Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ruang terbuka publik sering digunakan sebagai salah satu strategi dalam
mewujudkan suatu kota berkelanjutan. Sementara itu, salah satu upaya untuk
mewujudkan kota yang berkelanjutan adalah dengan melakukan perencanaan
kawasan yang mampu mewujudkan ketahanan akan bencana

Istilah ruang terbuka publik atau public open space (POS) mulai populer
pada abad ke 19 di Inggris dan Amerika Serikat dengan berfokus pada alokasi ruang
terbuka untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup masyarakat
berpenghasilan rendah yang bertempat tinggal di kawasan kumuh yang padat. Sejak
saat itu peran POS di kawasan perkotaan difokuskan dalam penyediaan ruang hiaju
yang dapat melestarikan kawasan yang sensitif secara ekologi, meningkatkan nilai
properti, dan menyediakan sarana rekreasi dan sebagainya. Berdasarkan adanya
perubahan fungsi dan fokus terkait ruang terbuka publik tersebut, menyebabkan
terjadinya interpretasi yang berbeda terhadap makna ruang terbuka publik. Seperti
ruang terbuka publik merupakan taman, jalur hijau, jalan, dan alun-alun serta ruang
terbuka pribadi seperti kebun dan halaman. Namun, pada studi ini ruang terbuka
publik dianggap sebagai ruang terbuka yang dapat diakses publik dan dialokasikan
untuk kegiatan publik, seperti taman, ruang hijau, square, dan garis pantai.

Menurut Thompson, kegunaan utama ruang terbuka hijau merupakan upaya


untuk melindungi dan meningkatkan sumber daya alam dan green networks yang
dikaitkan dengan kegiatan rekreasi. Ruang terbuka hijau mampu memberikan nafas
kehidupan kota-kota dengan menambahkan peluang untuk rekreasi, tempat untuk
melakukan berbagai kegitan. Lebih lanjut taman hijau dapat membantu mengurangi
stress penduduk kota dengan memberikan rasa kedamaian dan ketenangan.
Sementara itu, beberapa pendapat menyatakan bahwa taman kota menawarkan
berbagai layanan lingkungan seperti pemurnian udara dan air, penyaringan udara
dan kebisingan, atau stabilitasi iklim, dimana ruang hijau mampu berperan sebagai

1
pendingin alami yang mampu mengurangi suhu di musim panas serta berperan
mengurangi limpasan air hujan. Selain fungsi utama tersebut, ruang terbuka hijau
juga berperan penting dalam mewujudkan kota yang berkelanjutan, juga terdapat
fakta bahwa pembangunan berkelanjutan harus mencakup peningkatan ketahanan
terhadap bencana (diaster resilience).

Mengingat Indonesia memiliki kondisi geografis, biologis, hidrologis, dan


demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang di sebabkan oleh
faktor alam, faktor nonalam, maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional,
hal tersebut dijelaskan dalam undang-undang no 27 tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana. Indonesia diapit oleh dua samudera besar dunia (samudra
Hindia dan samudra Pasifik), berada tepat pada pertemuan tiga lempeng utama
dunia (lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik), dan
kondisi permukaan wilayah Indonesia yang sangat beragam. Kondisi tersebut
membuat Indonesia menjadi negara yang kaya dengan hasil bumi, namun juga
menjadi negara yang memiliki potensi bencana alam yang besar. Bencana alam
yang terjadi di indonesia tidak jarang memakan korban jiwa dan kerusakan pada
infrastruktur.

Makassar sebagai salah satu kota di negara yang rawan bencana seharusnya
berusaha untuk mengurangi resiko dari bencana. Upaya mengurangi resiko dari
bencana ini dapat diwujudkan dengan merencanakan ruang evakuasi. Perencanaan
tersebut dapat direalisasikan dengan memanfaatkan ruang terbuka hijau kota
sebagai ruang evakuasi bencana. Ruang terbuka hijau juga berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan rekreasi, sehingga memberikan kenyamanan pengguna
(Simonds, 1983).

Upaya penanggulangan bencana perlu dilakukan untuk meminimalisir


dampak yang akan diakibatkan oleh bencana, dan meminimalisir permasalahan
lingkungan yang mungkin terjadi akibat padatnya bangunan di kawasan perkotaan.

2
karenanya dibutuhkan sebuah perencanaan kota dengan kawasan ruang terbuka
publik sebagai salah satu elemen pembangunnya yang setiap saat dapat
dimanfaatkan sebagai ruang evakuasi.

Berdasarkan permasalahan tersebut penulis tertarik untuk menyusun


Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Ruang Evakuasi untuk
Mewujudkan Kota yang Berkelanjutan di Kota Makassar.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pola penggunaan lahan di Kota Makassar?


2. Bagaimana konsep perencanaan pengembangan ruang terbuka hijau
sebagai ruang evakuasi di Kota Makassar?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengidentifikasi pola penggunaan lahan di Kota Makassar


2. Adanya konsep perencanaan pengembangan ruang terbuka hijau
sebagai ruang evakuasi di Kota Makassar

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah


Kota Makassar beserta pihak-pihak yang terkait dengan penataan RTH di dalam
rencana pembangunan dan pengembangan Kota Makassar. Realisasi studi
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan bagi lingkungan Kota
Makassar.

1.5 Ruang Lingkup

Sebagai pengarah agar penelitian dan permasalahan yang dikaji lebih


mendetail dan sesuai dengan judul dan tujuan penulisan tugas ini, maka diadakan
ruang lingkup penelitian dalam membatasi masalah yang akan dibahas berikut ini:

3
1. Ruang lingkup lokasi penelitian ditujukan pada Kawasan Perkotaan
Makassar yang memiliki potensi kepadatan yang cukup tinggi dan rawan
bencana.
2. Penelitian ini terkait identifikasi pola penggunaan lahan dan kesesuaian
lahan sebagai RTH evakuasi

1.6 Sistematika Penulisan


Laporan penelitian ini terdiri atas enam bab dengan rincian pembahasan
untuk masing-masing bab adalah:

1. Bagian pertama pendahuluan, pada bab ini akan dibahas mengenai latar
belakang yang berisikan urgensi dan justifikasi terhadap permasalahan
yang diangkat dalam penelitan, rumusan masalah yang merujuk kepada
tujuan penelitian yang ingin dicapai, manfaat penilitian bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, ruang lingkup penelitian sebagai
pembatas pembahasan dalam penelitian, dan sistematika penulisan.
2. Bagian kedua tinjauan pustaka, pada bab ini akan dibahas mengenai hasil
studi pustaka atau referensi-referensi yang digunakan dalam menyusun
laporan. Bab ini juga menjelaskan mengenai keterkaitan antar masing-
masing teori serta berbagai macam contoh teori yang telah diterapkan
sebelumnya, tinjauan studi banding serta studi penelitian terdahulu terkait
kasus sejenis serta merumuskan kerangka konsep dari penelitian yang akan
dilakukan.
3. Bagian ketiga metode penelitian, bab ini menjelaskan mengenai metode
penelitian yang dilakukan hingga mencapai output. Adapun yang menjadi
pembahasan dalam bab ini adalah, jenis penelitian, lokasi dan waktu
penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik
analisis data, kebutuhan data, serta tahapan perencanaan.
4. Bagian Keempat gambaran umum, pada bab ini akan dibahas mengenai
letak geografis dan administratif, aspek demografis, dan gambaran umum
Kawasan Perkotaan Makassar.

4
5. Bagian kelima pembahasan, bab ini berisi hasil pembahasan dan analisis.
Pada bab ini akan dilakukan analisis mengenai pola penggunaan lahan di
Kota Makassar dan keterkaitannya dengan kriteria RTH sebagai ruang
evakuasi.
6. Bagian Keenam penutup, bab ini terdiri atas dua sub bab yakni
kesimpulan dan saran. Bagian kesimpulan akan menjawab setiap pertanyaan
penilitian. Sedangkan bagian saran menjelaskan mengenai arahan terhadap
penelitian dan bagi peneliti selanjutnya.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perencanaan Lanskap

Perencanaan lanskap merupakan penataan lanskap berdasarkan potensi,


amenity, kendala dan bahaya lanskap tersebut guna mewujudkan suatu bentukan
lahan yang berkelanjutan, indah, fungsional dan memuaskan bagi penggunanya.
Proses perencanaan meliputi proses pengumpulan dan penginterpretasian data yang
berkaitan secara khusus dengan tapak dan daerah sekitarnya. Selanjutnya, data
tersebut diperiksa dan dianalisis, dilakukan identifikasi masalah dan memberi
pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah yang ada dalam suatu
bentang alam (Chiara dan Koppelman, 1994). Menurut Gold (1980), perencanaan
adalah suatu alat yang sistematis, yang digunakan untuk menentukan saat awal
suatu keadaan dan cara terbaik untuk pencapaian keadaan tersebut. Perencanaan
lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain: 1. Pendekatan
sumberdaya, yaitu penentuan tipe sacara alternatif aktivitas berdasarkan
pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya. 2. Pendekatan aktivitas, yaitu
penentuan tipe dan alternatif aktivitas berdasarkan seleksi terhadap aktivitas pada
masa lalu untuk memberikan kemungkinan apa yang dapat disediakan pada masa
yang akan datang. 3. Pendekatan ekonomi, yaitu pendekatan tipe, jumlah, dan
lokasi kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi. 4. Pendekatan
perilaku, yaitu penentuan aktivitas berdasarkan pertimbangan perilaku manusia.
Menurut Nurisjah dalam Seminar Penggalangan Pengembangan Ruang Terbuka
Hijau (2007), perencanaan lingkungan yang mempunyai manfaat biofisik yang
tinggi, terutama untuk kota-kota tropis di Indonesia yang rentan terhadap bahaya
lingkungan, adalah perencanaan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai bagian dari
perencanaan tata ruang wilayah perkotaan. Penataan RTH yang terkait dengan
minimalisasi bahaya lingkungan di wilayah perkotaan dilakukan melalui tiga
tahapan kegiatan, yaitu

1. Menilai karakter dan kepekaan sumberdaya lahan/alam Penilaian ini


dilakukan terhadap

6
a. Sumberdaya alam pembentuk wilayah perkotaan (topografi, iklim, air,
kualitas udara, visual)
b. Potensi bahaya lingkungan (longsor, erosi, banjir, kekeringan, gempa,
polusi)
c. Kesesuaian terhadap bentuk pembangunan yang telah ada/ sedang
direncanakan.
2. Memformulasikan rencana pemanfaatan lahan/ruang

Dalam merumuskan RTH sebagai pengendali bahaya lingkungan maka


perlu diperhitugkan bentuk kerentanan dan peruntukan wilayah sehingga perlu
diseleksi jenis, arsitektur tanaman serta pola dan teknik penanamannya.

3. Mengevaluasi dampak dan cost & benefit dari perencanaan yang telah
dibuat.

Perencanaan lanskap merupakan suatu bentuk kegiatan penataan yang


berbasis lahan melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan
proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu
model lanskap yang fungsional, estetik dan lestari. Perecanaan lanskap juga
bertujuan untuk mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam
upaya peningkatan kenyamanan dan kesejahteraan, termasuk kesehatannya
(Nurisjah, 2007).

Perencanaan kota waspada bencana mensyaratkan perencanaan yang


rasional, aplikatif, dan berorientasi hasil (feasible, implementable, and achievable).
Perencanaan ini dilakukan karena waktu terjadinya bencana tidak dapat
diperkirakan dengan tepat, tetapi upaya penanggulangan bencana tetap perlu
disiapkan untuk meminimalkan korban (Joga, 2009).

2.2 Ruang Terbuka

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk hidup lain, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya
(UU No.26, 2007 Tentang Penataan Ruang).

7
Ruang adalah wadah meliputi darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagaisatu kesatua wilayah, tempat manusia dan makhluk
hidup lain hidup, melakukan kegiatan, dan memeliharakelangsungan hidupnya
(Permendagri No.1, 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan
perkotaan).

Ruang umum yang merpakan bagian dari lingkungan juga mempunyai pola.
Ruang umum adalah tempat atau ruang yang terbentuk karena adanya kebutuhan
akan perlunya tempat untuk bertemu ataupun berkomunikasi satu sama lainnya.
Dengan adanya kegiatan pertemuan bersama-sama antara manusia, maka
kemungkinan akan timbulnya berbagai macam-macam kegiatan pada ruang umum
tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa ruang umum ini pada
dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung kegiatan/aktivitas
tertentu dari manusia, baik secara individu atau secara berkelompok (Hakim dan
Utomo, 2002 : 50).

Ruang terbuka merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan


tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Dengan adanya
pertemuan bersama dan relasi antara orang banyak, kemungkinan akan timbul
berbagai macam kegiatan di ruang umum terbuka tersebut. Sebetulnya ruang
terbuka merupakan salah satu jenis saja dari ruang umum (Eko Budiharjo & Djoko
Sujarto, Kota Berkelanjutan, 2005:89).

2.3 Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,


yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Ruang terbuka hijau public
merupakan ruang terbuka yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota
yang digunakan unutk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk ruang
terbuka hijau publik antara lain adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan
jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Yang termasuk ruang terbuka hijau
privat antara lain adalah kebun halaman rumah/gedung milik mastarakat atau

8
swasta yang ditanami tumbuhan. Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran
minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan system
hidrologi dan system mikrolimat, maupun system ekologis lain, yang selanjutnya
aka meningkatkan fungsi dan proporsi ruang terbuka hijau di kota, pemerintah,
masyarakat, dan swasta di dorong untuk menanam tumbuhan diatas bangunan
miliknya. Proporsi ruang terbuka hijau publik seluas minimal 20 (dua puluh) persen
yang disediakan oleh pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi ruang
terbuka hijau minimal dapat lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan
pemanfaatannnya secara luas oleh masyarakat (UU No.26, 2007 Tentang Penataan
Ruang).

Ruang terbuka hijau sebagai ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih


bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun
budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya
(Pemendagri No.1, 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah
Perkotaan).

“Ruang terbuka hijau pada umumnya dimaksudkan untuk penghijauan


sebagai salah satu unsur kota yang ditentukan oleh factor kenyamanan dan
keindahan bagi suatu ruang kota. Kenyamanan dapat berupa peredam kebisingan,
pelindung cahaya matahari (peneduh) dan menetralisir udara. Sedangkan keindahan
berupa penataan tanaman dibantu dengan konstruksi-konstruksi yang ditujukan
untuk menahan erosi, baik berupa konstruksi beton, batu alam dan lain-lain.
Pengaturan ruang terbuka hijau juga menerapkan prinsi-prinsip komposisi desain
yang baik, keindahan dan kenyamanan”. (Hamid Shirvani, The Urban Design
Process, 1983:16).

2.3.1 Jenis-jenis Ruang Terbuka Hijau

Jenis ruang terbuka hijau terdiri dari jenis ruang terbuka hijau public dan
ruang terbuka hijau privat (UU No.26, 2007 Tentang Penataan Ruang). Pada intinya
UU penataan ruang menjelaskan nahwa yang dimaksud dengan ruang terbuka hijau

9
(RTH) terdiri dari ruang terbuka hijau public dan ruang terbuka hijau privat, adalah
sebagai berikut:

1. RTH Publik

RTH publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimili dan dikelola oleh
pemerintah daerah yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
Yang termasuk ruang terbuka hijau public antara lain adalah:

 Taman kota
 Taman pemakaman umum
 Jalur hijau sepanjang sungai, jalan, dan pantai

2. RTH Privat

Yang termasuk ruang terbuka hijau privat antara lain berupa kebun atau
halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

Jenis RTHKP menurut (Permendagri No.1, 2007 Tentang Penataan Ruang


Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan) meliputi: taman kota, taman wisata alam,
taman rekreasi, taman lingkungan perumahan dan pemukiman, taman lingkungan
perkantoran dan gedung komersial, taman hutan raya, hutan kota, hutan lindung,
bentang alam seperti gunung bkit lereng dan lembah, cagar alam, kebun raya, kebun
binatang, pemakaman umum, lapangan olahraga, lapangan upacara, parkir terbuka,
lahan pertanian perkotaan, jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET),
sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa, jalur pengaman jalan, median
jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian, kawasan dan jalur hijau, daerah
penyangga (buffer zone) lapangan udara dan taman atap (roof garden).

Jenis RTH berdasarkan bentuk menurut (Permen PU No.5/PRT/M, 2008


Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di kawasan
Perkotaan) yaitu:

a. Taman kota
b. Jalur (tepian) sempadan sungai dan pantai
c. Taman olahraga, bermain, relaksasi

10
d. Taman pemakaman umum
e. Pertanian kota
f. Taman (hutan) kota atau perhutanan
g. Taman situ, danau, waduk, empang
h. Kebun raya, kebun binatang (nursery)
i. Jalur hijau pengaman
j. Taman rumah

Sedangkan menurut Permendagri No.1 Tahun 2007, berdasarkan letak


lokasi ruang terbuka hijau dapat ibagi menjadi:

a. Ruang terbuka hijau dikembangan sesuai dengan kawasan-kawasan


peruntukan ruang kota, yaitu:
 Kawasan permukiman kepadatan tinggi.
 Kawasan permukiman kepadatan sedang.
 Kawasan permukiman kepadatan rendah.
 Kawasan industry.
 Kawasan perkantoran.
 Kawasan sekolah/kampus perguruan tinggi.
 Kawasan perdagangan.
 Kawasan jalur jalan.
 Kawasan jalur sungai.
 Kawasan jalur pesisir pantai dan kawasan pengaman utilitas.
b. Pada tanah yang bentang alamnya bervariasi menurut keadaan lereng dan
ketinggian diatas permukaan laut serta kedudukannya terhadap jalur sungai,
alur jalan dan jalur pengaman utilitas.
c. Pada tanah yang di wilayah perkotaan dan dikuasai badan hokum atau
perorangan yang tidak dimanfaatkan atau ditelantarkan.

2.3.2 Tujuan Ruang Terbuka Hijau

Pada bagian pertaman ini akan dibahas berbagai pengertian mengenai tujuan
ruang terbuka hijau menurut berbagai sumber yang ada, baik dari referensi buku,

11
peraturan perundangan, dirjen PU atau Permendagri. Untuk lebih jelasnya dapat
dipaparkan sebagai berikut :

Menurut (Permendagri No.1, 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau


Kawasan Perkotaan) tujuan dari pembentuka ruang terbuka hijau adalah sebagai
berikut:

Tujuan Penataan RTHKP adalah:

Menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem Sedangkan menurut


Permendagri No.1 Tahun 2007, berdasarkan letak lokasi ruang terbuka hijau dapat
dibagi menjadi:

a. Ruang terbuka hijau dikembangan sesuai dengan kawasan-kawasan


peruntukan ruang kota, yaitu:
 Kawasan permukiman kepadatan tinggi.

 Kawasan permukiman kepadatan sedang.

 Kawasan permukiman kepadatan rendah.

 Kawasan industry.

 Kawasan perkantoran.

 Kawasan sekolah/kampus perguruan tinggi.

 Kawasan perdagangan.

 Kawasan jalur jalan.

 Kawasan jalur sungai.

 Kawasan jalur pesisir pantai dan kawasan pengaman utilitas.


b. Pada tanah yang bentang alamnya bervariasi menurut keadaan lereng dan
ketinggian diatas permukaan laut serta kedudukannya terhadap jalur sungai,
alur jalan dan jalur pengaman utilitas.
c. Pada tanah yang di wilayah perkotaan dan dikuasai badan hokum atau
perorangan yang tidak dimanfaatkan atau ditelantarkan.

12
Lebih lanjut menurut (Grey, 1996:10-20) secara spesifik, bentuk ruang
terbuka hijau terdiri dari beberapa bentuk, antara lain:

a. Taman Kota

Taman kota adalah ruang di dalam kota yang strukturnya bersifat alami
dengan sedikit bagian yang terbangun. Taman ini berisi beraneka pepohonan
dan sering juga terdapat lahan terbuka yang luas sebagai tempat aktivitas olah
raga dan aktivitas lainnya. Taman ini berfungsi sebagai tempat bereduh,
perlindungan terhadap angina penyerapan cahaya matahari dan sebagai
penunjang kepuasan dan kesenangan melalui fasilitas yang ada didalamnya.

b. Taman Rekreasi

Ruang terbuka hijau sebagai taman rekreasi dapat dibangun secara unik dan
dapat dipakai untuk kegiatan yang cukup aktif seperti piknik, olahraga, dan
permainan melali penyediaan sarana-sarana pendukung lainnya.

c. Lapangan Terbuka Umum

Lapangan terbuka dapat berfungsi sebagai wadah kegiatan olahraga, tempat


pertemuan terbuka dan menjadi penunjang kualitas lingkungan. Lapangan
terbuka ini dapat dikaitkan dengan pengembangan ruang terbuka hijau kota agar
di dalam penyediaan lahannya tidak tumpang tindih.

d. Pemakaman dan Monumen

Lahan terbangun pemakaman dan monument biasanya tidak terlalu luas dan
lahan sisanya di tanami oleh berbagai jenis pohon baik untuk lasan sejarah,
pendidikan maupun keindahan.

e. Jalur Hijau dan Median Jalan

Jalur hijau biasanya diartikan sebagai pepohonan yang ditanam disamping


kiri kanan sepanjang jalan atau jalur pergerakan. Selain di kiri kanan jalan,
pepohonan juga biasa ditanam pada median jalan. Jalur hijau berfungsi sebagai
penyegar udara kota.

13
f. Halaman Gedung atau Pekarangan

Halaman gedung merupakan lahan dari persil yang tidak terbangun,


biasanya terdapat pada bangunan-bangunan seperti sekolah, kantor polisi, mall
dan lain-lain.Kadang-kadang halaman gedung dapat digunakan sebagai taman
pasif.

g. Sempadan

Sempadan berfungsi ganda yaitu selain melindungi manusia dan habitat


disekitarnya tetapi juga melindungi keberadaan sungai dan danau, jalur rel
kereta api atau kawasan limitasi. Sempadan sebagai ruang terbuka hijau
berfungsi sebagai batas dari sungai, danau dan jalur rel kereta api atau bahkan
kawasan limitasi terhadap penggnaan lahan disekitar.

h. Kawasan Khusus

Kawasan khusus adalah kawasan lainnya yang berupa ruang terbuka hijau
tetapi tidak diklasifikasikan sebagai taman ataupun jenis ruang terbuka lainnya.

Menurut (Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departement Pekerjaan


Umum, 2008) menunjukan bahwa tujuan pembentukan ruang terbuka hijau adalah:

1. Keindahan (tajuk, tegakan, pengarah, pengaman, pengisi, dan pengalas),


mengurangi pencemaran udara, peredam kebisingan, memperbaiki iklim
mikro, penyangga system kehidupan dan kenyamanan.
2. Perlindungan, pencegah erosi dan penahan badai

3. Pendidikan, kesenangan, kesehatan, interaksi social

4. Pendukung ekositem makro, vebtilasi dan pemersatu ruang kota

5. Kenyamanan spasial, visual, audial dan termal serta nilai ekonomi

6. Pelayanan masyarakat dan penyangga lingkungan kota, wisata alam,


produksi hasil hutan
7. Keseimbangan ekosistem

14
8. Reservasi dan perlindungan situs bersejarah

Menurut Permen PU No.5/PRT/M, 2008 Tentang Pedoman Penyediaan


Pemnfaatan Ruang Teruka Hijau di Kawasan Perkotaan tujuan penyelenggaraan
RTH adalah:

a. Menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara


lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentigan
masyarakat.
b. Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman
lingkungan perkotaannyang nyaman, segar, indah, dan bersih.

“Pada dasarnya ruang terbuka hijau bertujuan untuk meningkatkan kualitas


lingkungan perkotaan (Grey, 1986: 1). Seymour mengatakan bahwa tujuan utama
pembentukan ruang terbuka adalah meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan di dalam kota dengan saran untuk memaksimalkan kesejahteraan
manusia dengan menciptakan suatu lingkungan perkotaan yang lebih baik, lebih
sehat, lebih menyenagkan dan menarik”. (Miler, 1980: 10).

2.3.3 Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Berdasarkan Pedoman Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen


Pekerjaan Umum Tahun 2007, menyebutkan bahwa fungsi ruang terbuka hijau
adalah sebagai berikut:

1. Fungsi Bio ekologis (fisik), yaitu memberi jaminan pengadaan RTH


menjadi bagian dari sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro,
agar system sirkulasi udara dan air secra alami dapat berlangsung lancer,
sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat
satwa, penyerap (pengolah) polutan median udara, air dan tanah serta
penhan angin.
2. Fungsi social ekonomi (produktif) dan budaya yang mampu
menggambarkan ekspresi budaya local. RTH merupakan media komunikasi
arga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan dan penelitian.

15
3. Ekositem perkotaan produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan
berdaun indah serta bias menjadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan
dan lain sebagainya.
4. Fungsi estetis yaitu meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan
kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman,
maupun makro: lanskap kota secara keseluruhan. Mampu menstimulasi
kreatifitas dan produktivitas warga kota. Juga bisa berekreasi secara aktif
mapun pasif seperti bermain, berolahraga, atau kegitan sosialisasi lain yang
sekaligus menghasilkan “keseimbangan kehidupan fisik dan psikis”. Dapat
tercipta suasana serasi dan seimbang antara berbagai bangunan gedung,
infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota
pertanian dan perhutanan taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel
kereta api serta jalur biru bantarn kali.

Secara umum fungsi ruang teruka hijau menurut Permendagri No.1 Tahun
2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan menyatakan
bahwa fungsi ruang terbuka hijau adalah:

a. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan


penyangga kehidupan.
b. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan
keindahan lingkungan.
c. Sebagai saran rekreasi.

d. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam


pencemaran baik di darat, perairan dan udara.
e. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyrakat
untuk membentuk kesadaran lingkungan.
f. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah.

g. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro.

h. Sebagai pengaturan tata air.

16
Menurut Permen PU No.5/PRT/M, 2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Tebuka Hijau di Kawasan Perkotaan RTH, baik RTH public
maupun RTH privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis dan
fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi estetika, social dan fungsi ekonomi.
Dalam suatu wilayah perkotaan, Empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan
sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan
tata air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati.

Banyak para ahli menjabarkan mengenai fungsi ruang terbuka hijau, seperti
(shirvani, 1983: 93) mengemukakan bahwa fungsi adanya ruang terbuka hijau
adalah sebagai berikut:

a. Sebagai peneduh, pengatur suhu, penyaring udara kotor, pengontrol banjir,


angina dan suara tempat tinggal binatang.
b. Sebagai tempat rekreasi dan bermain anak-anak.

c. Menunjukan tampilan/identitas kota

Lebih lanjut (Simond, 1984:106) membagi fungsi ruang terbuka hijau


kedalam dua bagian, yaitu:

1. Fungsi non kreatif, yaitu berfungsi untuk kesehatan dan keindahan


lingkungan fisik kota, sebagai penyangga diantara penggunaan tanah yang
berbeda konservasi dan juga mempunyai nilai ekonomis.
2. Fungsi rekreasi yaitu untuk menjaga keselarasan pertumbuhan jasmani dan
perkembangan jiwa manusia, baik sebagai kelompok individu-individu.

2.3.4 Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Menurut Permendagri No.1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka


Hijau Kawasan Perkotaan manfaat ruang terbuka adalah sebagai berikut:

a. Memberikan kesegaran, kenyamanan, dan keindahan lingkungan.

b. Memberikan lingkungan yang bersih dan sehat bagi penduduk kota.

c. Memberikan hasil berupa produk kayu, daun, bunga, dan buah.

17
Menurut Permen PU No.5/PRT/M, 2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatn ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan, manfaat RTH berdasarkan
fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat
tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga),
kenyaman fisik (teduh, segar), keinginan dan manfaat tidak langsung (berjangka
panjang dan bersifat tangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati
atau keanekaragaman hayati.

Manfaat ruang terbuka hijau adalah untuk menunjang kesehatan,


kesejahteraan dan kemanan bagi penghuni kota (Rapuono, 1964:13). Ruang terbuka
hijau juga dapat memberikan hasil produksi sumber daya alam memeberikan
perlindungan terhadap bencana alam, melestarikan lingkungan hidup, menunjang
kesehatan dan keselamatan, memfasilitasi kegiatan rekreasi serta dapat
mengendalikan pembangunan (Seymour, 1980:10).

Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan
menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa keberadaan ruang terbuka hijau di kota
akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal di dalamnya.
Oleh karena itu, perencanaan ruang terbuka hijau harus dapat memenuhi
keselarasan harmoni antara struktural kota dan alamnya, bentuknya bukan sekedar
taman, lahan kosong untuk rekreasi atau lahan penuh tumbuhan yang tidak dapat
dimanfaatkan penduduk kota (Simonds, 2003). Ruang terbuka hijau (RTH)
dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi
dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi
yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan
air, dan lain-lain) akan memiliki permasalahan yang juga berbeda yang selanjutnya
berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang berbeda. Untuk
keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta
kriteria arsitektural, hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus
menjadi bahan pertimbangan dalam menyeleksi jenis-jenis yang akan ditanam
(Depdagri, 2007). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002,
pengadaan RTH di perkotaan ditujukan antara lain untuk menjaga kelestarian dan

18
keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan
budaya dengan luasan yang harus direncanakan sebesar lebih kurang 25% dari luas
wilayah. Menurut Purnomohadi (2006), RTH memiliki fungsi utama (intrinsik)
yaitu fungsi bio-ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural,
sosial dan ekonomi. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan
perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan
manusiawi.

2.4 Standar dan Daya Dukung Ruang Terbuka Hijau

Standar RTH secara khusus dimuat pada UU No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang disebutkan bahwa secara khusus mengamanatkan perlunya
penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi luasannya
ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, yang diisi
oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Departemen Dalam Negeri (2007) menyatakan bahwa standar RTH kota yang
umumnya dihitung berdasarkan jumlah penduduk kota. Perhitungan berdasarkan
persentase luas kota dan jumlah penduduknya, didapatkan standar luasan RTH kota
untuk taman bermain dan olahraga adalah sebesar 1,5 m2 /penduduk. Adanya
standar RTH kota didasarkan pada keamanan khusus, terutama dari keseimbangan
alami lingkungan hidup perkotaan. Dalam merencanakan suatu ruang terbuka hijau
perkotaan, menurut Nurisjah (2007), tidak semua lahan yang terjal harus ditanami
oleh pepohonan, atau tidak semua bantaran sungai dihijaukan setebal 15-50 meter
dari tepi sungai. Hal ini dikarenakan perlunya pertimbangan dari segi arsitektur
tanaman, jenis dan teknik penanamannya. Joga (2009) menyatakan bahwa
pengembangan ruang terbuka hijau, khususnya taman evakuasi bencana
mensyaratkan beberapa hal, antara lain:

a. Fungsi ekologis (sumur resapan air dengan daya resap tinggi, pohon
penghasil oksigen),
b. Ekonomis (kebersihan dan kesehatan warga, berkebun),
c. Edukatif (ruang belajar alam, kerajinan tangan dan pendidikan lain),

19
d. Evakuasi (ruang penyelamatan bencana kebakaran, banjir dan gempa
bumi),
e. Konservasi energi (suplai energi surya, biogas), dan
f. Estetis (kebersihan, kesehatan, dan keindahan lingkungan).

Dengan standar kebutuhan ruang setiap orang 1 m2 maka untuk ruang


evakuasi setiap 400 m2 dapat menampung pengungsi 300-400 orang dengan asumsi
pengungsi tidak membawa banyak barang. Taman evakuasi ini dilengkapi dengan
fasilitas dapur umum dan toilet bersama yang dilengkapi dengan panel sel surya
untuk menyuplai kebutuhan energi listrik taman yang bermanfaat pada saat listrik
mati total akibat bencana. Taman dilengkapi juga oleh bak tanaman sayuran dan
apotek hidup, tangki air minum, pompa hidran, toilet portable, papan petunjuk, alat
komunikasi serta gudang makanan dan obat-obatan. Sebaiknya, dari 500 m2 taman
evakuasi, terdapat area sebesar 100 m2 yang ditanami pohon besar. Daya dukung
dalam kawasan evakuasi erat kaitannya dengan ukuran batas toleransi maksimal
penggunaan area yang dipengaruhi faktor alam seperti ketersediaan ruang untuk
bertahan hidup dan berlindung. Batasan daya dukung untuk populasi manusia
merupakan jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu luasan sumberdaya dan
lingkungan dalam keadaan sejahtera, (Nurisjah, 2003). Selanjutnya Soerianegara
(1977) dalam Nurisjah (2003) menyatakan bahwa daya dukung memiliki 2 (dua)
kelompok yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Jumlah populasi makhluk hidup yang akan menggunakan sumberdaya


tersebut pada tingkat kesejahteraan yang baik, dan
2. Ukuran atau luas lingkungan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada
populasi manusia pada tingkat yang lestari.

2.5 Bencana

Bencana dalam Draft RUU tentang Penanggulangan Bencana pasal 1(1)


(Nurisjah, 2007) didefinisikan sebagai suatu peristiwa atau kejadian yang
disebabkan oleh alam atau buatan manusia atau keduanya, yang mengakibatkan
timbulnya korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana,

20
lingkungan dan utilitas umum serta meninggalkan gangguan terhadap tata
kehidupan dan penghidupan masyarakat. Setiap kejadian bencana alam, secara
umum menimbulkan kerugian yang sangat besar baik kerugian finansial, sosial
maupun secara emosional. Salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya
bencana, antara lain yaitu dilakukannya eksploitasi dan pemanfaatan sumberdaya
alam yang berlebihan dan perubahan tata guna lahan yang tidak sesuai dengan
kaidah lingkungan.

Merujuk pada Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 4


Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana,
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis. Bencana adalah peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang menyebabkan gangguan pada masyarakat sehingga menyebabkan
korban jiwa serta kerugian yang meluas pada kehidupan manusia baik dari segi
materi, ekonomi maupun lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat
tersebut untuk mengatasi menggunakan sumberdaya yang mereka miliki.

2.5.1 Gempa Bumi

Menurut Santoso (2002), gempa bumi merupakan istilah gejala alam yang
cukup familiar di Indonesia karena gempa bumi sering terjadi di dalam wilayah
negara ini. Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang bersifat alamiah,
terletak pada lokasi tertentu, dan sifatnya hanya sementara. Gempa bumi dapat
menyebabkan bencana, misalnya kerusakan struktur bangunan, longsor, maupun
tsunami. Gempa bumi umumnya disebabkan oleh pergeseran kerak bumi yang
disebut gempa tektonik. Selain gempa tektonik, letusan gunung berapi juga
menyebabkan gempa bumi yang bersifat lebih lokal. Gempa bumi ini disebut
sebagai gempa vulkanik.

21
Gempa bumi merupakan peristiwa getaran atau guncangan yang terjadi di
permukaan bumi. Gempa bumi dapat disebabkan oleh pergerakan kerak bumi
(lempeng bumi). Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang
dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin
lama tekanan itu semakin besar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana
tekanan tersebut tidak dapat ditahan oleh pinggiran lempengan dan terjadi gempa
bumi.

Noor (2006) menyatakan bahwa gempa bumi adalah getaran dalam bumi
yang terjadi sebagai akibat dari terlepasnya energi yang terkumpul secara tiba-tiba
dalam batuan yang mengalami perubahan posisi. Gempa dapat pula disefinisikan
sebagai rambatan gelombang pada batuan atau tanah yang berasal dari pelepasan
energi kinetik yang berasal dari dalam bumi. Sumber energi yang dilepaskan dapat
berasal dari hasil tumbukan lempeng,letusan gunung api, atau longsoran masa
batuan atau tanah. Menurut Hartuti (2009), secara keilmuan, gempa bumi adalah
suatu peristiwa lepasan energi gelombang seismik yang terjadi secara tibatiba.
Pelepasan energi ini disebabkan oleh deformasi lempeng tektonik yang terjadi pada
kerak bumi.

2.5.2 Jenis Gempa Bumi

Menurut Hartuti (2009), gempa bumi yang merupakan fenomena alam yang
bersifat merusak dan menimbulkan bencana dapat digolongkan menjadi empat
jenis, yaitu:

a. Gempa bumi vulkanik (gunung api), gempa bumi ini terjadi akibat adanya
aktivitas magma, yang biasa terjadi sebelum gunung api meletus. Apabila
keaktifannya semakin tinggi maka akan menyebabkan timbulnya ledakan
yang juga akan menimbulkan terjadinya gempa bumi. Gempa bumi tersebut
hanya terasa di sekitar gunung api tersebut.
b. Gempa bumi tektonik, gempa bumi ini disebabkan oleh adanya aktivitas
tektonik, yaitu pergeseran lempeng lempeng tektonik secara mendadak yang

22
mempunyai kekuatan dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar.
Gempa bumi ini banyak menimbulkan kerusakan atau bencana alam di
bumi, getaran gempa bumi yang kuat mampu menjalar keseluruh bagian
bumi.
c. Gempa bumi runtuhan, gempa bumi ini biasanya terjadi pada daerah kapur
ataupun pada daerah pertambangan, gempabumi ini jarang terjadi dan
bersifat lokal.
d. Gempa bumi buatan, gempa bumi buatan adalah gempa bumi yang
disebabkan oleh aktivitas dari manusia, seperti peledakan dinamit, nuklir
atau beban yang bertumbukan dengan permukaan bumi.

Menurut Noor (2006), selain gempa tektonik, terdapat gempa minor yang
disesbabkan oleh longsoran tanah, letusan gunung api, dan aktivitas manusia.
Gempa minor umumnya hanya dirasakan secara lokal dan getarannya relative tidak
menyebabkan kerusakan yang signifikan atau kerugian harta benda maupun korban
jiwa.

2.6 Evakuasi Bencana

Secara terminologi, evakuasi memiliki pengertian perpindahan penduduk


dari tempat berbahaya yang dapat mengancam keselamatan, menuju tempat yang
aman. Evakuasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu evakuasi skala kecil dan skala
besar. Pada skala kecil, contohnya yaitu penyelamatan diri dari ancaman bom yang
terdapat pada sebuah gedung. Sedangkan pada skala besar, yaitu penyelamatan diri
dari ancaman tsunami pada sebuah kota.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, kota semestinya dirancang menjadi kota waspada bencana. Hal
tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi dan mencegah berbagai bencana alam
(banjir, rob, gempa bumi, tsunami) dan non-alam (kebakaran, krisis air bersih,
intrusi air laut, tanah ambles, pencemaran lingkungan).

23
Secara umum, evakuasi bencana merupakan sebuah proses yang dilakukan
secara cepat untuk melindungi diri dari ancaman bahaya akibat adanya bencana.
Untuk mengakomodasi kepentingan perlindungan, evakuasi, atau pertahanan hidup
atas bencana ini, sebaiknya kota dibangun kembali dengan mengalokasikan lebih
banyak ruang terbuka hijau (RTH). Hal ini berkaitan dengan membangun sistem
peringatan dini secara alamiah untuk mengantisipasi bencana alam yang penting
bagi kota dan paling murah untuk dibangun.

Penanggulangan bencana gempa bumi pada hakekatnya adalah mengurangi


resiko bencana gempa bumi terhadap harta benda maupun jiwa manusia. Menurut
Noor (2006), penanggulangan bencana atau biasa disebut penanggulangan
merupakan suatu kerjasama antara para ahli teknik dengan pembuat kebijakan yang
pada akhirnya menghasilkan suatu peraturan-peraturan pembangunan untuk suatu
wilayah yang rentan terhadap bahaya geologi seperti bencana gempa bumi.

Bencana gempa bumi merupakan bahaya geologi yang sampai saat ini
belum dapat diprediksi. Para ahli seismologi telah mencoba beberapa metode untuk
memprediksi adanya fenomena gempa bumi, antara lain dengan cara mengukur
getaran-getaran mikro melalui alat seismograf dan dapat mengetahui gelombang
awal (front schock) dari suatu gempa, mengukur kedalaman air dan perubahan
kedalaman muka air tanah pada sumur-sumur bor, mengukur kemiringan muka
tanah, dan mengukur sifat konduktifitas listrik.

Cara yang telah dilakukan tersebut ternyata memiliki tingkat keberhasilan


yang rendah. Para ahli menyimpulkan bahwa usaha pencegahan terhadap bencana
gempa bumi sangat sulit bahkan lebih sulit dari memprediksi gempa (Noor, 2006).
Merujuk pada Peraturan Kepala BNPB No. 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, evakuasi merupakan salah satu
tindakan tanggap darurat bencana atau serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

24
2.6.1 Karakteristik Lokasi Evakuasi

Menurut Adriyana (2010), jenis pohon tertentu terpilih sebagai pohon


penyelamatan (escape trees) yang ditanam di sepanjang jalur evakuasi bencana
(escape route) menuju taman atau bangunan penyelamatan (escape building)
lainnya. Penanaman pohon besar di sepanjang jalur hijau jalan, jalur pedestrian,
bantaran rel kereta api, jalur tegangan tinggi, serta jalur tepian air bantaran kali,
situ, waduk, tepi pantai, dan rawa-rawa akan membentuk infrastruktur hijau raksasa
yang berfungsi ekologis.

Jika penanggulangan bencana dilakukan secara terpadu, terus-menerus, dan


dilakukan oleh semua pihak (pemerintah, masyarakat dan pihak terkait lainnya),
kerugian jiwa, harta benda, serta terganggunya aktivitas sosial dan ekonomi warga
bisa dikurangi. Menurut Joga (2009), kawasan waspada bencana atau biasa disebut
ruang penanggulangan bencana ini harus mempertimbangkan beberapa hal,
diantaranya:

1. Lokasi,
2. Luas lahan,
3. Ketinggian tempat,
4. Fasilitas (sarana evakuasi),
5. Utilitas (air dan energi),
6. Akses (bagi korban dan bantuan),
7. Pendekatan desain.

Beberapa hal dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko bencana gempa


bumi, antara lain:

1. Melakukan pemetaan daerah rawan gempa. Hal ini bisa dilakukan lembaga
riset atau perguruan tinggi. Hasil studi ini dapat dijadikan landasan untuk
kebijakan pemerintah pusat ataupun daerah serta untuk peningkatan
kesadaran masyarakat terhadap ancaman bencana.
2. Membuat aturan yang ketat tentang pendirian bangunan, baik perumahan,
perkantoran, maupun fasilitas publik yang tahan gempa. Aturan tersebut

25
perlu diikuti dengan inspeksi sebelum dan saat pendirian bangunan. Selain
itu, untuk warga yang tidak mampu bisa disediakan tenaga untuk membantu
memberikan masukan mendirikan bangunan yang tahan gempa. Pendekatan
kedua ini sering disebut penanggulangan bencana struktural karena
menekankan pada penguatan seluruh bangunan fisik.
3. Membuat jalur-jalur evakuasi dan rambu-rambu, seperti tanda pintu darurat
untuk evakuasi ketika terjadi gempa bumi. Jalur dan rambu ini penting
karena evakuasi saat terjadi kebakaran gedung, misalnya, sangat berbeda
dengan evakuasi saat terjadi gempa bumi. Namun hal ini sering dilupakan,
termasuk pada gedung perkantoran di kota-kota yang rawan gempa bumi.
4. Pembuatan jalur ini perlu diikuti penyuluhan dan latihan secara periodik
untuk evakuasi bagi warga yang berada di rumah, di gedung perkantoran, di
sekolah, pusat perbelanjaan, di jalan raya, atau tempat lain. Latihan ini
penting agar mengetahui jalur penyelamatan diri dan tidak panik saat terjadi
bencana sehingga jumlah korban bisa ditekan sekecil mungkin.
5. Peningkatan kemampuan dan keterampilan memberikan pertolongan
pertama pada korban bencana. Peningkatan kemampuan ini disertai dengan
penyiapan peralatan kesehatan dan berbagai kebutuhan dasar, seperti air
minum, makanan kering, hingga pakaian dalam.
6. Memberikan pelatihan dan meningkatkan keterampilan terus-menerus bagi
petugas yang melakukan evakuasi dan penyelamatan korban bencana.
Dengan metode penyelamatan tidak salah karena keliru dalam penanganan
korban bencana bisa berakibat kondisi kesehatan korban semakin parah.
Pendekatan ketiga hingga keenam biasanya disebut penanggulangan
bencana nonstruktural.
7. Penanggulangan bencana nonstruktural juga dapat dilakukan dengan
memperkenalkan atau menerapkan asuransi bencana di daerah yang rawan
gempa. Jadi, masyarakat tidak harus menunggu bantuan dari pemerintah
atau donatur saat harus melakukan pemulihan pascabencana, terutama dari
sisi ekonomi.

26
Joga (2009), menyatakan bahwa pemerintah sudah seharusnya
menyediakan taman evakuasi bencana seluas 500 m² di permukiman padat
penduduk karena sering kali kawasan ini dirugikan saat bencana melanda. Dalam
situasi normal, taman memiliki fungsi ekologis, ekonomis, edukatif, konservasi
energi, dan estetis. Ketika bencana tiba, taman menjadi ruang evakuasi bencana
(banjir, kebakaran, gempa bumi).

Taman untuk kegiatan evakuasi sebaiknya dilengkapi tiang pancang untuk


tenda darurat, tangki air minum, pompa hidran, papan petunjuk, alat komunikasi,
fasilitas dapur umum, dan toilet bersama. Atap taman dilengkapi dengan panel sel
surya untuk menyuplai kebutuhan energi listrik taman, serta sangat bermanfaat saat
bencana terjadi aliran listrik mati total. Tangga atau ramp melingkar mengelilingi
bangunan taman, jalur jogging, jalur sepeda dan pengadaan berbagai kegiatan anak-
anak akan memudahkan proses evakuasi saat terjadi bencana.

2.7 Mekanisme Pemanfaatan RTH sebagai Ruang Evakuasi

Mekanisme penggunaan ruang terbuka hijau setelah direncanaan


merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kesuksesan dari perencanaan
pemanfaatan ruang tersebut. Perencanaan ruang tersebut tidak dapat berjalan
dengan efektif apabila masyarakat tidak mengetahui tentang fungsi ruang terbuka
hijau kota. Oleh sebab itu, dibutuhkan sosialisasi dari pihak perencana dan
perancang tentang kawasan waspada bencana ini.

Untuk menunjang keefektifan perencanaan yang telah dibuat, sosialisasi


dapat dilakukan dengan menjelaskan maksud dari perencanaan ruang terbuka hijau,
sehingga sejak awal masyarakat dapat mengetahui maksud dari perencanaan
tersebut. Tahap selanjutnya dapat dilakukan latihan-latihan simulasi bencana.
Masyarakat diajak berlatih untuk selalu siaga dan tidak panik dalam menghadapi
bencana. Rute-rute yang harus ditempuh sebagai ruang evakuasi bencana sebaiknya
disosialisasikan kepada masyarakat. Dalam skala suatu kota seharusnya mekanisme
juga harus direncanakan dengan baik.

27
Dengan sosialisasi dan yang telah dilakukan, masyarakat diarahkan untuk
menuju tempat-tempat evakuasi masing-masing. Penggunaan tanda-tanda yang
dapat membantu dalam keadaan darurat seperti ini. Jalur-jalur penanggulangan
bencana yang direncanakan dan telah disosialisasikan dengan baik akan
mengurangi korban saat bencana, baik korban jiwa maupun korban harta, menurut
Joga (2009).

Mekanisme penanggulangan bencana mengacu pada UU No. 24 Tahun


2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dari peraturan
perundangundangan tersebut, dinyatakan bahwa mekanisme tersebut dibagi ke
dalam tiga tahapan yaitu:

1. Pada pra bencana maka fungsi Badan Penanggulangan Bencana Daerah


(BPBD) bersifat koordinasi dan pelaksana,
2. Pada saat darurat bersifat koordinasi, komando dan pelaksana
3. Pada pasca bencana bersifat koordinasi dan pelaksana.

Merujuk pada Peraturan Kepala BNPB No. 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, pelaksanaan penanggulangan
bencana ini dilakukan pada keadaan tanggap darurat dengan memanfaatkan ruang
terbuka hijau sebagai ruang evakuasi dan melakukan kegiatan antara lain sebagai
berikut:

1. Pengkajian secara tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya,


2. Penentuan status keadaan darurat bencana,
3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana,
4. Pemenuhan kebutuhan dasar,
5. Perlindungan terhadap kelompok rentan, dan
6. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

28
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Karakteristik


penelitian kualitatif antara lain analisis data secara induktif, deskriptif, data yang
di kumpulkan berupa kata-kata, gambar batas yang ditentukan oleh fokus, desain
bersifat sementara, serta hasil penelitian. Sedangkan banyak, sedikit atau besar,
kecil yang dijabarkan dalam bentuk-bentuk angka merupakan bagian yang utama
dari sebuah penelitian kuantitatif (Sugiyono, 2007).

Penelitian ini mengkaji tentang jenis RTH yang dapat dimanfaatkan


sebagai ruang evakuasi masyarakat dari ancaman bencana gempa bumi di Kota
Makassar. Pendekatan perencanaan yang digunakan melalui pendekatan sosial
kepada masyarakat sekitar.

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Lokasi


penelitian ditetapkan berdasarkan latar belakang Kota Makassar sebagai kawasan
padat dan rawan bencana, karenanya diperlukan suatu perencanaan pengembangan
ruang terbuka publik sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan kota berkelanjutan.
Penelitian mulai dilaksanakan pada bulan November 2018.

3.3 Jenis Data

Berdasarkan sumbernya, terdapat dua jenis data yang digunakan


dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder.

3.3.1 Data Primer

Data primer adalah data yang didapatkan dari hasil observasi lapangan.
Data tersebut meliputi:

a. Penggunaan Lahan

29
b. Pusat-pusat kegiatan
c. Jaringan jalan
d. Data kondisi RTH
e. Potensi pengguna

3.3.2 Data Sekunder

Sedangkan data sekunder dalah data yang diperoleh melewati studi


literatur atau tidak secara langsung. Data sekunder dalam penelitian ini adalah:

a. Letak geografi dan administrasi kota


b. Dokumen RTRW Kota Makassar
c. Data Kependudukan
d. Data topografi dan kemiringan
e. Kajian Literatur

3.4 Variabel Penelitian

Pengertian Menurut Sugiyono (2009:38), variabel penelitian pada dasarnya


adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik
kesimpulannya. Variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Pola penggunaan lahan untuk mengidentifikasi pola pengembangan RTH


2. Kriteria ruang evakuasi sebagai acuan atau syarat RTH evakuasi
3. Aksesibilatas menuju RTH

3.5 Teknik Pengumpulan data

Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan beberapa teknik, antara


lain sebagai berikut.

3.5.1 Studi Literatur

Studi literatur adalah teknik pengumpulan data sekunder dari berbagai buku,
dokumen dan tulisan yang relevan untuk dengan tujuan dan obyek penelitian yang
terkait dengan tujuan penelitian. Data-data yang diperoleh dari studi literatur

30
adalah data kependudukan, dokumen rencana Kawasan Perkotaan Makassar, dan
buku panduan dan jurnal ruang terbuka publik perkotaan.

3.5.2 Observasi

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematis


terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian (margono, 1997: 158).
Pengamatan dan pencatatan ini dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau
berlangsungnya peristiwa. Data yang didapatkan dalam proses ini yaitu pola
penggunaan lahan.

3.5.3 Kuesioner

Kuesioner (angket) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan


dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada
responden terkait apa yang akan diteliti. Kuesioner dalam penelitian ini akan
diberikan pada beberapa sampel yang seringkali melakukan perjalanan untuk
menentukan bagaimana kondisi sosial masyarakat dan keinginan masyarakat
terhadap ruang terbuka publik.

3.6 Teknik Analisis

Data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif dan


spasial. Data yang telah terkumpul sebelumnya digambarkan dalam peta tematik
yang mengidentifikasi beberapa hal, antara lain:

1. Peta Tata Guna Lahan, untuk melihat fungsi masing-masing kawasan


dengan masing-masing penggunaannya,
2. Daerah kritis dan berbahaya. Pada daerah ini terdapat beberapa daerah yang
membahayakan penghuni (critical section),
3. Identifikasi daerah yang berpotensi sebagai tempat penghuni melakukan
aktivitas dan fasilitas penunjang aktivitas publik,
4. Identifikasi kondisi eksisting berupa fasilitas, dan kondisi sosial masyarakat.

Analisis yang dilakukan meliputi faktor pendukung (ekologi dan sosial)


untuk melihat kebutuhan RTH. Analisis juga termasuk analisis citra menggunakan

31
Geographical Information System (GIS) untuk melihat karakter RTH kota secara
spasial, dan melakukan analisis kesesuaian lahan untuk RTH yang dapat
dimanfaatkan sebagai ruang evakuasi di kota tersebut. Sistem Informasi Geografi
(SIG) merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG data
dipelihara dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta
cetak, tabel atau bentuk lainnya.

Dengan menggunakan sistem komputer maka data dalam jumlah besar


dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya persatuan yang
lebih rendah daripada cara manual. Demikian pula dalam memanipulasi data spasial
dan mengkaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan
berbagai tipe data dalam suatu analisis. Kemampuan untuk melakukan analisis
spasial yang kompleks secara tepat mempunyai keuntungan kualitatif dan
kuantitatif, di mana skenario perencanaan, model-model keputusan, deteksi
perubahan dan analisis, dan tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan
membuat perbaikan secara terus-menerus (Barus dan Wiradisastra, 1997).

Geographic Information System (GIS) yang dalam bahasa Indonesia lebih


sering disingkat SIG (Sistem Informasi Geografis) dirancang untuk
mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek objek dan fenomena-
fenomena dimana lokasi lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting
atau kritis untuk dianalisis. Selanjutnya, menurut Barus dan Wiradisastra (1997),
kegunaan SIG tidak hanya data yang berbeda dapat dintegrasikan tetapi prosedur
yang berbeda juga dapat dipadukan. Sebagai contoh prosedur penanganan data
seperti: pengumpulan data, verifikasi data dan pembaharuan data. Dalam hal ini
SIG dipakai untuk mengecek keakuratan perubahan. Zona yang mana yang terkena
dampak dan pada saat bersamaan memperbaiki peta dan data tabel relevan. Dengan
cara ini pemakai mendapatkan lebih banyak informasi terbaru dan dapat
memanipulasinya sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan.

3.7 Tahap sintesis


Tahap ini merupakan tahap pemaduan hasil analisis. Pada tahap ini
didapatkan peta-peta identifikasi zona dengan sistem overlay. Peta hasil overlay

32
tersebut merupakan zona potensial tata ruang, topografi, geologi serta peta jalur
transportasi. Pada tahap selanjutnya akan ditentukan lokasi evakuasi dan jalur
evakuasi yang merupakan bagian dari perencanaan.

3.8 Tahapan Perencanaan

Pada tahap ini, hasil overlay akhir peta-peta tematik termasuk didalamnya
ruang-ruang tiap zona berikut jalur sirkulasi. Pada perencanaan diajukan tata letak
RTH kota dan fasilitas serta elemen lanskap yang mendukung aktivitas pada tapak.
Produk akhir dari tahap ini adalah gambar rencana yang terdiri dari:

1. Perencanaan lanskap dalam bentuk grafis


2. Tata letak fasilitas dan aktivitas di kawasan
3. Jalur hijau dalam kawasan evakuasi
4. Gambar ilustrasi fasilitas penunjang evakuasi dan daerah penghijauan

Inventarisasi Analisis Sintesis Perencanaan

Lokasi, Iklim, Potensi, kendala, Overlay peta Konsep umum


Topografi, Geologi dan bahaya tata guna lahan, perencanaan
dan Tanah, Tata peta topografi,
guna lahan, peta geologi,
Kriteria/standar
sirkulasi dan peta sirkulasi,
ruang evakuasi
aksesibilitas dan peta
fasilitas
Aspek sosial
kependudukan

PETA RTH
EVAKUASI.
JALUR MENUJU
Kesesuaian KAWASAN
Peta Hasil Lahan sebagai EVAKUASI
Data Analisis RTH Evakuasi BENCANA

Gambar 3.1 Tahapan Perencanaan

33

Anda mungkin juga menyukai