Anda di halaman 1dari 17

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi

Lampungtahun 2017-2018. Data diambil dengan memperhatikan kriteria inklusi

dan eksklusi dengan metode Total Sampling, didapat jumlah sampel sebanyak 81

orang. Data gambaran karakteristik subjek penelitian dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

4.1.1. Analisis univariat

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Usia Subjek Penelitian

Usia (tahun) Frekuensi (N) Persentase (%)

<40 10 12,3
40-60 52 64,2
>60 19 23,5
Total 81 100

80.0% 64.2%

60.0%

40.0% 23.5%
12.3%
20.0%

0.0%
<40 40-60 >60

Usia

Gambar 4.1 Distribusi Frekuensi Usia Subjek Penelitian

43
44

Berdasarkan Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 didapatkan hasil penelitian

karakteristik usia <40 tahun pada penderita karsinoma kolorektal sebanyak 10

orang (12,3%), usia 40-60 tahun sebanyak 52 orang (64,2%) dan usia >60 tahun

sebanyak 19 orang (23,5%).

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Subjek Penelitian

Jenis Kelamin Frekuensi (N) Persentase (%)


Laki-laki 46 56,8

Perempuan 35 43,2
Total 81 100

Jenis Kelamin

43%
Laki-Laki
57%
Perempuan

Gambar 4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Subjek Penelitian

Berdasarkan Tabel 4.2 dan Gambar 4.2 didapatkan hasil penelitian

karakteristik jenis kelamin laki-laki pada penderita karsinoma kolorektal sebanyak 46

orang (65,8%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 35 orang (43,2%).

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga Subjek Penelitian

Riwayat keluarga Frekuensi (N) Persentase (%)

Tidak 22 27,2
Ya 59 72,8
Total 81 100
45

Riwayat Keluarga

27%

Tidak
73% Ya

Gambar 4.3 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga Subjek Penelitian

Berdasarkan Tabel 4.3 dan Gambar 4.3 didapatkan hasil penelitian yang

tidak memiliki riwayat keluarga pada penderita karsinoma kolorektal sebanyak 22

orang (27,2%), dan yang memiliki riwayat keluarga pada penderita karsinoma

kolorektal sebanyak 59 orang(78,2%).

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi IMT Subjek Penelitian

IMT Frekuensi (N) Persentase (%)

<18,50 21 25,9

18,50-24,99 45 55,6

25,00-29,99 12 14,8

>30,00 3 3,7
Total 81 100
46

55.6%
60.0%

50.0%

40.0%
25.9%
30.0%
14.8%
20.0%

10.0% 3.7%

0.0%
<18,50 18,50-24,99 25,00-29,99 >30,00

IMT

Gambar 4.4 Distribusi Frekuensi IMT Subjek Penelitian

Berdasarkan Tabel 4.4 dan Gambar 4.4 didapatkan hasil penelitian IMT

<18,50 pada penderita karsinoma kolorektal sebanyak 21 orang (25,9%),

penelitian IMT 18,50-24,99 pada penderita karsinoma kolorektal sebanyak 45

orang (55,6%), penelitian IMT 25,00-29,99 pada penderita karsinoma kolorektal

sebanyak 12 orang (14,8%), penelitian IMT >30,00 pada penderita karsinoma

kolorektal sebanyak 3 orang (3,7%).

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Riwayat DM Tipe 2 Subjek Penelitian

Riwayat DM Tipe2 Frekuensi (N) Persentase (%)

Tidak 35 43,2
Ya 46 56,8
Total 81 100
47

Riwayat DM Tipe 2
Tidak Ya

43%
57%

Gambar 4.5 Distribusi Frekuensi Riwayat DM Tipe 2 Subjek Penelitian

Berdasarkan Tabel 4.5 dan Gambar 4.5 didapatkan hasil penelitian yang

tidak memiliki riwayat DM Tipe 2 pada penderita karsinoma kolorektal sebanyak

35 orang (43,2%), dan yang memiliki riwayat DM Tipe 2 pada penderita

karsinoma kolorektal sebanyak 46 orang (56,8%).

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Riwayat Merokok Subjek Penelitian

Riwayat Merokok Frekuensi (N) Persentase (%)


Tidak 23 28,4
Ya 58 71,6
Total 81 100

Riwayat Merokok

28%
Tidak
72% Ya

Gambar 4.6 Distribusi Frekuensi Riwayat Merokok Subjek Penelitian


48

Berdasarkan Tabel 4.6 dan Gambar 4.6 didapatkan hasil penelitian yang

tidak memiliki riwayat merokok pada penderita karsinoma kolorektal sebanyak 23

orang (28,4%), dan yang memilikiriwayat merokok pada penderita karsinoma

kolorektal sebanyak 58 orang (71,6%).

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Lokasi Karsinoma Kolorektal Subjek

Penelitian

Lokasi Frekuensi (N) Persentase (%)

Ascendens 10 12,3
Transversum 16 19,8
Desendens 5 6,2
Rektum 50 61,7

Total 81 100

70.0% 61.7%

60.0%
50.0%
40.0%
30.0% 19.8%
20.0% 12.3%
6.2%
10.0%
0.0%
Ascendens Transversum Descendens Rektum

Lokasi

Gambar 4.7 Distribusi Frekuensi Lokasi Karsinoma Kolorektal Subjek

Penelitian
49

Berdasarkan Tabel 4.7 dan Gambar 4.7 didapatkan hasil penelitian lokasi

keganasan di kolon ascendens sebanyak 10 orang (12,3%), lokasi keganasan di

kolon transversum sebanyak 16 orang (19,8%), lokasi keganasan di kolon

descendens sebanyak 5 orang 6,2%), dan lokasi keganasan di rektum sebanyak 50

orang (61,7%).

4.2 Pembahasan

4.2.1 Usia pada Penderita Karsinoma Kolorektal

Data awal tentang insiden kanker kolorektum di Indonesia adalah hasil studi

oleh Sjamsuhidajat (1986) yaitu 1.8 per 100,000. Divisi Bedah Digestif RS Cipto

Mangunkusumo mengumpulkan data pasien kanker kolorektal tahun 2000-2010

dan mendapatkan angka kejadian pada laki-laki adalah 52% dan sisanya adalah

perempuan. Kelompok usia terbanyak adalah usia 45-53 tahun (21.8%) dengan

mean 50.67 tahun, usia termuda yang didapatkan adalah 18 tahun dan tertua 86

tahun (Putranto et al, 2016).

Sementara dari studi oleh Sudoyo dkk. (2013) usia terbanyak pada

kelompok 51-60 tahun. Haggar dan Boushey (2009) menyatakan bahwa insiden

kanker kolorektum meningkat setelah usia 40 tahun, serta pada kelompok usia 60-

79 tahun, angka kejadian 50% lebih tinggi dibandingkan pada kelompok usia

kurang dari 40 tahun.Sementara Sudoyo dkk. (2013) mendapatkan pasien kanker

kolorektal terbanyak pada kelompok usia 51-60 tahun. Haggar dan Boushey (2009)

menyatakan bahwa insiden kanker kolorektal meningkat setelah usia 40 tahun, dan

meningkat tajam setelah usia 50 tahun.


50

Pada penelitian ini mayoritas pasien berada pada rentang usia 40-60 tahun

(64,2 %). Usia termuda yang didapatkan adalah 20 tahun dan yang tertua adalah 76

tahun. Hasil yang sama ditampilkan oleh data dari Divisi Bedah Digestif RSCM

yaitu kelompok usia terbanyak adalah usia 45-53 tahun (21.8%), usia termuda yang

didapatkan adalah 18 tahun dan tertua 86 tahun (Putranto et al, 2016). Hal ini sesuai

dengan teori bahwa pada penuaan terjadi penurunan fungsi sel dan jaringan dalam

mempertahankan struktur dan memperbaiki diri sehingga terjadi penumpukan

kerusakan sel. Maka dari itu secara bertahap daya tahan tubuh manusia akan

menurun, menyebabkan banyaknya distorsi metabolik sehingga muncul penyakit

degeneratif dan age-related disease seperti kanker kolorektal (Darmojo, 2011).

Maka dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan karakteristik pasien

dalam hal usia dari data-data sebelumnya dengan hasil penelitian ini. Persamaan

kelompok usia mayoritas pasien dapat karena penetapan kelompok usia yang sama

pada setiap studi.

4.2.2 Jenis Kelamin pada Penderita Karsinoma Kolorektal

Di Indonesia, kanker kolorektal masih merupakan masalah kesehatan

yang penting. Berdasarkan data profil negara terkait kanker yang dikeluarkan WHO

pada tahun 2014, kanker kolorektal merupakan keganasan yang menempati urutan

kedua terbanyak pada laki-laki dengan jumlah penderita sebesar 15.985 dan urutan

ketiga terbanyak pada perempuan dengan jumlah penderita sebesar 11.787 . Kanker

kolorektum merupakan keganasan ketiga terbanyak pada pria (746.000 kasus, 10%)

dan keganasan kedua terbanyak pada wanita (614.000 kasus, 9,2%) dari kasus

keganasan seluruh dunia. Terdapat variasi geografi yang luas terhadap kejadian
51

kanker kolorektum pada seluruh dunia. Kejadian terbanyak terdapat pada Australia

dan Selandia Baru (dengan Age Specific Rate pada pria 44,8 dan pada wanita 32,2

per 100.000 penduduk) angka kejadian terendah pada Afrika barat (dengan Age

Specific rate pada pria 4,5 dan pada wanita 3,8 per 100.000penduduk).

Di Indonesia, kanker kolorektum menempati urutan ketiga dari

keganasan yang paling banyak dijumpai baik pada laki-laki dan perempuan. Pasien

berjenis kelamin laki-laki berjumlah 95 orang (65.9%) dan perempuan 49 orang

(34.1%). Data dari GLOBOCAN 2018 menyatakan bahwa kejadian kanker

kolorektal lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan (Freddie, 2018).

Data dari Divisi Bedah Digestif RS Cipto Mangunkusumo menampilkan

bahwa angka kejadian pada laki-laki memang didapatkan lebih tinggi (52%) dari

pada perempuan (Putranto et al, 2016).Sementara dari studi oleh Sudoyo dkk.

(2013) didapatkan angka kejadian kanker kolorektum yang lebih tinggi pada laki-

laki (53.8%) dibandingkan perempuan (46.2%). American Cancer Society pada

tahun 2011 mengeluarkan data bahwa insiden kanker kolorektum adalah 35 – 40%

lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Pada penelitian ini menampilkan angka yang lebih tinggi pada laki-laki

yaitu 46 pasien (56,8%) dibandingkan perempuan yaitu 35 pasien (43,2%).

Menurut teori, pada penderita karsinoma kolorektal laki-laki sedikit lebih banyak

dari perempuan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kadar

hormon, aktivitas sehari-hari dan dalam konsumsi makanan pun dianggap bisa

menjadikan perbedaan faktor resiko untuk menjadi karsinoma kolorektal.

Mekanisme yang menyebabkan jenis kelamin menjadi bagian dari faktor resiko
52

karsinoma kolorektal adalah diduga ditemukan perbedaan daya terima reseptor

hormon di sel karsinoma kolorektal dan sel normal (Herman Brenner, 2010).

Dengan demikian, dapat dikatakan terdapat kesesuaian karakteristik

mengenai jenis kelamin yaitu pasien kanker kolorektal laki-laki lebih banyak

dibanding perempuan.

4.2.3 Riwayat Keluarga pada Penderita Karsinoma Kolorektal

Sekitar 20% kasus kanker kolorektal memiliki riwayat keluarga. Anggota

keluarga tingkat pertama (first-degree) pasien yang baru didiagnosa adenoma

kolorektal atau kanker kolorektal invasif memiliki peningkatan resiko kanker

kolorektal. Kerentanan genetik terhadap kanker kolorektal meliputi sindrom Lynch

atau Hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC) dan familial

adenomatous polyposis. Oleh karena itu, riwayat keluarga perlu ditanyakan pada

semua pasien kanker kolorektal (Nasional, 2017).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahdi, dkk menyebutkan bahwa

riwayat keluarga diduga memiliki peranan untuk terjadinya kanker kolorektal. Dari

penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa gambaran pasien kanker

kolorektal berdasarkan riwayat keluarga menunjukkan bahwa sebanyak 9 pasien

(23,08%) memiliki keluarga yang pernah menderita kanker, dengan klasifikasi

kanker paru sebanyak 2 orang, kanker payudara sebanyak 1 orang dan kanker

kolorektal sebanyak 6 orang, sedangkan sebanyak 30 pasien (76,92%) tidak

memiliki keluarga yang pernah menderita kanker (Rahdi, 2015).

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Rahdi dkk, didapatkan hasil

angka yang lebih tinggi pada pasien dengan riwayat kanker pada keluarga yaitu 59
53

pasien (72,8%) dibandingkan pasien yang tidak memiliki riwayat kanker pada

keluarga yaitu 22 pasien (27,2%). Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan

bahwa sekitar lima belas persen dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien

dengan riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan

keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal memiliki kemungkinan dua

kali lebih tinggi untuk menderita kanker kolorektal (Casciato, 2004).

Dengan demikian, dapat dikatakan terdapat kesesuaian karakteristik

mengenai riwayat keluarga yaitu pasien kanker kolorektal dengan riwayat kanker

pada keluarga lebih banyak dibanding yang tidak memiliki riwayat kanker pada

keluarga.

4.2.4 IMT pada Penderita Karsinoma Kolorektal

Peran obesitas sebagai faktor risiko kanker kolorektal sejauh ini masih

belum tegak. Beberapa studi belum dapat menemukan hubungan yang kuat antara

obesitas dengan kanker kolorektal, walaupun untuk beberapa jenis kanker, seperti

kanker ovarium, obesitas merupakan faktor risiko (Bhaskaran K, 2014).

Karena hal ini masih merupakan suatu kontroversi, maka pada penelitian

ini dicoba dilakukan penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dari seluruh pasien

kanker rektum di Departemen Radioterapi RSCM untuk melihat jumlah pasien

kanker kolorektal yang obesitas. Hasilnya menunjukkan bahwa obesitas,

berdasarkan skor IMT >30%, hanya didapatkan pada dua pasien (2.1%). Jumlah

pasien terbanyak berada pada kelompok berat badan normal/normoweight yaitu 62

pasien (63.3%), diikuti kelompok berat badan kurang/underweight 21 pasien

(21.4%) dan kelompok berat badan berlebih/overweight sebanyak 13 pasien


54

(13.2%). Pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa hanya 2.1% pasien obesitas yang

merupakan bagian dari kelompok pasien kanker kolorektal. Tentu saja hal ini belum

menyimpulkan tidak adanya hubungan antara obesitas dengan kanker rektum,

karena studi ini hanya bersifat deskriptif. Untuk menemukan hubungannya,

diperlukan studi lebih lanjut (Putranto et al, 2016).

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Kristianto Y, didapatkan

hasil angka yang lebih tinggi pada pasien dengan IMT 18,50-24,99 (normo weight)

yaitu 45 pasien (55,6%), sedangkan angka terendah pada pasien dengan IMT

>30,00 (obesitas) yaitu 3 pasien (3,7%). Menurut teori, status gizi merupakan

keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi

penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan dalam jangka waktu yang lama.

Penurunan berat badan dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu penurunan berat badan

yang disebabkan oleh gangguan metabolik oleh kanker itu sendiri dan penurunan

berat badan yang disebabkan oleh efek samping dari pengobatan kanker serta

penurunan berat badan yang disebabkan oleh faktor psikososial (Supariasa, 2002).

Menurut Gordon (2002) terdapat perbedaan antara pasien di Asia ataupun

di Eropa dimana di Amerika atau Eropa seorang yang terdiagnosa kanker memiliki

gizi lebih, sedangkan di Asia seperti di Indonesia pasien yang terdiagnosa kanker

memiliki gizi normal dan gizi kurang.

Dengan demikian dapat dikatakan tidak terdapat kesesuaian karakteristik

mengenai IMT pada pasien kanker kolorektal.


55

4.2.5 Riwayat DM pada Penderita Karsinoma Kolorektal

Dewasa ini, hubungan antara diabetes dan kanker telah diakui secara

luas, namun mekanisme yang mendasarinya belum sepenuhnya dipahami meskipun

telah dilakukan beberapa studi secara intensif. Sebuah meta-analisis yang terdiri

dari 15 studi dan melibatkan total lebih dari 2,5 juta orang pada keseluruhan

penelitian tersebut, menunjukkan bahwa diabetes berhubungan dengan peningkatan

risiko kanker kolorektal sebesar 30%. Selain itu, diabetes juga secara signifikan

berhubungan dengan peningkatan mortalitas kanker kolorektal secara umum (HR

1,41; CI 95% 1,18–1,70) (Larsson SC, 2005).

Penelitian ini sejalan dengan Larsson SC, didapatkan hasil angka yang

lebih tinggi pada pasien dengan riwayat DM Tipe 2 yaitu 46 pasien (56,8%),

sedangkan pada pasien yang tidak memiliki riwayat DM Tipe 2 yaitu 35 pasien

(43,2%). Menurut teori, hubungan antara diabetes, terutama diabetes tipe 2 dengan

kanker ini dipercaya karena kedua penyakit tersebut memiliki beberapa faktor

risiko utama yang sama. Faktor risiko tersebut diantaranya proses penuaan, jenis

kelamin, obesitas, inaktifitas fisik, diet, alkohol dan merokok. Selain itu, pada

diabetes tipe 2, resistensi insulin dan hiperinsulinemia, baik hiperinsulinemia

endogen yang terkait dengan resistensi insulin maupun hiperinsulinemia eksogen

yang diinduksi oleh pemberian terapi insulin diduga merupakan faktor risiko yang

menyebabkan berkembangnya kanker (Smith U and Giovannucci E, 2010).

Selain itu, stres oksidatif yang terkait hiperglikemia, akumulasi produk

akhir glikasi dan inflamasi yang terjadi pada penderita diabetes juga dapat

meningkatkan risiko transformasi sel ke arah keganasan (Drzewoski J, 2011).


56

Dengan demikian dapat dikatakan terdapat kesesuaian karakteristik

mengenai riwayat DM Tipe 2 pada pasien kanker kolorektal yaitu pasien kanker

kolorektal dengan riwayat DM Tipe 2 lebih banyak dibanding yang tidak memiliki

riwayat DM Tipe 2.

4.2.6 Riwayat Merokok pada Penderita Karsinoma Kolorektal

Banyak studi telah membuktikan bahwa merokok tobako dapat

menyebabkan kanker koloraktal. Hubungan antara merokok dan kanker lebih kuat

pada kanker rektum dibandingkan dengan kanker kolon (Nasional, 2017).

Merokok selama minimal 20 tahun meningkatkan resiko kanker kolorektal

hingga 26% dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok. Sedangkan

perokok yang mengonsumsi 20 gram tembakau per hari atau lebih akan beresiko

30% terkena kanker kolorektal. Merokok lebih dari 30 tahun atau lebih dari 20

gram per hari berhubungan dengan peningkatan resiko kanker koloraktal sebesar

48% (Hansen dkk, 2015).

Menurut penelitian Chao dkk resiko kematian karena kanker kolon pada

perokok lebih beresiko 1,32 kali dibandingkan bukan perokok. Resiko kanker kolon

pada perokok sebesar 1,44 kali dan yang pernah merokok sebesar 1,21 kali

dibandingkan dengan yang tidak pernah merokok pada jenis kelamin laki-laki. Pada

jenis kelamin perempuan, resiko merokok 1,42 kali dan yang pernah merokok 1,15

kali untuk terkena kanker kolon dibandingkan dengan yang tidak merokok (Chao,

2000).
57

Perokok memiliki hazard risk sebesar 1,27 untuk terkena kanker

kolorektal dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok. Orang yang

pernah merokok memiliki resiko sebesar 1,34 kali untuk terkena kanker kolon

dibandingkan dengan yang tidak merokok, sedangkan orang yang merokok

beresiko 1,27 kali terkena kanker kolon dibandingkan dengan orang yang tidak

merokok(Hannan, 2007).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hapsari dkk, didapatkan hasil

angka yang lebih tinggi pada pasien dengan riwayat merokok yaitu 58 pasien

(71,6%) dibandingkan pasien yang tidak memiliki riwayat merokok yaitu 23 pasien

(28,4%) (Hapsari K, 2016). Menurut teori, rokok diketahui banyak mengandung

karsinogen dan agen genotoksik. Salah satu kandungan dari rokok adalah nikotin

yang akan menunjukkan peningkatan ekspresi adenoreseptor β1-β2 yang akan

menyebabkan peningkatan produksi COX-2 yang akan merangsang poliperasi sel

yang berperan dalam angiogenesis (Amaliah, 2017). Penelitian terbaru

menunjukkan perokok jangka lama (periode induksi 30-40 tahun) mempunyai

risiko relatif 1,5-3 kali (Nasional, 2017).

Dengan demikian, dapat dikatakan terdapat kesesuaian karakteristik

mengenai riwayat merokok yaitu pasien kanker kolorektal dengan riwayat merokok

lebih banyak dibanding yang tidak merokok.


58

4.3 Lokasi Karsinoma Kolorektal

Pada tabel 4.7 didapatkan hasil penelitian lokasi keganasan di kolon

ascendens sebanyak 10 orang (12,3%), lokasi keganasan di kolon transversum

sebanyak 16 orang (19,8%), lokasi keganasan di kolon descendens sebanyak 5

orang 6,2%),dan lokasi keganasan di rektum sebanyak 50 orang (61,7%). Hal ini

sesuai dengan teori bahwa lokasi tersering dari keganasan kolorektal adalah di

rectum. Menurut laporan MUIR (1947) yang mengumpulkan 714 karsinoma dari

kolon, ternyata bahwa 15% terdapat di kolon ascendens, 10% di kolon desendens,

16% di transversum, sedang 58% terdapat di rektum atau regtosigmoid (Amaliah,

2017).

Menurut penelitian Tatuhey (2014) dari 29 pasien kanker kolorektal, pasien

dengan lokasi tumor yang berada di sekum, kolon desendens dan kolon

transversum adalah masing-masing sebanyak 1 orang (3,4%), sedangkan pasien

dengan tumor yang berlokasi di kolon ascendens tidak ada (0%). Pasien dengan

tumor yang berada di kolon sigmoid adalah sebanyak 2 orang (6,9%), pasien

dengan lokasi tumor di rektosigmoid adalah sebanyak 4 orang (13,8%) dan pasien

dengan tumor yang berada di rektum adalah sebanyak 20 orang (69%). Hasil

penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sander

(2012) di Malang di mana rektum juga menjadi lokasi tumor tersering dengan

persentase sebesar 70,6% dan penelitian yang dilakukan oleh Yusra (2012) di

Pontianak yang menunjukkan rektum menjadi lokasi tumor tersering dengan

persetase sebesar 55,9%.


59

Maka pada penelitian ini rektum merupakan lokasi tersering kanker

kolorektal dan memiliki kecenderungan lebih besar untuk terjadinya kanker

kolorektal. Hal ini dikaitkan dengan fungsi rektum yang lebih kepada storasi feses

dan defekasi, di mana diketahui bahwa salah satu faktor lingkungan yang dapat

memicu terjadinya kanker adalah makanan. Mengkonsumsi makanan yang tinggi

karbohidrat murni dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal. Hal ini

mengakibatkan perubahan flora feses dan perubahan degradasi garam empedu atau

hasil pemecahan protein dan lemak, sebagian zat ini bersifat karsinogenik. Diet

rendah serat juga menyebabkan terjadinya pemekatan feses dan peningkatan masa

transit feses. Akibatnya adalah kontak antara zat yang bersifat karsinogenik dengan

mukosa kolon dan rektum menjadi lebih lama (Tatuhey, 2014).

4.4 Keterbatasan Penelitian

1. Masih adanya variabel yang belum di teliti pada penelitian ini, seperti kadar

trigliserid. Hal ini karena ketidaklengkapan pencatatan di rekam medik.

2. Masih banyak karakteristik lain yang belum ada pada penelitian ini yang

mungkin berpengaruh.

Anda mungkin juga menyukai