195710241986011001
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan…………………………………………………………………… 2
1.4 Manfaat…………………………………………………………………. 2
3.3.1 Mrajan/Sanggah………………………………………………….. 23
3.3.5 Paon……………………………………………………………... 27
2
BAB IV KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang tersebut adapun rumusan masalah yang
akan dibahas pada paper ini adalah sebagai berikut.
a. Apa Pengertian rumah tradisional Bali ?
b. Bagaimana Pola Ruang rumah tradisional Bali?
c. Sejauh mana konsep bangunan tradisional bali yang termuat dalam Asta
Kosala Kosali masih tetap diterapkan pada objek yang diobservasi?
1.3 Tujuan
Adapun Tujuan dari pembuatan paper ini adalah :
a. Memahami pengertian rumah tradisional Bali.
b. Mengetahui pola ruang rumah tradisional Bali .
c. Mengetahui Sejauh mana konsep bangunan tradisional bali yang termuat
dalam Asta Kosala Kosali masih tetap diterapkan pada objek yang
diobservasi?
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
6
Selain ada kosep diatas juga ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai
pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:
Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)
Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)
7
desa adat, Khyangan Tiga, Meru dan pedoman-pedoman upacara keagamaan lainnya
merupakan karya dari Empu Kuturan.
Dang Hyang Nirartha atau disebut juga Hyang Dwijendra atau Pedanda sakti
Wawurauh merupakan budayawan besar pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong
sekitar pada abad ke-14 ( masa Majapahit menguasai Bali). Beliau merupakan Arsitek
besar dengan peninggalan konsep-konsep Arsitektur, agama, dan pembaruan diberbagai
bidang budaya lainnya.Padmasana merupakan konsep beliau untuk banguanan menuju
Tuhan Yang Maha Esa.Tirtayatra merupaka sebuah budaya di Bali yang berarti
perjalanan suci atau keagamaan. Tirtayatra ini juga merupakan peninggalan dari Dang
Hyang Nirartha, bermula dari perjalanan keagaman beliau mengelilingi pantai di Bali,
dilanjutkan menuju Lombok dan Nusa Tenggara Timur, perjalanan ini menuju ke pura-
pura di daerah-daerah tersebut.
8
Rumah tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti:
tidur, makan, istirahat juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk
kepentingan psikologis, seperti melaksanakan upacara keagamaan dan adat.
(Sulistyawati. dkk, 1985:15). Dengan demikian rumah tradisional sebagai perwujudan
budaya sangat kuat dengan landasan filosofi yang berakar dari agama Hindu.Agama
Hindu mengajarkan agar manusia mengharmoniskan alam semesta dengan segala
isinya yakni bhuana agung (Makro kosmos) dengan bhuana alit (Mikro kosmos),
dalam kaitan ini bhuana agung adalah lingkungan buatan/bangunan dan bhuana alit
adalah manusia yang mendirikan dan menggunakan wadah tersebut (Subandi, 1990)
Manusia (bhuana alit) merupakan bagian dari alam (bhuana agung), selain
memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan
fungsi. Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah, senantiasa dalam keadaan
harmonis dan selaras seperti manik (janin) dalam cucupu (rahim ibu).Rahim sebagai
tempat yang memberikan kehidupan, perlindungan dan perkembangan janin tersebut,
demikian pula halnya manusia berada, hidup, berkembang dan berlindung pada alam
semesta, ini yang kemudian dikenal dengan konsep manik ring cucupu. Dengan alasan
itu pula, setiap wadah kehidupan atau lingkungan buatan, berusaha diciptakan senilai
dengan suatu Bhuana agung, dengan susuna unsur-unsur yang utuh, yaitu: Tri
HitaKarana.
Tri Hita Karana yang secara harfiah Tri berarti tiga; Hita berarti kemakmuran,
baik, gembira, senang dan lestari; dan Karana berarti sebab musabab atau sumbernya
sebab (penyebab), atau tiga sebab/ unsur yang menjadikan kehidupan (kebaikan), yaitu:
1). Atma (zat penghidup atau jiwa/roh), 2). Prana (tenaga), 3).Angga (jasad/fisik)
(Majelis Lembaga Adat, 1992:15).
Bhuana agung (alam semesta) yang sangat luas tidak mampu digambarkan oleh
manusia (bhuana alit), namun antara keduanya memiliki unsur yang sama, yaitu Tri
Hita Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai cerminan. Konsepsi Tri Hita
Karana dipakai dalam pola perumahan tradisional yang diidentifikasi; Parhyangan
9
/Kahyangan Tiga sebagai unsur Atma/jiwa, Krama/warga sebagai unsur Prana tenaga
dan Palemahan/tanah sebagai unsur Angga/jasad (Kaler, 1983:44).
Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang
paling makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana
alit/manusia).Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Yang Maha Esa),
tenaga adalah berbagai tenaga alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta.Dalam
permukiman, jiwa adalah parhyangan (pura desa), tenaga adalah pawongan
(masyarakat) dan jasad adalah palemahan (wilayah desa).Demikian pula halnya dalam
banjar, jiwa adalah parhyangan (pura banjar), tenaga adalah pawongan (warga banjar)
dan jasad adalah palemahan (wilayah banjar). Pada rumah tinggal, jiwanya adalah
sanggah pemerajan (tempat suci), tenaga adalah penghuni dan jasad adalah pekarangan.
Sedangkan pada manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad
adalah stula sarira/tubuh manusia. Penjabaran konsep Tri Hita Karana dalam susunan
kosmos, dapat dilihat dalam Tabel1.
10
Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau
keharmonisan manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga,
memberikan turunan konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti
tiga dan Angga berarti badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama
Angga, Madya Angga dan Nista Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian
ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka
(Sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan secara vertikal, dimana nilai utama pada
posisi teratas/sakral,madya pada posisi tengah dan nista pada posisi terendah/kotor.Tabel
2. Tri Angga dalam Susunan Kosmos
Tri Angga yang memberi arahan tata nilai secara vertikal (secara horisontal ada
yang menyebut Tri Mandala), juga terdapat tata nilai Hulu-Teben, merupakan pedoman
tata nilai di dalam mencapai tujuan penyelarasan antara Bhuana agung dan Bhuana alit.
11
Hulu-Teben memiliki orientasi antara lain: 1). berdasarkan sumbu bumi yaitu: arah
kaja-kelod (gunung dan laut), 2). arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah), 3). berdasarkan
sumbu Matahari yaitu; Timur- Barat (Matahari terbit dan terbenam) (Sulistyawati.
dkk,1985:7).
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan
dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata
Nawa Sanga (Meganada, 1990:58) dan lihat Gambar 2.
12
KELOD (LAUT)
KELOD (LAUT)
BERDASARKAN
LINTASAN MATAHARI
SANGAMANDALA
UTAMANING
MADYANING MADYANING
BERDASAR SUMBU KAJA MADYA
MADYA
KELOD (GUNUNG LAUT) NISTA
NISTA
NISTA
GambarKELOD
2. Konsep Arah Orientasi Ruang dan Konsep Sanga Mandala
Sumber:LAUT
Eko Budihardjo (1986).
13
A TYPICAL
BALINESEHOUSE
Uma/Meten Sanggah
UTAMA
Kemulan
Natah
MADYA
PENJABARAN Bale
Bale
Sakepat
NISTA Lawang Tiang Sanga
Aling-aling
Bale Sakenam
K O N S EP
Lumbung
Paon
ARSITEKTUR
14
Dalam skala perumahan (desa) konsep Sanga Mandala, menempatkan kegiatan
yang bersifat suci (Pura Desa) pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), letak Pura
Dalem dan kuburan pada daerah nisthaning nista (klod- kauh), dan permukiman pada
daerah madya, ini terutama terlihat pada perumahan yang memiliki pola Perempatan
(Catus Patha). (Paturusi; 1988:91). Sedangkan Anindya (1991:34) dalam lingkup desa,
konsep Tri Mandala, menempatan: kegiatan yang bersifat sakral di daerah utama,
kegiatan yang bersifat keduniawian (sosial, ekonomi dan perumahan) madya, dan
kegiatan yang dipandang kotor mengandung limbah daerah nista. Ini tercermin pada
perumahan yang memiliki pola linier.Konsep tata ruang yang lebih bersifat fisik
mempunyai berbagai variasi, namun demikian pada dasarnya mempunyai kesamaan
sebagai berikut yaitu: 1). Keseimbangan kosmologis (Tri Hita Karana), 2). Hirarkhi tata
nilai (Tri Angga), 3).Orientasi kosmologis (Sanga Mandala), 4).Konsep ruang terbuka
(Natah), 5).Proporsi dan skala, 6).Kronologis dan prosesi pembangunan, 7).Kejujuran
struktur (clarity of structure), 8). Kejujuran pemakaian material (truth of material).
(Juswadi Salija, 1975; dalam Eko Budihardjo, 1986). Lihat Gambar4.
Munculnya variasi dalam pola tata ruang rumah dan perumahan di Bali karena
adanya konsep Tri Pramana, sebagai landasan taktis operasional yang dikenal dengan
Desa-Kala- Patra (tempat, waktu dan keadaan) dan Desa- Mawa-Cara yang menjelaskan
adanya fleksibilitas yang tetap terarah pada landasan filosofinya, dan ini ditunjukkan
oleh keragaman pola desa-desa di Bali. (Meganada: 1990:51).
15
2.4 Pola Ruang Rumah Tinggal
Secara umum ada 3 macam pola tata ruang,yaitu:
a. Pola Perempatan (CatusPatha)
Pola Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan sumbu kaja - kelod
(utara-selatan) dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep
Sanga Mandala, pada daerah kaja-kangin diperuntukan untuk bangunan suci
yaitu pura desa.Letak Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah
kelod-kauh (barat daya) yang mengarah ke laut.Peruntukan perumahan dan
banjar berada pada peruntukan madya (barat-laut).Untuk jelasnya lihat
Gambar 8 dan11.
b. PolaLinear
Pada pola linear konsep Sanga Mandala tidak begitu berperan.Orientasi
kosmologis lebih didominasi oleh sumbu kaja-kelod (utara- selatan) dan
sumbu kangin-kauh (timur-barat).Pada bagian ujung Utara perumahan (kaja)
diperuntukan untuk Pura (pura bale agung dan pura puseh). Sedang di ujung
selatan (kelod) diperuntukan untuk Pura Dalem (kematian) dan kuburan
desa.Diantara kedua daerah tersebut terletak perumahan penduduk dan
fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang terletak di plaza umum, seperti
dijelaskan Gambar9.
Pola linear pada umumnya terdapat pada perumahan di daerah
pegunungan di Bali, dimana untuk mengatasi geografis yang berlereng
diatasi denganterasering.
c. PolaKombinasi
Pola kombinasi merupakan paduan antara pola perempatan (Catus patha)
dengan pola linear.Pola sumbu perumahan memakai pola perempatan, namun
demikian sistem peletakan elemen bangunan mengikuti pola
linear.Peruntukan pada fasilitas umum terletak pada ruang terbuka (plaza)
yang ada di tengah- tengah perumahan.Lokasi bagian sakral dan profan
masing-masing terletak pada ujung utara dan selatan perumahan.Jelasnya
16
lihat Gambar 10.Pola tata ruang yang dikemukakan di atas merupakan
penyederhanaan daripada pola tata ruang yang pada kenyataannya sangat
bervariasi. Setiap daerah perumahan di Bali mempunyai pola tersendiri yang
disebabkan oleh faktor yang telah dikemukakan pada uraian Aspek Sosial.
Dari ilustrasi tersebut perumahan tradisional Bali dapat diklasifikasikan
dalam 2 type,yaitu:
1. Type Bali Aga merupakan perumahan penduduk asli Bali yang
kurang dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Lokasi perumahan
ini terletak di daerah pegunungan yang membentang membujur di
tangah- tangah Bali, sebagian beralokasi di Bali Utara dan
Selatan. Bentuk fisik pola perumahan Bali Aga dicirikan dengan
adanya jalan utama berbentuk linear yang berfungsi sebagai ruang
terbuka milik komunitas dan sekaligus sebagai sumbu utama desa.
Contoh perumahan Bali Aga: Julah (di Buleleng), Tenganan,
Timbrah dan Bugbug (diKarangasem).
2. Type Bali Dataran, merupakan perumahan tradisional yang
banyak dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Perumahan type
ini tersebar di dataran bagian selatan Bali yang berpenduduk lebih
besar diabndingkan type pertama. Ciri utama perumahan ini
adalah adanya Pola perempatan jalan yang mempunyai 2 sumbu
utama, sumbu pertama adalah jalan yang membujur arah Utara-
Selatan yang memotong sumbu kedua berupa jalan membujur
Timur-Barat (Parimin,1986).
17
BULELEN BANGL GIANYA
G I R
KARANGASE
M
KETERANGAN :
1 = PURI
2 = PASAR
3 = ALUN - ALUN
4 = WANTILA
18
Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak
merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang
yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu
gunung Agung.Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata
dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut.Seperti halnya tempat tidur
orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dan tempat
pemujaan keluarga.Untuk memahami hirarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini
haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara,
selatan, timur dan barat.Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung
adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk
meletakkan tempat pemujaan atau di Bali di sebut pamerajan.Bagian-bagian pada rumah
tinggal tradisional Bali sebagai berikut.
1. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura
yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya teletak di kauh kelod.
2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk
sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini
dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-
aling terletak di kaluh kelod.
3. Natah atau halaman tengah merupakan pusat dari pekarangan yang dikelilingi
bale-bale.
4. Mrajan atau sanggah, terleteak dibagian timur laut atau kaja kangin pada
sembilan petak pola ruang, merupakan area suci pada rumah berfungsi sebagai
tempat pemujaan.
5. Bale Dangin yaitu bangunan perumahan tradisional Bali yang komposisinya
berada di sisi timur disebut dengan bale dangin, Type yang dibangun type sake
nem dalam perumahan tergolong sederhana bila bahan dan penyelesaiannya
sederhana, dapat pula digolongkan madia bila ditinjau dari penyelesaiannya
19
dibangun dengan bahan penyelesaian madia. Untuk areal perumahan yang besar
digunakan type Sake roras yang sering disebut dengan bale gede Sake roras
dalam perumahan tergolong utama. Type Sake roras / Bale Gede bentuk
bangunan bujur sangkar, dengan ukuran 4,8 m x 4,8 m, dengan tinggi lantai
sekitar 0,8 m dengan dua atau tiga anak tangga kearah natah, lantai lebih rendah
dari bangunan bale daja. Konstruksi terdiri dari dua belas tiang yang dirangkai
empat empat menjadi dua balai-balai atau bila menggunakan satu balai-balai
rangkaian empat tiang dapat di tepi atau di tengah. Masing-masing balai-balai
memanjang kangin kauh dengan kepala kearah timur . Tiang-tiang dirangkaikan
dengan sunduk waton/selimar likah dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistim
lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang. Untuk tiang yang tidak dirangkai
balai-balai menggunakan senggawang sebagai stabiltas konstruksi. Bangunan
dengan dinding penuh pada sisi timur dan sisi selatan.
6. Bale Delod Dalam komposisi bangunan rumah saka kutus ini menempati letak
bagian kelod yang juga disebut Bale delod, dalam proses pembangunan bale
delod letaknya dari bale meten diukur dengan menggunakan tapak kaki dengan
pengurip angandang tergantung dari kecenderungan penghuni rumah. Bale delod
difungsikan sebagai sumanggem, bangunan untuk upacara adat, tamu dan tempat
bekerja atau serbaguna. Bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran
355 m x 570 m, dengan tinggi lantai sekitar 0,8 m dengan tiga anak tangga
kearah natah. Konstruksi terdiri delapan tiang tiga deret di depan dan ditengah
dua deret dibelakang, dengan satu balai balai mengikat empat tiang hubungan
balai balai dengan konstruksi perangkai sunduk waton dan empat tiang lainnya
berdiri dengan senggawang sebagai stabilitas. Bangunan dengan dinding penuh
pada luan sisi kangin dan sisi kelod dan terbuka kearah natah, konstruksi atap
limas.
7. Bale Daje Bangun rumah yang paling awal dibangun dalam perumahan, type
bangunan sake kutus diklasifikasikan sebagai bangunan madia dengan fungsi
tunggal sebagai tempat tidur yang disebut bale meten. Komposisinya berada di
20
sisi kaja natah (halaman tengah) menghadap kelod berhadapan dengan
sumanggem/bale delod. Dalam proses membangun rumah bale meten merupakan
bangunan awal. Jaraknya delapan tapak kaki dengan pengurip angandang diukur
dari tembok pekarangan sisi kaja. Selanjutnya bangunan yang lainnya di bangun
dengan jarak yang diukur dari bale meten.Bentuk bangunan segi empat panjang,
dengan ukuran 5 m x 2,5 m, dengan tinggi lantai sekitar 1,2 m dengan empat
atau lima anak tangga kearah natah lantai lebih tinggi dari bangunan lainnya
untuk estetika. Konstruksi terdiri delapan tiang yang dirangkai empat empat
menjadi dua balai-balai. Masing-masing balai-balai memanjang kaja kelod
dengan kepala kearah luan kaja. Tiang-tiang dirangkaikan dengan sunduk
waton/selimar likah dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistim lait pada
pepurus sunduk dengan lubang tiang senggawang tidak ada pada bale sekutus.
Bangunan dengan dinding penuh pada keempat sisi dan pintu keluar masuk
kearah natah.
8. Bale Dauh / Loji ini terletak di bagian Barat ( Dauh natah umah ), dan sering
pula disebut dengan Bale Loji, serta Tiang Sanga. Fungsi Bale Dauh ini adalah
untuk tempat menerima tamu dan juga digunakan sebagai tempat tidur anak
remaja atau anak muda. Fasilitas pada bangunan Bale Dauh ini adalah 1 buah
bale – bale yang terletak di bagian dalam. Bentuk Bangunan Bale Dauh adalah
persegi panjang, dan menggunakan saka atau tiang yang terbuat dari kayu. Bila
tiangnya berjumlah 6 disebut sakenem, bila berjumlah 8 disebut sakutus /
astasari, dan bila tiangnya bejumlah 9 disebut sangasari. Bangunan Bale Dauh
adalah rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang lebih rendah
dari Bale Dangin serta Bale Meten.
9. Paon ( Dapur ) yaitu tempat memasak bagi keluarga. Bagian yang terpenting dari
rumah dapur orang bali tempatnya terpisah dengan bagian – bagian rumah yang
lain. Dapur biasanya ditempatkan disebelah barat bale delod berdekatan dengan
pintu masuk rumah atau dalam bahasa bali biasa disebut lebuh. Fungsi dapur di
bali memang sama dengan dapur – dapur pada umumnya akan tetapi bagian –
21
bagian dapur tradisional bali harus memiliki tungku dalam bahasa bali disebut
Bungut Paon. Tungku ini fungsinya sebagai pengganti kompor atau hanya
symbol saja tetapi tidak digunakan. Tungku ini juga berfungsi sebagai tempat
meletakan yadnya sesa atau banten jotan ( sesajen setelah selesai memasak di
pagi hari ). Diatas bungut paon itu biasa dibuatkan Langgatan ( sejenis rak
tradisional ). Jika memasak menggunakan bungut paon langgatan berfungsi
sebagai tempat meletakan kayu bakar yang sudah kering dan siap digunakan.
10. Jineng/lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan
hasil kebun lainnya. Fungsinya sebagai penyimpanan hasil panen yang berupa
gabah di bagian atapnya. Dan dibawahnya dibentuk menyerupai bale untuk
tempat bersantai dan bercengkrama bersama keluarga. Orang – orang yang
memiliki jineng ini biasanya golongan petani yang memiliki hasil panen setiap
tahun. Jineng biasanya terletak bersebelahan dengan dapur yang pada umumnya
berada pada bagian depan areal rumah.
22
Sumber :https://en.wikipedia.org/wiki/Balinese_traditional_house
23
BAB III
OBJEK KAJIAN
24
LAYOUT DENAH
Keterangan:
1. Merajan
2.Bale Daje
3.Bale Dangin
4.Bale Dauh/Loji
5. Dapur
6. KM/WC
25
3. 2 Struktur Anggota Keluarga
60 TH 56 TH
36 34
14 TH 10 TH
26
3.3.2 Bale Dangin
Bale dangin pada tempat ini terletak di sebelah timur dengan orientasi
menghadap ke arah barat.Bale dangin ini berukuran 3.50m x 5.80m dengan jumlah saka
6 buah (sake nem).Bale dangin ini masih sangat tradisional dilihat dari material
bangunan yang masih menggunakan bahan alami seperti alang-alang, bambu dan ijuk.
Elemen bawah pada bale dangin ini menggunakan lantai semen dengan plesteran yang
dihaluskan.Elemen samping merupakankontruksi yang terdiri dari 6 tiang (sake) yang
dirangkai empat menjadi satu balai.Bentuk memanjang kangin kauh dengan kepala
kearah timur .Tiang-tiang dirangkaikan dengan sunduk waton/selimar likah dan
galar.Stabilitas konstruksi dengan sistim lait pada pepurus sunduk dengan lubang
tiang.Untuk tiang yang tidak dirangkai balai-balai menggunakan senggawang sebagai
stabiltas konstruksi.Pada bagian timur dan selatan balai terdapat dinding atau sekat
tembok. Elemen atas pada bale dangin ini tersusun dari bahan-bahan alam seperti alang-
alang pada penutup bagian atap, bambu sebagai rangka atap yang diikat dengan tali
bambu dan tali ijuk.
Menurut keterangan dari pemilik rumah, bale dangin ini difungsikan sebagai
tempat dilangsungkannya upacara keagamaan seperti metatah, upacara pengabenan
dll.Fungsi lain dari bangunan ini biasanya digunakan sebagai tempat mejejaitan.
27
3.3.3 Bale Daje
Bale daje pada tempat ini terletak di sebelah utara dengan orientasi menghadap
ke arah selatan.Bale daje ini berukuran 3.30m x 4.70m dengan jumlah saka 8 buah (sake
tus). Bale daje ini masih sangat tradisional dilihat dari material bangunannya yang masih
menggunakan bahan alami seperti tanah liat, alang-alang, bambu dan ijuk. Elemen
bawah pada bale daje ini masih sederhana yaitu hanya menggunakan tanah liat yang
dipadatkan. Elemen samping merupakan kontruksi yang terdiri dari 8 tiang (sake tus)
yang dirangkai empat-empat menjadi dua balai. Bentuk memanjang kangin kauh dengan
kepala kearah utara .Konstruksi terdiri delapan tiang yang dirangkai empat empat
menjadi dua balai-balai.Masing-masing balai-balai memanjang kaja kelod dengan kepala
kearah luan kaja.Tiang-tiang dirangkaikan dengan sunduk waton/selimar likah dan galar.
Stabilitas konstruksi dengan sistim lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang
senggawang tidak ada pada bale sekutus. Bangunan dengan dinding penuh pada keempat
sisi dan pintu keluar masuk kearah natah.Pada bagian dinding atau tembok disusun dari
batu bata dengan finishing tanah liat (pol-polan). Elemen atas pada bale daje ini tersusun
dari bahan-bahan alam seperti alang-alang pada penutup bagian atap, bambu sebagai
rangka atap yang diikat dengan tali bambu dan tali ijuk.
Menurut keterangan dari pemilik rumah, bale daje ini berfungsi sebagai meten
atau tempat tidur.
28
3.3.4 Bale Dauh / Loji
Bale dauh pada tempat ini terletak di sebelah barat dengan orientasi menghadap
ke arah timur.Bale dauh ini berukuran 3.00m x 5.30m dengan jumlah saka 6 buah (sake
nem). Bale dauh ini masih sangat tradisional dilihat dari material bangunannya yang
masih menggunakan bahan alami seperti tanah liat, alang-alang, bambu dan ijuk.
Elemen bawah atau lantai pada bale daje ini masih sangat sederhana yaitu hanya
menggunakan tanah liat yang dipadatkan. Elemen samping merupakan kontruksi yang
terdiri dari 6 tiang (sake nem) yang dirangkai empat menjadi satu balai pada bagian
dalam.Bentuk memanjang kaja kelod dengan kepala kearah kaja.Konstruksi terdiri enam
tiang yang dirangkai empat empat menjadi dua balai-balai.Masing-masing balai-balai
memanjang kaja kelod dengan kepala kearah luan kaja.Tiang-tiang dirangkaikan dengan
sunduk waton/selimar likah dan galar.Pada bagian dinding atau tembok disisun dari batu
bata dengan finishing tanah liat (pol-polan). Elemen atas pada bale daje ini tersusun dari
bahan-bahan alam seperti alang-alang pada penutup bagian atap, bambu sebagai rangka
atap yang diikat dengan tali bambu dan tali ijuk.
Menurut keterangan dari pemilik rumah, bale daje ini berfungsi sebagai meten.
Fungsi lain dari bale dauh ini digunakan sebagai tempat membuat seni kerajinan tangan
seperti ukiran kayu, topeng, patung dan lukisan.
29
3.3.5 Paon
Paon (Dapur) pada tempat ini terleak di sebelah selatan dengan orientasi
menghadap ke arah utara.Paon ini berukuran 3.00m x 4.80m dan terdapat 6 tiang sebagai
penyokong atap.Dapur ini masih sangat tradisional dilihat dari material bangunannya
yang masih menggunakan bahan alami seperti tanah liat, alang-alang, bambu dan
ijuk.Elemen bawah atau lantai pada paon ini masih sangat sederhana yaitu hanya
menggunakan tanah liat yang dipadatkan.Elemen samping merupakan bagian dinding
atau tembok disisun dari batu bata dengan finishing tanah liat (pol-polan).Elemen atas
pada dapur ini tersusun dari bahan-bahan alam seperti alang-alang pada penutup bagian
atap, bambu sebagai rangka atap yang diikat dengan tali bambu dan tali ijuk.Terdapat
tungku atau bungut paon yang berfungsi sebagai tempat memasak selain itu digunakan
sebagai tempat meletakan yadnya sesa atau banten jotan.Diatas bungut paon terdapat
langgatan atau tempat meletakan kayu bakar yang sudah kering dan siap digunakan.
30
BAB IV
KESIMPULAN
2. Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak
merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-
ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah
angin dan sumbu gunung Agung. Hal ini terjadi karena hirarki yang ada
menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah
tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus
terpisah, dan juga hubungan antara dapur dan tempat pemujaan keluarga. Untuk
memahami hirarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini haruslah dipahami
keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur
dan barat. Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung adalah
lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk
meletakkan tempat pemujaan atau di Bali di sebut pamerajan.
31
DAFTAR PUSTAKA
http://yanbawa9.blogspot.co.id/
https://www.academia.edu/4893641/ARSITEKTUR_TRADISIONAL_BALI
http://kosmologidanmitologiarsitekturbali.blogspot.co.id/
http://blueskyplanet.blogspot.co.id/2010/06/rumah-tradisional-bali.html
https://en.wikipedia.org/wiki/Balinese_traditional_house
32