Anda di halaman 1dari 10

Jual Beli dan Hutang Piutang

Ridho Rahmad Juni (2018430069)


Siti Zulfah Nur (2019437026)
Wildan Firdaus (2019437027)

Jurusan Teknik Kimia


Universitas Muhammadiyah Jakarta
2019
I. Jual Beli
a. Pengertian Jual Beli
Arti jual beli secara bahasa adalah menukar sesuatu dengan sesuatu. Jual
beli menurut syara’ adalah akad tukar menukar harta dengan harta yang lain
melalui tata cara yang telah ditentukan oleh hukum islam. Yang dimaksud kata
“harta” adalah terdiri dari dua macam. Pertama; harta yang berupa barang,
misalnya buku, rumah, mobil dll. Kedua; harta yang berupa manfaat (jasa),
misalnya pulsa telephone, pulsa listrik, dan lain-lain.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud jual beli adalah :
 Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan
melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan;
 Menurut Syekh Muhammad ibn Qasim Al-Ghazzi : Pengertian jual beli yang
tepat ialah, memiliki suatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar
izin syara, sekedar memiliki izin manfaatnya saja yang diperbolehkan syara
untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran yang
berupa uang;
 Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al-Akhyar : Pengertian jual
beli adalah, saling tukar harta, saling menerima, dapat
dikelola (tasharruf) dengan ijab qobul, dengan apa yang sesuai dengan syara
 Menurut Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitabnya, Fath al-Wahab: Pengertian
jual beli adalah, Tukar menukar benda lain dengan cara yang khusus
(dibolehkan);
 Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah : Pengertian jual beli
adalah, penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling atau
memindahkan hak milik dengan ada penggantinya melalui jalan (cara) yang
diperbolehkan;
 Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang julan beli (ba’i)
diantaranya; Ulama Hanafiyah “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta
(benda) berdasarkan cara khusus (yang diperbolehkan) syara’ yang disepakati”.
Menurut Imam Nawawi dalam al-majmu’ mengatakan “Jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar barang dengan
barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas dasar
saling merelakan.

b. Rukun Jual Beli


Seseorang yang melakukan transaksi jual beli harus memperhatikan rukun
dan syarat jual beli yang sah berdasarkan batasan-batasan syari'at agar tidak
tejerumus kedalam tindakan yang haram. Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :

ِ ‫ال َّ ِذ ي َن ي َ أ ْك ُ ل ُ و َن‬
‫الر ب َ ا ََل ي َ ق ُو ُم و َن إ ِ ََّل ك َ َم ا ي َ ق ُ و مُ ال َّ ِذ ي ي َ ت َ َخ ب َّ ط ُ ه ُ ال ش َّ ي ْ طَ ا ُن ِم َن‬
‫الر ب َ ا ۗ َو أ َ َح َّل َّللاَّ ُ ال ْ ب َ يْ َع َو َح َّر َم‬ َ ِ‫س ۚ ذَٰ َ ل‬
ِ ‫ك ب ِ أ َن َّ هُ ْم ق َ ا ل ُوا إ ِ ن َّ َم ا الْ ب َ يْ ُع ِم ث ْ ُل‬ ِ ‫الْ َم‬
ۖ ِ َّ‫ف َو أ َ ْم ُر ه ُ إ ِ ل َ ى َّللا‬
َ َ ‫ف َ ل َ ه ُ َم ا سَ ل‬ ‫الر ب َ ا ۚ ف َ َم ْن َج ا َء ه ُ َم ْو ِع ظَ ة ِم ْن َر ب ِ ِه ف َ ا نْ ت َ َه َٰى‬
ِ
َ َٰ ُ
َ ِ ‫َو َم ْن عَ ا د َ ف َ أ و ل َ ئ‬
‫َخ ا لِ د ُو َن‬ ‫ار ۖ ه ُ ْم ف ِ ي َه ا‬ ِ َّ ‫ب ال ن‬
ُ ‫ص َح ا‬
ْ ‫كأ‬
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Berikut ini adalah rukun jual beli dalam islam :


1. Pihak yang bertransaksi
Yaitu adanya penjual dan pembeli.
2. Barang
dapat berupa barang atau jasa, biayanya obyek jual berupa barang namun
bisa juga jasa yang berupa sewa-menyewa.
3. Harga
Kesepakatan nilai tukar,harga bisa berupa senilai barang dan senilai uang
4. Serah Terima
Adanya penyerahan uang dari pembeli dan penyerahan barang dari penjual.
Jika salah satu rukun jual beli diatas tidah terpenuhi maka transaksi tersebut tidak
boleh dilalukan,namun jika sudah dilakukan maka transaksi tersebut msnjadi batal.
c. Syarat Jual Beli
Adapun syarat penjual dan pembeli adalah sebagai berikut :
1. Berakal sehat.
Orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya, sebab ia di bawah kekuasaan
walinya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S An-Nisa: 5

‫َو ََل ت ُ ْؤ ت ُوا ال س ُّ ف َ هَ ا ءَ أ َ ْم َو ا ل َ ك ُ م ُ ا ل َّ ت ِ ي َج ع َ َل َّللاَّ ُ ل َ ك ُ مْ ق ِ ي َ ا ًم ا َو ا ْر ُز ق ُ و ه ُ مْ ف ِ ي هَ ا َو ا كْ س ُ و ه ُ مْ َو ق ُ و ل ُ وا‬


‫ل َ هُ مْ ق َ ْو ًَل َم ع ْ ُر و ف ً ا‬
dan janganlah kamu serahkan kepada orang -orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata -kata
yang baik.
2. Baligh (dewasa).
Anak kecil tidak sah jual belinya. Dalam sebuah hadist dijelaskan: “Ada tiga
golongan yang terbebas dari hukum: orang yang tidur sampai ia bangun,
orang gila sampai ia sembuh, dan anak-anak hingga ia dewasa.”
3. Atas dasar kemauan sendiri
Menjual atau membeli sesuatu atas paksaan orang lain tidak sah hukumnya.
Dalam sebuah hadist dijelaskan: “jual beli itu hanya sah dengan suka sama
suka.”

4. Tidak mubazir
Karena Allah telah melarangnya. (Q.S. Al-Isra’: 26-27).

‫ت ذ َ ا الْ ق ُ ْر ب َ َٰى َح ق َّ ه ُ َو ال ْ ِم سْ ِك ي َن َو ا بْ َن ال س َّ ب ِ ي ِل َو ََل ت ُب َ ذِ ْر ت َب ْ ِذ ي ًر ا‬


ِ ‫َو آ‬
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.

ِ ‫إ ِ َّن ال ْ ُم ب َ ذِ ِر ي َن كَ ا ن ُوا إ ِ ْخ َو ا َن ال ش َّ ي َ ا‬
‫ط ي ِن ۖ َو كَ ا َن ال ش َّ ي ْ طَ ا ُن ل ِ َر ب ِ ِه كَ ف ُ و ًر ا‬
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan
syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

5. Suci barangnya
Barang yang diperjualbelikan tidak mengandung najis dan bukan barang
yang haram.

6. Barang Bermanfaat
Barang yang diperjualbelikan bermamfaat dan tidak mubazir

7. Barang sudah dimiliki


Penjual sudah memiliki hak menjual barang tersebut, baik barang tersebut
sudah dibeli dari produsen ataupun telah memperoleh izin menjual barang
dari pemilik barang.

8. Barang dapat diserahterimakan


Jika barang tidak dapat diserahkan akan menimbulkan kerugian salah satu
pihak.

9. Ijab dan Qabul transaksi


Harus saling berhubung, tidak terpisah meski berbeda tempat.

10. Lafadz dan perbuatan harus jelas


Pengucapan penjual dan pembeli harus jelas agar tidak ada kekeliruan.
II. Hutang Piutang

a. Pengertian Hutang Piutang

Di dalam fiqih islam, utang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal
dengan istilah al-qardh. Makna al-qardh secara etimologi (bahasa) ialah al-qath’u
yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berutang disebut
al-qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan utang.
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna al-qardh ialah
menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan
memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan
padanannya.
Atau dengan kata lain, utang piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak
milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari
sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman rp.
1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan
uang sejumlah satu juta juga.

b. Rukun Hutang Piutang


Adapun rukun dalam hutang piutang adalah sebagai berikut:

1. Lafadz
2. Orang yang berhutang dan yang berpiutang
3. Utang atau barang yang di piutangkan.

Sedangkan untuk hukum memberi piutang adalah sunah, sama halnya seperti dalam
hal tolong menolong dalam hal yang lain. Rasulullah saw bersabda:

َ ‫ام ْال َع ْبدُ فِ ْي‬


‫ع ْو ِن ا َ ِخ ْي ِه‬ َ َ‫ع ْو ِن ْال َع ْب ِد َماد‬
َ ‫َوهللاُ فِ ْي‬
Artinya: “Allah akan menolong, hamba-Nya selama hamba itu suka menolong
saudaranya.” (HR. Muslim)

Memberi hutang kadang-kadang dapat menjadi wajib seperti jika menghutangi


orang yang terlantar atau orang yang sangat membutuhkan. Dan bahwa hal ini
adalah suatu pekerjaan yang amat besar faedahnya terhadap masyarakat, karena
masyarakat satu sama lain hajat menghajatkan pertolongan.

Apabila orang yang berhutang itu memberikan kelebihan dalam membayar hutang,
boleh diterima. Rasulullah saw bersabda yang artinya:

Dari Abu Hurairah ra : Rasulullah telah menghutang hewan, kemudian beliau bayar
dengan hewan yang lebih besar umurnya daripada hewan yang beliau utang itu dan
Rasulullah Muhammad Saw, berkata: “Orang yang paling baik diantara kamu ialah
orang yang dapat membayar hutangnya dengan yang lebih baik”. (HR. Ahmad dan
Tirmidzi lalu di sahihkan nya).
Tetapi apabila tambahan itu merupakan kehendak dari orang yang berpiutang, yang
dicantumkan pada perjanjian atau telah menjadi perjanjian sewaktu akad, maka
tambahan itu tidak halal/ riba. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang artinya:

“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka ia semacam dari beberapa


macam riba.” (HR. Baihaqi)

Sedangkan orang yang mampu membayar hutang, bila dia menangguhkan dan tidak
melunasi hutangnya setelah sampai pada batas waktunya. Dianggap sebagai orang
yang zalim. Rasulullah saw bersabda yang artinya:

“Penundaan pembayaran hutang dari orang yang kaya itu adalah perbuatan yang
zalim.”

c. Syarat Hutang Piutang

- Harta yang dihutangkan adalah jelas dan murni halal.


- Pemberi hutang tidak mengungkit-ungkit masalah hutang dan tidak
menyakiti pihak yang piutang (yang meminjam).
- Pihak yang piutang (peminjam) niatnya adalah untuk mendapat ridho Allah
dengan mempergunakan yang dihutang secara benar.
- Harta yang dihutangkan tidak akan memberi kelebihan atau keuntungan pada
pihak yang mempiutangkan.

III. Riba

a. Pengertian Riba

Riba menurut bahasa berarti Ziyadah (tambahan) atau nama’ (berkembang).


Menurut Yusuf Al Qardawi, setiap pinjaman yang mensyaratkan didalamnya
tambahan adalah Riba. Sedangkan dalam kamus Lisaanul ‘Arab, kata riba diambil
dari kata ‫ربَا‬.
َ Jika seseorang berkata ‫ئ يَ ْرب ُْو َرب ًْوا َو َربًا‬ َّ ‫ربَا ال‬artinya
ُ ‫ش ْي‬ َ sesuatu itu
bertambah dan tumbuh.
Adapun definisi riba menurut istilah fuqaha’ (ahli fiqih) ialah memberi
tambahan pada hal-hal yang khusus. Dalam kitab Mughnil Muhtaaj disebutkan
bahwa riba adalah akad pertukaran barang tertentu dengan tidak diketahui (bahwa
kedua barang yang ditukar) itu sama dalam pandangan syari’at, baik dilakukan saat
akad ataupun dengan menangguhkan (mengakhirkan) dua barang yang ditukarkan
atau salah satunya.

b. Hukum Riba

Riba hukumnya haram baik dalam al-Qur-an, as-Sunnah maupun ijma’.


Allah Ta’ala berfirman,

َ‫الربَا إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِين‬ َّ ‫يا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
َ ‫َّللاَ َوذَ ُروا َما بَ ِق‬
ِ َ‫ي ِمن‬ َ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah(2:
278)]
Allah Ta’ala juga berfirman:

ِ ‫َّللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬


‫الر َبا‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬

“…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” [Al-
Baqarah(2: 275)] Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل ت َأ ْ ُكلُوا‬


‫الربَا‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba…” [Ali ‘Imran(3:
130)]

Dalam as-Sunnah banyak sekali didapatkan hadits-hadits yang


mengharamkan riba. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir
Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melaknat pemakan riba, yang memberi riba, penulisnya dan dua saksinya,” dan
beliau bersabda, “mereka semua sama.”
Dalam hadits yang sudah disepakati keshahihannya dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Jauhilah tujuh perkara yang membawa kehancuran,” dan beliau
menyebutkan di antaranya, “Memakan riba.”

c. Macam-macam Riba

 Riba Jual Beli (AL-BUYU’)


1. Riba Nasiah dan Riba Fadhl
Riba ini merupakan dua jenis riba jual beli dalam kehidupan sehari-hari.
Penyebab utama timbulnya riba nasiah dan riba fadhl adalah transaksi jual beli yang
melibatkan barang ribawi tetapi tidak memenuhi ketentuan syariat. Adapun
ketentuan syarat jual beli barang ribawi dalam islam setidaknya meliputi 3 kondisi
berikut ini yaitu:
1. Sama Kualitas (mistlan bi mistlin)
2. Sama kuantitas (sawa-an bi sawa-in)
3. waktu penyerahan yang sama (yadan bin yadin)
Hadist barang ribawi salah satunya disampaikan oleh sahabat ‘Ubadah bin
ash shamit dalam hadist riwayat muslim berikut ini. Transaksi barang ribawiyah
adalah jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam, dan kurma dengan kurma, haruslah
dilakukan dengan jumlah yang sama dan penyerahan barang secara langsung.
Jika transaksi terjadi antara 6 jenis barang ribawi yang berbeda, tidak perlu sama
takaran, namun tetap dengan penyerahan tunai. Sedangkan jika muamalah jual beli
barang non ribawi tidak harus dilakukan secara tunai dan sama takaran dan kualitas.
Berdasarkan pemahaman mengenai barang ribawi, maka perbedaan pengertian riba
nasiah dan riba fadhl adalah sebagai berikut:
 Riba nasiah – adalah riba karena karena transaksi dua jenis barang ribawi
yang sama namun dengan penanguhan penyerahan barang atau pembayaran.
 Riba fadhl – pengertian riba fadhl adalah riba pada pertukaran barang
ribawi sejenis dengan kualitas tidak sama atau kuantitas (jumlah) yang tidak
sama.

2. Riba Yad
Riba yad adalah termasuk jenis riba jual beli, baik barang ribawi maupun
non ribawi. Arti riba yad adalah riba yang terjadi pada transaksi yang tidak
menegaskan harga pembayaran apabila transaksi dilakukan dengan penyerahan
langsung (tunai) atau penyerahan tunda.
Contoh riba yad atau riba al-yadi adalah transaksi pembelian motor yang
oleh penjual ditawarkan dengan harga transaksi kontan Rp. 10 juta dan transaksi
kredit sebesar Rp. 15 juta. Seorang pembeli kendaraan tersebut, namun sampai
kedua pihak berpisah, belum ada kesepakatan harga yang akan dibayarkan.
Perbedaan nilai transaksi kontan dan kredit, tanpa ada kesepakatan harga inilah
yang disebut sebagai riba yad. Namun, jika kedua belah pihak sepakat memilih satu
harga sebelum berpisah. Maka transaksi tersebut tidak riba.

 Riba Hutang Piutang (AD-DUYUN)

1. Riba Jahiliyah
Riba jahiliyah adalah tambahan yang dipersyaratkan pada saat jatuh tempo
pembayaran hutang, sebagai kompensasi perpanjangan periode hutang. Sehingga
Perbedaan pengertian riba jahiliyah dengan riba qardh adalah pada waktu penetapan
kewajiban kelebihan pengembalian hutang.

2. Riba qardh
Riba qardh adalah riba karena adanya persyaratan kelebihan pengembalian
pinjaman yang dilakukan di awal akad atau perjanjian hutang-piutang. Sehingga
saat jatuh tempo hutang, pemberi hutang (muqridh) menerima pengembalian
sebesar pokok ditambah kelebihan yang dipersyaratkan dari penerima hutang
(muqtharidh).
Contoh transaksi riba qardh dalam kehidupan sehari-hari masih sering ditemukan..
Berikut ini adalah beberapa praktek riba qardh yang sebaiknya dihindari.
 Rentenir – meminjam uang sebesar Rp. 5 juta kepada orang lain, kemudian
yang bersangkutan meminjamkan uang dengan syarat bunga 20% selama 6
bulan. Saat pembayaran, peminjam maupun pemberi pinjaman telah makan riba
sebesar Rp. 1 juta.
 Menabung atau investasi di Bank – membuka tabungan atau deposito
merupakan transaksi riba jika dilakukan di bank konvensional. Sebab,
perjanjian pada bank konvensioanal adalah perjanjian pinjam-meminjam uang,
dengan ketentuan bank memberikan kelebihan sebesar bunga yang
diperjanjikan.
Meskipun ada beberapa pendapat ulama yang membolehkan bunga bank,
namun pendapat mayoritas ulama pemberian bunga pinjaman termasuk riba.
Karena tambahan yang dibayarkan pemberi pinjaman, tidak memiliki transaksi
pengantinya yang sesuai.

d. Bunga Bank

Bank adalah entitas bisnis yang secara sah dan legal memperoleh amanat
undang-undang untuk menghimpun dana dari masyarkat dalam bentuk produk
simpanan Dan menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana,
baik untuk kepentingan konsumtif maupun komersil. Praktik riba banyak terdapat
dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya yang terkait dengan bunga bank. Bunga
bank adalah keuntungan yang diambil oleh bank dan biasanya di tetapkan dalam
bentuk persentase seperti 5% atau 10% dalam jangka waktu bulanan atau tahunan
terhitung dari jumlah pinjaman yang diambil nasabah.
Bunga bank digunakan oleh bank-bank konvensional sedangkan bank syariah
biasanya menggunakan istilah margin keuntungan. Bagi bank konvensional, bunga
bank menjadi tulang punggung untuk menanggung biaya operasional dan menarik
keuntungan. Selain itu bunga bank memiliki beberapa manfaat bagi bank dan
nasabah seperti berikut ini:
1. Bunga pinjaman merupakan balas jasa yang diberikan nasabah kepada bank
atas produk bank yang dibeli nasabah,
2. Bunga simpanan adalah harga yang harus dibayar bank kepada nasabah
(yang memiliki simpanan), selain itu bunga juga merupakan harga yang
harus dibayar oleh nasabah kepada bank (bagi nasabah yang memperoleh
pinjaman),
Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan
bagi bank konvensional. Baik bunga simpanan maupun bunga pinjaman saling
mempengaruhi satu sama lainnya. Ketika bunga simpanan tinggi, maka secara
otomatis bunga pinjaman ikut naik dan demikian pula sebaliknya.
Bunga bank termasuk riba, sehingga bunga bank juga diharamkan dalam
ajaran Islam. Riba bisa saja terjadi pada pinjaman yang bersifat konsumtif, maupun
pinjaman yang bersifat produktif. Pada hakikatnya riba dalam bunga bank
memberatkan peminjam.
Berikut ini kami sampaikan beberapa pendapat ulama mengenai bunga bank
tersebut menurut syariah Islam:
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Menurut lembaga ini, hukum tentang bunga bank dan riba dijelaskan sebagai
berikut:

a. Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Qur’an dan As-Sunnah,


b. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya
halal
c. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya
atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat
(masih samar-samar, belum jelas hukumnya sehingga butuh penelitian lebih
lanjut)

2. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhatul Ulama


Menurut lembaga yang berfungsi dalam memberikan fatwa atas
permasalahan umat ini, hukum bank dengan praktek bunga di dalamnya sama
seperti hukum gadai. Terdapat 3 pendapat ulama sehubungan dengan masalah
ini yaitu:

a. Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rentenir,

b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad atau perjanjian kredit

c. Syubhat (tidak tentu halal haramnya), sebab para ahli hukum berselisih
pendapat tentangnya.

Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa pilihan yang lebih
berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.
Untuk menghindari praktik riba pada bunga bank konvensional maka saat ini di
Indonesia sudah mulai banyak Bank Syariah sebagai pilihan umat Islam untuk
bertransaksi seusai syariah Islam.

Anda mungkin juga menyukai