PENDAHULUAN
Ruang terbuka publik sering digunakan sebagai salah satu strategi dalam
mewujudkan suatu kota berkelanjutan. Sementara itu, salah satu upaya untuk
mewujudkan kota yang berkelanjutan adalah dengan melakukan perencanaan
kawasan yang mampu mewujudkan ketahanan akan bencana
Istilah ruang terbuka publik atau public open space (POS) mulai populer
pada abad ke 19 di Inggris dan Amerika Serikat dengan berfokus pada alokasi ruang
terbuka untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup masyarakat
berpenghasilan rendah yang bertempat tinggal di kawasan kumuh yang padat. Sejak
saat itu peran POS di kawasan perkotaan difokuskan dalam penyediaan ruang hiaju
yang dapat melestarikan kawasan yang sensitif secara ekologi, meningkatkan nilai
properti, dan menyediakan sarana rekreasi dan sebagainya. Berdasarkan adanya
perubahan fungsi dan fokus terkait ruang terbuka publik tersebut, menyebabkan
terjadinya interpretasi yang berbeda terhadap makna ruang terbuka publik. Seperti
ruang terbuka publik merupakan taman, jalur hijau, jalan, dan alun-alun serta ruang
terbuka pribadi seperti kebun dan halaman. Namun, pada studi ini ruang terbuka
publik dianggap sebagai ruang terbuka yang dapat diakses publik dan dialokasikan
untuk kegiatan publik, seperti taman, ruang hijau, square, dan garis pantai.
1
pendingin alami yang mampu mengurangi suhu di musim panas serta berperan
mengurangi limpasan air hujan. Selain fungsi utama tersebut, ruang terbuka hijau
juga berperan penting dalam mewujudkan kota yang berkelanjutan, juga terdapat
fakta bahwa pembangunan berkelanjutan harus mencakup peningkatan ketahanan
terhadap bencana (diaster resilience).
Makassar sebagai salah satu kota di negara yang rawan bencana seharusnya
berusaha untuk mengurangi resiko dari bencana. Upaya mengurangi resiko dari
bencana ini dapat diwujudkan dengan merencanakan ruang evakuasi. Perencanaan
tersebut dapat direalisasikan dengan memanfaatkan ruang terbuka hijau kota
sebagai ruang evakuasi bencana. Ruang terbuka hijau juga berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan rekreasi, sehingga memberikan kenyamanan pengguna
(Simonds, 1983).
2
karenanya dibutuhkan sebuah perencanaan kota dengan kawasan ruang terbuka
publik sebagai salah satu elemen pembangunnya yang setiap saat dapat
dimanfaatkan sebagai ruang evakuasi.
3
1. Ruang lingkup lokasi penelitian ditujukan pada Kawasan Perkotaan
Makassar yang memiliki potensi kepadatan yang cukup tinggi dan rawan
bencana.
2. Penelitian ini terkait identifikasi pola penggunaan lahan dan kesesuaian
lahan sebagai RTH evakuasi
1. Bagian pertama pendahuluan, pada bab ini akan dibahas mengenai latar
belakang yang berisikan urgensi dan justifikasi terhadap permasalahan
yang diangkat dalam penelitan, rumusan masalah yang merujuk kepada
tujuan penelitian yang ingin dicapai, manfaat penilitian bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, ruang lingkup penelitian sebagai
pembatas pembahasan dalam penelitian, dan sistematika penulisan.
2. Bagian kedua tinjauan pustaka, pada bab ini akan dibahas mengenai hasil
studi pustaka atau referensi-referensi yang digunakan dalam menyusun
laporan. Bab ini juga menjelaskan mengenai keterkaitan antar masing-
masing teori serta berbagai macam contoh teori yang telah diterapkan
sebelumnya, tinjauan studi banding serta studi penelitian terdahulu terkait
kasus sejenis serta merumuskan kerangka konsep dari penelitian yang akan
dilakukan.
3. Bagian ketiga metode penelitian, bab ini menjelaskan mengenai metode
penelitian yang dilakukan hingga mencapai output. Adapun yang menjadi
pembahasan dalam bab ini adalah, jenis penelitian, lokasi dan waktu
penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik
analisis data, kebutuhan data, serta tahapan perencanaan.
4. Bagian Keempat gambaran umum, pada bab ini akan dibahas mengenai
letak geografis dan administratif, aspek demografis, dan gambaran umum
Kawasan Perkotaan Makassar.
4
5. Bagian kelima pembahasan, bab ini berisi hasil pembahasan dan analisis.
Pada bab ini akan dilakukan analisis mengenai pola penggunaan lahan di
Kota Makassar dan keterkaitannya dengan kriteria RTH sebagai ruang
evakuasi.
6. Bagian Keenam penutup, bab ini terdiri atas dua sub bab yakni
kesimpulan dan saran. Bagian kesimpulan akan menjawab setiap pertanyaan
penilitian. Sedangkan bagian saran menjelaskan mengenai arahan terhadap
penelitian dan bagi peneliti selanjutnya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
a. Sumberdaya alam pembentuk wilayah perkotaan (topografi, iklim, air,
kualitas udara, visual)
b. Potensi bahaya lingkungan (longsor, erosi, banjir, kekeringan, gempa,
polusi)
c. Kesesuaian terhadap bentuk pembangunan yang telah ada/ sedang
direncanakan.
2. Memformulasikan rencana pemanfaatan lahan/ruang
3. Mengevaluasi dampak dan cost & benefit dari perencanaan yang telah
dibuat.
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk hidup lain, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya
(UU No.26, 2007 Tentang Penataan Ruang).
7
Ruang adalah wadah meliputi darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagaisatu kesatua wilayah, tempat manusia dan makhluk
hidup lain hidup, melakukan kegiatan, dan memeliharakelangsungan hidupnya
(Permendagri No.1, 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan
perkotaan).
Ruang umum yang merpakan bagian dari lingkungan juga mempunyai pola.
Ruang umum adalah tempat atau ruang yang terbentuk karena adanya kebutuhan
akan perlunya tempat untuk bertemu ataupun berkomunikasi satu sama lainnya.
Dengan adanya kegiatan pertemuan bersama-sama antara manusia, maka
kemungkinan akan timbulnya berbagai macam-macam kegiatan pada ruang umum
tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa ruang umum ini pada
dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung kegiatan/aktivitas
tertentu dari manusia, baik secara individu atau secara berkelompok (Hakim dan
Utomo, 2002 : 50).
8
swasta yang ditanami tumbuhan. Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran
minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan system
hidrologi dan system mikrolimat, maupun system ekologis lain, yang selanjutnya
aka meningkatkan fungsi dan proporsi ruang terbuka hijau di kota, pemerintah,
masyarakat, dan swasta di dorong untuk menanam tumbuhan diatas bangunan
miliknya. Proporsi ruang terbuka hijau publik seluas minimal 20 (dua puluh) persen
yang disediakan oleh pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi ruang
terbuka hijau minimal dapat lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan
pemanfaatannnya secara luas oleh masyarakat (UU No.26, 2007 Tentang Penataan
Ruang).
Jenis ruang terbuka hijau terdiri dari jenis ruang terbuka hijau public dan
ruang terbuka hijau privat (UU No.26, 2007 Tentang Penataan Ruang). Pada intinya
UU penataan ruang menjelaskan nahwa yang dimaksud dengan ruang terbuka hijau
9
(RTH) terdiri dari ruang terbuka hijau public dan ruang terbuka hijau privat, adalah
sebagai berikut:
1. RTH Publik
RTH publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimili dan dikelola oleh
pemerintah daerah yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
Yang termasuk ruang terbuka hijau public antara lain adalah:
Taman kota
Taman pemakaman umum
Jalur hijau sepanjang sungai, jalan, dan pantai
2. RTH Privat
Yang termasuk ruang terbuka hijau privat antara lain berupa kebun atau
halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
a. Taman kota
b. Jalur (tepian) sempadan sungai dan pantai
c. Taman olahraga, bermain, relaksasi
10
d. Taman pemakaman umum
e. Pertanian kota
f. Taman (hutan) kota atau perhutanan
g. Taman situ, danau, waduk, empang
h. Kebun raya, kebun binatang (nursery)
i. Jalur hijau pengaman
j. Taman rumah
Pada bagian pertaman ini akan dibahas berbagai pengertian mengenai tujuan
ruang terbuka hijau menurut berbagai sumber yang ada, baik dari referensi buku,
11
peraturan perundangan, dirjen PU atau Permendagri. Untuk lebih jelasnya dapat
dipaparkan sebagai berikut :
Kawasan industry.
Kawasan perkantoran.
Kawasan perdagangan.
12
Lebih lanjut menurut (Grey, 1996:10-20) secara spesifik, bentuk ruang
terbuka hijau terdiri dari beberapa bentuk, antara lain:
a. Taman Kota
Taman kota adalah ruang di dalam kota yang strukturnya bersifat alami
dengan sedikit bagian yang terbangun. Taman ini berisi beraneka pepohonan
dan sering juga terdapat lahan terbuka yang luas sebagai tempat aktivitas olah
raga dan aktivitas lainnya. Taman ini berfungsi sebagai tempat bereduh,
perlindungan terhadap angina penyerapan cahaya matahari dan sebagai
penunjang kepuasan dan kesenangan melalui fasilitas yang ada didalamnya.
b. Taman Rekreasi
Ruang terbuka hijau sebagai taman rekreasi dapat dibangun secara unik dan
dapat dipakai untuk kegiatan yang cukup aktif seperti piknik, olahraga, dan
permainan melali penyediaan sarana-sarana pendukung lainnya.
Lahan terbangun pemakaman dan monument biasanya tidak terlalu luas dan
lahan sisanya di tanami oleh berbagai jenis pohon baik untuk lasan sejarah,
pendidikan maupun keindahan.
13
f. Halaman Gedung atau Pekarangan
g. Sempadan
h. Kawasan Khusus
Kawasan khusus adalah kawasan lainnya yang berupa ruang terbuka hijau
tetapi tidak diklasifikasikan sebagai taman ataupun jenis ruang terbuka lainnya.
14
8. Reservasi dan perlindungan situs bersejarah
15
3. Ekositem perkotaan produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan
berdaun indah serta bias menjadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan
dan lain sebagainya.
4. Fungsi estetis yaitu meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan
kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman,
maupun makro: lanskap kota secara keseluruhan. Mampu menstimulasi
kreatifitas dan produktivitas warga kota. Juga bisa berekreasi secara aktif
mapun pasif seperti bermain, berolahraga, atau kegitan sosialisasi lain yang
sekaligus menghasilkan “keseimbangan kehidupan fisik dan psikis”. Dapat
tercipta suasana serasi dan seimbang antara berbagai bangunan gedung,
infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota
pertanian dan perhutanan taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel
kereta api serta jalur biru bantarn kali.
Secara umum fungsi ruang teruka hijau menurut Permendagri No.1 Tahun
2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan menyatakan
bahwa fungsi ruang terbuka hijau adalah:
16
Menurut Permen PU No.5/PRT/M, 2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Tebuka Hijau di Kawasan Perkotaan RTH, baik RTH public
maupun RTH privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis dan
fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi estetika, social dan fungsi ekonomi.
Dalam suatu wilayah perkotaan, Empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan
sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan
tata air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati.
Banyak para ahli menjabarkan mengenai fungsi ruang terbuka hijau, seperti
(shirvani, 1983: 93) mengemukakan bahwa fungsi adanya ruang terbuka hijau
adalah sebagai berikut:
17
Menurut Permen PU No.5/PRT/M, 2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatn ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan, manfaat RTH berdasarkan
fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat
tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga),
kenyaman fisik (teduh, segar), keinginan dan manfaat tidak langsung (berjangka
panjang dan bersifat tangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati
atau keanekaragaman hayati.
Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan
menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa keberadaan ruang terbuka hijau di kota
akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal di dalamnya.
Oleh karena itu, perencanaan ruang terbuka hijau harus dapat memenuhi
keselarasan harmoni antara struktural kota dan alamnya, bentuknya bukan sekedar
taman, lahan kosong untuk rekreasi atau lahan penuh tumbuhan yang tidak dapat
dimanfaatkan penduduk kota (Simonds, 2003). Ruang terbuka hijau (RTH)
dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi
dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi
yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan
air, dan lain-lain) akan memiliki permasalahan yang juga berbeda yang selanjutnya
berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang berbeda. Untuk
keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta
kriteria arsitektural, hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus
menjadi bahan pertimbangan dalam menyeleksi jenis-jenis yang akan ditanam
(Depdagri, 2007). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002,
pengadaan RTH di perkotaan ditujukan antara lain untuk menjaga kelestarian dan
18
keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan
budaya dengan luasan yang harus direncanakan sebesar lebih kurang 25% dari luas
wilayah. Menurut Purnomohadi (2006), RTH memiliki fungsi utama (intrinsik)
yaitu fungsi bio-ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural,
sosial dan ekonomi. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan
perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan
manusiawi.
Standar RTH secara khusus dimuat pada UU No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang disebutkan bahwa secara khusus mengamanatkan perlunya
penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi luasannya
ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, yang diisi
oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Departemen Dalam Negeri (2007) menyatakan bahwa standar RTH kota yang
umumnya dihitung berdasarkan jumlah penduduk kota. Perhitungan berdasarkan
persentase luas kota dan jumlah penduduknya, didapatkan standar luasan RTH kota
untuk taman bermain dan olahraga adalah sebesar 1,5 m2 /penduduk. Adanya
standar RTH kota didasarkan pada keamanan khusus, terutama dari keseimbangan
alami lingkungan hidup perkotaan. Dalam merencanakan suatu ruang terbuka hijau
perkotaan, menurut Nurisjah (2007), tidak semua lahan yang terjal harus ditanami
oleh pepohonan, atau tidak semua bantaran sungai dihijaukan setebal 15-50 meter
dari tepi sungai. Hal ini dikarenakan perlunya pertimbangan dari segi arsitektur
tanaman, jenis dan teknik penanamannya. Joga (2009) menyatakan bahwa
pengembangan ruang terbuka hijau, khususnya taman evakuasi bencana
mensyaratkan beberapa hal, antara lain:
a. Fungsi ekologis (sumur resapan air dengan daya resap tinggi, pohon
penghasil oksigen),
b. Ekonomis (kebersihan dan kesehatan warga, berkebun),
c. Edukatif (ruang belajar alam, kerajinan tangan dan pendidikan lain),
19
d. Evakuasi (ruang penyelamatan bencana kebakaran, banjir dan gempa
bumi),
e. Konservasi energi (suplai energi surya, biogas), dan
f. Estetis (kebersihan, kesehatan, dan keindahan lingkungan).
2.5 Bencana
20
lingkungan dan utilitas umum serta meninggalkan gangguan terhadap tata
kehidupan dan penghidupan masyarakat. Setiap kejadian bencana alam, secara
umum menimbulkan kerugian yang sangat besar baik kerugian finansial, sosial
maupun secara emosional. Salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya
bencana, antara lain yaitu dilakukannya eksploitasi dan pemanfaatan sumberdaya
alam yang berlebihan dan perubahan tata guna lahan yang tidak sesuai dengan
kaidah lingkungan.
Menurut Santoso (2002), gempa bumi merupakan istilah gejala alam yang
cukup familiar di Indonesia karena gempa bumi sering terjadi di dalam wilayah
negara ini. Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang bersifat alamiah,
terletak pada lokasi tertentu, dan sifatnya hanya sementara. Gempa bumi dapat
menyebabkan bencana, misalnya kerusakan struktur bangunan, longsor, maupun
tsunami. Gempa bumi umumnya disebabkan oleh pergeseran kerak bumi yang
disebut gempa tektonik. Selain gempa tektonik, letusan gunung berapi juga
menyebabkan gempa bumi yang bersifat lebih lokal. Gempa bumi ini disebut
sebagai gempa vulkanik.
21
Gempa bumi merupakan peristiwa getaran atau guncangan yang terjadi di
permukaan bumi. Gempa bumi dapat disebabkan oleh pergerakan kerak bumi
(lempeng bumi). Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang
dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin
lama tekanan itu semakin besar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana
tekanan tersebut tidak dapat ditahan oleh pinggiran lempengan dan terjadi gempa
bumi.
Noor (2006) menyatakan bahwa gempa bumi adalah getaran dalam bumi
yang terjadi sebagai akibat dari terlepasnya energi yang terkumpul secara tiba-tiba
dalam batuan yang mengalami perubahan posisi. Gempa dapat pula disefinisikan
sebagai rambatan gelombang pada batuan atau tanah yang berasal dari pelepasan
energi kinetik yang berasal dari dalam bumi. Sumber energi yang dilepaskan dapat
berasal dari hasil tumbukan lempeng,letusan gunung api, atau longsoran masa
batuan atau tanah. Menurut Hartuti (2009), secara keilmuan, gempa bumi adalah
suatu peristiwa lepasan energi gelombang seismik yang terjadi secara tibatiba.
Pelepasan energi ini disebabkan oleh deformasi lempeng tektonik yang terjadi pada
kerak bumi.
Menurut Hartuti (2009), gempa bumi yang merupakan fenomena alam yang
bersifat merusak dan menimbulkan bencana dapat digolongkan menjadi empat
jenis, yaitu:
a. Gempa bumi vulkanik (gunung api), gempa bumi ini terjadi akibat adanya
aktivitas magma, yang biasa terjadi sebelum gunung api meletus. Apabila
keaktifannya semakin tinggi maka akan menyebabkan timbulnya ledakan
yang juga akan menimbulkan terjadinya gempa bumi. Gempa bumi tersebut
hanya terasa di sekitar gunung api tersebut.
b. Gempa bumi tektonik, gempa bumi ini disebabkan oleh adanya aktivitas
tektonik, yaitu pergeseran lempeng lempeng tektonik secara mendadak yang
22
mempunyai kekuatan dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar.
Gempa bumi ini banyak menimbulkan kerusakan atau bencana alam di
bumi, getaran gempa bumi yang kuat mampu menjalar keseluruh bagian
bumi.
c. Gempa bumi runtuhan, gempa bumi ini biasanya terjadi pada daerah kapur
ataupun pada daerah pertambangan, gempabumi ini jarang terjadi dan
bersifat lokal.
d. Gempa bumi buatan, gempa bumi buatan adalah gempa bumi yang
disebabkan oleh aktivitas dari manusia, seperti peledakan dinamit, nuklir
atau beban yang bertumbukan dengan permukaan bumi.
Menurut Noor (2006), selain gempa tektonik, terdapat gempa minor yang
disesbabkan oleh longsoran tanah, letusan gunung api, dan aktivitas manusia.
Gempa minor umumnya hanya dirasakan secara lokal dan getarannya relative tidak
menyebabkan kerusakan yang signifikan atau kerugian harta benda maupun korban
jiwa.
23
Secara umum, evakuasi bencana merupakan sebuah proses yang dilakukan
secara cepat untuk melindungi diri dari ancaman bahaya akibat adanya bencana.
Untuk mengakomodasi kepentingan perlindungan, evakuasi, atau pertahanan hidup
atas bencana ini, sebaiknya kota dibangun kembali dengan mengalokasikan lebih
banyak ruang terbuka hijau (RTH). Hal ini berkaitan dengan membangun sistem
peringatan dini secara alamiah untuk mengantisipasi bencana alam yang penting
bagi kota dan paling murah untuk dibangun.
Bencana gempa bumi merupakan bahaya geologi yang sampai saat ini
belum dapat diprediksi. Para ahli seismologi telah mencoba beberapa metode untuk
memprediksi adanya fenomena gempa bumi, antara lain dengan cara mengukur
getaran-getaran mikro melalui alat seismograf dan dapat mengetahui gelombang
awal (front schock) dari suatu gempa, mengukur kedalaman air dan perubahan
kedalaman muka air tanah pada sumur-sumur bor, mengukur kemiringan muka
tanah, dan mengukur sifat konduktifitas listrik.
24
2.6.1 Karakteristik Lokasi Evakuasi
1. Lokasi,
2. Luas lahan,
3. Ketinggian tempat,
4. Fasilitas (sarana evakuasi),
5. Utilitas (air dan energi),
6. Akses (bagi korban dan bantuan),
7. Pendekatan desain.
1. Melakukan pemetaan daerah rawan gempa. Hal ini bisa dilakukan lembaga
riset atau perguruan tinggi. Hasil studi ini dapat dijadikan landasan untuk
kebijakan pemerintah pusat ataupun daerah serta untuk peningkatan
kesadaran masyarakat terhadap ancaman bencana.
2. Membuat aturan yang ketat tentang pendirian bangunan, baik perumahan,
perkantoran, maupun fasilitas publik yang tahan gempa. Aturan tersebut
25
perlu diikuti dengan inspeksi sebelum dan saat pendirian bangunan. Selain
itu, untuk warga yang tidak mampu bisa disediakan tenaga untuk membantu
memberikan masukan mendirikan bangunan yang tahan gempa. Pendekatan
kedua ini sering disebut penanggulangan bencana struktural karena
menekankan pada penguatan seluruh bangunan fisik.
3. Membuat jalur-jalur evakuasi dan rambu-rambu, seperti tanda pintu darurat
untuk evakuasi ketika terjadi gempa bumi. Jalur dan rambu ini penting
karena evakuasi saat terjadi kebakaran gedung, misalnya, sangat berbeda
dengan evakuasi saat terjadi gempa bumi. Namun hal ini sering dilupakan,
termasuk pada gedung perkantoran di kota-kota yang rawan gempa bumi.
4. Pembuatan jalur ini perlu diikuti penyuluhan dan latihan secara periodik
untuk evakuasi bagi warga yang berada di rumah, di gedung perkantoran, di
sekolah, pusat perbelanjaan, di jalan raya, atau tempat lain. Latihan ini
penting agar mengetahui jalur penyelamatan diri dan tidak panik saat terjadi
bencana sehingga jumlah korban bisa ditekan sekecil mungkin.
5. Peningkatan kemampuan dan keterampilan memberikan pertolongan
pertama pada korban bencana. Peningkatan kemampuan ini disertai dengan
penyiapan peralatan kesehatan dan berbagai kebutuhan dasar, seperti air
minum, makanan kering, hingga pakaian dalam.
6. Memberikan pelatihan dan meningkatkan keterampilan terus-menerus bagi
petugas yang melakukan evakuasi dan penyelamatan korban bencana.
Dengan metode penyelamatan tidak salah karena keliru dalam penanganan
korban bencana bisa berakibat kondisi kesehatan korban semakin parah.
Pendekatan ketiga hingga keenam biasanya disebut penanggulangan
bencana nonstruktural.
7. Penanggulangan bencana nonstruktural juga dapat dilakukan dengan
memperkenalkan atau menerapkan asuransi bencana di daerah yang rawan
gempa. Jadi, masyarakat tidak harus menunggu bantuan dari pemerintah
atau donatur saat harus melakukan pemulihan pascabencana, terutama dari
sisi ekonomi.
26
Joga (2009), menyatakan bahwa pemerintah sudah seharusnya
menyediakan taman evakuasi bencana seluas 500 m² di permukiman padat
penduduk karena sering kali kawasan ini dirugikan saat bencana melanda. Dalam
situasi normal, taman memiliki fungsi ekologis, ekonomis, edukatif, konservasi
energi, dan estetis. Ketika bencana tiba, taman menjadi ruang evakuasi bencana
(banjir, kebakaran, gempa bumi).
27
Dengan sosialisasi dan yang telah dilakukan, masyarakat diarahkan untuk
menuju tempat-tempat evakuasi masing-masing. Penggunaan tanda-tanda yang
dapat membantu dalam keadaan darurat seperti ini. Jalur-jalur penanggulangan
bencana yang direncanakan dan telah disosialisasikan dengan baik akan
mengurangi korban saat bencana, baik korban jiwa maupun korban harta, menurut
Joga (2009).
Merujuk pada Peraturan Kepala BNPB No. 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, pelaksanaan penanggulangan
bencana ini dilakukan pada keadaan tanggap darurat dengan memanfaatkan ruang
terbuka hijau sebagai ruang evakuasi dan melakukan kegiatan antara lain sebagai
berikut:
28
BAB III
METODE PENELITIAN
Data primer adalah data yang didapatkan dari hasil observasi lapangan.
Data tersebut meliputi:
a. Penggunaan Lahan
29
b. Pusat-pusat kegiatan
c. Jaringan jalan
d. Data kondisi RTH
e. Potensi pengguna
Studi literatur adalah teknik pengumpulan data sekunder dari berbagai buku,
dokumen dan tulisan yang relevan untuk dengan tujuan dan obyek penelitian yang
terkait dengan tujuan penelitian. Data-data yang diperoleh dari studi literatur
30
adalah data kependudukan, dokumen rencana Kawasan Perkotaan Makassar, dan
buku panduan dan jurnal ruang terbuka publik perkotaan.
3.5.2 Observasi
3.5.3 Kuesioner
31
Geographical Information System (GIS) untuk melihat karakter RTH kota secara
spasial, dan melakukan analisis kesesuaian lahan untuk RTH yang dapat
dimanfaatkan sebagai ruang evakuasi di kota tersebut. Sistem Informasi Geografi
(SIG) merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG data
dipelihara dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta
cetak, tabel atau bentuk lainnya.
32
tersebut merupakan zona potensial tata ruang, topografi, geologi serta peta jalur
transportasi. Pada tahap selanjutnya akan ditentukan lokasi evakuasi dan jalur
evakuasi yang merupakan bagian dari perencanaan.
Pada tahap ini, hasil overlay akhir peta-peta tematik termasuk didalamnya
ruang-ruang tiap zona berikut jalur sirkulasi. Pada perencanaan diajukan tata letak
RTH kota dan fasilitas serta elemen lanskap yang mendukung aktivitas pada tapak.
Produk akhir dari tahap ini adalah gambar rencana yang terdiri dari:
PETA RTH
EVAKUASI.
JALUR MENUJU
Kesesuaian KAWASAN
Peta Hasil Lahan sebagai EVAKUASI
Data Analisis RTH Evakuasi BENCANA
33