Anda di halaman 1dari 73

TUGAS : FILSAFAT

PENGARUH SIKAP, NORMA SUBJEKTIF, PERSEPSI PENGENDALIAN


DIRI TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PADA KELUARGA
DENGAN ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA TB PARU

AHMAD AN NAUFAL
NIM 131914153051

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepatuhan merupakan satu hal yang sangat penting dalam perilaku hidup

sehat. Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan

nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan

petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya pada waktu yang benar

(Siregar, 2006). Kepatuhan minum obat anti tuberkulosis adalah mengkonsumsi

obat-obatan sesuai yang diresepkan dan yang sudah ditentukan dokter (Gendhis

dkk, 2011). Meskipun kepatuhan mengkonsumsi OAT 4 merupakan kunci

kesembuhan penyakit TB, masih banyak penderita TB yang tidak patuh.

Tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan

1,2 juta kematian (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Menurut laporan Global

Tuberculosis Report 2015, Indonesia menempati urutan ke 2 dengan jumlah

penderita TB terbanyak setelah India, yaitu 10 % dari seluruh penderita di dunia

(WHO, 2015). Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak

330.910 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang

ditemukan pada tahun 2014 yang sebesar 324.539 kasus. Jumlah kasus tertinggi

yang dilaporkan terdapat di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut sebesar 38% dari jumlah seluruh kasus

baru di Indonesia. (Kementerian Kesehatan RI, 2016)

Di Indonesia masih saja ditemukan penderita TB yang tidak patuh dalam

mengkonsumsi OAT. Ketidakpatuhan pasien TB untuk menjalani pengobatan pada


Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) secara teratur tetap menjadi hambatan dalam

mencapai angka kesembuhan yang tinggi (Kemenkes RI, 2013). Hal ini dapat

dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Safri dkk (2013), didapatkan angka

kepatuhan penderita TB dalam mengkonsumsi OAT yaitu sebesar 33%. Sedangkan

penelitian yang dilakukan oleh Prasetya (2009), didapatkan angka kepatuhan

penderita TB dalam mengkonsumsi OAT hanya sebesar 25,86%. Penelitian lain

yang dilakukan oleh Gendhis dkk (2011) didapatkan angka kepatuhan penderita TB

paru dalam mengkonsumsi OAT adalah sebesar 60%. Data ketidakpatuhan berobat

penderita TB paru yang berobat di Puskesmas Sananwetan Kota Blitar mencapai

15 % (Laporan Perkembangan Pelayanan BP TB Puskesmas Sananwetan Blitar,

2011).

Kepatuhan dalam hal kesehatan merupakan sebuah ukuran sejauh mana

pasien mengikuti instruksi atau saran medis (Sabate, 2001). Kepatuahan dalam

konteks terapi obat, yang menjadi ukuran adalah kesesuaian antara dosis yang

diminum dengan dosis obat yang seharusnya (diresepkan) (Düsing, Rainer,

Lottermoser, & Mengden, 2001). Kepatuhan dalam pengobatan TB merupakan hal

yang penting untuk dicermati, karena pengobatan yang tidak sesuai dapat

menyebabkan kekebalan kuman TB terhadap OAT secara meluas yang biasa

disebut dengan MDR-TB. Kepatuhan rata-rata pasien dalam pengobatan jangka

panjang di negara maju hanya sebesar 50%, sedangkan jumlah yang lebih rendah

ditemukan di negara berkembang (WHO, 2015). Tingginya angka ketidakpatuhan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, (Pasek, 2013) dalam penelitiannya menyebutkan

faktor persepsi dan pengetahuan mempengaruhi tingkat kepatuhan minum obat

penderita TB. Hasil studi yang dilakukan oleh (Yuni, 2016) juga menunjukan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang MDR TB dan

kepatuhan pengobatan.

Sebagai upaya meningkatkan kepatuhan, maka perlu adanya sebuah metode

intervensi tentang kepatuhan pasien TB yang lebih baik untuk menimbulkan

perilaku patuh. Menurut (Ajzen, 1985) dalam Theory of Planned Behavior, perilaku

mempunyai dasar pendekatan belief yang membentuk niat dan mendorong individu

untuk melakukan suatu perilaku tertentu, faktor utama pembentuk niat yaitu

attitude, subjective norm, preceived behavior control. Hal itu dibuktikan oleh

penelitian (Miller,2014) bahwa attitude, subjective norm, preceived behavior

control menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap niat (intention). Studi lain

(Peleg, Vilchinsky, Fisher, Khaskia, & Mosseri, 2017) menyebutkan bahwa

Struktur Theory Planned of Behavior memunculkan niat berperilaku patuh. Studi

yang dilakukan (Addisu, 2014) menunjukkan bahwa secara signifikan TPB

memprediksi niat mencari pengobatan pasien TB.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang pengaruh sikap, norma subjektif, persepsi pengendalian diri

kepatuhan minum obat pada keluarga dengan anggota keluarga yang menderita TB

paru.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh sikap, norma subjektif, persepsi pengendalian diri

terhadap kepatuhan minum obat pada keluarga dengan anggota keluarga yang

menderita TB paru.

1.3 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum


Pengaruh sikap, norma subjektif, persepsi pengendalian diri kepatuhan minum

obat pada keluarga dengan anggota keluarga yang menderita TB paru.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis pengaruh model Family Center Nursing Friedman terhadap

sikap perilaku kepatuhan meminum obat pada pasien TB Paru.

2. Menganalisis pengaruh Family Center Nursing Friedman terhadap norma

subjektif perilaku kepatuhan meminum obat pada pasien TB Paru.

3. Menganalisis pengaruh Family Center Nursing Friedman terhadap persepsi

pengendalian kepatuhan meminum obat pada pasien TB Paru.

4. Menganalisis pengaruh Family Center Nursing Friedman terhadap perilaku

kepatuhan meminum obat pada pasien TB Paru.

1.4 Manfaat

1.5.1. Teoritis

Mengembangkan teori model keperawatan Family Center Nursing Friedman

dalam melakukan asuhan keperawatan keluarga yang memiliki penyakit kronis..

1.5.2. Praktis

1. Pasien dan keluarga.

Dapat meningkatkan perilaku keluarga dalam mengawasi kepatuhan minum

obat pasien TB paru.

2. Tenaga kesehatan/Perawat

Sebagai upaya meningkatkan perilaku keluarga dan peran serta dalam

mengawasi kepatuhan minum obat pasien TB paru.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Dasar TB Paru

2.1.1. Pengertian TB Paru

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

tuberculosis complex (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang ]aringan paru, tidak

termasuk pleura (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

2.1.2. Gejala-Gejala Tuberkulosis (TBC)

A. Gejala Utama

Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 ( tiga) minggu atau lebih

(Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002)

B. Gejala tambahan yang sering dijumpai

1. Dahak bercampur darah.

2. Batuk darah

3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada

4. Badan lemah nafsu makan menurun, berat badan turun rasa kurang enak

badan (malaise) berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan deman meriang

lebih dari sebulan (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain

tuberkulosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala

tersebut diatas harus dianggap sebagai seorang “Suspek tuberkulosis “ atau

6
7

tersangka penderita TBC dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis langsung (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

2.1.3. Penemuan Penderita Tuberkulosis (TBC)

A. Penemuan penderita tuberkulosis pada orang dewasa

Penemuan penderita TBC dilakukan secara pasif artinya penjaringan

tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit

pelayanan kesehatan (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002). Penemuan

secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas

kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka

penderita cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding

(penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif). Selain itu semua

kontak penderita TBC Paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa

dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita

sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat

mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen

dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut yaitu sewaktu pagi sewaktu (Pedoman

Nasional Penanggulangan TB, 2002).

2.1.4. Diagnosis Tuberkulosis (TBC)

A. Diagnosis tuberkulosis pada orang Dewasa

Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan

ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis hasil pemeriksaan

dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya

positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
8

yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang (Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002).

1. Kalau hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis sebagai

penderita TBC BTA positif.

2. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC maka pemeriksaan dahak SPS

diulangi.

Apabila fasilitas memungkinkan maka dilakukan pemeriksaan lain misalnya

biakan. Bila ketiga spemen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik spektrum

luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu bila tida ada

perubahan namun gejala klinis tetap mencurigakan TBC ulangi pemeriksaan dahak

SPS (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

1. Kalau hasil SPS positif diagnosis sebagai penderita TBC BTA positif

2. Kalau hasil SPS tetap negatif lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk

mendukung diagnosis TBC

3. Bila hasil rontgen mendukung TBC didiagnosis sebagai penderita TBC BTA

negatif rontgen positif

4. Bila hasil rantgen tidak di dukung TBC penderita tersebut bukan TBC

UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen penderita dapat dirujuk untuk foto

rontgen dada (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).


9

Tersangka Penderita TBC


(Suspek TBC )

Periksa Dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu ( SPS)

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA


+++ / +-- ---
++-

Beri Antibiotik
Periksa Spektrum Luas
Rontgen dada

Tidak ada Ada


Perbaikan perbaikan
Hasil Hasil Tidak
Mendukung TBC Mendukung
TBC Ulangi periksa
dahak SPS

Hasil BTA Hasil BTA


Penderita +++ ---
TBC ++-
BTA Positif +--

Periksa Rontgen
Dada

Hasil Hasil Rontgen


Mendukung TBC NEG

TBC BTA Neg Bukan TBC


Rontgen Pos Penyakit Lain

Gambar 2.1. Alur Diagnasis Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa (Pedoman
Nasional Penanggulangan TB, 2002)
10

Lebih jelas lihat alur diagnosis TBC pada orang dewasa dihalaman berikut di

Indonesia Pada saat ini uji tuberkulosis tidak mempunyai arti dalam menentukan

diagnosis TBC pada orang dewasa sebab sebagian besar masyarakat sudah

terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis karena tingginya prevalensi TBC

Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah

terpapar dengan mycobacterium tuberculosis dilain pihak hasil uji tuberkulin positif

hanya menunjukan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan

mycobacterium tuberculosis dilain pihak hasil uji Tersangka Penderita TBC

tuberkulin dapat negatif meskipu orang tersebut menderita tuberkulosis misalnya

pada penderita HIV/AIDS malnutrisi berat TBC miller dan morbili (Pedoman

Nasional Penanggulangan TB, 2002).

B. Diagnosis Tuberkulosis Ekstra Paru

Gejala tuberkulosis Ekstra paru tergantungan organ yang terkena, misalnya

nyeri dada terdapat pada tuberkulosis pleura (Pleuritis) pembesaran kelenjar limfe

superfisialis pada limfadenitis TBC dan pembengkakan tulang belakang pada

spondilitis TBC. Diagnosis pasti sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat

ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan

diagnosis tergantung ketersediaan alat-alat diagnosis misalnya peralatan rontgen,

biopsi, sarana pemeriksaan patologi anatomi.seorang penderita TBC ekstra Paru

kemungkinan besar juga menderita TBC paru, oleh karena itu perlu dilakukan

pemeriksaan dahak dan foto rantgen dada. Pemeriksaan ini penting untuk penentuan

paduan obat yang tepat (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

2.1.5. Indikasi Pemeriksaan Foto Rontgen Dada


11

Umumnya diagnosis TBC Paru ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis ,namun pada kondisi tertentu perlu dilakukan pemeriksaan rontgen

(Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

A. Suspek dengan BTA Negatif

Setelah diberikan antibiotik spektrum luas tanpa ada perubahan periksa ulang

dahak SPS. Bila hasilnya tetap negatif lakukan pemeriksaan foto rontgen dada

(Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

B. Penderita dengan BTA positif

Hanya pada sebagian kecil dari penderita dengan hasil pemeriksaan BTA

positif yang perlu dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada yaitu:

1. Penderita tersebut diduga mengalami komplikasi, misalnya sesak nafas berat

yang memelurkan penangan khusus contoh: Pneumotorak (adanya udara

didalam ronggo pleura), Pleuritis eksudativa.

2. Penderita yang sering hemoptisis berat untuk menyingkirkan kemungkinan

bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat).

Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif pada kasus ini

pemeriksaan foto rontgen dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TBC paru

BTA positif.

2.1.6. Klasifikasi Penyakit Dan Tipe Penderita

2.1.6.1. Klasifikasi Penyakit

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis memerlukan

suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe

penderita (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi kasus yaitu :
12

1. Organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru

2. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung: BTA positif atau BTA

Negatif

3. Riwayat pengobatan sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

4. Tingkat keparahan penyakit ringan atau berat

A. Tujuan Penentuan Klasifikasi Penyakit Dan Tipe Penderita

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk

menetapkan paduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.

B. Klasifikasi Penyakit

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam :

1. Tuberkulosis Paru BTA Positif

a. Sekurang-kurang 2 dari 3 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif

b. 1 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada

menujukkan gambar tuberkulosis aktif

2. Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen

dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif, TBC paru BTA Negatif Rontgen

Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan

ringan. Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan gambar

kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced“ atau millier) dan atau

keadaan umum penderita buruk (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).


13

C. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura

selaput otak, selaput jantung (pericardium) kelenjar lymfe, tulang persendian, kulit

,usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain TBC ekstra paru dibagi

berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yaitu :

1. TBC Ekstra Paru Ringan

Misalnya TBc kelenjar Limphe, Pleuritis eksudativa unilateral tulang ( kecuali

tulang belakang ), sendi , dan kelenjar adrenal

2. TBC Ekstra Paru Berat

Misal : meningtis , millier, perikarditis, peritionitis, pleuritis eksudativa duplex,

TBC tulang belakang , TBC Usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.

2.1.6.2. Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya ada

beberapa tipe penderita yaitu:

A. Kasus Baru

Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT Kurang dari satu bulan (30 dosis harian) (Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002).

B. Kambuh (Relaps)

Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulisis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi

berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif (Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002).

C. Pindahan (Transfer in)


14

Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten lain

dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus

membawa surat rujukan/pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah

(Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

D. Setelah lalai (Pengobatan setelah default/drop-out)

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2

bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut

kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif (Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002).

E. Lain- lain

1. Gagal

a. Ada penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi

positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih).

b. Adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA

positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.

2. Kasus Kronis

Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai

pengobatan ulang kategori 2.

(Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002)

2.1.7. Pengobatan Penderita

2.1.7.1. Tujuan

a. Menyembuhkan penderita

b. Mencegah kematian

c. Mencegah kekambuhan
15

d. Menurunkan tingkat penularan

(Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002)

2.1.7.2. Jenis Dan Dosis Oat

A. Isoniasid (H)

Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi

kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sanat efektif terhadap

kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang, Dosis

harian yang dianjurkan 5 mg/kkBB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali

seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB (Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002).

B. Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi –dormant (persister) yang

tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kgBB diberikan sama untuk

mengobatan harian maupun intermiten 3 kal seminggu (Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002).

C. Pirasinamid (Z)

Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan

suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kgBB, sedangkan untuk

pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kgBB

(Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

D. Streptomisin (S)

Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan

untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama penderita
16

berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk berumur 60 tahun

atau lebih diberikan 0,50 gr/hari (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

E. Etambulol (E)

Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB

sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30

mg/kgBB (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

2.1.7.3. Prinsip Pengobatan

Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam

jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk

kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan

ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong (Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002).

Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka

waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat

(resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obot, pengobatan perlu

dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=Direcly Observed Treatment) oleh

seorang pengawas Menelan Obat (PMO ) Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap

yaitu tahap intensif dan lanjutan (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

A. Tahap Intensif

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi

langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama

rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya
17

penderita menular menjadi tidak menular dalamkurun waktu 2 minggu sebagian

besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir

pengobatan intensif. Pengawasan Ketet dalam tahap intensif sangat penting untuk

mencegah terjadinya kekebalan obat (Pedoman Nasional Penanggulangan TB,

2002).

B. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum

dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh

kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Pedoman

Nasional Penanggulangan TB, 2002).

2.1.7.4. Paduan Oat Di Indonesia

WHO dan IUATLD (Internatioal Union Against Tuberculosis and lung

Disease) merekomendasikan paduan OAT Standar Yaitu :

Kategori 1 :

a) 2HRZE / 4 H3R3

b) 2HRZE / 4 HR

c) 2HrZE / 6 HE
18

Kategori 2:

a) 2HRZES / HRZE /5H3R3E3

b) 2HRZES / HRZE / 5HRE

Kategori 3:

a) 2HRZ / 4H3R3

b) 2 HRZ / 4 HR

c) 2HRZ / 6 HE

Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT

Kategori 1 : 2 HRZE / 4H3R3

Kategori 2 : 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3

Kategori 3 : 2 HRZ / 4H3R3

Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan (HRZE).

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk

memudahkam pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)

pengobatan sampai selesai satu paket untuk satu penderita dalam satu masa

pengobatan (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

1. Kategori 1 ( 2HRZE/4H3R3 )

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan

Etambutol (E) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE).

Klemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) dan

Rifampisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

Obat ini diberikan untuk :

a) Penderita baru TBC Paru BTA Positif

b) Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang “ sakit berat “ dan
19

c) Penderita TBC Ekstra Paru berat.

Tabel 2.1 Paduan OAT Kategori 1

Dosis Per hari / Kali


Jumlah hari /
Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet
kali menelan
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirasinamid Etambutol
@500 mg obat’
@300 mg @450 mg @250 mg

Tahap Intensif
2 Bulan 1 1 3 3 60
(Dosis harian)

Tahap Lanjutan

(Dosis 2 Bulan 2 1 - - 54

3X seminggu)

Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan B antara 33-50 kg

Satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60

blister HRZE untuk tahap intensif dan 54 blister HRH untuk tahap lanjutan masing-

masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar (Pedoman

Nasional Penanggulangan TB, 2002).

2. Kategori 2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 )

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan

Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari.

Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang

diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan

streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat (Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002).

Obat ini diberikan untuk :

a) Penderita kambuh (relaps)

b) Penderita Gagal (failure)


20

c) Penderita dengan Pengobatan setelah lalai (after default)

Tabel 2.2 Paduan OAT Kategori 2

Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Etambutol Strepto Jumlah

Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirasinamid Tablet @ Tablet @ misin Hari/


@500 mg Kali
@300 mg @450 mg 250 mg 500 mg Injeksi
Menelan

Obat

Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 60

Intensif

(dosis

harian) 1 bulan 1 1 3 3 - 30

Tahap

Lanjutan
5 bulan 2 1 - 1 2 - 66
(dosis 3 x

seminggu)

Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg

Satu paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90

blister HRZE untuk tahap intensif dan 66 blister HRE untuk tahap lanjutan masing-

masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar disamping itu

disediakan 30 vial streptomicin @ 1,5 gr dan pelengkap pengobatan (60 spuit dan

aquabidest) untuk tahap intensif (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

3. Kategori 3 ( 2HRZ / 4H3R3 )


21

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ)

diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali

seminggu (4H3R3) (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

Obat ini diberikan untuk :

a) Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan

b) Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis) pleuritis

eksudativa unilateral TBC kulit , tbc tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan

kelenjar aderenal.
22

Tabel 2.3. Paduan OAT Kategori 3

Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Jumlah hari

Pengobatan Pengobatan Isoniadid Rifampisin Pirasinamid menelan obat

@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg

Tahap intensif
2 bulan 1 1 3 60
(dosis harian)

Tahap
Lanjutan (dosis 4 bulan 2 1 - 54
3x seminggu )

Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 Kg

Satu paket kombipak kategori 3 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60

blister HRZ untuk tahap intensif dan 54 bliter HR untuk tahap lanjutan masing

masing di kemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar (Pedoman

Nasional Penanggulangan TB, 2002).

4. OAT Sisipan ( HRZE )

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan

kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil

pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap hari

selama 1 bulan (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

Tabel 2.4. Paduan OAT Sisipan

Tablet Jumlah
Tablet
Kaplet Tablet
Tahap Lamanya Etambutol hari/kali
Isponiasid Rifampisin Pirasinamid
Pengobatan Pengobatan @
@ 450 mg @ 500 mg menelan
@ 300 mg
250 mg obat

Tahap
Intensif
1 bulan 1 1 3 3 30
(dosis
harian)

Keterangan dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33 – 50 kg.


23

Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos

kecil (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).


24

2.1.7.5. Pemantauan Kemajuan Hasil Pengobatan TBC Pada Orang Dewasa

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan

dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara

mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam

memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak dapat dipakai

untuk memantau kemajuan pengobatan (Pedoman Nasional Penanggulangan TB,

2002).

Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen

sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi) hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke

2 spesimen tersebut negatif bila salah satu spesimen positif, maka hasil pemeriksaan

ulang dahak tersebut dinyatakan positif (Pedoman Nasional Penanggulangan TB,

2002).

Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada :

1. Akhir tahap Intensif

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 2 pengobatan penderita baru

BTA positif dengan kategari 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 3 pengobatan

ulang penderita BTA positif dengan kategori 2 (Pedoman Nasional Penanggulangan

TB, 2002).

Pemeriksaan dahak pada akhir tahap intensif dilakukan untuk mengetahui

apakah telah terjadi konversi dahak yaitu perubahan dari BTA positif menjadi

negatif.

a) Pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1:

Akhir bulan ke 2 pengobatan sebagian besar (seharusnya > 80 %) dari

penderita. Dahaknya sudah BTA negatif (konversi). Penderita ini dapat meneruskan
25

pengobatan dengan tahap lanjutan. jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan

ke 2 hasilnya masih BTA positif, pengobatan diteruskan dengan OAT sisipan

selama 1 bulan. Setelah paket sisipan satu bulan selesai, dahak diperiksa kembali,

Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan meskipun hasil pemeriksaan ulang dahak

BTA masih tetap positif.

b) Pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2:

Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 3 masih positif, tahap

intensif harus diteruskan lagi selama 1 bulan dengan OAT sisipan, Setelah satu

bulan diberi sisipan dahak diperiksa kembali. Pengobatan tahap lanjutan tetap

diberikan meskipun hasil pemeriksaan dahak ulang BTA masih positif. Bila hasil

uji kepekaan obat menunjukan bahwa kuman sudah resisten tehadap 2 atau lebih

jenis OAT, maka penderita tersebut dirujuk ke unit pelayanan spesialistik yang

dapat menangani kasus resisten. Bila tidak mungkin, maka pengobatan dengan

tahap lanjutan diteruskan sampai selesai (Pedoman Nasional Penanggulangan TB,

2002).

c) Pengobatan penderita BTAnegatif rontgen positif dengan kategori 3 (ringan)

atau kategori 1 (berat) :

Penderita TBC paru BTA negatif, rontgen positif, baik dengan pengobatan

kategori 3 (ringan) atau kategori 1 (berat) tetap dilakukan pemeriksaan ulang dahak

pada akhir bulan ke 2. Bila hasil pemeriksaan ulang dahak BTA positif maka ada 2

kemungkinan:

1) Suatu kekeliruan pada pemeriksaan pertama (pada saat diagnsis sebenarnya

adalah BTA positif tapi dilaporkan sebagai BTA negatif).


26

2) Penderita berobat tidak teratur

Seorang penderita yang diagnosa sebagai penderita BTA negatif dan diobati

dengan kategori 3 yang hasil pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2

adalah BTA positif harus didaftar kembali sebagai penderita gagal BTA positif

dan mendapat pengobatan dengan kategori 2 mulai dari awal.

Bila pemeriksaan ulang dahak akhir tahap intensif pada penderita baru dan

penderita pengobatan ulang BTA positif, dahak menjadi BTA negatif pengobatan

diteruskan ketahap lanjutan. Bila pada pemeriksaan ulang dahak akhir pada tahap

akhir intensif penderita BTA negatif Rontgen positif dahak menjadi BTA positif,

penderita dianggap gagal dan dimulai pengobatan dari permulaan dengan kategori

2 (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

2. Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 5 pengobatan penderita baru

BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan

ulang menderita BTA positif dengan katagori 2(Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002).

3. Ahkir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 6 pengobatan pada penderita

baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 8

pengobatan ulang BTA positif, dengan kategori 2. Pemeriksaan ulang dahak pada

sebulan sebelum akhir pengobatan dan akhir pengobatan (AP) bertujuan untuk

menilai hasil pengobatan (“Sembuh atau gagal“) (Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002).


27

Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatan secara

lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up paling sedikit 2 (dua) kali

berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP dan atau sebulan Ap), dan pada satu

pemeriksaan follow up sebelumnya) (Pedoman Nasional Penanggulangan TB,

2002).

Tabel 2.5. Tidak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak

TIPE PENRITA TBC URAIAN HASIL BTA TINDAK LANJUT

Tahap lanjutan
Negatif
dimulai

Dilanjutkan dengan
OAT
Akhir tahap Intensif
Sisipan selama 1
Positif bulan. Jika setelah
Penderita baru positif
sisipan masih tetap
dengan pengobatan positif tahap lanjutan
tetap diberikan
kategori 1
Sebulan sebelum Negatif keduanya Sembuh
Akhir
Gagal ganti dengan
Pengobatan atau OAT
Akhir Positif
kategori 2 mulai dari
pengobatan ( AP awal

Teruskan pengobatan
Negatif
dengan tahap lanjutan

Beri sisipan 1 bulan


jika
Penderita BTA positif
Akhir Intensif setelah sisipan masih
dengan Pengobatan
tetep
ulang
Positif positif teruskan
kategori 2
pengobatan

tahap lanjutan jika ada

fasilitas rujuk untuk


uji
28

kepekaan obat

Negatif keduanya Sembuh

Belum ada
pengobatan
Sebulan sebelum
akhir disebut kasus kronik
jika
pengobatan atau akhir
Positif
mungkin rujuk kepada
pengobatan
unit pelayanan
spesialistik bila tidak
mungkin beri INH
seumur hidup

Terus ketahap
Penderita BTA (-) & Negatif
lanjutan

Ro( +) dengan Ganti dengan kategori


pengobatan kategori Akhir Intensif
Positif 2
3 (ringan) atau
kategori 1 (berat) mulai dari awal

2.1.7.6. Hasil Pengobatan Dan Tindak Lanjut

Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan sebagai: Sembuh

Pengobatan lengkap, meninggal, pindah/Tranfer (out) Defaulter (lalai) DO dan

Gagal (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

A. Sembuh

Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan

pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (Follow Up) paling

sedikit 2 (dua) kali berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada Ap dan/atau sebulan

sebelum AP, dan pada satu pemeriksaan Follow up sebelumnya) (Pedoman

Nasional Penanggulangan TB, 2002).

B. Pengobatan Lengkap
29

Adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap

tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif Tindak

lanjut: penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan

diri dengan mengikuti prosedur tetap. Seharusnya terhadap semua penderita BTA

positif harus dilakukan pemeriksaan ulang dahak (Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002).

C. Meninggal

Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena

sebab apapun (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

D. Pindah

Adalah penderita yang pindah berobat ke daerah Kabupaten/Kota lain. Tindak

lanjut penderita yang ingin pindah dibuatkan surat pindah (From TB 09) dan

bersama sisa obat dikirim ke UPK yang baru. Hasil pengobatan penderita dikirim

kembali ke UPK asal, dengan Formulir TB 10 (Pedoman Nasional Penanggulangan

TB, 2002).

E. Defaulted atau Drop out

Adalah penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih

sebelum masa pengobatannya selesai tindak lanjut lacak penderita tersebut dan

diberi penyuluhan pentingnya berobat secara teratur. Apabila penderita akan

melanjutkan pengobatan lakukan pemeriksaan dahak, Bila positif mulai pengobatan

dengan katagori 2, bila negatif sisa pengobatan katagori 1 dilanjutkan (Pedoman

Nasional Penanggulangan TB, 2002).

F. Gagal
30

1. Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahak nya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada

akhir pengobatan. Tidak lanjut : Penderita BTA positif baru dengan kategori 1

diberikan kategori 2 mulai dari awal, Penderita BTA positif pengobatan ulang

dengan katagori 2 dirujuk ke UPK spesialistik atau berikan INH seumur hidup

2. Penderita BTA Negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan ke

2 menjadi positif, Tindak lanjut berikan pengobatan kategori 2 mulai dari awal

(Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

2.1.7.7. Tatalaksana Penderita Yang Berobat Tidak Teratur

Seorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa

pengobatan selesai, hal ini dapat terjadi karena penderita belum memahami bahwa

obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan. Petugas

kesehatan harus mengusahakan agar penderita yang putus berobat tersebut kembali

ke UPK. Pengobatan yang diberikan tergantung pada tipe penderita lamanya

pengobatan sebelumnya, lamanya putus berobat dan bagaimana hasil pemeriksaan

dahak sewaktu dia kembali berobat untuk jelasnya lihat pada tabel 6 dan tabel 7

berikut (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

Tabel 2.6. Pengobatan Penderita TBC Baru BTA Positif Yang Berobat Tidak
Teratur

Lama Lamanya Perlu tidaknya Hasil Dicatat kembali Tindakkan


pengobatan pengobatan p e meri k sa a n Pemeriksaan sebagai Pengobatan
sebelumnya terputus dahak dahak
Kurang dari < 2 minggu Tidak - - Lanjutkan kat 1
1 bulan 2-8 minggu Tidak - - Mulai lagi kat 1
dari awal
>8 minggu Ya Positif - Mulai lagi kat 1
dari awal
-Negatif - Lanjutkan kat 1
1-2 bulan < 2 minggu Tidak - - Lanjutkan kat 1
31

2 – 8 minggu Positif - Tambahkan


Ya 1Bulan Sisipan
Negatif - Lanjutkan kat 1
> 8 minggu Ya Positif P en go b a ta n Mulai dengan
setelah Default kat 2 dari awal
Negatif P en go b a ta n Lanjutkan kat 1
setelah Default
> 2 bulan < 2 minggu Tidak - - Lanjutkan kat 1
Positif - Mulai dengan
2 – 8 minggu Ya kat 2 dari awal
Negatif - Lanjutan kat 1
> 8 minggu Ya Positif P en go b a ta n Mulai dengan
setelah Default kat 2 dari awal
Negatif P en go b a ta n Lanjutkan kat 1
setelah Default
32

Tabel 2.7. Pengobatan Penderita Tbc Dengan Kategori 2


Lama Lamanya Perlu tidaknya Hasil Dicatat kembali Tindakkan
pengobatan pengobatan p e meri k sa a n pemeriksaan sebagai Pengobatan
sebelumnya terputus dahak dahak
Kurang Dari 1 < 2 minggu Tidak - - Lanjutkan kat 2
Bulan 2-8 minggu Tidak - - Mulai lagi kat 2
dari awal
>8 minggu Ya Positif - Mulai lagi kat 2
dari awal

-Negatif - Lanjutkan kat 2


1 –2 Bulan < 2 minggu Tidak - - Lanjutkan kat 2
Positif - Tambahkan
2 – 8 minggu Ya 1Bulan Sisipan
Negatif - Lanjutkan kat 2
> 8 minggu Ya Positif P en go b a ta n setelah Mulai dengan
Default kat 2 dari awal
Negatif P en go b a ta n setelah Lanjutkan kat 2
Default
> 2 bulan < 2 minggu Tidak - - Lanjutkan kat 2
Positif - Mulai dengan
2 – 8 minggu Ya kat 2 dari awal
Negatif - Lanjutan kat 2
> 8 minggu Ya Positif P en go b a ta n setelah Mulai dengan
Default kat 2 dari awal
Negatif P en go b a ta n setelah Lanjutkan kat 2
Default

2.1.7.8. Pengawasan Menelan Obat (PMO)

Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka

pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan

diperlukan seorang PMO (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

1. Persyaratan PMO

a. Seseorang yang dikenal , dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan

maupun penderita. Selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita

c. Bersedia membantu penderita dengan sukarela

d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita

(Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002)


33

2. Siapa yang bisa jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,

Pekarya Sanitarian, juru imunisasi dll. Bila tidak ada petugas kesehatan yang

memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader Kesehatan, guru, anggota PPTI,

PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002).

3. Tugas Sorang PMO

Mengawasi penderita TBC agar menelan obat secara teratur sanpai selesai

pengobatan

a. Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur

b. Mengingatkan penderita untuk pemeriksa ulang dahak pada waktu waktu yang

telah ditentukan.

c. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TBC yang mempunyai

gejala-gejala tersangka TBC untuk segera memeriksakan diri ke unit Pelayanan

kesehatan.

2.1.7.9. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Sebagian besar penderita TBC dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek

samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu

pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan

selama pengobatan (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

Pemantauan efek samping obat dilakukan dengan cara:

1. Menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping

2. Menanyakan adanya gejala efek sampang pada waktu penderita mengambil

OAT
34

Efek Samping OAT

1. Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam

kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera

dirujuk ke UPK spesialistik (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

2. Efek Samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak

enak gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat-obat

simptomatik atau obat sederhana, tetapi kadang-kadang menetap untuk

beberapa waktu selama pengobatan dalam hal ini pemberian OAT dapat

diteruskan (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

A. Isoniasid (INH)

Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih

0,5% penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus membaik.

Bila tanda-tanda hepatitis nya berat maka penderita harus dirujuk ke UPK

spesialistik. Efek samping INH yang ringan dapat berupa :

1) Tanda- tanda keracunan pada saraf tepi, Kesemutan ,dan nyeri otot atau

gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin

(Vitamin B6 dengan dosis 5–10 mg perhari atau dengan vitamin B Kompleks)

2) Kelainan yang menyerupai defisiensi piridoksin (Syndroma pellagra)

3) Kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal. Bila terjadi efek samping

ini pemberian OAT dapat diteruskan sesuai dosis. (Pedoman Nasional

Penanggulangan TB, 2002)


35

B. Rifampisin

Rifampisin bila diberikan sesuai dosis yang dianjurkan, jarang menyebabkan

efek samping, terutama pada pemakaian terus menerus setiap hari. Salah satu efek

samping, terutama pada pemakaian teru menerus setiap hari. Salah satu efek

samping berat dari rifampisin adalah Hepatitis. Walaupun ini sangat jarang terjadi

Alkoholisme. Penyakit hati yang pernah ada, atau pemakaian obat-obat

hepatotoksis yang lain secara bersana akan meningkatkan risiko terjadinga

hepatitis. Bila terjadi ikterik (kuning) maka pengobatan perlu dihentikan, Bila

hepatitisnya sudah hilang/sembuh pemberian rifampisin dapat diulang lagi.

1. Efek samping Rifampisin yang berat tapi terjadi adalah :

a. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas, kadang-kadang

disertai dengan kolaps atau renjatan (Syok). Penderita ini perlu dirujuk ke

UPK spesialistik karena memerlukan perawatan darurat.

b. Purpura, anemia haemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal bila salah satu

dari gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan

diberikan lagi meskipun gejalanya sudah menghilang Sebaiknya segera

dirujuk ke UPK spesialistik

2. Efek samping Rifampisin yang ringan adalah :

a. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

b. Sindrom flu berupa demam, menggigil, nyeri tulang

c. Sndrom perut berupa nyeri perut, mual, muntah, kadang-kadang diare.

Efek Samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat

sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik, Rifampisin dapat

menyebabkan warna merah pada air sesi, keringat, air mata, air liur. Hasil ini harus
36

diberitahukan kepada penderita agar penderita tidak jadi khawatir, Warna merah

tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya (Pedoman

Nasional Penanggulangan TB, 2002).

C. Pirasinamid

Efek samping utama dari penggunaan pirasinamid adalah hepatitis. Juga

dapat terjadi nyeri sendi dan kadang–kadang dapat menyebabkan serangan arthritis

gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam

urat kadang–kadang terjadi reaksi hipersensitas misalnya demam, mual kemerahan

dan reaksi kulit yang lain (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

D. Streptomisin

Efek samping utama dari streptomisin adalah kerusakkan syaraf kedelapan

yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran, Risiko efek samping

tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan

umur penderita. Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan

pertama dengan tanda-tanda telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan

keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau

dosisnya dikurangi dengan 0,25 gr jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat

keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).

Risiko ini terutama akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi

ekskresi ginjal. Reaksi hipersensitas kadang-kadang terjadi berupa demam yang

timbul tiba-tiba disertai dengan sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit

hentikan pengobatan dan segera rujuk penderita ke UPK spesialistik. Efek samping

sementara dan ringan misalnya reaksi setempat pada bekas suntikan, rasa

kesemutan pada sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera
37

setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu (jarang terjadi) maka dosis dapat

dikurangi dengan 0,25 gr streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga

tidak boleh diberikan pada wanit hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran

janin (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

E. Etambutol

Etambutol dapat menyebab kan gangguan penglihatan berupa berkurangnya

ketajaman Penglihatan, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun

demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai. Efek

samping jarang terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB per hari atau 30 mg/kg BB

yang diberikan tiga (3) kali seminggu. Setiap penderita yang menerima etambutol

harus diingatkan bahwa bila terjadi gejala-gejala gangguan penglihatan supaya

segera dilakukan pemeriksaan mata. Gangguan penglihatan akan kembali normal

dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Karena risiko kerusakan okuler

sulit dideteksi pada anak-anak, maka etambutol sebaiknya tidak diberikan pada

anak. Tabel 9 dan Tabel 10 berikut menjelaskan efek samping dengan pendekatan

gejala tabel 9 Untuk efek samping ringan sedangkan tabel 10 untuk efek samping

berat (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).

Tabel 2.8 Efek Samping Ringan dari OAT :


Efek Samping Penyebab Enanganan

Tidak ada nafsu makan mual sakit Rifampisin Obat dimunun malam sebelum tidur
perut
Nyesi Sendi Pirasinamid Beri aspirim
Kesemutan s/d rasa terbakar di Kaki INH Beri Vitamin 86 ( PIRIDOXIN per hari)

Warna kemerahan pada air seni ( Rifampisin Tidak erlu diberi apa-apa tapi perlu
urine ) penyelasan kepada penderitas

2.2. Konsep Dasar Perilaku


38

2.2.1. Definisi Perilaku

J.P. Chaplin dalam Pieter dan Lubis (2010) menjelaskan bahwa perilaku

adalah kumpulan reaksi, perbuatan, aktifitas, gabungan gerakan, tanggapan, atau

jawaban yang dilakukan seseorang seperti proses berpikir, bekerja, hubungan seks,

dan sebagainya. Notoatmodjo mendefenisikan perilaku sebagai totalitas dari

penghayatan dan aktivitas yang memengaruhi perhatian, pengamatan, pikiran, daya

ingat, dan fantasi seseorang. Perilaku adalah totalitas respon, semua respon juga

sangat tergantung pada karakteristik seseorang.

Skinner (1938) dikutip dari Notoatmodjo (2003), mendefinisikan perilaku

sebagi hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon) dan

respons. Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap

stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan, serta lingkungan.

2.2.2. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku

Pieter dan Lubis (2010) menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh lima

faktor yaitu:

1. Emosi

Emosi adalah reaksi kompleks yang berhubungan dengan kegiatan atau

perubahan-perubahan secara mendalam dan hasil pengalaman dari rangsangan

eksternal dan keadaan fisiologis. Emosi menyebabkan seseorang terangsang

untuk memahami objek atau perubahan yang disadari sehingga

memungkinkannya untuk mengubah sikap atau perilakunya. Bentuk-bentuk

emosi yang berhubungan dengan perubahan perilaku yaitu rasa marah, gembira,

bahagia, sedih, cemas, takut, benci, dan sebagainya.


39

2. Persepsi

Persepsi adalah pengalaman-pengalaman yang dihasilkan melalui indra

penglihatan, pendengaran, penciuman. Persepsi seseorang mampu mengetahui

atau mengenal objek melalui alat penginderaan.

3. Motivasi

Hasil motivasi akan diwujudkan dalam bentuk perilaku, karena dengan motivasi

individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis

dan sosial.

4. Belajar

Belajar adalah salah satu dasar memahami perilaku manusia, karena belajar

berkaitan dengan kematangan dan perkembangan fisik, emosi, motivasi,

perilaku sosial dan kepribadian. Melalui belajar orang mampu mengubah

perilaku dari perilaku sebelumnya dan menampilkan kemampuannya sesuai

kebutuhannya.

5. Inteligensi

Inteligensi adalah kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap

situasi-situasi baru secara cepat dan efektif serta memahami berbagai

interkonektif dan belajar dengan menggunakan konsep-konsep abstrak secara

efektif.

Lawrence Green (1991) menjelaskan bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi

oleh faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior

causes). Perilaku kesehatan ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu :

1. Faktor Predisposisi (Predisposing faktor)


40

Terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, status social dan

nilai-nilai.

2. Faktor pendukung (enabling faktor)

Faktor pendukung meliputi tersedianya atau tidak tersedianya fasilitas

kesehatan/ sarana-sarana kesehatan misalnya:. Puskesmas, obat-obatan dan

jamban.

3. Faktor Pendorong (reinforcing faktor)

Terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang

merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Rumusan teori digambarkan sebagai berikut :

B= f (PF,EF,FR)

Keterangan:

B : Behavior

PF : Predisposing factor

EF : Enabling factor

RF : Reinforcing factor

f : Fungsi

Perilaku adalah sesuatu yang kompleks yang merupakan resultan dari

berbagai macam aspek internal maupun eksternal, psikologis maupun fisik.

Perilaku tidak berdiri sendiri dan selalu berkaitan dengan faktor-faktor lain.

Pengaruhnya terhadap status kesehatan dapat langsung maupun tidak langsung.

2.2.3. Domain Perilaku Kesehatan

Bloom (1908) dikutip dari Notoatmodjo (2003) membagi perilaku dalam tiga

domain/ ranah yaitu : pengetahuan, sikap dan tindakan/ praktik. Dalam


41

perkembangan selanjutnya para ahli pendidikan dan untuk kepentingan hasil

pendidikan, ketiga domain ini dapat diukur dari :

1. Pengetahuan

Pengetahuan yang merupakan domain yang sangat penting untuk terjadinya

tindakan merupakan hasil dari “tahu” dimana terjadinya setelah melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu, misalnya: pengetahuan tentang

materi pembelajaran yang diberikan oleh nara sumber. Pengetahuan yang

dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yakni:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya, termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebgai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan

sebagainya terhadap objek yang dipelajari.


42

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sasni dapat

diartikan penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam

konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur

organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (shynthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Sintesis merupakan suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari

formulasi-formulasi yang sudah ada.

Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003), perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan.

Proses pembentukan perilaku adalah sebagai berikut:

a. Awareness (kesadaran)

Orang menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus.

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tertentu. Di sinilah

sikap objek mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
43

d. Trial, subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang

dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2. Sikap

Sikap adalah reaksi/ respon/ tanggapan seseorang yang masih tertutup

terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003)

menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni: 1)

Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek, 2) Kehidupan

emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek, 3) Kecenderungan

untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama

membentuk sikap yang utuh (total attitude). Sikap terdiri dari beberapa

tingkatan, yaitu:

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (objek).

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas

yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Suatu usaha untuk menjawab

pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar

atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang

lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
44

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

risiko adalah sikap yang paling tinggi.

Sarlito (2000) yang dikutip dari Sunaryo (2004) sikap dapat dibentuk atau

berubah melalui empat cara yaitu:

a. Adopsi

Adopsi merupakan kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi berulang

dan terus-menerus dimana semakin lama akan diserap ke dalam diri individu

dan mempengaruhi terbentuknya sikap.

b. Eferensiasi

Berkembangnya inteligensi, bertambahnya pengalaman sejalan dengan

bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang terjadi dianggap sejenis, sekarang

dianggap lepas dari jenisnya. Objek tersebut dapat terbentuk pula secara

tersendiri.

c. Integrasi

Pembentukan sikap dapat terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai

pengetahuan yang berhubungan dengan hal tertentu.

d. Trauma

Trauma adalah suatu cara pembentukan atau perubahan sikap melalui suatu

kejadian secara tiba-tiba dan mengejutkan sehingga meninggalkan kesan

mendalam dalam diri individu tersebut. Kejadian tersebut akan membentuk

atau mengubah sikap individu terhadap kejadian sejenis.


45

e. Generalisasi

Generalisasi adalah suatu cara pembentukan atau perubahan sikap karena

pengalaman traumatik pada diri individu terhadap hal tertentu, dapat

menimbulkan sikap negatif terhadap semua hal yang sejenis atau sebaliknya.

Faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap:

a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam diri seseorang yang

bersangkutan seperti selektifitas. Kita tidak dapat menangkap seluruh

rangsangan dari luar melalui persepsi, oleh karena kita harus memilih

rangsangan mana yang akan kita dekati, dan mana yang harus dijauhi. Pilihan

ini ditentukan oleh motif-motif dan kecenderungan dalam diri.

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar manusia, yaitu: sifat

objek yang dijadikan sasaran sikap, kewibawaan orang yang menggunakan

suatu sikap, media komunikasi yang digunakan dalam penyampaian sikap,

dan situasi pada saat sikap terbentuk.

3. Praktik atau tindakan

Sunaryo (2004), suatu sikap pada diri individu belum tentu terwujud dalam suatu

tindakan. Agar sikap terwujud dalam perilaku nyata diperlukan faktor

pendukung (support) atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tingkatan praktik

meliputi:
46

a. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

b. Respon terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan

contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.

c. Mekanisme (mechanism)

Individu dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sudah

menjadi kebiasaan adalah indikator praktik tingkat tiga.

d. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dan dimodifiasi

dengan baik tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut.

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada

domain kognitif yang berarti bahwa subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus

yang berupa materi atau objek di luarnya. Hal ini kan menimbulkan respon batin

dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui. Rangsang yang telah

diketahui dan disadari tersebut akan menimbulkan respon yang lebih jauh lagi yaitu

berupa tindakan terhadap atau sehubungan dengan stimulus.

2.3. Teori Perilaku Theory Of Planned Behavior (TPB) AJEN

Teori Perilaku yang direncanakan (Planned Behavior Theory) yang disingkat

dengan PBT merupakan pengembangan lebih lanjut dari TRA. Seperti pada teori

TRA, faktor inti dari TPB adalah niat individu dalam melakukan perilaku tertentu.

Niat diasumsikan sebagai penangkap motivasi yang mempengaruhi suatu perilaku.


47

Secara umum, semakin kuat niat untuk terlibat dalam perilaku maka semakin besar

kemungkinan perilaku tersebut dilakukan (Ajzen, 1991).

Ajzen (1991) menambahkan konstruk yang belum ada dalam TRA, yaitu

persepsi terhadap pengendalian yang dapat dilakukan (perceived behavioral

control). Konstruk ini ditambahkan dalam upaya memahami keterbatasan yang

dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu. Dengan kata lain,

dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap

dan norma subjektif semata, tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol yang

dapat dilakukannya yang bersumber pada keyakinannya terhadap kontrol tersebut

(control beliefs).

Background
factors:
Attitude toward behavioral:
1. Personal
General
Attitude
1. behavioral belief
Personality 2. outcome evaluations
Trait
Values
Emotions
Intelligence
Subjective Norms:
2. Social
Age,gender Intention Behavior
1. normative belief
Race
2. motivation to comply
Etnicity
Education
Income
Religion
Perceived Behavioral Control
3. Information
Experience 1. controllability/control
Knowledge
Media Expo 2. perceived power

Gambar 2.3 The Theory of Planned Behavior (Ajzen, 2005)

Dalam Poliakoff and Webb (2007), terdapat tiga faktor yang dapat

memprediksi timbulnya suatu niat (behavioral intention); yaitu sikap (attitude),


48

norma subjektif (subjective norm) dan persepsi terhadap pengendalian (perceived

behavioral control).

Hubungan antar variabel tersebut dalam teori ini, yaitu (Ajzen, 1991):

1. Latar belakang (background factors), seperti usia, jenis kelamin, suku, status

sosial ekonomi, suasana hati, sifat kepribadian, dan pengetahuan)

mempengaruhi sikap dan perilaku individu terhadap sesuatu hal. Faktor latar

belakang pada dasarnya adalah sifat yang hadir di dalam diri seseorang, yang

dalam model Kurt Lewin dikategorikan ke dalam aspek O (organism). Di dalam

kategori ini Ajzen memasukkan tiga faktor latar belakang, yakni personal, sosial,

dan informasi. Faktor personal adalah sikap umum seseorang terhadap sesuatu,

sifat kepribadian (personality traits), nilai hidup (values), emosi, dan kecerdasan

yang dimilikinya. Faktor sosial antara lain adalah usia, jenis kelamin (gender),

etnis, pendidikan, penghasilan, dan agama. Faktor informasi adalah pengalaman,

pengetahuan dan ekspose pada media.

2. Keyakinan perilaku atau behavioral belief yaitu hal-hal yang diyakini oleh

individu mengenai sebuah perilaku dari segi positif dan negatif, sikap terhadap

perilaku atau kecenderungan untuk bereaksi secara afektif terhadap suatu

perilaku, dalam bentuk suka atau tidak suka pada perilaku tersebut. Semakin

positif keyakinan individu akan akibat suatu obyek sikap, maka akan semakin

positif pula sikap individu terhadap obyek tersebut, demikian pula sebaliknya

(Fishbein & Ajzen, 1975 dalam Wijaya, 2008).

3. Keyakinan normatif (normative beliefs), yang berkaitan langsung dengan

pengaruh lingkungan yang secara tegas dikemukakan oleh Lewin dalam Field

Theory. Pendapat Lewin ini digaris bawahi juga oleh Ajzen melalui PBT.
49

Menurut Ajzen, faktor lingkungan sosial khususnya orang-orang yang

berpengaruh bagi kehidupan individu (significant others) dapat mempengaruhi

keputusan individu.

4. Keyakinan kontrol (control beliefs) yaitu keyakinan tentang keberadaan

berbagai hal yang mendukung atau menghambat niat atau perilaku yang akan

ditampilkan. Keyakinan bahwa suatu perilaku dapat dilaksanakan didapat dari

berbagai hal, antara lain penagalaman melakukan perilaku yang sama

sebelumnya atau pengalaman yang diperoleh karena melihat orang lain

melakukan perilaku itu sehingga seseorang memiliki keyakinan untuk dapat

melaksanakannya. Selain pengetahuan, keterampilan dan pengalaman

keyakinan individu mengenai suatu perilaku akan dapat dilaksanakan ditentukan

juga oleh ketersediaan waktu, fasilitas dan memiliki kemampuan untuk

mengatasi setiap kesulitan yang menghambat pelaksanaan perilaku.

5. Sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavior). Di antara berbagai faktor

yang dapat mempengaruhi kemudahan sikap diakses (accessibility) adalah

tingkat kepentingan, jumlah frekuensi pengaktifan yang telah dilakukan

sebelumnya, dan kekuatan asosiasi suatu konsep dengan sikap. Konsumen yang

memiliki sikap yang secara umum baik atau buruk terhadap suatu produk tidak

berarti bahwa konsumen tersebut akan selalu merealisasikan setiap

kemungkinan sikap baik atau buruk sehubungan dengan produk bersangkutan

(Simamora, 2007). Menurut Mustikasari (2007) sikap adalah suatu bentuk

evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah

perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak

mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut. Sikap


50

mempunyai peran penting dalam menjelaskan prilaku seseorang dalam

lingkungannya, walaupun masih banyak faktor lain yang mempengaruhi

perilaku, seperti stimulus, latar belakang individu, motivasi dan status

kepribadian. Sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavior) merupakan

fungsi dari dua komponen yakni keyakinan berperilaku (behavioral beliefs) dan

evaluasi terhadap hasil yang diperoleh (evaluations of behavioral outcomes).

Sebagaimana rumus di bawah ini: Ab = α Σ bi ei


6. Norma subjektif (subjective norm) adalah sejauh mana seseorang memiliki

motivasi untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan

dilakukannya (normative belief). Kalau individu merasa itu adalah hak

pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh

orang lain disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan orang tentang

perilaku yang akan dilakukannya. Fishbein & Ajzen (1975) menggunakan istilah

motivasi individu (motivation to comply) untuk menggambarkan fenomena ini,

yaitu apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam

hidupnya atau tidak. Sebagaimana rumus di bawah ini:

Ab =pengendalian
7. Persepsi terhadap α Σ bi ei (Perceived Behavioral Control), yaitu

keyakinan (beliefs) bahwa individu pernah melaksanakan atau tidak perilaku

tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu untuk melakukan perilaku itu,

kemudian individu melakukan estimasi atas kemampuan dirinya (control belief)

apakah dia punya kemampuan atau tidak memiliki kemampuan untuk

melaksanakan perilaku itu. Selain itu, adanya persepsi individu terhadap

kekuatan atau kemampuan faktor kendali (perceived power) juga mempengaruhi

individu dalam menentukan niat untuk melakukan atau tidak akan melakukan
51

perilaku tersebut. Ajzen menamakan kondisi ini dengan “persepsi tehadap

pengendalian” (perceivedAb = α Σ bi econtrol).


behavioral i Sebagaimana rumus dibawah ini:

8. Niat untuk melakukan perilaku (intention) adalah kecenderungan seseorang

untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini

ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku

tertentu, dan sejauh mana kalau dia memilih untuk melakukan perilaku tertentu

itu dia mendapat dukungan dari orang-orang lain yang berpengaruh dalam

kehidupannya.

9. Perilaku (behavior) adalah suatu tindakan. Sikap terhadap tindakan berkaitan

dengan dampaknya, nilai yang terkait dengan tindakan, etika dan tradisi

(Simamora, 2008). Niat berperilaku (behavioral intention) dan perilaku

(behavior) adalah dua hal yang berbeda. Perilaku (behavior) adalah tindakan

atau kegiatan nyata yang dilakukan. Perilaku (behavior) dilakukan karena

individu mempunyai minat atau keinginan untuk melakukannya (Jogiyanto,

2007).

2.4. Konsep Keluarga

2.4.1 Defenisi Keluarga

Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan

keterikatan aturan, emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang

merupakan bagian dari keluarga (Friedman, 1998). Keluarga adalah unit terkecil

dari masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya,

atau ibu dan anaknya (Suprajitno, 2004).

2.4.2 Tipe Keluarga


52

Friedman (1998) menyatakan bahwa tipe-tipe keluarga dibagi atas keluarga

inti, keluarga orientasi, keluarga besar. Keluarga inti adalah keluarga yang sudah

menikah, sebagai orang tua, atau pemberi nafkah. Keluarga inti terdiri dari suami

istri dan anak mereka baik anak kandung ataupun anak adopsi. Keluarga orientasi

(keluarga asal) yaitu unit keluarga yang didalamnya seseorang dilahirkan. Keluarga

besar yaitu keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai

hubungan darah seperti kakek dan nenek, paman dan bibi (Suprajitno, 2004).

2.4.3 Fungsi Keluarga

Ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga sebagai berikut :

1. Fungsi biologis: untuk meneruskan keturunan, memeliharan dan membesarkan

anak dan memenuhi kebutuhan gizi keluarga serta memelihara dan merawat

keluarga.

2. Fungsi psikologis :memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan

perhatian diantara anggota keluarga, membina pendewasaan kepribadian

anggota keluarga,memberikan identitas keluarga.

3. Fungsi sosialisasi: membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma

tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak, meneruskan nilai-nilai

budaya keluarga.

4. Fungsi ekonomi: mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi

kebutuhan keluarga, pengatur pengguna penghasilan keluarga untuk memenuhi

kebutuhan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga

di masa yang akan datang misalnya pendidikan anak-anak, jaminan hari tua dan

sebagainya.
53

5. Fungsi pendidikan: menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan,

keterampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang

dimilikinya, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang

dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa, mendidik anak sesuai

dengan tingkat-tingkat perkembangannya.

2.4.5.Tugas Keluarga di Bidang Kesehatan

Suprajitno (2004) menyatakan bahwa fungsi pemeliharaan kesehatan,

keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan,

meliputi:

1. Mengenal masalah kesehatan keluarga

Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena

tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah

kadang seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orang tua perlu

mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota

keluarga. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak

langsung menjadi perhatian orang tua/keluarga, apabila menyadari adanya

perubahan keluarga, perlu dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi,

dan seberapa besar perubahannya.

2. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga

Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan

yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga dengan pertimbangan siapa diantara

keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan

tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan

tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi, jika keluarga
54

mempunyai keterbatasan dapat meminta bantuan kepada orang di lingkungan

tinggal keluarga agar memperoleh bantuan.

3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan

Seringkali keluarga telah mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi

keluarga memiliki keterbatasan yang telah diketahui keluarga sendiri, jika

demikian, anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu

memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih parah

tidak terjadi.

4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga.

5. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan disekitarnya bagi keluarga.

2.5. Model Keluarga Friedman (Family Centered Nursing)

Praktek keluarga sebagai pusat keperawatan (family-centered nursing)

didasarkan pada perspektif bahwa keluarga adalah unit dasar untuk perawatan

individu dari anggota keluarga dan dari unit yang lebih luas. Keluarga adalah unit

dasar dari sebuah komunitas dan masyarakat, mempresentasikan perbedaan budaya,

rasial, etnik, dan sosioekonomi. Aplikasi dari teori ini termasuk

mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya ketika melakukan

pengkajian dan perencanaan, implementasi, dan evaluasi perawatan pada anak dan

keluarga (Hitchcock, Schubert,Thomas, 1999).

Penerapan asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan family-centered

nursing salah satunya menggunakan Friedman Model. Pengkajian dengan model

ini melihat keluarga sebagai subsistem dari masyarakat (Allender & Spradley,

2005). Proses keperawatan keluarga meliputi: pengkajian, diagnosa keperawatan,

intervensi, implementasi, dan evaluasi.


55

Keluarga merupakan entry point dalam pemberian pelayanan kesehatan di

masyarakat, untuk menentukan resiko gangguan akibat pengaruh gaya hidup dan

lingkungan. Potensi dan keterlibatan keluarga menjadi makin besar, ketika salah

satu anggota keluarganya memerlukan bantuan terus menerus karena masalah

kesehatannya bersifat kronik, seperti misalnya pada penderita pasca stroke. Praktek

keluarga sebagai pusat keperawatan (family-centered nursing), didasarkan pada

perspektif bahwa keluarga unit dasar untuk keperawatan individu dari anggota

keluarga. Keluarga adalah unit dasar dari sebuah komunitas dan masyarakat,

mempresentasikan perbedaan budaya, relasi, lingkungan, dan sosioekonomi.

Aplikasi dari teori ini termasuk mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi,

lingkungan, tipe keluarga dan budaya ketika melakukan pengkajian dan

perencanaan, implementasi dan evaluasi perawatan pada anak dan keluarga

(Hitchcock, Schubert & Thomas 1999; Friedman dkk, 2003). Penerapan asuhan

keperawatan keluarga dengan pendekatan family-centered nursing, salah satunya

menggunakan pendekatan proses keperawatan yang didasarkan pada Friedman

model. Pengkajian dengan model ini, melihat keluarga dengan subsistem dari

masyarakat (Friedman dkk, 2003; Allender dan Spradley 2005). Proes keperawatan

keluarga dengan fokus pada keluarga sebagai klien (family-centered nrsing) ,

meliputi: pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.

1. Asuhan keperawatan keluarga, difokuskan pada peningkatan kesehatan seluruh

anggota keluarga, melalui perbaikan dinamika hubugan internal keluarga,

struktur dan fungsi keluarga yang terdiri dari efeksi, sosialisasi, reproduksi,

ekonomi dan perawatan kesehatan bagi anggota keluarga, untuk dapat merawat

anggota keluarganya yang sakit dan bagi anggota keluarga yang lain agar tidak
56

tertular penyakit, serta adanya interdependensi antar anggota keluarga sebagai

suatu system, dan meningkatkan hubungan keluarga dengan lingkungannya

(Friedman dkk, 2003)

2. Tujuan dari asuhan keperawatan keluarga memandirikan keluarga dalam

melakukan pemeliharaan kesehatan para anggotanya, untuk itu keluarga harus

melakukan 5 tugas kesehatan keluarga, diantaranya yaitu: mampu memutuskan

tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga, mampu merawat anggota keluarga

yang mengalami gangguan kesehatan, mampu mempertahankan suasana di

rumah yang sehat atau memodifikasi lingkungan untuk menjamin kesehatan

anggota keluarga; mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan

disekitarnya bagi keluarga (Bailon dan Maglaya dalam Freeman, 1981).

Keluarga merupakan suatu sistem, dimana jika salah satu anggota keluarga

bermasalah, akan mempengaruh sistem anggota keluarga yang lain, begitupun

sebaliknya (Stanhope & Lancaster, 2004).

3. Ada beberapa alasan mengapa keluarga menjadi salah satu sentral dalam

perawatan yaitu: (1) keluarga sebagai sumber dalam perawatan kesehatan; (2)

masalah kesehatan individu akan berpengaruh pada anggota keluarga yang

lainnya; (3) keluarga merupakan tempat berlangsungnya komunikasi individu

sepanjang hayat, sekaligus menjadi harapan bagi setiap anggotanya; (4)

penemuan kasus-kasus suatu penyakit sering diawali dari keluarga; (5) anggota

keluarga lebih mudah menerima suatu informasi, jika informasi tersebut

didukung oleh anggota keluarga lainnya, dan (6) keluarga meruakan support

sytem bagi individu (Friedman dkk, 2003). Pendekatan yang dilakukan dalam

asuhan keperawatan keluarga adalah proses keperawatan, yang terdiri dari


57

pengkajian individu dan keluarga, perumusan diagnosis keperawatan,

penyusunan rencana asuhan keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi dari

tindakan yang telah dilaksanakan (Friedman dkk, 2003).

a. Pengkajian

Adalah suatu tahapan dimana seorang perawat mendapatkan informasi

secara terus-menerus, terhadap anggota keluarga yang dibinanya.

b. Diagnosis keperawatan

Data yang telah dikumpulkan pada tahap pengkajian, selanjutnya

dianalisis, sehingga dapat dirumuskan diagnosis keperawatannya. Rumusan

diagnosis keperawatan keluarga ada tiga jenis, yaitu diagnosis aktual, resiko dan

potensial. Etiologi dalam diagnosis keperawatan keluarga didasarkan pada

pelaksanaan lima tugas kesehatan (Friedman dkk, 2003).

c. Perencanaan

Perencanaan keperawatan keluarga terdiri dari, penetapan tujuan yang

mencakup tujuan umum dan tujuan khusus, dilengkapi dengan kriteria dan

standar serta rencana tindakan. Penetapan tujuan dan rencana tindakan dilakukan

bersama dengan keluarga, karena diyakini bahwa keluarga bertanggung jawab

dalam mengatur kehidupannya, dan perawat mambantu menyediakan informasi

yang relevan untuk memudahkan keluarga mengambi keputusan (Carey, dikutip

dalam Friedman dkk, 2003).

d. Implementasi

Implementasi keperawatan dinyatakan untuk, mengatasi malasah

kesehatan dalam keluarga dan ditujukan pada, lima tugas kesehatan keluarga

dalam rangka menstimulasi kesadara atau penerimaan keluarga mengenai


58

malasalah kesehatannya. Disamping itu menstimulasi keluarga untuk

memutuskan cara perawatan yang tepat, memberi kemampuan dan kepercayaan

diri pada keluarga, dalam merawat anggota keluarga yang sakit, serta membantu

keluarga menemukan bagaimana cara membuat lingkungan menjadi sehat, dan

memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yag tersedia

(Bailon & magalaya, dikutip dalam Freman 1981; Friedman dkk, 2003).

e. Evaluasi

Evaluasi pada asuhan keperawatan keluarga dilakukan untuk menilai

tingkat kognitif, afektif dan psikomotor keluarga (Friedman dkk, 2003). Evaluasi

perlu pada setiap tindakan, untuk mengetahui apakah suatu tindakan

keperawatan tidak diperlukan lagi. Proses evaluasi yang digunakan peneliti

untuk menilai tingkat kemandirian keluarga, berdasarkan kriteria keluarga

mandiri dari Depkes R.I (2006).

Pengkajian terhadap keluarga Pengkajian anggota keluarga secara


Mengidentifikasi data sos-bud, data lingkungan, individual
struktur dan fungsi, stress keluarga dan koping Mental, fisik, emosional, sosial dan
strategis spiritual.

Identifikasi masalah-masalah
keluarga dan individu

Diagnosis keperawatan
59

Rencana keperawatan
Sususn tujuan, identifikasi sumber daya, definisikan
pendekatn alternatif, pilih intervensi keperawatan, susun
prioritas

Intervensi; implementasi rencana

Evaluasi keperawatan

Gambar 2.5 Model family-centered nursing, (Friedman dkk, 2003)


60

2.6. Keaslian Penelitian

No Judul Desain Penelitian Sampel Variabel Instrumen

1 Predictors Of Cross-sectional 763 Pasien yang Independen : Instrumen


Treatment Seeking study berusia > 15 penelitian
Intention Among tahun dengan - behavioral mengguakan
People With Cough batuk lebih dari 2 belief kuesioner yang
In East Wollega, minggu - normative dikembangkan
Ethiopia Based On belief. dari kuesioner
The Theory of - control Theory of
Planned Behavior: belief. Planned
A Community Based Behavior.
Cross-Sectional
Study - 9 item pada
Dependen :
behavioral
Intentions belief
- 12 item pada
Penulis : normative
(Addisu, Birhanu, belief.
Tilahun, & Assefa, - 8 item pada
2014) control belief.

2 Automated RCTs 120 penerima Independen : Pembuka botol


Reminders and transplantasi pil wireless
Physician ginjal di satu Pengingat
Notification to pusat. otomatis dan
Promote notifikasi
medis
Immunosuppression
Adherence Among Dependen :
Kidney Transplant Kepatuhan
Recipients: A imunosupresi
Randomized Trial

Penulis:

(Reese et al., 2016)

3 The effect of RCTs 46.581 orang US Independen : Binary measure


interactive of optimal
remainders on Intractive adherence
Reminder
61

No Judul Desain Penelitian Sampel Variabel Instrumen

medication
adherence: A
Dependen :
randomized trial
Kepatuhan
Penulis pengobatan

(Dai et al., 2017)

4 Education Desain Penelitian Sample dari Independen : Instrumen yang


Moderates Theory ini adalah Studi penelitian ini digunakan
of Planned Prospektif sebanyak 106 - Education adalah kuesioner
Behavior Prediction Longitudinal pasien ACS laki- TPB yang
of Cardiac laki. - Sructure of dikembangkan
Medication Theory secara khusus
Adherence Planned sesuai keperluan
Bertujuan untuk Behavior
memperoleh penelitian.
pemahaman yang
Penulis: komperhensif
tentang kepatuhan Dependen : Menggunakan 7
(Peleg et al., 2017) terhadap poin skala SD.
Adherence
pengobatan,
memoderasi role
play dan education
tentang sikap,
norma subjektif,
dan persepsi
pengendalian
perilaku (PBC)
yang berasal dari
TPB pada niat dan
kepatuhan

5 Desain Sistem action research 16 responden Independen : Wawancara


Pengingat Berbasis mendalam dan
SMS untuk Desain Sistem observasi
Meningkatkan Pengingat lapangan
Berbasis SMS
Kepatuhan
Pengobatan Pasien
Diabetes Melitus
Dependen :

Kepatuhan
Penulis: Pengobatan
Pasien
62

No Judul Desain Penelitian Sampel Variabel Instrumen

(Lubis et al., 2016) Diabetes


Melitus

6 Theory of Planned Systematic Review 680 studi yang Independen : Peneliti mencari
Behavior and kemudian pencarian studi
adherence in Meta Analisis disaring. Konstruk dari menggunakan
chronic illness: Theory of database
Alasan eksklusi Planned elektronik, yaitu
a meta-analysis adalah: Behavior: PsycINFO,
tidak - Sikap MEDLINE,
menggunakan - Subjective CINAHL dan
Penulis: kepatuhan Norm. ISI Web of
sebagai hasil, - Precieved Science.
(Rich, Brandes,
Mullan, Hagger, & tidak ada variabel Behavior Abstrak disaring
Rich, 2015) dari TPB atau Control. oleh dua peneliti
konstruk Theory - Intention menggunakan
of Planned model sosial-
Behavior yang kognitif.
diukur, pasien Dependen :
tidak penderita Kepatuhan
penyakit kronis, dalam
penelitian yang penyakit
tidak empiris, dan kronis.
tidak terdapat
korelasi.

Sehingga
didapatkan 27
studi.

7 Applying The Penelitian ini Sample sebanyak Independen : Theory of


Theory of Planned menggunakan mix 211 siswa sekolah Planned
Behavior to methods, yaitu dasar (kelas 4-6) Structure of Behavior
Understand Plate cross-sectional Theory Quetionnaire.
Waste of Elementry dengan desain two Planned
School Student phases dan three Behavior
data colections
point.
Penulis: Dependen :

(Miller, Modeste, self-reported


Hopp, & Jara, 2015) plate waste
63

No Judul Desain Penelitian Sampel Variabel Instrumen

8 Kepatuhan Pasien Cross-sectional 33 responden Independen : MMAS-8


Pada Penggunaan
Obat Antidiabetes Metode Pill-
Dengan Metode Count dan
Pill-Count dan Mmas-8
Mmas-8 Di
Dependen :
Puskesmas Kedurus
Surabaya Kepatuhan
Pasien Pada
Penggunaan
Penulis: Obat
Antidiabetes
(Rosyida,
Priyandani,
Sulistyarini, & Nita,
2015).

9 Interventions for Penelitian ini Jumlah Artikel Independen : Pencarian artikel


enchancing adalah Systematic yang diulas melalui The
medication Review sebanyak 182 Interventions Cochrane
adherence (Review) studi RCTs. Library,
Peneliti menyeleksi MEDLINE,
artikel uji coba EMBASE,
Dependen :
(RCT) yang PsycINFO,
Penulis: membandingkan medication CINAHL, dan
(Nieuwlaat et al., kelompok adherence sosiologis
2014) intervensi dan Abstrak (melalui
kelompok kontrol. ProQuest) pada
tanggal dengan
tidak ada
pembatasan
bahasa.

10 The effects of Jenis penelitian ini Sample yang Independen : Pencarian jurnal
ubjective norms on adalah digunakan 196 menggunakan
behaviour in the studi. Subjective database
theory of planned Meta – Analysis. Norm elektronik
behaviour: A meta- melalui
analysis PsychINFO,
Bertujuan untuk Dependen : PsychArticles
meneliti hubungan dan database
64

No Judul Desain Penelitian Sampel Variabel Instrumen

Penulis: antara dua jenis Behavior MEDLINE


norma subjektif menggunakan
(Manning, 2009) (preceived istilah pencarian
injunctive dan sederhana 'TPB’.
descriptive norm) Dibatasi 10
terhadap perilaku tahun terakhir.
dalam konteks
Theory of Planned
Behavior.

11 The relationship Cross-sectional Sampel sebanyak Independen : - Konstruk dari


between the Theory 567 orang TPB
of Planned dewasa. Konstruk dari menggunakan
Behavior and Theory of TPB kuesioner
medication Planned dengan 7 point
Behavior: skala SD.
adherence in - Kepatuhan
patients with - Sikap
minum obat
epilepsy. - Subjective
Norm. menggunakan
- Precieved kuesioner
Behavior MARS.
Penulis : Control.
(Lin, Updegraff, & - Intention
Pakpour, 2016)
Dependen :

Kepatuhan
dalam minum
obat.

12 Hubungan Fase Penelitian Sample 59 Pasien Independen : Kuesioner


Pengobatan Tb Dan observasional TB yang berobat
Pengetahuan analitik dengan dan mendapatkan - Fase
Tentang Mdr Tb pendekatan cross OAT. Pengobatan
Dengan Kepatuhan sectional. TB
65

No Judul Desain Penelitian Sampel Variabel Instrumen

Pengobatan Pasien - Pengetahuan


Tb tentang
MDR TB

Penulis: Dependen :
(Yuni, 2016) Kepatuhan
Pengobatan
Pasien TB

13 Psychosocial Cross-sectional 901 pasien Independen: Kuesioner TPB


factors associated diabetes tipe 2 dan Kuesioner
Faktor Adherence
with adherence to
psikososial MMAS.
non-insulin berdasar
konstruk TPB.
antidiabetes
treatments

Dependen:

Penulis : Kepatuhan
perawatan
(Guénette, Breton, antidiabetes
Guillaumie, & non-insulin
Lauzier, 2015).

14 Predicting healthy Cross-sectional 455 wanita hamil Independen : Kuesioner TPB


eating intention and di Australia dan kuesioner
adherence to Konstruk dari gizi berbasis
dietary Theory of web.
Planned
recommendations Behavior:
during pregnancy in
Australia using the - Sikap
Theory of Planned - Subjective
Behaviour Norm.
- Precieved
Behavior
Control.
Penulis : - Intention
66

No Judul Desain Penelitian Sampel Variabel Instrumen

(Malek, Umberger, Dependen :


Makrides, &
Shaojia, 2017) Niat makan
sehat dan
kepatuhan diet
BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Ontologi
Ontologi seringkali diidentifikasikan dengan metafisika, yang juga disebut
dengan proto-filsafat atau filsafat yang pertama. Persoalan tentang ontologi
menjadi pembahasan yang utama dalam bidang filsafat, yang membahas
tentang realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada
sesuatu kebenaran. Realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-
pertanyaan: apakah sesungguhnya hakikat realitas yang ada ini?; apakah
realitas yang tampak ini sesuatu realita materi saja? Adakah sesuatu di balik
realita itu? Apakah realitas ini terdiri dari satu bentuk unsur (monisme), dua
unsur (dualisme) atau pluralisme? Dalam pendidikan, kegiatan
membimbing anak untuk memahami realita dunia dan membina kesadaran
tentang kebenaran yang berpangkal atas realita merupakan stimulus menyelami
kebenaran tahap pertama.
Konsep sakit-sehat senantiasa berubah sejalan dengan pengalaman kita
tentang nilai, peran penghargaan dan pemahaman kita terhadap kesehatan.
Dimulai pada zaman keemasan yunani bahwa sehat itu sebagai sesuatu yang
dibanggakan sedang sakit sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat. Kepatuhan
dalam hal kesehatan merupakan sebuah ukuran sejauh mana pasien mengikuti
instruksi atau saran medis (Sabate, 2001). Kepatuahan dalam konteks terapi
obat, yang menjadi ukuran adalah kesesuaian antara dosis yang diminum
dengan dosis obat yang seharusnya (diresepkan) (Düsing, Rainer, Lottermoser,
& Mengden, 2001). Kepatuhan dalam pengobatan TB merupakan hal yang
penting untuk dicermati, karena pengobatan yang tidak sesuai dapat
menyebabkan kekebalan kuman TB terhadap OAT secara meluas yang biasa
disebut dengan MDR-TB. Kepatuhan merupakan satu hal yang sangat penting
dalam perilaku hidup sehat.
Sebagai perawat yang memberikan pelayanan professional sebagai bagian
integral dari pelayanan kesehatan yang meliputi aspek bio-psiko-sosio-spiritual
yang komprehensif di tujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan

87
88

komunitas sehat maupun sakit yang menyangkut siklus hidup manusia.


Keperawatan dapat di pandang sebagai suatu profesi karena mempunyai sense
of art humanities, pendidikan berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi
memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui praktek dalam profesi,
memiliki perhimpunan, memberlakukan kode etik keperawatan (aksiologi
keperawatan), otonomi, dan motivasi bersifat altruistik (sikap tanpa pamrih)

3.2 Epistemologi
Epistemologi adalah nama lain dari logika material atau logika
mayor yang membahas dari isi pikiran manusia, yaitu pengetahuan.
Epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan, bagaimana
mengetahui benda-benda. Pengetahuan ini berusaha menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti: cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan
dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan
manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga
akhirnya diketahui manusia. Dengan demikian epistemologi ini membahas
sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan hakekat pengetahuan yang
memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan
kebenaran kepada murid-muridnya. Dasar konsep sehat sakit menjadi
acuaan pemahaman pengetahuan.
Ketidakpatuhan pasien TB untuk menjalani pengobatan pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) secara teratur tetap menjadi hambatan
dalam mencapai angka kesembuhan yang tinggi (Kemenkes RI, 2013).
Kepatuhan rata-rata pasien dalam pengobatan jangka panjang di negara
maju hanya sebesar 50%, sedangkan jumlah yang lebih rendah ditemukan
di negara berkembang (WHO, 2015). Tingginya angka ketidakpatuhan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, (Pasek, 2013) dalam penelitiannya
menyebutkan faktor persepsi dan pengetahuan mempengaruhi tingkat
kepatuhan minum obat penderita TB. Hasil studi yang dilakukan oleh (Yuni,
2016) juga menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pengetahuan tentang MDR TB dan kepatuhan pengobatan. Epistemologi
membahas tentang penegetahuan seperti batasan, sumber pengetahuan,
89

metode memperoleh pengetahuan, kebenaran suatu pengetahuan


berdasarkan bukti ilmiah, serta perkembangan ilmu keperawatan untuk
kesejahteraan manusia.
3.3 Axiologi
Aksiologi adalah bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value). Nilai dan
implikasi aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan yang menguji dan
mengintegrasikan semua nilai (nilai tindakan moral, nilai ekspresi keindahan
dan nilai kehidupan sosio-politik) di dalam kehidupan manusia dan
membinanya ke dalam kepribadian anak. Pertanyaan yang berkaitan dengan
aksiologi adalah apakah yang baik atau bagus?
Sebagai upaya meningkatkan kepatuhan, maka perlu adanya sebuah metode
intervensi tentang kepatuhan pasien TB yang lebih baik untuk menimbulkan
perilaku patuh. Menurut (Ajzen, 1985) dalam Theory of Planned Behavior,
perilaku mempunyai dasar pendekatan belief yang membentuk niat dan
mendorong individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu, faktor utama
pembentuk niat yaitu attitude, subjective norm, preceived behavior control.
Hal itu dibuktikan oleh penelitian (Miller,2014) bahwa attitude, subjective
norm, preceived behavior control menunjukkan hubungan yang signifikan
terhadap niat (intention). Studi lain (Peleg, Vilchinsky, Fisher, Khaskia, &
Mosseri, 2017) menyebutkan bahwa Struktur Theory Planned of Behavior
memunculkan niat berperilaku patuh. Studi yang dilakukan (Addisu, 2014)
menunjukkan bahwa secara signifikan TPB memprediksi niat mencari
pengobatan pasien TB.
Etika yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral,
kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Sejak
masa Sokrates dan para kaum shopis dipersoalkan mengenai masalah kebaikan,
keutamaan, keadilan dan sebagianya. Franz Magnis Suseno mengartikan
sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini
sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan
adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak
menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah
90

pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia
mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Dalam
hal ini akan dibicarakan dalam kode etik keperawatan, etika biomedis, etika
penelitian . sehingga manusia tau dari sebab akibat suatu hal dan dapat
mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan. Penelitian ini menaati kaidah
penelitian agar dapat mengetahui secara pasti tentang ilmu TB dan kepatuhan
klien dalam meminum obat untuk keberhasilan kesembuhan.
BAB 4

KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan

Sebagai perawat yang memberikan pelayanan professional sebagai


bagian integral dari pelayanan kesehatan yang meliputi aspek bio-psiko-
sosio-spiritual yang komprehensif di tujukan kepada individu, keluarga,
kelompok dan komunitas sehat maupun sakit yang menyangkut siklus hidup
manusia. Keperawatan dapat di pandang sebagai suatu profesi karena
mempunyai sense of art humanities, pendidikan berbasis keahlian pada
jenjang pendidikan tinggi memberikan pelayanan kepada masyarakat
melalui praktek dalam profesi, memiliki perhimpunan, memberlakukan
kode etik keperawatan (aksiologi keperawatan), otonomi, dan motivasi
bersifat altruistik (sikap tanpa pamrih)

87
88

DAFTAR PUSTAKA

Addisu, Y., Birhanu, Z., Tilahun, D., & Assefa, T. (2014). Predictor Of Treatment
Seeking Intention Among People With Cough In East Wollega , Ethiopia.
Ajzen, I. (1985). From Intentions to Actions: A Theory of Planned Behavior.
Springer - Verlag Berlin Heidelberg.
Ajzen, I. (1991). The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior And
Human Decision Proceses, 50, 179–211. https://doi.org/10.1016/0749-
5978(91)90020-T
Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality and Behavior. (T. Manstead, Ed.) (2nd ed.).
Open University Press.
Based On The Theory of Planned Behavior: A Community Based Cross-Sectional
Study. Ethiop J Health Sci, 24(2).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.4314/ejhs.v24i2.5.
Dai, H., Mao, D., Volpp, K. G., Pearce, H. E., Relish, M. J., Lawnicki, V. F., &
Milkman, K. L. (2017). The effect of interactive remainders on medication
adherence: A randomized trial. Preventive Medicine.
https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2017.07.019
Guénette, L., Breton, M., Guillaumie, L., & Lauzier, S. (2015). Journal of Diabetes
and Its Complications Psychosocial factors associated with adherence to
non-insulin antidiabetes treatments. Journal of Diabetes and Its
Complications. https://doi.org/10.1016/j.jdiacomp.2015.10.016
Kemenkes. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. (T. Dinihari,
Ed.). Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Kemenkes. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67
Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Indonesia: Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
Lin, C., Updegraff, J. A., & Pakpour, A. H. (2016). Epilepsy & Behavior The
relationship between the Theory of Planned Behavior and medication
adherence in patients with epilepsy. Epilepsy & Behavior, 61, 231–236.
https://doi.org/10.1016/j.yebeh.2016.05.030
Lubis, I. K., Harjoko, A., Sari, F., & Dewi, T. (2016). Desain Sistem Pengingat
Berbasis SMS untuk Meningkatkan Kepatuhan Pengobatan Pasien Diabetes
Melitus. Journal of Information Systems for Public Health, 1(1), 3–9.
Manning, M. (2009). The effects of subjective norms on behaviour in the theory of
planned behaviour: A meta-analysis. British Journal of Social Psychology,
48, 649–705. https://doi.org/10.1348/014466608X393136
89

Miller, J., Modeste, N., Hopp, J., & Jara, E. (2015). Applying The Theory of
Planned Behavior to Understand Plate Waste of Elementry School Student.
Proquest LLC.
Nieuwlaat, R., Wilczynski, N., Navarro, T., Hobson, N., Jeffery, R., Keepanasseril,
A., … Rb, H. (2014). Interventions for enhancing medication adherence (
Review ). The Cochrane Database of Systematic Reviews, 11(11),
CD000011. https://doi.org/10.1002/14651858.CD000011.PUB4
Pasek, S. (2013). Tuberkulosis dengan Kepatuhan Pengobatan. Jurnal Magister
Kedokteran Keluarga, 1(1), 14–23. Retrieved from
http://jurnal.pasca.uns.ac.id
Peleg, S., Vilchinsky, N., Fisher, W., Khaskia, A., & Mosseri, M. (2017).
Attachment Orientation Moderates Theory of Planned Behavior Prediction
of Cardiac Medication Adherence. Journal of Personality, 1–42.
https://doi.org/10.1111/jopy.12294
Reese, P. P., Bloom, R. D., Trofe-clark, J., Mussell, A., Leidy, D., Levsky, S., …
Volpp, K. (2016). Automated Reminders and Physician Notification to
Promote Immunosuppression Adherence Among Kidney Transplant
Recipients: A Randomized Trial. American Journal of Kidney Diseases.
https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2016.10.017
Rich, A., Brandes, K., Mullan, B., Hagger, M. S., & Rich, A. (2015). Theory of
Planned Behavior and adherence in chronic illness : a meta-analysis.
Journal of Behavioral Medicine. https://doi.org/10.1007/s10865-015-9644-
3
Rosyida, L., Priyandani, Y., Sulistyarini, A., & Nita, Y. (2015). Kepatuhan Pasien
Pada Penggunaan Obat Antidiabetes Dengan Metode Pill-Count Dan
MMAS-8 Di Puskesmas Kedurus Surabaya. Jurbak Farmasu Komunitas,
2(2), 36–41.
Sabate, E. (2001). WHO Adherence Meeting Report. Geneva: World Health
Organization.
WHO. (2015). Global Tuberculosis Report (20th ed.). France: WHO Library
Cataloguing-in-Publication Data.
Yuni, I. (2016). Hubungan Fase Pengobatan TB Dan Pengetahuan Tentang Mdr TB
Dengan Kepatuhan Pengobatan Pasien TB ( Studi Di Puskesmas Perak

Anda mungkin juga menyukai