wafat 150 H/767 M.
Untuk menyederhanakan, priode ini dianggap bemula dengan kelahiran Dinasti Bani
Abbas, 132 H) sampai dengan kewafatan tokoh mazhab yang terakhir, Ibnu Jarir al-
Thabari tahun 310 H. Jadi masa ini hanyalah sekitar dua abad, yang secara politik
seluruhnya berada di bawah pemerintahan atau kekuasaan Dinasti Abbasiyah (132-
656 H / 750-1258 M.). Namun begitu kekuasaan Bani Abbas ini tidaklah efektif di
29

seluruh negeri sejak dari awal sampai akhir selamariode fiqih yang kedua ini. Di
berbagai wilayah, di luar kota Baghdad, selama masa ini telah berkuasa berbagai
dinasti, dengan rentang waktu yang berbeda-beda. Yang terpenting dari mereka
adalah: Dinasti Idrisiyah di Marokko (Maghribi), 172-314 / 789-926. Dinasti ini
didirikan oleh Idris bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, karena itu
merupakan dinasti pertama yang beraliran Syi`ah. Dinasti ini berperan penting
dalam penyebaran Islam kepada masyarakat asli Marokko utamanya, Berber. Dinasti
ini berakhir karena dikalahkan oleh Dinasti Fatimiyah, yang juga bermazhab Syi`ah
yang muncul di Suriah dan Mesir. Dinasti Aghlabiyah di Tunisia dan Afrika Utara,
berpusat di Qairawan, 184-296 / 800-909. Dinasti ini berperan dalam menukar
bahasa Latin dengan Bahasa Arab dan dalam menjadikan Islam sebagai agama
mayoritas penduduk di wilayah ini. Dinasti ini juga berhasil menduduki Sicilia, dan
sebagian besar Italia Selatan. Dinasti ini berakhir karena dikalahkan oleh Dinasti
Fathimiyah. Dinasti Samaniyah di daerah Khurasan dan Uzbekistan (Transoksania),
berpusat di Bukhara, 203-395 / 819-1005. Dinasti ini berakir karena dikalahkan oleh
Dinasti Ghaznawiyah. Dinasti Safariyah di daerah Sijistan Iran dan Afghanistan
timur, 253-900 / 867-1495. Dinasti ini bermazhab Khawarij, dan merupakan dinasti
Islam yang paling lama berkuasa, walaupun wilayah yang mereka kuasai relatif
kecil. Dinasti ini berakhir karena dikalahkan oleh Dinasti Ghaznawi, . Dinasti
Tulun di daerah Mesir dan Suriah, 254-292 / 868-905. Dinasti ini merupakan dinasti
yang kekuasaannya paling pendek, hanya mempunyai dua orang khalifah, berakhir
karena dikalahkan oleh pasukan Abbasiyah

c. Priode yang Ketiga

Keempat, adalah priode fiqih yang ketiga, priode pengembangan mazhab; yang
dimulai dari kewafatan tokoh mazhab yang terakhir dalam hal ini Ibn Jarir al-Thabari
(310) sampai kewafatan tiga tokoh pemikir orisinal (mujtahid) yang terakhir Ibnu
Taymiyah 728 H /1328 M, As Syathibi 790 H /1388 M dan Ibnu Khaldun 808 H
/1406 M, yang disederhanakan menjadi tahun 800 H atau 1400 M. Banyak buku
yang mengangap masa pengembangan ini berakhir dengan kehancuran Baghdad dan
keruntuhan Dinasti Bani Abbas pada tahun 1258, dan bukan tahun 1400 seperti
dituliskan di atas. Paling kurang buku-buku tersebut berpendapat bahwa masa
kemunduran dan taqlid dimulai dari masa kehancuran Dinasti Bani Abbas dan bukan
masa sesudahnya. Penulis cenderung berbeda dan memilih kewafatan tiga tokoh di
atas sebagai akhir dari priode pengambangna fiqih, paling kurang karena setelah
kehancuran Baghdad masih ada ulama besar yang berkiprah dan menghasilkan
pemikiran orisinal, sehingga masa taqlid tidaklah betul-betul sudah dimulai. Dengan
kehancuran Baghdad boleh dikatakan kemajuan di dunia Islam bagian timur telah
terhenti dan priode taqlid telah dimulai. Tetapi di dunia Islam bagian barat kemajuan
dan kegiatan berpikir belumlah terhenti, karena adanya tiga pemikir besar yang
disebutkan di atas. Adalah benar bahwa jumlah ulama ini tidaklah besar dan
pengaruhnya pun mungkin sekali tidak banyak bahkan mungkin tidak ada, tetapi
bagaimanapun juga mereka adalah pemikir besar yang pada zaman modern ini
sangat diapresiasi dan dihargai, paling kurang al-Syathibiy, yang seperti akan
diuraikan di bawah sangat menginspirasi upaya tajdid (modernisasi) fiqih. Karena
itu memasukkan mereka ke dalam priode kemunduran menurut penulis akan
menjadikan priodesasi tersebut sebagai tidak mantap ataupun kurang konsisten.
Sekiranya dikaitkan dengan peristiwa politik, maka menurut penulis akan lebih tepat
sekiranya masa kemunduran dikaitkan dengan penaklukan Granada, atau pengusiran
umat Islam dari Spanyol (Andalusia), karena setelah peristiwa ini boleh dikatakan
tidak ada lagi pemikir muslim yang besar.

d. Priode Fiqih yang Keempat

Masa yang kelima adalah priode fiqih yang keempat, priode kemunduran dan
persentuhan dengan Budaya Barat; yang dimulai dengan kewafatan tokoh-tokoh
Mujtahid yang terakhir (disederhanakan menjadi tahun 1400 M. bersamaan dengan
800 H.), dilanjutkan dengan dominasi dan pemberlakuan hukum Barat secara paksa
di berbagai wilayah yang mereka duduki sampai dengan kemunculan Majallat-ul
Ahkam al-`Adliyyah di Turki Usmani tahun 1876. Pada masa ini ada tiga kerajaan
besar di dunia Islam, Dinasti Bani Usman di Turki (1281-1923 / 680-1342)yang
menguasai wilayah yang relatif sangat luas, mulai dari Jazirah Arab, Afrika Utara,
Syam (Palestina, Lebanon, Suriah dan Yordania), Irak, Kurdistan, Turki, Yunani dan
beberapa wilayah lainnya di Eropa. Dinasti Shafawi bermazhab Syi`ah di Iran (1501-
1736 / 907-1148). Dinastiini berakhir ketika Dinasti Qajar merebut kekuasaan dan
menguasai Iran (1193-1342 / 1779-1924). Karena mereka pun bermazhab Syi`ah
maka keberlanjutan Syi`ah sebagai mazhab resmi dan mazhab mayoritas penduduk
di Iran menjadi tersambung dan terus berlanjut sampai ke masa sekarang. Dinasti
Mughal berkuasa di India dan Afghanistan (1526-1858).

e. Priode Fiqih yang Kelima

Kelahiran kodifikasi ini penulis anggap sebagai tonggak pembaharuan penting


sebagai tanda adanya perbedaan priode, paling kurang karena tiga
alasan. Pertama kegiatan ini berupaya menyusun fiqih dengan format baru, meniru
bentuk dan sistematika Eropa, yaitu kodifikasi dengan keterlibatan pemerintah untuk
menyusun dan mengundangkannya. Jadi fiqih dengan format lama kelihatannya
mulai dirasakan tidak memadai lagi sebagai pegangan bagi aparat hukum dalam
upaya menegakkan hukum dan menjaga ketertiban masyarakat. Sedang dari segi isi
seluruhnya mengambil dari mazhab Hanafi. Sebetulnya para penyusun di dalam kata
pengantar sudah merasakan adanya kelemahan dan kesulitan mendasarkan seluruh
materinya kepada mazhab Hanafi, tetapi karena cengkeraman bertaqlid dan larangan
ber-talfiqapalagi berijithad masih kuat sekali, maka upaya yang mungkin mereka
tempuh hanyalah memilih yang paling maslahat dari pendapat-pendapat yang ada
dalam mazhab Hanafi. 54

Anda mungkin juga menyukai