Anda di halaman 1dari 10

TUGAS BIOLOGI

MAKALAH KULTUR JARINGAN TANAMAN GAHARU

Disusun oleh :

VINA PUTRI AMALIA


XI IPA 5

SMAN 4 DEPOK

JL. Jeruk Raya No.1 Perumahan Sukatani Permai Kel. Sukatani Kec
Tapos-Depok
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gaharu merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) bernilai ekonomi tinggi, berwarna khas,
mengandung aroma resin wangi jika dibakar dan dapat digunakan untuk bahan parfum,
dupa, obat-obatan, sabun mandi, kosmetik, dan pengharum ruangan. Tanaman ini dapat
memproduksi gubal gaharu yang aromanya harum yang mengandung damar wangi (aromatic
resin) sebagai akibat adanya serangan jamur akibat perlukaan yang disertai infeksi patogen
melalui inokulasi atau proses lainya yang selanjutnya membuat jaringan kayu itu berwarna
cokelat kehitaman. Semakin luas bidang infeksi pada jaringan kayu, semakin banyak
rendemen gaharu yang dihasilkan dan kayunya akan semakin harum.

Meningkatnya nilai guna gaharu, mendorong minat negara-negara industri untuk


memperoleh gaharu dengan harga jual yang semakin meningkat. Tingginya harga jual
mendorong upaya masyarakat merubah pola produksi, semula hanya memanfaatkan atau
memungut dari pohon produksi yang telah mati alami, kini dilakukan dengan cara menebang
pohon hidup dan mencacah bagian batang untuk memperoleh bagian kayu yang telah
bergaharu. Hal ini dapat mengancam kelestarian sumber daya pohon, maka dari itu perlu
adanya kelestarian sumberdaya dan produksi gaharu, dengan upaya pembudidayaan.

Pembudidayaan tanaman gaharu dapat didukung dengan penggunaan cendawan


mikoriza arbuskula (CMA) guna pertumbuhan bibit dalam membantu pertumbuhan
tanaman, meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan serta memperbaiki nutrisi
tanaman. Selain ideal dikembangkan di berbagai wilayah endemik sesuai daerah sebaran
tumbuh jenis, juga dimungkinkan dapat dibudidayakan pada lahan-lahan atau kawasan yang
memiliki kesesuaian tumbuh. Hal ini diharapkan selain dapat melestarikan plasma nutfah
sumberdaya pohon penghasil, juga sekaligus dapat membina perolehan pendapatan
masyarakat serta devisa negara dan membina kelestarian produksi gaharu yang konstruktif
dalam revitalisasi di sektor kehutanan.

1.2 Tujuan

Tujuan dibuat nya makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui jenis dan manfaat tanaman gaharu

2. Untuk mengetahui lebih jauh pembuatan bibit tanaman gaharu secara kultur jaringan

3. Untuk mengetahui proses perkembangbiakan kultur jaringan gaharu secara konkrit

1.3 Manfaat

Manfaat dibuatnya makalah ini adalah:


1. Menjadi dasar dalam upaya meningkatkan kualitas gaharu

2. Dapat menjadi salah satu alternatif untuk perbanyakan gaharu dalam pengadaan bibit
gaharu dalam jumlah yang banyak dan relatif singkat dan penggunaan takaran zat pengatur
tumbuh yang terbaik dalam perbanyakan tanaman gaharu.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sekilas tentang Gaharu

Gaharu adalah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh
sejumlah spesies pohon dari marga/genus Aquilaria, terutama A. malaccensis. Resin ini
digunakan dalam industri wangi-wangian (parfum dan setanggi) karena berbau harum.
Gaharu sejak awal era modern (2000 tahun yang lalu) telah menjadi komoditi perdagangan
dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab, serta Afrika Timur.

2.1.a Klasifikasi dan Jenis Gaharu

Suku gaharu-gaharuan atau Thymelaeaceae adalah salah satu suku anggota tumbuhan
berbunga. Menurut Sistem klasifikasi APG II suku ini dimasukkan ke dalam bangsa Malvales,
klad eurosids II.

Klasifikasi ilmiah :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Malvales

Family : Thymelaeaceae genera

Jenis-jenis Gaharu:

a. Aquilaria spp.

Pohon dengan tinggi batang yang dapat mencapai antara 35-40 m, berdiameter sekitar 60
cm, kulit batang licin berwarna putih atau keputih-putihan dan berkayu keras. Daun lonjong
memanjang dengan ukuran panjang 5-8 cm dan lebar 3-4 cm, ujung daun runcing, warna
daun hijau mengkilat. Bunga berada diujung ranting atau diketiak atas dan bawah daun.
Buah berada dalam polongan berbentuk bulat telur aatau lonjong berukuran sekitar 5 cm
panjang dan 3 cm lebar. Biji/benih berbentuk bulat atau bulat telur yang tertutup bulu-bulu
halus berwarna kemerahan.

b. A. malaccensis
A. malaccensis di wilayah potensial dapat mencapai tinggi pohon sekitar 40 m dan diameter
80 cm, beberapa nama daerah seperti: ahir, karas, gaharu, garu, halim, kereh, mengkaras dan
seringak. Tumbuh pada ketinggian hingga 750 m dpl pada hutan dataran rendah dan
pegunungan, pada daerah yang beriklim panas dengan suhu rata-rata 32° C dan kelembaban
sekitar 70%, dengan curah hujan kurang dari 2.000 mm/tahun.

c. A. microcarpa

Tinggi sekitar 35 m berdiameter sekitar 70 cm dengan nama daerah tengkaras, engkaras,


karas, garu tulang, dan lain-lain. Sedangkan A. filaria tinggi pohon antara 15-18 m
berdiameter sekitar 50 cm, di Irian Jaya memiliki nama daerah age dan di Maluku las.
Tumbuh di hutan dataran rendah, rawa hingga ketinggian sekitar 150 m, pada kawasan
beriklim kering bercurah hujan sekitar 1.000 mm/th. A. beccariana, memiliki nama daerah
mengkaras, gaharu dan gumbil nyabak. Tumbuh hingga ketinggian 850 m.dpl pada kondisi
kawasan beriklim kering dengan curah hujan sekitar 1.500 mm/th.

d. Gyrinops spp.

Tumbuhan gaharu jenis ini berbentuk sebagai pohon yang memiliki ciri dan sifat morfologis
yang relatif hampir sama dengan kelompok anggota famili Thymeleacae lainnya. Daun
lonjong memanjang, hijau tua, tepi daun merata, ujung meruncing, panjang sekitar 8 cm,
lebar 5-6 cm. Buah berwarna kuning- kemerahan dengan bentuk lonjong. Batang abu-
kecoklatan, banyak cabang, tinggi pohon dapat mencapai 30 m dan berdiameter sekitar 50
cm. Daerah sebaran tumbuh di wilayah Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan potensi
terbesar berada di Irian Jaya (Papua).

e. Aetoxylon spp.

Pohon dengan rataan tinggi sekitar 15 m, berdiameter antara 25-75 cm, kulit batang ke abu-
abuan atau kehitam-hitaman dan bergetah putih. Bentuk daun bulat telur, lonjong, licin dan
mengkilap dan bertanggkai daun sekitar 8 mm. Bunga dalam kelompok berjumlah antara 5-6
bunga, berbentuk seperti payung, dengan panjang tangkai bunga sekitar 9 mm, bentuk
bunga membulat atau bersegi lima berdiameter sekitar 4 mm, buah membulat panjang
sekitar 3 cm dan lebar 2 cm, serta tebal 1 cm. Tumbuh pada kawasan hutan dataran rendah
dengan lahan kering berpasir, beriklim sedang dengan curah hujan sekitar 1.400 mm/th,
bersuhu sekitar 27° C dan berkelembaban sekitar 80%. Gaharu dari jenis ini memiliki nama
daerah sebagai kayu biduroh, laka, garu laka, garu buaya, dan pelabayan.

f. Gonystylus spp.

Memiliki ciri dan sifat morfologis dengan tinggi dapat mencapai 45 m dan berdiameter
antara 30-120 cm, memiliki tajuk tipis, dan berakar napas (rawa), Bedaun tunggal, berbentuk
bulat telur, panjang 4-15cm, lebar 2-7 cm dengan ujung runcing, bertangkai daun 8-18 mm,
licin dengan warna hijau-kehitaman. Bunga berbentuk malai berlapis dua, muncul diujung
ranting atau ketiak daun, berwarna kuning, tangkai bunga panjang sekitar 1,5 cm. Berbuah
keras,berbentuk bulat telur dengan ujung meruncing, memiliki 3 ruang, panjang 4-5 cm,
lebar 3-4 cm, benih berwarna hitam. Gaharu dari jenis ini umumnya terbentuk pada bekas
taksis duduk cabang, sehingga bentuk gaharu terbentuk umumnya berbentuk bulatan-
bulatan. Nama daerah gaharu dari kelompok jenis ini adalah: karas, mengkaras, garu, halim,
alim, ketimunan, pinangbae, nio, garu buaya, garu pinang, bal, garu hideung, bunta,
mengenrai, udi makiri, sirantih, dan lain-lain.

g. Enkleia spp.

Tumbuhan penghasil gaharu dari kelompok jenis ini berbentuk tumbuhan memanjat (liana)
dengan panjang mencapai 30 m berdiameter sekitar 10 cm, batang kemerah-merahan,
beranting dan memiliki alat pengait. Bunga berada diujung ranting, bertangkai bunga dengan
panjang mencapai 30 cm, bunga berwarna putih atau kekuningan, Buah bulat-telur, panjang
1,25 cm dan lebar 0,5 cm. Dikenal dengan nama daerah tirap akar, akar dian dan akar hitam,
garu cempaka, garu pinang, ki laba, medang karan, mengenrai, udi makiri, garu buaya, bunta,
dan lain-lain.

h. Wiekstroemia spp.

Pohon berbentuk semak dengan tinggi mencapai sekitar 7 m dan diameter sekitar 7,5 cm,
ranting kemerah-merahan atau kecoklatan. Daun bulat telur, atau elips/lancet, panjang 4-12
cm dan lebar 4 cm. Helai daun tipis, licin di dua permukaan, bertangkai daun panjang 3 cm.
Bunga berada diujung ranting atau ketiak daun, berbentuk malai dan tiap malai
menghasilkan 6 bunga dengan warna kuning, putih kehijauan atau putih, dengan tangkai
bunga sekitar 1 mm, mahkota bunga lonjong atau bulat telur dengan panjang 8 mm dan
lebar 5 mm berwarna merah. Kelompok gaharu dari jenis-jenis ini dikenal memiliki nama
daerah, layak dan pohon pelanduk, kayu linggu, menameng atau terentak.

i. Dalbergia sp.

Sementara hanya ditemukan 1 jenis yakni D. parvifolia sebagai salah satu dari anggota famili
Leguminoceae merupakan tumbuhan memanjat (liana) dan produk gaharunya kurang disukai
pasar.

j. Excoccaria sp.

Genus ini hanya ditemukan 1 jenis yakni E. agaloccha yang merupakan anggota famili
Euphorbiacae tergolong tumbuhan tinggi dengan tinggi pohon antara 10-20 m dan dapat
mencapai kelas diameter sekitar 40 cm. Produksi gaharunya kurang disukai pasar.

Dari beberapa jenis kayu gaharu, ada 3 jenis yang paling banyak dibudidayakan saat ini yaitu :

1. Gaharu Subintegra

2. Gaharu Crassna

3. Gaharu Malaccensis

2.1.b Kegunaan Gaharu


Gaharu banyak diperdagangan dengan harga jual yang sangat tinggi terutama untuk gaharu
dari tanaman famili Themeleaceae dengan jenis Aquilaria spp. yang dalam dunia
perdangangan disebut sebagai gaharu beringin. Untuk jenis gaharu dengan nilai jual yang
relatif rendah, biasanya disebut sebagai gaharu buaya. Selain ditentukan dari jenis tanaman
penghasilnya, kualitas gaharu juga ditentukan oleh banyaknya kandungan resin dalam
jaringan kayunya. Semakin tinggi kandungan resin di dalamnya maka harga gaharu tersebut
akan semakin mahal dan begitu pula sebaliknya. Secara umum perdagangan gaharu
digolongkan menjadi tiga kelas besar, yaitu gubal, kemedangan, dan abu. Gubal merupakan
kayu berwarna hitam atau hitam kecoklatan dan diperoleh dari bagian pohon penghasil
gaharu yang memiliki kandungan damar wangi beraroma kuat. Kemedangan adalah kayu
gaharu dengan kandungan damar wangi dan aroma yang lemah serta memiliki penampakan
fisik berwarna kecoklatan sampai abu-abu, memiliki serat kasar, dan kayu lunak. Kelas
terakhir adalah abu gaharu yang merupakan serbuk kayu hasil pengerokan atau sisa
penghancuran kayu gaharu.

2.2 Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti
sekelompok sel atau jaringan yang ditumbuhkan dalam kondisi aseptik, sehingga bagian
tanaman tersebut dapat memperbanyak diri tumbuh menjadi tanaman lengkap kembali.

2.2.a Prinsip

Teknik kultur jaringan memanfaatkan prinsip perbanyakan tumbuhan secara vegetatif.


Berbeda dari teknik perbanyakan tumbuhan secara konvensional, teknik kultur jaringan
dilakukan dalam kondisi aseptik di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu.
Karena itu teknik ini sering kali disebut kultur in vitro. Dikatakan in vitro (bahasa Latin),
berarti "di dalam kaca" karena jaringan tersebut dibiakkan di dalam botol kultur dengan
medium dan kondisi tertentu. Teori dasar dari kultur in vitro ini adalah Totipotensi. Teori ini
mempercayai bahwa setiap bagian tanaman dapat berkembang biak karena seluruh bagian
tanaman terdiri atas jaringan-jaringan hidup. Oleh karena itu, semua organisme baru yang
berhasil ditumbuhkan akan memiliki sifat yang sama persis dengan induknya.

2.2.b Prasyarat

Pelaksanaan teknik ini memerlukan berbagai prasyarat untuk mendukung kehidupan jaringan
yang dibiakkan. Hal yang paling esensial adalah wadah dan media tumbuh yang steril. Media
adalah tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang mendukung
kehidupan jaringan. Media tumbuh menyediakan berbagai bahan yang diperlukan jaringan
untuk hidup dan memperbanyak dirinya.

2.2.c Jenis Kultur Jaringan

Menurut jaringan yang dipilih untuk melakukan kultur, kultur jaringan dibagi menjadi
beberapa jenis, yaitu :

1. Kultur Polen
Kultur jenis ini merupakan kultur jaringan yang menggunakan serbuk sari sebagai eksplannya
(jaringan yang dipilih untuk melakukan kultur).

2. Kultur Embrio

Merupakan jenis kultur yang memanfaatkan bagian tanaman berupa embrio tanaman.
Misalnya embrio kelapa kopyor.

3. Kultur Protoplas

Merupakan jenis kultur yang menggunakan sel jaringan hidup tanpa dinding sebagai
eksplannya.

4. Kultur Kloroplas

Merupakan jenis kultur yang menggunakan kloroplas (sel hijau) dari suatu tumbuhan untuk
membuat tanaman baru yang lengkap.

5. Kultur Meristem

Merupakan kultur yang menggunakan bagian tanaman berupa jaringan yang masih muda
yang aktif membelah (meristem) sebgaai eksplan kultur.

6. Kultur Enter

Yaitu jenis kultur jaringan yang menggunakan bagian tanaman berupa kepala sarinya sebagai
eksplan.

2.2.d Media Kultur Jaringan

Ada dua macam media yang bisa dipilih untuk proses kultur jaringan, yaitu :

1. Media Dasar Murashige dan Skoog (MS)

Media ini digunakan pada semua jenis tanaman khususnya herbaceous. Pada media ini,
dapat ditemukan unsur-unsur pertumbuhan dan mineral yang tinggi.

2. Media Dasar B5 atau Gamborg

Media ini digunakan untuk kultur suspense sel kedelai, alfafa, dan legume lainnya.

3. Media Dasar White

Media ini difungsikan untuk kultur akar. Namun, pada medium ini kandungan mineral dan
zat-zat lain yang dibutuhkan oleh tanaman kultur rendah.

4. Media Vacint Went (VW)

Media ini digunakan khusus untuk tanaman anggrek

5. Media Dasar Nitcsh


Medium ini digunakan untuk kultur pollen dan kultur sel

6. Media Dasar Schenk dan Hildebrant

Media ini digunakan untuk tanaman-tanaman yang berkayu.

7. Media Dasar Woody Plant Medium (WPM)

Medi aini juga digunakan untuk tanaman-tanaman yang berkayu

8. Media Dasar N6

Media ini digunakan pada tanaman serealia, khususnya padi, dan serealia lain.

2.2.e Teknik Kultur Jaringan

a. Pemilihan dan Penyiapan Tanaman Induk Sumber Eksplan

Tanaman tersebut harus jelas jenis, spesies, dan varietasnya serta harus sehat dan bebas dari
hama dan penyakit. Tanaman indukan sumber eksplan tersebut harus dikondisikan dan
dipersiapkan secara khusus di rumah kaca atau greenhouse agar eksplan yang akan
dikulturkan sehat dan dapat tumbuh baik serta bebas dari sumber kontaminan pada waktu
dikulturkan secara in-vitro.

b. Inisiasi Kultur

Tujuan utama dari propagasi secara in-vitro tahap ini adalah pembuatan kultur dari eksplan
yang bebas mikroorganisme serta inisiasi pertumbuhan baru (Wetherell, 1976). ini
mengusahakan kultur yang aseptik atau aksenik. Aseptik berarti bebas dari mikroorganisme,
sedangkan aksenik berarti bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan. Dalam tahap ini
juga diharapkan bahwa eksplan yang dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru,
sehingga akan memungkinkan dilakukannya pemilihan bagian tanaman yang tumbuhnya
paling kuat,untuk perbanyakan (multiplikasi) pada kultur tahap selanjutnya (Wetherell,
1976).

c. Sterilisasi

Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat
yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga sterail. Sterilisasi juga
dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata
pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril.

d. Multiplikasi atau Perbanyakan Propagul

Tahap ini bertujuan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman yang diperbanyak
seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktu-
waktu bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya. Pada tahap ini, perbanyakan dapat dilakukan
dengan cara merangsang terjadinya pertumbuhan tunas cabang dan percabangan aksiler
atau merangsang terbentuknya tunas pucuk tanaman secara adventif, baik secara langsung
maupun melalui induksi kalus terlebih dahulu. Seperti halnya dalam kultur fase inisiasi, di
dalam media harus terkandung mineral, gula, vitamin, dan hormon dengan perbandingan
yang dibutuhkan secara tepat (Wetherell, 1976). Hormon yang digunakan untuk merangsang
pembentukan tunas tersebut berasal dari golongan sitokinin seperti BAP, 2-iP, kinetin, atau
thidiadzuron (TDZ).

e. Pemanjangan Tunas, Induksi, dan Perkembangan Akar

Tujuan dari tahap ini adalah untuk membentuk akar dan pucuk tanaman yang cukup kuat
untuk dapat bertahan hidup sampai saat dipindahkan dari lingkungan in-vitro ke lingkungan
luar. Dalam tahap ini, kultur tanaman akan memperoleh ketahanannya terhadap pengaruh
lingkungan, sehingga siap untuk diaklimatisasikan (Wetherell, 1976). Tunas-tunas yang
dihasilkan pada tahap multiplikasi di pindahkan ke media lain untuk pemanjangan tunas.
Media untuk pemanjangan tunas mengandung sitokinin sangat rendah atau tanpa sitokinin.
Tunas tersebut dapat dipindahkan secara individu atau berkelompok. Pemanjangan tunas
secara berkelompok lebih ekonomis daripada secara individu. Setelah tumbuh cukup
panjang, tunas tersebut dapat diakarkan. Pemanjangan tunas dan pengakarannya dapat
dilakukan sekaligus atau secara bertahap, yaitu setelah dipanjangkan baru diakarkan.
Pengakaran tunas in-vitro dapat dilakukan dengan memindahkan tunas ke media pengakaran
yang umumnya memerlukan auksin seperti NAA atau IBA. Keberhasilan tahap ini tergantung
pada tingginya mutu tunas yang dihasilkan pada tahap sebelumnya.

f. Aklimatisasi

Dalam proses perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, tahap aklimatisasi planlet
merupakan salah satu tahap kritis yang sering menjadi kendala dalam produksi bibit secara
masal. Pada tahap ini, planlet atau tunas mikro dipindahkan ke lingkungan di luar botol
seperti rumah kaca , rumah plastik, atau screen house (rumah kaca kedap serangga). Proses
ini disebut aklimatisasi. Aklimatisasi adalah proses pengkondisian planlet atau tunas mikro
(jika pengakaran dilakukan secara ex-vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol,
dengan media tanah, atau pakis sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi bibit
yang siap ditanam di lapangan. Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan baru bisa
dikatakan berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi eksternal dengan keberhasilan
yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai