Anda di halaman 1dari 4

Bualan Tentang Pertemanan

Mereka bilang awal pertemananku di dengan Jonathan dimulai ketika kami berdua masih sama-
sama dalam kandungan. Awalnya aku tidak percaya, tapi ketika melihat anak itu memiliki tinggi yang
sama denganku sampai lulus sekolah dasar, bersekolah di tempat yang sama, bahkan lebih sering
makan di rumahku dibanding di rumahnya aku bahkan tidak akan ragu jika orang tuaku bilang kami
ternyata saudara.

Akupun tidak mengatakan bahwa Jonathan itu teman yang buruk walau terkadang dia bisa terlihat
begitu menyebalkan karena punya otak briliant hingga selalu menempati peringkat pertama
seangkatan—Sumpah, di saat begitu ingin rasanya kusebarkan pada semua orang jika Jonathan yang
pintar itu hanyalah remaja dungu yang takut kodok. Tapi jika kulakukan itu sama saja aku mengakui
jika aku iri padanya. Cih, tidak akan.

“Na,”

Namaku Senna jika kau ingin tahu. Tidak begitu penting sih tapi terkadang aku bisa tiba-tiba kesal
ketika si tiang ini hanya memanggil ujung namaku saja. Karena itu, aku menarik ujung telinganya,
membuatnya merintih sampai menunduk dan kujitak kepalanya.

“Senna. Senna! Bukan Na!”

“Lepas, Natrium! Sakit!”

Jonathan menyentak tubuhnya tiangnya hingga aku termundur kebalakang. Tanpa bisa dihindarkan,
aku jatuh dan bercumbu dengan aspal. Siku yang kugunakan untuk menahan tubuh menjadi
korbannya. Aku berdarah karena si tiang kurang ajar Jonathan!

Aku bangkit dan langsung mengejarnya. Seolah lupa kalau Jonathan punya kaki panjang yang bisa dia
manfaatkan dengan baik karena bukan hanya di bidang akademik, Jonathan juga sangat menguasai
bidang olahraga. Aku memang bodoh.

Memegangi perut. Terduduk di gang yang untungnya sedang sepi, aku menghirup rakus oksiden
sambil merutuki Jonathan yang sudah hilang entah dimana. Jonathan jelas tau bagaimana cara
membuat orang terkena serangan darah tinggi. Aku mengatur nafasku perlahan, kemudian menyadari
jika Jonathan sudah berdiri di depanku dengan tangan terulur dan sebelah mata yang di kedipkan.

“Terima kekalahanmu putri kodok berkaki pendek,” Dia tersenyum memamerkan lesung pipinya.

“Kau tahu kalau kau menjijikan, bukan?” Balasku menerima uluran tangannya kemudian bertumpu
pada lengan kokohnya karena nyaris jatuh menabrak kaki sendiri.

Jarak kami cukup dekat untuk aku dapat melihat kekehan genitnya. Itu menjijikkan sumpah,
bagaimana bisa yang begini punya penggemar, dan bagaimana bisa orang-orang mengatan jika
Jonathan itu serius dan dingin. Dia bahkan tidak mencoba memperbaiki keadaan saat berkata;

“Tentu saja tidak. Aku tampan dan punya pesona. Mana mungkin aku menjijikkan.”

Aku memasang wajah serius berusaha meyakinkan, “Kau menjijikan. Sumpah. Cuman punya wajah
sedikit tampan saja, jadinya tidak terlalu menjijikan. Tapi tetap menjijikan,kok.”

Dari pada marah, dia cuman tertawa dan kami berjalan bersampingan menuju rumah. Seperti
biasanya, Jonathan akan mengomel soal tugasku yang tidak pernah dikerjakan dan aku akan
menanggapinya dengan menyepak kepalanya karena sudah sok menasehatiku. Kemudian kami akan
berbagi cerita tentang guru olahraga yang ketahuan tidak ganti baju seminggu atau menggibahi
tetangga untuk menimbun dosa.

Tapi sebelum sampai rumah, Jonathan berhenti berjalan. Tepat di bawah lampu jalan dengan
pandangan yang tidak bisa kumengerti.

“Aku duluan ya”

Aku lanjut berjalan karena tidak ingin tau apa yang ingin dia lakukan. Aku cuman mau pulang dan
bermesraan dengan kasur, jadi jika dia mau berlama-lama di jalanan, silahkan lakukan itu sendiri. Tapi
kemudian Jonathan menahan tanganku, membuatku berbalik kearahnya yang terlihat berbeda dari
sebelumnya.

Wajah seriusnya terlihat bodoh tapi aku menahan diri untuk tidak tertawa.

“Ada pemabuk di sana, sst! Jangan menoleh.”

Perasaan takut mulai menjalar ketubuhku. Duh, aku benci pemabuk. Aku tidak jadi menoleh
kebelakang saat Jonathan mencengkram kedua tanganku erat. Bisa kulihat dia juga bingung harus
melakukan apa, duh, diantara semua orang kenapa aku harus terjebak bersama si payah ini.

“Oy! Siapa disana!?”

“Aku....eum... Manusia?”

Tada, kejutan! Aku baru tau kalau sahabatku ini manusia! Hore! ( Duh idiot sekali sih pakai dibalasi
segala). Meskipun punya keinginan kuat untuk menabok tempurung kepalanya, aku hanya berani
menahan nafas di depan Jonathan dan mencengkram almamaternya. Semakin kencang ketika aku
menyadari suara gesekan batu dan aspal semakin nyaring.

Gawat, pemabuknya datang!

“Jonathan! Berkelahi saja sana. Hajar dia.” Ucapku meyakinkan Jonathan yang masih terdiam, tak lama
matanya membesar,

“Enak saja. Kau pikir berkelahi itu tidak sakit apa?”

Oh, tuhan berguna sekali pria di depanku ini. Sangat berguna sampai mau menangis rasanya. Jika terus
begini bisa-bisa kami berdua bonyok oleh pemabuk itu. Terserah, dengan segenap tenaga, aku
memegang tangan Jonathan dan membawanya lari sekencang mungkin.

Menggenggam tanganmu dambil berlari. Seharusnya aku sadar, jika debaran jantung itu bukan hanya
aku yang merasakannya. Seharusnya aku mengerti jika ‘perasaan’ itu laksana hujan yang datang tanpa
maksud jahat. Keadaan dan waktulah yang membuat kita membenci kedatangannya.

Setelahnya semua berjalan baik-baik saja. Setidaknya itu menurutku karena aku masih bisa menyepak
kepalamu atau mencubit pinggangmu jika kau sudah mulai berlaku menyebalkan dengan sok
menasehatiku soal nilai ataupun ketika kau merebut kotak bekalku padahal milikmu belum tersentuh.

Kita masih berteman dengan nyaman, itu yang kulihat, dan bukankah itu juga yang kau rasakan?

Aku pikir aku melakukukan kesalahan besar ketika Jonathan tidak berbicara padaku seminggu penuh
menjelang hari kelulusan. Akupun melakukan yang sama karena kurasa tidak perlu untuk memaksa
dia yang terlihat sedang marah. Aku cukup mengatakan maaf dan memberinya waktu sendiri karena
selama ini kami menghiabiskan hampir setiap hari bersama-sama.

Kupikir kau hanya butuh waktu.

Namun kemudian Jonathan menarik tanganku untuk berbicara berdua dengannya, di ruang kesenian
yang kosong dan hanya berisikan dua sofa. Aku duduk di hadapannya, tidak ada rasa canggung
meskipun jujur saja waktu itu suasanya terasa sangat berbeda. Cukup berbeda untuk membuatku
menyimpulkan jika yang di depanku ini bukan Jonathan yang biasanya.

“Hey, sudah selesai marahanya?”

Tanyaku ketika Jonathan tak kunjung bicara. Dia terus menatapku dengan pandangan yang asing,
membuatku tiba-tiba merasa canggung berada di dekatnya. Untuk pertama kalinya. Jantungku
berdegub ketika mata kami bertemu pandang, dia mengeluarkan sebuah kekehan sumbang kemudian
berkata;

“Senna.”

Bahkan caranya memanggil namaku terasa sangat berbeda. “Jangan bertele-tele. Kenapa?”

Aku berusaha menjadi seperti kami yang biasa. Tapi kemudian Jonathan menarik sudut bibirnya,
membalas perkataanku dengan kalimat super serius yang membuat suasananya berat,

“Kau ini kejam sekali, ya?”

“Kenapa? Aku tidak mengerti apa yang kau maksud sekarang jadi tolong langsung saja.”

Seharusnya aku tidak mengatakan itu.

“Aku menyukaimu.”

Jonathan tidak membiarkan aku bencerna kalimatnya karena dia langsung melanjutkan, “Aku sangat
menyukaimu.”

“Bahkan dari kandungan aku sudah berada di sampingmu. Tidak ada hari tanpa melihatmu, Aku
bahkan sudah melihat semua keburukanmu. Tapi anehnya aku masih melihatmu sebagai wanita.”

“Di hari pertama masuk SMA, untuk pertama kalinya kau terlihat begitu cantik di mataku. Setelah itu,
aku berusahan menujukkan jika aku menginginkan kita menjadi lebih dari sekedar teman. Bahwa, aku
menyukaimu.”

“Tapi kau tetap tidak tau.... ya, aku mengerti, kita sudah terlalu banyak menghabiskan waktu menjadi
teman dan kau tidak mungkin menganggapku lebih dari itu selama aku tidak mengutarakan
keinginanku. Karena itu aku mencobanya. Apa kau tau seberapa gugupnya aku ketika berhenti di
bawah lampu itu, menyiapkan semua kata-kata yang kulatih hampir seminggu untuk menyatakan
perasaanku padamu.”
“Tapi nyatanya... momen yang kukira akan datang padaku sekali seumur hidup itu harus dihancurkan
oleh pemabuk sialan. Dan setelahnya, Aku bahkan tidak punya keberanian untuk mengungkit kejadian
itu lagi karena aku takut kau akan menjauh dariku.”

“Coba sekarang katakan... apa yang harus kulakukan?”

Aku juga tidak tau. Ini pertamakalinya dalam hidupku mendapatkan pengakuan dari teman yang
sudah bersamaku sejak kecil. Rasanya sangat... membingungkan. Semua hal tentang kami sudah benar
dalam porsi pertemanan. Jonathan adalah temanku, sahabat yang merangkak menjadi saudara laki-
lakiku dalam suatu waktu.

Ini terasa tidak benar.

“....Tidak bisakah kita kembali mejadi teman seperti dulu lagi? Seperti katamu, kita sudah bersama
sejak kecil. Aku memang tidak pintar, tapi aku tau kau adalah teman paling berharga yang pernah
kumiliki... jadi bisakah setidaknya kita mempertahankan pertemanan ini?”

Aku sudah cukup paham bagaimana cara cinta pertama bekerja dan bagaimana hal itu tidak bisa
bertahan selamanya. Aku tau keputusanku menghancurkan hatinya dan bagaimana aku terdengar
begitu egois sekarang, tapi aku tetap menginginkannya. Perteman kami yang berharga.

Namun sayangnya, Jonathan tidak berfikiran sama.

“Ketika seorang lelaki yang cintanya bertepuk sebelah tangan dengan bodohnya mengungkap semua
yang dia rasakan, Senna.... Itu artinya aku tidak akan melihatmu lagi.”

Aku tidak bisa menghentikan Jonathan yang mengambil langkah untuk pergi dariku. Aku hanya bisa
berdiam di tempat ini dengan hati bergemuruh mengumpati pemiliknya yang egois berkali-kali. Ini
menyakitkan untuk melihat seorang yang begitu kau perdulikan meninggalkanmu tanpa keraguan
bahkan sebelum dia pergi, Jonathan sempat terdiam disamping pintu. Menatapku dengan pandangan
dingin menusuk,

“Teman? Jangan membual. ”

_SELESAI_

Anda mungkin juga menyukai