Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Hematologis pada Kehamilan


Adaptasi anatomis, fisiologis, dan biokimiawi terhadap kehamilan sangat besar.
Banyak dari perubahan-perubahan tersebut segera terjadi setelah fertilisasi dan
berlanjut selama kehamilan. Sebagian besar adaptasi pada kehamilan terjadi
sebagai respons terhadap rangsangan fisiologis yang ditimbulkan oleh janin.
Salah satu perubahan yang terjadi selama kehamilan adalah perubahan
hematologis. Perubahan pada sistem ini berupa peningkatan volume darah ibu,
penurunan hemoglobin dan hematokrit, peningkatan kebutuhan besi, perubahan
pada leukosit dan sistem imunologis, serta kehilangan darah yang terjadi selama
proses kelahiran (Cunningham dkk., 2006).

2.1.1. Volume Darah


Volume darah ibu meningkat secara nyata selama kehamilan. Tingkat
ekspansi sangat bervariasi, di mana pada beberapa wanita hanya terjadi
peningkatan sedang dan pada wanita lain peningkatan hampir berlipat
ganda. Peningkatan volume darah disebabkan oleh meningkatnya
plasma dan eritrosit. Peningkatan plasma biasanya lebih banyak
daripada eritrosit pada sirkulasi ibu. Menurut Harstad dkk. (1992),
peningkatan kadar eritropoietin plasma ibu dan produksi tertinggi
eritrosit setelah usia gestasi 20 minggu menyebabkan hiperplasia eritroid
sedang dalam sumsum tulang belakang, dan hitung retikulosit sedikit
meningkat pada kehamilan normal. Pritchard (1965) menyatakan janin
tidak berperan penting dalam hipervolemia, sebab keadaan ini juga

Universitas Sumatera Utara


dapat terjadi pada beberapa wanita dengan mola hidatidosa
(Cunningham dkk., 2006).
Pada wanita normal, volume darah saat aterm meningkat kira-kira 40-
45% di atas volume saat tidak hamil. Volume darah ibu mulai
meningkat pada trimester pertama, bertambah cepat pada trimester
kedua, kemudian naik dengan kecepatan yang lebih pelan pada trimester
ketiga untuk mencapai kecepatan konstan (kondisi plateau) pada
beberapa minggu akhir kehamilan. Peningkatan progresif volume darah
terjadi pada minggu ke-6 sampai ke-8, dan mencapai puncak pada
minggu ke-32 sampai ke-34. Volume darah akan kembali seperti semula
pada 2-6 minggu setelah persalinan (Cunningham dkk., 2006; Sulin,
2009).
Menurut Cunningham dkk. (2006) dan Sulin (2009), hipervolemia yang
diinduksi oleh kehamilan mempunyai beberapa fungsi penting sebagai
berikut:
1. Untuk memenuhi kebutuhan uterus yang membesar dan sistem
vaskuler yang hipertrofi.
2. Untuk melindungi ibu dan janin terhadap efek merusak dari
gangguan aliran balik vena pada posisi telentang dan berdiri tegak.
3. Untuk menjaga ibu dari efek samping kehilangan darah selama
persalinan.

2.1.2. Konsentrasi Hemoglobin dan Hematokrit


Konsentrasi hemoglobin dan hematokrit sedikit menurun selama
kehamilan normal walaupun terdapat peningkatan eritropoiesis. Jika
dibandingkan dengan peningkatan volume plasma, peningkatan volume
eritrosit sirkulasi tidak begitu banyak, sekitar 450 ml atau 33%.

Universitas Sumatera Utara


Akibatnya, viskositas darah secara keseluruhan menurun (Cunningham
dkk., 2006).
Konsentrasi hemoglobin tertinggi terdapat pada trimester pertama,
mencapai nilai terendah pada trimester kedua, dan mulai meningkat
kembali pada trimester ketiga. Konsentrasi hemoglobin rata-rata adalah
12,73 ± 1,14 g/dl pada trimester pertama, 11,41 ± 1,16 g/dl pada
trimester kedua, dan 11,67 ± 1,18 g/dl pada trimester ketiga (James dkk.,
2008).
Pada sebagian besar wanita, konsentrasi hemoglobin di bawah 11,0 g/dl,
terutama di akhir kehamilan, dianggap abnormal dan biasanya lebih
berhubungan dengan defisiensi besi daripada hipervolemia gravidarum
(Sulin, 2009).

2.1.3. Metabolisme Besi


Peningkatan volume eritrosit dan massa hemoglobin selama kehamilan
berhubungan dengan jumlah besi yang tersedia dari cadangan besi dalam
tubuh ibu hamil. Rata-rata volume total eritrosit meningkat sekitar 450
ml dalam sirkulasi, di mana dalam 1 ml eritrosit normal terkandung 1,1
mg besi. Dari 1000 mg kebutuhan besi pada kehamilan, sekitar 300 mg
ditransfer secara aktif ke janin dan plasenta, serta sekitar 200 mg hilang
di sepanjang jalur ekskresi normal. Keadaan ini tetap terjadi walaupun
ibu kekurangan zat besi. Bila zat besi tersebut tersedia, 500 mg besi
lainnya akan digunakan dalam eritrosit. Akibatnya, semua zat besi akan
terpakai selama paruh akhir kehamilan dan dibutuhkan zat besi yang
cukup besar selama paruh kedua kehamilan. Pritchard dan Scott (1970)
menuliskan kebutuhan zat besi selama paruh kedua kehamilan tersebut
sekitar 6-7 mg/hari. Dalam keadaan tidak ada zat besi suplemental,
konsentrasi hemoglobin dan hematokrit turun cukup besar saat volume

Universitas Sumatera Utara


darah ibu bertambah, meskipun absorpsi zat besi dari traktus
gastrointestinal tampak meningkat. Pada ibu dengan anemia defisiensi
berat, produksi hemoglobin dalam janin tidak akan terganggu. Hal ini
disebabkan perolehan besi dari plasenta ibu cukup untuk menghasilkan
kadar hemoglobin normal untuk janin (Cunningham dkk., 2006).

2.1.4. Fungsi Leukosit dan Sistem Imunologis


Selama kehamilan, jumlah leukosit akan meningkat sekitar 5.000-
12.000/µl. Pada saat kelahiran dan masa nifas, jumlah leukosit mencapai
puncak, yaitu antara 14.000-16.000/µl. Distribusi tipe sel juga berubah
selama kehamilan. Pada awal kehamilan, aktivitas leukosit alkalin
fosfatase dan C-Reactive Protein (CRP) meningkat. Selain itu, reaktan
serum akut dan Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) meningkat akibat
dari peningkatan plasma globulin dan fibrinogen. Pada trimester ketiga
kehamilan, jumlah granulosit dan limfosit CD8 T meningkat, tetapi
limfosit dan monosit CD4 T menurun (Sulin, 2009).

2.1.5. Kehilangan Darah


Pada mayoritas wanita, separuh dari eritrosit yang ditambahkan ke
sirkulasi ibu selama masa kehamilan akan hilang saat pelahiran per
vaginam normal sampai beberapa hari setelahnya. Kehilangan ini terjadi
melalui tempat implantasi plasenta, plasenta, episiotomi atau laserasi,
dan lokia. Pritchard (1965) dan Ueland (1976) menyatakan sekitar 500-
600 ml darah prapelahiran akan hilang saat kelahiran per vaginam bayi
tunggal sampai setelahnya. Sedangkan, sekitar 1000 ml darah hilang
pada seksio sesarea dan pelahiran per vaginam bayi kembar
(Cunningham dkk., 2006).

Universitas Sumatera Utara


2.2. Anemia pada Kehamilan

2.2.1. Definisi dan Kriteria Anemia


Secara fungsional, anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsi untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Anemia bukan
suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi gejala dari berbagai jenis
penyakit yang mendasari (Bakta, 2007).
Parameter penurunan jumlah massa eritrosit adalah kadar hemoglobin,
hematokrit, dan hitung retikulosit. Umumnya, ketiga parameter tersebut
saling bersesuaian. Kadar hematokrit dan hemoglobin adalah parameter
yang paling lazim dipakai (Bakta, 2007).
Umumnya, ibu hamil dinyatakan anemia jika kadar hemoglobin < 11,0
g/dl atau hematokrit < 33% (World Health Organization, 2008;
Abdulmuthalib, 2009).
CDC membuat nilai batas hemoglobin dan hematokrit khusus
berdasarkan trimester kehamilan (Abdulmuthalib, 2009).

Tabel 2.1. Nilai Batas Anemia Berdasarkan Trimester Kehamilan


Status Kehamilan Hemoglobin (g/dl) Hematokrit (%)

Tidak hamil 12,0 36

Kehamilan Trimester I 11,0 33

Kehamilan Trimester II 10,5 32

Kehamilan Trimester III 11,0 33

Dikutip dari Abdulmuthalib, 2009

Universitas Sumatera Utara


2.2.2. Epidemiologi Anemia
Anemia terdapat pada 1,62 juta jiwa di dunia (95% CI: 1,50-1,74 juta),
yaitu mencapai 24,8% populasi dunia (95% CI: 22,9-26,7%). Anak-anak
yang belum bersekolah, ibu hamil, dan wanita tanpa kehamilan di Asia
Tenggara merupakan kelompok yang paling banyak mengalami anemia,
sebanyak 315 juta jiwa (95% CI: 291-340 juta). Prevalensi anemia saat
kehamilan tahun 1993-2005 mencakup 41,8% populasi penderita anemia
di dunia (95% CI: 39,9-43,8%), yaitu sebanyak 56 juta jiwa penduduk
dunia (95% CI: 54-59 juta). Lebih dari 80% negara di dunia mengalami
masalah kesehatan masyarakat sedang ke berat akibat anemia pada ibu
hamil (World Health Organization, 2008).

2.2.3. Etiologi Anemia


Pada dasarnya, anemia dapat disebabkan oleh gangguan pembentukan
eritrosit oleh sumsum tulang belakang, kehilangan darah dari tubuh
(perdarahan), ataupun proses penghancuran eritrosit sebelum waktunya
(hemolisis). Anemia juga terdapat pada penyakit yang mendasarinya,
seperti: infeksi parasit, malaria, keganasan, tuberkulosis, HIV, dan
sebagainya (Bakta, 2007; World Health Organization, 2008).
Pada kehamilan, penyebab tersering anemia adalah defisiensi zat-zat
nutrisi. Penyebab mendasar anemia nutrisional berupa asupan gizi tidak
terpenuhi, absorpsi tidak adekuat, peningkatan kehilangan zat gizi,
peningkatan kebutuhan, dan utilisasi nutrisi hemopoietik berkurang.
Sekitar 75% anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi.
Selain itu, defisiensi asam folat dan vitamin B12 juga merupakan
penyebab yang sering ditemui. Walaupun begitu, defisiensi nutrisi juga
dapat terjadi multipel dengan infeksi, gizi buruk, ataupun kelainan
herediter (Abdulmuthalib, 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.2.4. Klasifikasi Anemia
Abdulmuthalib (2009) menuliskan klasifikasi anemia sebagai berikut:
1. Anemia defisiensi besi
Gambaran anemia defisiensi besi berupa eritrosit mikrositik
hipokrom, serta ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi
besi serum, saturasi transferin, dan konsentrasi hemoglobin atau
hematokrit.

2. Anemia defisiensi asam folat


Pada kehamilan, defisiensi asam folat dan vitamin B12 merupakan
penyebab anemia megaloblastik. Gangguan sintesis DNA juga
menyebabkan anemia megaloblastik.

3. Anemia aplastik
Anemia aplastik dapat terjadi berulang pada beberapa kasus
kehamilan dan eksaserbasi membaik setelah terminasi kehamilan
pada kasus lainnya.

4. Anemia penyakit sel sabit


Selama kehamilan, anemia sel sabit disertai dengan peningkatan
insidens pielonefritis, infark pulmonal, pneumonia, perdarahan ante
partum, prematuritas, dan kematian janin.

2.2.5. Dampak Anemia pada Kehamilan


Anemia pada kehamilan dapat memberikan dampak yang buruk pada
ibu dan janin, antara lain:

Universitas Sumatera Utara


1. Infeksi maternal
Menurut Hooton dkk. (1996), anemia pada kehamilan memperburuk
fungsi imunitas dengan mempengaruhi proliferasi limfosit T dan B,
yang menyebabkan penurunan aktivitas fagosit, neutrofil,
bakterisidal, dan sel NK (Natural Killer). Stamey dkk. (1975)
menyatakan indeks stimulasi limfosit mengalami penurunan pada
wanita anemia (Lone dkk., 2004).
Amici dkk. (1999) dalam Lone dkk. (2004) menyatakan infeksi
maternal selama kehamilan merupakan faktor risiko bayi lahir
prematur. Lin dkk. (1998) dan Vandenbosche dkk. (1998) dalam
Haram dkk. (2007) menyatakan infeksi maternal menyebabkan 5-
10% IUGR (Intrauterine Growth Retardation).

2. Prematuritas
Anemia dapat menyebabkan kelahiran prematur secara langsung
ataupun tidak langsung, yang berhubungan dengan peningkatan
risiko infeksi. Kurki dkk. (1992) menyatakan efek langsung anemia
berhubungan dengan peningkatan sintesis CRH (Corticotrophin-
Releasing Hormone) sebagai akibat dari hipoksia jaringan. Menurut
Mikhail dkk. (1995), peningkatan CRH (Corticotrophin-Releasing
Hormone) menginduksi stress maternal dan janin, yang merupakan
faktor risiko kelahiran prematur dan hipertensi diinduksi kehamilan
(Lone dkk., 2004).

3. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)


Steer dkk. (1995) dalam Lone dkk. (2004) menuliskan anemia berat
(< 8 g/dl) berhubungan dengan penurunan berat lahir bayi, di mana

Universitas Sumatera Utara


lebih rendah 200-400 g daripada ibu hamil dengan kadar hemoglobin
lebih tinggi (> 10 g/dl).
Scholl dkk. (1992) dalam Haram dkk. (2007) menyatakan anemia
defisiensi besi meningkatkan insidensi BBLR (Bayi Berat Lahir
Rendah) sebanyak tiga kali. Lone dkk. (2004) menyatakan defisiensi
besi menstimulasi produksi CRH (Corticotrophin-Releasing
Hormone).
Menurut Allen (2001) dalam Haram dkk. (2007) CRH
(Corticotrophin-Releasing Hormone) janin meningkatkan produksi
kortisol dan kerusakan oksidatif pada eritrosit, yang dapat
menghambat pertumbuhan janin.

4. Mortalitas
Anemia selama kehamilan meningkatkan risiko mortalitas pada
intrauterin dan perinatal. Umumnya, keadaan ini berhubungan
dengan prematuritas dan sepsis (Lone dkk., 2004).

2.3. Embriologi Tengkorak

2.3.1. Proses Pembentukan Tengkorak


Menurut Sadler (2000), tengkorak terbagi atas dua bagian, yaitu:
1. Neokranium
Neokranium adalah bagian pembentuk batok pelindung di sekitar
otak. Neokranium terdiri atas dua bagian, meliputi:
a. Neokranium membranosa
Neokranium membranosa terdiri atas tulang-tulang pipih yang
mengelilingi otak sebagai suatu kubah. Perkembangan atap dan
sebagian besar sisi tulang tengkorak berasal dari sel-sel krista

Universitas Sumatera Utara


neuralis, sedangkan daerah oksipital dan bagian posterior rongga
mata berasal dari mesoderm paraksial. Kedua sumber ini
memiliki mesenkim yang membungkus otak dan mengalami
penulangan membranosa. Akibatnya, terbentuk sejumlah tulang
pipih membranosa yang ditandai dengan spikula-spikula tulang
berbentuk seperti jarum. Spikula menyebar dari pusat
penulangan primer ke arah tepi secara progresif.
Pada pertumbuhan masa janin dan setelah kelahiran, tulang
membranosa membesar dengan perlekatan lapisan-lapisan baru
pada permukaan luar yang diikuti oleh resorpsi osteoklastik dari
arah dalam.

b. Neokranium kartilaginosa atau kondrokranium


Neokranium kartilaginosa/kondrokranium merupakan bagian
yang membentuk tulang-tulang dasar tengkorak. Awalnya,
bagian ini terdiri dari beberapa kartilago yang terpisah-pisah.
Kartilago yang terletak di depan batas rostral korda dorsalis dan
berakhir setinggi kelenjar hipofisis di tengah sella tursika,
berasal dari sel-sel krista neuralis dan membentuk
kondrokranium parakordal. Kartilago yang terletak di sebelah
posterior batas tersebut berasal dari mesoderm paraksial dan
membentuk kondrokranium kordal. Apabila kartilago-kartilago
ini menyatu dan mengalami penulangan endokondral, maka
terbentuk dasar tengkorak.
Dasar tulang oksipital terbentuk oleh kartilago parakordal dan
korpus tiga sklerotom oksipital. Pada bagian rostal lempeng
dasar oksipital, terdapat kartilago hipofisis dan trabekula kranii.
Kartilago-kartilago ini segera menyatu untuk membentuk korpus

Universitas Sumatera Utara


tulang sfenoid dan ethmoid. Akibatnya, terbentuk suatu lempeng
kartilago median yang berjalan dari daerah nasal sampai tepi
depan foramen magnum.
Lempeng kartilago median tersebut mengalami sejumlah
kondensasi mesenkim di bagian kanan dan kiri. Bagian paling
rostral, ala orbitalis, membentuk ala minor tulang sfenoid. Ala
minor tulang sfenoid diikuti oleh ala temporalis ke arah kaudal,
dan membentuk ala magna tulang sfenoid. Terdapat juga kapsula
periotik yang membentuk pars petrosa dan pars mastoidea ossis
temporalis. Bagian-bagian ini menyatu dengan lempeng median
satu sama lain, kecuali bagian lubang tempat saraf otak
meninggalkan tengkorak.

2. Viserokranium
Viserokranium adalah bagian pembentuk kerangka wajah.
Mesenkim untuk pembentukan tulang-tulang wajah, termasuk tulang
hidung dan tulang mata (os. lakrimalis), berasal dari sel-sel krista
neuralis.
Viserokranium terutama dibentuk oleh dua lengkung faring pertama.
Salah satu lengkung tersebut membentuk bagian dorsal, yaitu
prosesus maksillaris. Prosesus maksillaris berjalan ke depan, di
bawah daerah mata, dan membentuk os. maksilaris, os.
zigomatikum, dan sebagian os. temporalis. Sedangkan, lengkung
lainnya membentuk bagian ventral, yaitu prosesus mandibularis.
Bagian ini mengandung kartilago Meckel. Mesenkim di sekitar
kartilago Meckel memadat, menghilang, dan mengalami penulangan
membranosa sehingga membentuk mandibula. Kartilago Meckel
tidak menghilang pada ligamentum sfenomandibularis. Ujung dorsal

Universitas Sumatera Utara


prosesus mandibularis dan lengkung faring kedua membentuk inkus,
malleus, dan stapes.

2.3.2. Tengkorak Bayi Baru Lahir


Tengkorak bayi baru lahir memiliki besar kranium yang relatif tidak
seimbang dengan wajah, bila dibandingkan dengan orang dewasa.
Tulang-tulang tengkorak bersifat licin dan unilaminar. Hampir semua
tulang mengalami proses osifikasi yang belum selesai pada saat
kelahiran (Snell, 2006).
Pada waktu lahir, tulang-tulang pipih tengkorak dipisahkan satu sama
lain oleh sutura. Sutura merupakan perekat tipis dari jaringan ikat, yang
berasal dari krista neuralis. Tempat pertemuan lebih dari dua tulang
sutura yang lebar dikenal sebagai ubun-ubun (fontanella). Ubun-ubun
yang paling tampak adalah ubun-ubun besar (fontanella anterior). Ubun-
ubun ini terdapat pada pertemuan dua tulang parietal di belakang dan
dua tulang frontalis di depan (Sadler, 2000). Menurut Snell (2006),
membran fibrosa membentuk dasar fontanella anterior dan akan
digantikan oleh tulang. Pada usia 18 tahun, fontanella anterior akan
menutup.
Selain fontanella anterior, terdapat fontanella posterior di antara dua
tulang parietal di depan dan tulang oksipitalis di belakang. Pada akhir
tahun pertama, fontanella posterior biasanya menutup dan tidak dapat
dipalpasi lagi (Snell, 2006).
Sutura dan ubun-ubun memungkinkan tulang-tulang tengkorak saling
bertumpang tindih (proses molase) selama kelahiran bayi. Setelah bayi
lahir, tulang-tulang membranosa segera bergerak kembali ke posisi asal
sehingga tengkorak tampak besar dan bulat. Namun, beberapa sutura
dan ubun-ubun tetap tampak seperti membran setelah kelahiran.

Universitas Sumatera Utara


Pertumbuhan tulang-tulang kubah yang berlangsung setelah bayi lahir
terutama diakibatkan oleh pertumbuhan otak (Sadler, 2000).

2.4. Pemeriksaan Antropometri Lingkar Kepala


Lingkar kepala diukur secara rutin pada bayi dengan usia kurang dari 2 tahun.
Pengukuran rutin dilakukan untuk mengetahui kemungkinan penyebab yang
mempengaruhi pertumbuhan otak. Pengukuran lingkar kepala berkala lebih
bermakna daripada pengukuran sewaktu (Matondang dkk., 2009).
Menurut Soetjiningsih (1995), lingkar kepala dapat mencerminkan volume
intrakranial. Menurut Bhushan dan Paneth (1991) serta Martins dan Lyons-
Jones (1994) dalam Miles dkk. (2000), lingkar kepala merupakan indeks yang
berperan dalam menilai tumbuh-kembang otak dan inteligensi, serta untuk
mengetahui kelainan yang diderita seseorang.
Dalam mendiagnosis, pemeriksaan lingkar kepala harus diikuti dengan
memperhatikan gejala-gejala klinis yang menyertai (Soetjiningsih, 1995).

2.4.1. Pertumbuhan Lingkar Kepala Bayi dan Anak


Saat lahir, lingkar kepala bayi sekitar 34-35 cm. Pada 6 bulan pertama
kehidupan, terjadi pertumbuhan lingkar kepala terbesar sehingga
mencapai 43-45 cm. Ukuran lingkar kepala sekitar 47 cm pada usia 1
tahun dan sekitar 49 cm pada usia 2 tahun. Pada usia 6 tahun, lingkar
kepala bertambah sekitar 6 cm dari ukuran lingkar kepala saat usia 2
tahun. Semakin lama, pertambahan ukuran lingkar kepala semakin
sedikit. Saat dewasa, ukuran lingkar kepala mencapai 54-55 cm
(Soetjiningsih, 1995; Matondang dkk., 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.4.2. Faktor yang Mempengaruhi Lingkar Kepala
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi lingkar kepala bayi dan
anak, meliputi:
1. Tumbuh-kembang otak
Pertumbuhan tulang kepala bergantung pada pertumbuhan otak.
Apabila otak tidak berkembang dengan normal, maka kepala akan
lebih kecil dari normal. Keadaan ini disebut dengan mikrosefal.
Mikrosefal merupakan tanda retardasi mental. Namun, apabila
terdapat sumbatan pada aliran cairan serebrospinal, maka volume
kepala meningkat dan lingkar kepala akan lebih besar dari normal.
Keadaan ini disebut dengan makrosefal (Soetjiningsih, 1995;
Hidayat, 2009).

2. Faktor maternal
Pada penelitian terhadap BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah), albumin
maternal memiliki korelasi positif terhadap lingkar kepala bayi baru
lahir. Sebaliknya, berat badan, IMT (Indeks Massa Tubuh), dan
fibronektin maternal memiliki korelasi negatif dengan lingkar kepala
bayi baru lahir (Mohsen dan Wafay, 2007).

3. Status gizi
Lingkar kepala dipengaruhi oleh status gizi anak sampai pada usia
36 bulan (Matondang dkk., 2009).

2.4.3. Cara Pengukuran Lingkar Kepala


Lingkar kepala diukur dengan menggunakan pita metal fleksibel.
Pengukuran tidak menggunakan pita kain karena mudah meregang dan
memberi nilai yang salah (Matondang dkk., 2009).

Universitas Sumatera Utara


Pengukuran dilakukan pada lingkar kepala terbesar dengan meletakkan
pita melingkari kepala secara kencang, melalui glabela pada dahi, bagian
atas alis mata, bagian atas kedua telinga, dan protuberansia oksipitalis.
Protuberansia oksipitalis merupakan bagian belakang kepala yang paling
menonjol (Matondang dkk., 2009).

2.4.4. Penilaian dan Interpretasi Lingkar Kepala


Menurut Matondang dkk. (2009), penilaian lingkar kepala dilakukan
dengan memetakan hasil pengukuran pada grafik lingkar kepala
Nellhaus (1968).
Interpretasi lingkar kepala berdasarkan grafik lingkar kepala Nellhaus
(1968) adalah:
a. Lingkar kepala < -2 SD menunjukkan mikrosefal.
b. Lingkar kepala > +2 SD menunjukkan makrosefal.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Grafik Lingkar Kepala Nellhaus pada Anak Laki-Laki
Dikutip dari Matondang dkk., 2009

Gambar 2. Grafik Lingkar Kepala Nellhaus pada Anak Perempuan


Dikutip dari Matondang dkk., 2009

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai