Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

Pasien mengeluh sesak napas yang dirasakan namun tidak seberat sebelumnya.
Pasien mengaku tidur menggunakan 2 bantal, sulit tidur dan sering terbangun malam
hari karena merasa sesak napas dan berkeringat dingin banyak. Keluhan utama yang
dirasakan oleh pasien adalah sesak nafas. Sesak nafas secara umum dapat disebabkan
oleh jantung ataupun paru. Pada pasien gagal jantung, terdapat gejala tipikal dan
kurang tipikal serta tanda spesifik dan kurang spesifik yang dapat digunakan untuk
menentukan penyebab keluhan pasien.(Tabel 1).
Gejala Tanda
Tipikal Lebih Spesifik
- Sesak napas - Peningkatan tekanan vena jugular
- Ortopneu - Reflex hepatojugular
- Paroxysmal nocturnal - Bunyi jantung ketiga (gallop)
dyspnea(sesak malam hari) - Laterally displaced apical impulse
- Penurunan toleransi latihan
- Mudah lelah, capek,
meningkatnya waktu yang
dibutuhkan untuk pulih setelah
latihan
- Pembengkakan pergelangan kaki
Atipikal Kurang Spesifik
- Batuk malam hari - Peningkatan berat badan
- Wheezing (mengi) (>2kg/minggu)
- Perasaan kembung - Penurunan berat badan (pada
- Kehilangan nafsu makan gagal jantung parah)
- Kebingungan (pada pasien usia - Tissue wasting (Cachexia)
tua) - Murmur jantung
- Depresi - Edema perifer (pergelangan kaki,
- Palpitasi selangkangan, dan skrotum)
- Pusing - Krepitasi pulmoner
- Sinkop - Penurunan udara masuk dan
- Bendopnea (sesak napas saat perkusi redup pada basal paru
membungkuk) (efusi pleura)
- Takikardi
- Denyut irregular
- Takipnu
- Pernapasan Cheyne Stokes
- Hepatomegali
- Asites
- Akral dingin
- Oliguria
- Tekanan pulsasi sempit
Tabel 1. Gejala dan tanda gagal jantung1

Pada pasien ditemukan beberapa gejala spesifik seperti sesak napas, ortopnea,
sesak pada malam hari, sesak napas dirasakan saat beraktivitas dan berkurang saat
istirahat, serta keluhan bengkak pada ekstrimitas bawah.Pada pasien tersebut dapat
dicurigai keluhan yang timbul disebabkan oleh gagal jantung. Sesak nafas dapat
disebabkan oleh gangguan ventilasi, distribusi dan perfusi. Pada gagal jantung
kemungkinan terjadi gangguan distribusi oksigen yang menyebabkan oksigen tidak
bisa diterima oleh sel sehingga sel-sel tubuh kekurangan oksigen. Keadaan hipoksia
sel tubuh memberikan respon berupa hiperventilasi pada pasien sehingga tubuh akan
mempercepat nafas untuk meningkatkan ambilan oksigen diluar tubuh sebagai usaha
untuk mengkompensasi hipoksia sel-sel tubuh.1
Keluhan orthopneu atau sesak yang timbul saat berbaring disebabkan oleh
pengaruh gaya gravitasi sehingga terdapat peningkatan volume darah intrathorakal
yang akan meningkatkan tekanan vena dan kapiler pulmonalis sehingga volume
penutupan pulmonalis (pulmonary closing volume) akan meningkat dan hasilnya
menurunkan kapasitas vital paru. Faktor lain adalah elevasi diafragma yang membuat
end-expiratory lung volume menjadi lebih rendah. Kombinasi kedua faktor tersebut
menngakibatkan gangguan pada sistem ventilasi yaitu pertukaran gas oksigen dan
karbondioksida antara alveoli dan kapiler.2
Bengkak ekstremitas bawah pasien dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan
osmotik pembuluh darah, penurunan tekanan onkotik plasma dan membran dinding
pembuluh darah. Pada pasien dengan kedaan gagal jantung terdapat bendungan di
pembuluh darah akibat kegagalan jantung untuk mendristibusikan darah keseluruh
tubuh. Sehingga bendungan pada pembuluh darah tersebut akan meningkatkan tekanan
osmotik pembuluh darah sehingga carian akan mengalir dari daerah bertekanan tinggi
ke tekanan yang rendah. Sehingga terjadi ekstravasasi cairan dari intravena ke jaringan
interstisial sekitar. Ditambah dengan pengaruh gravitasi dimana sesuai prinsip cairan
yang akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, sehingga cairan
akan menumpuk di daerah distal tubuh seperti kaki dan tangan.2
Pada setiap orang penyebab dari gagal jantung yang dideritanya dapat bervariasi.
Pada pasien tersebut penyebab dari gagal jantung yang dideritanya dapat disebabkan
oleh hipertensi dan diabetes mellitus. Hipertensi yang menahun dapat menyebabkan
kegagalan jantung. Hipertensi akan menyebabkan kerja jantung semakin berat untuk
memompa darah keseluruh tubuh. Hipertensi akan menyebabkan peningkatan
afterload dan akhirnya terjadi hipertrofi ventrikel kiri sebagai mekanisme kompensasi
agar mempertahankan cardiac output untuk menyalurkan darah keseluruh tubuh.
Lama kelamaan akan terjadi disfungsi sistolik ventrikel kiri sehingga mengaktivasi
sistem neurohormonal dan renin angiostensin yang akan memicu retensi garam dan air
serta meningkatkan vasokonstriksi perifer sehingga memperparah keadaan.2
Pada pemeriksaan fisik pasien tersebut didapatkan peningkatan JVP, rhonki pada
paru dan edema pada kedua ekstremitas bawah. Tanda spesifik gagal jantung yang
ditemukan berupa peningkatan JVP, sedangkan tanda non spesifik berupa edema
perifer (Tabel 1). Sehingga hasil pemeriksaan fisik mempertegas bahwa pasien ini
mengalami gagal jantung. Setelah diketahui bahwa pasien ini mengalami
gagal jantung, dapat diperiksa lagi untuk mencurigai telah terjadi gagal jantung
kongestif pada pasien tersebut.2,7

Kriteria Mayor
- Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
- Distensi vena leher
- Ronkiparu
- Kardiomegali
- Edema paruakut
- Gallop S3
- Peninggian tekanan vena jugularis ≥ 8 cm
H2O
- Reflukshepatojuguler
- Edema pulmonal, kongestiviseral, atau
kardiomegali
Kriteria Minor
- Edema ekstremitas
- Batukmalamhari
- Dyspnea d’effort
- Hepatomegali
- Efusi pleura
- Penurunankapasitas vital 1/3 dari normal
- Takikardia (>120/ menit)

Tabel 2. Kriteria Framingham7

Pada pasien ini ditemukan Paroxsmal Nocturnal Dyspnea (PND), rhonki pada
paru, kardiomegali, dan peningkatan JVP. Keluhan dan temuan diatas masuk dalam
kriteria mayor Framingham. Sedangkan keluhan pasien berupa bengkak di ekstremitas,
batuk malam, dan dyspneu on effort masuk kedalam kriteria minor Framingham (Tabel
2). Seseorang dapat dikatakan gagal jantung kongestif apabila
memenuhi syarat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Pada
pasien ini terdapat 4 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Sehingga mencukupi dalam
kriteria Framingham untuk disebut gagal jantung kongestif.1

Bagan 1. Algoritma diagnostik gagal jantung1


Pada pasien dengan kecurigaan gagal jantung dilakukan pemeriksaan
echocardiography untuk menentukan apakah terjadi gagal jantung dan klasifikasinya
berdasarkan fraksi ejeksi (Bagan 1). Begitupula pada pasien ini telah dilakukan
echocardiographyuntuk menilai berat gagal jantungnya berdasarkan klasifikasi fraksi
ejeksi. Pada pasien didapatkan didapatkan EF 20%(Tabel 3).1

Tipe HF HFrEF HFmrEF HFpEF


1 Tanda ± gejala Tanda ± gejala Tanda ± gejala
2 LVEF <40% LVEF 40-49% LVEF ≥50%
3 1. Peningkatan kadar 1. Peningkatan kadar
peptida natriuretik peptida natriuretik
2. Satu diantara 2. Satu diantara kriteria
kriteria : :
Kriteria

a. Penyakit a. Penyakit jantung


jantung struktural yang
struktural relevan (LVH
yang relevan dan/atau LAE)
(LVH b. Disfungsi
dan/atau LAE) diastolik
b. Disfungsi
diastolik
Tabel 3. Tipe gagal jantung1

Selain itu, pada echocardiographyditemukan probability hipertensi


pulmonal. Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai tekanan arteri pulmonal
(pulmonary artery pressure / PAP) rata-rata ≥ 25 mmHg. Berdasarkan tekanan
pengisian ventrikel kiri [ditentukanbaik sebagai LV end-diastolic pressure /
LVEDP), left atrial pressure (LAP), atau pulmonary arterial wedge pressure
(PAWP)], definisi hemodinamik secara lebih jauh dibedakan menjadi pre-
(≤15mmHg) dan post-kapiler (>15 mmHg). Keberadaan dan luas HP dan disfungsi
ventrikel kanan – dimana keduanya seringkali\ditemukan pada gagal
jantung kiri – berhubungan dengan progresivitas penyakit, penurunan
toleransiaktivitas, dan suatu outcome yang kurang baik. Data mengenai prevalensi
HP pada pasien gagaljantung masih sangat bervariasi dan sangat bergantung pada
hasil pengukuran PAP, definisi HP danpopulasi yang dinilai. Walaupun baik HF
with reduced ejection fraction (HF-rEF) maupun HF withpreserved ejection
fraction (HF-pEF) sama-sama menunjukkan gejala klinis gagal jantung,
namunmasing-masing memiliki muatan yang berbeda dalam hal patofisiologi,
karakteristik klinis,hemodinamik, interaksi kardiopulmoner, dan respon terapi,
sehingga perlu dilihat dalam sudut pandang yang berbeda.
Setelah mengetahui bahwa pasien ini mengalami gagal jantung kongestif, perlu
dilakukan pengelompokan lebih lanjut untuk menilai derajat keparahan gagal jantung
kongestif nya. Penilaian tersebut dapat dilakukan berdasarkan bentuk struktural
jantung atau kapasitas fungsional jantung.8
Klasifikasi Berdasarkan Klasifikasi Berdasarkan
Kelainan Struktural Jantung Kapasitas Fungsional (NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki resiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal jantung. melakukan aktivitas fisik. Aktivitas
Tidak terdapat gangguan structural atau fisik sehari-hari tidak menimbulkan
fungsional jantung, tidak terdapat kelelahan, palpitasi, atau sesak napas
tanda atau gejala
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur Terdapat batasan aktivitas ringan.
jantung yang berhubungan dengan Tidak terdaoat keluhan saat istirahat,
perkembangan gagal jantung, tidak namun aktivitas fisik sehari-hari
terdapat tanda atau gejala menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak napas
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simptomatik Terdapat batasan aktivitas bermakna.
berhubungan dengan penyakit Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
structural jantung yang mendasari tetapi aktivitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi,
atau sesak
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung structural lanjur serta Tidak dapat melakukan aktivitas fisik
gejala gagal jantung yang sangat tanpa keluhan, terdapat gejala saat
bermakna saat istirahat walaupun istirahat. Keluhan meningkat saat
sudah mendapat terapi medis melakukan aktivitas.
maksimal (refrakter)

Tabel 4. Klasifikasi gagal jantung8

Pada pasien ini dengan penilaian terhadap kapasitas fungsionalnya yang


berdasarkan klasifikasi dari New York Heart Association (NYHA) dikelompok kan
menjadi kelas II-III. Karena pasien merasa sesak terus menerus dan berkurang saat
beristirahat.
Pasien merupakan penderita TBC yang putus obat , memiliki riwayat pernah
dilakukan pungsi pleura dengan hasil tes rivalta (+), keluhan batuk lama dirasakan
lebih dari 1 bulan dan hilang timbul, sehingga pasien di konsulkan ke bagian paru.
Pasien kemudian dilakukan pemeriksaaan foto thoraks yang didaptkan kesan
kardiomegali dan efusi pleura kanan.
Pada pasien ini mendapatkan terapi non farmakologis berupa posisi istirahat
semi fowler (Gambar 2). Posisi ini memungkin pasien untuk beristirahat dengan
nyaman. Posisi semi fowler akan menyebabkan beban jantung sedikit berkurang akibat
gaya gravitasi yang ada. Posisi ini diberikan untuk mengatasi keluhan orthopneu pada
pasien akibat peningkatan volume darah intrathorakal. Dengan posisi ini volume darah
intrathorakal akan terbantu terdistribusi ke bagian tubuh yang lain.3
Gambar 2. Posisi semi Fowler

Pasien mendapatkan terapi farmakologi berupa oksigen 3 liter per menit


menggunakan nasal kanul. Pemberian oksigen dilakukan untuk meningkatkan saturasi
oksigen di tubuh pasien. Saturasi oksigen tubuh yang rendah dapat menyebabkan
keadaan asidosis akibat proses anaerob yang dilakukan sel-sel tubuh yang
menghasilkan energi dan asam laktat. Untuk mencegah hal tersebut tubuh sebenarnya
melakukan mekanisme kompensasi dengan cara hiperventilasi agar oksigen masuk
kedalam tubuh.
Pemberian diuretik direkomendasikan untuk mengurangi tanda-tanda dan gejala-
gejala pada pasien dengan simptomatik kongesti. Mekanisme kerja diuretik adalah
dengan mengeliminasi natrium dan air melalui ginjal, diuretik mengurangi volume
intravaskuler dan juga aliran balik vena ke jantung. Sebagai hasilnya, preload ventrikel
kiri berkurang, dan tekanan diastolik juga menurun hingga dibawah rentang yang dapat
menyebabkan kongesti pulmonal tanpa membuat stroke volume turun secara
signifikan (gambar 15b). Namun, apabila dosis diuretik terlalu berlebihan, maka dapat
menyebabkan penurunan curah jantung yang tidak diinginkan (gambar 15b’). [2]
Pemberian obat golongan beta blocker (carvedilol, bisoprolol, dan metoprolol)
telah terbukti dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan gagal
jantung, penurunan fraksi ejeksi serta diabetes. Carvedilol dibandingkan dengan beta
blocker lainnya memiliki control glikemik yang lebih spesifik, sehingga carvedilol
menjadi pilihan pertama beberapa klinisi dalam mengobati pasien gagal jantung
dengan diabetes.9,10
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi
dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka
perawatan rumah sakit\ karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan
sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi
angka kematian karena penyebab kardiovaskular. Indikasi pemberian ARB yaitu
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan
gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI,
ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk.
Pada pasien ini, didapatkan obat-obatan berupa furosemide 2x40 mg
(diuretik), ramipril 1x1,25 mg (ACE-Inhibitor), bisoprolol 1x1,25 mg (beta-bloker),
dan spironolactone 1x25mg (MR-antagonis) untuk terapi gagal jantungnya. Hal ini
sesuai dengan guideline Heart Failure yang diterbitkan ESC, dimana untuk ejeksi
fraksi <40% harus mendapatkan beta-bloker + ACE-I, dan jika LVEF≤35% disertai
gejala, maka ditambahkan terapi berupa MR-antagonis. Pada pasien ini, keesokan
harinya juga ditambahkan terapi berupa Ivabradine, karena memenuhi syarat yakni
LVEF≤35%, ritme sinus dan HR<70x/menit.[1]
Karena sebelumnya pasien memiliki riwayat penyakit arteri koroner, terapi berupa
antiplatelet dan statin juga diberikan kepada pasien sebagai pencegahan munculnya
serangan berulang.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, disimpulkan pasien didiagnosis dengan diagnosis klinis CHF Stage C
Functional Class III Kilip III, diagnosis etiologis pulmonary hypertension, ddiabetes
melitus II, + HT dan diagnosis anatomis kardiomegali.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al.
2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure: The Task Force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure of the European Society of Cardiology (ESC) Developed with the special
contribution of the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur Heart J. 2016
Jul 14;37(27):2129–200.
2. Kemp CD, Conte JV. The pathophysiology of heart failure. Cardiovasc Pathol.
2013 Sep;21(5):365–71.
3. Stratton IM, Adler AI, Neil HA, et al. Association of glycaemia with
macrovascular and microvascular complications of type 2 diabetes (UKPDS
35): prospective observational study. BMJ 2000;321:405–12. DOI:
http://dx.doi.org/10.1136/ bmj.321.7258.405
4. Metra M, Zacà V, Parati G, et al. Cardiovascular and noncardiovascular
comorbidities in patients with chronic heart failure. J Cardiovasc Med
(Hagerstown) 2011;12:76–84. DOI:10.2459/JCM.0b013e32834058d1; PMID:
20962666
5. Nagoshi T, Yoshimura M, Rosano GM, et al. Optimization of cardiac
metabolism in heart failure. Curr Pharm Des 2011;17(35):3846–53. PMID:
21933140; PMCID:PMC3271354
6. Rosano GM, Fini M, Caminiti G, Barbaro G. Cardiac metabolism in myocardial
ischemia. Curr Pharm Des 2008;14:2551–62. PMID: 18991672
7. Kabo, Peter. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat KardiovaskularSecara
Rasional. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2013.
8. Siswanto B, Hersunarti N, Erwinanto, Barack R, Pratikto R, Nauli S, et al.
Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. 1st ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2015.
9. Haas SJ, Vos T, Gilbert RE, et al. Are beta-blockers as efficacious in patients
with diabetesmellitusasinpatientswithoutdiabetesmellituswhohavechronicheart
failure?Ameta-analysisof large-scaleclinicaltrials.AmHeartJ2003;146:848– 53.
10. Bell DS, Lukas MA, Holdbrook FK, et al. The effect of carvedilol on mortality
risk inheartfailurepatientswithdiabetes:Resultsof ameta- analysis.CurrMedRes
Opin 2006;22:287–96
11. Zinman B et al. Empagliflozon, Cardiovascular outcomes in type 2 diabetes.
NEJM 2015;373:2117-28 4.
12. Margulies KB et al. Effects of Liraglutide on Clinical Stability Among Patients
With Advanced Heart Failure and Reduced Ejection Fraction: A Randomized
Clinical Trial. JAMA, 2016 Aug 2; Vol. 316 (5), pp. 500-8 5.
13. Marso SP et al. Semaglutide and cardiovascular outcomes in patients with type
2 diabetes. NEJM 2016;375:1834-44

Anda mungkin juga menyukai