Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cadangan mineral di bawah permukaan bumi sangat banyak namun, masih


diperlukan pengolahan bahan galian untuk memisahkan antara mineral-mineral
berharga dengan zat atau mineral pengotornya.Pengolahan bahan galian merupakan
salah satu bidang disiplin ilmu pengetahuan pertambangan yang menghubungkannya
dengan ilmu metalurgi dan ilmu bahan. Tujuan dari proses pengolahan bahan galian ini
untuk memperoleh dan meningkatkan kadar atau kualitas mineral sehingga
menghasilkan mineral dengan kadar yang sesuai dengan standar saat ini (Muchjidin,
2005).
Bahan galian Batubara adalah bahan galian yang terbentuk dari sisa tumbuhan
yang terperangkap dalam sedimen dan dapat dipergunakan sebagai bahan bakar.Jenis
sedimen ini terperangkap dan mengalami perubahan material organik akibat timbunan
(burial) dan diagenesa.Batubara awalnya merupakan bahan organik yang terakumulasi
dalam rawa-rawa yang dinamakan peat.Pembentukan batubara memerlukan kondisi-
kondisi tertentu dan hanya terjadi pada era-era tertentu sepanjang sejarah
geologi.Zaman karbon kira-kira 340 juta tahun yang lalu adalah masa pembentukan
batubara yang paling produktif (Muchjidin, 2005).
Flotasi adalah proses konsentrasi mineral berharga berdasarkan perbedaan
tegangan permukaan dari mineral didalam air (aqua) dengan cara mengapungkan
mineral ke permukaan. Mekanisme flotasi didasarkan pada adanya pertikel mineral
yang dibasahi (hidropilik) dengan partikel mineral yang tidak dibasahi (hidropobik).
Partikel–partikel yang basah tidak mengapung dan cenderung tetap berada dalam fasa
air. Di lain pihak partikel-partikel hidrofobik (tidak dibasahi) menempel pada
gelembung, naik ke permukaan, membentuk buih yang membentuk partikel dan
dipisahkan (Muchjidin, 2005).
Metode ini biasanya digunakan di beberapa industri pertambangan dengan
menggunakan reagen utama Xanthate sebagai Collector (misalnya: potassium amyl
zanthate), pine oil sebagai frother dan campuran bahan kimia organik lainnya sebagai
pH modifiers. Reagen yang digunakan untuk pengapungan pada umumnya tidak

1
beracun, yang berarti bahwa biaya pembuangan limbah/tailing menjadi rendah
(Muchjidin, 2005).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dilakukanlah praktikum mata kuliah
Pengolahan Bahan Galian yang berkaitan dengan proses flotasi. Dengan adanya
pratikum ini, mahasiswa diharapkan dapat mengetahui tentang bagaimana mengetahui
bagaimana prinsip kerja dari alat flotasi, mengetahui bagaimana persentase kadar abu
dari feed konsentrat dan tailing, mengetahui bagaimana perubahan kadar abu dari
feed dengan konsentrat, dan feed dengan tailing (Muchjidin, 2005).

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang muncul dari adanya latar belakang di atas ialah sebagai
berikut:
1. Bagaimana prinsip kerja dari alat flotasi?
2. Bagaimana perubahan kadar sulfur dan abu pada batubara?

1.3 Tujuan Percobaan

Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum mata kuliah Pengolahan Bahan
Galian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana prinsip kerja dari alat flotasi.
2. Menganalisis perubahan kadar sulfur dan abu pada batubara.

1.4 Manfaat Percobaan

Manfaat dari praktikum pengolahan bahan galian mengenai flotasi ini yaitu
untuk mengetahui bagaimana proses pemisahan Batubara. Dengan adanya pratikum
ini, mahasiswa diharapkan dapat mengetahui tentang bagaimana proses pemisahan
mineral-mineral berharga dari pengotornya dengan metode flotasi. Praktikum ini juga
bertujuan agar mahasiswa mampu dan terampil dalam menggunakan alat flotasi
dengan baik dan benar.

2
BAB II

FLOTASI BATUBARA

2.1 Sulfur & Mineral Matter Pada Batubara

Batubara yang tersedimentasi di cekungan-cekungan di Indonesia memiliki


karakteristik anorganik yang beragam. Kondisi ini sangat bergantung pada tempat
dimana batubara tersebut terbentuk. Sulfur batubara Indonesia berdasarkan data
sejumlah hasil analisis, umumnya rendah yaitu < 1.0%, walaupun pada daerah
tertentu dijumpai kandungan sulfur tinggi namun dianggap tidak mewakili suatu
formasi atau cekungan (Iswanto. 2009).
Sulfur telah bergabung dalam sistim pengendapan batubara sejak batubara
tersebut masih dalam bentuk endapan gambut. Gambut di Indonesia terbentuk pada
suatu lingkungan pengendapan yang disebut raised swamp, yaitu di daerah dimana
curah hujan tahunan lebih besar dari evaporasi tahunannya. Pada kondisi seperti ini,
gambut akan menghasilkan batubara dengan kandungan sulfur yang rendah karena
hanya mendapat pasokan ‘makanan’ dari air hujan. Sulfur dalam batubara didapatkan
dalam bentuk mineral sulfat, mineral sulfida dan material organik. Gambut
mengandung semua bentuk sulfur yang didapatkan dalam batubara termasuk sulfur
piritik, sulfat dan organik. Kandungan sulfur yang ditemukan pada gambut dapat
memprediksikan kuantitas sulfur yang ada dalam batubara. Gambut yang berada di
bawah pengaruh air laut umumnya mengandung kadar sulfur yang lebih tinggi
dibandingkan dengan gambut air tawar. Sulfat merupakan reaktan yang menentukan
tingkat kuantitas sulfur piritik dan sulfur organik dalam gambut (Casagrande et al.
1987).
Sulfur adalah salah satu komponen dalam batubara, yang terdapat sebagai
sulfur organik maupun anorganik. Umumnya komponen sulfur dalam batubara
terdapat sebagai sulfur syngenetik yang erat hubungannya dengan proses fisika dan
kimia selama proses penggambutan dan dapat juga sebagai sulfur epygenetik yang
dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia
pada akhir proses pembatubaraan (Casagrande et al. 1987).
Terdapat 3 (tiga) jenis sulfur yang terdapat dalam batubara, yaitu (Casagrande
et al. 1987):

3
1. Sulfur Pirit
Pirit dan markasit merupakan mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada
batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2)
tetapi berbeda pada sistem kristalnya. Pirit berbentuk isometrik sedangkan
Markasit berbentuk orthorombik. Pirit (FeS2) merupakan mineral yang
memberikan kontribusi besar terhadap kandungan sulfur dalam batubara, atau
lebih dikenal dengan sulfur pirit. Berdasarkan genesanya, pirit pada batubara
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (Casagrande et al. 1987):
a. Pirit Syngenetik, yaitu pirit yang terbentuk selama proses penggambutan
(peatification). Pirit jenis ini biasanya berbentuk framboidal dengan butiran
sangat halus dan tersebar dalam material pembentuk batubara.
b. Pirit Epygenetik, yaitu pirit yang terbentuk setelah proses pembatubaraan.
Pirit jenis ini biasanya terendapkan dalam kekar, rekahan dan cleat pada
batubara serta biasanya bersifat masif.
2. Sulfur Organik
Sulfur organik merupakan suatu elemen pada struktur makromolekul dalam
batubara yang kehadirannya secara parsial dikondisikan oleh kandungan dari
elemen yang berasal dari material tumbuhan asal. Dalam kondisi geokimia dan
mikrobiologis spesifik, sulfur inorganik dapat terubah menjadi sulfur organik
Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses
penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran
biokimia merupakan proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur
organik, yang pembentukannya berjalan lebih lambat pada lingkungan yang
basah atau jenuh air. Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk
batubara diduga mendominasi dalam menentukan kandungan sulfur total.
Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam lingkungan marin atau payau
kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen sulfida dan senyawa
sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi
sulfat oleh material organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini
dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio dan desulfotomaculum.
3. Sulfur Sulfat
Kandungan sulfur sulfat biasanya rendah sekali atau tidak ada kecuali jika
batubara telah terlapukkan dan beberapa mineral pirit teroksidasi akan menjadi
sulfat. Pada umumnya kandungan sulfur organik lebih tinggi pada bagian

4
bawah lapisan, sedangkan kandungan sulfur piritik dan sulfat akan tinggi pada
bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara.
Moisture dalam batubara yang paling sedikit terdiri atas satu senyawa kimia
tunggal. Wujudnya dapat berbentuk air yang dapat mengalir dengan cepat dari dalam
sampel batubara, senyawa teradsorpsi, atau sebagai senyawa yang terikat secara
kimia. Sebagian moisture merupakan komponen zat mineral yang tidak terikat pada
batubara. Moisture didefinisikan sebagai air yang dapat dihilangkan bila batubara
dipanaskan sampai 105oC (Casagrande et al. 1987).
Zat mineral Zat mineral atau mineral matter terdiri atas komponen-komponen
yang dapat dibedakan secara kima dan fisika. Zat mineral terdiri atas ash (abu) dan zat
anorganik yang mudah menguap (inorganic volatile matter). Apabila batubara dibakar
akan terbentuk ash yang terdiri atas berbagai oksida logam pembentuk batuan,
sedangkan zat anorganik yang mudah menguap akan pecah menjadi gas karbon
dioksida (dari karbonat-karbonat), sulfur (dari pirit), dan air yang menguap dari
lempung. Mineral terbanyak di dalam batubara, yaitu kaolin, lempung, pirit, dan kalsit.
Semua mineral itu akan mempertinggi kadar silikon lainnya. Oksida alumunium, besi,
dan kalsium, di dalam ash. Kemudian menyusul berbagai senyawa magnesium,
natrium, kalium, mangan, fosfor, dan sulfur yang didapatkan dalam ash dengan
persentase yang berbeda-beda (Casagrande et al. 1987).
Senyawa batubara Senyawa batubara terdiri atas zat organik yang mudah
menguap dan fixed carbon. Zat organik yang mudah menguap kebanyakan tersusun
atas (Casagrande et al. 1987):
1. Gas-gas yang dapat terbakar seperti hidrogen, karbon monoksida, dan metan,
2. Uap yang dapat mengembun, seperti tar dengan sedikit kandungan gas yang
dapat terbakar,
3. Uap seperti karbon dioksida dan air, yang terbentuk dari penguraian senyawa
karbon secara termis. Kandungan volatile matter (gabungan zat organik dan
anorganik yang mudah menguap) berkaitan sekali dengan peringkat batubara
dan merupakan parameter yang penting dalam mengklasifikasikan batubara.
Fixed carbon merupakan residu yang tersisa setelah moisture dan volatile
matter dihilangkan. Senyawa ini yang terdiri atas unsur-unsur karbon,
hidrogen, oksigen, sulfur, dan nitrogen, dapat dibakar.
Sulfur dalam batubara dapat berbentuk senyawa organik atau anorganik seperti
pirit, markasit dan sulfat. Sulfur merupakan bahan yang stabil dalam senyawa organik

5
batubara, dan sering disebut sulfur organik yang tersebar secara merata ke seluruh
batubara. Sulfur kemungkinan merupakan pengotor utama nomor dua (setelah ash)
dalam batubara (Casagrande et al. 1987):
a. Dalam batubara bahan bakar, hasil pembakarannya mempunyai daya korosif
dan sumber polusi udara.
b. Moisture dan sulfur (terutama sebagai pirit) dapat menunjang terjadinya
pembakaran spontan.
c. Semua batubara bentuk sulfur tidak dapat dihilangkan dalam proses pencucian.
Hasil penentuan sulfur digunakan untuk menunjang evaluasi pencucian
batubara, emisi udara, dan evaluasi kualitas batubara berkaitan dengan
spesifikasi dalam kontrak serta untuk keperluan penelitian.
Batubara dengan kadar sulfur yang tinggi menimbulkan banyak masalah dalam
pemanfaatannya. Bila batubara itu dibakar, sulfur menyebabkan korosi dalam ketel dan
membentuk endapan isolasi pada tabung ketel uap (yang disebut slagging). Disamping
itu juga menimbulkan pencemaran udara. Sebagaian sulfur akan terbawa dalam hasil
pencairan batubara, gasifikasi, dan pembuatan kokas. Jadi, harus dihilangkan dulu
sebelum di lakukan proses-proses tersebut. Unsur belerang terdapat pada batubara
terdapat dengan kadar bervariasi dari rendah (jauh dibawah 1 %) sampai lebih dari
4% (Casagrande et al. 1987).
Unsur ini terdapat dalam batubara dalam tiga bentuk yakni belerang organik,
pirit, dan sulfat. Dari ketiga bentuk belerang tersebut, belerang organik dan belerang
pirit merupakan sumber utama emisi oksida belerang. Dalam pembakaran batubara
semua belerang organik dan sebagian belerang pirit menjadi SO2. Oksida belerang ini
selanjutnya dapat teroksidasi menjadi SO3. Sedangkan belerang sulfat disamping stabil
dan sulit menjadi oksida belerang, kadar relatifnya sangat mudah dibanding belerang
bentuk lainnya. Oksida-oksida belerang yang terbawa gas buang dapat bereaksi
dengan lelehan abu yang menempel pada dinding tungku maupun pipa boiler sehingga
menyebabkan korosi. Sebagian SO2 yang diemisikan ke udara dapat teroksidasi
menjadi SO3 yang apabila bereaksi dengan uap air menjadi kabut asam sehingga
menimbulkan turunnya hujan asam (Casagrande et al. 1987).

2.2 Desulfurisasi Dan Deashing Secara Fisika

Desulfurisasi batubara merupakan suatu proses penurunan kadar sulfur dari


batubara. Batubara merupakan bahan bakar alternatif dengan cadangan melimpah di

6
Indonesia. Kandungan sulfur tersebut dapat menyebabkan pencemaran lingkungan,
menyebabkan kerusakan (korosif) dan memperpendek umur alat. Agar batubara
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar maka terlebih dahulu dilakukan
proses desulfurisasi. Desulfurisasi batubara dibutuhkan tidak hanya untuk
meminimalkan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh emisi dari sulfur dioksida
selama pembakaran, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas batubara (Roesyadi,
2005).
Batubara (coal) merupakan sedimen batuan organik dengan komposisi utama
karbon, hidrogen dan oksigen sehingga mudah terbakar. Dewasa ini batubara menjadi
salah satu bahan bakar alternatif karena di samping harganya relatif murah, menurut
perkiraan Assosiasi Batubara Kanada bahwa cadangan batubara sebagai bahan bakar
fosil menempati peringkat pertama di dunia yaitu mencapai 91%, sementara gas
hanya 5% dan sisanya minyak sekitar 4%. Di Indonesia cadangan batubara mencapai
38,8 milyar ton, termasuk batubara Sulawesi yang terkonsentrasi di Propinsi Sulawesi
Selatan, tergolong tiga besar daerah yang mengandung cadangan batubara di
Indonesia setelah Kalimantan dan Sumatra. Namun sayangnya kualitas batubara asal
Sulawesi relatif rendah, hingga saat ini belum dapat dimanfaatkan sebagai bahan
bakar diindustri sebab kandungan sulfur dan abunya relatif tinggi yang dapat
menyebabkan kerusakan alat pembakaran dan menimbulkan pencemaran pada
lingkungan (Roesyadi, 2005).
Dalam usaha meningkatkan kualitas batubara, termasuk menurunkan kadar
sulfurnya untuk menuju Clean Coal Technology atau Teknologi Batubara Bersih yang,
maka berbagai teknologi desulfurisasi telah dan sedang dikembangkan. Berdasarkan
prosesnya, desulfurisasi batubara dapat dilakukan dengan metode kimia, fisika dan
biologi. Metode fisika terbatas hanya dapat mereduksi jenis sulfur anorganik dalam
batubara, sedangkan sulfur organik tidak dapat direduksi, kecuali bila dilakukan pada
suhu yang sangat tinggi (450oC) maka sulfur organik memungkinkan juga direduksi
(Roesyadi, 2005).
Telah dilakukan penelitian desulfurisasi batubara asal daerah Pattuku (Sulawesi
Selatan) dengan cara Flotasi (metode fisika), terbukti bahwa hanya jenis sulfur
anorganik yang efektif untuk direduksi. Sedangkan metode kimia dan biologi dapat
memisahkan (mereduksi) baik sulfur anorganik maupun sulfur organik dalam batubara,
hanya saja metode biologi menggunakan bantuan mikroba yang bekerja pada suhu
rendah sehingga waktunya relatif lama dari metode kimia (Rich, 1961).

7
Pada penelitian ini disamping penurunan sufir (desulfurisasi) sebagai tujuan
utama penelitaian, penurunan kadar abu (deashing) dalam batubara perlu pula
mendapat perhatian, sebab kandungan abu ini berpengaruh terhadap nilai kalor
betbuara yang bersangkutan, makin rendah kandungan abu dalam batubara maka
makin tinggi nilai kalorinya (Rich, 1961).
Flotasi merupakan metode fisika yang tepat untuk digunakan dalam penelitian
ini sebab disamping cukup efektif dalam pemisahan sulfur dari batubara. Metode flotasi
sekaligus dapat menurunkan kadar abu batubara tersebut. Flotasi berlangsung pada
suatu sistem yang terdiri dari partikel berukuran halus, air, udara dan beberapa
pereaksi kimia (kolektor). Keempat komponen tersebut saling berinteraksi baik secara
fisik maupun secara kimia sedemikian rupa sehingga terjadi pemisahan antara
komponen hidrofobik (anti air) dan komponen hidrofilik (suka air). Biasanya komponen
hidrofobik densitasnya lebih rendah dari komponen hidrofilik sehingga komponen ini
cenderung terapung, sementara komponen hidrofilik akan berada di bagian bawah.
Dalam sistem flotasi, partikel berukuran halus yang bersifat hidrofobik atau dibuat
hidrofobik oleh kolektor dapat menempel dipermukaan gelembung-gelembung udara
yang sengaja diciptakan, sehingga dengan demikian partikel halus tersebut akan lebih
mudah mengapung bersama media gelembung udara (Aladin, 2009).
2.2.1 Desulfurisasi Secara Fisika
Menurut Ehsani, M. Resa beberapa teknologi desulfurisasi secara fisika antara
lain sebagai berikut (Subandrio, dkk. 2010):
a. Pemisahan Magnet Dalam proses pemisahan magnet (magnetic separation)
dilakukan atas perbedaan muatan listrik (paramagnetik) bahan dalam
campuran. Sulfur dalam bentuk pirit (FeS2) memiliki sifat paramagnetik,
dapat melekat pada magnet sehingga dapat dipisahkan dari campuran
batubara. Metode ini sangat sederhana, sebab tidak memerlukan bahan-
bahan aditif dan pereaksi kimia, hanya membutuhkan power untuk
menggerakan magnet dan mengalirkan bahan batubara. Namun metode ini
agak sulit mereduksi abu batuubara khususnya jenis abu yang mengandung
logam-logam diamagnetik sehingga fixed carbon dan nilai kalor sulit
dipertahankan.
b. Kolom flotasi Metode ini sudah banyak digunakan secara komersial oleh
industri batubara. Devisi riset empire coal company di Ohio Amerika telat
merancang kolom flotasi dengan skala pilot plant, diameter 8 inchi (0,2 m)

8
dan tinggi 30ft (9m) atau perbandingan L/D=45. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa kolom flotasi mampu memisahkan sampai 70% sulfur
pirit dan 80% abu batu bara.
c. Flokasi selektif Metode ini dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi
pengurangan kadar sulfur dari batubara dengan kolom flotasi konvesional.
Prinsip pemisahan adalah dengan penambahan reagent flokulan kedalam
kolom flotasi yang secara selektif mampu membentuk flok batubara
sehingga meningkatkan efisiensi pemisahan.
2.2.2 Variabel Desulfurisasi pada Batubara
Dalam pengaplikasian desulfurisasi batubara berdasarkan pengertian leaching
tersebut, variable yang bisa digunakan yaitu hanya ukuran partikel saja. Ukuran
partikel batubara akan mempengaruhi sudut kontak dengan cairan pencucinya
(surfaktan), semakin kecil ukuran partikel batubara semakin besar pula sudut kontak
antara partikel batubara dan cairan pencucinya. Dalam penelitian kali ini menggunakan
metode spray untuk proses pencucian batubaranya. Adapun factor-faktor lain yang
bisa mempengaruhi proses pencucian batubara dengan metode spray yaitu:
konsentrasi cairan pencuci (surfaktan), laju aliran surfaktan, waktu pencucian
batubara, diameter sprayer (Subandrio, dkk. 2010).
a. Ukuran partikel Untuk batubara bituminous yang memiliki daya apung tinggi,
pemulihan desulfurisasi adalah terbukti berhubungan langsung dengan
persentase permukaan batubara yang tersediauntuk lampiran gelembung dan
berbanding terbalik dengan massa partikel. Tingkat desulfurisasi partikel dapat
dianggap baik dari segi massa partikel danpermukaan batubara tersedia untuk
lampiran gelembung dan dapat dinyatakan dengan hubungan berikut:
di mana: F = f (x) / g (m)
F = partikel tingkat desulfurisasi
f ( x ) = fungsi dari permukaan partikel
g ( m ) = fungsi dari massa partikel.
b. Waktu Desulfurisasi Desulfurisasi batubara meningkat dengan bertambahnya
waktu. Hal ini disebabkan bahwa untuk pemisahan sulfur dari campuran bahan
batubara butuh waktu kontak dengan media hidrofilik. Pada volume konstan,
dibutuhkan waktu sebanding dengan jumlah sulfur dalam batubara, hingga
terjadi pemisahan sempurna atau maksimum. Setelah tercapai waktu optimum
makan penambahan waktu desulfurisasi tidak lagi memberikan penambahan

9
persen removal sulfur yang signifika. Namun sifat hidrofobik dan hidrofilik
hampir tidak dipengaruhi oleh variabel persen padatan, waktu pengkondisian
maupun ukuran butiran batubara.
c. Dimensi Kolom Persen removal sulfur batubara meningkat dengan
meningkatnya dimensi kolom. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa seakin
besar nilai dimensi kolom yang berarti kolom semakin tinggi maka semakin
besar pengaruh tekanan di dalam kolom. Karena hal itu partikel sulfur semakin
mudah terpisah dari campuran bahan batubara karena mendapat tekanan yang
relatif lebih besar. Sedangkasn semakin besar nilai dimensi kolom berarti
semakin besar kontak antara aliran surfaktan dengan batubara dalam
kolom,maka semakin besar peluang partikel sulfur untuk terpisah.
d. Konsentrasi cairan pencuci pada proses desulfurisasi konsentrasi cairan
pencucian dapat mempengaruhi efektivitas kinerja pada pengurangan kadar
sulfur batubara. Dimana salah satu cairan pencuci yang biasa digunakan ialah
surfaktan yang berupa CPO dimana fungsi CPO yaitu untuk menurunkan
tegangan, menyebabkan peningkatan gaya adhesi antara partikel padat
dengan permukaan gelembung udara, sehingga partikel padat mudah terflotasi
bersama dengan udara.

2.3 Flotasi Batubara

Flotasi adalah suatu proses untuk memisahkan padatan halus yang terpisah dari
suatu padatan dengan padatan yang lain. Secara umum diterapkan pada konsentrasi
bijih logam, untuk membersihkan bahan bakar padat atau benefisiasi mineral bukan
logam, tetapi juga dapat diterapkan untuk pemisahan padatan dari cairan atau
pemisahan padatan non-mineral dari suatu padatan dengan padatan yang lain.
Pemisahan flotasi dari padatan yang berbeda dapat diselesaikan dengan afinitas
selektif dari permukaan padatan, baik dimodifikasi oleh reagen dengan bantuan
gelembung udara dan air atau pun tidak. Dari berbagai tahapan, fase gas adalah yang
paling sederhana dan fase padat yang paling beragam. Pada fasa cairan meskipun
terlihat sederhana tetapi sebenarnya kompleks dan penting. Fase gas dalam flotasi
selalu ada dan sifatnya paling penting dalam flotasi karena menimbulkan daya apung
dari gelembung udara sehingga partikel mineral dapat diangkat oleh buih. Tampaknya
daya apung dari gelembung udara akan semakin baik apabila udara atau gas berada

10
pada tekanan atmosfer atau pada tekanan vakum. Fase cair dalam flotasi selalu
berbentuk larutan dan umumnya encer, ada alasan yang baik mengapa larutan yang
sering digunakan dalam proses flotasi itu adalah air, dikarenakan air selalu tersedia,
murah, dan sangat cocok untuk kinerja proses flotasi (Subandrio, dkk. 2010).

Gambar 2.1 Sudut kontak antara mineral-udara dan air (Gaudin, 1957)

Sifat flotasi pada fase padat dapat ditentukan dari karakter pada permukaan
padat tersebut tetapi untuk mengevaluasi permukaan padatan penting untuk
mempertimbangkan bagian dalam permukannya dan dapat diasumsikan jauh diperluas
disemua arah. Kebanyakan padatan berbentuk atom dan molekul yang memiliki titik
leleh sangat rendah (Subandrio, dkk. 2010).
Sudut kontak dalam proses flotasi dapat diartikan sebagai dua fase berada
dalam kontak bersama antar muka didalam dua dimensi. Setelah itu tiga fase datang
akan bersama-sama, didalam satu garis dimensi sehingga kontak akan terbentuk.
Sifat-sifat garis kontak yang terbaik dapat dinyatakan dalam sudut yang terbentuk oleh
permukaan yang bergabung dalam arah tegak lurus dalam garis kontak. Sudut kontak
dapat dinyatakan apabila sistem tersebut diukur pada air. Jika sudut kontak pada
mineral tidak terjadi, ini berarti bahwa air dalam bentuk gelembung udara yang tidak
dapat membasahi mineral sehingga sangat mustahil untuk berkontaknya udara dengan
mineral. Sudut kontak bernilai nol derajat mewakili nonflotability. Gaya adhesi pada
gelembung udara ke padatan terjadi secara spontan bahkan ketika sudut kontak
kurang dari 90o, dan dinyatakan dalam konfigurasi geometris yang sesuai,ini dapat

11
terjadi sepanjang waktu di proses flotasi. Gaya adhesi tidak dapat bekerja jika sudut
kontak yang terbentuk telah mencapai 90o (Gaudin, 1957).

Gambar 2.2 Gaya adhesi pada mineral batubara (Gaudin, 1957)

Jika suatu sistem yang terdiri dari gelembung gas dan partikel padat yang
tersuspensi secara terpisah maka perubahan air untuk suatu sistem yang terdiri dari
gelembung gas akan menempel pada partikel didalam air, sehingga terjadi perubahan
energi. Ini dapat dilihat dari tiga energi antar muka dan dari perubahan dalam jumlah
tiga bidang antar muka (Gaudin, 1957).
Melalui pengenalan eksperimental, sudut kontak mineral yang keras dapat
terukur dan energi dari mineral gas permukaan yang tidak diketahui dapat dihilangkan.
Secara umum pelepasan sulfur pada batubara sebagai berikut: sulfur dalam batubara
berbentuk pirit (FeS2) terlebih dahulu mengalami ionisasi (parsial) membentuk molekul
polar dengan adanya ion asam (H+) dengan reaksi (Gaudin, 1957):
H + FeS2 HFe+ S2
Pirit dalam bentuk terionkan ini (H+:FeS2) akan bersifat lebih hidrofilik sehingga
lebih mudah tertarik dengan kompinen hidrofilik lainnya (air) (Gaudin, 1957):
H2O + HFe+ S2 H3O+ + FeS2
dan karenanya akan lebih mudah dipisahkan dari campuran batubara (komponen
hidrofobik). Sebaliknya adanya ion OH- dalam campuran slurry (kondisi basa), tidak
meningkatkan kehidrofilikan pirit, bahkan ion OH- (yang bermuatan negatif) cenderung
tolak menolak dengan molekul pirit yang yang bermuatan negatif parsial (atom Fe

12
dalam pirit memiliki pasangan elektron bebas pada kulit terluarnya dan bersifat
elektronegatif). Akibatnya pirit sulit ditarik dari campuran batubara yang bersifat basa
tersebut. Untuk mendapatkan hasil maksimum desulfurisasi batubara secara flotasi,
maka perlu dilakukan pada kondisi-kondisi yang optimum. Untuk mendapatkan hasil
maksimum desulfurisasi batubara secara flotasi, maka perlu dilakukan pada kondisi-
kondisi yang optimum. Untuk memudahkan pemisahan dengan metode flotasi biasanya
ditambahkan flotating agent berupa kolektor kedalam sistem flotasi dan berfungsi
sebagai surfaktan, dimaksudkan untuk menurunkan tegangan permukaan antara
partikel padat-udara. Penurunan tegangan tersebut menyebabkan peningkatan gaya
adhesi antara partikel padat dengan permukaan gelembung udara, sehingga partikel
padat mudah terflotasi bersama gelembung udara. Surfaktan juga dapat berperan
meningkatkan derajad kehidrofobian suatu partikel. Senyawa sabun dari CPO kelapa
sawit dapat berfungsi sebagai surfaktan (Aladin, 2009).
Suatu kolektor dalam sistem flotasi akan efektif berinteraksi dengan partikel
yang akan dihidrofillikkan pada kondisi pH tertentu. Setiap mineral dapat terflotasi
secara optimal pada pH kritis. Jika pH kritis bergeser maka flotasi dapat gagal. Untuk
memudahkan pemisahan flotability, biasanya ditambahkan flotating agent berupa
kolektor kedalam sistem flotasi dan berfungsi sebagai surfaktan, dimaksudkan untuk
menurunkan tegangan permukaan antara partikel padat-udara. Penurunan tegangan
tersebut menyebabkan peningkatan gaya adhesi antara partikel padat dengan
permukaan gelembung udara, sehingga partikel padat mudah terflotasi bersama
gelembung udara.Surfaktan juga dapat berperan meningkatkan derajad kehidrofobian
suatu partikel (Aladin,2009).
Mekanisme flotasi didasarkan pada fenomena permukaan mineral.Ada mineral
yang mudah dibasahi air dan ada mineral yang sukar dibasahi air. Partikel mineral
yang mudah dibasahi air akan tetap berada dalam pulp. Sedangkan partikel mineral
yang sukar dibasahi air akan menempel pada gelembung udara dan naik ke
permukaan bersamaan dengan gelembung yang tercipta melalui penginjeksian udara
ke dalam pulp (Simorangkir, 2013).
Pelekatan mineral pada gelembung udara dalam medium air tergantung pada
laju penipisan lapisan air antara gelembung dan permukaan partikel. Proses pelekatan
ini dibagi dalam tiga tahapan, yaitu (Simorangkir, 2013):
1. Partikel mineral dan gelembung saling mendekati, sehingga diantara keduanya
terbentuk suatu lapisan tipis air.

13
2. Penipisan lapisan tipis air. Daerah ini disebut lapisan diffusio boundary di mana
partikel-partikel mineral mengalami gayadiffusiophoretic.
Hilangnya lapisan tipis air. Gerakan partikel dikendalikan oleh gaya interaksi
lapis rangkap dan gaya interaksi molekul. Pelekatan diawali dengan terbentuknya
kontak tiga fasa yang dengan cepat meluas.

2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Flotasi Batubara

Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan operasi flotasi, yaitu


(Iswanto, 2009):
1. Laju Udara (Air Flow)
Fungsi udara dalam flotasi sebagai pengikat partikel yang mempunyai sifat
permukaan hydriphobic. Pengendalian laju udara umumnya merupakan cara
yang biasa digunakan untuk mengontrol kadar dan perolehan konsentrat yang
dihasilkan.
2. Persen Padatan
Penentuan persen padatan untuk flotasi tergantung pada keadaan bijih yang
dipisahkan. Ada kecenderungan bahwa flotasi untuk partikel kasar dapat
dilakukan dengan persen padatan besar, begitu juga sebaliknya.Untuk flotasi
mineral sulfida pada tingkat rougher menggunakan persen padatan relatif besar
± 45%, sedangkan untuk tingkat cleaner sekitar 25%.
3. Laju Pengumpanan (Feed Rate)
Laju pengumpanan akan berpengaruh terhadap kapasitas dan waktu tinggal
(residence time). Semakin tinggi laju pengumpanan maka kapasitas alat akan
semakin tinggi dengan demikian umumnya perolehan menjadi rendah. Hal ini
karena waktu tinggal partikel yang singkat sehingga partikel tidak mempunyai
waktu yang cukup untuk bertumbukan dengan gelembung udara. Akibatnya
banyak partikel hydrophobic yang terbuang sebagai tailing. Kadar konsentrat
yang dihasilkan semakin tinggi, maka perlu dicari berapa laju pengumpanan yang
paling optimum.
4. Laju Udara Pembilasan (Wash Water Rate)
Air pembilas digunakan (khusus pada flotasi kolom) seperti halnya laju udara,
dalam pengendalian laju air pembilasan diperlukan control yang ketat pula. Air
pembilasan berfungsi untuk membantu mengalirkan konsentrat ke dalam

14
lounder. Pemakaian air pembilas ini merupakan khas yang membedakan antara
flotasi kolom dengan flotasi konvensional.
5. Ketebalan Lapisan Buih (Froth Depth)
Lapisan buih pada flotasi kolom merupakan zona berlangsungnya proses
pemisahan partikel hydrophilic yang terjebak pada antar gelembung udara oleh
adanya air pembilas. Apabila lapisan buih terlalu dangkal maka partikel
hydrophilic yang terperangkap dalam lapisan buih tidak sempat jatuh ke daerah
pulp sehingga terbawa sebagai konsentrat.
6. Ukuran Gelembung Udara
Besar dan kecilnya ukuran gelembung udara berpengaruh terhadap luas total
permukaan bijih. Untuk mengatur ukuran gelembung udara pada flotasi
konvensional dapat dilakukan dengan mengatur kecepatan putar impeller.
Semakin besar luas permukaan gelembung udara maka semakin banyak pula
kemungkinannya partikel dapat bertumbukan dan menempel pada gelembung
udara.
7. Ukuran Partikel
Partikel yang terlalu halus mempunyai luas permukaan spesifik (cm2/gr) yang
lebih besar disbanding butiran kasar, sehingga lebih banyak mengadopsi reagen.
Permukaan halus juga akan lebih mudah berinteraksi satu sama lainnya sehingga
memungkinkan terjadinya ikatan antar mineral pengotor dengan mineral yang
diinginkan. Akibat dari mineral halus adalah perolehan akan rendah dan kadar
konsentrat akan rendah akibat butiran halus ikut terapung dan terbawa ke dalam
konsentrat. Mekanisme dalam flotasi dimana mineral yang menempel pada
gelembung udara (froth) dapat terangkat ke atas.
Keberhasilan proses flotasi sangat ditentukan oleh ketetapan penggunaan
reagent, baik jumlah maupun jenisnya. Reagen flotasi yang ditambahkan pada tahap
conditioning dengan tujuan menciptakan suatu pulp yang kondisinya sesuai agar dapat
dilakukan flotasi dan mineral yang diinginkan dapat terapungkan sebagai konsentrat
(Iswanto, 2009).
1. Collector (collecting agent, promotor)
Collector adalah suatu reagen yang memberikansifatmenempel pada udara
sehingga mineral tersebut senang pada udara. Collector merupakan zat organik
dalam bentuk asam, basa atau garam yang berbentuk heteropolar, yaitu satu
ujungnya senang pada air dan ujung lainnya senang pada udara.

15
Molekul kolektor berupa senyawa yang dapat terionisasi menjadi ion-ion dalam
air (ionizing collector) atau berupa senyawa yang tidak dapat terionisasi dalam
air (non ionizing collector). Non ionizing collector umumnya merupakan
hidrokarbon cair yang dihasilkan dari minyak maupun batubara (heptane =
C7H12, toluen = C6H5CH3). Sedangkan ionizing collector merupakan jenis kolektor
yang molekulnya memiliki struktur heteropolar, yaitu salah satu kutubnya bersifat
polar (dapat dibasahi air), sedangkan kutub lainnya bersifat non polar (tidak
dapat dibasahi air).Berdasarkan sifat, ionizing collector diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu annionic collector dan cationinc collector. Macam kolektor antara lain
(Iswanto, 2009):
a. Xanthat, hasil reaksi alkohol, alkali dan sulfida karbon.
b. Aerofloat, reaksi fenol dengan penta sulfida phosphor.
c. Thio carbonalit (urae), sebagai serbuk halus.
d. Fatty acid (asam lemak), untuk flotasi non logam.
e. Oleic acid.
f. Palmatic acid.
2. Conditioner/Modifier
Modifier merupakan suatu reagen, bila ditambahkan ke dalam pulp akan
memberikan pengaruh tertentu terhadap air atau mineral agar dapat membantu
atau menghalangi kerja dari collector. Pengaruh umum yang dihasilkan adalah
memperkuat atau memperlemah hydrophobisitas dari suatu permukaan mineral
tertentu. Modifier ini biasanya anorganik. Macam conditioner/modifier, yaitu
(Iswanto, 2009):
a. Reagen pengontrol pH
Berfungsi untuk membuat suasana larutan menjadi asam atau basa. Pengaruh
pH dalam flotasi sangat penting sebab pH dapat mampengaruhi aksi dari
reagent lain terutama kolektor. Reagen kolektor akan bekerja dengan baik
pada permukaan mineral tertentu bila mencapai harga pH kritis. pH kritis
adalah ambang batas pH dimana kolektor dapat bekerja dengan baik pada
minerl tertentu. Harga pH kritis akan naik bersama naiknya kolektor yang
dipakai. Tinggi rendahnya pH ditentukan oleh konsentrasi ion-ion hidrogen
dan ion-ion hidroksil (OH). Pengaruh ion-ion hidrogen hidroksil adalah
terhadap hidrasi permukaan bila tanpa kolektor dan adsorbsi kolektor pada
permukaan mineral.Kapur biasanya digunakan dalam flotasi sebagai Ca(OH)2

16
padat dan biasanya kapur yang dimasukkan sebanyak 1,4 gram CaO per liter
(tergantung pada mineral yang dipisahkan). Kapur ini dapat dipakai sebagai
reagen pengendap dalam timbal sulfida dan emas.Yang digunakan sebagai
pengontrol pH adalah soda abu (NaCO3) dan Caustic Soda.
b. Depressing Agent (reagen pengendap)
Berfungsi untuk mencegah dan menghalangi mineral yang mempunyai
flotablitas sama supaya tidak menempel pada gelembung udara. Biasanya
yang digunakan adalah seng sulfat (ZnSO4) untuk menekan mineral sfalerit
dan sodium sianida (NaCN) untuk menekan mineral pyrite.
Zn(CN)2 + Na2SO4 ZnSO4 + 2 NaCN
Hasil reaksi tersebut dapat menekan sfalerit sehingga menjadi hydrofillic dan
mencegah adsorbsi colector. Macam yang lain antara lain: lime (kapur), NaCN
atau KCN dan Na sulfida.
c. Activating Agent (reagen pangaktif)
Activating Agent berfungsi mengembalikan sifat flotabilit mineral sehingga
tidak terpengaruh oleh aksi reagent kolektor yang telah diberikan
sebelumya.Contohnya tembaga sulfat (CuSO4) terhadap mineral sfalerit.
Mineral sfalerit tidak dapat diapungkan dengan baik oleh kolektor xanthate.
Proses pengaktifan tembaga sulfat pada sfalerit akibat terbentuknya molekul
tembaga sulfida (CuS) pada permukaan mineral dengan reaksi ion.
d. Sulfidizing Agent
Penambahan Na2S akan mengakibatkan endapan yang berupa selaput sulfida
pada mineral tersebut sehingga logam oksida dapat terselimuti sulfida.
Pemakaian sulfida yang berlebihan akan membuat sulfida itu mengandap.
e. Reagen Dispersi (dispersant, defloculator)
Reagen Dispersi berfungsi menjaga agar partikel-partikel mineral tidak
membentuk gumpalan tetapi tetap berada dalam suspensi.Fraksi mineral yang
bersifat non polar mempunyai kecenderungan untuk membentuk gumpalan,
sedangkan mineral-mineral yang polar tidak berkecenderungan demikian
tetapi tetap melayang. Reagen yang biasa digunakan adalah waterglass.
Kedudukan sebaran dapat dipertahankan oleh reagent waterglass akibat
adsorbsi ion-ionnya terhadap permukaan mineral.Reagen ini disebut juga
defloculating agent. Mineral yang senang pada udara itu biasanya
menggumpal, sedang yang senang terhadap air akan melayang dalam air,

17
oleh karena itu penambahan reagen ini bertujuan agar mineral tersebut
menyebar.Reagen yang sering dipakai adalah NaSiO2 (waterglass) dan Na3PO4
(trinatrium phosphat) untuk butir yang halus.
f. Frother
Frother merupakan suatu zat organik hydrocarbon yang terdiri dari polar dan
non polar. Fungsi reagen ini untuk menstabilkan gelembung udara agar dapat
sampai ke permukaan. Zat tersebut menyelimuti gelembung udara sehingga
tegangan permukaan air akan menjadi lebih rendah, sehingga akan timbul
gelembung udara. Dengan demikian frother ini dapat menimbulkan
gelembung udara. Molekul frother adalah heteropolar, terdiri dari gugusan
hydroxyl bersifat polar yang menarik air dan rantai hidrokarbon sebagai
gugusan non polar. Macam-macam frother, yaitu (Iswanto, 2009):
1. Methyl amil alcohol
2. Methyl iso butil carbinol
3. Cresitic acid
4. Pine oil
5. Polyprophylene glycol ether
6. Thricthoxy butane

18
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode flotasi kolom yang dilakukan
di workshop Gedung Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin. Penelitian ini
menggunakan sampel batubara dengan berat 150 gram. Penelitian ini dimulai dari
preparasi sampel batubara. Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam preparasi sampel
adalah sampel batubara yang telah dicrushing terlebih dahulu, mortar porselen untuk
menggerus sampel batubara, kain pengalas untuk melapisi mortar saat digunakan,
sendok sampel untuk memindahkan sampel ke dalam kantong sampel, kantong sampel
sebagai wadah untuk menyimpan sampel yang telah digerus, dan timbangan analitik
untuk menimbang massa sampel sebelum dan setelah digerus.
Setelah preparasi sampel, yang dialkukan selanjutnya adlaah proses pemisahan
menggunakan metode flotasi. Bahan yang digunakan pada proses pemisahan ini
adalah air sebagai bahan untuk campuran batubara agar menjadi pulp, minyak pinus
sebagai frother pada proses flotasi, dan minyak diesel sebagai collector pada proses
flotasi, dalam proses flotasi ini digunakan solar. Sedangkan alat yang digunakan pada
proses flotasi ini adalah alat flotasi kolom sebagai alat pemisah batubara, baskom
sebagai wadah untuk mencampur batubara, air, minyak pinus, dan solar, alat
pengaduk untuk mengaduk campuran batubara agar merata, sendok untuk mengambil
konsentrat yang mengapung pada proses flotasi, stopwatch untuk mengukur waktu
flotasi, gelas kimia untuk mengukur banyaknya minyak pinus dan solar yang akan
dimasukkan ke dalam campuran batubara dan air, dan kantong sampel sebagai wadah
untuk menyimpan konsentrat hasil pemisahan.

3.2 Preparasi Batubara

Batubara yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 150 gram. Sampel
batubara yang digunakan adalah sampel batubara yang telah diremukkan
menggunakan crusher. Selanjutnya, sampel batubara ditimbang menggunakan
timbangan analitik sebanyak 150 gram sebelum digerus. Batubara yang telah

19
ditimbang kemudian digerus menggunakan mortar porselen hingga ukuran partikelnya
mencapai 70-80 mesh. Selanjutnya sampel batubara yang telah digerus dimasukkan ke
dalam kantong sampel.

3.3 Proses Flotasi

Proses flotasi batubara dilakukan menggunakan flotasi kolom. Flotasi kolom


merupakan alat flotasi yang memisahkan material atau zat yang berukuran kecil yang
tidak dapat lagi dipisahkan menggunakan pemisahan gravimetri. Proses flotasi dimulai
dengan mencampur batubara yang telah digerus dengan air sebanyak ¾ baskom
ukuran sedang. Campuran tersebut diaduk hingga batubara dan air tercampur
sempurna. Kemudian minyak pinus sebanyak 30 ml dimasukkan ke dalam pulp.
Begitupula dengan minyak diesel sebanyak 10 ml. Pupl kemudian diaduk hingga
batubara, air, minyak pinus, dan minyak diesel tercampur merata.

Gambar 3.1 Membuat pulp

Setelah tercampur rata, pulp dimasukkan ke dalam alat flotasi. Alat kemudian
dinyalakan dengan menghubungkan kabel alat ke sumber listrik. Saat alat dinyalakan,
pulp akan terhisap masuk ke dalam kolom flotasi. Di dalam kolom flotasi ini akan
terjadi pemisahan partikel hidrofilik dan hidrofobik. Partikel hidrofobik akan
mengapung bersama gelembung udara. Pemisahan dibiarkan beberapa waktu. Karena
pada percobaan ini yang akan diukur adalah pengaruh waktu terhadap hasil pemisahan
flotasi kolom, maka pengambilan konsentrat dilakukan pada 3 waktu yang berbeda.
Pengambilan konsentrat dilakukan pada menit ke 10, 15, dan 20.

20
Gambar 3.2 Memasukkan pulp ke alat flotasi

Konsentrat yang terapung pada proses pemisahan diambil menggunakan


sendok kemudian dimasukkan ke dalam kantong sampel. Setelah ketiga konsentrat
hasil pemisahan telah diambil, alat dimatikan dan dibersihkan. Produk hasil pemisahan
selanjutnya dikeringkan. Pengeringan sebaiknya di bawah sinar matahari dan bebas
debu agar sampel batubara tidak terkontaminasi. Produk yang telah kering kemudian
ditimbang menggunakan timbangan analitik. Dari berat konsentrat tersebut dilakukan
pengolahan data untuk memperoleh recovery. Untuk desulfurisasi dan deashing,
dilakukan pengujian selanjutnya.

Gambar 3.3 Proses flotasi

21
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HasilFlotasi

Berdasarkan praktikum Flotasi batubara yang dilakukan diperoleh data sebagai


berikut.
4.1.1 Recovery flotasi
Data massa produk batubara dari hasil praktikum yang diperoleh dari flotasi
batubara menggunakan flotasi kolom dalam setiap variabel waktu adalah sebagai
berikut:

Tabel 4.1Hasil praktikum


No. Waktu (Menit) Massa Awal (gram) Massa Produk (gram)
1 10 21,81
2 15 150 13,64
3 20 55,6
Total 91,05

Dari data yang hasil praktikum di atas, maka nilai recovery yang diperoleh
adalah sebagai berikut:
Konsentrat
𝑅𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑟𝑦 = x 100%
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑡𝑢𝑏𝑎𝑟𝑎
91,05
𝑅𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑟𝑦 = x 100%
150
Recovery = 60,7 %
4.1.2 Desulfurisasi batubara menggunakan flotasi kolom
Desulfurisasi batubara menggunakan flotasi kolom dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Kadar awal − Kadar akhir
𝐷𝑒𝑠𝑢𝑙𝑓𝑢𝑟𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 = x 100%
Kadar Awal
Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil praktikum dengan menggunakan
rumus di atas, maka diperoleh hasil pada tabel 4.1.
Tabel 4.2 Hasil Desulfurisasi batubara
Waktu Kadar Sulfur (%) Desulfurisasi
No.
(Menit) Awal Akhir (%)
1 10 2,30 15,9219
2 15 2,74 2,18 20,32774
3 20 1,49 45,66131

22
Berikut merupakan grafik hubungan antara waktu dengan persentase
Desufurisasi pada flotasi kolom.

Grafik Hubungan antara waktu dan


desulfurisasi pada flotasi kolom
50
45 45.66131387
40
35
Desulfurisasi (%)

30
25
20 20.32773723
15 15.92189781
10
5
0
0 5 10 15 20 25
Waktu (Menit)

Gambar 4.1 Grafik Hubungan antara waktu dan desulfurisasi batubara

Grafik 4.1 metode yang digunkan yaitu flotasi kolom dapat disimpulkan bahwa
semakin lama waktu flotasi maka presentasi desulfurisasi batubara semakin meningkat.
4.1.3 Deashing batubara menggunakan flotasi kolom
Deashing batubara menggunakan flotasi kolom dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Kadar awal − Kadar akhir
𝐷𝑒𝑎𝑠ℎ𝑖𝑛𝑔 = x 100%
Kadar Awal
Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil praktikum dengan menggunakan
rumus di atas, maka diperoleh hasil pada tabel 4.2.

Tabel 4.3 Hasil deashing batubara


Waktu Kadar Abu (%) Deashing
No.
(Menit) Awal Akhir (%)
1 10 13,82 5,777505
2 15 14,67 13,05 11,05781
3 20 9,06 38,21363

Berikut merupakan grafik hubungan antara waktu dengan persentase deashing


pada flotasi kolom.

23
Grafik Hubungan antara waktu dan
Deashing pada flotasi kolom
45
40
38.21363327
35
30
Deashing (%)

25
20
15
10 11.05780504

5 5.777505112
0
0 5 10 15 20 25
Waktu (Menit)

Gambar 4.2 Grafik Hubungan antara waktu dan deashing batubara

Grafik 4.2 menujukan hubngan waktu dan Deashing dimana semakin lama
waktu flotasi yang digunakan makan kadar abu dalam batubara akan semakin
berkurang

4.2 Pembahasan

Flotasi merupakan metoda fisika kimia untuk memisahkan mineral berharga


(konsentrat) dengan mineral tidak berharga (tailling) dengan cara pengapungan. pada
praktikum ini digunkan umpan 150 gram, minak pinus 30 ml, minyak disel 20 ml, dan
air secukupnya kemudian dimasukkan ke dalam satu wadah dan dicampur hingga
merata, kemudian didapatkan hasil produk dengan kisaran waktu 10, 15, 10.
Setelah itu sampel dikeringkan dengan cara menjemur sampel dibawa sinar
matahari, kemudian di timbang dan didapatkan berat masing-masing sampel dengan
waktu 10 menit yaitu 21,81 gram, 15 menit yaitu 13,64 gram, 20 menit 55,6 gram.
Dari perhitungan diatas, dapat dilihat bahwa nilai recovery flotasi batubara mencapai
60,7 % sehingga tergolong dalam recovery rendah, karena nilai recovery tergolong
rendah ketika nilainya <80 %. Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk kualitas
batubara ini tergolong dalam kualitas rendah.
Perhitungan berikutnya adalah desulfurisasi, secara pengertian desulfurisasi
batubara merupakan suatu proses penurunan kadar sulfur dari batubara. Dari hasil

24
yang didapatkan untuk sampel dengan waktu 10 menit dengan kadar sulfur awal
adalah 2,74 % dan kadar akhirnya 2,30 % memiliki nilai desulfurisasi sebesar 15,9219
%, yang kedua sampel dengan waktu 15 menit dan nilai sulfur akhirnya 2,18 %
memiliki nilai desulfurisasi sebesar 20,32774 % dan yang ketiga untuk waktu 20 menit
dan nilai sulfur akhir 1,49 % memiliki nilai desulfurisasi sebesar 45,66131 %. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa apabila kadar sulfur semakin meningkat, maka nilai
desulfurisasinya akan menurun.
Perhitungan berikutnya untuk deashing, dari sampel yang didapatkan untuk
waktu 10 menit dengan kadar abu awal adalah 14,67 % dan kadar abu akhir pertama
13,82 % memiliki nilai deashing sebesar 5,777505 %, yang kedua sampel dengan
waktu 15 menit dan nilai abu akhir 13,05 % memiliki nilai deashing sebesar 11,05781
% dan yang ketiga sampel dengan waktu 15 dan nilai abu akhir 9,06 % memiliki nilai
deashing sebesar 38,21363 %.
Metode yang digunakan dalam pemisahan mineral berharga (konsentrat)
dengan mineral pengotornya (tailling) adalah metode flotasi kolom. Metode ini sudah
cukup banyak digunakan di industri pertambangan dan merupakan salah satu metode
yang baik digunakan untuk mengetahui nilai kadar sulfur dan kadar abunya. Devisi
Riset Empire Coal Company di Ohio Amerika membuat sebuah penelitian dimana
mengenai flotasi kolom dan mendapatkan hasil bahwa flotasi kolom ini mampu
memisahkan sampai 70 % sulfur dan 80 % abu pada batubara. Dibandingkan dengan
metode yang lain seperti pemisahan magnet dimana pada dasarnya tidak
membutuhkan bahan-bahan aditif dan pereaksi kimia yang berlebihan, akan tetapi
membutuhkan power untuk menggerakkan magnet dan mengalirkan bahan batubara
serta juga metode ini agak sulit untuk mereduksi abu pada batubara

25
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum pengolahan bahan galian dengan alat shaking table
adalah sebagai berikut:
1. Mekanisme flotasi didasarkan pada fenomena permukaan mineral. Ada mineral
yang mudah dibasahi air dan ada mineral yang sukar dibasahi air. Partikel
mineral yang mudah dibasahi air akan tetap berada dalam pulp. Sedangkan
partikel mineral yang sukar dibasahi air akan menempel pada gelembung udara
dan naik ke permukaan bersamaan dengan gelembung yang tercipta melalui
penginjeksian udara ke dalam pulp.
2. Proses perubahan kadar sulfur dan kadar abu pada batubara dapat dianalisis
dengan melakukan pemisahan dengan menggunakan metode flotasi. Ada
beberapa metode yang dapat digunakan dalam pengurangan kadarnya yaitu
flotasi kolom dan flotasi selektif. Dalam praktikum ini digunakan metode flotasi
kolom. Desulfurisasi dan deashing pada batubara, selain untuk meningkatkan
kualitas batubara juga merupakan usaha untuk mengurangi unsur-unsur yang
menjadi penyebab terjadinya pencemaran lingkungan.

5.2 Saran

Saran yang terdapat pada kegiatan praktikum ialah sebagai berikut:


1. Saran untuk praktikum yaitu kiranya saat mengeringkan salpel praktkan dpat
memaki oven yang ada di lap.

26

Anda mungkin juga menyukai