AHMAD AN NAUFAL
NIM 131914153051
PENDAHULUAN
Kepatuhan merupakan satu hal yang sangat penting dalam perilaku hidup
nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan
petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya pada waktu yang benar
obat-obatan sesuai yang diresepkan dan yang sudah ditentukan dokter (Gendhis
1,2 juta kematian (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Menurut laporan Global
(WHO, 2015). Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak
ditemukan pada tahun 2014 yang sebesar 324.539 kasus. Jumlah kasus tertinggi
yang dilaporkan terdapat di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut sebesar 38% dari jumlah seluruh kasus
mencapai angka kesembuhan yang tinggi (Kemenkes RI, 2013). Hal ini dapat
dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Safri dkk (2013), didapatkan angka
yang dilakukan oleh Gendhis dkk (2011) didapatkan angka kepatuhan penderita TB
paru dalam mengkonsumsi OAT adalah sebesar 60%. Data ketidakpatuhan berobat
2011).
pasien mengikuti instruksi atau saran medis (Sabate, 2001). Kepatuahan dalam
konteks terapi obat, yang menjadi ukuran adalah kesesuaian antara dosis yang
yang penting untuk dicermati, karena pengobatan yang tidak sesuai dapat
panjang di negara maju hanya sebesar 50%, sedangkan jumlah yang lebih rendah
penderita TB. Hasil studi yang dilakukan oleh (Yuni, 2016) juga menunjukan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang MDR TB dan
kepatuhan pengobatan.
perilaku patuh. Menurut (Ajzen, 1985) dalam Theory of Planned Behavior, perilaku
mempunyai dasar pendekatan belief yang membentuk niat dan mendorong individu
untuk melakukan suatu perilaku tertentu, faktor utama pembentuk niat yaitu
attitude, subjective norm, preceived behavior control. Hal itu dibuktikan oleh
control menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap niat (intention). Studi lain
kepatuhan minum obat pada keluarga dengan anggota keluarga yang menderita TB
paru.
terhadap kepatuhan minum obat pada keluarga dengan anggota keluarga yang
menderita TB paru.
1.4 Manfaat
1.5.1. Teoritis
1.5.2. Praktis
2. Tenaga kesehatan/Perawat
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gejala Utama
Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 ( tiga) minggu atau lebih
2. Batuk darah
4. Badan lemah nafsu makan menurun, berat badan turun rasa kurang enak
tuberkulosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala
6
7
secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas
penderita cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding
(penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif). Selain itu semua
kontak penderita TBC Paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa
dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut yaitu sewaktu pagi sewaktu (Pedoman
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya
positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
8
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang (Pedoman Nasional
2. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC maka pemeriksaan dahak SPS
diulangi.
biakan. Bila ketiga spemen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik spektrum
luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu bila tida ada
perubahan namun gejala klinis tetap mencurigakan TBC ulangi pemeriksaan dahak
1. Kalau hasil SPS positif diagnosis sebagai penderita TBC BTA positif
2. Kalau hasil SPS tetap negatif lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk
3. Bila hasil rontgen mendukung TBC didiagnosis sebagai penderita TBC BTA
4. Bila hasil rantgen tidak di dukung TBC penderita tersebut bukan TBC
UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen penderita dapat dirujuk untuk foto
Beri Antibiotik
Periksa Spektrum Luas
Rontgen dada
Periksa Rontgen
Dada
Gambar 2.1. Alur Diagnasis Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa (Pedoman
Nasional Penanggulangan TB, 2002)
10
Lebih jelas lihat alur diagnosis TBC pada orang dewasa dihalaman berikut di
Indonesia Pada saat ini uji tuberkulosis tidak mempunyai arti dalam menentukan
diagnosis TBC pada orang dewasa sebab sebagian besar masyarakat sudah
Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah
terpapar dengan mycobacterium tuberculosis dilain pihak hasil uji tuberkulin positif
pada penderita HIV/AIDS malnutrisi berat TBC miller dan morbili (Pedoman
nyeri dada terdapat pada tuberkulosis pleura (Pleuritis) pembesaran kelenjar limfe
spondilitis TBC. Diagnosis pasti sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
kemungkinan besar juga menderita TBC paru, oleh karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan dahak dan foto rantgen dada. Pemeriksaan ini penting untuk penentuan
Setelah diberikan antibiotik spektrum luas tanpa ada perubahan periksa ulang
dahak SPS. Bila hasilnya tetap negatif lakukan pemeriksaan foto rontgen dada
Hanya pada sebagian kecil dari penderita dengan hasil pemeriksaan BTA
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif pada kasus ini
pemeriksaan foto rontgen dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TBC paru
BTA positif.
suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe
Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi kasus yaitu :
12
2. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung: BTA positif atau BTA
Negatif
menetapkan paduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.
B. Klasifikasi Penyakit
b. 1 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen
dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif, TBC paru BTA Negatif Rontgen
Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan
ringan. Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan gambar
kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced“ atau millier) dan atau
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura
selaput otak, selaput jantung (pericardium) kelenjar lymfe, tulang persendian, kulit
,usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain TBC ekstra paru dibagi
TBC tulang belakang , TBC Usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.
A. Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT Kurang dari satu bulan (30 dosis harian) (Pedoman Nasional
B. Kambuh (Relaps)
dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2
bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut
E. Lain- lain
1. Gagal
a. Ada penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih).
b. Adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA
2. Kasus Kronis
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
2.1.7.1. Tujuan
a. Menyembuhkan penderita
b. Mencegah kematian
c. Mencegah kekambuhan
15
A. Isoniasid (H)
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sanat efektif terhadap
kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang, Dosis
B. Rifampisin (R)
tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kgBB diberikan sama untuk
C. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
D. Streptomisin (S)
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama penderita
16
berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk berumur 60 tahun
atau lebih diberikan 0,50 gr/hari (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).
E. Etambulol (E)
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk
kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan
ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong (Pedoman Nasional
Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka
waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat
seorang pengawas Menelan Obat (PMO ) Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap
yaitu tahap intensif dan lanjutan (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).
A. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya
17
besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir
pengobatan intensif. Pengawasan Ketet dalam tahap intensif sangat penting untuk
2002).
B. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
Kategori 1 :
a) 2HRZE / 4 H3R3
b) 2HRZE / 4 HR
c) 2HrZE / 6 HE
18
Kategori 2:
Kategori 3:
a) 2HRZ / 4H3R3
b) 2 HRZ / 4 HR
c) 2HRZ / 6 HE
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk
pengobatan sampai selesai satu paket untuk satu penderita dalam satu masa
1. Kategori 1 ( 2HRZE/4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan
Etambutol (E) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE).
Klemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) dan
Rifampisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
b) Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang “ sakit berat “ dan
19
Tahap Intensif
2 Bulan 1 1 3 3 60
(Dosis harian)
Tahap Lanjutan
(Dosis 2 Bulan 2 1 - - 54
3X seminggu)
Satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60
blister HRZE untuk tahap intensif dan 54 blister HRH untuk tahap lanjutan masing-
masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar (Pedoman
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari.
Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
Obat
Intensif
(dosis
harian) 1 bulan 1 1 3 3 - 30
Tahap
Lanjutan
5 bulan 2 1 - 1 2 - 66
(dosis 3 x
seminggu)
Satu paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90
blister HRZE untuk tahap intensif dan 66 blister HRE untuk tahap lanjutan masing-
masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar disamping itu
disediakan 30 vial streptomicin @ 1,5 gr dan pelengkap pengobatan (60 spuit dan
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ)
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
b) Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis) pleuritis
eksudativa unilateral TBC kulit , tbc tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan
kelenjar aderenal.
22
Tahap intensif
2 bulan 1 1 3 60
(dosis harian)
Tahap
Lanjutan (dosis 4 bulan 2 1 - 54
3x seminggu )
Satu paket kombipak kategori 3 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60
blister HRZ untuk tahap intensif dan 54 bliter HR untuk tahap lanjutan masing
masing di kemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar (Pedoman
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap hari
Tablet Jumlah
Tablet
Kaplet Tablet
Tahap Lamanya Etambutol hari/kali
Isponiasid Rifampisin Pirasinamid
Pengobatan Pengobatan @
@ 450 mg @ 500 mg menelan
@ 300 mg
250 mg obat
Tahap
Intensif
1 bulan 1 1 3 3 30
(dosis
harian)
Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos
memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak dapat dipakai
2002).
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi) hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke
2 spesimen tersebut negatif bila salah satu spesimen positif, maka hasil pemeriksaan
2002).
BTA positif dengan kategari 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 3 pengobatan
TB, 2002).
apakah telah terjadi konversi dahak yaitu perubahan dari BTA positif menjadi
negatif.
penderita. Dahaknya sudah BTA negatif (konversi). Penderita ini dapat meneruskan
25
pengobatan dengan tahap lanjutan. jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan
selama 1 bulan. Setelah paket sisipan satu bulan selesai, dahak diperiksa kembali,
Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan meskipun hasil pemeriksaan ulang dahak
Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 3 masih positif, tahap
intensif harus diteruskan lagi selama 1 bulan dengan OAT sisipan, Setelah satu
bulan diberi sisipan dahak diperiksa kembali. Pengobatan tahap lanjutan tetap
diberikan meskipun hasil pemeriksaan dahak ulang BTA masih positif. Bila hasil
uji kepekaan obat menunjukan bahwa kuman sudah resisten tehadap 2 atau lebih
jenis OAT, maka penderita tersebut dirujuk ke unit pelayanan spesialistik yang
dapat menangani kasus resisten. Bila tidak mungkin, maka pengobatan dengan
2002).
Penderita TBC paru BTA negatif, rontgen positif, baik dengan pengobatan
kategori 3 (ringan) atau kategori 1 (berat) tetap dilakukan pemeriksaan ulang dahak
pada akhir bulan ke 2. Bila hasil pemeriksaan ulang dahak BTA positif maka ada 2
kemungkinan:
Seorang penderita yang diagnosa sebagai penderita BTA negatif dan diobati
dengan kategori 3 yang hasil pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2
adalah BTA positif harus didaftar kembali sebagai penderita gagal BTA positif
Bila pemeriksaan ulang dahak akhir tahap intensif pada penderita baru dan
penderita pengobatan ulang BTA positif, dahak menjadi BTA negatif pengobatan
diteruskan ketahap lanjutan. Bila pada pemeriksaan ulang dahak akhir pada tahap
akhir intensif penderita BTA negatif Rontgen positif dahak menjadi BTA positif,
penderita dianggap gagal dan dimulai pengobatan dari permulaan dengan kategori
BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan
3. Ahkir pengobatan
baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 8
pengobatan ulang BTA positif, dengan kategori 2. Pemeriksaan ulang dahak pada
sebulan sebelum akhir pengobatan dan akhir pengobatan (AP) bertujuan untuk
lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up paling sedikit 2 (dua) kali
berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP dan atau sebulan Ap), dan pada satu
2002).
Tahap lanjutan
Negatif
dimulai
Dilanjutkan dengan
OAT
Akhir tahap Intensif
Sisipan selama 1
Positif bulan. Jika setelah
Penderita baru positif
sisipan masih tetap
dengan pengobatan positif tahap lanjutan
tetap diberikan
kategori 1
Sebulan sebelum Negatif keduanya Sembuh
Akhir
Gagal ganti dengan
Pengobatan atau OAT
Akhir Positif
kategori 2 mulai dari
pengobatan ( AP awal
Teruskan pengobatan
Negatif
dengan tahap lanjutan
kepekaan obat
Belum ada
pengobatan
Sebulan sebelum
akhir disebut kasus kronik
jika
pengobatan atau akhir
Positif
mungkin rujuk kepada
pengobatan
unit pelayanan
spesialistik bila tidak
mungkin beri INH
seumur hidup
Terus ketahap
Penderita BTA (-) & Negatif
lanjutan
A. Sembuh
pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (Follow Up) paling
sedikit 2 (dua) kali berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada Ap dan/atau sebulan
B. Pengobatan Lengkap
29
tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif Tindak
diri dengan mengikuti prosedur tetap. Seharusnya terhadap semua penderita BTA
C. Meninggal
D. Pindah
lanjut penderita yang ingin pindah dibuatkan surat pindah (From TB 09) dan
bersama sisa obat dikirim ke UPK yang baru. Hasil pengobatan penderita dikirim
TB, 2002).
Adalah penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai tindak lanjut lacak penderita tersebut dan
F. Gagal
30
1. Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahak nya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada
akhir pengobatan. Tidak lanjut : Penderita BTA positif baru dengan kategori 1
diberikan kategori 2 mulai dari awal, Penderita BTA positif pengobatan ulang
dengan katagori 2 dirujuk ke UPK spesialistik atau berikan INH seumur hidup
2. Penderita BTA Negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan ke
2 menjadi positif, Tindak lanjut berikan pengobatan kategori 2 mulai dari awal
pengobatan selesai, hal ini dapat terjadi karena penderita belum memahami bahwa
obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan. Petugas
kesehatan harus mengusahakan agar penderita yang putus berobat tersebut kembali
dahak sewaktu dia kembali berobat untuk jelasnya lihat pada tabel 6 dan tabel 7
Tabel 2.6. Pengobatan Penderita TBC Baru BTA Positif Yang Berobat Tidak
Teratur
Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
1. Persyaratan PMO
a. Seseorang yang dikenal , dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan
maupun penderita. Selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita
Pekarya Sanitarian, juru imunisasi dll. Bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader Kesehatan, guru, anggota PPTI,
PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Pedoman Nasional
Mengawasi penderita TBC agar menelan obat secara teratur sanpai selesai
pengobatan
b. Mengingatkan penderita untuk pemeriksa ulang dahak pada waktu waktu yang
telah ditentukan.
kesehatan.
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu
OAT
34
1. Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam
kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera
2. Efek Samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak
beberapa waktu selama pengobatan dalam hal ini pemberian OAT dapat
A. Isoniasid (INH)
Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih
0,5% penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus membaik.
Bila tanda-tanda hepatitis nya berat maka penderita harus dirujuk ke UPK
1) Tanda- tanda keracunan pada saraf tepi, Kesemutan ,dan nyeri otot atau
3) Kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal. Bila terjadi efek samping
B. Rifampisin
efek samping, terutama pada pemakaian terus menerus setiap hari. Salah satu efek
samping, terutama pada pemakaian teru menerus setiap hari. Salah satu efek
samping berat dari rifampisin adalah Hepatitis. Walaupun ini sangat jarang terjadi
hepatitis. Bila terjadi ikterik (kuning) maka pengobatan perlu dihentikan, Bila
disertai dengan kolaps atau renjatan (Syok). Penderita ini perlu dirujuk ke
b. Purpura, anemia haemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal bila salah satu
dari gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
Efek Samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat
menyebabkan warna merah pada air sesi, keringat, air mata, air liur. Hasil ini harus
36
diberitahukan kepada penderita agar penderita tidak jadi khawatir, Warna merah
tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya (Pedoman
C. Pirasinamid
dapat terjadi nyeri sendi dan kadang–kadang dapat menyebabkan serangan arthritis
dan reaksi kulit yang lain (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2002).
D. Streptomisin
tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau
dosisnya dikurangi dengan 0,25 gr jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
Risiko ini terutama akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi
timbul tiba-tiba disertai dengan sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit
hentikan pengobatan dan segera rujuk penderita ke UPK spesialistik. Efek samping
sementara dan ringan misalnya reaksi setempat pada bekas suntikan, rasa
kesemutan pada sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera
37
setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu (jarang terjadi) maka dosis dapat
tidak boleh diberikan pada wanit hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran
E. Etambutol
ketajaman Penglihatan, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai. Efek
samping jarang terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB per hari atau 30 mg/kg BB
yang diberikan tiga (3) kali seminggu. Setiap penderita yang menerima etambutol
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Karena risiko kerusakan okuler
sulit dideteksi pada anak-anak, maka etambutol sebaiknya tidak diberikan pada
anak. Tabel 9 dan Tabel 10 berikut menjelaskan efek samping dengan pendekatan
gejala tabel 9 Untuk efek samping ringan sedangkan tabel 10 untuk efek samping
Tidak ada nafsu makan mual sakit Rifampisin Obat dimunun malam sebelum tidur
perut
Nyesi Sendi Pirasinamid Beri aspirim
Kesemutan s/d rasa terbakar di Kaki INH Beri Vitamin 86 ( PIRIDOXIN per hari)
Warna kemerahan pada air seni ( Rifampisin Tidak erlu diberi apa-apa tapi perlu
urine ) penyelasan kepada penderitas
J.P. Chaplin dalam Pieter dan Lubis (2010) menjelaskan bahwa perilaku
jawaban yang dilakukan seseorang seperti proses berpikir, bekerja, hubungan seks,
ingat, dan fantasi seseorang. Perilaku adalah totalitas respon, semua respon juga
sebagi hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon) dan
stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
Pieter dan Lubis (2010) menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh lima
faktor yaitu:
1. Emosi
emosi yang berhubungan dengan perubahan perilaku yaitu rasa marah, gembira,
2. Persepsi
3. Motivasi
Hasil motivasi akan diwujudkan dalam bentuk perilaku, karena dengan motivasi
dan sosial.
4. Belajar
Belajar adalah salah satu dasar memahami perilaku manusia, karena belajar
kebutuhannya.
5. Inteligensi
efektif.
oleh faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior
nilai-nilai.
jamban.
Terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang
B= f (PF,EF,FR)
Keterangan:
B : Behavior
PF : Predisposing factor
EF : Enabling factor
RF : Reinforcing factor
f : Fungsi
Perilaku tidak berdiri sendiri dan selalu berkaitan dengan faktor-faktor lain.
Bloom (1908) dikutip dari Notoatmodjo (2003) membagi perilaku dalam tiga
1. Pengetahuan
a. Tahu (know)
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
b. Memahami (comprehension)
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
c. Aplikasi (application)
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sasni dapat
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
e. Sintesis (shynthesis)
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan.
a. Awareness (kesadaran)
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
43
d. Trial, subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
2. Sikap
terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003)
membentuk sikap yang utuh (total attitude). Sikap terdiri dari beberapa
tingkatan, yaitu:
a. Menerima (receiving)
b. Merespon (responding)
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Suatu usaha untuk menjawab
pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar
c. Menghargai (valuing)
lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
44
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
Sarlito (2000) yang dikutip dari Sunaryo (2004) sikap dapat dibentuk atau
a. Adopsi
dan terus-menerus dimana semakin lama akan diserap ke dalam diri individu
b. Eferensiasi
bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang terjadi dianggap sejenis, sekarang
dianggap lepas dari jenisnya. Objek tersebut dapat terbentuk pula secara
tersendiri.
c. Integrasi
d. Trauma
Trauma adalah suatu cara pembentukan atau perubahan sikap melalui suatu
e. Generalisasi
menimbulkan sikap negatif terhadap semua hal yang sejenis atau sebaliknya.
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam diri seseorang yang
rangsangan dari luar melalui persepsi, oleh karena kita harus memilih
rangsangan mana yang akan kita dekati, dan mana yang harus dijauhi. Pilihan
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar manusia, yaitu: sifat
Sunaryo (2004), suatu sikap pada diri individu belum tentu terwujud dalam suatu
meliputi:
46
a. Persepsi (perception)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
c. Mekanisme (mechanism)
Individu dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sudah
d. Adopsi (adoption)
Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada
domain kognitif yang berarti bahwa subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus
yang berupa materi atau objek di luarnya. Hal ini kan menimbulkan respon batin
dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui. Rangsang yang telah
diketahui dan disadari tersebut akan menimbulkan respon yang lebih jauh lagi yaitu
dengan PBT merupakan pengembangan lebih lanjut dari TRA. Seperti pada teori
TRA, faktor inti dari TPB adalah niat individu dalam melakukan perilaku tertentu.
Secara umum, semakin kuat niat untuk terlibat dalam perilaku maka semakin besar
Ajzen (1991) menambahkan konstruk yang belum ada dalam TRA, yaitu
dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu. Dengan kata lain,
dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap
dan norma subjektif semata, tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol yang
(control beliefs).
Background
factors:
Attitude toward behavioral:
1. Personal
General
Attitude
1. behavioral belief
Personality 2. outcome evaluations
Trait
Values
Emotions
Intelligence
Subjective Norms:
2. Social
Age,gender Intention Behavior
1. normative belief
Race
2. motivation to comply
Etnicity
Education
Income
Religion
Perceived Behavioral Control
3. Information
Experience 1. controllability/control
Knowledge
Media Expo 2. perceived power
Dalam Poliakoff and Webb (2007), terdapat tiga faktor yang dapat
behavioral control).
Hubungan antar variabel tersebut dalam teori ini, yaitu (Ajzen, 1991):
1. Latar belakang (background factors), seperti usia, jenis kelamin, suku, status
mempengaruhi sikap dan perilaku individu terhadap sesuatu hal. Faktor latar
belakang pada dasarnya adalah sifat yang hadir di dalam diri seseorang, yang
kategori ini Ajzen memasukkan tiga faktor latar belakang, yakni personal, sosial,
dan informasi. Faktor personal adalah sikap umum seseorang terhadap sesuatu,
sifat kepribadian (personality traits), nilai hidup (values), emosi, dan kecerdasan
yang dimilikinya. Faktor sosial antara lain adalah usia, jenis kelamin (gender),
2. Keyakinan perilaku atau behavioral belief yaitu hal-hal yang diyakini oleh
individu mengenai sebuah perilaku dari segi positif dan negatif, sikap terhadap
perilaku, dalam bentuk suka atau tidak suka pada perilaku tersebut. Semakin
positif keyakinan individu akan akibat suatu obyek sikap, maka akan semakin
positif pula sikap individu terhadap obyek tersebut, demikian pula sebaliknya
pengaruh lingkungan yang secara tegas dikemukakan oleh Lewin dalam Field
Theory. Pendapat Lewin ini digaris bawahi juga oleh Ajzen melalui PBT.
49
keputusan individu.
berbagai hal yang mendukung atau menghambat niat atau perilaku yang akan
5. Sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavior). Di antara berbagai faktor
sebelumnya, dan kekuatan asosiasi suatu konsep dengan sikap. Konsumen yang
memiliki sikap yang secara umum baik atau buruk terhadap suatu produk tidak
evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah
fungsi dari dua komponen yakni keyakinan berperilaku (behavioral beliefs) dan
pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh
orang lain disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan orang tentang
perilaku yang akan dilakukannya. Fishbein & Ajzen (1975) menggunakan istilah
yaitu apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam
Ab =pengendalian
7. Persepsi terhadap α Σ bi ei (Perceived Behavioral Control), yaitu
tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu untuk melakukan perilaku itu,
individu dalam menentukan niat untuk melakukan atau tidak akan melakukan
51
untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini
ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku
tertentu, dan sejauh mana kalau dia memilih untuk melakukan perilaku tertentu
itu dia mendapat dukungan dari orang-orang lain yang berpengaruh dalam
kehidupannya.
dengan dampaknya, nilai yang terkait dengan tindakan, etika dan tradisi
(behavior) adalah dua hal yang berbeda. Perilaku (behavior) adalah tindakan
2007).
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan
merupakan bagian dari keluarga (Friedman, 1998). Keluarga adalah unit terkecil
dari masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya,
inti, keluarga orientasi, keluarga besar. Keluarga inti adalah keluarga yang sudah
menikah, sebagai orang tua, atau pemberi nafkah. Keluarga inti terdiri dari suami
istri dan anak mereka baik anak kandung ataupun anak adopsi. Keluarga orientasi
(keluarga asal) yaitu unit keluarga yang didalamnya seseorang dilahirkan. Keluarga
besar yaitu keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai
hubungan darah seperti kakek dan nenek, paman dan bibi (Suprajitno, 2004).
anak dan memenuhi kebutuhan gizi keluarga serta memelihara dan merawat
keluarga.
budaya keluarga.
di masa yang akan datang misalnya pendidikan anak-anak, jaminan hari tua dan
sebagainya.
53
keterampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang
keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan,
meliputi:
tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah
kadang seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orang tua perlu
keluarga. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak
perubahan keluarga, perlu dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi,
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan
yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga dengan pertimbangan siapa diantara
tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi, jika keluarga
54
Seringkali keluarga telah mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi
memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih parah
tidak terjadi.
didasarkan pada perspektif bahwa keluarga adalah unit dasar untuk perawatan
individu dari anggota keluarga dan dari unit yang lebih luas. Keluarga adalah unit
pengkajian dan perencanaan, implementasi, dan evaluasi perawatan pada anak dan
ini melihat keluarga sebagai subsistem dari masyarakat (Allender & Spradley,
masyarakat, untuk menentukan resiko gangguan akibat pengaruh gaya hidup dan
lingkungan. Potensi dan keterlibatan keluarga menjadi makin besar, ketika salah
kesehatannya bersifat kronik, seperti misalnya pada penderita pasca stroke. Praktek
perspektif bahwa keluarga unit dasar untuk keperawatan individu dari anggota
keluarga. Keluarga adalah unit dasar dari sebuah komunitas dan masyarakat,
(Hitchcock, Schubert & Thomas 1999; Friedman dkk, 2003). Penerapan asuhan
model. Pengkajian dengan model ini, melihat keluarga dengan subsistem dari
masyarakat (Friedman dkk, 2003; Allender dan Spradley 2005). Proes keperawatan
struktur dan fungsi keluarga yang terdiri dari efeksi, sosialisasi, reproduksi,
ekonomi dan perawatan kesehatan bagi anggota keluarga, untuk dapat merawat
anggota keluarganya yang sakit dan bagi anggota keluarga yang lain agar tidak
56
tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga, mampu merawat anggota keluarga
Keluarga merupakan suatu sistem, dimana jika salah satu anggota keluarga
3. Ada beberapa alasan mengapa keluarga menjadi salah satu sentral dalam
perawatan yaitu: (1) keluarga sebagai sumber dalam perawatan kesehatan; (2)
penemuan kasus-kasus suatu penyakit sering diawali dari keluarga; (5) anggota
didukung oleh anggota keluarga lainnya, dan (6) keluarga meruakan support
sytem bagi individu (Friedman dkk, 2003). Pendekatan yang dilakukan dalam
a. Pengkajian
b. Diagnosis keperawatan
diagnosis keperawatan keluarga ada tiga jenis, yaitu diagnosis aktual, resiko dan
c. Perencanaan
mencakup tujuan umum dan tujuan khusus, dilengkapi dengan kriteria dan
standar serta rencana tindakan. Penetapan tujuan dan rencana tindakan dilakukan
d. Implementasi
kesehatan dalam keluarga dan ditujukan pada, lima tugas kesehatan keluarga
diri pada keluarga, dalam merawat anggota keluarga yang sakit, serta membantu
(Bailon & magalaya, dikutip dalam Freman 1981; Friedman dkk, 2003).
e. Evaluasi
tingkat kognitif, afektif dan psikomotor keluarga (Friedman dkk, 2003). Evaluasi
Identifikasi masalah-masalah
keluarga dan individu
Diagnosis keperawatan
59
Rencana keperawatan
Sususn tujuan, identifikasi sumber daya, definisikan
pendekatn alternatif, pilih intervensi keperawatan, susun
prioritas
Evaluasi keperawatan
Penulis:
medication
adherence: A
Dependen :
randomized trial
Kepatuhan
Penulis pengobatan
Kepatuhan
Penulis: Pengobatan
Pasien
62
6 Theory of Planned Systematic Review 680 studi yang Independen : Peneliti mencari
Behavior and kemudian pencarian studi
adherence in Meta Analisis disaring. Konstruk dari menggunakan
chronic illness: Theory of database
Alasan eksklusi Planned elektronik, yaitu
a meta-analysis adalah: Behavior: PsycINFO,
tidak - Sikap MEDLINE,
menggunakan - Subjective CINAHL dan
Penulis: kepatuhan Norm. ISI Web of
sebagai hasil, - Precieved Science.
(Rich, Brandes,
Mullan, Hagger, & tidak ada variabel Behavior Abstrak disaring
Rich, 2015) dari TPB atau Control. oleh dua peneliti
konstruk Theory - Intention menggunakan
of Planned model sosial-
Behavior yang kognitif.
diukur, pasien Dependen :
tidak penderita Kepatuhan
penyakit kronis, dalam
penelitian yang penyakit
tidak empiris, dan kronis.
tidak terdapat
korelasi.
Sehingga
didapatkan 27
studi.
10 The effects of Jenis penelitian ini Sample yang Independen : Pencarian jurnal
ubjective norms on adalah digunakan 196 menggunakan
behaviour in the studi. Subjective database
theory of planned Meta – Analysis. Norm elektronik
behaviour: A meta- melalui
analysis PsychINFO,
Bertujuan untuk Dependen : PsychArticles
meneliti hubungan dan database
64
Kepatuhan
dalam minum
obat.
Penulis: Dependen :
(Yuni, 2016) Kepatuhan
Pengobatan
Pasien TB
Dependen:
Penulis : Kepatuhan
perawatan
(Guénette, Breton, antidiabetes
Guillaumie, & non-insulin
Lauzier, 2015).
PEMBAHASAN
3.1 Ontologi
Ontologi seringkali diidentifikasikan dengan metafisika, yang juga disebut
dengan proto-filsafat atau filsafat yang pertama. Persoalan tentang ontologi
menjadi pembahasan yang utama dalam bidang filsafat, yang membahas
tentang realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada
sesuatu kebenaran. Realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-
pertanyaan: apakah sesungguhnya hakikat realitas yang ada ini?; apakah
realitas yang tampak ini sesuatu realita materi saja? Adakah sesuatu di balik
realita itu? Apakah realitas ini terdiri dari satu bentuk unsur (monisme), dua
unsur (dualisme) atau pluralisme? Dalam pendidikan, kegiatan
membimbing anak untuk memahami realita dunia dan membina kesadaran
tentang kebenaran yang berpangkal atas realita merupakan stimulus menyelami
kebenaran tahap pertama.
Konsep sakit-sehat senantiasa berubah sejalan dengan pengalaman kita
tentang nilai, peran penghargaan dan pemahaman kita terhadap kesehatan.
Dimulai pada zaman keemasan yunani bahwa sehat itu sebagai sesuatu yang
dibanggakan sedang sakit sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat. Kepatuhan
dalam hal kesehatan merupakan sebuah ukuran sejauh mana pasien mengikuti
instruksi atau saran medis (Sabate, 2001). Kepatuahan dalam konteks terapi
obat, yang menjadi ukuran adalah kesesuaian antara dosis yang diminum
dengan dosis obat yang seharusnya (diresepkan) (Düsing, Rainer, Lottermoser,
& Mengden, 2001). Kepatuhan dalam pengobatan TB merupakan hal yang
penting untuk dicermati, karena pengobatan yang tidak sesuai dapat
menyebabkan kekebalan kuman TB terhadap OAT secara meluas yang biasa
disebut dengan MDR-TB. Kepatuhan merupakan satu hal yang sangat penting
dalam perilaku hidup sehat.
Sebagai perawat yang memberikan pelayanan professional sebagai bagian
integral dari pelayanan kesehatan yang meliputi aspek bio-psiko-sosio-spiritual
yang komprehensif di tujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan
87
88
3.2 Epistemologi
Epistemologi adalah nama lain dari logika material atau logika
mayor yang membahas dari isi pikiran manusia, yaitu pengetahuan.
Epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan, bagaimana
mengetahui benda-benda. Pengetahuan ini berusaha menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti: cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan
dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan
manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga
akhirnya diketahui manusia. Dengan demikian epistemologi ini membahas
sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan hakekat pengetahuan yang
memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan
kebenaran kepada murid-muridnya. Dasar konsep sehat sakit menjadi
acuaan pemahaman pengetahuan.
Ketidakpatuhan pasien TB untuk menjalani pengobatan pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) secara teratur tetap menjadi hambatan
dalam mencapai angka kesembuhan yang tinggi (Kemenkes RI, 2013).
Kepatuhan rata-rata pasien dalam pengobatan jangka panjang di negara
maju hanya sebesar 50%, sedangkan jumlah yang lebih rendah ditemukan
di negara berkembang (WHO, 2015). Tingginya angka ketidakpatuhan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, (Pasek, 2013) dalam penelitiannya
menyebutkan faktor persepsi dan pengetahuan mempengaruhi tingkat
kepatuhan minum obat penderita TB. Hasil studi yang dilakukan oleh (Yuni,
2016) juga menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pengetahuan tentang MDR TB dan kepatuhan pengobatan. Epistemologi
membahas tentang penegetahuan seperti batasan, sumber pengetahuan,
89
pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia
mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Dalam
hal ini akan dibicarakan dalam kode etik keperawatan, etika biomedis, etika
penelitian . sehingga manusia tau dari sebab akibat suatu hal dan dapat
mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan. Penelitian ini menaati kaidah
penelitian agar dapat mengetahui secara pasti tentang ilmu TB dan kepatuhan
klien dalam meminum obat untuk keberhasilan kesembuhan.
BAB 4
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
87
88
DAFTAR PUSTAKA
Addisu, Y., Birhanu, Z., Tilahun, D., & Assefa, T. (2014). Predictor Of Treatment
Seeking Intention Among People With Cough In East Wollega , Ethiopia.
Ajzen, I. (1985). From Intentions to Actions: A Theory of Planned Behavior.
Springer - Verlag Berlin Heidelberg.
Ajzen, I. (1991). The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior And
Human Decision Proceses, 50, 179–211. https://doi.org/10.1016/0749-
5978(91)90020-T
Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality and Behavior. (T. Manstead, Ed.) (2nd ed.).
Open University Press.
Based On The Theory of Planned Behavior: A Community Based Cross-Sectional
Study. Ethiop J Health Sci, 24(2).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.4314/ejhs.v24i2.5.
Dai, H., Mao, D., Volpp, K. G., Pearce, H. E., Relish, M. J., Lawnicki, V. F., &
Milkman, K. L. (2017). The effect of interactive remainders on medication
adherence: A randomized trial. Preventive Medicine.
https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2017.07.019
Guénette, L., Breton, M., Guillaumie, L., & Lauzier, S. (2015). Journal of Diabetes
and Its Complications Psychosocial factors associated with adherence to
non-insulin antidiabetes treatments. Journal of Diabetes and Its
Complications. https://doi.org/10.1016/j.jdiacomp.2015.10.016
Kemenkes. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. (T. Dinihari,
Ed.). Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Kemenkes. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67
Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Indonesia: Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
Lin, C., Updegraff, J. A., & Pakpour, A. H. (2016). Epilepsy & Behavior The
relationship between the Theory of Planned Behavior and medication
adherence in patients with epilepsy. Epilepsy & Behavior, 61, 231–236.
https://doi.org/10.1016/j.yebeh.2016.05.030
Lubis, I. K., Harjoko, A., Sari, F., & Dewi, T. (2016). Desain Sistem Pengingat
Berbasis SMS untuk Meningkatkan Kepatuhan Pengobatan Pasien Diabetes
Melitus. Journal of Information Systems for Public Health, 1(1), 3–9.
Manning, M. (2009). The effects of subjective norms on behaviour in the theory of
planned behaviour: A meta-analysis. British Journal of Social Psychology,
48, 649–705. https://doi.org/10.1348/014466608X393136
89
Miller, J., Modeste, N., Hopp, J., & Jara, E. (2015). Applying The Theory of
Planned Behavior to Understand Plate Waste of Elementry School Student.
Proquest LLC.
Nieuwlaat, R., Wilczynski, N., Navarro, T., Hobson, N., Jeffery, R., Keepanasseril,
A., … Rb, H. (2014). Interventions for enhancing medication adherence (
Review ). The Cochrane Database of Systematic Reviews, 11(11),
CD000011. https://doi.org/10.1002/14651858.CD000011.PUB4
Pasek, S. (2013). Tuberkulosis dengan Kepatuhan Pengobatan. Jurnal Magister
Kedokteran Keluarga, 1(1), 14–23. Retrieved from
http://jurnal.pasca.uns.ac.id
Peleg, S., Vilchinsky, N., Fisher, W., Khaskia, A., & Mosseri, M. (2017).
Attachment Orientation Moderates Theory of Planned Behavior Prediction
of Cardiac Medication Adherence. Journal of Personality, 1–42.
https://doi.org/10.1111/jopy.12294
Reese, P. P., Bloom, R. D., Trofe-clark, J., Mussell, A., Leidy, D., Levsky, S., …
Volpp, K. (2016). Automated Reminders and Physician Notification to
Promote Immunosuppression Adherence Among Kidney Transplant
Recipients: A Randomized Trial. American Journal of Kidney Diseases.
https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2016.10.017
Rich, A., Brandes, K., Mullan, B., Hagger, M. S., & Rich, A. (2015). Theory of
Planned Behavior and adherence in chronic illness : a meta-analysis.
Journal of Behavioral Medicine. https://doi.org/10.1007/s10865-015-9644-
3
Rosyida, L., Priyandani, Y., Sulistyarini, A., & Nita, Y. (2015). Kepatuhan Pasien
Pada Penggunaan Obat Antidiabetes Dengan Metode Pill-Count Dan
MMAS-8 Di Puskesmas Kedurus Surabaya. Jurbak Farmasu Komunitas,
2(2), 36–41.
Sabate, E. (2001). WHO Adherence Meeting Report. Geneva: World Health
Organization.
WHO. (2015). Global Tuberculosis Report (20th ed.). France: WHO Library
Cataloguing-in-Publication Data.
Yuni, I. (2016). Hubungan Fase Pengobatan TB Dan Pengetahuan Tentang Mdr TB
Dengan Kepatuhan Pengobatan Pasien TB ( Studi Di Puskesmas Perak