Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium dan
ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Secara global, penyebarannya sangat luas yaitu di
wilayah antara garis bujur 60° di utara dan 40° di selatan, meliputi lebih dari 100
negara beriklim tropis dan sub tropis. Penduduk yang berisiko terkena malaria
berjumlah sckitar 2,3 miliar atau 41% dari penduduk dunia (WHO, 2000 dalam
Hakim, 2013). Setiap tahun jumlah kasus malaria berjumlah 300-500 juta dan
mengakibatkan 1,5 s/d 2,7 juta kematian, terutama di Afrika sub Sahara. Asia Selatan
dan Asia Tenggara serta Amerika Tengah. Wilayah yang kini sudah bebas malaria
adalah Eropa, Amerika Utara, sebagian besar Timur Tengah, sebagian besar Karibia,
sebagian Ameri-ka Selatan. Australia dan Cina (Harijanto, 2000).
Laporan WHO tahun 2005 menyebutkan, di seluruh dunia jumlah kasus baru
malaria berkisar 300-500 juta orang dengan kematian 2,7 juta orang/tahun, sebagian
besar anak-anak di bawah lima tahun yang merupakan kelompok paling rentan
terhadap penyakit dan kematian akibat malaria; dengan jumlah negara endemis
malaria pada tahuin 2004 sebanyak 107 negara (WHO, 2005).
Di Indonesia yang merupakan negara tropis, malaria tetap menjadi salah satu
penyakit menular utama khususnya di beberapa wilayah yang dinyatakan masih
endemis terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena malaria masih
merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian pada kelompok
berrisiko tinggi yaitu bayi, balita, dan ibu hamil dan secara langsung dapat
menurunkan produktivitas kerja. Pada tahun 2006 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria
klinis, sedangkan tahun 2007 menjadi 1,75 juta kasus. Jumlah penderita positif
malaria (hasil pemeriksaan mikroskop positif terdapat kuman malaria) tahun 2006
sekitar 350 ribu kasus, dan pada tahun 2007 sekitar 311 ribu kasus (Depkes RI, 2010
dalam Hakim, 2013).
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme keluhan pada pasien di skenario.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tipe-tipe demam.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme yang terjadi setelah mengkonsumsi
obat penurun panas parasetamol pada pasien di skenario yang tidak membaik

1
4. Mahasiswa mampu menjelaskan interpretasi pemriksaan fisik pasien di skenario.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan penunjang yang direncakan oleh
dokter untuk pasien di skenario.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosa banding pasien di skenario.
7. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosa kerja pasien di skenario.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penyusunan laporan Pleno LBM I yang berjudul “Demam dan
Pusing” adalah agar mahasiswa FK Unizar mampu memahami dan menjelaskan
bagaimana mekanisme terjadinya keluhan pada skenario, apa saja diagnosa banding
yang bisa didapatkan, apa diagnosa kerja dan penatalaksanaannya.

2
BAB II

PEMABAHASAN

2.1 Data Tutorial


Hari/tanggal sesi 1 : Senin, 4 Juni 2018
Hari/tanggal sesi 2 : Rabu, 6 Juni 2018
Tutor : dr. H. Agus Widjaja, M.H.A
Moderator : Yusril Ilham Fahmi
Sekretaris : Arif Darmawardana
2.2 Skenario LBM
LBM 1
“Demam dan Pusing”
Seorang wanita 30 tahun, dating ke klinik Unizar dengan keluhan demam 4
hari. Demam dirasa tidak memiliki pola khusus. Pasien juga mengeluhkan pusing,
badannya terasa menggigil dan nyeri. Ia juga berkeringat dingin, merasa mual, dan
muntah beberapa kali. Pasien sudah mengkonsumsi 3-4 kali sehari 1 tablet, jika
sedang demam danmerasakan sedikit perbaikan yang bersifat sementara. Pasien
merasa beberapa kali mengkonsumsi makanan yang kurang higienis saat sedang
berlibur ke Papua selama 1 bulan, dan menanyakan kemungkinan kondisinya
disebabkan oleh hal itu. Pasien baru pulang dari Papua 1 minggu lalu. Pasien tidak
mengetahui adanya tetangga sekitar rumahnya yang mengalami keluhan serupa.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaaan umum pasien tampak lemas,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 108 kali/menit regular,
laju pernafasan 20 kali/menit, dan suhu 38,5o C. pemeriksaan kepala, leher, toraks,
abdomen, dan ekstremitas tidak menunjukkan kelainan berarti. Dokter merencanakan
pemeriksaan penunjang.
2.3 Pembahasan LBM
I. Klarifiskasi Istilah
1. Demam : perubahan temperatur tubuh di atas batas normal yang dapat
disebabkan oleh kelainan di dalam otak sendiri atau oleh bahan-bahan
toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu (Guyton, 2007).
2. Menggigil : aktivitas otot yang merupakan upaya tubuh untuk
mempertahankan suhu tubuh selama terpapar dingin (Silverthorn, 2004).

3
3. Parasetamol (asetaminofen) : obat analgetik non narkotik dengan cara
kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di sistem syaraf pusat
(SSP). Mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai
daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan
lambung (Setiabudy, 2005).
II. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana mekanisme keluhan pada pasien di skenario?
2. Sebutkan dan jelaskan tipe-tipe demam!
3. Mengapa setelah mengkonsumsi obat penurun panas parasetamol pasien di
skenario tidak membaik?
4. Jelaskan interpretasi pemeriksaan fisik pasien di skenario!
5. Pemeriksaan penunjang apa yang direncanakan dokter untuk pasien di
skenario?
III. Brain Storming
1. Bagaimana mekanisme keluhan pada pasien di skenario?
A. Mekanisme Demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama
pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen
terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar
tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme
seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen
klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri
gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang
merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari
pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari
pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit
walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika
terstimulasi (Jevuska, 2012).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih
(monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,
mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan
mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6,
TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang
endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin. Prostaglandin

4
yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat
termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang
lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu
mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil,
vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut.
Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan
pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh
naik ke patokan yang baru tersebut. (Jevuska, 2012)
B. Mekanisme menggigil dan berkeringat dingin
Hal ini berkaitan dengan fase terjadinya demam. Demam memiliki
tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase
pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh
yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan
aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh
akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam
merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas
di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase
kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan
vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk
menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan (Jevuska,
2012).
C. Mekanisme mual muntah dan pusing
Sensasi berupa mual disebabkan oleh stimulasi dari satu atau lebih
dari empat sistem menurut Jevuksa (2014), yaitu:
 Aferen visceral dari saluran pencernaan (vagus atau saraf simpatis)
sinyal-sinyal ini menginformasikan otak mengenai kondisi seperti
distensi gastrointestinal dan iritasi mukosa.
 Aferen visceral dari luar saluran pencernaan, sinyal dari saluran
empedu, peritoneum, hati dan berbagai organ lain. Impuls ke pusat
pusat muntah menjelaskan bagaimana, misalnya, batu di saluran
empedu dapat menyebabkan muntah.

5
 Aferen dari pusat extramedulla di otak (sistem vestibular),
rangsangan psikis tertentu (bau, rasa takut), dan trauma otak dapat
menyebabkan muntah.
 Kemoreseptor trigger zone di area postrema (medulla) dasar
ventrikel keempat, atau pusat-pusat yang lebih tinggi di sistem
saraf pusat (SSP).
Saluran pencernaan dapat mengaktifkan pusat muntah oleh
stimulasi mekanoreseptor atau kemoreseptor pada glossopharyngeal atau
aferen vagal (saraf kranial IX dan X) atau dengan pelepasan serotonin dari
sel-sel usus enterochromaffin, yang pada gilirannya merangsang reseptor
serotonin (5-HT3) pada aferen vagal. Sistem vestibular mengaktifkan
pusat muntah jika dirangsang oleh gerakan atau penyakit (misalnya
labyrinthitis) atau ketika peka oleh obat-obatan (misalnya opioid).
Reseptor Histamin (H1) dan Asetilkolin M1 muncul pada aferen
vestibular. Racun endogen atau eksogen yang melalui darah dapat
mengaktifkan kemoreseptor di postrema lantai ventrikel keempat melalui
jenis reseptor dopamin 2. Akhirnya, pusat SSP yang lebih tinggi dapat
mengaktifkan atau menghambat pusat muntah. Selain itu, mungkin ada
aktivasi langsung reseptor H1 pada meninges sekunder untuk
meningkatkan tekanan intracranial (Jevuksa, 2014).
Mual dan muntah biasanya merupakan gejala yang bisa disebabkan
oleh banyak hal. Kondisi ini adalah cara tubuh bereaksi terhadap materi
yang mungkin berbahaya dari dalam tubuh. Adanya infeksi saluran
pencernaan adalah penyebab paling umum yang mengakibatkan terjadinya
mual dan muntah. Infeksi tersebut dapat disebabkan oleh bakteri, virus
ataupun parasit. Walaupun begitu, mual dan muntah dapat menjadi gejala
yang umum dari infeksi yang lain (Muhlisin, 2015).
Pusing juga merupakan gejala yang dapat disebabkan oleh berbagai
penyebab. Pusing pada pasien di skenario, kemungkinan disebabkan oleh
muntah yang berulang kali terjadi sehingga kadar cairan dan elektrolit
tubuh terus menerus menurun. Selain itu, demam yang terjadi menyebakan
meningkatnya metabolisme tubuh oleh karena suhu tubuh meningkat.

6
Banyaknya energi yang terpakai untuk metabolisme menyebabkan tubuh
merasa lemah dan pusing (Muhlisin, 2015).
2. Sebutkan dan jelaskan tipe-tipe demam!
Tipe-tipe demam menurut Nelwan (2009) dalam Sudoyo dkk (2009),
yaitu:
1) Demam septik
Pada tipe demam septik, suhu tubuh berangsur naik ke tingkat yang
tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas
normal pada pagi hari. Demam sering disertai keluhan menggigil
dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat
yang normal dinamakan juga demam hektik.
2) Demam remiten
Pada tipe demam remiten, suhu tubuh dapat turun setiap hari tetapi
tidak pernah mencapai suhu normal. Perbedaan suhu yang mungkin
tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan
suhu yang dicatat pada demam septik.
3) Demam intermiten
Pada demam intermiten, suhu tubuh turun ke tingkat yang normal
selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini
terjadi dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari
bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.
4) Demam kontinyu
Pada demam tipe kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak
berbeda lebih dari satu derajat.
5) Demam siklik
Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu tubuh selama
beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk
beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu kembali
seperti semula.
3. Mengapa setelah mengkonsumsi obat penurun panas parasetamol pasien di
skenario tidak membaik?
Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen.
Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin dengan efek
antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak 1893. Efek antipiretik

7
ditimbulkan oleh gugus amino benzen. Asetaminofen di Indonesia lebih
dikenal sebagai parasetamol. Parasetamol bersifat antipiretik dan analgesic
tetapi sifat anti-inflamasinya lemah sekali. Parasetamol merupakan obat
analgesik non narkotik yang memiliki cara kerja menghambat sintesis
prostaglandin terutama di Sistem Saraf Pusat (SSP) (Guyton & Hall,
2014).
a. Farmakodinamik
Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan
suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral.
Efek anti-inflamasinya yang sangat lemah, oleh karena itu parasetamol
tidak digunakan sebagai anti-reumatik. Ketidakmampuan parasetamol
memberikan efek anti-radang itu sendiri mungkin berkaitan dengan
fakta bahwa parasetamol hanya merupakan inhibitor siklooksigenase
yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang
ditemukan pada lesi radang. Parasetamol merupakan penghambat
biosintesis prostaglandin yang lemah. Efekiritasi, erosi, dan perdarahan
lambung tidak telihat pada obat ini, demikian juga gangguan
pernapasan dan keseimbangan asam basa (Guyton & Hall, 2014).
b. Farmakokinetik
Parasetamol di absorpsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu
setengah jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar
keseluruh cairan tubuh. Pengikatan obat ini pada protein plasma
beragam, hanya 20%-50% yang mungkin terikat pada konsentrasi yang
ditemukan selama intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik, 90%-
100% obat ini ditemukan dalam urin selama hari pertama, terutama
setelah konjugasi hepatic dengan asam glukoronat (sekitar 60%), asam
sulfat (sekitar 35%), atau sistein (sekitar 3%), sejumlah kecil metabolit
hasil hidroksilasi dan deaseilasi juga telah terdeteksi. Sebagian kecil
parasetamol mengalami proses N-hidroksilasi yang diperantarai
sitokrom P450 yang membentuk N-asetil-benzokuinoneimin, yang
merupakan suatu senyawa antara yang sangat reaktif. Metabolit ini
bereaksi dengan gugus sulfhidril pada glutation. Namun, setelah ingesti

8
parasetamol dosis besar, metabolit ini terbentuk dalam jumlah yang
cukup untuk menghilangkan glutation hepatic (Guyton & Hall, 2014).

Kesimpulan : mengapa pada skenario tidak membaik setelah meminum


obat penurun panas parasetamol, hal ini di sebabkan oleh kerja dari
parasetamol itu sendiri. Dimana kerja atau efek dari parasetamol
merupakan analgetik-antipiretik. Yang artinya parasetamol hanya lebih
efektif bekerja sebagai :
1. Pereda nyeri atau analgetik, yang dimana padahal ini parasetamol akan
menghambat biosintesis dari prostaglandin. Yang dimana
prostaglandin merupakan mediator nyeri.
2. Penurun panas atau antipiretk, yang nantinya parasetamol akan
menghambat dari biosintesis prostaglandin dalam hipotalamus yang
akan menyebabkan vasodilatasi dari perifer kulit yang akan
merangsang keringat pada kulit (Guyton & Hall, 2014).
4. Jelaskan interpretasi pemeriksaan fisik pasien di skenario!
 Tekanan Darah : 100/60 mmHg  normal, dalam beberapa
keadaan tekanan darah sistolik 100 mmHg dapat di katakan rendah,
jika di ikuti dengan adanya gejala-gejala umum lainnya. Seperti
demam atau tanda peradangan lainnya. Namun secara umum,
tekanan darah 100/60 mmHg di katakan normal.
Interpretasi hasil pengukuran tekanan darah pada usia ≥ 18 tahun :
berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII dalam Bakri &
Bachtiar (2014) adalah sebagai berikut :
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah
Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre-Hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stage 1 140-159 90-99
Hipertensi Stage 2 > 160 > 100
Gambar 1. Tabel Interpretasi Hasil Pengukuran Tekanan Darah
Berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII.

9
 Nadi : 108x/menit (Takhikardi: > 100x/menit ) meningkat, hal
ini dapat di akibatkan oleh keadaan pasien di skenario yang
demam. Dimana pada saat demam, jantung akan memompa lebih
banyak darah sebagai kompensasi. Frekunsi denyut nadi normal
yaitu 60-100x/menit (Bakri & Bachtiar, 2014).
 Respirasi Rate/laju pernafasan : 20x/menit normal, pernafasan
normal pada dewasa 12-20x/menit. Berbeda dengan anak-anak,
akan lebih tinggi angka RR nya (Bakri & Bachtiar, 2014).
 Suhu : 38,5o C  meningkat, suhu tubuh yang normal adalah 36,5 o
-37,2o C. Sedangkan jika suhu 37,8o C maka dapat di katakan
subfebris. Pada hal ini, suhu meningkat dapat di akibatkan oleh
banyak faktor. Yang lebih sering adalah akibat dari infeksi atau
adanya peradangan dalam tubuh. Demam sebagai kompensasi atau
tanda bahwa tubuh mengalami peradangan atau infeksi, baik
infeksi akibat virus,bakteri ataupun parasit (Bakri & Bachtiar,
2014).
5. Pemeriksaan penunjang apa yang direncanakan dokter untuk pasien di
skenario?
Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di
Puskesmas/lapangan/ rumah sakit/laboratorium klinik untuk
menentukan:
a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
b) Spesies dan stadium plasmodium.
c) Kepadatan parasit.
b. Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan metoda imunokromatografi. Sebelum
menggunakan RDT perlu dibaca petunjuk penggunaan dan tanggal
kadaluarsanya. Pemeriksaan dengan RDT tidak digunakan untuk
mengevaluasi pengobatan (Kemenkes RI, 2017).

10
IV. Rangkuman Permasalahan

Keluhan Pasien di
Skenario

Demam Dengue Demam Tifoid Malaria

Penatalaksanaan

Gambar 2. Rangkuman Masalah


V. Learning Issues
1. Apakah diagnosa banding pada skenario?
2. Apakah diagnosa kerja pada skenario?
VI. Referensi
Bakri, Syakib., Bachtiar, R.R. 2014. Buku Panduan Pendidikan Keterampilan
Klinik 1 : Keterampilan Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital. Makassar :
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Guyton, A. C., Hall, J. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC.
Guyton, A. C., Hall, J. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta: EGC.
Hakim, Lukman. 2013. Malaria: Epidemiologi dan Diagnosis. Loka Litbang
P2B2 Ciamis, Badan Litbangkes.
Harijanto, P.N. 2000. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan
Penanganan. Jakarta: EGC.
Jevuska. 2012. Patofisiolgi Demam. Available at
https://www.jevuska.com/2012/11/23/demam-arti-patofisiologi-demam-
tubuh-panas-menggigil/. Accessed June 8th, 2018.

11
Jevuska. 2014. Patofisiologi Nausea & Vomitus. Hematology - Basic
Principles and Practice, 6th ed. Available at
https://www.jevuska.com/2014/03/02/mual-muntah-patofisiologi/.
Accessed June 8th, 2018.
Kemenkes RI. 2017. Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria. Jakarta:
Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan
RI Tahun 2017.
Muhlisin, Ahmad. 2015. Penyebab Mual Muntah dan Cara Mengatasinya.
Available at https://mediskus.com/penyakit/penyebab-mual-muntah-dan-
cara-mengatasinya. Accessed June 8th, 2018.
Setiabudy, R. 2005. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Gaya Baru.
Silverthorn, D.U. 2004. Human Physiology. An integrated approach. Edisi 3.
San Francisco: Prentice-Hall Inc.
Sudoyo A. W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Demam : Tipe
dan Pendekatan. Jilid III. Edisi V.
WHO. 2005. World Malaria Report 2005 : Geneva. RBM/WHO/UNICEF.
VII. Pembahasan Learning Issues
1. Diagnosa Banding
A. Malaria
1. Definisi
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit dari
genus Plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui
perantaraan tusukan (gigitan) nyamuk Anopheles spp. Penyakit ini
merupakan salah satu penyakit infeksi parasit terpenting di dunia
dan menjadi masalah terutama bagi negara-negara yang sedang
berkembang (John & Krause, 2011).
2. Epidemiologi
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan utama
dunia dan terjadi di lebih dari 100 negara. Daerah transmisi utama
terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Plasmodium
falciparum adalah spesies predominan di Afrika, Haiti, dan New
Guinea.Plasmodium vivax predominan di Bangladesh, Amerika
Tengah, India, Pakistan, dan Sri Lanka P. vivax dan P. falciparum
predominan di Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Oceania.

12
Plasmodium ovale adalah spesies yang paling tidak umum,
terutama tersebar di Afrika (Nelwan, 2013).
Menurut survei kesehatan rumah tangga tahun 2001,
terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap
tahunnya di Indonesia.Diperkirakan 35% penduduk Indonesia
tinggal di daerah berisiko terinfeksi malaria. Di pulau Jawa dan
Bali, Annual Parasite index (API) masih berfluktuasi, pada tahun
2005, 2006, dan 2007 tercatat 0,95‰, 0,19‰ dan 0,16‰.
Sedangkan di luar Jawa dan Bali, Annual Malaria Incidence (AMI)
menurun dari 24,75‰ pada tahun 2005 menjadi 19,67‰ tahun
2007. Di Sumatera Utara antara tahun 2000-2004, diperkirakan
lebih dari 50.000 kasus setiap tahun dengan 9-10 kasus kematian.
Pada tahun 2010 WHO memperkirakan terdapat sekitar 600.000
kematian akibat malaria di seluruh dunia dan 86% adalah anak-
anak di bawah usia 5 tahun (Depkes, 2008).
3. Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa Plasmodium intraseluler
yang ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk Anopheles betina.
Saat ini, tercatat ada 5 spesies Plasmodium yang diketahui dapat
menyebabkan malaria pada manusia, yaitu P. falciparum, P.
malariae, P. vivax, P. ovale, dan P. knowlesi. Plasmodium
knowlesi adalah spesies Plasmodium yang sebelumnya hanya
teridentifi kasi pada kera (John & Krause, 2011 & Nelwan, 2013).
4. Patofisiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa Plasmodium intraseluler
yang ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk Anopheles betina.
Saat ini, tercatat ada 5 spesies Plasmodium yang diketahui dapat
menyebabkan malaria pada manusia, yaitu P. falciparum, P.
malariae, P. vivax, P. ovale, dan P. knowlesi. Plasmodium
knowlesi adalah spesies Plasmodium yang sebelumnya hanya
teridentifi kasi pada kera.Kasus pertama yang terjadi pada manusia
tercatat di semenanjung Malaysia pada tahun 1965 (John & Krause,
2011 dan Nelwan, 2013).

13
Spesies Plasmodium dapat dijumpai dalam berbagai bentuk
dan memiliki siklus hidup yang kompleks.Parasit ini dapat
bertahan hidup di lingkungan seluler yang berbeda, baik dalam
tubuh manusia (fase aseksual) maupun nyamuk (fase
seksual).Replikasi Plasmodium terjadi melalui 2 tahap dalam tubuh
manusia.Fase eritrositik yang terjadi di dalam sel-sel hati dan fase
eritrositik yang terjadi di dalam sel darah merah (John & Krause,
2011).
Fase eksoeritrositik dimulai dengan inokulasi sporozoit ke
dalam peredaran darah oleh nyamuk Anopheles betina. Dalam
hitungan menit, sporozoit akan menginvasi sel-sel hepatosit,
berkembang biak secara aseksual dan membentuk skizon. Setelah
1-2 minggu, sel-sel hepatosit ruptur dan mengeluarkan ribuan
merozoit ke dalam sirkulasi. Skizon spesies P. falciparum, P.
Malariae, dan P. knowlesi sekali ruptur tidak akan lagi berada di
hati. Skizon spesies P. vivax dan P. ovale ruptur dalam 6-9 hari dan
ruptur sekunder pada skizon yang dorman (hipnozoit) dapat terjadi
setelah beberapa minggu, bulan atau tahun sebelum mengeluarkan
merozoit dan menyebabkan relaps (malaria kronis) (Baron S,
2017).
Fase eritrositik dimulai saat merozoit dari hati menginvasi
sel darah merah.Di dalam eritrosit, parasit ini bertransformasi
menjadi bentuk cincin yang kemudian membesar membentuk
tropozoit. Tropozoit berkembang biak secara aseksual yang
kemudian ruptur dan mengeluarkan eritrositik merozoit, yang
secara klinis ditandai dengan demam. Beberapa dari merozoit ini
berkembang menjadi gametosit jantan dan gametosit betina,
sekaligus melengkapi fase siklus aseksual pada manusia.Gametosit
jantan dan gametosit betina ini dicerna oleh nyamuk Anopheles
betina saat mengisap darah dari manusia.Dalam perut nyamuk,
gametosit jantan dan betina ini bergabung untuk membentuk
zigot.Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian menembus
dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar, nyamuk ookinet akan

14
menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit ini
bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia (Baron S, 2017).

Gambar 3. Patofisiologi Malaria


5. Manifestasi Klinis
Penderita malaria biasanya menunjukan gejala utama
demam tinggi yang bersifat paroksismal disertai menggigil,
berkeringat, dan nyeri kepala.Selain itu, sering ditemukan
kelelahan, anoreksia, nyeri punggung, mialgia, pucat, dan
muntah.Manifestasi klinis malaria pada anak berbeda dengan orang
dewasa, sehingga sering salah diintepretasikan dengan
gastroenteritis akut atau infeksi virus akut lainnya.Anak-anak yang
berasal dari daerah endemis malaria (partially immune) umumnya
menunjukkan gejala minimal seperti berkurangnya aktifitas,
anoreksia atau bahkan asimptomatik; tidak harus disertai demam,
terutama bagi anak di daerah endemis.Pada anak dengan
asimptomatik yang positif parasit malaria di darah, dapat hanya
menunjukkan splenomegali sebagai temuan tunggal (FK Unud,
2011).
Secara klinis, gejala dari penyakit malaria terdiri atas
beberapa serangan demam dengan interval tertentu yang diselingi

15
oleh suatu periode dimana penderita bebas sama sekali dari
demam. Gejala klinis malaria menurut Baron S (2017) sebagai
berikut:
a. Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan
berkeringat.
b. Nafsu makan menurun.
c. Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah.
d. Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi
dengan plasmodium Falciparum.
e. Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai
pembesaran limpa.
f. Malaria berat, seperti gejala diatas disertai kejang-kejang dan
penurunan.
g. Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya
tetapi yang menonjol adalah mencret (diare) dan pusat karena
kekurangan darah (anemia) serta adanya riwayat kunjungan ke atau
berasal dari daerah malaria
Serangan malaria biasanya berlangsung selama 6-10 jam
dan terdiri dari tiga tingkatan menurut Baron S (2017), yaitu:
1. Stadium Dingin
Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan yang
sangat dingin.Gigi gemeretak dan penderita biasanya menutup
tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia
nadi cepat tetapi lemah.Bibir dan jari jemarinya pucat kebiru-
biruan, kulit kering dan pucat.Penderita mungkin muntah dan pada
anak-anak sering terjadi kejang.Stadium ini berlangsung antara 15
menit sampai 1 jam.
2. Stadium Demam
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini penderita
merasa kepanasan.Muka merah, kulit kering dan terasa sangat
panas seperti terbakar, sakit kepala dan muntah sering terjadi, nadi
menjadi kuat lagi.Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu
badan dapat meningkat sampai 41°C atau lebih.Stadium ini
berlangsung antara 2 sampai 4 jam.Demam disebabkan oleh

16
pecahnya skizon darah yang telah matang dan masuknya merozoit
darah ke dalam aliran darah.
Pada P. vivax dan P. ovale skizon-skizon dari setiap
generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali sehingga demam
timbul setiap tiga hari terhitung dari serangan demam sebelumnya.
Nama malaria tertiana bersumber dari fenomena ini.Pada P.
malaria, fenomena tersebut 72 jam sehingga disebut malaria P.
vivax/P. ovale, hanya interval demamnya tidak jelas. Serangan
demam diikuti oleh periode laten yang lamanya tergantung pada
proses pertumbuhan parasit dan tingkat kekebalan yang kemudian
timbul pada penderita.
3. Stadium Berkeringat
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali
sampai-sampai tempat tidurnya basah.Suhu badan meningkat
dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah suhu
normal.Penderita biasanya dapat tidur nyenyak. Pada saat bangun
dari tidur merasa lemah tetapi tidak ada gejala lain, stadium ini
berlangsung antara 2 sampai 4 jam.
Gejala-gejala yang disebutkan diatas tidak selalu sama pada
setiap penderita, tergantung pada spesies parasit dan umur dari
penderita, gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria
tropika yang disebabkan oleh plasmodium falciparum. Hal ini
disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk trofozoit
dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh
seperti otak, hati dan ginjal sehingga menyebabkan tersumbatnya
pembuluh darah pada organ-organ tubuh tersebut.
Gejala berupa koma/pingsan, kejang-kejang sampai tidak
berfungsinya ginjal.Kematian paling banyak disebabkan oleh jenis
malaria ini.Kadang–kadang gejalanya mirip kolera atau
disentri.Black water fever yang merupakan gejala berat adalah
munculnya hemoglobin pada air seni yang menyebabkan warna air
seni menjadi merah tua atau hitam. Gejala lain dari black water
fever adalah ikterus dan muntahmuntah yang warnanya sama
dengan warna empedu, black water fever biasanya dijumpai pada

17
mereka yang menderita infeksi P. falcifarum yang berulang -ulang
dan infeksi yang cukup berat.
Infeksi Plasmodium selama kehamilan dapat menyebabkan
keguguran, retardasi pertumbuhan janin, lahir mati, berat bayi lahir
rendah, kelahiran prematur, dan malaria kongenital.Pada malaria
kongenital (umumnya muncul pada 10-30 hari kehidupan)
transmisi terjadi selama kehamilan; dapat menunjukkan gejala
demam, gelisah, pucat, ikterus, kejang, distres pernafasan,
intoleransi minum, muntah, diare, sianosis, dan
hepatosplenomegali.Menggigil tidak umum terjadi karena pusat
pengatur suhu yang belum sempurna. Malaria pada kelompok usia
ini tidak jarang terjadi di daerah endemis, namun sering tidak
dikenali karena gejala yang tumpang tindih dengan penyakit lain,
seperti sepsis (Alessandro et al, 2012).
B. Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DHF
1. Definisi
Demam Dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, sakit kepala, nyeri sendi dan atau nyeri
otot yang disertai ruam dan limfadenopati, trombositopeni dan
lekopenia (Sudoyo dkk, 2009).
2. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia
Tenggara, Pasifik barat dan. Karibia. Indonesia merupakan wilayah
endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD
di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989
hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa
hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan
mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada
tahun 1999 (Sudoyo dkk, 2009).
3. Etiologi
Penyakit demam berdarah disebabkan oleh virus dengue dari
kelompok Arbovirus B, yaitu Arthropod-borne virus dan ditularkan
melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dengan bintik hitam putih

18
pada tubuhnya. Virus dengue merupakan virus RNA rantai tunggal,
genus flavivirus dari family Flaviviridae, terdiri atas 4 tipe virus
yaitu D1, D2, D3 dan D4. Struktur antingen ke-4 serotipe ini sangat
mirip satu dengan yang lain, namun antibody terhadap masing –
masing tipe virus tidak dapat saling memberikan perlindungan
silang. Variasi genetic yang berbeda pada ke-4 serotipe ini tidak
hanya menyangkut antar tipe virus, tetapi juga di dalam tipe virus
itu sendiri tergantung waktu dan daerah penyebarannya. Perantara
pembawa virus dengue, dalam hal ini nyamuk Aedes disebut
vector. Biasanya nyamuk Aedes yang menggigit tubuh manusia
adalah nyamuk betina, sedangkan nyamuk jantanya lebih menyukai
aroma yang manis pada tumbuh –tumbuhan (Sudoyo dkk, 2009).
4. Patofisiologi
Patofisiologi primer pada Demam Berdarah Dengue (DBD)
terjadi peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah
pada kebocoran plasma ke dalam ruang ekstra vaskuler, sehingga
akan menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah.
Volume plasma menurun mencapai 20% pada kasus berat yang
diikuti efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Jika
penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi
diabsorbsi dengan cepat dan menimbulkan penurunan hematokrit.
Perubahan hemostasis pada Demam Berdarah Dengue
(DBD) dan Dengue Syok Syndrome (DSS) yang akan melibatkan 3
faktor yaitu:
(1) perubahan vaskuler; (2) trombositopenia; dan (3) kelainan
koagulasi.
Setelah virus Dengue masuk dalam tubuh manusia, virus
berkembang biak didalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya
diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Respon imun
humoral atau seluler muncul akibat dari infeksi virus ini. Antibodi
yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi
Dengue primer antibodi mulai terbentuk dan pada infeksi sekunder
kadar antibodi yang ada telah meningkat.

19
Antibodi terhadap virus Dengue dapat ditemukan di dalam
darah sekitar demam pada hari ke 5, meningkat pada minggu
pertama sampai minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari.
Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat pada demam hari ke-
14 sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada
hari kedua. Diagnosis dini pada infeksi primer hanya dapat
ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima,
sedangkan pada infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini
dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang
cepat.Trombositopenia merupakan kelainan hematologi yang
sering ditemukan pada sebagian besar kasus Demam Berdarah
Dengue. Trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara
cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya
tercapai pada 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia
dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama
terjadinya perdarahan pada DBD. Gangguan hemostasis
melibatkan perubahan vaskuler, pemeriksaan tourniquet positif,
mudah mengalami memar, trombositopenia dan koagulopati. DBD
stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis,
Disseminated Intravaskular Coagulation (DIC) dapat dijumpai pada
kasus yang berat dan disertai syok dan secara potensial dapat
terjadi juga pada kasus DBD tanpa syok. Terjadinya syok yang
berlangsung akut dapat cepat teratasi bila mendapatkan perawatan
yang tepat dan melakukan observasi disertai pemantauan
perembesan plasma dan gangguan hemostatis (Sudoyo dkk, 2009).
5. Manifestasi Klinis
Gejala Demam Berdarah Dengue (DBD) ditandai dengan
manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama
perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah
(circulatory failure). Patofisiologi yang membedakan dan
menentukan drajat penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan
Demam Dengue (DD) yaitu peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopeni, dan

20
distesis hemoragik. Umumnya pasien mengalami fase demam
selama 2-7 hari, yang diikuti dengan fase kritis selama 2-3 hari.
Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat. Gejala Demam Berdarah Dengue yaitu
demam tinggi mendadak antara 38–40 % C selama 2–7 hari,
demam tidak dapat teratasi maksimal dengan penularan panas
biasa, mual, muntah, nafsu makan menurun, nyeri sendi atau nyeri
otot (pegal –pegal), sakit kepala, nyeri atau rasa panas di belakang
bola mata, wajah kemerahan, sakit perut (diare), kelenjar pada
leher dan tenggorokan terkadang ikut membesar. Gejala
lanjutannya terjadi pada hari sakit ke 3 –5, merupakan saat-saat
yang berbahaya pada penyakit demam berdarah dengue yaitu suhu
badan akan turun, jadi seolah–olah anak sembuh karena tidak
demam lagi. Perlu di perhatikan tingkah laku si anak, apabila
demamnya menghilang, si anak tampak segar dan mau bermain
serta mau makan atau minum, biasanya termasuk demam dengue
ringan. Tetapi apabila demam menghilang tetapi si anak bertambah
lemah, ingin tidur, dan tidak mau makan atau minum apapun
apabila disertai nyeri perut, ini merupakan tanda awal terjadinya
syok. Keadaan syok merupakan keadaan yang sangat berbahaya
karena semua organ tubuh kekurangan oksigen dan dapat
menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Hari ke 6 demam dan
seterusnya, merupakan saat penyembuhan. Saat ini demam telah
menghilang dan suhu menjadi normal kembali, tidak dijumpai lagi
perdarahan baru, dan nafsu makan timbul kembali. Pada umumnya,
setelah sembuh dari sakit, si anak masih tampak lemah, muka agak
sembab disertai perut agak tegang tetapi beberapa hari kemudian
kondisi badan anak pulih kembali normal tanpa gejala sisa.
Proses penyembuhan DBD dengan atau tanpa adanya syok
berlangsung singkat dan sering kali tidak dapat diramalkan, bahkan
dalam kasus syok stadium lanjut, segera setelah syok teratasi,
pasien sembuh dalam waktu 2 –3 hari. Timbulnya kembali selera
makan merupakan prognostic yang baik. Fase penyembuhan

21
ditandai dengan adanya sinus bradikaridia atau aritmia jantung
serta petekie yang menyeluruh sebagaimana biasanya terjadi pada
kasus DD. Sebagai tanda penyembuhan kadangkala timbul bercak
–bercak merah menyeluruh di kedua kaki dan tangan dengan
bercak putih di antaranya. Pada anak besar mengeluh gatal
dibercak tersebut. Jadi, bila telah timbul bercak merah yang sangat
luas di kaki dan tangan anak itu pertanda telah sembuh dan tidak
perlu di rawat (Sudoyo dkk, 2009).
C. Demam Tifoid
1. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh
kuman gram negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi,
kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear
dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah
(Darmowandowo, 2006).
2. Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang
penting di berbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka
pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sukar ditentukan sebab
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya
sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/ 100.000/ tahun
di Amerika Selatan dan 500/ 100.000/ tahun di Asia. Umur
penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan
antara 3–19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih
sama juga dilaporkan dari Amerika Selatan.
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia.
Manusia yang terinfeksi salmonella typhi dapat
mengekspresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja
dalam jangka waktu yang sangat berfariasi. Salmonella typhi yang
berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada didalam air, es, debu atau kotoran yang kering
maupun pada pakaian. Akan tetapi salmonella typhi hanya dapat
hidup kurang dari 1 minggu raw sewage, dan mudah dimatikan
dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63o C).

22
Terjadinya penularan salmonella typhi sebagian besar
melalui minuman/ makanan yang tercemar oleh kuman yang
berasal dari penderita atau pembawa kuman biasanya keluar
bersama-sama dengan feses (melalui rute oral-fecal). Dapat juga
terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakterimia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula
transmisi oro-fecal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat
proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal
dari laboratorium (Mansjoer, 2001).
3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu
yaitu S. Typhi, S. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-
kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh
S. Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk
infeksi salmonella yng lain (Ashkenazi et al, 2002).
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang
bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul.
Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk
menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan
sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu
tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent
terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan
sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama
15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu
yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama
berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agfen
farmakeutika an bahan tinja (Ashkenazi et al, 2002).
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella
HH. Antigen O adlah komponen lipopolisakarida dinding sel yang
stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil
panas (Ashkenazi et al, 2002).
4. Patofisiologi
S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air
yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung

23
dan sebagian lagi masuk ke usus halus (Mansjoer, 2001). Setelah
mencapai usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap
oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang
biak di RES, terjadilah bakteriemi II (Darmowandowo, 2006).
Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan
mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi,
nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas
vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang, dll
(Darmowandowo, 2006).
Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi Ig A
sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada
mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi Ig M dan Ig G untuk
memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler
berfungsi untuk membunuh Salmonella intraseluler
(Darmowandowo, 2006).
5. Manifestasi Klinis
Keluhan dan gejala demam tifoid tidak khas, dan bervariasi
dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal
yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran
penyakit demam tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan
fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang
makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas
tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual,
muntah, dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah
kotor tepi hiperemi.
3. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor,
bahkan sampai koma (Darmowandowo, 2006).
2. Diagnosa Kerja
Malaria
1. Definisi
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit dari
genus Plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui

24
perantaraan tusukan (gigitan) nyamuk Anopheles spp. Penyakit ini
merupakan salah satu penyakit infeksi parasit terpenting di dunia
dan menjadi masalah terutama bagi negara-negara yang sedang
berkembang (John & Krause, 2011).
2. Epidemiologi
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan utama
dunia dan terjadi di lebih dari 100 negara. Daerah transmisi utama
terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Plasmodium
falciparum adalah spesies predominan di Afrika, Haiti, dan New
Guinea. Plasmodium vivax predominan di Bangladesh, Amerika
Tengah, India, Pakistan, dan Sri Lanka.P. vivax dan P. falciparum
predominan di Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Oceania.
Plasmodium ovale adalah spesies yang paling tidak umum,
terutama tersebar di Afrika (Nelwan, 2013).
Menurut survei kesehatan rumah tangga tahun 2001,
terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap
tahunnya di Indonesia. Diperkirakan 35% penduduk Indonesia
tinggal di daerah berisiko terinfeksi malaria. Di pulau Jawa dan
Bali, Annual Parasite index (API) masih berfluktuasi, pada tahun
2005, 2006, dan 2007 tercatat 0,95‰, 0,19‰ dan 0,16‰.
Sedangkan di luar Jawa dan Bali, Annual Malaria Incidence (AMI)
menurun dari 24,75‰ pada tahun 2005 menjadi 19,67‰ tahun
2007. Di Sumatera Utara antara tahun 2000-2004, diperkirakan
lebih dari 50.000 kasus setiap tahun dengan 9-10 kasus kematian.
Pada tahun 2010 WHO memperkirakan terdapat sekitar 600.000
kematian akibat malaria di seluruh dunia dan 86% adalah anak-
anak di bawah usia 5 tahun (Depkes, 2008).
3. Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa Plasmodium intraseluler
yang ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk Anopheles betina.
Saat ini, tercatat ada 5 spesies Plasmodium yang diketahui dapat
menyebabkan malaria pada manusia, yaitu P. falciparum, P.
malariae, P. vivax, P. ovale, dan P. knowlesi. Plasmodium

25
knowlesi adalah spesies Plasmodium yang sebelumnya hanya
teridentifi kasi pada kera (John & Krause, 2011 & Nelwan, 2013).
4. Patofisiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa Plasmodium intraseluler
yang ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk Anopheles betina.
Saat ini, tercatat ada 5 spesies Plasmodium yang diketahui dapat
menyebabkan malaria pada manusia, yaitu P. falciparum, P.
malariae, P. vivax, P. ovale, dan P. knowlesi. Plasmodium
knowlesi adalah spesies Plasmodium yang sebelumnya hanya
teridentifi kasi pada kera.Kasus pertama yang terjadi pada manusia
tercatat di semenanjung Malaysia pada tahun 1965 (John & Krause,
2011 dan Nelwan, 2013).
Spesies Plasmodium dapat dijumpai dalam berbagai bentuk
dan memiliki siklus hidup yang kompleks.Parasit ini dapat
bertahan hidup di lingkungan seluler yang berbeda, baik dalam
tubuh manusia (fase aseksual) maupun nyamuk (fase
seksual).Replikasi Plasmodium terjadi melalui 2 tahap dalam tubuh
manusia.Fase eritrositik yang terjadi di dalam sel-sel hati dan fase
eritrositik yang terjadi di dalam sel darah merah (John & Krause,
2011).
Fase eksoeritrositik dimulai dengan inokulasi sporozoit ke
dalam peredaran darah oleh nyamuk Anopheles betina. Dalam
hitungan menit, sporozoit akan menginvasi sel-sel hepatosit,
berkembang biak secara aseksual dan membentuk skizon. Setelah
1-2 minggu, sel-sel hepatosit ruptur dan mengeluarkan ribuan
merozoit ke dalam sirkulasi. Skizon spesies P. falciparum, P.
Malariae, dan P. knowlesi sekali ruptur tidak akan lagi berada di
hati. Skizon spesies P. vivax dan P. ovale ruptur dalam 6-9 hari dan
ruptur sekunder pada skizon yang dorman (hipnozoit) dapat terjadi
setelah beberapa minggu, bulan atau tahun sebelum mengeluarkan
merozoit dan menyebabkan relaps (malaria kronis) (Baron S,
2017).
Fase eritrositik dimulai saat merozoit dari hati menginvasi
sel darah merah.Di dalam eritrosit, parasit ini bertransformasi

26
menjadi bentuk cincin yang kemudian membesar membentuk
tropozoit. Tropozoit berkembang biak secara aseksual yang
kemudian ruptur dan mengeluarkan eritrositik merozoit, yang
secara klinis ditandai dengan demam. Beberapa dari merozoit ini
berkembang menjadi gametosit jantan dan gametosit betina,
sekaligus melengkapi fase siklus aseksual pada manusia.Gametosit
jantan dan gametosit betina ini dicerna oleh nyamuk Anopheles
betina saat mengisap darah dari manusia.Dalam perut nyamuk,
gametosit jantan dan betina ini bergabung untuk membentuk
zigot.Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian menembus
dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar, nyamuk ookinet akan
menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit ini
bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia (Baron S, 2017).

Gambar 4. Patofisiologi Malaria


5. Klasifikasi
Agent penyakit malaria adalah genus plasmodia, family
plasmodiidae, dan order Coccidiidae. Ada empat jenis parasit
malaria (John & Krause, 2011), yaitu:
1. Plasmodium falciparum

27
Menyebabkan malaria falciparum atau malaria tertiana yang
maligna (ganas) atau dikenal dengan nama lain sebagai malaria
tropika yang menyebabkan demam setiap hari.
2. Plasmodium vivax
Menyebabkan malaria vivax atau disebut juga malaria tertiana
benigna (jinak).
3. Plasmodium malariae
Menyebabkan malaria kuartana atau malaria malariae.
4. Plasmodium ovale
Jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika
dan Pasifik Barat, menyebabkan malaria ovale.
Secara alami,sporozoit uninukleat ditularkan ke
manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles yang terinfeksi
oleh plasmodium. Sporozoit dengan cepat menyerang sel
parenkim hati, di mana mereka matang dan kemudian
perkembangan berlangsung di sel darah merah untuk
pematangan menjadi skizon. Kemudian skizon menyebabkan
rupturnya sel darah merah dan melepaskan 2.000 hingga 40.000
merozoit uninukleat. Pada infeksi P vivax dan P ovale,
pematangan skizon dapat tertunda selama 1 hingga 2 tahun.
Setiap merozoit dapat menginfeksi sel darah merah. Dalam sel
darah merah, merozoit berkembang menjadi gametosit. Lebih
dari 48 hingga 72 jam, ke dalam skuter erythrocytic stage yang
mengandung 10 hingga 36 merozoit. Pecahnya skizon
melepaskan merozoit ini, yang menginfeksi sel darah merah
lainnya. Jika nyamuk vektor mencerna gametosit, gametosit
berkembang di usus usus untuk gamet, yang menjalani
pemupukan dan matang dalam 2 sampai 3 minggu untuk
sporozoit (Baron S, 2017).
Pada P vivax dan P ovale malaria, skizon matang setiap
48 jam, sehingga periode demam adalah tertiana ("malaria
tertian"), sedangkan pada penyakit P malariae, demam terjadi
setiap 72 jam ("quartan malaria"). Demam malaria falciparum
dapat terjadi setiap 48 jam, tetapi biasanya tidak teratur, tidak

28
menunjukkan periodisitas. Pola demam ini biasanya tidak
terlihat di awal perjalanan malaria, dan karena itu tidak adanya
demam periodic yang disinkronisasi tidak mengesampingkan
diagnosis malaria (Baron S, 2017).

Gambar 5. Tabel Perbedaan Manifestasi P. Falciparum, P.


Vivax, P. Ovale, P. Malariae

6. Manifestasi Klinis
Penderita malaria biasanya menunjukan gejala utama
demam tinggi yang bersifat paroksismal disertai menggigil,
berkeringat, dan nyeri kepala.Selain itu, sering ditemukan
kelelahan, anoreksia, nyeri punggung, mialgia, pucat, dan
muntah.Manifestasi klinis malaria pada anak berbeda dengan orang
dewasa, sehingga sering salah diintepretasikan dengan
gastroenteritis akut atau infeksi virus akut lainnya.Anak-anak yang
berasal dari daerah endemis malaria (partially immune) umumnya
menunjukkan gejala minimal seperti berkurangnya aktifitas,
anoreksia atau bahkan asimptomatik; tidak harus disertai demam,
terutama bagi anak di daerah endemis.Pada anak dengan
asimptomatik yang positif parasit malaria di darah, dapat hanya
menunjukkan splenomegali sebagai temuan tunggal (FK Unud,
2011).
Secara klinis, gejala dari penyakit malaria terdiri atas
beberapa serangan demam dengan interval tertentu yang diselingi
oleh suatu periode dimana penderita bebas sama sekali dari
demam. Gejala klinis malaria menurut Baron S (2017) sebagai
berikut:
h. Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan
berkeringat.

29
i. Nafsu makan menurun.
j. Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah.
k. Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi
dengan plasmodium Falciparum.
l. Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai
pembesaran limpa.
m. Malaria berat, seperti gejala diatas disertai kejang-kejang dan
penurunan.
n. Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya
tetapi yang menonjol adalah mencret (diare) dan pusat karena
kekurangan darah (anemia) serta adanya riwayat kunjungan ke atau
berasal dari daerah malaria
Serangan malaria biasanya berlangsung selama 6-10 jam
dan terdiri dari tiga tingkatan menurut Baron S (2017), yaitu:
1. Stadium Dingin
Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan yang
sangat dingin.Gigi gemeretak dan penderita biasanya menutup
tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia
nadi cepat tetapi lemah.Bibir dan jari jemarinya pucat kebiru-
biruan, kulit kering dan pucat.Penderita mungkin muntah dan pada
anak-anak sering terjadi kejang.Stadium ini berlangsung antara 15
menit sampai 1 jam.
2. Stadium Demam
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini penderita
merasa kepanasan.Muka merah, kulit kering dan terasa sangat
panas seperti terbakar, sakit kepala dan muntah sering terjadi, nadi
menjadi kuat lagi.Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu
badan dapat meningkat sampai 41°C atau lebih.Stadium ini
berlangsung antara 2 sampai 4 jam.Demam disebabkan oleh
pecahnya skizon darah yang telah matang dan masuknya merozoit
darah ke dalam aliran darah.
Pada P. vivax dan P. ovale skizon-skizon dari setiap
generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali sehingga demam
timbul setiap tiga hari terhitung dari serangan demam sebelumnya.

30
Nama malaria tertiana bersumber dari fenomena ini.Pada P.
malaria, fenomena tersebut 72 jam sehingga disebut malaria P.
vivax/P. ovale, hanya interval demamnya tidak jelas. Serangan
demam diikuti oleh periode laten yang lamanya tergantung pada
proses pertumbuhan parasit dan tingkat kekebalan yang kemudian
timbul pada penderita.
3. Stadium Berkeringat
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali
sampai-sampai tempat tidurnya basah.Suhu badan meningkat
dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah suhu
normal.Penderita biasanya dapat tidur nyenyak. Pada saat bangun
dari tidur merasa lemah tetapi tidak ada gejala lain, stadium ini
berlangsung antara 2 sampai 4 jam.
Gejala-gejala yang disebutkan diatas tidak selalu sama pada
setiap penderita, tergantung pada spesies parasit dan umur dari
penderita, gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria
tropika yang disebabkan oleh plasmodium falciparum. Hal ini
disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk trofozoit
dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh
seperti otak, hati dan ginjal sehingga menyebabkan tersumbatnya
pembuluh darah pada organ-organ tubuh tersebut.
Gejala berupa koma/pingsan, kejang-kejang sampai tidak
berfungsinya ginjal.Kematian paling banyak disebabkan oleh jenis
malaria ini.Kadang–kadang gejalanya mirip kolera atau
disentri.Black water fever yang merupakan gejala berat adalah
munculnya hemoglobin pada air seni yang menyebabkan warna air
seni menjadi merah tua atau hitam. Gejala lain dari black water
fever adalah ikterus dan muntahmuntah yang warnanya sama
dengan warna empedu, black water fever biasanya dijumpai pada
mereka yang menderita infeksi P. falcifarum yang berulang -ulang
dan infeksi yang cukup berat.
Infeksi Plasmodium selama kehamilan dapat menyebabkan
keguguran, retardasi pertumbuhan janin, lahir mati, berat bayi lahir
rendah, kelahiran prematur, dan malaria kongenital. Pada malaria

31
kongenital (umumnya muncul pada 10-30 hari kehidupan)
transmisi terjadi selama kehamilan; dapat menunjukkan gejala
demam, gelisah, pucat, ikterus, kejang, distres pernafasan,
intoleransi minum, muntah, diare, sianosis, dan
hepatosplenomegali. Menggigil tidak umum terjadi karena pusat
pengatur suhu yang belum sempurna. Malaria pada kelompok usia
ini tidak jarang terjadi di daerah endemis, namun sering tidak
dikenali karena gejala yang tumpang tindih dengan penyakit lain,
seperti sepsis (Alessandro et al, 2012).
7. Diagnosis
Diagnosis malaria dapat ditegakkan secara klinis dan
laboratoris. Secara klinis, sesuai rekomendasi WHO malaria dapat
dicurigai berdasarkan daerah epidemiologisnya (WHO, 2015):
 Di daerah non-endemis, diagnosis klinis malaria tidak berat harus
didasarkan pada kemungkinan paparan malaria (berpergian ke
daerah endemis) dan riwayat demam 3 hari terakhir tanpa gejala
penyakit berat lainnya.
 Di daerah endemis, diagnosis klinis didasarkan pada riwayat
demam dalam 24 jam terakhir dan atau adanya gejala anemia
(pucat pada palmar merupakan tanda paling reliabel pada anak
yang lebih muda).
Tetap perlu diperhatikan adanya gejala klasik seperti demam,
menggigil, berkeringat pucat disertai splenomegali; dan gejala lain
seperti nyeri kepala, mual-muntah, nyeri otot-tulang, riwayat kejang
(terutama bayi 5 tahun). Riwayat tinggal di daerah endemis malaria,
riwayat sakit malaria, riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir
dan juga riwayat transfusi darah penting ditelusuri (Infectious Diseases
Society of America, 2003).
Hasil pemeriksaan laboratorium yang menyertai antara lain
anemia, trombositopenia, leukosit normal/leukopenia, dan peningkatan
LED. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan apusan darah tebal dan
apusan darah tipis. Apusan darah tebal dibuat dengan pewarnaan
Giemsa atau Field Stain, sedangkan apusan darah tipis dengan
pewarnaan Wright atau Giemsa. Pemeriksaan apusan darah tebal

32
bertujuan melihat jumlah eritrosit dalam darah, sementara pemeriksaan
apusan darah tipis bertujuan melihat perubahan bentuk eritrosit, jenis
Plasmodium, dan persentase eritrosit yang terinfeksi. Hasil apusan
darah negatif tunggal tidak meniadakan diagnosis malaria, karena
sebagian besar pasien bergejala akan menunjukkan hasil positif dalam
48 jam. Pemeriksaan darah serial setiap 6 jam selama tiga hari
berurutan dapat dilakukan (Infectious Diseases Society of America,
2003).
Pemeriksaan apusan darah tipis tidak mungkin dapat
membedakan morfologi spesies P. malariae dan P. knowlesi, sehingga
diperlukan pemeriksaan lebih canggih seperti polymerase chain
reaction (PCR). Pemeriksaan praktis terutama di daerah endemis dapat
dilakukan dengan rapid diagnostic test (RDT) berbentuk dipstick,
dianjurkan menggunakan tes diagnostik cepat yang memiliki
kemampuan minimal sensitivitas 95% dan spesifi sitas 95%. Malaria
tanpa komplikasi harus dibedakan dengan penyakit infeksi lain, seperti
demam tifoid, demam dengue, infeksi saluran pernafasan akut,
leptospirosis ringan dan infeksi virus akut lainnya (Infectious Diseases
Society of America, 2003).

Gambar 6. Algortima Alur Penemuam Penderita Malaria

33
8. Tatalaksana
Tenaga kesehatan perlu memperhatikan informasi terbaru
tentang malaria karena pola resistensi obat anti-malaria terus berubah.
Penatalaksanaan malaria tidak berat (tanpa komplikasi) adalah secara
rawat jalan dengan obat anti-malaria yang direkomendasikan WHO.
Klorokuin dan sulfodoksin-pirimetamin tidak lagi digunakan karena
tingginya resistensi P. falciparum terhadap obat ini di banyak negara.
Penatalaksanaan malaria tidak berat meliputi pengobatan simptomatik
dan pengobatan anti-malaria bertujuan untuk eradikasi parasit dalam
tubuh dan mencegah terjadinya komplikasi.
Pengobatan malaria yang dianjurkan saat ini dengan pemberian
ACT. Pemberian kombinasi ini untuk meningkatkan efektifitas dan
mencegah resistensi. Malaria tanpa komplikasi diobati dengan
pemberian ACT secara oral. Malaria berat diobati dengan injeksi
Artesunat dilanjutkan dengan ACT oral. Di samping itu diberikan
primakuin sebagai gametosidal dan hipnozoidal (Kemenkes, 2017).
Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi menurut Kemenkes
(2017), yaitu:
1. Malaria falsiparum dan Malaria vivaks
Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini menggunakan
ACT ditambah primakuin. Dosis ACT untuk malaria falsiparum
sama dengan malaria vivaks, Primakuin untuk malaria falsiparum
hanya diberikan pada hari pertama saja dengan dosis 0,25
mg/kgBB, dan untuk malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis
0,25 mg /kgBB. Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi usia< 6
bulan. Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks adalah
seperti yang tertera di bawah ini: Dihidroartemisinin-
Piperakuin(DHP) + Primakuin
Sebaiknya dosis pemberian DHP berdasarkan berat badan, apabila
penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka pemberian
obat dapat berdasarkan kelompok umur.
2. Pengobatan malaria vivaks yang relaps

34
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan
dengan regimen ACT yang sama tapi dosis Primakuin ditingkatkan
menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.
3. Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP
ditambah dengan Primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian
obatnya sama dengan untuk malaria vivaks.
4. Pengobatan malaria malariae
Pengobatan P. malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari selama
3 hari, dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan
tidak diberikan primakuin 5) Pengobatan infeksi campur P.
falciparum + P. vivax/P.ovale Pada penderita dengan infeksi
campur diberikan ACT selama 3 hari serta primakuin dengan dosis
0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari.

Gambar 7. Algoritma Tatalaksana Penderita Malaria

35
9. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada malaria bila tidak
ditangani dengan baik menurut Kemenkes (2017) adalah sebagai
berikut:
1. Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari
11 atau setaradengan sopourus.
2. Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan
hitung parasit>10.000/ul.
3. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang
dewasa atau <12ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan
rehidrasi, diserta kelainan kreatinin>3mg)
4. Edema paru.
5. Hipoglikemia: gula darah <40 mg.
10. Prognosis
Prognosis malaria tergantung kepada jenis malaria yang
menginfeksi. Malaria tanpa komplikasi biasanya akan membaik
dengan pengobatan yang tepat. Tanpa pengobatan, infeksi Plasmodium
vivax dan Plasmodium ovale dapat berlanjut dan menyebabkan relaps
sampai 5 tahun. Infeksi Plasmodium malariae bisa bertahan lebih lama
daripada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale.
Infeksi Plasmodium falciparum dapat menyebabkan malaria
serebral yang selanjutnya dapat mengakibatkan kebingungan mental,
kejang dan koma. Prognosis untuk infeksi Plasmodium falciparum
lebih buruk dan dapat berakhir dengan kematian dalam 24 jam
sekiranya tidak ditangani dengan cepat dan tepat (Medical Disability
Guidelines, 2009).

36
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok SGD 2 LBM 1 yang berjudul “Demam
dan Pusing” kami menyimpulkan diagnosis sementara pasien pada skenario tersebut
yaitu Malaria, karena dilihat dari dari keluhan pasien pada skenario, yaitu: pusing,
badan terasa menggigil dan nyeri, berkeringat dingin, merasa mual, dan muntah
beberapa kali. Selain itu pasien juga memiliki riwayat baru pulang dari Papua 1
minggu lalu, Dimana Papua merupakan wilayah yang endemis sehingga berisiko
terkena malaria. Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang.

37
DAFTAR PUSTAKA

Alessandro UD, Ubben D, Hamed K, Ceesay SJ, Okebe J, Taal M, et al. 2012. Malaria In
Infants Aged Less Than Six Months – Is It An Area Of Unmet Medical Need?.Malaria
Journal.; 11:400. doi: 10.1186/1475-2875-11-400.

Ashkenazi, A. Dixit, V.M. 2002. Death Receptor: Signaling and Modulation. Science 281 :
1305-1308.

Bakri, Syakib., Bachtiar, R.R. 2014. Buku Panduan Pendidikan Keterampilan Klinik 1 :
Keterampilan Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital. Makassar : Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.

Baron, S. 2017. Medical Microbiology. Galveston (TX): University of Texas Medical


Branch.

Darwowandowo, W. 2006. Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi dan
Penyakit Tropis. Edisi 1. Jakarta : BP FK UI.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2008. Pedoman


Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia Gebrak Malaria. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.

Infectious Diseases Society of America. 2003. Diagnosis And Treatment Of Malaria In


Children. Clin Infect Dis. 37 (10):1340-8.

John CC, Krause PJ. 2011.Malaria (Plasmodium). In: Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW,
Schor FN, Behrman RE, eds. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: WB
Saunders, 1139-43.

Guyton, A. C., Hall, J. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta : EGC.

Guyton, A. C., Hall, J. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.

Hakim, Lukman. 2013. Malaria: Epidemiologi dan Diagnosis. Loka Litbang P2B2 Ciamis,
Badan Litbangkes.

Harijanto, P.N. 2000. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan.


Jakarta: EGC.

38
Jevuska. 2012. Patofisiolgi Demam. Available at
https://www.jevuska.com/2012/11/23/demam-arti-patofisiologi-demam-tubuh-panas-
menggigil/. Accessed June 8th, 2018.

Jevuska. 2014. Patofisiologi Nausea & Vomitus. Hematology - Basic Principles and Practice,
6th ed. Available at https://www.jevuska.com/2014/03/02/mual-muntah-patofisiologi/.
Accessed June 8th, 2018.

Kemenkes RI. 2017. Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria. Jakarta: Ditjen Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun 2017.

Malaria. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak. Denpasar: SMF IKA FK
UNUD/RSUP Sanglah, 219-23.

Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FK UI.

Muhlisin, Ahmad. 2015. Penyebab Mual Muntah dan Cara Mengatasinya. Available at
https://mediskus.com/penyakit/penyebab-mual-muntah-dan-cara-mengatasinya.
Accessed June 8th, 2018.

Nelwan, R.H.H. 2013. Malaria Plasmodium Knowlesi. 24th ed. Jakarta : Cermin Dunia
Kedokteran, 327-9.

Setiabudy, R. 2005. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Gaya Baru.

Silverthorn, D.U. 2004. Human Physiology. An integrated approach. Edisi 3. San Francisco:
Prentice-Hall Inc.

Sudoyo, A. W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Demam : Tipe dan Pendekatan.
Jilid III. Edisi V.

Sudoyo, A. W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Demam Dengue. Jilid III. Edisi
V.

WHO. 2005. World Malaria Report 2005. Geneva. RBM/WHO/UNICEF.

WHO Library Cataloguing in Publication Data. 2015. Guidelines For The Treatment of
Malaria. Geneva: WHO.

39

Anda mungkin juga menyukai