Anda di halaman 1dari 87

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella typhi dan paratyphi. Penyakit ini masih dijumpai
secara luas di seluruh dunia, terutama di negara berkembang beriklim tropis
dan subtropis dengan kondisi sanitasi yang buruk (Abro et al., 2009). Dari
laporan World Health Organization (2014), terdapat 21 juta kasus demam
tifoid per tahun di dunia (67% berasal dari Asia Tenggara) dan jumlah
kematian 220.000 jiwa. Di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit
endemik yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah
kasus di Rumah Sakit besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan
kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan angka kesakitan 500
per 100.000 penduduk dan angka kematian antara 0,6 – 5 % (Depkes RI,
2006).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2012), demam tifoid atau
paratifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak dari pasien
rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 kasus dan
sebanyak 274 orang meninggal dunia (Case Fatality Rate 0,67 %) (Depkes
RI, 2012). Data Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa
demam tifoid termasuk dalam kejadian luar biasa (KLB) pada tahun 2008
dengan attack rate sebesar 0,37% yang menyerang 4 desa di 4 kecamatan
dengan jumlah penderita 51 jiwa. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan jumlah
penderita Demam Tifoid sebesar 150 jiwa yang menyerang 3 desa di 3
kecamatan dengan attack rate sebesar 2,69%. Tahun 2010 kasus KLB demam
Tifoid kembali terjadi dengan attack rate sebesar 1,36% yang menyerang 1
desa dengan jumlah penderita sebanyak 26 jiwa (Dinkes Jateng, 2010).
Beberapa faktor risiko yang mampu meningkatkan angka kejadian
demam tifoid yaitu faktor sanitasi lingkungan dan personal higiene. Penelitian
yang dilakukan oleh Kurniasih di rumah sakit Jasa Kartini Tasikmalaya pada
tahun 2011 menunjukkan bahwa faktor risiko tertinggi penyebab timbulnya
demam tifoid adalah faktor sanitasi lingkungan, yaitu sebanyak 87,92%

1
responden tidak memiliki sarana lingkungan yang memenuhi persyaratan
kesehatan, seperti tidak mempunyai jamban dan kurang tersedianya air bersih,
dan tidak menggunakan tempat sampah yang tertutup di dalam rumah.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Dian Herliyani di rumah sakit Al- Islam
Bandung pada tahun 2015, mendapatkan hasil bahwa faktor risiko yang
menyebabkan terjadinya demam tifoid adalah faktor personal higiene, yaitu
sebanyak 80% responden tidak mencuci tangannya sebelum makan dan tidak
mencuci tangan menggunakan sabun setelah buang air besar. Temuan data
Puskesmas II Cilongok pada Periode Januari – Agustus 2016 menunjukkan
bahwa demam tifoid merupakan 10 penyakit terbesar, dengan angka
kesakitan 1095 per 100.000 penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa angka
kesakitan demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas II Cilongok lebih tinggi
dibandingkan angka kejadian nasional. Dari 9 desa yang merupakan wilayah
kerja Puskesmas II Cilongok, kasus terbanyak terdapat di desa Jatisaba. Oleh
karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis faktor risiko demam tifoid
pada masyarakat desa Jatisaba di Puskesmas II Cilongok sehingga dapat
dilakukan pencegahan dan pengendalian lebih lanjut mengenai faktor risiko
demam tifoid tersebut dan dapat mengurangi angka kejadian penyakit demam
tifoid di wilayah puskesmas II Cilongok.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan analisis kesehatan komunitas (Community Health
Analysis) di Desa Jatisaba wilayah kerja Puskesmas II Cilongok
Kabupaten Banyumas
2. Tujuan Khusus
a. Menentukan faktor risiko demam tifoid di Desa Jatisaba di Puskesmas
II Cilongok
b. Mencari alternatif pemecahan masalah demam tifoid di Desa Jatisaba di
Puskesmas II Cilongok
c. Melakukan intervensi terhadap penyebab masalah demam tifoid untuk
mengatasi masalah kesehatan di Desa Jatisaba di Puskesmas II
Cilongok.

2
C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Menjadi dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang
permasalahan kesehatan yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas II
Cilongok.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi mahasiswa
Menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai masalah
kesehatan di wilayah kerja Puskesmas II Cilongok.
b. Bagi masyarakat desa
Memberikan informasi kesehatan (promotif, preventif, dan rehabilitatif)
kepada masyarakat Desa Jatisaba untuk penelitian khususnya berkaitan
dengan demam tifoid.
c. Bagi instansi terkait
Membantu program enam dasar pelayanan kesehatan puskesmas
berkaitan dengan promosi kesehatan terutama masalah demam tifoid
sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan menentukan
kebijakan yang harus diambil untuk menyelesaikan masalah.
d. Bagi Fakultas Kedokteran UNSOED
Untuk menambah bahan referensi yang dapat digunakan sebagai acuan
dalam penelitian selanjutnya.

3
II. ANALISIS SITUASI

A. Gambaran Umum
1. Keadaan Geografi
Puskesmas II Cilongok merupakan salah satu bagian wilayah
Kabupaten Banyumas, dengan luas wilayah kurang lebih 42 km2 atau
3,25% luas Kabupaten Banyumas. Wilayah Puskesmas II Cilongok terbagi
dalam 9 desa, dengan desa yang mempunyai wilayah paling luas adalah
Jatisaba dengan luas ± 8,64 km2 yang paling sempit adalah desa Sudimara
dengan luas ± 1,87 km2. Letak geografi Puskesmas II Cilongok terletak
diantara 1050 dan 1090 30 garis bujur timur dan sekitar 70 30 garis
lintang selatan, berbatasan dengan wilayah beberapa Kecamatan yaitu :
a. Di sebelah Utara : Wil. Puskesmas I Cilongok
b. Di sebelah Selatan : Wil. Kecamatan Patikraja
c. Di sebelah Barat : Wil. Kecamatan Ajibarang & Purwojati
d. d. Di sebelah Timur : Wil. Kecamatan Karanglewas

Topografi Puskesmas II Cilongok lebih dari 45 % merupakan daerah


dataran yang tersebar di bagian Tengah dan Selatan serta membujur dari
Barat ke Timur. Ketinggian wilayah di Puskesmas II Cilongok sebagian
besar berada pada kisaran 25 – 150 M dari permukaan laut. Luas
Penggunaan Lahan di wilayah Puskesmas II Cilongok dapat diperinci
sebagai berikut :
a. Tanah sawah : 1106,17 Ha (25,6 %)
b. Tanah Pekarangan: 648,15 Ha (15,0 %)
c. Tanah Tegalan : 769,14 Ha (17,8 %)
d. Tanah Perkebunan: 384,57 Ha (8,9 %)
e. Tanah Hutan : 1261,73 Ha (29,2 %)
f. Kolam/ Tambak : 4,43 Ha (0,1 %)
g. Lain-lain : 146,91Ha (3,4 %)

4
2. Keadaan Demografi
a. Pertumbuhan Penduduk
Jumlah Penduduk wilayah Puskesmas II Cilongok tahun 2015
berdasarkan data dari BPS Kecamatan Cilongok adalah 56.957 jiwa
yang terdiri dari 29.135 jiwa laki-laki (51,00%) dan 27.822 jiwa
perempuan (49,00%) tergabung dalam 15.480 Rumah tangga / KK.
Jumlah penduduk tahun 2015 yang tertinggi di desa Pageraji sebanyak
10.753 jiwa sedangkan terendah di desa Cipete sebanyak 4.312 jiwa.
Laju pertumbuhan penduduk rata-rata dari tahun 2010-2015 sebesar
1.97%. Laju pertumbuhan penduduk menurut desa cukup bervariasi,
laju pertumbuhan yang tertinggi di desa Batuanten sebesar 3.76 %
sedangkan yang terendah di desa Jatisaba yaitu minus 0,31 %.
b. Jumlah Penduduk
Menurut Kelompok Umur Jumlah penduduk berdasarkan
kelompok umur, yaitu penduduk berumur 15-44 tahun merupakan
kelompok umur tertinggi sebesar 24.737 jiwa atau 43,43% maka
penduduk wilayah kerja Puskesmas II Cilongok tergolong pada
penduduk usia muda/ usia produktif. Sedangkan jumlah penduduk
berumur <1 tahun sebanyak 902 jiwa atau 1.58% sebagai golongan
umur terendah. Kelompok umur 1 – 4 tahun sebanyak 3.265 jiwa atau
5.73%, umur 5 -14 tahun sebanyak 8.307 jiwa atau 14.58%, umur 45 –
64 tahun sebanyak 12.840 jiwa atau 22,54%, ≥ 65 tahun sebesar 6.906
jiwa atau sebesar 12.12%.
c. Kepadatan Penduduk
Penduduk di wilayah Puskesmas II Cilongok untuk tahun 2015
belum menyebar secara merata, sebagian wilayah di desa Batuanten,
Jatisaba dan Jatisaba terdiri dari hutan Jati dan Pinus milik Perhutani.
Kepadatan penduduk di wil Puskesmas II Cilongok sebesar 1.352
jiwa setiap kilometer persegi, dan desa terpadat adalah desa Sudimara
dengan tingkat kepadatan sebesar 2.478 jiwa setiap kilometer persegi,
sedang kepadatan penduduk terendah di desa Jatisaba sebesar 818
jiwa setiap kilometer persegi.

5
3. Petugas kesehatan
Tenaga kesehatan merupakan tenaga kunci dalam mencapai
keberhasilan pembangunan bidang kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan
dalam wilayah Puskesmas II Cilongok adalah sebagai berikut :
a. Tenaga Medis
Jumlah tenaga medis yang ada di Puskesmas, sebanyak 2 orang
dokter umum, rasio tenaga medis terhadap penduduk sebesar 3,5 per
100.000 penduduk.
b. Dokter Spesialis
Dokter spesialis tidak ada. Standar IIS 2010, 6/100.000
penduduk.
c. Dokter Gigi
Dokter gigi 1 orang. Standar IIS 2010, 11/100.000 penduduk
d. Tenaga Farmasi
Tenaga farmasi 1 orang. Standar IIS 2010, 10/100.000
penduduk
e. Tenaga Bidan
Tenaga bidan sebanyak 17 orang bidan puskesmas dan 11 orang
bidan desa, rasio tenaga bidan terhadap penduduk sebesar 33,35 per
100.000 penduduk..
f. Tenaga Perawat
Jumlah tenaga perawat yang ada di Puskesmas, sebanyak 5
orang perawat, yaitu 4 orang perawat umum dan 1 orang perawat gigi,
rasio untuk tenaga perawat sebesar 5,27 per 100.000 penduduk.
g. Tenaga Kesehatan Masyarakat
Jumlah Sarjana Kesmas sebanyak 1 orang, menjabat sebagai kepala
puskesmas.

B. Capaian Program dan Derajat Kesehatan Masyarakat


Untuk melihat gambaran dari derajat kesehatan masyarakat di wilayah
Puskesmas II Cilongok, dapat dilihat dari angka kesakitan (morbiditas), angka
kematian (mortalitas) dan status gizi.

6
1. Morbiditas
a. Penyakit Menular yang Diamati
1) Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan data yang dihimpun petugas surveilans selama
tahun 2015 ditemukan kasus DBD di wilayah Puskesmas II
Cilongok sebanyak 9 kasus, yaitu 3 Kasus di desa Jatisaba, 2
kasus di 2 desa yaitu Pageraji dan Jatisaba, serta 2 kasus di 2 desa
yaitu Pejogol dan Sudimara. Penemuan DBD merupakan laporan
Rumah Sakit melalui form KDRS. Meskipun ada peningkatan
jumlah desa, namun kasus yang terjadi dikarenakan penderita
setelah bepergian dari daerah yang endemis DBD, berdasarkan
hasil PE seluruh desa diwilayah Puskesmas II Cilongok dapat
dikategorikan non endemis DBD. Ini membuktikan bahwa
masyarakat Cilongok ikut berperan dalam mencegah dan
menanggulangi DBD.
2) Malaria
Selama tahun 2015 diwilayah Puskesmas II Cilongok tidak
ditemukan kasus positif malaria, adapun saat ini Puskesmas II
Cilongok tidak mempunyai petugas JMD yang biasanya
mengunjungi desa-desa mencari penderita dengan gejala panas.
3) TB Paru
Jumlah kasus TB Paru Positif Tahun 2015 di Puskesmas II
Cilongok sebanyak 26 kasus yang semuanya melakukan
pengobatan di Puskesmas, jumlah kasus ini tidak mencerminkan
keadaan yang sesungguhnya, karena masih ada penderita TB yang
berobat ke Dokter praktek swasta dan tidak terpantau oleh
Puskesmas. Penderita TB Paru sembuh selama ini hanya bisa
dideteksi dengan menggunakan rontgen bukan dengan
pemeriksaan dahak di laboratorium karena masih terbatasnnya
peralatan laboratorium.

7
4) Diare
Jumlah kasus diare di Puskesmas II Cilongok berdasarkan
laporan dari petugas P2M selama tahun 2015 sebanyak 580 kasus
sedangkan tahun 2014 sebesar 654, perbandingan tahun 2015 dan
2014 mengalami penurunan sebesar 74 kasus.
5) Pneumonia
Jumlah kasus pneumonia balita ada 100 kasus yang
ditangani oleh puskesmas, atau sekitar 17,4% dari perkiraan
sebanyak 554 kasus. Kasus ini masih tinggi diwilayah Puskesmas
II Cilongok, untuk menurunkan kasus ini diharapkan kerjasama
dari petugas kesehatan dan seluruh masyarakat itu sendiri antara
lain dengan cara pemantauan dan pemeriksaan faktor risiko di
lingkungan rumah para penderita, peningkatan SDM untuk
deteksi dan tatalaksana kasus (Manajemen P2 ISPA), selain itu
juga dilakukan monitoring dan evaluasi berkala oleh petugas,
serta dilakukan promosi atau penyuluhan rutin tentang ISPA oleh
petugas kesehatan puskesmas.
6) HIV/ AIDS dan IMS
Dari pemantauan petugas P2M terdeteksi adanya 1 kasus
HIV/ AIDS dan 4 kasus IMS di wilayah Puskesmas II Cilongok.
Namun ada kemungkinan bahwa jumlah kasus yang ada di
masyarakat lebih banyak dari jumlah yang dilaporkan karena
masih ada perasaan malu untuk memeriksakan diri apabila
berhubungan dengan penyakit HIV/ AIDS ataupun Infeksi
Menular Seksual seperti Syphillis, Gonorhoe, Herpes dan lain-
lain.
7) Filariasis
Pada tahun 2015 di wilayah Puskesmas II Cilongok tidak
ditemukan adanya kasus Filariasis.

8
b. Kasus Penyakit Menular yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi
1) Difteri
Kasus penyakit Difteri di Puskesmas II Cilongok tahun
2015 berdasarkan data dari Petugas P2M yaitu tidak ditemukan
kasus, hal ini tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya
mengingat tidak semua masyarakat berobat ke Puskesmas II
Cilongok melainkan ada yang ke dokter praktek swasta/Rumah
sakit, namun demikian petugas Puskesmas selalu memantau
perkembangan penyakit menular di masyarakat.
2) Campak
Tahun 2015 tidak terdeteksi adanya kasus campak,
berdasarkan pengamatan /surveilans, seluruh wilayah Puskesmas
II Cilongok merupakan wilayah non endemis kasus campak.
3) Pertusis
Kasus penyakit Pertusis di Puskesmas II Cilongok tahun
2015 berdasarkan data dari Petugas P2M tidak ditemukan kasus,
hal ini tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya mengingat
tidak semua masyarakat berobat ke Puskesmas II Cilongok
melainkan ada yang ke dokter praktek swasta/Rumah sakit.
4) Tetanus dan Tetanus Neonatorum
Tetanus yaitu penyakit infeksi akut dan sering fatal yang
mengenai sistem saraf yang diisebabkan infeksi bakteri dari luka
terbuka. Ditandai dengan kontraksi otot tetanik dan hiperrefleksi,
yang mengakibatkan trismus (rahang terkunci), spasme glotis,
spasme otot umum, opistotonus, spasme respiratoris, serangan
kejang dan paralisis. Tetanus Neonatorum yaitu suatu bentuk
tetanus infeksius yang berat, dan terjadi selama beberapa hari
pertama setelah lahir. Disebabkan oleh faktor-faktor seperti
tindakan perawatan sisa tali pusat yang tidak higienis, atau pada
sirkulasi bayi laki-laki dan kekurangan imunisasi maternal.
Seperti halnya penyakit Difteri dan Pertusis kasus penyakit
Tetanus dan T.Neonatorum di Puskesmas II Cilongok tahun

9
2015 berdasarkan data dari Petugas P2M tidak ditemukan kasus,
hal ini tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya.
5) Polio
Polio merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus. Dapat menyerang semua umur, tetapi biasanya menyerang
anak-anak usia kurang dari 3 tahun yang menyebabkan
kelumpuhan sehingga penderita tidak dapat menggerakkan salah
satu bagian tubuhnya, untuk wilayah Puskesmas II Cilongok
selama tahun 2015 tidak terdapat kasus polio, namun demikian
pemantauan selalu dilakukan oleh petugas kesehatan dan petugas
imunisasi.
6) Hepatitis B
Hepatitis merupakan Peyakit yang disebabkan oleh virus
Hepatitis (A, B, C, D, dan E). Tahun 2015 tidak ditemukan kasus
Hepatitis B di wilayah Puskesmas II Cilongok.
2. Mortalitas
a. Angka Kematian Bayi dan Balita
Menurut data yang dihimpun petugas KIA, ada 7 kasus bayi
lahir mati pada tahun 2015, sedangkan jumlah lahir hidup 826 bayi.
Angka Kematian Bayi di Puskesmas II Cilongok pada tahun 2015
sebesar 8,5 per 1000 kelahiran hidup. Ini berarti masih dibawah target
nasional yaitu 24 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk jumlah
balita sebanyak 5.527 dan jumlah anak balita mati ada 1 atau 0,18 per
1000 kelahiran hidup.
b. Angka Kematian Ibu Maternal
Dari data KIA tahun 2015 ditemukan adanya 2 kasus kematian
pada ibu hamil dan 2 kasus pada kematian ibu bersalin.
3. Status Gizi
a. Status Gizi Bayi Baru Lahir
Dari jumlah Bayi Lahir Hidup sebanyak 826 bayi, terdapat 53
bayi dengan berat badan lahir rendah, hal ini menunjukan adanya

10
peningkatan dari tahun 2013 yang berjumlah 44 bayi. Dari 944 bayi
lahir hidup, desa yang BBLR tertinggi adalah :
1) Desa Pageraji dengan BBLR sebanyak 15 bayi dari 192 lahir
hidup.
2) Desa Jatisaba dengan BBLR sebanyak 9 bayi dari 114 bayi lahir
hidup.
3) Desa Kasegeran dengan BBLR sebanyak 9 bayi dari 63 bayi lahir
hidup.
Dari data tersebut perlu diwaspadai adanya peningkatan kasus
BBLR pada tahun berikutnya, sehingga perlu adanya kerjasama semua
pihak baik tenaga kesehatan maupun masyarakat sendiri khususnya ibu
hamil untuk kesadarannya memeriksakan kehamilannnya pada
pelayanan kesehatan terdekat, agar sedini mungkin dapat di atasi
masalah-masalah kesehatan pada ibu hamil.
b. Status Gizi Balita ( Umur 12 S/D 59 Bulan )
Dari jumlah balita yang ada yaitu 5.527 balita dapat dipaparkan
sebagai berikut :
1) Balita yang ditimbang : 4.384 anak atau 79,32 %
2) Gizi kurang : 58 anak atau 1.32 %
3) Gizi buruk : 1 anak atau 0,02 % Dari seluruh jumlah balita yang
ada tidak diketemukan adanya kasus gizi buruk sehingga dapat
dikatakan wilayah Puskesmas II Cilongok termasuk dalan
Kecamatan Bebas Rawan Gizi.
c. Status Gizi Ibu Hamil
1) Ibu Hamil Dengan Anemia Gizi Besi ( AGB ) Dari jumlah 972 ibu
hamil yang diperiksa, jumlah ibu hamil dengan Anemia Gizi Besi
(AGB) sejumlah 826 ibu hamil atau sebesar 84,98 % dari jumlah
ibu hamil yang diperiksa.
2) Status Gizi Ibu Hamil Kurang Energi Kronik ( KEK ) Pada tahun
2015 ini status gizi ibu hamil kurang energi kronik (KEK)
ditemukan ibu hamil KEK sebanyak 525 ibu hamil atau 54,01 %
dari jumlah ibu hamil yang diperiksa.

11
III. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN PRIORITAS MASALAH

A. Daftar Permasalahan Kesehatan


Berikut ini adalah data sepuluh penyakit terbesar di Puskesmas II
Cilongok bulan Januari-Agustus 2016

Tabel 3.1 Data 10 Penyakit Terbesar di Puskesmas II Cilongok Periode


Januari – Agustus 2016
No Penyakit Prevalensi
1560 + 283
1. Influenza
(1843)
1121 + 159
2. Hipertensi
(1439)
1095 + 68
3. Demam Typhoid
(1163)
4. Faringitis 766 (860)
5. Gastritis 737 (839)
597+76
6. Kehamilan normal
(673)
415 + 24
7. Urtikaria akut
(439)
405 + 102
8. GEA
(507)
360 + 40
9. DM tipe 2
(400)
279 + 54
10. Skabies
(333)
(Sumber: Data sekunder Puskesmas II Cilongok)

B. Penentuan Prioritas Masalah


Pada CHA permasalahan yang diangkat merupakan permasalahan
output sehingga pada penentuan prioritas masalah, masalah yang diangkat
adalah 10 penyakit terbesar. Penentuan prioritas masalah output di wilayah
kerja Puskesmas II Cilongok dengan menggunakan metode Hanlon
Kuantitatif dengan empat kelompok kriteria, yaitu:
1. Kelompok kriteria A : besarnya masalah (magnitude of the problem)

2. Kelompok kriteria B : kegawatan masalah, penilaian terhadap


dampak, urgensi dan biaya

3. Kelompok kriteria C : kemudahan dalam penanggulangan, yaitu

12
penilaian terhadap tingkat kesulitan
penanggulangan masalah

4. Kelompok kriteria D : PEARL factor, yaitu penilaian terhadap


propriety, economic, acceptability, resources
availability, legality

Adapun perincian masing-masing bobot kriteria pada prioritas masalah


di Puskesmas II Cilongok adalah sebagai berikut:
1. Kriteria A (besarnya masalah)
Tabel 3.2 Kriteria A Hanlon Kuantitatif
No Penyakit Total Prevalensi Skor
1. Influenza 1560 2,76 % 5
2. Hipertensi 1121 1,98 % 5
3. Demam Typhoid 1095 1,93 % 5
4. Faringitis 766 1,35 % 5
5. Gastritis 737 1,30 % 5
6. Kehamilan normal 597 1,05 % 5
7. Urtikaria akut 415 0,73 % 3
8. GEA 405 0,71 % 3
9. DM tipe 2 360 0,63 % 3
10. Skabies 279 0,49 % 3
Sumber: Data Sekunder Puskesmas II Cilongok

2. Kriteria B (kegawatan masalah)


Kegawatan: (paling cepat mengakibatkan kematian)

Skor : 1 = Tidak gawat

2 = Kurang gawat

3 = Cukup gawat

4 = Gawat

5 = Sangat gawat

Urgensi : (harus segera ditangani karena dapat menyebabkan


kematian)

Skor : 1 = Tidak urgen

2 = Kurang urgen

3 = Cukup urgen

4 = Urgen

13
5 = Sangat urgen

Biaya : (biaya penanggulangan)

Skor : 1 = Sangat murah

2 = Murah

3 = Cukup mahal

4 = Mahal

5 = Sangat mahal

Tabel 3.3 Kriteria B Hanlon Kuantitatif


No Penyakit Kegawatan Urgensi Biaya Nilai
1. Influenza 1 2 1 4
2. Hipertensi 3 3 2 8
3. Demam Typhoid 3 3 2 8
4. Faringitis 1 2 1 4
5. Gastritis 2 2 1 5
6. Kehamilan normal 1 1 1 3
7. Urtikaria akut 2 1 1 4
8. GEA 3 3 1 7
9. DM tipe 2 3 2 1 6
10. Scabies 1 1 2 4

3. Kriteria C (penanggulangan masalah)


Untuk menilai kemudahan dalam penanggulangan, pertanyaan
yang harus dijawab adalah apakah sumber-sumber dan teknologi yang
tersedia mampu menyelesaikan masalah: makin sulit dalam
penanggulangan, skor yang diberikan makin kecil.

Skor: 1 = Sangat sulit ditanggulangi

2 = Sulit ditanggulangi

3 = Cukup bisa ditanggulangi

4 = Mudah ditanggulangi

5 = Sangat mudah ditanggulangi

14
Tabel 3.4 Kriteria C Hanlon Kuantitatif
No Masalah N
1. Influenza 4
2. Hipertensi 3
3. Demam Typhoid 4
4. Faringitis 4
5. Gastritis 3
6. Kehamilan normal 4
7. Urtikaria akut 4
8. GEA 3
9. DM tipe 2 3
10. Scabies 3

4. Kriteria D (P.E.A.R.L)
Propriety : kesesuaian (1/0)

Economic : ekonomi murah (1/0)

Acceptability : dapat diterima (1/0)

Resources availability : tersedianya sumber daya (1/0)

Legality : legalitas terjamin (1/0)

Tabel 3.5 Kriteria P.E.A.R.L Hanlon Kuantitatif


No Masalah P E A R L Hasil
1. Influenza 1 1 1 1 1 1
2. Hipertensi 1 1 1 1 1 1
3. Demam Typhoid 1 1 1 1 1 1
4. Faringitis 1 1 1 1 1 1
5. Gastritis 1 1 1 1 1 1
Kehamilan 1 1 1 1 1
6. 1
normal
7. Urtikaria akut 1 1 1 1 1 1
8. GEA 1 1 1 1 1 1
9. DM tipe 2 1 1 1 1 1 1
10. Scabies 1 1 1 1 1 1

5. Penetapan nilai

15
Setelah nilai kriteria A, B, C, dan D didapatkan kemudian nilai
tersebut dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut :

a. Nilai prioritas dasar (NPD) = (A+B) x C


b. Nilai prioritas total (NPT) = (A+B) x C x D

Tabel 3.6 Penetapan Prioritas Masalah


D
A B C P E A R L D NPD NPT Urutan
Masalah
Prioritas
Influenza 5 4 4 1 1 1 1 1 1 36 36 3
Hipertensi 5 8 3 1 1 1 1 1 1 39 39 2
Demam Typhoid 5 8 4 1 1 1 1 1 1 52 52 1
Faringitis 5 4 4 1 1 1 1 1 1 36 36 4
Gastritis 5 5 3 1 1 1 1 1 1 30 30 6
Kehamilan normal 5 3 4 1 1 1 1 1 1 32 32 5
Urtikaria akut 3 4 4 1 1 1 1 1 1 28 28 8
GEA 3 7 3 1 1 1 1 1 1 30 30 7
DM tipe 2 3 6 3 1 1 1 1 1 1 27 27 9
Scabies 3 4 3 1 1 1 1 1 1 21 21 10

16
IV. KERANGKA KONSEPTUAL MASALAH

A. Dasar Teori
1. Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh
infeksi dan diseminasi bakteri Salmonella typhi dan/atau Salmonella
paratyphi dengan karakteristik berupa demam dan nyeri abdomen. Infeksi
ini melibatkan pembesaran plak Peyer dan limfe nodi mesenterikus
(Pegues dan Miller, 2011).
2. Etiologi Demam Tifoid
Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi dan/atau S.
paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C. Serotipe S. typhi dan S.
paratyphi hanya mampu hidup di manusia dan dapat menyebabkan demam
tifoid. Bakteri tersebut merupakan bagian dari genus Salmonella, yaitu
bakteri berbentuk basil berukuran 2-3 x 0,4-0,6 mikrometer, gram negatif,
anaerob fakultatif, motil, serta tidak memiliki kemampuan membentuk
spora. Secara biokimiawi, Salmonella mampu memproduksi asam pada
fermentasi glukosa dan mereduksi nitrat, namun tidak memproduksi
sitokrom oksidase (Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Salmonella typhi dan paratyphi sejatinya merupakan bagian dari spesies
Salmonella enterica subspesies enterica serotipe typhimurium.
Serotipe/serovar dari bakteri ini dibagi berdasarkan antigen somatis O
(antigen lipopolisakarida pada dinding sel), antigen permukaan Vi (hanya
ditemukan pada S.typhi dan S.paratyphi C), serta antigen flagella H.
Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap
ketiga macam antigen tersebut (Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller,
2011). Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob.
Kuman ini mati pada suhu 56ºC dan pada keadaan kering. Di dalam air
dapat bertahan hidup selama 4 minggu dan hidup subur pada medium yang
mengandung garam empedu. (Widoyono, 2008).

17
3. Faktor Risiko Demam Tifoid
a. Karakteristik Individu
1) Usia
Prevalensi demam tifoid terbanyak pada kelompok umur 6-14
tahun dan 15-24 tahun. Determinan faktor usia ini dianggap dominan
terhadap kejadian demam tifoid. Apabila dicermati penyakit demam
tifoid ini banyak diderita anak usia sekolah, usia remaja dan dewasa
muda dimana kelompok ini mempunyai kebiasaan ruang lingkup
gerak yang tinggi, sehingga dimungkinkan kelompok ini mengenal
jajanan diluar rumah, sedang tempat jajan tersebut belum tentu
terjamin kebersihannya (Maria, 2007).
2) Jenis kelamin
Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) Provinsi
Jawa Tengah tahun 2007, kejadian demam tifoid lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan (Depkes RI, 2006).
Penelitian yang dilakukan Okky Purnia Pramitasari (2013)
menyatakan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan kejadian
demam tifoid. Laki-laki lebih beresiko menderita demam tifoid
karena laki-laki lebih banyak mengkonsumsi makanan siap saji atau
makanan warung yang biasanya banyak mengandung penyedap rasa
dan kehigienisan yang belum terjamin, dibandingkan wanita yang
lebih suka memasak makanan sendiri sehingga lebih memperhatikan
kebersihan makanannya. Kebiasaan ini menyebabkan pria lebih
rentan menderita penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti
tifoid bila makanan yang dibeli kurang higienis.
3) Tingkat sosial ekonomi
Demam tifoid lebih banyak menyerang penduduk dengan
tingkat sosial ekonomi rendah. Penduduk dengan tingkat sosial
ekonomi rendah berisiko menderita Demam Tifoid 8,8 kali lebih
besar dibandingkan penduduk dengan tingkat sosial ekonomi tinggi.
Hal ini menunjukkan tingkat kesehatan sebagian besar ditentukan

18
oleh status ekonomi. Penghasilan seseorang dapat digunakan untuk
memperoleh pelayanan kesehatan dan perbaikan lingkungan
sehingga membantu mencegah penyakit. Selain itu, penduduk kota
berpenghasilan rendah lebih mengandalkan pada makanan jajanan
siap santap dengan mutu yang rendah dan tidak terjamin
keamanannya sehingga lebih mudah terjangkit penyakit menular
seperti demam tifoid (Artanti, 2013).
4) Tingkat pendidikan dan Pengetahuan
Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri dan ditularkan melaui makanan dan minuman sehingga
penyakit ini erat hubungannya dengan perilaku hidup bersih dan
sehat. Seseorang berkebiasaan sehat atau tidak sehat dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan dan pengetahuannya. Kurangnya kesadaran
seseorang untuk berperilaku bersih dan sehat akan meningkatkan
risiko orang tersebut untuk terpapar bakteri Salmonella typhi. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Suprapto tahun 2012 menunjukkan
bawa penderita yang memiliki pengetahuan yang kurang mengenai
penularan demam tifoid berisiko 3.8 kali untuk menderita demam
tifoid dibandingkan responden yang memiliki pengetahuan yang
cukup mengenai penularan demam tifoid di RSUP Dr. Kariadi
Semarang (Suprapto, 2012).
b. Faktor Perilaku
1) Kebiasaan mencuci tangan
Salah satu media utama penularan kuman Salmonella typhi
adalah melalui tangan. Mencuci tangan sebelum makan dengan
sabun diikuti dengan pembilasan akan banyak menghilangkan
mikroba yang terdapat pada tangan. Kombinasi antara aktivitas
sabun sebagai pembersih, penggosokan dan aliran air akan
menghanyutkan partikel kotoran yang banyak mengandung
mikroba. Kuman Salmonella pada tangan carrier convalescent dapat
hilang dengan mudah melalui cuci tangan pakai sabun dan air
(Kurniasih, 2011). Penelitian yang dilakukan Rakhman et al. tahun

19
2009 menunjukkan bahwa orang yang tidak mencuci tangan dengan
sabun sebelum makan berisiko 2,625 kali lebih besar menderita
demam tifoid dibandingkan dengan orang yang mempunyai
kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan (Rakhman
et al., 2009). Mencuci tangan dengan sabun juga penting dilakukan
setelah buang air besar. Virus, kuman, atau bakteri bisa menular jika
BAB benar-benar mengandung Salmonella typhi yang hidup dan
dapat bertahan, serta dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi
dan kuman tersebut benar-benar masuk ke dalam tubuh (Rakhman
et al., 2009).
2) Kebiasaan jajan di warung/pinggir jalan
Pada masa sekarang ini banyak orang yang lebih suka membeli
makanan di luar rumah karena dianggap praktis. Orang yang
memiliki kebiasaan jajan di warung atau pinggir jalan berisiko
menderita demam tifoid 5,80 kali lebih besar dibandingkan orang
yang tidak pernah jajan di warung atau pinggir jalan (Santoso,
2007). Penularan demam tifoid dapat terjadi ketika seseorang
makan di tempat umum dan makanannya disajikan oleh carrier
tifoid yang kurang menjaga kebersihan saat memasak,
mengakibatkan penularkan bakteri Salmonella thyphi pada
pelanggannya. Selain itu, makanan di tempattempat umum biasanya
terdapat lalat yang beterbangan dimana-mana bahkan hinggap di
makanan. Lalat-lalat tersebut dapat menularkan Salmonella thyphi
dengan cara lalat yang sebelumnya hinggap di feses atau muntah
penderita demam tifoid kemudian hinggap di makanan yang akan
dikonsumsi (Artanti, 2013).
3) Kebiasaan mencuci bahan makanan mentah
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih
banyak daripada yang telah dimasak, namun sebaiknya dicuci
terlebih dahulu dengan air mengalir untuk menghindari makanan
mentah yang tercemar. Jika tidak mungkin mendapatkan air untuk
mencuci, dapat dipilih buah yang dapat dikupas. Di beberapa negara

20
penularan demam tifoid terjadi karena mengkonsumsi kerang-
kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayuran
mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan produk
susu yang terkontaminasi (Suprapto, 2012). Orang yang mempunyai
kebiasaan tidak mencuci bahan makanan mentah langsung
konsumsi berisiko 5,200 kali lebih besar menderita demam tifoid
dibandingkan orang yang memiliki kebiasaan mencuci bahan makan
mentah langsung konsumsi (Risani et al., 2015).
c. Faktor Lingkungan
1) Sumber air bersih
Feses manusia yang terinfeksi S. typhi dan dibuang secara
tidak layak tanpa memenuhi persyaratan sanitasi dapat
menyebabkan terjadinya pencemaran tanah dan sumber-sumber air.
Hal ini menyebabkan bakteri S. typhi sering ditemukan di sumur-
sumur penduduk yang telah terkontaminasi oleh feses manusia yang
terinfeksi oleh kuman tifoid. Penelitian yang dilakukan Rakhman
dkk (2009) menunjukkan bahwa orang yang menggunakan sumber
air bersih bukan dari penyediaan PDAM berisiko menderita demam
tifoid sebesar 1,74 kali dibandingkan dengan orang yang di
rumahnya menggunakan penyediaan air bersih dari PDAM
(Rakhman et al., 2009). Jarak antara sumber air bersih dengan
septic tank juga mempengaruhi kejadian demam tifoid. Syarat
minimal sumber air bersih dengan septic tank yaitu 10 meter. Sumur
merupakan sumber air yang sering digunakan di masyarakat secara
luas. Jarak sumur dengan septic tank yang sangat dekat dapat
mempengaruhi kualitas air. Rembesan air dari septic tank dapat
mencemari air tanah di sekitarnya termasuk air sumur yang
digunakan untuk kebutuhan minum dan memasak sehari-hari
sehingga dapat menjadi sumber penularan demam tifoid. Hasil
penelitian yang dilakukan tahun menunjukkan bahwa responden
yang menggunakan sumber air bersih dari sumur yang berjarak
kurang dari 10 meter dari septic tank berisiko 2,613 kali lebih besar

21
menderita demam tifoid dibandingkan dengan sumur yang berjarak
lebih dari 10 meter dari septic tank (Kristina et al., 2015).
2) Kepemilikan jamban keluarga
Seseorang yang tidak mempunyai jamban berisiko menderita
demam tifoid 1,867 kali lebih besar dibandingkan dengan orang
yang mempunyai jamban. Setiap rumah tangga harus memiliki
jamban sendiri yang digunakan untuk buang air besar dan buang air
kecil karena untuk menjaga lingkungan yang bersih, sehat dan tidak
berbau, tidak mencemari sumber air yang ada disekitarnya, tidak
mengundang datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi
penularan diare, kolera, disentri, tifoid, kecacingan dan penyakit
infeksi saluran pencernaan. Selain itu juga harus memelihara agar
jamban tetap sehat dengan cara membersihkan lantai jamban,
membersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban dalam
keadaan bersih, di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat,
tidak ada seranga (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran serta
tersediannya alat pembersih (Depkes RI, 2006).
3) Pengelolaan sampah dan air limbah
Pengelolaan sampah dan air limbah merupakan masalah untuk
kesehatan lingkungan karena sampah berkaitan erat dengan
kesehatan masyarakat, sehingga dari sampah tersebut akan hidup
berbagai mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen), dan
juga binatang serangga sebagai pemindah atau penyebar penyakit
(vektor). Seseorang yang sanitasinya buruk dalam pengelolaan
sampah berisiko 3,1 kali lebih besar menderita demam tifoid
(Wulan, 2013). Pengelolaan sampah meliputi pengumpulan dan
pengangkutan sampah yang menjadi tanggung jawab dari masing-
masing rumah tangga atau institusi yang menghasilkan sampah,
sehingga masyarakat harus membangun atau mengadakan tempat
khusus untuk mengumpulkan sampah dan kemudian dari masing-
masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke
tempat penampungan sementara (TPS) sampah, dan selanjutnya ke

22
tempat penampungan akhir (TPA). Kemudian adanya pemusnahan
dan pengolahan sampah terutama untuk sampah padat dapat
dilakukan melalui berbagai cara antara lain pemusnahan sampah
dengan di tanam atau menimbum dalam tanah, memusnahkan
sampah dengan jalan membakar didalam tungku pembakaran, dan
pengolahan sampah yaitu sampah dapat dijadikan sebagai pupuk
kompos (Notoatmodjo, 2012).
d. Riwayat demam Tifoid pada keluarga
Orang yang dalam keluarganya pernah menderita demam tifoid
berisiko untuk menderita demam tifoid 2,244 kali lebih besar
dibandingkan orang yang dalam keluarganya tidak ada yang menderita
demam tifoid dalam 3 bulan terakhir. Penderita yang baru sembuh dari
demam tifoid masih terus mengekskresi S. Typhi dalam tinja dan air
kemih sampai tiga bulan (fase konvalesen) dan hanya 3% penderita
yang mengekskresi lebih dari satu tahun. Hal inilah yang menyebabkan
penularan demam tifoid ke anggota keluarganya (Widodo, 2009;
Rakhman et al., 2009).
e. Pelayanan Kesehatan
Faktor pelayanan kesehatan yang dapat mempengaruhi status
kesehatan seseorang antara lain karena akses ke fasilitas kesehatan yang
jauh, kurang aktifnya kader kesehatana dalam melakukan tindakan
promotif dan preventif terhadap demam tifoid kepada masyarakatnya
(Kristina et al., 2015).
4. Patomekanisme Demam Tifoid
Bakteri Salmonella tifoid dan paratifoid. masuk ke dalam tubuh
melalui ingesti makanan/air yang terkontaminasi. Dosis infeksi yang
dibutuhkan adalah 103-106 colony-forming units (CFU). Kondisi yang
dapat menurunkan keasaman gaster (misalnya usia <1 tahun, konsumsi
antasida, dan penyakit aklorhidrik), mengganggu integritas usus (misalnya
inflammatory bowel disease, riwayat operasi gastrointestinal, perubahan
keseimbangan flora usus akibat konsumsi antibiotik) dapat meningkatkan

23
kerentanan terhadap infeksi Salmonella (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga
et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Setelah bakteri mencapai ileum, ia akan menembus lapisan mukosa
dan melewati lapisan-lapisan usus melalui sel fagosit microfold (sel M)
yang berada di dalam plak Peyer. Salmonella dapat memicu pembentukan
lipatan membran pada sel epitel nonfagosit, sehingga lipatan tersebut
menyelimuti bakteri dalam sebuah vesikel besar, yang disebut sebagai
proses bacteria-mediated endocytosis (BME). Proses BME tergantung
kepada penyajian protein Salmonella secara langsung pada sitoplasma
epitel usus melalui sekresi bakteri tipe III. Protein bakteri tersebut
memiliki efek merubah aktin sitoskeleton yang dibutuhkan untuk
endositosis bakteri Salmonella (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al.,
2008; Pegues dan Miller, 2011).
Setelah menembus lapisan epitel ileum, bakteri ini akan difagositosis
oleh makrofag. Salmonella dapat bertahan dalam makrofag melalui
kemampuannya dalam mendeteksi perubahan lingkungan yang berbahaya.
Berkat kemampuan tersebut, bakteri ini mampu memodifikasi
lipopolisakarida dan mengubah ekspresi protein membran luar sehingga ia
dapat bertahan melawan aktivitas mikrobisidal serta dapat pula mengubah
proses signalling sel fagosit. Sistem sekresi tipe III yang dimiliki oleh
Salmonella mampu menyajikan protein bakteri melewati membran
fagosom menuju sitoplasma makrofag, sehingga sistem sekresi tersebut
akan memicu remodelling vakuola berisi bakteri, dalam rangka menunjang
keberlangsungan hidup dan replikasi bakteri Salmonella (Grassl dan
Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Sejak difagositosis, bakteri Salmonella akan terbawa menuju seluruh
tubuh dalam makrofag melalui saluran limfatik, untuk kemudian
berkolonisasi di jaringan retikuloendotelial (seperti hepar, lien, limfe nodi,
dan sum-sum tulang). Dalam stadium inkubasi dini tersebut, belum
muncul tanda dan gejala yang dirasakan pasien. Demam dan nyeri
abdomen mulai muncul saat makrofag dan sel epitel mulai memproduksi
sitokin, akibat terstimulasi oleh produk bakteri dalam jumlah besar, karena

24
sejumlah produk bakteri tersebut mulai memicu rangsang imun bawaan.
Hepatosplenomegali mulai muncul sebagai akibat sekunder rekrutmen sel
mononuklear dan aktivasi respon imun yang dimediasi sel, sebagai respon
kolonisasi bakteri Salmonella. Rekrutmen dan infiltrasi sel mononuklear
dan limfosit tambahan menuju plak Peyer terjadi beberapa minggu setelah
infeksi/kolonisasi awal. Rekrutmen tersebut dapat menyebabkan
pembesaran dan nekrosis plak Peyer, sebagai akibat dari produk
proapoptotik dari bakteri maupun dari respon inflamasi tubuh (Grassl dan
Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Gastroenteritis yang disebabkan oleh Salmonella non tifoid (NTS)
memiliki ciri khas yang berbeda, dimana rekrutmen melibatkan sel
leukosit polimorfonuklear pada usus halus dan usus besar, akibat dari
sekresi IL-8 oleh sel usus, sebagai respon adanya kolonisasi dan
translokasi protein bakteri pada sitoplasma sel inang. Degranulasi dan
pelepasan zat toksik neutrofil menyebabkan kerusakan mukosa usus yang
menyebabkan diare inflamatorik pada NTS. Sedangkan, Salmonella tifoid
hanya melibatkan sel mononuklear dan usus halus (Grassl dan Finlay,
2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
5. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala yang dikeluhkan pasien berupa demam dan nyeri
abdomen. Demam pada penyakit ini umumnya muncul malam hari,
dengan kisaran suhu 38,8-40,5oC. Demam berkisar antara seminggu
hingga 4 minggu apabila dibiarkan tanpa terapi. Waktu inkubasi S.
typhi umumnya sekitar 10-14 hari. Selain kedua gejala tersebut, dapat
pula muncul gejala sistemik seperti nyeri kepala, batuk, menggigil,
arthralgia, dan myalgia. Gejala gastrointestinal yang timbul antara lain
anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, dan diare atau bahkan
konstipasi (Pegues dan Miller, 2011).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suhu badan meningkat,
bersifat kontinyu, meningkat perlahan-lahan terutama sore dan malam

25
hari, tapi kadang-kadang bersifat intermiten atau remiten. Pada minggu
kedua dapat ditemukan bradikardi relatif, rose spots (ruam
makulopapular kemerahan) di kulit dada dan perut, lidah kotor,
splenomegali, nyeri tekan abdomen dan gangguan mental berupa
somnelen, stupor, koma, delirium dan psikosis (Pegues dan Miller,
2011; Depkes RI, 2006).
c. Pemeriksaan Penunjang
Mengingat tanda dan gejala demam tifoid tidak spesifik,
diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
Beberapa diagnosis banding yang dapat dipikirkan adalah malaria,
hepatitis, enteritis bakterial, demam dengue, infeksi rickettsia,
leptospirosis, abses hepar amoebik, dan infeksi HIV akut (Pegues dan
Miller, 2011).
Satu-satunya tes laboratorium yang menjadi standar baku emas
untuk penegakan diagnosis demam tifoid adalah hasil kultur yang
positif. Kultur dapat dilakukan dari sampel darah, sumsum tulang, ruam
kulit, feses, dan sekresi usus. Spesimen darah diambil pada minggu I
sakit saat demam tinggi. Spesimen feses dan urin diambil pada minggu
ke II dan minggu-minggu seanjutnya. Sensitivitas kultur darah hanya
40-80% akibat penggunaan antibiotik yang tinggi di daerah endemik
maupun akibat jumlah bakteri di darah yang terlalu sedikit (<15
organisme per mL). Sentrifugasi sampel darah dan kultur buffy coat
dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mengisolasi
organisme. Kultur sum-sum tulang lebih sensitif dibandingkan kultur
darah (55-90%) (Pegues dan Miller, 2011; Depkes RI, 2006).
Selain itu terdapat beberapa pemeriksaan lain yang dapat
mengarahkan diagnosis yaitu :
1) Darah rutin
Leukopenia dan neutropenia dapat ditemukan pada 15-25%,
sedangkan leukositosis juga dapat ditemukan pada pasien anak-anak,
terutama pada 10 hari pertama saat sakit dan kondisi perforasi usus
atau infeksi sekunder (Pegues dan Miller, 2011).

26
2) Tes serologi Widal
Pemeriksaan ini menguji reaksi aglutinasi antara reagen
aglutinogen (reagen S. typhi) dan aglutinin (antibodi) yang terdapat
dalam darah. Pemeriksaan Widal tidak cukup sensitif maupun
spesifik untuk menggantikan kultur sebagai standar baku emas.
Batas titer yang dijadikan diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan
pada suatu daerah. Sebagian besar pendapat bahwa titer O 1/320
sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid. Diagnosis demam
tifoid dianggap pasti adalah apabila didapatkan kenaikan titer 4 kali
lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari (Pegues dan
Miller, 2011; Depkes RI, 2006).
3) PCR dan DNA
PCR dan DNA mampu mendeteksi S. typhi dalam darah,
namun masih belum digunakan dan dikembangkan dalam
penggunaan klinis (Pegues dan Miller, 2011).
6. Penatalaksanaan
a. Non Medikamentosa
1) Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna
untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi.
Bila klinis berat, penderita harus istirahat total (Depkes RI, 2006).
2) Diet Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup.
Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi.
Diet untuk penderita tifoid diklasifikasikan atas diet cair, diet
lunak, tim dan nasi biasa (Depkes RI, 2006). 3) Cairan yang cukup
kalori dan elektrolit dengan dilakukan pemantauan harian (Depkes
RI, 2006). b. Medikamentosa Terapi simptomatik yang dapat
diberikan untuk perbaikan keadaan umum penderita (Depkes RI,
2006).
2) Antibiotik
Antibiotik lini pertama untuk tifoid yaitu kloramfenikol,
ampisilin atau amoxicilin (aman untuk penderita yang sedang

27
hamil), trimetoprim-sulfametoksazol. Bila pemberian salah satu
antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif dapat diganti dengan
antibiotik yang lain atau dipilih antibiotik lini kedua. Antibiotik lini
kedua untuk tifoid adalah ceftriaxon, cefixime (efektif untuk anak),
quinolone (tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai
mengganggu pertumbuhan tulang).

Tabel 4.1 Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid (Depkes RI,


2006).
Antibiotik Dosis
Kloramfenikol - Dewasa 4x500 mg selama 14 hari
- Anak 50-100 mg/KgBB/hari selama 10-14 hari dibagi 4
dosis
Ceftriaxon - Dewasa 2-4 gr/hari selama 3-5 hari
- Anak 80 mg/KgBB/hari dosis tunggal selama 5 hari
Ampisilin dan - Dewasa 3-4 gr/hari selama 14 hari
Amoxicilin - Anak 100 mg/KgBB/hari selama 10 hari
TMP-SMX - Dewasa 2x(160-800) selama 2 minggu
- Anak TMP 6-10 mg/KgBB/hari atau
SMX 30-50 mg/KgBB/hari selama 10 hari
Quinolone - Siprofloxacin 2x500 mg 1 minggu
- Ofloxacin 2x(200-400) 1 minggu
- Pefloxacin 1x400 mg selama 1 minggu
- Fleroxacin 1x400 mg selama 1 minggu
Sefixime Anak 15-20 mg/KgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari

3) Antipiretik
Antipiretik seperti paracetamol dosis 3x500 mg dapat
digunakan untuk memperbaiki kondisi febris pada pasien
(Widoyono, 2008).
4) Antiemetik
Antiemetik diberikan bila penderita muntah hebat. Obat
yang biasa digunakan yaitu ondansetron HCl (Widoyono, 2008).
5) Roboransia/vitamin
7. Pencegahan
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat
diperlukan karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan
kesakitan dan kematian akibat demam tifoid. Tindakan preventif dan

28
kontrol penularan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak
aspek, mulai dari segi kuman S. typhi sebagai agen penyakit dan faktor
pejamu (host) serta faktor lingkungan (Widodo, 2009). Secara garis besar,
terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu
(Widodo, 2009) :
a. Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien demam tifoid
asimptomatik, karier dan akut Pelaksanaanya dapat dilakukan secara
aktif dengan mendatangi sasaran dan pasif dengan menunggu bila ada
penerimaan pegawai di suatu instansi. Sasaran aktif lebih diutamakan
pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan/ minuman.
Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu
petugas kesehatan dan petugas kebersihan.
b. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhi akut
maupun karier Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di
rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap
kuman S. typhi.
c. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi Sarana
proteki pada populasi ini dapat dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid
di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung
daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu
berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya,
serta golongan individu yang berisiko yaitu golongan
imunokompromise dan golongan rentan.

B. Kerangka Teori

Karakteristik Individu: Perilaku : Lingkungan : Riwayat demam


1. Usia 1. Kebiasaan mencuci 1. Sumber air bersih tifoid pada keluarga
2. Jenis kelamin tangan 2. Kepemilikan jamban
3. Tingkat sosial 2. Kebiasaan jajan keluarga
ekonomi diwarung 3. Pengelolaan sampah
4. Tingkat pendidikan 3. Kebiasaan mencuci
5. Tingkat pengetahuan bahan mentah

Carrier Feses dan urin yang mengandung Salmonella Typhy

Lalat sebagai vektor


29

Mengkontaminasi makanan dan air


Gambar 4.1 Kerangka Teori

30
C. Kerangka Konsep Masalah

Status sosial ekonomi

Tingkat pengetahuan

Perilaku :
1. Kebiasaan mencuci
tangan
2. Kebiasaan jajan
Kejadian demam tifoid
diwarung
3. Kebiasaan mencuci pada anak-anak di
bahan makanan mentah desa Jatisaba
Kecamatan Cilongok
Lingkungan : 2016
1. Sumber air bersih
2. Kepemilikan jamban
keluarga
3. Pengelolaan sampah
dan air limbah

Riwayat demam tifoid


pada keluarga

Gambar 4.2 Kerangka Konsep Masalah

D. Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian demam
tifoid pada anak-anak di Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok tahun 2016.
2. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian demam
tifoid pada anak-anak di Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok tahun 2016.
3. Terdapat hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian
demam tifoid pada anak-anak di Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok
tahun 2016.
4. Terdapat hubungan antara kebiasaan jajan di warung dengan kejadian
demam tifoid pada anak-anak di Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok
tahun 2016.

31
5. Terdapat hubungan antara kebiasaan mencuci bahan makanan mentah
dengan kejadian demam tifoid pada anak-anak di Desa Jatisaba
Kecamatan Cilongok tahun 2016.
6. Terdapat hubungan antara sumber air bersih dengan kejadian demam
tifoid pada anak-anak di Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok tahun 2016.
7. Terdapat hubungan antara kepemilikan jamban keluarga dengan kejadian
demam tifoid pada anak-anak di Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok
tahun 2016.
8. Terdapat hubungan antara pengelolaan sampah dengan kejadian demam
tifoid pada anak-anak di Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok tahun 2016.
9. Terdapat hubungan antara riwayat demam tifoid pada keluarga dengan
kejadian demam tifoid pada anak-anak di Desa Jatisaba Kecamatan
Cilongok tahun 2016

32
V. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan studi observasional analitik dengan
pendekatan case-control.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
a. Populasi target
Populasi target pada penelitian ini adalah semua anak-anak di
Kecamatan Cilongok.
b. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua anak-anak di
Desa Jatisaba, Cilongok.
c. Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
convenience sampling.
d. Besar sampel

Dengan perhitungan rumus sampel sebagai berikut:

1 1 1 1
{ zα√P(1 − P) (q1 + q2) + zβ√P1(1 − P1) (q1) + P2(1 − P2)(q2) }2
𝑁=
(P1 − P2)2

Keterangan:

n = jumlah sampel minimal kelompok kasus dan kontrol

Zα = nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan

tingkat kemaknaan α (untuk α = 0.05 adalah 1.96)

Zβ = nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan

kuasa (power) sebesar yang diinginkan (untuk β 0.03

adalah -0.618)

33
p = p1 + p0 / 2

q =1-p

p2 = proporsi paparan pada kelompok kontrol atau tidak sakit.


Besarnya nilai p0 diperoleh dari catatan hasil surveilans
terhadap penyakit yang diteliti atau hasil penelitian yang
telah dilakukan atau sumber lain

p1 = proporsi paparan pada kelompok kasus (sakit)

p1 = p2 . R / ( 1 + p2 (R – 1)

q2 = 1-p2

q1 = 1-p1

Dari rumus di atas didapatkan tujuh belas sampel pada kelompok kasus
dan tujuh belas sampel pada kelompok kontrol.

P0 atau perkiraan proporsi paparan (berdasarkan penelitian sebelumnya


yaitu paparan kebiasan makan/minum di luar rumah) pada kelompok
yang tidak sakit (kontrol) sebesar 0,2 dengan OR sebesar 3, maka P1
atau estimasi proporsi paparan pada kelompok yang sakit (kasus) dapat
dihitung nilainya sebesar 0,43, sedang nilai P adalah 0,315.

C. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria inklusi kasus
a. Seorang ibu yang memiliki anak usia 5-15 tahun yang menderita
demam tifoid dalam lima bulan terakhir
b. Berusia 5-15 tahun
c. Bertempat tinggal di desa Jatisaba
d. Bersedia menjadi subyek penelitian dengan menandatangani lembar
persetujuan menjadi subyek penelitian setelah membaca lembar
informed consent.
e. Subjek penelitian merupakan ibu dari anak-anak yang tinggal di
Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok

34
2. Kriteria inklusi kontrol
a. Seorang ibu yang memiliki anak usia 5-15 tahun yang tidak
menderita demam tifoid dalam lima bulan terakhir
b. Berusia 5-15 tahun
c. Bertempat tinggal di RW 02 desa Jatisaba
d. Bersedia menjadi subyek penelitian dengan menandatangani lembar
persetujuan menjadi subyek penelitian setelah membaca lembar
informed consent.
e. Subjek penelitian merupakan ibu dari anak-anak yang tinggal di
Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok
3. Kriteria eksklusi kasus
Tidak kooperatif dalam melakukan tahap wawancara dan pengisian
kuesioner.
4. Kriteria eksklusi kontrol
Tidak kooperatif dalam melakukan tahap wawancara dan pengisian
kuesioner.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah status sosial ekonomi,
tingkat pengetahuan, kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan jajan di
warung, kebiasaan mengkonsumsi makanan mentah, sumber air bersih,
kepemilikan jamban keluarga, pengelolaan sampah, riwayat demam tifoid
pada keluarga. Variabel bebas termasuk skala kategorik nominal.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian demam tifoid
pada anak-anak. Variabel terikat termasuk skala kategorik nominal.

35
E. Definisi Operasional
Definisi operasional variabel dijelaskan pada Tabel 5.1
Variabel Definisi Operasional Skala
Variabel terikat
Kejadian Demam tifoid Definisi : Kejadian demam yang diikuti Nominal
nyeri abdomen dan gejala sistemik,
didiagnosis demam tifoid di Puskesmas II
Cilongok dalam 5 bulan terakhir.
Ya : demam tifoid
Tidak : tidak demam tifoid Alat Ukur :
Kuesioner
Varibel Bebas
1. Karakteristik individu
a. Pendapatan perkapita Definisi : Pendapatan yang diperoleh Nominal
suami dan istri dari mata pencaharian
pokok maupun sampingan yang digunakan
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari
keluarga selama satu bulan dibagi dengan
jumlah anggota keluarga dan
dibandingkan dengan pendapatan per
kapita Kecamatan Cilongok Kabupaten
Banyumas Tahun 2008. Adapun
pendapatan per kapita Kecamatan
Cilongok tahun 2008 adalah Rp
399.054,00.
Kategori :
Tinggi : diatas rata-rata pendapatan per
kapita
Rendah : dibawah rata-rata pendapatan
perkapita
Alat Ukur : Kuesioner
b. Tingkat pengetahuan Definisi : Kemampuan responden Nominal

36
menjawab pertanyaan mengenai definisi
demam tifoid, penyebab demam tifoid,
pengobatan dan pencegahan demam tifoid.
Skor yang didapatkan adalah nilai total
pada masing-masing kategori. Kategori :
Baik ( Skor > 6)
Kurang (Skor ≤ 6)
2. Faktor Perilaku
b. Kebiasaan mencuci Definisi : Kebiasaan responden mencuci Nominal
tangan tangan dengan sabun setiap sebelum
makan, setelah buang air, dan sebelum
memasak. Skor yang didapatkan adalah
nilai total pada masing-masing kategori.
Kategori :
Baik: Skor > 3
Kurang: Skor ≤3
Alat Ukur : Kuesioner
c. Kebiasaan jajan di Definisi : Kebiasaan responden membeli Nominal
warung dan mengkonsumsi makanan atau
minuman di warung.
Kategori :
Sering/selalu: tiap hari minimal 1 x atau
≥ 3 kali seminggu

Jarang/kadang-kadang: < 3 kali


seminggu

Tidak pernah: Tidak pernah (< 1 x


sebulan)

Alat Ukur : Kuesioner


d. Kebiasaan mencuci Definisi : Kebiasaan responden Nominal
bahan makanan mengkonsumsi bahan makanan mentah
mentah dengan mencuci terlebih dahulu
menggunakan air bersih dan mengalir.
Skor yang didapatkan adalah nilai total

37
pada masing-masing kategori. Kategori:
Baik : Skor ≥ 3
Buruk : Skor < 3
Alat Ukur : Kuesioner
3. Faktor Lingkungan
a. Sumber air bersih Responden menggunakan sumber air Nominal
bersih yang tidak berwarna, tidak berbau,
tidak berasa dengan jarak ≥10 meter dari
septic tank
Kategori :
Memenuhi syarat : Skor 3
Tidak memenuhi syarat : Skor < 3
Alat Ukur : Kuesioner
b. Kepemilikan jamban Definisi : Responden memiliki jamban Nominal
keluarga keluarga yang memenuhi syarat kesehatan
di dalam rumah dan selalu digunakan
untuk buang air besar.
Kategori :
Sehat : Skor ≥ 6
Tidak sehat : Skor <6
Alat Ukur : Kuesioner
c. Pengelolaan sampah Definisi : Responden mempunyai tempat Nominal
sampah tertutup di rumah dan selalu
digunakan dan dibersihkan, serta terdapat
saluran air limbah dan penampungan air
limbah di rumah. Skor yang didapatkan
adalah nilai total pada masing-masing
kategori.
Kategori :
Baik : Skor ≥ 3
Buruk : Skor < 3
Alat Ukur : Kuesioner

38
d. Riwayat demam Orang yang tinggal satu rumah dengan Nominal
tifoid pada keluarga responden dan pernah didiagnosis demam
tifoid oleh dokter dalam 3 bulan terakhir
Kategori :
Ada : Ada riwayat demam tifoid pada
keluarga
Tidak ada : Tidak ada riwayat demam
tifoid pada keluarga
Alat Ukur : Kuesioner

F. Instrumen Pengambilan Data


Sumber data adalah data primer yang diperoleh dari wawancara
terstruktur. Metode pengambilan data yaitu observasi dengan menggunakan
instrumen penelitian berupa kuesioner. Wawancara dilakukan di rumah
responden pada bulan Oktober 2016.
G. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik
responden dengan mendeskripsikan tiap variabel hasil penelitian,
kemudian dihitung frekuensi dan presentasinya.
2. Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan variabel bebas dan
variabel terikat menggunakan uji Chi Square. Jika data tidak memenuhi
syarat uji Chi Square, maka analisis dilakukan dengan menggunakan uji
Fisher Exact Test sebagai alternatif.
3. Metode Hanlon digunakan untuk menentukan faktor risiko yang akan
dijadikan sebagai prioritas, apabila terdapat beberapa faktor risiko
(variabel bebas) yang berhubungan signifikan dengan kejadian demam
tifoid pada anak-anak.
H. Tata Urutan Kerja
1. Tahap persiapan
a. Analisis situasi.

39
b. Identifikasi dan analisis penyebab masalah.
c. Pencarian responden yang sesuai dengan kriteria ekslusi dan inklusi.
2. Tahap pelaksanaan
a. Mencatat dan menentukan nama responden.
b. Pengambilan data primer.
c. Menyusun alternatif pemecahan masalah sesuai hasil pengolahan data
d. Melakukan pemecahan masalah
e. Penyusunan laporan CHA
f. Tahap pengolahan dan analisis data.
g. Tahap penyusunan laporan.
I. Waktu dan Tempat Kegiatan
Waktu : Selasa, 18 Oktober 2016
Tempat : RT 05 RW 02 Desa Jatisaba, Kecamatan Cilongok, Banyumas

40
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Analisis Univariat
Responden penelitian ini adalah masyarakat wilayah kerja
Puskesmas II Cilongok, yaitu ibu-ibu di desa Jatisaba. Penelitian ini
dilakukan dengan cara mendata anak usia 5-15 tahun yang pernah datang
ke Puskesmas II Cilongok karena demam tifoid, selanjutnya peneliti
mendatangi tempat tinggal anak tersebut, kemudian dilakukan pengisian
kuisioner oleh orang tua. Penelitian ini menggunakan metode wawancara
langsung pengisian kuesioner yang dipandu langsung oleh peneliti.
Sebelum mengisi kuisioner, responden diminta untuk mengisi
lembar informed consent penelitian. Responden yang diambil sebanyak
34 orang. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan distribusi responden
penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 6.1

41
Tabel 6.1 Karakteristik Responden
Karakteristik Frekuensi Presentase (%)
Jenis Kelamin Perempuan 18 52,9
Laki-laki 16 47,1

Umur 5-9 tahun 16 47,1


10-14 tahun 14 41,2
15-19 tahun 4 11,8

Pendidikan Ibu Tidak Sekolah 0 0


SD 16 47,1
SMP 11 32,4
SMA 7 20,6
Perguruan Tinggi 0 0

Pekerjaan Ibu IRT 25 73,5


Pedagang 6 17,6
Wiraswasta 3 8,8

Pendapatan Perkapita Rendah 20 58,8


Tinggi 14 41,2

Tingkat Pengetahuan Kurang 15 44,1


Baik 19 55,9

Cuci Tangan Kurang 9 26,5


Baik 25 73,5

Jajan di Warung Tidak pernah 7 20,6


Sering 9 26,5
Jarang 18 52,9

Mencuci Bahan Buruk 1 2,9


Makanan Baik 33 97,1

Sumber Air Bersih Tidak memenuhi 16 47,1


syarat
Memenuhi syarat 18 52,9

Jamban Keluarga Tidak sehat 16 47,1


Sehat 18 52,9

Pengelolaan Sampah Buruk 4 11,8


Baik 30 88,2

Riwayat Demam Ya 16 47,1


Tifoid pada Anggota Tidak 18 52,9
Keluarga lain
Sumber : Data primer penelitian

42
2. Analisis Bivariat
Tabel 6.2 Hasil Analisis Bivariat
Demam Tidak
Tifoid Demam X2hitun
Variabel p value OR 95% CI
Tifoid g
N % N %
Pendapatan Tinggi 10 58,8 10 58,8
perkapitan 0,0010 1** 1 0,255-3,9919
Rendah 7 41,2 7 41,2
Tingkat Kurang 11 64,7 4 23,5
Pengetahuan 5,846 0,014* 5,958 1,332-26,662
Baik 6 35,3 13 76,5
Kebiasaan Kurang 4 23,5 5 29,4
Mencuci 0,151 1** 0,738 0,160-3,414
Tangan Baik 13 76,5 12 70,6
Sering 6 35,3 3 17,6
Kebiasaan
Jajan di Jarang 9 52,9 9 52,9 1,360 0,438** 2,545 0,516-12,546
Warung Tidak
2 11,8 5 29,4
Pernah
Kebiasaan
Mencuci Kurang 1 5,9 0 0
Bahan 1,030 0,50** 2,063 1,451-2,932
Makanan
Mentah Baik 16 94,1 17 100

Tidak
memenuhi 9 52,9 7 41,2
Sumber Air
syarat 0,472 0,492 1,607 0,414-6,240
Bersih
Memenuhi
8 47,1 10 58,8
syarat
Kepemilikan Tidak sehat 5 29,4 2 11,8
Jamban 1,619 0,398** 3,125 0,513-19,038
Sehat 12 70,6 15 88,2
Pengelolaan Buruk 3 17,6 1 5,9
Sampah 1,133 0,601** 3,429 0,319-36,828
Baik 14 82,4 16 94,1
Riwayat
13 76,5 3 17,6
Demam Ya 11,806 0,001* 15,167 2,837-81,095
Tifoid Tidak 4 23,5 14 82,4
Keterangan:
*Signifikan Uji Chi Square
** Uji Fisher Exact Test
B. Pembahasan
Penelitian ini mengidentifikasi faktor risiko demam tifoid di Desa
Jatisaba Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas. Hipotesis yang peneliti
ajukan yaitu terdapat keterkaitan faktor risiko yang teridentifikasi dengan
kejadian demam tifoid pada anak-anak di Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok.
Responden dikelompokkan ke dalam kelompok kasus dan kelompok kontrol.
Responden yang termasuk ke dalam kelompok kasus adalah ibu dari anak-

43
anak yang menderita demam tifoid selama lima bulan terakhir, sementara
responden yang termasuk ke dalam kelompok kontrol adalah ibu dari anak-
anak yang tidak menderita demam tifoid selama lima bulan terakhir. Total
responden adalah 34, dengan responden kelompok kasus 17 dan responden
kelompok kontrol 17.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara
tingkat pengetahuan dan riwayat demam keluarga dengan kejadian demam
tifoid. Berdasarkan hasil analisis bivariat tingkat pengetahuan ibu dengan
kejadian demam tifoid menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik
(p=0,016) dengan nilai OR 5,958 (95%CI; 1,332<OR<26,662), berarti anak-
anak yang memiliki ibu dengan pengetahuan kurang tentang demam tifoid
memiliki peluang untuk terkena demam tifoid 5,958 kali lebih besar
dibanding anak-anak yang memiliki ibu dengan pengetahuan baik tentang
demam tifoid.
Pengetahuan adalah hasil dari tahu seseorang dilihat dari cara
menjawab responden baik benar atau salah terhadap jumlah soal dengan
materi pengertian demam thypoid, penyebab demam thypoid, gejala demam
thypoid dan pencegahannya. Pengetahuan ibu terhadap kejadian demam
thypoid dapat dikatakan masih kurang. Sesuai dengan pendapat Notoadmodjo
(2012) yang mengemukakan bahwa terbentuknya suatu perilaku baru,
terutama pada orang dewasa dimulai dari awareness dimana orang tersebut
menyadari dalam arti mengetahui kejadian demam tifoid pada anak,
mengetahui terhadap stimulus atau obyek atau materi demam tifoid yang
disampaikan terlebih dahulu, kemudian subjek akan mulai tertarik terhadap
stimulus atau obyek yang disampaikan. Dengan begitu, subyek akan mulai
mencoba.
Notoadmodjo (2012) menjelaskan dalam bukunya bahwa pengetahuan
subjek mengenai Kejadian demam thypoid dapat diperoleh melalui
penyuluhan oleh petugas kesehatan, karena penyuluhan cukup efektif sebagai
salah satu cara untuk mengubah pengetahuan responden. Dalam penelitian ini
bukan saja menilai pengetahuan responden sampai tingkatan tahu saja, tatapi
sampai pada tingkatan memahami tentang demam thypoid. Apabila

44
penerimaan perilaku baru melalui proses seperti ini dimana di dasari oleh
pengetahuan, kesadaran dan sikap positif maka perilaku tersebut akan bersifat
langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak di dasari oleh pengetahuan
dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.
Tingkat pengetahuan responden ini diukur melalui daftar pertanyaan
atau kuesioner yang diberikan. Karena menurut Notoadmodjo (2012)
pengetahuan merupakan sekumpulan informasi yang diperoleh subyek selama
hidup dan dipergunakan sewaktu-waktu sebagai alat penyesuaian diri maupun
lingkungannya. Kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
memberikan tindakan seseorang.
Responden kurang mengerti mengenai penyakit tifoid, cara penularan
dan tanda gejala bagi penderita tifoid, namun dalam keseharian responden
telah melakukan perilaku hidup bersih dan sehat. Responden melakukan
kebersihan lingkungan, melakukan perilaku cuci tangan sebelum makan,
cukup istirahat. Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) 2006 menyatakan
Program PHBS dalam rumah tangga adalah upaya pemberdayaan anggota
rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktekkan perilaku hidup
bersih dan sehat, serta ikut berperan aktif dalam gerakan – gerakan
peningkatan kesehatan masyarakat. Program PHBS dalam rumah tangga ini
perlu terus dipromosikan karena rumah tangga merupakan suatu bagian
masyarakat terkecil di mana perubahan perilaku dapat membawa dampak
besar dalam kehidupan dan tingkat kesehatan anggota keluarga di dalamnya.
Terwujudnya masyarakat yang sehat tidak terlepas dari perilaku hidup bersih
dan sehat dilingkungan rumah tangga. Sebab rumah tangga merupakan
lingkungan terkecil dalam masyarakat. Dengan terciptanya kehidupan
masyarakat yang sehat, merupakan modal utama dan aset yang sangat
berharga untuk melaksanakan pembangunan yang perlu dijaga, ditingkatkan
dan dilindungi kesehatannya.
Menerapkan perilaku hidup bersih dalam kaitannya agar tidak
mengalami kekambuhan demam tifoid, merupakan langkah baik untuk
menangkal penyakit, namun dalam praktiknya, upaya pencegahan yang

45
kesannya sederhana tidak selalu mudah dilakukan terutama bagi mereka yang
tidak terbiasa, kurangnya pengetahuan dan sedikitnya kesadaran diri bahwa
Demam tifoid dapat diderita oleh siapa saja terutama pada orang yang
hidup di lingkungan kurang bersih (Depkes, 2004). Hasil penelitian Evan
(2007) dalam penelitiannya dengan kesimpulan bahwa diperlukan upaya
advokasi dan komunikasi kepada masyarakat yang miskin untuk
meningkatkan kesadaran pengetahuan tentang demam tifoid, dan pengenalan
vaksin yang bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan.
Dalam menunjang upaya pencegahan tertular penyakit demam tifoid
sangatlah diperlukan pengawasan dari orang tua terutama ibu terhadap
kebiasaan jajan ank di sekolah. Dan hal ini perlu didukung oleh pengetahuan
ibu yang cukup tentang demam tifoid. Hal ini sesuai dengan teori yang
dijelaskan oleh Gunarsa (2004), bahwa ibu memiliki tingkat partisipasi yang
tinggi terhadap kebiasaan anak, karena ibu merupakan orang yang paling
dekat dan menjadi guru pertama bagi anak
Sehingga ibu yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang
demam tifoid terutama tentang mekanisme penularannya, memiliki pengaruh
yang bermakna terhadap kebiasaan jajan anak sekolah dasar. Hal ini ini juga
didukung oleh karena sebagian besar ibu bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga
atau tidak bekerja, sehingga ibu memiliki waktu yang lebih untuk
memperhatikan kebiasaan jajan anak dan mendidik anak dalam perilaku jajan
seperti mencuci tangan sebelum makan dan memperhatikan kebersihan
tempat jajan sebelum membeli jajanan.
Hasil analisis bivariat riwayat demam tifoid pada keluarga dengan
kejadian demam tifoid menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik (p=
0,001) dengan nilai OR 15,167 (95%CI; 2,837<OR<81,095) berarti anak-
anak yang dalam keluarganya pernah ada menderita demam tifoid memiliki
peluang untuk terkena demam tifoid 15,167 kali lebih besar dibanding anak-
anak yang dalam keluarganya tidak ada yang menderita demam tifoid.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Rakhman et al. (2009),
Santoso (2007) dan penelitian Vollard et al. yang menemukan adanya
hubungan riwayat tifoid anggota keluarga dengan demam tifoid. Hal ini

46
karena orang yang baru sembuh dari demam tifoid masih terus mengekskresi
S. typhi dalam tinja dan air kemih sampai tiga bulan (fase konvalesen) dan
hanya 3% penderita yang mengekskresi lebih dari satu tahun.
Seseorang mampu menjadi pembawa penyakit (asymptomatic carrier)
demam typhoid, tanpa menunjukkan tanda gejala, tetapi mampu menulari
orang lain. Status carrier dapat terjadi setelah mendapat serangan akut.
Carrier kronis harus diawasi dengan ketat dan dilarang melakukan pekerjaan
yang dapat menularkan penyakit kepada orang lain. Yang bersangkutan dapat
dibebaskan dari larangan ini apabila sudah memenuhi persyaratan sesuai
dengan peraturan yang berlaku yaitu tiga kali berturut-turut sampel tinja yang
diperiksa menunjukkan hasil negatif. Sampel diambil dengan interval satu
bulan dan 48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir. Sampel yang baik
adalah tinja segar. Feses penderita/carrier merupakan sumber utama bagi
penularan demam tifoid (Chin, 2000).

47
VII. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

A. Penentuan Alternatif Terpilih


Prioritas pemecahan masalah dengan menggunakan metode Rinke
untuk masalah perilaku ibu dalam penanganan demam tifoid di Desa Jatisaba
Kecamatan Cilongok adalah sebagai berikut:
Tabel 7.1 Kriteria dan Skoring Efektivitas dan Efisiensi Jalan Keluar
C
M I V (jumlah biaya
(besarnya (kelanggengan (kecepatan yang diperlukan
Skor
masalah yang selesainya penyelesaia untuk
dapat diatasi) masalah) n masalah) menyelesaikan
masalah)
1 Sangat kecil Sangat tidak Sangat Sangat murah
langgeng lambat
2 Kecil Tidak langgeng Lambat Murah
3 Cukup besar Cukup langgeng Cukup cepat Cukup murah
4 Besar Langgeng Cepat Mahal
5 Sangat besar Sangat langgeng Sangat cepat Sangat mahal

48
Prioritas pemecahan masalah dengan menggunakan metode Rinke adalah
sebagai berikut :

Tabel 7.2 Prioritas Pemecahan Masalah Metode Rinke

Efektivitas Efisiensi Urutan


Daftar Alternatif MxIxV
No Prioritas
Jalan Keluar M I V C C
Masalah
1 Penyuluhan demam 5 3 4 1 60 1
thypoid dan simulasi
mengenai cuci
tangan yang baik
dan benar kepada
Ibu-ibu warga RW 2
desa Jatisaba,
Cilongok
2 Penyuluhan demam 4 3 2 2 12 2
thypoid dan simulasi
kepada kader
posyandu di desa
Jatisaba, Cilongok
mengenai cuci
tangan yang baik
dan benar yang
dapat dilakukan Ibu-
ibu
3 Penyebaran leaflet 3 2 2 2 6 4
mengenai cuci
tangan yang baik
dan benar
4 Penyebaran leaflet 3 3 2 2 9 3
mengenai demam
thypoid
5 Pembuatan dan 3 3 2 4 4,5 5
pemasangan poster
mengenai cara cuci
tangan yang baik
dan benar

49
VIII. RENCANA KEGIATAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang dapat


dijumpai secara luas di seluruh dunia, terutama di negara berkembang
beriklim tropis dan subtropis dengan kondisi sanitasi yang buruk (Abro et al.,
2009).
Di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit endemik yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan Profil Kesehatan
Indonesia (2012), demam tifoid atau paratifoid menempati urutan ke-3 dari 10
penyakit terbanyak dari pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu
sebanyak 41.081 kasus dan sebanyak 274 orang meninggal dunia (Case
Fatality Rate 0,67 %) (Depkes RI, 2012).
Data Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa
demam tifoid termasuk dalam kejadian luar biasa (KLB) pada tahun 2008
dengan attack rate sebesar 0,37% yang menyerang 4 desa di 4 kecamatan
dengan jumlah penderita 51 jiwa. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan jumlah
penderita Demam Tifoid sebesar 150 jiwa yang menyerang 3 desa di 3
kecamatan dengan attack rate sebesar 2,69%. Tahun 2010 kasus KLB demam
Tifoid kembali terjadi dengan attack rate sebesar 1,36% yang menyerang 1
desa dengan jumlah penderita sebanyak 26 jiwa (Dinkes Jateng, 2010).
Kejadian demam tifoid di Desa Jatisaba, Kecamatan Cilongok
memiliki faktor resiko yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian
demam tifoid, yaitu tingkat pengetahuan dan riwayat demam tifoid pada
keluarga. Tingkat pengetahuan yang kurang mempunyai hubungan yang
signifikan dengan kejadian demam tifoid di RW 2 desa Jatisaba, Cilongok.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 64,7% ibu memiliki
tingkat pengetahuan yang kurang mengenai demam tifoid.

50
B. Tujuan
1. Umum
Menekan angka kejadian atau kekambuhan demam tifoid pada anak-anak
di Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok.
2. Khusus
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu dalam melakukan cuci
tangan yang baik dan benar melalui penyuluhan dan simulasi kepada
warga di Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok.
C. Bentuk Kegiatan
Kegiatan yang akan dilaksanakan disajikan dalam bentuk penyuluhan
tentang demam tifoid dan simulasi cara cuci tangan yang benar kepada Ibu-
ibu pengajian di Desa Jatisaba, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.
D. Sasaran
40 Ibu-ibu arisan PKK di RT 05 RW 02 di Desa Jatisaba Kecamatan
Cilongok Kabupaten Banyumas.
E. Pelaksanaan
1. Personil
a) Kepala Puskesmas : Basuki Rahmat, S.Km.MM
b) Pembimbing : dr. Trisma Nur Indras S
c) Pelaksana : Farissa Utami
Nunung Hasanah
2. Waktu dan Tempat Penyuluhan:
a) Hari : Selasa
b) Tanggal : 17 Oktober 2016
c) Tempat : Rumah Warga RT 05 RW 02 Desa Jatisaba
d) Waktu : 14.00 WIB –16.00 WIB
F. Rencana Anggaran
Sabun cuci tangan : 30 x Rp 8.300,00 = Rp 249.000,00
Leaflat : 30 x Rp 1.000,00 = Rp 30.000,00 +
Total Rp 279.000,00

51
F. Rencana Evaluasi Program
1. Input
a. Sasaran : 70% dari keseluruhan peserta arisan PKK RT 05 RW 02
Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok.
b. Sumber Daya : ruangan, alat tulis, pemateri, leaflet materi.
2. Proses
a. Keberlangsungan acara
Evaluasi keberlangsungan acara meliputi kehadiran para pengisi
acara yaitu pemberi sambutan dan pemateri, pelaksanaan
kegiatan, serta antusiasme peserta yang dinilai dari partisipasi
aktif peserta untuk bertanya. Materi disampaikan dalam bentuk
presentasi yang meliputi definisi demam tifoid, penyebab demam
tifoid, penularan demam tifoid, tanda dan gejala demam tifoid,
pencegahan demam tifoid dengan cuci tangan, definisi cuci
tangan, manfaat cuci tangan, kapan harus mencuci tangan, disertai
simulasi cara cuci tangan yang baik dan benar.
b. Jadwal pelaksanaan kegiatan
Evaluasi jadwal pelaksanaan kegiatan dinilai dari ketepatan
tanggal, waktu, serta alokasi waktu pada saat berlangsungnya
acara. Kegiatan direncanakan berlangsung pada hari Selasa, 18
Oktober pukul 14.00 WIB di RT 05 RW 02 Desa Jatisaba
Kecamatan Cilongok, Banyumas. Adapun alokasi waktu serta
rincian kegiatan yang akan dilakukan dicantumkan dalam Tabel 8.1

52
Tabel 8.1 Jadwal Kegiatan
Jam Alokasi Kegiatan
14.00-14.05 5 menit Pembukaan
14.05-14.10 5 menit Sambutan Perwakilan Puskesmas
14.10-14.20 10 menit Sambutan Ketua Pengajian
14.20-14.30 10 menit Pretest
14.30-14.55 25 menit Penyampaian materi demam tifoid
dan cuci tangan
14.55-15.10 15 menit Simulasi cara cuci tangan
15.10-15.20 10 menit Sesi Diskusi
15.20-15.30 10 menit Posttest
15.30-15.35 5 menit Penutupan

3. Output
Rerata nilai post-test warga di Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok
setelah mengikuti penyuluhan adalah 75 dari skala 100.

53
IX. PELAKSANAAN DAN EVALUASI PROGRAM

A. Pelaksanaan
Setelah dilakukan penyuluhan, diharapkan warga dapat membantu
mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan demam tifoid di
Desa Jatisaba. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan dilaksanakan melalui 3 tahap,
yaitu:
1. Tahap Persiapan
a. Perizinan
Perizinan diajukan dalam bentuk lisan oleh dokter muda kepada
Kepala Puskesmas II Cilongok, Preseptor Lapangan, Ketua RT 05,
Ketua RW 02 dan kader desa Jatisaba.
b. Materi
Materi yang disiapkan adalah materi penyuluhan tentang demam
tifoid dan cuci tangan dalam bentuk leaflet dan simulasi.
b. Sarana
Sarana yang digunakan yaitu rumah warga sebagai tempat
berlangsungnya arisan PKK RT 05 RW 02 Desa Jatisaba, leaflet
mengenai demam tifoid.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Judul Kegiatan
“Penyuluhan Demam Tifoid dan Simulasi Cuci Tangan”
b. Waktu
Selasa, 18 Oktober 2016 pukul 14.00 WIB
c. Tempat
RT 05 RW 02 Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok
d. Penanggung Jawab
1) dr. Yudhi Wibowo selaku pembimbing fakultas

2) Basuki R ahm at , S.Km.MM selaku kepala Puskesmas II Cilongok

3) dr. Trisma Nur Indras selaku pembimbing lapangan

54
4) Pelaksana Farissa Utami dan Nunung Hasanah
5) Peserta peserta arisan PKK RT 05 RW 02 Desa Jatisaba Kecamatan
Cilongok
6) Penyampaian Materi
Penyuluhan materi demam tifoid diberikan kepada peserta
arisan PKK RT 05 RW 02 Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok,
yang mencakup definisi demam tifoid, penyebab demam tifoid,
penularan demam tifoid, tanda dan gejala demam tifoid,
pencegahan demam tifoid dengan cuci tangan, definisi cuci
tangan, manfaat cuci tangan, kapan harus mencuci tangan, serta
simulasi cara cuci tangan yang baik dan benar.
B. Evaluasi
1. Input
a. Sasaran
Sebanyak 28 peserta pengajian hadir dalam kegiatan penyuluhan.
Maka target penyuluhan terpenuhi, yaitu minimal 28 orang (70%) dari
peserta arisan PKK RT 05 RW 02 Desa Jatisaba Kecamatan Cilongok
yang menghadiri penyuluhan. Sasaran yang mengikuti kegiatan
penyuluhan terlihat antusias dalam mengikuti kegiatan. Hal ini dapat
dilihat dari pertanyaan yang diajukan oleh sasaran serta sasaran
yang ikut berinteraksi aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
disampaikan oleh pemateri.
b. Sumber Daya
Ruangan telah disediakan oleh warga desa RT 05 RW 02, lembar
jawab pretest, postest dan alat tulis disediakan oleh pelaksana kegiatan.
Pemateri yaitu Farissa Utami menyampaikan materi yang berisi definisi
demam tifoid, penyebab demam tifoid, penularan demam tifoid, tanda
dan gejala demam tifoid, pencegahan demam tifoid dengan cuci tangan,
definisi cuci tangan, manfaat cuci tangan, kapan harus mencuci
tangan, penyakit yang dapat terjangkit karena cuci tangan yang tidak
baik, cara cuci tangan yang benar. Pelaksana kegiatan juga memberikan
leaflet ringkasan materi. Sabun cuci tangan disediakan oleh pelaksana,
diberikan sebagai tanda terimakasih atas partisipasi peserta. Sumber

55
pembiayaan yang digunakan cukup untuk menunjang
terlaksananya kegiatan. Anggaran yang dihabiskan adalah sejumlah
Rp. 279.000,00 yang digunakan untuk leaflet dan sabun cuci tangan.
2. Proses
a. Keberlangsungan acara
Acara diselenggarakan di rumah warga di RT 05 RW 02 Desa
Jatisaba dan berlangsung kondusif. Semua rangkaian kegiatan
terlaksana dengan baik dan antusiasme peserta baik dibuktikan dengan
jumlah pertanyaan yang diajukan peserta ada sebanyak tiga pertanyaan
mengenai demam tifoid. Materi disampaikan dengan metode presentasi
yang meliputi definisi demam tifoid, penyebab demam tifoid, penularan
demam tifoid, tanda dan gejala demam tifoid, pencegahan demam tifoid
dengan cuci tangan, definisi cuci tangan, manfaat cuci tangan, kapan
harus mencuci tangan, disertai simulasi cara cuci tangan yang baik dan
benar.
b. Jadwal pelaksanaan kegiatan
Kegiatan berhasil dilaksanakan pada hari Selasa, 18 Oktober
2016. Acara dimulai pukul 14.00 WIB – 16.00 WIB. Acara berlangsung
selama 95 menit dan berakhir pada pukul 15.35. Semua rangkaian acara
terlaksana dan sesuai dengan alokasi waktu yang telah direncanakan.
3. Output
Rerata nilai post-test kader posyandu di Desa Jatisaba Kecamatan
Cilongok setelah mengikuti penyuluhan adalah 78,50 sehingga memenuhi
batas minimal, yaitu 75 dari skala 100. Hal ini menunjukkan
peningkatan sebanyak 39% dibandingkan rerata nilai pre-test yaitu 39,50
dari skala 100.

56
X. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Hasil analisis kesehatan komunitas (Community Health Analysis) di Desa
Jatisaba wilayah kerja Puskesmas II Cilongok Kabupaten Banyumas
menunjukkan bahwa demam tifoid menjadi prioritas masalah yang
diambil.
2. Faktor risiko yang berhubungan signifikan secara statistik dengan
kejadian demam tifoid di Desa Jatisaba, Kecamatan Cilongok adalah
pengetahuan yang buruk dan riwayat demam tifoid pada keluarga.
Adapun permasalahan yang diangkat untuk dilakukan intervensi adalah
pengetahuan yang buruk dan meningkatkan kesadaran cuci tangan yang
baik.
3. Alternatif pemecahan masalah yang dipilih adalah melakukan
penyuluhan mengenai demam tifoid dan simulasi mengenai cuci tangan
yang baik dan benar kepada Ibu-ibu warga RT 05 RW 2 desa Jatisaba,
Cilongok
4. Penyuluhan berjalan lancar pada hari Selasa, 18 Oktober 2016 pukul
14.00 dan memenuhi target yaitu minimal 70% peserta arisan PKK RT 05
RW 02 hadir serta nilai postest mencapai 78,50 dengan kenaikan sebesar
39%

B. Saran
1. Perlu dilakukan survey lanjutan mengenai perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) dalam rumah tangga, serta kebiasaan ibu mencuci
tangan yang baik dan benar dalam 3 bulan kedepan untuk melihat
apakah Ibu- ibu menerapkan cuci tangan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Perlu dilakukan evaluasi mengenai prevalensi demam tifoid di desa
Jatisaba, Cilongok 3-4 bulan kedepan.

57
DAFTAR PUSTAKA

Abro, A.H., Abdou, A.M.S, Gangwani, J.L., Younis, N.J, Hussaini, H.S. 2009.
Hematological and Biochemical Changes in Typhoid Fever. Pak J Med
Sci. Vol.25(2): 166-17.
Artanti, N.W. 2013. Hubungan antara Sanitasi Lingkungan, Higiene Perorangan,
dan Karakteristik Individu dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah
Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2012. Skripsi.
Available at : http://lib.unnes.ac.id/18354/1/6450408002.pdf. Diakses
pada 30 September 2016.
Chin, J. 2000. Control Of Communicable Disease Manual. 17 ed. Berkeley, USA:
American Public Health Association.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. KMK No. 364/SK/V/2006
Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta : Direktorat
Jenderal PP dan PL.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Indonesia
tahun 2011. Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2010. Profil Kesehatan Jawa Tengah.
Semarang.
Grassl, G.A dan Finlay, B.B. 2008. Pathogenesis of Enteric Salmonella Infections.
Curr Opin Gastroenterol. Vol. 24(1): 22-26.
Gunarsa, S.D. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung
Mulia.
Haraga, A et al. 2008. Salmonella Interplay with Host Cells. Nat Rev Micobiol;
6:53.
Herliani, D., Usep, A.H., Rika, N. 2015. Hubungan antara Faktor Risiko dengan
Kejadian Demam Tifoid pada Pasien yang di Rawat di Rumah Sakit
AlIslam Bandung Periode Februari - Juni 2015. Bandung : Universitas
Islam.
Kristina, R.T., Andi, Z.A, Ansariadi. 2014. Faktor Risiko Demam Tifoid di
Wilayah Kerja Puskesmas Galesong Utara Kabupaten Takalar. Skripsi.
Makasar : Unversitas Hasanudin.

58
Kurniasih. 2011. Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian Demam Tifoid di
Rumah Sakit Jasa Kartini Kecamatan Rancah Kabupaten Tasikmalaya.
Skripsi. Bandung : Universitas Siliwangi.
Maria, H.W. 2007. Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Demam Tifoid
di Indonesia Tahun 2006. Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Vol. 19 (4) : 165-173.
Nawasis. 2008. Draft Buku Putih Sanitasi Kabupaten Banyumas. Available at :
ppsp.nawasis.info/dokumen/perencanaan/.../bp/.../Draf%20BPS%20BAB
% 20II.docx, diakses 21 Juni 2016.
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta
Okky, P.P. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid pada Penderita
yang Dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Vol 2 (1) : 108-117.
Pegues, D.A, Miller, S.I. 2011. Salmonellosis. Dalam Harrison's Principles of
Internal Medicine 18th edition. New York: McGraw and Hill.
Risani, E.S., Henry, P., Vandry, D.K. 2015. Hubungan Personal Hygiene dengan
Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Tumaratas.
Ejournal. Vol. 3(2) : 1-8. Santoso. 2007. Faktor-Faktor Risiko Kejadian
Demam Tifoid di Kabupaten Purworejo. Tesis. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Santoso. 2007. Faktor-faktor risiko kejadian demam tifoid di Kabupaten
Purworejo. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Suprapto. 2012. Faktor Risiko Pejamu yang Mempengaruhi Kejadian Demam
Tifoid (Studi Kasus Di RSUP Dr. Kariadi Semarang). Tesis. Semarang:
Universitas Diponegoro
Vollaard, A.M., Van, A., Widjaja, S., Visser, L.G., Surjadi, C. 2004. Risk factors
for Typhoid and Paratyphoid Fever in Jakarta, Indonesia. Journal of
American Medical Association. Vol. 291(21) : 2607-2615.
Vollaard, AM et al. 2004. Risk factors for transmision of food borne illness in
restaurants and street vendors in Jakarta, Indonesia. Epidemiology
Infection 132: 863-72.

59
WHO. 2014. Typhoid : Immunization, Vaccines and Biologicalis. Available at :
http://www.who.int/immunization/diseases/typhoid/en/, diakses pada 20
Juni 2016.
Widodo, D. 2009. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi V. Jakarta : InternaPublishing.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.
Wulan YS. 2013. Faktor Kebiasaan dan Sanitasi Lingkungan Hubunganya
dengan Kejadian Demam Thypoid Di Wilayah Kerja Puskesmas
Ngemplak Kabupaten Boyolali. Skripsi. Avilable at:
http://eprints.ums.ac.id/27257/11/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf,
diakses pada 20 Juni 2016.

60
Lampiran 1. Informed Consent

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Kampus Unsoed RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Jl. Gumbreg
no.1
Tlp (0281) 641522 Fax (0281) 635208 Purwokerto 53123

Informed Consent

Kami mahasiswa Fakultas Kedokteran UniversitasJenderal Soedirman


Purwokerto, saat ini sedang melakukan penelitian dengan judul “ Faktor Risiko yang
Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid pad Balita di Desa Jatisaba, Kecamatan
Cilongok”. Penelitian ini diselenggarakkan dalam rangka penatalaksanaan Community
Health Analysisi pada Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas dan Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman. Kesediaan anda sangat
bearti dalam penyusunan penelitian ini. Atas kesediaan anda dan anak anda menjadi
responden, kami ucapkan terimakasih.

Jatisaba, Oktober 2016

Tim Peneliti

Nunung Hasanah, Farissa Utami

Lembar Persetujuan Partisipasi dalam Penelitian

Setelah membaca surat pemberitahuan dan mendengar penjelasan sebelumnya,


maka saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama :
Usia :
Alamat :
Secara sukarela bersedia berpartisipasi dalam penelitian “ Faktor Risiko yang
Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid pada Anak-anak di Desa Jatisaba, Kecamatan
Cilongok”.

Jatisaba, Oktober 2016

Responden

61
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian

KUESIONER ANALISIS FAKTOR RISIKO DEMAM TIFOID


PADA ANAK-ANAK
DESA JATISABA PUSKESMAS II CILONGOK
KABUPATEN BANYUMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

IDENTITAS
Nama Anak
Usia Tahun
Jenis Kelamin a. Laki-laki
b. Perempuan
Nama Responden
Usia Tahun
Jenis Kelamin a. Laki –laki
b. Perempuan
Pendidikan Terakhir a. Tidak Sekolah
b. SD
c. SMP
d. SMA/ Sederajat
e. Perguruan Tinggi
Pekerjaan
VARIABEL TERIKAT
1. Karakterisik Individu
Status Sosial Ekonomi
Jumlah pendapatan suami per bulan Rp
Jumlah pendapatan istri per bulan Rp
Total pendapatan keluarga Rp
Jumlah anggota keluarga yang menjadi ....... orang
tanggungan keluarga
Pendapatan perkapita Rp
Kategori a. Tinggi ( di atas Rp. 399.054,00)
b. Rendah (di bawah Rp. 399.054,00)
Tingkat Pengetahuan
Apakah saudara tahu apa itu demam a. Ya Skor 1
tifoid? b. Tidak Skor 0
Menurut saudara, apa yang menyebabkan a. Bakteri Skor 1
penyakit demam tifoid? b. Virus Skor 0
c. Lain-lain: ............... Skor 0
Menurut saudara, media apa saja yang a. Makanan dan air Skor 1
menularkan penyakit demam tifoid? b. Udara Skor 0
Menurut saudara apa yang menjadi vektor a. Lalat Skor 1

62
( pembawa) yang menularkan penyakit b. Nyamuk Skor 0
demam tifoid?
Menurut saudara, bagaiaman gejala orang a. Demam disertai mual muntah Skor 1
yang terkena demam tifoid b. Demam tinggi disertai bintik- Skor 0
bintik merah
Menurut saudara, apakah penderita a. Ya Skor 1
demam tifoid membutuhkan pengobatan ? b. Tidak Skor 0
Menurut saudara, apakah demam tifoid a. Ya Skor 1
dapat menyebabkan kematian? b. Tidak Skor 0
Menurut saudara, apakah penyakit a. Ya Skor 1
demam tioid dapat dicegah? b. Tidak Skor 0
Menurut saudara,apakah cara pencegahan a. Menerapkan perilaku hidup Skor 1
yang paling efektif untuk demam tifoid? bersih dan sehat dan Skor 0
kesehatan lingkungan
b. Vaksinasi
Kategori a. Baik ( Skor > 6)
b. Kurang (Skor ≤ 6)

2. Perilaku
Kebiasaan cuci tangan
Bagaiamana saudara biasanya a. Dengan air mengalir Skor 1
mencuci tangan? b. Dengan air kobokan Skor 0
Apakah saudara menggunakan a. Ya Skor 1
sabun saat mencuci tangan? b. Tidak Skor 0
Saat mencuci tangan dengan a. Ya Skor 1
sabun, apakah sela-sela jari ikut b. Tidak Skor 0
di bersihkan?
Saat mencuci tangan dengan a. Ya Skor 1
sabun, apakah kuku ikut b. Tidak Skor 0
dibersihkan?
Apakah saudara mencuci tangan a. Ya Skor 1
dengan sabun sebelum makan? b. Tidak Skor 0
Apakah saudara mencuci tangan a. Ya Skor 1
dengan sabun setelah BAB? b. Tidak Skor 0
Kategori a. Baik: (Skor > 3)
b. Kurang: (Skor ≤ 3)
Kebiasaan jajan di warung
Apakah saudara memiliki a. Setiap hari/selalu (tiap hari
kebiasaan makan/jajan di luar minimal 1 x atau 3 x per
rumah? minggu
b. Kadang- kadang (< 3 x per
minggu)
c. Tidak pernah (< 1 x sebulan)
Kategori Sering/selalu: tiap hari minimal 1 x
atau ≥ 3 kali seminggu
Jarang/kadang-kadang : < 3 kali
seminggu

63
Tidak pernah: Tidak pernah (< 1 x
sebulan)

Kebiasaan Mencuci bahan


makanan mentah
Apakah saudara sering a. Tidak Skor 1
mengonsumsi bahan makanan b. Ya Skor 0
mentah (tanpa dimasak)?
Apakah saudara mengonsumsi a. Tidak Skor 1
bahan makanan mentah lebih dari b. Ya Skor 0
3 kali seminggu?
Apakah saudara mencuci terlebih a. Ya Skor 1
dahulu bahan makanan tersebut? b. Tidak Skor 0
Apakah saudara mencuci a. Ya Skor 1
menggunakan air bersih ( tidak b. Tidak Skor 0
berwarna, tidak berbau, tidak
berasa)?
Apakah saudara mencuci dengan a. Ya Skor 1
air mengalir ? b. Tidak Skor 0
Kategori Baik : Skor ≥ 3
Buruk : Skor < 3

3. Lingkungan

Sumber Air Bersih


Darimana sumber air bersih di a. PDAM Skor 1
rumah? b. PAMSIMAS Skor 1
c. Sumur Skor 1
d. Air sungai/tadah hujan Skor 0
Apakah air tidak berwarna, tidak c. Ya Skor 1
berbau, tidak berasa? d. Tidak Skor 0
Berapa jarak sumber air bersih a. ≥ 10 meter Skor 1
dengan septic tank? (jikab. < 10 meter Skor 0
menggunakan sumur)
Kategori Memenuhi syarat : Skor 3 (jika
menggunakan sumur), Skor 2 (jika
tidak menggunakan sumur)
Tidak memenuhi syarat : Skor < 3
atau skor <2

Kepemilikan Jamban Keluarga


Apakah di rumah terdapat a. Ya Skor 1
jamban? b. Tidak Skor 0
Jenis jamban apakah yang a. Leher angsa Skor 1
terdapat di rumah saudara? b. Cemplung Skor 0

64
Apakah jamban disalurkan ke a. Ya Skor 1
septic tank? b. Tidak Skor 0
Apakah jamban tertutup, a. Ya Skor 1
berdinding, dan berpintu? b. Tidak Skor 0
Apakah jamban yang digunakan a. Ya Skor 1
bersih dan tidak berbau? b. Tidak Skor 0
Apakah tersedia air, sabun, dan a. Ya
alat untuk membersihkan b. Tidak Skor 1
jamban? Skor 0
Apakah ibu membersihkan a. Tidak Skor 1
jamban jika terlihat kotor saja? b. Ya Skor 0
Kategori Sehat: skor 6
Tidak sehat: skor <6

Pengelolaan Sampah
Apakah di luar rumah terdapat a. Ya Skor 1
tempat sampah? b. Tidak Skor 0
Apakah jenis tempat sampah di a. Tempat sampah Skor 1
luar rumah? tertutup Skor 0
b. Tempat sampah
terbuka
Pada saat anda ingin membuang a. Ya Skor 1
sampah, apakah anda selalu b. Tidak Skor 0
membuangnya di tempat sampah?
Bagaimana cara penanganan a. Ditimbun Skor 1
sampah di rumah anda? b. Dibakar Skor 1
c. Dibiarkan Skor 0
d. Dibuang ke Skor 0
sungai/kebun Skor 0
e. .......
Kategori Baik : skor ≥ 3(>50%
dari total nilai)
Buruk : skor < 3 (<50%
dari total nilai)

Riwayat Demam Tifoid pada


Anggota Keluarga
Apakah ada anggota keluarga a. Ya
yang tinggal serumah yang b. Tidak
pernah mengalami demam yang
diikuti nyeri perut, mual,
didiagnosis demam tifoid di
Puskesmas II Cilongok dalam 3
bulan terakhir?
Kategori Ada
Tidak ada

65
66
67
Lampiran 3. Pretest dan Posttest.

1. Demam typoid (tifus) adalah infeksi pada...


a. Usus
b. Hati
c. Lambung

2. Pilih salah satu : Tanda dan gejala khas demam typoid (tipes/tifus) adalah..
a. Demam < 7 hari, disertai diare (mencret)
b. Demam > 7 hari, disertai diare (mencret) atau susah buang air besar

3. Penyebab dari demam tifoid adalah?


a. Virus
b. Bakteri
c. Jamur
d. Cacing
4. Apakah demam tifoid dapat menular ?
a. Ya
b. Tidak

5. Jika dari pertanyaan no. 4 anda memilih “ya” , menurut anda penularannya
melalui apa?
a. Makanan dan minuman
b. Batuk dan bersin
c. Bersentuhan dengan penderita
6. Apakah kebersihan diri, keluarga dan lingkungan merupakan faktor yang
mempengaruhi terjadinya penyakit demam tifoid?
a. Ya
b. Tidak
7. Apakah tipes sama dengan penyakit maag?
a. Ya
b. Tidak
8. Apakah mencuci tangan dengan air kobokan dapat mencegah terjadinya
penyakit demam tifoid/tipes?
a. Ya
b. Tidak

9. Apakah merebus air hingga mendidih dapat mencegah terjadinya penyakit


demam tifoid/tipes?
a. Ya
b. Tidak

10. Apakah demam tifoid/tipes dapat menyebabkan kematian?


a. Ya
b. Tidak

68
Lampiran 4. Data Nilai Pretest-Postest

Responden Nilai Pretest Postest


1 10 80
2 20 80
3 20 80
4 20 60
5 20 70
6 20 80
7 30 60
8 30 70
9 30 70
10 50 70
11 50 50
12 50 100
13 60 100
14 60 90
15 60 100
16 60 90
17 70 80
18 70 100
19 40 90
20 20 50

69
Lampiran 5. Analisis Univariat

pendidikanibu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid SD 16 47,1 47,1 47,1
SMP 11 32,4 32,4 79,4
SMA 7 20,6 20,6 100,0
Total 34 100,0 100,0

pekerjaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid IRT 25 73,5 73,5 73,5
pedagang 6 17,6 17,6 91,2
wiraswasta 3 8,8 8,8 100,0
Total 34 100,0 100,0

pendapatanperkapita_

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tinggi 14 41,2 41,2 41,2
rendah 20 58,8 58,8 100,0
Total 34 100,0 100,0

jeniskelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid perempuan 18 52,9 52,9 52,9
laki-laki 16 47,1 47,1 100,0
Total 34 100,0 100,0

umur_

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 5-9 16 47,1 47,1 47,1
10-14 14 41,2 41,2 88,2
15-19 4 11,8 11,8 100,0
Total 34 100,0 100,0

Pengetahuan Ibu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

70
Valid kurang 15 44,1 44,1 44,1
baik 19 55,9 55,9 100,0
Total 34 100,0 100,0

sumberairbersih

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak memenuhi syarat 16 47,1 47,1 47,1
memenuhi syarat 18 52,9 52,9 100,0
Total 34 100,0 100,0

pengelolaansampah_

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid buruk 4 11,8 11,8 11,8
baik 30 88,2 88,2 100,0
Total 34 100,0 100,0

cucitangan_

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid kurang 9 26,5 26,5 26,5
baik 25 73,5 73,5 100,0
Total 34 100,0 100,0

mencuci bahanmakan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid buruk 1 2,9 2,9 2,9
baik 33 97,1 97,1 100,0
Total 34 100,0 100,0

jambankeluarga_

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak sehat 16 47,1 47,1 47,1
sehat 18 52,9 52,9 100,0
Total 34 100,0 100,0

71
kebiasaanjajandiwarung

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak pernah 7 20,6 20,6 20,6
sering 9 26,5 26,5 47,1
jarang 18 52,9 52,9 100,0
Total 34 100,0 100,0

sumberairbersih

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak memenuhi syarat 16 47,1 47,1 47,1
memenuhi syarat 18 52,9 52,9 100,0
Total 34 100,0 100,0

Riwayatdemamtifoidkeluarga

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ya 16 47,1 47,1 47,1
tidak 18 52,9 52,9 100,0
Total 34 100,0 100,0

72
Lampiran 6. Analisis Bivariat

1. Demam Tifoid dengan Jamban Keluarga

Crosstab

Kelompok Total
kasus kontrol kasus
jambankeluarga_ tidak sehat Count 5 2 7
Expected Count 3,5 3,5 7,0
% within Kelompok 29,4% 11,8% 20,6%
sehat Count 12 15 27
Expected Count 13,5 13,5 27,0
% within Kelompok 70,6% 88,2% 79,4%
Total Count 17 17 34
Expected Count 17,0 17,0 34,0
% within Kelompok 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 1,619(b) 1 ,203
Continuity
,720 1 ,396
Correction(a)
Likelihood Ratio 1,662 1 ,197
Fisher's Exact Test ,398 ,199
N of Valid Cases 34
a Computed only for a 2x2 table
b 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,50.

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper Lower


Odds Ratio for
jambankeluarga_ 3,125 ,513 19,038
(tidak sehat / sehat)
For cohort Kelompok
= kasus 1,607 ,856 3,019
For cohort Kelompok
= kontrol ,514 ,152 1,740
N of Valid Cases 34

2. Demam tifoid dengan Riwayat Demam Tifoid pada Anggota Keluarga


Lain.

Crosstab

73
Kelompok Total
kasus kontrol kasus
demamtifoidkeluarga ya Count 13 3 16
Expected Count 8,0 8,0 16,0
% within Kelompok 76,5% 17,6% 47,1%
tidak Count 4 14 18
Expected Count 9,0 9,0 18,0
% within Kelompok 23,5% 82,4% 52,9%
Total Count 17 17 34
Expected Count 17,0 17,0 34,0
% within Kelompok 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 11,806(b) 1 ,001
Continuity
9,563 1 ,002
Correction(a)
Likelihood Ratio 12,622 1 ,000
Fisher's Exact Test ,002 ,001
N of Valid Cases 34
a Computed only for a 2x2 table
b 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,00.

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper Lower


Odds Ratio for
demamtifoidkeluarga 15,167 2,837 81,095
(ya / tidak)
For cohort Kelompok =
kasus 3,656 1,493 8,955
For cohort Kelompok =
kontrol ,241 ,084 ,689
N of Valid Cases 34

3. Demam Tifoid dengan Pengetahuan Ibu


Crosstab

Kelompok Total
kasus kontrol kasus
pengetahuan kurang Count 11 4 15
Expected Count 7,5 7,5 15,0

74
% within Kelompok 64,7% 23,5% 44,1%
baik Count 6 13 19
Expected Count 9,5 9,5 19,0
% within Kelompok 35,3% 76,5% 55,9%
Total Count 17 17 34
Expected Count 17,0 17,0 34,0
% within Kelompok 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 5,846(b) 1 ,016
Continuity
4,295 1 ,038
Correction(a)
Likelihood Ratio 6,038 1 ,014
Fisher's Exact Test ,037 ,018
N of Valid Cases 34
a Computed only for a 2x2 table
b 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,50.

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper Lower


Odds Ratio for
pengetahuan 5,958 1,332 26,662
(kurang / baik)
For cohort Kelompok
= kasus 2,322 1,120 4,813
For cohort Kelompok
= kontrol ,390 ,160 ,952
N of Valid Cases 34

4. Demam tifoid dengan Pendapatan Perkapita

Crosstab

Kelompok Total
kasus kontrol kasus
pendapatanperkapita_ rendah Count 10 10 20
Expected Count 10,0 10,0 20,0
% within Kelompok 58,8% 58,8% 58,8%
tinggi Count 7 7 14
Expected Count 7,0 7,0 14,0
% within Kelompok 41,2% 41,2% 41,2%

75
Total Count 17 17 34
Expected Count 17,0 17,0 34,0
% within Kelompok 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square ,000(b) 1 1,000
Continuity
,000 1 1,000
Correction(a)
Likelihood Ratio ,000 1 1,000
Fisher's Exact Test 1,000 ,636
N of Valid Cases 34
a Computed only for a 2x2 table
b 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,00.

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper Lower


Odds Ratio for
pendapatanperkapita_ 1,000 ,255 3,919
(rendah / tinggi)
For cohort Kelompok =
kasus 1,000 ,505 1,980
For cohort Kelompok =
kontrol 1,000 ,505 1,980
N of Valid Cases 34

5. Demam tifoid dengan Kebiasaan Mencuci Bahan Makanan

Crosstab

Kelompok Total
kasus kontrol kasus
mencucibahanmakan_ kurang Count 1 0 1
Expected Count ,5 ,5 1,0
% within Kelompok 5,9% ,0% 2,9%
baik Count 16 17 33
Expected Count 16,5 16,5 33,0
% within Kelompok 94,1% 100,0% 97,1%
Total Count 17 17 34
Expected Count 17,0 17,0 34,0
% within Kelompok 100,0% 100,0% 100,0%

76
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 1,030(b) 1 ,310
Continuity
,000 1 1,000
Correction(a)
Likelihood Ratio 1,417 1 ,234
Fisher's Exact Test 1,000 ,500
N of Valid Cases 34
a Computed only for a 2x2 table
b 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,50.

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper Lower


For cohort Kelompok
= kasus 2,063 1,451 2,932
N of Valid Cases 34

77
6. Demam tifoid dengan Kebiasaan Pengelolaan Sampah

Crosstab

Kelompok Total
kasus kontrol kasus
pengelolaansampah_ buruk Count 3 1 4
Expected Count 2,0 2,0 4,0
% within Kelompok 17,6% 5,9% 11,8%
baik Count 14 16 30
Expected Count 15,0 15,0 30,0
% within Kelompok 82,4% 94,1% 88,2%
Total Count 17 17 34
Expected Count 17,0 17,0 34,0
% within Kelompok 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 1,133(b) 1 ,287
Continuity
,283 1 ,595
Correction(a)
Likelihood Ratio 1,180 1 ,277
Fisher's Exact Test ,601 ,301
N of Valid Cases 34
a Computed only for a 2x2 table
b 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,00.

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper Lower


Odds Ratio for
pengelolaansampah_ 3,429 ,319 36,828
(buruk / baik)
For cohort Kelompok =
kasus 1,607 ,812 3,182
For cohort Kelompok =
kontrol ,469 ,083 2,644
N of Valid Cases 34

78
7. Demam tifoid dengan Kebiasaan Mencuci Tangan

Crosstab

Kelompok Total
kasus kontrol kasus
cucitangan kurang Count 4 5 9
Expected Count 4,5 4,5 9,0
% within Kelompok 23,5% 29,4% 26,5%
baik Count 13 12 25
Expected Count 12,5 12,5 25,0
% within Kelompok 76,5% 70,6% 73,5%
Total Count 17 17 34
Expected Count 17,0 17,0 34,0
% within Kelompok 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square ,151(b) 1 ,697
Continuity
,000 1 1,000
Correction(a)
Likelihood Ratio ,151 1 ,697
Fisher's Exact Test 1,000 ,500
N of Valid Cases 34
a Computed only for a 2x2 table
b 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,50.

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper Lower


Odds Ratio for cucitangan
(kurang / baik) ,738 ,160 3,414
For cohort Kelompok =
kasus ,855 ,376 1,944
For cohort Kelompok =
kontrol 1,157 ,568 2,360
N of Valid Cases 34

79
8. Demam tifoid dengan Kebiasaan Jajan

kebiasaanjajandiwarung * Kelompok Crosstabulation

Kelompok
kasus kontrol Total
kebias aanjajandiwarung sering Count 6 3 9
Expected Count 4,5 4,5 9,0
% within Kelompok 35,3% 17,6% 26,5%
jarang Count 9 9 18
Expected Count 9,0 9,0 18,0
% within Kelompok 52,9% 52,9% 52,9%
tidak pernah Count 2 5 7
Expected Count 3,5 3,5 7,0
% within Kelompok 11,8% 29,4% 20,6%
Total Count 17 17 34
Expected Count 17,0 17,0 34,0
% within Kelompok 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

As ymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 2,286a 2 ,319
Likelihood Ratio 2,348 2 ,309
N of Valid Cases 34
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 3,50.

Ri sk Estim ate

Value
Odds Ratio for a
kebias aanjajandiwarung
(sering / jarang)
a. Risk Estimate stat istic s cannot be comput ed. They
are only computed for a 2*2 table without empt y cells.

80
9. Demam tifoid dengan Sumber Air Bersih

Crosstab

Kelompok Total
kasus kontrol kasus
sumberairbersih tidak memenuhi syarat Count 9 7 16
Expected Count 8,0 8,0 16,0
% within Kelompok 52,9% 41,2% 47,1%
memenuhi syarat Count 8 10 18
Expected Count 9,0 9,0 18,0
% within Kelompok 47,1% 58,8% 52,9%
Total Count 17 17 34
Expected Count 17,0 17,0 34,0
% within Kelompok 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square ,472(b) 1 ,492
Continuity
,118 1 ,731
Correction(a)
Likelihood Ratio ,473 1 ,491
Fisher's Exact Test ,732 ,366
N of Valid Cases 34
a Computed only for a 2x2 table
b 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,00.

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper Lower


Odds Ratio for
sumberairbersih (tidak
memenuhi syarat / 1,607 ,414 6,240
memenuhi syarat)
For cohort Kelompok =
kasus 1,266 ,645 2,482
For cohort Kelompok =
kontrol ,788 ,394 1,574
N of Valid Cases 34

81
Lampiran 7. Uji Wilcoxon Pretest dan Postest

Descriptives

Statistic Std. Error


Pretes t Mean 39,50 4,381
95% Confidence Lower Bound 30,33
Interval for Mean Upper Bound
48,67

5% Trimmed Mean 39,44


Median 35,00
Variance 383,947
Std. Deviation 19,595
Minimum 10
Maximum 70
Range 60
Interquartile Range 40
Skewness ,171 ,512
Kurtos is -1,519 ,992
Postes t Mean 78,50 3,574
95% Confidence Lower Bound 71,02
Interval for Mean Upper Bound
85,98

5% Trimmed Mean 78,89


Median 80,00
Variance 255,526
Std. Deviation 15,985
Minimum 50
Maximum 100
Range 50
Interquartile Range 20
Skewness -,245 ,512
Kurtos is -,793 ,992

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pretes t ,190 20 ,056 ,890 20 ,027
Postes t ,137 20 ,200* ,927 20 ,138
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction

82
Ra nks

N Mean Rank Sum of Ranks


Postes t - Pret est Negative Rank s 0a ,00 ,00
Positive Ranks 19 b 10,00 190,00
Ties 1c
Total 20
a. Postes t < Pretest
b. Postes t > Pretest
c. Postes t = Pretest

Test Statisticsb

Postes t -
Pretes t
Z -3,842a
As ymp. Sig. (2-tailed) ,000
a. Based on negative ranks .
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

83
Lampiran 8. Dokumentasi Kegiatan

84
85
Lampiran 9. Absensi Kegiatan

86
Lampiran 10. Leaflet Demam Tifoid

87

Anda mungkin juga menyukai