Disusun oleh :
SMAN 4 DEPOK
JL. Jeruk Raya No.1 Perumahan Sukatani Permai Kel. Sukatani Kec
Tapos-Depok
BAB I
PENDAHULUAN
Gaharu merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) bernilai ekonomi tinggi, berwarna khas,
mengandung aroma resin wangi jika dibakar dan dapat digunakan untuk bahan parfum,
dupa, obat-obatan, sabun mandi, kosmetik, dan pengharum ruangan. Tanaman ini dapat
memproduksi gubal gaharu yang aromanya harum yang mengandung damar wangi (aromatic
resin) sebagai akibat adanya serangan jamur akibat perlukaan yang disertai infeksi patogen
melalui inokulasi atau proses lainya yang selanjutnya membuat jaringan kayu itu berwarna
cokelat kehitaman. Semakin luas bidang infeksi pada jaringan kayu, semakin banyak
rendemen gaharu yang dihasilkan dan kayunya akan semakin harum.
1.2 Tujuan
2. Untuk mengetahui lebih jauh pembuatan bibit tanaman gaharu secara kultur jaringan
1.3 Manfaat
2. Dapat menjadi salah satu alternatif untuk perbanyakan gaharu dalam pengadaan bibit
gaharu dalam jumlah yang banyak dan relatif singkat dan penggunaan takaran zat pengatur
tumbuh yang terbaik dalam perbanyakan tanaman gaharu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gaharu adalah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh
sejumlah spesies pohon dari marga/genus Aquilaria, terutama A. malaccensis. Resin ini
digunakan dalam industri wangi-wangian (parfum dan setanggi) karena berbau harum.
Gaharu sejak awal era modern (2000 tahun yang lalu) telah menjadi komoditi perdagangan
dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab, serta Afrika Timur.
Suku gaharu-gaharuan atau Thymelaeaceae adalah salah satu suku anggota tumbuhan
berbunga. Menurut Sistem klasifikasi APG II suku ini dimasukkan ke dalam bangsa Malvales,
klad eurosids II.
Klasifikasi ilmiah :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malvales
Jenis-jenis Gaharu:
a. Aquilaria spp.
Pohon dengan tinggi batang yang dapat mencapai antara 35-40 m, berdiameter sekitar 60
cm, kulit batang licin berwarna putih atau keputih-putihan dan berkayu keras. Daun lonjong
memanjang dengan ukuran panjang 5-8 cm dan lebar 3-4 cm, ujung daun runcing, warna
daun hijau mengkilat. Bunga berada diujung ranting atau diketiak atas dan bawah daun.
Buah berada dalam polongan berbentuk bulat telur aatau lonjong berukuran sekitar 5 cm
panjang dan 3 cm lebar. Biji/benih berbentuk bulat atau bulat telur yang tertutup bulu-bulu
halus berwarna kemerahan.
b. A. malaccensis
A. malaccensis di wilayah potensial dapat mencapai tinggi pohon sekitar 40 m dan diameter
80 cm, beberapa nama daerah seperti: ahir, karas, gaharu, garu, halim, kereh, mengkaras dan
seringak. Tumbuh pada ketinggian hingga 750 m dpl pada hutan dataran rendah dan
pegunungan, pada daerah yang beriklim panas dengan suhu rata-rata 32° C dan kelembaban
sekitar 70%, dengan curah hujan kurang dari 2.000 mm/tahun.
c. A. microcarpa
d. Gyrinops spp.
Tumbuhan gaharu jenis ini berbentuk sebagai pohon yang memiliki ciri dan sifat morfologis
yang relatif hampir sama dengan kelompok anggota famili Thymeleacae lainnya. Daun
lonjong memanjang, hijau tua, tepi daun merata, ujung meruncing, panjang sekitar 8 cm,
lebar 5-6 cm. Buah berwarna kuning- kemerahan dengan bentuk lonjong. Batang abu-
kecoklatan, banyak cabang, tinggi pohon dapat mencapai 30 m dan berdiameter sekitar 50
cm. Daerah sebaran tumbuh di wilayah Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan potensi
terbesar berada di Irian Jaya (Papua).
e. Aetoxylon spp.
Pohon dengan rataan tinggi sekitar 15 m, berdiameter antara 25-75 cm, kulit batang ke abu-
abuan atau kehitam-hitaman dan bergetah putih. Bentuk daun bulat telur, lonjong, licin dan
mengkilap dan bertanggkai daun sekitar 8 mm. Bunga dalam kelompok berjumlah antara 5-6
bunga, berbentuk seperti payung, dengan panjang tangkai bunga sekitar 9 mm, bentuk
bunga membulat atau bersegi lima berdiameter sekitar 4 mm, buah membulat panjang
sekitar 3 cm dan lebar 2 cm, serta tebal 1 cm. Tumbuh pada kawasan hutan dataran rendah
dengan lahan kering berpasir, beriklim sedang dengan curah hujan sekitar 1.400 mm/th,
bersuhu sekitar 27° C dan berkelembaban sekitar 80%. Gaharu dari jenis ini memiliki nama
daerah sebagai kayu biduroh, laka, garu laka, garu buaya, dan pelabayan.
f. Gonystylus spp.
Memiliki ciri dan sifat morfologis dengan tinggi dapat mencapai 45 m dan berdiameter
antara 30-120 cm, memiliki tajuk tipis, dan berakar napas (rawa), Bedaun tunggal, berbentuk
bulat telur, panjang 4-15cm, lebar 2-7 cm dengan ujung runcing, bertangkai daun 8-18 mm,
licin dengan warna hijau-kehitaman. Bunga berbentuk malai berlapis dua, muncul diujung
ranting atau ketiak daun, berwarna kuning, tangkai bunga panjang sekitar 1,5 cm. Berbuah
keras,berbentuk bulat telur dengan ujung meruncing, memiliki 3 ruang, panjang 4-5 cm,
lebar 3-4 cm, benih berwarna hitam. Gaharu dari jenis ini umumnya terbentuk pada bekas
taksis duduk cabang, sehingga bentuk gaharu terbentuk umumnya berbentuk bulatan-
bulatan. Nama daerah gaharu dari kelompok jenis ini adalah: karas, mengkaras, garu, halim,
alim, ketimunan, pinangbae, nio, garu buaya, garu pinang, bal, garu hideung, bunta,
mengenrai, udi makiri, sirantih, dan lain-lain.
g. Enkleia spp.
Tumbuhan penghasil gaharu dari kelompok jenis ini berbentuk tumbuhan memanjat (liana)
dengan panjang mencapai 30 m berdiameter sekitar 10 cm, batang kemerah-merahan,
beranting dan memiliki alat pengait. Bunga berada diujung ranting, bertangkai bunga dengan
panjang mencapai 30 cm, bunga berwarna putih atau kekuningan, Buah bulat-telur, panjang
1,25 cm dan lebar 0,5 cm. Dikenal dengan nama daerah tirap akar, akar dian dan akar hitam,
garu cempaka, garu pinang, ki laba, medang karan, mengenrai, udi makiri, garu buaya, bunta,
dan lain-lain.
h. Wiekstroemia spp.
Pohon berbentuk semak dengan tinggi mencapai sekitar 7 m dan diameter sekitar 7,5 cm,
ranting kemerah-merahan atau kecoklatan. Daun bulat telur, atau elips/lancet, panjang 4-12
cm dan lebar 4 cm. Helai daun tipis, licin di dua permukaan, bertangkai daun panjang 3 cm.
Bunga berada diujung ranting atau ketiak daun, berbentuk malai dan tiap malai
menghasilkan 6 bunga dengan warna kuning, putih kehijauan atau putih, dengan tangkai
bunga sekitar 1 mm, mahkota bunga lonjong atau bulat telur dengan panjang 8 mm dan
lebar 5 mm berwarna merah. Kelompok gaharu dari jenis-jenis ini dikenal memiliki nama
daerah, layak dan pohon pelanduk, kayu linggu, menameng atau terentak.
i. Dalbergia sp.
Sementara hanya ditemukan 1 jenis yakni D. parvifolia sebagai salah satu dari anggota famili
Leguminoceae merupakan tumbuhan memanjat (liana) dan produk gaharunya kurang disukai
pasar.
j. Excoccaria sp.
Genus ini hanya ditemukan 1 jenis yakni E. agaloccha yang merupakan anggota famili
Euphorbiacae tergolong tumbuhan tinggi dengan tinggi pohon antara 10-20 m dan dapat
mencapai kelas diameter sekitar 40 cm. Produksi gaharunya kurang disukai pasar.
Dari beberapa jenis kayu gaharu, ada 3 jenis yang paling banyak dibudidayakan saat ini yaitu :
1. Gaharu Subintegra
2. Gaharu Crassna
3. Gaharu Malaccensis
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti
sekelompok sel atau jaringan yang ditumbuhkan dalam kondisi aseptik, sehingga bagian
tanaman tersebut dapat memperbanyak diri tumbuh menjadi tanaman lengkap kembali.
2.2.a Prinsip
2.2.b Prasyarat
Pelaksanaan teknik ini memerlukan berbagai prasyarat untuk mendukung kehidupan jaringan
yang dibiakkan. Hal yang paling esensial adalah wadah dan media tumbuh yang steril. Media
adalah tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang mendukung
kehidupan jaringan. Media tumbuh menyediakan berbagai bahan yang diperlukan jaringan
untuk hidup dan memperbanyak dirinya.
Menurut jaringan yang dipilih untuk melakukan kultur, kultur jaringan dibagi menjadi
beberapa jenis, yaitu :
1. Kultur Polen
Kultur jenis ini merupakan kultur jaringan yang menggunakan serbuk sari sebagai eksplannya
(jaringan yang dipilih untuk melakukan kultur).
2. Kultur Embrio
Merupakan jenis kultur yang memanfaatkan bagian tanaman berupa embrio tanaman.
Misalnya embrio kelapa kopyor.
3. Kultur Protoplas
Merupakan jenis kultur yang menggunakan sel jaringan hidup tanpa dinding sebagai
eksplannya.
4. Kultur Kloroplas
Merupakan jenis kultur yang menggunakan kloroplas (sel hijau) dari suatu tumbuhan untuk
membuat tanaman baru yang lengkap.
5. Kultur Meristem
Merupakan kultur yang menggunakan bagian tanaman berupa jaringan yang masih muda
yang aktif membelah (meristem) sebgaai eksplan kultur.
6. Kultur Enter
Yaitu jenis kultur jaringan yang menggunakan bagian tanaman berupa kepala sarinya sebagai
eksplan.
Ada dua macam media yang bisa dipilih untuk proses kultur jaringan, yaitu :
Media ini digunakan pada semua jenis tanaman khususnya herbaceous. Pada media ini,
dapat ditemukan unsur-unsur pertumbuhan dan mineral yang tinggi.
Media ini digunakan untuk kultur suspense sel kedelai, alfafa, dan legume lainnya.
Media ini difungsikan untuk kultur akar. Namun, pada medium ini kandungan mineral dan
zat-zat lain yang dibutuhkan oleh tanaman kultur rendah.
8. Media Dasar N6
Media ini digunakan pada tanaman serealia, khususnya padi, dan serealia lain.
Tanaman tersebut harus jelas jenis, spesies, dan varietasnya serta harus sehat dan bebas dari
hama dan penyakit. Tanaman indukan sumber eksplan tersebut harus dikondisikan dan
dipersiapkan secara khusus di rumah kaca atau greenhouse agar eksplan yang akan
dikulturkan sehat dan dapat tumbuh baik serta bebas dari sumber kontaminan pada waktu
dikulturkan secara in-vitro.
b. Inisiasi Kultur
Tujuan utama dari propagasi secara in-vitro tahap ini adalah pembuatan kultur dari eksplan
yang bebas mikroorganisme serta inisiasi pertumbuhan baru (Wetherell, 1976). ini
mengusahakan kultur yang aseptik atau aksenik. Aseptik berarti bebas dari mikroorganisme,
sedangkan aksenik berarti bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan. Dalam tahap ini
juga diharapkan bahwa eksplan yang dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru,
sehingga akan memungkinkan dilakukannya pemilihan bagian tanaman yang tumbuhnya
paling kuat,untuk perbanyakan (multiplikasi) pada kultur tahap selanjutnya (Wetherell,
1976).
c. Sterilisasi
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat
yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga sterail. Sterilisasi juga
dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata
pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril.
Tahap ini bertujuan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman yang diperbanyak
seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktu-
waktu bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya. Pada tahap ini, perbanyakan dapat dilakukan
dengan cara merangsang terjadinya pertumbuhan tunas cabang dan percabangan aksiler
atau merangsang terbentuknya tunas pucuk tanaman secara adventif, baik secara langsung
maupun melalui induksi kalus terlebih dahulu. Seperti halnya dalam kultur fase inisiasi, di
dalam media harus terkandung mineral, gula, vitamin, dan hormon dengan perbandingan
yang dibutuhkan secara tepat (Wetherell, 1976). Hormon yang digunakan untuk merangsang
pembentukan tunas tersebut berasal dari golongan sitokinin seperti BAP, 2-iP, kinetin, atau
thidiadzuron (TDZ).
Tujuan dari tahap ini adalah untuk membentuk akar dan pucuk tanaman yang cukup kuat
untuk dapat bertahan hidup sampai saat dipindahkan dari lingkungan in-vitro ke lingkungan
luar. Dalam tahap ini, kultur tanaman akan memperoleh ketahanannya terhadap pengaruh
lingkungan, sehingga siap untuk diaklimatisasikan (Wetherell, 1976). Tunas-tunas yang
dihasilkan pada tahap multiplikasi di pindahkan ke media lain untuk pemanjangan tunas.
Media untuk pemanjangan tunas mengandung sitokinin sangat rendah atau tanpa sitokinin.
Tunas tersebut dapat dipindahkan secara individu atau berkelompok. Pemanjangan tunas
secara berkelompok lebih ekonomis daripada secara individu. Setelah tumbuh cukup
panjang, tunas tersebut dapat diakarkan. Pemanjangan tunas dan pengakarannya dapat
dilakukan sekaligus atau secara bertahap, yaitu setelah dipanjangkan baru diakarkan.
Pengakaran tunas in-vitro dapat dilakukan dengan memindahkan tunas ke media pengakaran
yang umumnya memerlukan auksin seperti NAA atau IBA. Keberhasilan tahap ini tergantung
pada tingginya mutu tunas yang dihasilkan pada tahap sebelumnya.
f. Aklimatisasi
Dalam proses perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, tahap aklimatisasi planlet
merupakan salah satu tahap kritis yang sering menjadi kendala dalam produksi bibit secara
masal. Pada tahap ini, planlet atau tunas mikro dipindahkan ke lingkungan di luar botol
seperti rumah kaca , rumah plastik, atau screen house (rumah kaca kedap serangga). Proses
ini disebut aklimatisasi. Aklimatisasi adalah proses pengkondisian planlet atau tunas mikro
(jika pengakaran dilakukan secara ex-vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol,
dengan media tanah, atau pakis sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi bibit
yang siap ditanam di lapangan. Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan baru bisa
dikatakan berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi eksternal dengan keberhasilan
yang tinggi.