Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setiap orangtua tentu menginginkan anaknya lahir dengan sempurna, memperoleh


pendidikan dan pekerjaan yang layak. Ketika hal tersebut tidak terpenuhi, tak jarang di antara
mereka yang kecewa bahkan tidak ingin menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus.

Sebenarnya tidak ada anak cacat melainkan anak berkebutuhan khusus, karena anak-anak yang
dianggap cacat itu sebenarnya sama saja dengan anak-anak pada umumnya, punya kelebihan dan
kekurangan. Tetapi karena pemahaman sebagian masyarakat yang kurang, maka masyarakatlah
yang memberi label cacat itu.

Untuk itu perlu dipahami sebuah pendekatan kepada masyarakat bahwa mereka yang
mempunyai keterbatasan ada dalam lingkungan mereka, sama-sama mempunyai hak yang sama
dengan anak yang normal pada umumnya.

Jika kita melihat anak-anak yang mengalami kecacatan mental, mungkin kita beranggapan
bahwa mereka mengalami jenis kecacatan mental yang sama. Namun kita harus mengetahui
kecacatan mental yang dialami anak-anak tersebut berbeda penyebabnya yang dalam hal ini
adalah cerebral palsy.

Walaupun perkembangan dan kemajuan dalam bidang obstetrik dan perinatologi akan
mengakibatkan penurunan angka kematian bayi yang pesat, namun tidak dapat mencegah
peningkatan jumlah anak cacat. Ini disebabkan, meskipun bayi berhasil diselamatkan dari
keadaan gawat, akan tetapi biasanya meninggalkan gejala sisa akibat kerusakan jaringan otak
yang gejala-gejalanya dapat terlihat segera ataupun di kemudian hari.

Cerebral Palsy adalah salah satu gejala sisa yang cukup banyak dijumpai. Istilah Cerebral Palsy
(CP) pertama kali dikemukakan oleh Phelps. Cerebral : yang berhubungan dengan otak; Palsy :
ketidaksempurnaan fungsi otot. Dalam kepustakaan, CP sering juga disebut diplegia spastik,
tetapi nama ini kurang tepat, sebab CP tidak hanya bermanifestasi spastik dan mengenai 2
anggota gerak saja, tetapi juga dapat ditemukan dalam bentuk lain dan dapat mengenai ke 4
anggota gerak. Nama lain ialah : Little’s disease, oleh karena dokter John Little adalah orang
yang pertama pada pertengahan abad ke 19 menguraikan gambaran klinik CP.

Makalah ini menguraikan secara singkat : definisi, insidensi, etiologik, neurofisiologik dan
patologik, gambaran klinik dan klasifikasi, diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan khusus,
penanganan, pencegahan dan prognosis CP.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang makalah diatas, kami ingin menguraikan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut :

1. Apa pengertian dari Cerebral Palsy ?


2. Bagaimana insidensi dari kasus Cerebral Palsy ?
3. Apa etiologi dari Cerebral Palsy ?
4. Apa saja gejala klinis pada klien yang mengalami Cerebral Palsy ?
5. Bagaimana Penatalaksanaannya ?
6. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien dengan Cerebral Palsy ?

C. TUJUAN

Tujuan penulisan makalah dengan studi kepustakaan ini adalah :

1. Agar mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang permasalahan yang timbul
pada kasus Cerebral Palsy.

2. Memperoleh pemahaman konsep yang benar tentang Cerebral Palsy sehingga nantinya
dapat diterapkan dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien.

3. Asuhan keperawatan yang kita berikan akan lebih bermutu bila ada keseimbangan antara
pengetaahuan teori dan kecakapan praktice.

4. Memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak.


BAB II

KONSEP DASAR

A. DEFINISI

Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para sarjana. Clark (1964) mengemukakan,
yang dimaksud dengan CP adalah suatu keadaan kerusakan jaringan otak pada pusat motorik
atau jaringan penghubungnya, yang kekal dan tidak progresif, yang terjadi pada masa prenatal,
saat persalinan atau sebelum susunan saraf pusat menjadi cukup matur, ditandai dengan adanya
paralisis, paresis, gangguan kordinasi atau kelainan-kelainan fungsi motorik. Pada tahun 1964
World Commission on Cerebral Palsy mengemukakan definisi CP sebagai berikut : CP adalah
suatu kelainan dari fungsi gerak dan sikap tubuh yang disebabkan karena adanya kelainan atau
cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Sedangkan Gilroy dkk (1975),
mendefinisikan CP sebagai suatu sindroma kelainan dalam cerebral control terhadap fungsi
motorik sebagai akibat dari gangguan perkembangan atau kerusakan pusat motorik atau jaringan
penghubungnya dalam susunan saraf pusat.

Konsensus tentang definisi Cerebral palsy yang terbaru yaitu, Cerebral palsy adalah suatu
terminasi yang umum yang meliputi suatu kelompok kelainan yang bersifat non-progresif, tetapi
seringkali berubah dan menampakkan sindrom kelainan gerakan sekunder, sebagai akibat
kerusakan atau anomali pada susunan saraf pusat diawal perkembangan sel–sel motorik. (Kuban,
1994; Soetjiningsih, 1995; Stanley, 2000).
Gambar 1. Bentuk kelumpuhan pada anak dengan cerebral palsy (diperoleh dari

http://sekolahautismeal-ihsan.com diakses pada tanggal 31 Juli 2019)

B. ETIOLOGI

Suatu definisi mengatakan bahwa penyebab Cerebral Palsy berbeda–beda tergantung pada suatu

klasifikasi yang luas yang meliputi antara lain : terminologi tentang anak–anak yang secara

neurologik sakit sejak dilahirkan, anak–anak yang dilahirkan kurang bulan dengan berat badan

lahir rendah dan anak-anak yang berat badan lahirnya sangat rendah, yang berisiko Cerebral

Palsy dan terminologi tentang anak–anak yang dilahirkan dalam keadaan sehat dan mereka yang

berisiko mengalami Cerebral Palsy setelah masa kanak–kanak. (Swaiman, 1998). Cerebral

Palsydapat disebabkan faktor genetik maupun faktor lainnya. Apabila ditemukan lebih dari satu

anak yang menderita kelainan ini dalam suatu keluarga, maka kemungkinan besar disebabkan

faktor genetik. (Soetjiningsih, 1995) Waktu terjadinya kerusakan otak secara garis besar dapat

dibagi pada masa pranatal, perinatal dan postnatal.

1. Pranatal

a. Kelainan perkembangan dalam kandungan, faktor genetik, kelainan kromosom

(Soetjiningsih, 1995).
b. Usia ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun (Nelson, 1994).

c. Usia ayah < 20 tahun (Cummins, 1993) dan > 40 tahun (Fletcher, 1993).

d. Infeksi intrauterin : TORCH dan sifilis.

e. Radiasi sewaktu masih dalam kandungan.

f. Asfiksia intrauterin (abrubsio plasenta, plasenta previa, anoksia maternal, kelainan

umbilikus, perdarahan plasenta, ibu hipertensi, dan lain – lain).

g. Keracunan kehamilan, kontaminasi air raksa pada makanan, rokok dan alkohol.

h. Induksi konsepsi. (Soetjiningsih, 1994).

i. Riwayat obstetrik (riwayat keguguran, riwayat lahir mati, riwayat melahirkan anak dengan

berat badan < 2000 gram atau lahir dengan kelainan morotik, retardasi mental atau

sensory deficit). (Boosara,2004).

j. Toksemia gravidarum.

Dalam buku–buku masih dipakai istilah toksemia gravidarum untuk kumpulan gejala–gejala

dalam kehamilan yang merupakan trias HPE (Hipertensi, Proteinuria dan Edema),

yang kadang–kadang bila keadaan lebih parah diikuti oleh KK (kejang–

kejang/konvulsi dan koma). (Rustam, 1998) Patogenetik hubungan antara toksemia

pada kehamilan dengan kejadian CP masih belum jelas. Namun, hal ini mungkin

terjadi karena toksemia menyebabkan kerusakan otak pada janin. (Gilroy, 1979).

a. Inkompatibilitas Rh.

b. Disseminated Intravascular Coagulation oleh karena kematian pranatal pada salah satu

bayi kembar (Soetjiningsih, 1994).

c. Maternal thyroid disorder.


d. Siklus menstruasi yang panjang.

e. Maternal mental retardation.

f. Maternal seizure disorder (Boosara, 2004).

2. Perinatal

a. Anoksia / hipoksia

Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah brain injury. Keadaan

inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal initerdapat pada keadaan presentasi

bayi abnormal, disproporsi sefalo–servik, partus lama, plasenta previa, infeksi

plasenta, partusmenggunakan instrumen tertentu dan lahir dengan seksio

caesar.(Anonim. 2002).

b. Perdarahan otak akibat trauma lahir

Perdarahan dan anoksi dapat terjadi bersama–sama, sehingga sukar membedakannya,

misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernafasan

dan peredaran darah, sehingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang

subaraknoid akan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga menyebabkan

hidrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga

timbul kelumpuhan spastis. (Anonim, 2002)

1. Prematuritas

2. Berat badan lahir rendah

3. Postmaturitas

4. Primipara

5. Antenatal care
6. Hiperbilirubinemia

Bentuk Cerebral Palsy yang sering terjadi adalah athetosis, hal ini disebabkan karena frekuensi

yang tinggi pada anak–anak yang lahir dengan mengalami hiperbilirubinemia tanpa

mendapatkan terapi yang diperlukan untuk mencegah peningkatan konsentrasi

unconjugatedbilirubin. Gejala–gejala kernikterus yang terdapat pada bayi yang

mengalami jaundice biasanya tampak setelah hari kedua dan ketiga kelahiran. Anak

menjadi lesu dan tidak dapat menyusu dengan baik. Kadangkala juga terjadi demam

dan tangisan menjadi lemah. Sulitmendapatkan Reflek Moro dan tendon pada

mereka, dan gerakan otot secara umum menjadi berkurang. Setelah beberapa

minggu, tonus meningkat dan anak tampak mengekstensikan punggung dengan

opisthotonus dan diikuti dengan ekstensi ektremitas. (Swaiman, 1998).

1. Status gizi ibu saat hamil

2. Bayi kembar (Soetjiningsih, 1995)

3. Ikterus

Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kekal akibat

masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas

golongan darah. (Soetjiningsih, 1995).

4. Meningitis purulenta

Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya

akan mengakibatkan gejala sisa berupa CP. (Soetjiningsih, 1995).

5. Kelahiran sungsang

6. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam.

Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II sekitar 1,5 jam.

Sedangkan pada multigravida, kala I : 7 jam dan kala II : 1/5 jam. Persalinan yang

sukar dan lama meningkatkan risiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin.

(Wiknjosastro, 2002).

7. Partus dengan induksi / alat

8. Polyhidramnion (Boosara, 2004)

9. Perdarahan pada trimester ketiga

3. Postnatal

a. Anoksia otak : tenggelam, tercekik, post status epilepticus.

b. Trauma kepala : hematom subdural.

c. Infeksi : meningitis / ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama kehidupan (Anonim,2002),

septicaemia, influenza, measles dan pneumonia. (Eve, et al., 1982)

d. Luka parut pada otak pasca operasi (Anonim, 2002)

e. Racun : logam berat, CO (Soetjiningsih, 1995)

f. Malnutrisi (Eve, et,al., 1982)

C. KLASIFIKASIKI

Berdasarkan gejala dan tanda neurologis (Swaiman, 1998; Gilroy, 1979;Rosenbaum, 2003)

1. Spastik

a. Monoplegia

Pada monoplegia, hanya satu ekstremitas saja yang mengalami spastik. Umumnya hal ini

terjadi pada lengan / ekstremitas atas.

b. Diplegia
Spastik diplegia atau uncomplicated diplegia pada prematuritas. Hal ini disebabkan oleh

spastik yang menyerang traktus kortikospinal bilateral atau lengan pada kedua sisi tubuh

saja. Sedangkan sistem–sistem lain normal.

c. Hemiplegia

Spastis yang melibatkan traktus kortikospinal unilateral yang biasanya menyerang

ekstremitas atas/lengan atau menyerang lengan pada salah satu sisi tubuh.

d. Triplegia

Spastik pada triplegia menyerang tiga buah ekstremitas. Umumnya menyerang lengan

pada kedua sisi tubuh dan salah satu kaki pada salah salah satu sisi tubuh.

e. Quadriplegia

Spastis yang tidak hanya menyerang ekstremitas atas, tetapi juga ekstremitas bawah dan

juga terjadi keterbatasan (paucity) pada tungkai.

2. Ataksia

Kondisi ini melibatkan cerebelum dan yang berhubungan dengannya. Pada CP tipe ini

terjadi abnormalitas bentuk postur tubuh dan / atau disertai dengan abnormalitas gerakan.

Otak mengalami kehilangan koordinasi muskular sehingga gerakan–gerakan yang

dihasilkan mengalami kekuatan, irama dan akurasi yang abnormal.


3. Athetosis atau koreoathetosis

Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang ditampakkan adalah

gerakan–gerakan yang involunter dengan ayunan yang melebar. Athetosis terbagi

menjadi :

a. Distonik

Kondisi ini sangat jarang, sehingga penderita yang mengalami distonik dapat mengalami

misdiagnosis. Gerakan distonia tidak seperti kondisi yang ditunjukkan oleh distonia

lainnya. Umumnya menyerang otot kaki dan lengan sebelah proximal. Gerakan yang

dihasilkan lambat dan berulang–ulang, terutama pada leher dan kepala.

b. Diskinetik

Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan–gerakan involunter, tidak terkontrol,

berulang–ulang dan kadangkala melakukan gerakan stereotype.

c. Atonik

Anak–anak penderita CP tipe atonik mengalami hipotonisitas dan kelemahan pada kaki.

Walaupun mengalami hipotonik namun lengan dapat menghasilkan gerakan yang

mendekati kekuatan dan koordinasi normal.

d. Campuran

Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan ektrapiramidal, seringkali

ditemukan adanya komponen ataksia.


Berdasarkan perkiraan tingkat keparahan dan kemampuan penderita untuk melakukan

aktifitas normal (Swaiman, 1998; Rosenbaum, 2003)

a. Level 1 (ringan)

Anak dapat berjalan tanpa pembatasan/tanpa alat bantu, tidak memerlukan pengawasan

orangtua, cara berjalan cukup stabil, dapat bersekolah biasa, aktifitas kehidupan sehari–

hari 100 % dapat dilakukan sendiri.

b. Level 2 (sedang)

Anak berjalan dengan atau tanpa alat bantu, alat untuk ambulasi ialah brace, tripod atau

tongkat ketiak. Kaki / tungkai masih dapat berfungsi sebagai pengontrol gaya berat

badan. Sebagian besar aktifitas kehidupan sehari–hari dapat dilakukan sendiri dan dapat

bersekolah.

c. Level 3 (berat)

Mampu untuk makan dan minum sendiri, dapat duduk, merangkak atau mengesot, dapat

bergaul dengan teman–temannya sebaya dan aktif. Pengertian kejiwaan dan rasa

keindahan masih ada, aktifitas kehidupan sehari–hari perlu bantuan, tetapi masih dapat

bersekolah. Alat ambulasi yang tepat ialah kursi roda.

d. Level 4 (berat sekali)

Tidak ada kemampuan untuk menggerakkan tangan atau kaki, kebutuhan hidup yang vital

(makan dan minum) tergantung pada orang lain. Tidak dapat berkomunikasi, tidak dapat

ambulasi, kontak kejiwaan dan rasa keindahan tidak ada.

D. PATOFISIOLOGI

Adanya malformasi hambatan pada vaskuler, atrofi, hilangnya neuron dan degenerasi laminar

akan menimbulkan narrowergyiri, suluran suci dan berat otak rendah. Cerebral palsy
digambarkan sebagai kekacauan pergerakan dan postur tubuh yang disebabkan oleh cacad non

progresive atau luka otak pada saat anak-anak. Suatu presentasi cerebral palsy dapat diakibatkan

dengan suatu dasar kelainan (struktural otak: awal sebelum dilahirkan, perinatal, atau luka-

luka/kerugian setelah melahirkan dalam kaitan dengan ketidak cukupan vaskuler, toksin atau

infeksi). Dalam beberapa kasus manifestasi atau etiologi dapat berhubungan dengan daerah

anatomi. Misal cerebral palsy yang berhubungan dengan kelahiran prematur yang disebabkan

oleh infark hipoksia atau perdarahan dengan leukomalasia didaerah yang berdekatan dengan

ventrikel lateral dalam antetoid jenis cerebral palsy yang disebabkan oleh kenikterus dan

kelainan genetik metabolisme seperti gangguan mitokondria. Hemiplegia cerebral palsy sering

dikaitkan dengan serangan sereberal vokal sekunder ke intra uterin atau trombo emboli perinatal

biasanya akibat trombosis ibu atau gangguan pembekuan herediter (Wilson 2007)

E.

D. NEUROFISIOLOGIK DAN PATOLOGIK

Perubahan neuropatologik pada CP bergantung pada patogenesis, derajat dan lokalisasi


kerusakan dalam susunan saraf pusat (SSP). Semua jaringan SSP peka terhadap kekurangan
oksigen. Kerusakan yang paling berat terjadi pada neuron, kurang pada neuroglia dan jaringan
penunjang (supporting tissue) dan paling minimal pada pembuluh darah otak. Derajat kerusakan
ada hubungannya acute neuronal necrosis tanpa kerusakan pada neuroglia. Penyembuhan terjadi
dengan fagositosis bagian yang nekrotik, proliferasi neuroglia dan pembentukan jaringan parut
yang diikuti dengan retraksi sekunder. Pada hipoksia yang lebih berat, terjadi kerusakan baik
pada neuron maupun neuroglia, mengakibatkan terjadinya daerah dengan perlunakan,
penyembuhan yang lambat, atrofi dan pembentukan jaringan parut yang luas. Kerusakan-
kerusakan yang paling berat terjadi pada bagian SSP yang sangat peka terhadap hipoksia yaitu
korteks serebri, agak kurang pada ganglia basalis dan serebelum, sedangkan batang otak dan
medula spinalis mengalami kerusakan yang lebih ringan. Perdarahan ringan oleh trauma
persalinan biasanya diabsorpsi tanpa kerusakan yang menetap. Hematoma subdural yang
biasanya unilateral tersering ditemukan pada bagian verteksi dekat sinus longitudinalis,
menyebabkan kerusakan jaringan otak yang berada di bawahnya oleh karena nekrosis tekanan,
menghasilkan ensefalo malaria yang akhirnya terjadi atrofi dan pembentukan jaringan parut.
Perdarahan intraserebral jarang menghasilkan porencephalic cavity.

Menurut Perlstein dan Barnett, suatu trauma kepala dan perdarahan intrakranial pada
umumnya akan melibatkan sistem piramidal, sedangkan anoksia terutama mengenai sistem
ekstrapiramidal. Manifestasi klinik kelainan ini bergantung pada hebatnya dan lokalisasi lesi
yang terjadi, apakah ia di korteks serebri, ganglia basalis ataukah di serebelum. Kernikterus
menyebabkan kerusakan pada masa nukleus yang dalam, ditandai dengan warna kuning,
kerusakan berupa nekrosis dan lisis neuron yang diikuti dengan proliferasi neuroglia dan
pengerutan yang hebat. Pada kelainan bawaan otak, misalnya agenesis/hipogenesis bagian-
bagian otak dan hidrosefalus, akan terjadi gangguan perkembangan.

E. MANIFESTASI KLINIS DAN KLASIFIKASI

Manifestasi klinik CP bergantung pada lokalisasi dan luasnya jaringan otak yang mengalami
kerusakan, apakah pada korteks serebri, ganglia basalis atau serebelum. Dengan demikian secara
klinik dapat dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada CP, yaitu : spastisitas, atetosis dan
ataksia.

a) Spastisitas.

Spastisitas terjadi terutama bila sistem piramidal yang mengalami kerusakan, meliputi 50--65%
kasus CP. Spastisitas ditandai dengan hipertoni, hiperrefleksi, klonus, refleks patologik positif.
Kelumpuhan yang terjadi mungkin monoplegi, diplegi/hemiplegi, triplegi atau tetraplegi.
Kelumpuhan tidak hanya mengenai lengan dan tungkai, tetapi juga otot-otot leher yang berfungsi
menegakkan kepala.

b) Atetosis.

Atetosis meliputi 25% kasus CP, merupakan gerakan-gerakan abnormal yang timbul spontan dari
lengan, tungkai atau leher yang ditandai dengan gerakan memutar mengelilingi sumbu "kranio-
kaudal", gerakan bertambah bila dalam keadaan emosi. Kerusakan terletak pada ganglia basalis
dan disebabkan oleh asfiksi berat atau jaundice.

c) Ataksia.

Bayi/anak dengan ataksia menunjukkan gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan dan


adanya nistagmus. Anak berjalan dengan langkah lebar, terdapat

intention tremor meliputi ± 5%. Lokalisasi lesi yakni di serebelum.

d) Rigiditas.

Merupakan bentuk campuran akibat kerusakan otak yang difus. Di samping gejala-gejala
motorik, juga dapat disertai gejala-gejala bukan motorik, misalnya gangguan perkembangan
mental, retardasi pertumbuhan, kejang-kejang, gangguan sensibilitas, pendengaran, bicara dan
gangguan mata.

Gangguan Pendengaran

Terdapat pada 5 – 10 % anak dengan Cerebral Palsy. Gangguan berupa kelainan neurogen
terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata.

Gangguan Bicara

Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan yang terjadi dengan
sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak
sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.

Gangguan Mata

Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi. Pada keadaan
asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir 25 % penderita Cerebral Palsy menderita
kelainan mata.

Berdasarkan manifestasi klinik CP, American Acedemy for Cerebral Palsy mengemukakan
klasifikasi sebagai berikut.

Klasifikasi neuromotorik

1. Spastik, ialah adanya penambahan pada stretch reflex dan deep tendon reflex

meninggi pada bagian-bagian yang terkena.

2. Atetosis, karakteristik ialah gerakan-gerakan lembut menyerupai cacing, involunter, tidak


terkontrol dan tidak bertujuan.

3. Rigiditas. Jika bagian yang terkena digerakkan akan ada tahanan kontinu, baik dalam otot
agonis maupun antagonis. Menggambarkan adanya sensasi membongkokkan "pipa
timah" (lead pipe rigidity).

4. Ataksia. Menunjukkan adanya gangguan keseimbangan dalam ambulasi.

5. Tremor. Gerakan-gerakan involunter, tidak terkendali, reciprocal dengan irama yang


teratur.

6. Mixed.

Distribusi topografik dari keterlibatan neuromotorik

1. Paraplegi. Yang terkena ialah ekstremitas inferior, selalu tipe spastik.


2. Hemiplegi. Terkena hanya 1 ekstremitas inferior dan 1 superior pada pihak yang sama.
Hampir selalu spastik, kadang-kadang ada yang atetosis.

3. Triplegi. Terkena 3 ekstremitas, biasanya spastik.

4. Quadriplegi atau tetraplegi. Terkena semua ekstremitas.

Klasifikasi berdasarkan beratnya. lalah berdasarkan beratnya keterlibatan neuromotorik yang


membatasi kemampuan penderita untuk menjalankan aktifitas untuk keperluan hidup (activities
of daily living).

1. Ringan. Penderita tidak memerlukan perawatan oleh karena ia tidak mempunyai problema
bicara dan sanggup mengerjakan keperluan sehari-hari dan dapat bergerak tanpa memakai alat-
alat penolong.

2. Sedang. Penderita memerlukan perawatan oleh karena ia tidak cakap untuk memelihara diri,
ambulasi dan bicara. Ia memerlukan brace dan alat-alat penolong diri.

3. Berat. Penderita memerlukan perawatan. Derajat keterlibatan demikian hebat, sehingga


prognosis untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara adalah jelek.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Diagnosis dini dan tepat adanya lesi di otak sangat penting sebagai dasar dalam seleksi prosedur-
prosedur terapeutik yang akan diambil.

Pada anamnesis perlu diketahui mengenai riwayat prenatal, persalinan dan post natal yang dapat
dikaitkan dengan adanya lesi otak. Tahap-tahap perkembangan fisik anak harus ditanyakan,
umpamanya kapan mulai mengangkat kepala, membalik badan, duduk, merangkak, berdiri dan
berjalan.

Pada pemeriksaan fisik diperhatikan adanya spastisitas lengan/tungkai, gerakan involunter,


ataksia dan lain-lain. Adanya refleks fisiologik seperti refleks moro dan

tonic neck reflex pada anak usia 4 bulan harus dicurigai adanya CP, demikian pula gangguan
penglihatan, pendengaran, bicara dan menelan, asimetri dari kelompok otot-otot, kontraktur dan
tungkai yang menyilang menyerupai gunting.

1. DIAGNOSIS BANDING

CP perlu dibedakan dengan : proses degenerasi SSP, miopati, neuropati, tumor medula spinalis,
tumor otak, hidrosefalus, poliomielitik atipik, idiocy, trauma otak atau saraf perifer, korea
sydenham s, subdural higroma dan tumor intrakranial.

2. PEMERIKSAAN KHUSUS
Untuk menyingkirkan diagnosis banding maupun untuk keperluan penanganan penderita,
diperlukan beberapa pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang sering dilakukan, ialah :

1. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis CP ditegakkan.

2. Pungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan suatu proses degeneratif. Pada CP
likuor serebrospinalis normal.

3. Pemeriksaan Elektro Ensefalografi (EEG) dilakukan pada penderita kejang atau pada
golongan hemiparesis baik yang berkejang maupun yang tidak.

4. Foto kepala (X-ray) dan CT Scan.

5. Penilaian psikologik perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pendidikan yang


diperlukan.

6. Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain retardasi mental.

Selain pemeriksaan di atas, kadang-kadang diperlukan pemeriksaan arteriografi dan


pneumoensefalografi individu.

Untuk memperoleh hasil yang maksimal, penderita CP perlu ditangani oleh suatu

Team yang terdiri dari: dokter anak, ahli saraf, ahli jiwa, ahli bedah tulang, ahli fisioterapi,
occupational therapist,guru luar biasa, orang tua penderita dan bila perlu ditambah dengan ahli
mata, ahli THT, perawat anak dan lain-lain.

G. PENATALAKSANAAN

Pada umumnya penanganan penderita CP meliputi :

1) Reedukasi dan rehabilitasi.

Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang penderita CP perlu mendapatkan
terapi yang sesuai dengan kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh masing-
masing terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili
penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan yang cocok
serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan hidupnya sendiri. Fisio terapi bertujuan
untuk mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh keterampilan
secara independent untuk aktivitas sehari-hari. Fisio terapi ini harus segera dimulai secara
intensif. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu istirahat atau
tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisio
terapi dilakukan sepanjang hidup penderita. Selain fisio terapi, penderita CP perlu dididik sesuai
dengan tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-
sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan speech therapy dan
occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan penderita. Mereka sebaiknya
diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersanrm-sama
sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi
anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan melihat
seperlunya.

2) Psikoterapi untuk anak dan keluarganya.

Oleh karena gangguan tingkah laku dan adaptasi sosial sering menyertai CP, maka psiko terapi
perlu diberikan, baik terhadap penderita maupun terhadap keluarganya.

3) Koreksi operasi.

Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang antagonis,
menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih sering dilakukan
pada tipe spastik dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah
dibanding -dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan dengan jenis
operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada saraf motorik, tendon, otot atau pada tulang.

4) Obat-obatan.

Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku, neuro-
motorik dan untuk mengontrol serangan kejang.

Pada penderita CP yang kejang. pemberian obat anti kejang memeerkan hasil yang baik dalam
mengontrol kejang, tetapi pada CP tipe spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Demikian
pula obat muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot pada CP tipe spastik dan
atetosis. Pada penderita dengan kejang diberikan maintenance anti kejang yang disesuaikan
dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin dan sebagainya. Pada keadaan tonus
otot yang berlebihan, obat golongan benzodiazepine, misalnya : valium, librium atau mogadon
dapat dicoba. Pada keadaan choreoathetosis diberikan artane. Tofranil (imipramine) diberikan
pada keadaan depresi. Pada penderita yang hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 -- 10
mg pada pagi hari dan 2,5 -- 5 mg pada waktu tengah hari.

Anda mungkin juga menyukai