Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Rinosinusitis merupakan inflamasi sinus paranasal dan sering menjadi komplikasi yang
menyertai selesma dan rinitis alergi yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus, bakteri,
jamur, infeksi gigi, ataupun akibat fraktur dan tumor. Rinosinusitis akut merupakan penyakit
infeksi yang sering terjadi pada anak. Penyebab rinosinusitis akut adalah multifaktorial, yang
bila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi berbahaya seperti infeksi orbita
atau intrakranial. Apabila rinosinusitis ini berlanjut dengan jangka waktu gejala ≥12 minggu
ditandai oleh dua atau lebih gejala yang salah satunya berupa hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti atau sekret nasal (anterior, posterior nasal drip) maka disebut
sebagai rinosinusitis kronik.1,2,3

Penyakit ini dapat mengenai semua kelompok umur baik anak maupun dewasa. Rata-
rata anak mengalami 6-8 episode infeksi saluran nafas atas per tahun dan diperkirakan 5-10%
infeksi saluran nafas atas akan menimbulkan rinosinusitis. Selesma (inflamasi infeksi virus)
dan rinitis alergi merupakan faktor predisposisi utama terjadinya rinosinusitis pada berbagai
rentang usia. Faktor resiko lain yang dapat menimbulkan rinosinusitis adalah fibrosi kistik,
imunodefisiensi, infeksi HIV, intubasi nasogastrik, sindrom silia immotil, polip nasi, dan benda
asing.2,3,4
Manifestasi klinik yang paling sering terjadi adalah rinorea unilateral atau bilateral yang
persisten dan mukupurolen,hidung tersumbat, dan batuk dapat terjadi pada siang atau malam
hari. Gejala yang lebih jarang terjadi adalah suara sengau, halitosis, pembengkakan pada wajah,
nyeri pada wajah, serta nyeri kepala. Rinosinusitis baik karena faktor infeksi maupun alergi
dapat pula menimbulkan eksaserbasi asma.1

Pemberian amoksisilin hingga 7 hari setelah resolusi gejala merupakan terapi yang
direkomendasikan untuk rinosinusitis yang tidak ada komplikasi. Lebih dari setengah anak
pasien rinosinusitis bakterialis akut dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pemberian terapi
antimikrobial. Demam dan sekresi hidung akan membaik secara dramatis dalam waktu 48 jam
dari masa inisiasi pemberian obat. Apabila gejala timbul secara persisten, maka harus
dipikirkan kemungkinan etiologi lainnnya. Langkah pencegahan terbaik adalah dengan
mencuci tangan dengan baik untuk meminimalisasi penyebaran selesma dan tatalaksana rinitis
alergi dengan baik.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI HIDUNG


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung, batang
hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares
anterior).5
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os
maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago
nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor), dan
tepi kartilago septum.6

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang
masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.6
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebtu vibrise. Tiap kavum nasi memiliki
empat buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior.6
Pada dinding lateral terdapat tiga buah konka, yaitu konka superior, konka media, dan
konka inferior. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidnung terdapat rongga sempit yang
disebut meatur. Terdapat tiga meatus, yaitu meatus inferior, media, dan superior. Meatus
inferior terletak di antara konka inferior dan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak
di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara
sinus frontalis, sinus maksilaris, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.6

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os
maksila, dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis), dan kolumela.6
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian
tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.6
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dengan rongga hidung.6
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapatkan persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus
oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus
maksila melaui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan autonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut saraf sensorius dari nervus maksila, serabut parasimpatis dari nervus petrosus
superfisial mayor dan serabut saraf simpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.6
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.6
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna.6
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media.6
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian
depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid
anterior, arteri labialis superior, dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach
(Little’s area).6
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup.6

2.2. FISIOLOGI HIDUNG


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung
adalah:5,6
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara
memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan
aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan
pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat
berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung
kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
 Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
 Silia
 Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini
akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
 Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan
kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.
2.3 RHINOSINUSITIS

2.3.1. Anatomi
Secara anatomi ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-
masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus
sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan
lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium
masing-masing.3
Sinus maksila disebut juga antrum highmore merupakan sinus paranasal yang terbesar.
Saat lahir sinus maksilla bervolume 6-8 ml, kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal 15 ml saat dewasa.
Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah lateral
rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah
prosesus alveolaris dan palatum. Ostium os maksila berada disebelah superior dinding
medialsinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melaui infundibulum etmoid. Ostium sinus
maksila lebih tinggi dari dasar sinus sehingga drainase hanya tergantung pada gerak silia dan
harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi
drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.3
Sinus etmoid merupakan sinus paranasal yang paling sering bervariasi, bentuknya
menyerupai sarang tawon dan terdiri dari 7-15 rongga yang dibatasi oleh dinding yang sangat
tipis. Dibagi menjadi 2 kelompok yaitu sinus etmoid anterior dan sinus etmoid posterior. Sinus
etmoid anterior ostiumnya bermuara pada meatus nasi media, sedangkan sinus etmoid posterior
bermuara pada meatus nasi superior. Batas atas terdapat fossa crania anterior dipisahkan oleh
tulang tipis (lamina kribrosa), batas lateral terdapat lamina papiracea yang memisahkan sinus
etmoid dengan orbita.3
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid dibelakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid di bagi dua sekat yang disebut septum intersfenoid. Batas-batasnya adalah superior
terdapat fossa serebri media dan kelenjar hipofise, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah
lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan sebelah posteriornya
berbatasan dengan fossa serebri posterior di daerah pons.3
Sinus frontal dibentuk dari sel-sel resessus frontal atau sel-sel infundibulum etmoid.
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi dan seringkali juga sangat berbeda bentuk
dan ukuran dari sinus pasangannya, kadang juga ada sinus yang rudimenter. Sinus ini
berhubungan dengan meatus nasi medius melalui duktus nasofrontal. Dinding belakan sinus
frontal berbatasan dengan fossa kranii anterior sedangkan dasarnya dengan orbita.3
Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan unit fungsional yang merupakan tempat
ventilasi dan drainase sinus-sinus yang letaknya anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior
dan frontal. KOM dibentuk oleh processus uncinatus, infundibulum etmoid, agger nasi, dan
resessus frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.3

Gambar. Sinus paranasalis tampak coronal (sobotta, 2007)


Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber
lendir yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung.3

2.3.2. Sistem Transport Mukosiliar3


Sistem transport mukosiliar merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap
virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Di dalam sinus,
silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti
jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport
mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di
infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang
berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resessus sfenoetmoidalis dialirkan ke
nasofaring di posterosuperior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapatnya post nasal
drips tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung. Gerakan sistem transpor mukosiliar pada
sinus frontal dan sinus sfenoid mengikuti gerakan spiral, sedangkan gerakan pada sinus etmoid
gerakan rektolinier jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostiumnya
terdapat pada salah satu dindingnya.
Transport mukosiliar yang bergerak aktif sangat penting untuk kesehatan tubuh, jika
mengalami penghambatan, maka materi yang yang terperangkap oleh palut lendir akan dapat
menembus mukosa dan dapat menimbulkan penyakit. Kecepatan dari pada transport
mukosiliar sangatlah bervariasi, pada orang sehat antara 1 sampai 20 mm/menit.
2.3.3 Definisi
Pada tahun 1996, American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery
mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis dengan rinosinusitis. Istilah rinosinusitis
dianggap lebih tepat karena menggambarkan proses penyakit dengan lebih akurat. Beberapa
alasan lain yang mendasari perubahan "sinusitis" menjadi "rinosinusitis" adalah 1) membran
mukosa hidung dan sinus secara embriologis berhubungan satu sama lain (contiguous), 2)
sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis,
3) gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis
maupun rinitis, dan 4) foto CT scan dari penderita common cold menunjukkan inflamasi
mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal secara simultan. Beberapa fakta diatas
menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis. Hal ini mendukung konsep
"one airway disease", yaitu penyakit di salah satu bagian saluran napas akan cenderung
berkembang ke bagian yang lain. Inflamasi di mukosa hidung akan di ikuti inflamasi mukosa
sinus paranasal dengan atau tanpa disertai cairan sinus. Keadaan ini menunjukkan rinosinusitis
sebenarnya merupakan kondisi atau manifestasi dari suatu respon inflamasi mukosa sinus
paranasal.7

Rinosinusitis merupakan inflamasi sinus paranasal dan sering menjadi komplikasi yang
menyertai selesma dan rinitis alergi yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus, bakteri,
jamur, infeksi gigi, ataupun akibat fraktur dan tumor.1,2 Rinosinusitis menurut kriteria EPOS
(European Position Paper on Rinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung
dan sinus paranasal yang ditandai adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior), dengan atau tanpa
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, dengan atau tanpa penurunan/hilangnya penghidu, dan
salah satu temuan dari temuan nasoendoskopi (polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus
medius dan udem/obstruksi mukosa di meatus medius) dan gambaran tomografi komputer
(perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus).3 Sinus maksillaris dan
ethimoidalis adalah sinus yang paling sering terinfeksi. Sinus maksillaris mengalami
penumatisasi pada usia 4 tahun. Sinus sfenoid terbentuk usia 5 tahun Sinus frontalis mulai
terbentuk pada usia 7-8 tahun dan belum juga sempurna hingga remaja. Sinusitis frontalis
jarang terjadi sebelum umur 10 tahun.1,11

Rinosinusitis pediatrik mirip dengan yang terlihat pada orang dewasa, namun, anak-
anak memiliki sekelompok gejala spesifik. Rhinorrhea dan batuk purulen lebih umum pada
anak sedangkan sakit kepala dan hyposmia adalah gejala yang kurang umum daripada pada
orang dewasa. Secara teoritik penyakit ini dapat ditemukan pada bay/ (infant), karena sinus
maksila dan etmoid sudah terbentuk sejak lahir. Sayangnya selama dua dekade terakhir
pedoman yang berkaitan dengan definisi, prosedur diagnostik dan manajemen jauh lebih
terfokus pada orang dewasa dari pada rinosinusitis pediatrik.7,8

2.3.4. Epidemiologi
Kekerapan rinosinusitis terutama pada anak di Indonesia belum diketahui dengan pasti
tetapi diperkirakan cukup tinggi mengingat inflamasi di sinus paranasal dapat terjadi pada
setiap infeksi saluran napas atas. Rata-rata anak mengalami 6-8 episode infeksi saluran nafas
atas per tahun dan diperkirakan 5-10% infeksi saluran nafas atas akan menimbulkan
rinosinusitis. Penyakit ini dapat mengenai semua kelompok umur baik anak maupun dewasa.
Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan mengenai 10% hingga 30% populasi. Insiden di Amerika
dilaporkan sebesar 135 per 1000 populasi per tahun dengan 12 juta kunjungan ke dokter selama
tahun 1995. Diperkirakan 31- 35 juta penduduk Amerika menderita rinosinusitis (akut, kronik
atau rekuren) setiap tahunnya. Sebanyak 14% penduduk Amerika paling sedikitnya pernah
sekali mengalami episode rinosinusitis semasa hidupnya. Sekitar 15% penduduk Amerika
diperkirakan menderita rinosinusitis kronik.2,7
2.3.5 Etiologi
Umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik yang merupakan perluasan infeksi
dari hidung dan dentogenik yang berasal dari infeksi pada gigi. Infeksi pada sinus paranasal
dapat disebabkan oleh interaksi dari beberapa etiologi seperti faktor mikrobial, lingkungan, dan
faktor host yang terdiri dari gangguan anatomi, genetik, fisiologi dan imunitas.3
Pada 90% anak yang mengalami rinosinusitis akut bakterial, penyebabnya adalah
Streptococcus pneumonae, Haemoplylus influenzae (non-typable) dan Moraxella catharalis,
Staplyllococcus Aureus, dan Streptococcus grup A. Bakteri anaerob adalah kuman patogen
yang menyebabkan sinusitis subakut dan kronik. Adanya kateter nasogastrik dan nasotrakeal
dalam jangka panjang merupakan faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis nasokomial yang
disebabkan bakteri gram negatif (Klebsiella dan Pseudomonas). Terapi antibiotik juga dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi oleh organisme yang resisten terhadap antibiotik.
Rinosinusitis pada pasien dengan neutropenia dan imunokompromais dapat disebabkan
Aspergillus dan Zygomicetes (misal, Mucor, Rhizopus).1

2.3.6 Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis kronik ditegakkan melaui anamnesis, pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan penunjang.
a. Manifestasi klinik yang paling sering terjadi:1
a) rinorea unilateral atau bilateral yang persisten dan mukupurolen,
b) hidung tersumbat,
c) batuk dapat terjadi pada siang atau malam hari.
d) Gejala yang lebih jarang terjadi adalah suara sengau, halitosis, pembengkakan pada
wajah, nyeri pada wajah, serta nyeri kepala.
Rinosinusitis baik karena faktor infeksi maupun alergi dapat pula menimbulkan eksaserbasi
asma.
b. Pemeriksaan fisik10
a) Pemeriksaan hidung (bengkak, kemerahan, nanah),
b) Pemeriksaan intraoral dilakukan untuk mengevaluasi keadaan gigi, dimana gigi yang
terjadi ganggren atau karies dapat menjadi penyebab terjadinya sinusitis dentogen

c. Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi1,9,10


Prosedur penunjang diagnostik untuk sinusitis akut meliputi pemeriksaan biakan
mukosa nasal, transiluminasi, ultrasonografi, foto polos sinus paranasalis, ct scan dan magnetic
resonance imaging (MRI). Pemeriksaan biakan mukosa nasal tidak bermanfaat. Biakan
aspirasi sinus merupakan metode diagnsotik yang paling akurat, tetapi tidak praktis dan tidak
diperlukan.
Banyak penulis yang menyatakan bahwa transiluminasi tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis sinusitis pada anak, demikian juga pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi
digunakan hanya untuk mengevaluasi sinus maksila dan itupun hanya memiliki hasil minimal
dalam menegakkan diagnosis. Sedangkan transiluminasi dapat menunjukkan adanya cairan
tetapi hal ini sulit dilakukan pada anak dan tidak dapat diandalkan.
Foto polos sinus paranasalis
Pemeriksaan foto polos ini merupakan pemeriksaan standar utama untuk sinusitis. Kekurangan
foto polos adalah sering ditemukan hasil positif dan negatif palsu. Tiga jenis proyeksi yang
digunakan untuk diagnosis sinusitis dengan pemeriksaan foto polos yaitu 1.Waters position
untuk evaluasi sinus maksila dan frontal, 2. Caldwell position untuk evaluasi sinus etmoidalis,
dan 3. Proyeksi lateral untuk evaluasi ukuran adenoid, masa di nasofaring dan kelainan di
sfenoid. Temuan abnormal pada pemeriksaan radiografi konvensional tidak dapat
membedakan gambaran inflmasi karena infeksi atau alergi
Computed Tomography Scanning (CT Scan)
Penggunaan ct scan untuk diagnosis sinusitis pada anak sangat membantu terutama sinusitis
kronis, Hasil yang didapat menggambarkan keadaan sinus dan kompleks osteomeatal. Namun
tidak direkomendasikan kecuali pada rinosinusitis yang berat, pasien dengan
imunokompromais, dan terdapat tanda komplikasi. Pada pemeriksaan radiologi konvensional
dan CT-scan dapat ditemukan adanya perkabutan di area sinus, penebalan mukosa, atau adanya
air fluid level.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Penggunaan MRI sangat baik untuk mengetahui kelainan soft tissue dari sinus paranasal,
namun terbatas dalam pencitraan kelainan tulang, sehingga MRI tidak dapat mengevaluasi
sinusitis akut maupun kronis.

2.3.7. Klasifikasi
Klasifikasi bentuk akut dan kronis diadopsi berdasarkan gejala persisten yang berlangsung
selama lebih dari 12 minggu. Syarat‘‘ Subacute ’’ yang disebutkan dalam laporan lain
dihindari. Rinosinusitis akut didefinisikan sebagai “infeksi sinus di mana resolusi gejala bisa
memakan waktu hingga 12 minggu”. Menurut beratnya, dibagi menjadi bentuk yang parah dan
tidak parah. Rinosinusitis kronik didefinisikan sebagai ''infeksi sinus dengan gejala dan tanda
yang menetap selama lebih dari 12 minggu.8

2.3.8 Patofisiologi
Patogenesis sinus dipengaruhi oleh patensi dari ostium-ostium sinus dan kelancaran
pembersihan mukosiliar di dalam kompleks osteomeatal (KOM). Disamping itu mukus juga
mengandung substansi mikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap
kuman yang masuk ke saluran pernafasan. Bila terdapat gangguan di daerah KOM seperti
peradangan, edema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga
terjadi sinusitis. Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau
hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga
memperberat gangguan yang ditimbulkannya.3
Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM, berperan
penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini berdekatan satu sama lain
dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari
dua sisi atau lebih. Apabila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan
drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Gangguan ventilasi akan menyebabkan
penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih
kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen. Patogenesis dari
rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan di
lepasnya mediator diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune
complek, lipolisaccharide dan lain-lain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan
mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi
mukus dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi
akan kembali terjadi.3
Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya sesuai. Bila
sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga bakteri anaerob
akan berkembang baik. Bakteri juga akan memproduk si sitoksin yang akan merusak silia.
Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip
dan kista. Kuman di dalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium tertutup
ataupun merupakan kuman komensal di dalam rongga sinus. Virus dan bakteri yang masuk ke
dalam mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel
polimorfonuklear, sel mast dan limfosit, kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti
histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler, sehingga
permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di submukosa. Selain virus dan
bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradangan rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor
predisposisi lokal dan sistemik.3
Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, edema atau hipertropi konka,
rinitis alergi, rinitis vasomotor, korpus alienum, rinolit dan sebagainya. Faktor predisposisi
sistemik yang mempengaruhi antara lain infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan
umum yang lemah, malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar.3

2.3.9 Tatalaksana8,9,11
Terapi medikamentosa
Pada sinusitis akut, diberikan amoksisilin (40 mg/ kgbb/hari) yang merupakan first line drug,
namun jika tidak ada perbaikan dalan 48-72 jam, dapat diberikan amoksisilin klavulanat.
Sebaiknya antibiotik diberikan selama 10-14 hari. Cefuroxime, cefpodoxime, dan cefdinir
direkomendasikan pada pasien dengan tipe non-hipersensitivitas tipe I untuk penisilin dan pada
kebanyakan kasus antibiotik ini berguna pada reaksi anafilaktoid. Pada kasus sinusitis kronis,
antibiotik diberikan selama 4-6 minggu sebelum diputuskan untuk pembedahan. Dosis
amoksisilin dapat ditingkatkan sampai 90 mg/kgbb/hari. Pada pasien dengan gejala berat atau
dicurigai adanya komplikasi diberikan antibiotik secara intravena. Sefotaksim atau seftriakson
dengan klindamisin dapat diberikan pada Streptococcus pneumoniae yang resisten.
Dosis antibiotik rinosinusitis pada anak
Terapi tambahan
Terapi tambahan meliputi pemberian antihistamin, dekongestan, dan steroid.
Antihistamin: antihistamin merupakan kontra indikasi pada sinusitis, kecuali jelas adanya
etiologi alergi. Pemberian antihistamin dapat mengentalkan sekret sehingga menimbulkan
penumpukan sekret di sinus, dan memperberat sinusitis.
Dekongestan: dekongestan topikal seperti oksimetazolin, penileprin akan menguntungkan jika
diberikan pada awal tata laksana sinusitis. Aktifitasnya akan mengurangi edem atau inflamasi
yang mengakibatkan obstruksi ostium, meningkatkan drainase sekret dan memperbaiki
ventilasi sinus. Pemberian dekongestan dibatasi sampai 3-5 hari untuk mencegah
ketergantungan dan rebound nasal decongestan. Pemberian dekongestan sistemik, seperti
penilpropanolamin, pseudoefedrin dapat menormalkan ventilasi sinus dan mengembalikan
fungsi pembersih mukosilia. Dekongestan sistemik dapat diberikan sampai 10-14 hari.
Steroid : steroid topikal dianjurkan pada sinusitis kronis. Steroid akan mengurangi edem dan
inflamasi hidung sehingga dapat memperbaiki drainase sinus. Untuk steroid oral, dianjurkan
pemberiannya dalam jangka pendek mengingat efek samping yang mungkin timbul.
Pembedahan
Untuk pasien yang tidak responsif dengan terapi medikamentosa yang maksimal, tindakan
bedah perlu dilakukan. Indikasi bedah apabila ditemukan perluasan infeksi intrakranial seperti
meningitis, nekrosis dinding sinus disertai pembentukan fistel, pembentukan mukokel, selulitis
orbita dengan abses dan keluarnya sekret terus menerus yang tidak membaik dengan terapi
konservatif. Beberapa tindakan pembedahan pada sinusitis antara lain adenoidektomi, irigasi
dan drainase, septoplasti, andral lavage, caldwell luc dan functional endoscopic sinus surgery
(FESS)

2.3.10 Komplikasi1,2
Komplikasi yang terjadi termasuk selulitis orbita, selulitis epidural, atau empyema
subdural, tromboisis sinus dural, osteomielitis di luar/dalam sinus frontalis (potts puffy
tumor) dan meningtis. Seluruh komplikasi ini harus ditangani dengan cara drainase sinus dan
pemberian antibiotik spektrum luas kibat inflamasi infeksi maupun inflamasi alergi juga dapat
mengakibatkan eksaserbasi bronkokonstriksi pada pasien asma.
Komplikasi orbita merupakan komplikasi terbanyak pada rinosinusitis akut pada anak.
Klasifikasi Chandler menerangkan 5 kelompok komplikasi orbita yaitu :
Kelompok I: Selulitis periorbita (selulitis preseptal)
Kelompok II: Selulitis orbita
Kelompok III: Abses subperiosteal (abses periorbita)
Kelompok IV: Abses orbita
Kelompok V: Trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi rinosinusitis ke orbita melalui dua jalan. Pertama, langsung yaitu melalui defek
kelainan bawaan, foramen atau garis sutura yang terbuka, atau tulang yang mengalami erosi,
terutama pada lamina papirasea. Kedua, tromboflebitis retrogad yaitu melalui pembuluh darah
vena yang tak berkatup pada wajah, kavum nasi, sinus dan mata.2
Diagnosis abses periorbita dibuat berdasarkan perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan tomografi komputer pada sinus dan orbita. Penatalaksanaan dengan drainase
melalui tindakan bedah baik melalui bedah sinus endoskopi atau pendekatan dari luar.
Lebih dari setengah anak pasien rinosinusitis bakterialis akut dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa pemberian antimikrobial. Demam dan sekresi hidung akan membaik secara
dramatis dalam waktu 48 jam dari masa inisiasi pemberian obat. Apabila gejala timbul secra
persisten, maka harus dipikirkan kemungkinan etiologi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

1
Edward R. Carter, Susan G. Sistem Respiratori. In: Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial.
Singapore: Saunders Elsevier; 2014:516-517.

2
Bestari J Budiman, Sri Mulyani. Rinosinusitis Akut pada Anak dengan Komplikasi Abses
Periorbita. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas/RS dr. M. Djamil Padang.

3
Ahmad Agusmiani. 20`8. Evaluasi Pemberian Terapi Standar dengan dan tanpa Irigasi Nasal
dengan Nacl 0.9% pada Penderita Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Unhas.

4
Teuku Husni T.R. Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis. Divisi Rinologi, Bagian Telinga
Hidung Tenggorokan-Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSU Dr.
Zainoel Abidin, Banda Aceh.

5
Kridel, R.W.H., Kelly, P.E., MacGregor, A.R. 2005 The Nasal Septum. In: Cummings, C.W.,
et al. Otolaryngology Head & Neck Surgery Volume Two, 4th Ed. Philadelphia: Mosby.
p1001.

6
Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Wardani, R.S. 2010. Hidung. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
p118-122.

7
Widodo Ario Kentjono. 2004. Rinosinusitis : Etiologi dan Patofisiologi. Bagian / SMF llmu
Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSU Dr. Soetomo Surabaya.

8
Livije Kalogjera. 2013. Evolution of Guidelines For Pediatric Rhinosinusitis. Diakses tanggal
2 Oktober 2018 di International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology 77 (2013) 1383–
1384

9
Rinaldi, Helmi M. Lubis, Ridwan M. Daulay, Gabriel Panggabean. 2006. Sinusitis pada Anak.
Dalam: Sari Pediatri, Vol. 7, No. 4, Maret 2006: 244 – 248
10
Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. 2012. European
Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl. 1-298

11
Hay WW, Levin MJ , Sondheimer JM, Deterding RR, 2014. A Lange Medical Book, Current
Diagnosis & Treatment Pediatric, 23th Edition, The McGraw-Hill Medical Companies, Inc,
485-487

Anda mungkin juga menyukai