Anda di halaman 1dari 4

Menuju senja adalah waktu paling pas untuk mengutarakan rasa.

Begitulah sekiranya bagi sepasang


remaja yang kini tengah duduk di bangku tepi danau. Semilir angin petang membuat helai demi helai
rambut sang gadis berterbangan. Cahaya siluet senja terpampang jelas di kedua mata mereka yang lurus
menatap ke depan.

"Aku boleh ngomong sesuatu, Senja?" Ucapnya sembari merubah posisi menjadi menghadap ke arah
gadis cantik yang tetap diam bagai batu.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut gadis itu, senja yang ia pandang seolah membuatnya
bungkam. Laki-laki itu menghela nafas panjang, membiarkan irama daun yang tertiup angin sebagai
jawaban.

"Silahkan saja berbicara dengan senja yang kau pandang, Fajar. Senja yang telah kamu kecewakan tidak
sudi bicara dengan pengkhianat sepertimu" tegas gadis itu dengan penuh penekanan. Wajahnya
memerah, air mata sudah berkumpul di kelopaknya seolah siap jatuh kapan saja.

"Aku ngajak kamu kesini ingin menjelaskan hal itu, Senja. Tapi sedari tadi kamu hanya diam membisu
bagai batu"

"KALAU AKU BATU MEMANGNYA KENAPA?"

"CUT"

Seorang sutrada keluar dari balik kameranya, ia menyalami Aira dan Galih bergantian, memberi ucapan
selamat atas akting yang baru saja mereka lakukan.

"Bravo! kalian memang aktris muda berbakat. Saya tunggu di jam yang sama besok.... Dan Galih! Jangan
sampai telat" Pa Sutradara itu mengingatkan, karena belakangan ini Galih selalu saja telat dengan
berbagai alasan. Galih hanya tersenyum kikuk, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sutradara itu, Pa Gino namanya. Ia pekerja keras, tegas dan sangat ambisius. Terbukti akan keinginannya
untuk membuat salah satu film romantis yang diharapkan tayang ketika valentine satu bulan lagi. Alhasil,
para pemain yang jadi korbannya, mereka harus kerja rodi berangkat ketika orang-orang masih terlelap
dan pulang ketika petang menjelang.

Lelah, semua pemain dan kru merasakan hal yang sama. Begitupun bagi seorang Aira. Setelah
berbincang sepatah dua patah kata dengan sutradara, penulis dan pemain lain ia langsung bergegas
menghampiri bundanya yang sudah menunggu lama di samping mobil dengan tangan yang terlipat di
dada.

"Mau langsung pulang atau ke mall dulu, sayang?" Tanya Maya-Bunda Aira, ketika Aira masuk kedalam
mobil.

"Langsung pulang aja, bun"


Maya mengangguk singkat, ia pun turut masuk kedalam mobil diikuti oleh asisten Aira dan manajernya.
Mobil Aira melesat membelah jalanan, dikawal oleh dua expander putih yang didalamnya ada
bodyguard-bodyguard yang sengaja disewa demi keselamatan Aira.

Obrolan Galih dengan Pa Gino membuatnya lupa akan kepergian Aira entah sedari kapan. Ia kebingungan
sendiri menatap sekitar area shooting yang hanya menyisakan para kru yang sedang membereskan
kamera. Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung menancap gas mobilnya meninggalkan manajer dan
asistennya yang meneriaki dirinya untuk menghentikan mobil, namun Galih semakin melajukan mobil
sportnya dijalankan, berbaur dengan pengendara lain yang memiliki tujuan masing-masing.

"Bos kamu tuh!" Bimo, asisten Galih berucap sebal

"Bos kita" ralat Hilman yang membuat keduanya kebingungan mencari kendaraan pulang.

Dibalik jendela mobil yang sedang melaju, Aira menempelkan pipinya disana. Hangat, itulah yang Aira
rasakan akibat cahaya senja yang menyapa jendela mobilnya. Ditatapnya jalanan yang cukup ramai, ia
sedikit bernafas lega karena bisa pulang se-sore ini setelah sebelumnya selalu pulang hampir larut
malam.

Mata bulatnya yang indah itu tiba-tiba terpaku, ketika menangkap bayangan sepasang remaja yang
berboncengan diatasnya motor memakai seragam SMA. Senyum Aira tiba-tiba merekah, membayangkan
bahwa dirinyalah yang berada di belakang motor itu, tak peduli siapapun yang mengendarainya, Aira
ingin merasakan hal itu.

Betapa menyenangkannya menikmati senja diatas motor dengan sorotan senja yang menghangatkan itu.
Kebahagiaan kecil yang tidak pernah Aira rasakan. Walaupun ia banyak beradegan romantis dengan
Galih-lelaki tampan, kaya, aktris dan idaman para wanita, namun rasanya berbeda. Aira ingin
kebahagiaan yang nyata, bukan sebuah drama.

"Jangan berharap seperti mereka, Aira. Kamu ini berbeda"

Lagi-lagi Maya mematahkan impian kebebasan seorang Aira. Wajah yang semula senyum
merekah,berubah seketika menjadi kusut berantakan. Terkadang, sebuah ungkapan kecil bisa
menghancurkan mimpi yang besar.

Mobil yang ditumpangi Aira tiba-tiba berhenti mendadak, seluruh mata tertuju pada sang sopir yang
terlihat tegang. Seolah siap menerkam, Maya menatap Pa Jordi hingga Pa Jordi gelagapan.

Belum juga Pa Jordi berucap tergagap, sebuah suara ketukan di jendela mobil kembali menarik perhatian
mereka. Jendela mobil diturunkan, wajah tampan Galih terpampang jelas di hadapan Aira yang duduk di
samping sopir.

"Maaf Tante, Galih mau ngajak Aira jalan-jalan. Boleh?" Ucapnya tanpa keraguan sedikitpun
"Gak perlu minta izin bunda, ayo pergi"

Empat pasang mata yang berada di dalam mobil tidak berkedip sedikitpun menatap punggung Aira yang
menghilang ketika masuk kedalam mobil Galih. Apa yang mereka lihat sekarang, seolah ilusi semata.
Karena baru kali ini, Aira bersedia pergi dengan Galih tanpa harus dipaksa oleh pihak manapun. Sungguh
luar biasa

"Dia beneran Aira Sastrafani Malik Sang Beruang Kutub,bukan?" Tanya Yudi-asisten Aira

"Kamu kasih makan Mba Aira apa yud? Kok jadi berubah drastis gitu?"

Disaat kedua orang itu masih bertanya-tanya topik yang sama. Maya tersenyum penuh bangga,
bersatunya Aira dan Galih adalah suatu hal yang ia tunggu.

Jika bukan karena ingin menghindari Maya, Aira tidak mungkin duduk disamping Galih yang terus
menatap kearahnya. Risih, itulah yang Aira rasakan. Sedari tadi, Galih terus mengajaknya bicara namun
Aira hanya menjawab dengan anggukan, gelengan, deheman dan sesekali diam tidak menjawab. Bukan
main sikap dingin Aira ini.

"Kita mau kemana?" Akhirnya pertanyaan itu muncul dari bibir ranum Aira yang menyadari jalan yang
dilalui mereka sangat asing bagi Aira

Pepohonan Pinus berdiri kokoh disamping jalan, membuat sebuah koreo yang sangat indah dipandang.
Suara binatang malam mulai terdengar padahal baru jam 18.07 WIB. Aroma udara disini sedikit terjaga
dengan hadirnya pepohonan jika dibandingkan dengan pusatnya kota Jakarta yang dipenuhi bangunan
bangunan pencakar langit.

"Kemanapun kita pergi, kamu pasti suka tempat itu"

🦄🦄🦄🦄🦄🦄

Acara camping bulanan yang sudah diadakan sejak tahun kemarin membuat pikiran anak-anak panti
tenang sejenak. Di alam terbuka ini, mereka saling berbaur tak hanya dengan sesamanya namun juga
dengan alam yang senantiasa memberikan segalanya.

Hari beranjak malam, Ka Arkha selaku penanggungjawab acara ini mengajak anak-anak pergi mencari
kayu bakar untuk persiapan nanti malam. Walaupun hanya seorang diri, Arkha bisa mengurus sepuluh
anak yang berlarian kesana-kemari berlomba mengumpulkan kayu bakar sebanyak mungkin.

Laki-laki yang memiliki sikap kedewasaan yang tinggi itu bersandar disalah satu pohon Pinus, sembari
mengawasi anak-anak. Pemandangan ini benar-benar membuat hatinya tenang dan bahagia. Ia tidak
ingin anak-anak panti merasakan terasingkan di dunia luas ini, ia ingin mereka melupakan statusnya dan
menjadikan anak-anak yang lain sebagai keluarga. Itulah yang ia lakukan juga untuk dirinya sendiri.

"Kak Arkhaaa!!!"
Arkha tersentak, ia melamun tanpa sadar. Matanya kini mencari-cari sumber suara yang memanggil
namanya, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Seorang gadis kecil berumur 7 tahun, Viona
namanya, berdiri dengan wajah yang merah menahan tangisnya.

Arkha melangkah mendekat, berjongkok dihadapan gadis itu agar mereka sejajar. Belum juga ditanya,
gadis itu kini menangis sejadi-jadinya dipelukan Arkha. Isakan demi isakan menjadi gaung memecahkan
keheningan hutan. Mata elang Arkham menatap anak-anak lain yang sama-sama kebingungan, mereka
menggelengkan kepala seolah berkata 'tidak tahu'

"Kamu kenapa?"

"Tadi viona denger suara cewek nangis kak. Vio-na ta-kut..."

Anak-anak panti yang awalnya berada di hadapan Arkham buru-buru pindah ke balik punggung Arkha.
Padahal tanpa mereka sadari, Arkha yang notabe sebagai penanggung jawabnya, mati-matian
menyamarkan kakinya yang gemetar setelah mendengar ucapan Viona.

"Kak Arkha.. kami takut" rengek anak-anak panti yang matanya terus awas kesana-kemari

"Yaudah kalian kembali aja ke tenda. Kakak mau lanjutin cari kayu bakar. Tapi ingat! Sesampainya disana
kalian harus tetap di dalam tenda, gak boleh ada yang keluar sampe kakak datang. Oke?"

Mereka serempak mengangguk, walaupun masih dengan perasaan takut

"Bian, kamu yang pimpin" titah Arkha yang tidak mendapat penolakan sedikitpun dari mereka

Bayangan anak-anak menghilang di jejeran pepohonan. Arkha menarik nafas panjang, ia kini sendirian. Ia
merogoh sakunya mengambil handphone, menjadikannya sebagai teman dalam perjalanan
mengumpulkan kayu bakar. Sebenarnya ketakutan Arkha rasakan, namun jika ia kembali ke tenda
persediaan kayu bakar untuk malam tidak akan cukup. Dan ia memutuskan untuk berkeliling di tengah
hutan, menerobos segala ketakutan.

Anda mungkin juga menyukai