Anda di halaman 1dari 83

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. Konsep Medis
2.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang kompleks
ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ
dalam tubuh. Dan merupakan kelainan reumatik otoimun dengan etiologinya yang belum
jelas benar dengan gambaran klinik yang sangat bervariasi dari kelainan rash
(kemerahan) pada kulit, anemia, trombositopenia, glomerulonephritis dan dapat
mengenai organ lainnya di tubuh (Setiati et al.,2017). Systemic lupus erythematosus
(SLE) adalah gangguan autoimun yang paling umum, kompleks, dan serius yang
ditandai dengan produksi berbagai macam antibodi (autoantibodi) terhadap antigen
sendiri, termasuk asam nukleat, eritrosit, protein koagulasi, fosfolipid, limfosit,
trombosit, dan banyak komponen lainnya ( Huether et al.,2019 ). SLE adalah penyakit
autoimun kronis yang menyebabkan respons peradangan sistemik di berbagai bagian
tubuh dimana penyebabnya tidak diketahui, tetapi faktor genetik dan hormonal serta
lingkungan terlibat (Gulanick et al.,2017). SLE juga dikenal sebagai penyakit “seribu

dan memiliki sebaran gambaran klinis yang luas dan tampilan perjalanan penyakit yang
beragam. Hal ini menyebabkan sering terjadi kekeliruan dalam mengenali penyakit
Lupus, sampai dengan menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan
penatalaksanaan kasus (Pusdatin, 2017).

Penyakit autoimun merupakan hasil dari gangguan toleransi dimana seorang


individu toleran terhadap antigennya sendiri. Toleransi dimana keadaan kontrol
imunologi individu membuat respons imun merugikan terhadap selnya sendiri dan
jaringan. SLE yang ditandai dengan produksi berbagai macam antibodi (autoantibodi)
yang paling khas adalah terhadap asam nukleat (misalnya, untai tunggal DNA), histon,
ribonucleoprotein dan bahan inti lainnya. Sekitar 98% orang dengan SLE memiliki
antibodi terhadap antigen inti. (Huether et al.,2019). SLE menyerang wanita delapan kali
lebih banyak daripada pria, meningkat menjadi 15 kali lebih banyak selama masa subur.
SLE terjadi di seluruh dunia, dan paling umum di antara orang Asia dan kulit hitam
(Gulanick et al.,2017).

2.2 Struktur Anatomi, Fisiologi Sistem Imun dan Hematologi

5
2.2.1 Sistem Imun

Sistem imun pada manusia terdiri dari antigen, antibodi, molekul dan fungsi
pertahanan tubuh penjamu yang diperantarai oleh sel, terutama berhubungan
imunitas terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif, alergi dan penolakan
jaringan. Pertahanan lini ketiga pada tubuh manusia adalah imunitas adaptif yang
disebut juga respons imun atau imunitas (Huether et al.,2019). Antigen adalah
molekul yang berkaitan dengan komponen respon imun, seperti antibodi dan
reseptor sel B dan sel T. Kebanyakan antigen dapat menginduksi respons imun
yang disebut imunogen. Antibodi merupakan glikoprotein plasma yang dapat
dikelompokkan berdasarkan struktur kimia dan aktifitas biologisnya sebagai IgG,
IgM, Iga, IgE, atau IgD.

2.2.2 Fungsi Sistem Imun

Gambar 1. Respons Imun (( Huether et al.,2019 ).

Respons Imun dapat dibedakan menjadi 2 tahap, yaitu pembentukan keragaman klon
dan seleksi klon.Selama pembentukan keragaman klon, sel puncak Limfoid dari
sumsum tulang berimigrasi ke organ limfoid sentral ( timus atau daerah tertentu pada
sumsum tulang ) dan sel akan mengalami pembelahan dan tahapan diferensiasi sel
menghasilkan sel T imunokompeten. Sel belum pernah bertemu antigen asing.
Antigen biasanya diproses oleh sel penyaji Antigen Precenting Cell (APC) untuk
6
dipresentasikan kepada sel T helper (sel Th). Kerjasama interseluler antara APC, sel
Th, dan sel B imunokompeten menghasilkan tahap kedua proliferasi dan diferensiasi
sel. Imunitas seluler diperantarai oleh populasi sel T efektor yang dapat membunuh
target (sel T-sitotoksik), mengendalikan respons imun (sel T-regulator) dan sel
memori yang berespon cepat pada paparan kedua antigen yang sama.

2.2.3 Mekanisme Pertahanan Tubuh


Sistem pertahanan yang melindungi tubuh dari infeksi adalah suatu mekanisme
yang terpogram dengan baik. Suatu agen penyebab infeksi dapat menghambat atau
menembus mekanisme pertahanan atau system imun itu sendiri yang mengalami
kerusakan, sehingga perlindungan tubuh menjadi tidak adekuat dan aktivasi sistem
imun seringkasi menjadi tidak tepat. Respons imun yang tidak adekuat (umumnya
disebut imunodefisiensi) dapat berupa kerusakan yang ringan sampai dengan tahap
yang mengancam nyawa pasien. Respons dengan target yang tidak tepat, yaitu sel
tubuh itu sendiri disebut autoimunitas (Huether et al,. 2019).
2.2.4 Mekanisme Hipersensitivitas (Huether et al,. 2019).
Reaksi hipersensitivitas ditandai oleh mekanisme kekebalan tubuh tertentu yang
menyebabkan penyakit. Mekanisme ini telah dibagi mejadi 4 jenis yang berbeda,
yaitu :
a) Tipe I ( reaksi yang dimediasi IgE )
b) Tipe II ( reaksi spesifik jaringan )
c) Tipe III ( reaksi yang dimediasi kompleks imun )
d) Tipe IV ( reaksi yang dimediasi sel )
Mekanisme hipersensitivitas yang terjadi pada SLE adalah Reaksi hipersensitivitas
Tipe III yang disebabkan oleh kompleks antigen-antibodi (imun) yang terbentuk
dalam sirkulasi kemudian dideposisi pada dinding pembuluh darah atau jaringan
lain. Ada dua model prototipe hipersensitivitas pada penyakit kompleks imun yaitu:
1) Serum sickness: disebabkan oleh pembentukan kompleks imun dalam
darah, sendi, dan ginjal.Gejalanya meliputi demam, pembesaran kelenjar
getah bening, ruam, dan nyeri pada lokasi inflamasi. Salah satu serum
sickness pada SLE adalah fenomena Reynaud,
2) Reaksi Arthus: disebabkan oleh paparan lokal berulang terhadapa antigen
yang bereaksi dengan antibody. Dan membentuk kompleks imun di
dinding pembuluh darah lokal.

7
2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi (Setiati et al,.2017)

Peristiwa imunologi yang tepat memicu timbulnya manifestasi SLE belum diketahui
secara pasti. Etiopatologi SLE diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan
multifaktorial aantara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga
berperan penting dalam predisposisi SLE (Setiati et al.,2017). Interaksi antara seks,
status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi
kepekaan dan ekspresi klinik SLE. Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban
beban antigenik, bantuan sel yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan
respons imun dari T helper 1(Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel B dan
memproduksi autoantibodi patogenik. Ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam periode
yang cukup lama dapat menyebabkan disregulasi sistem imun. Berikut berbagai faktor
yang terlibat dalam imunopatogenesis SLE.

2.3.1 Faktor Genetik


Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dari kembar
dizigotik (3%). Pasien dengan defisiensi homozigot dari komponen awal
mempunyai risiko terkena SLE. Kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme
dari gen HLA (human leucocyte antigen). Penemuan daerah kromosom yang
multipel sebagai risiko berkembangnya SLE.
2.3.2 Faktor Hormonal
a) Hormon Seks
SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Penderita
sindrom Klinefelter’s dengan karakteristik hypergonadotropic hypogonadism,
cenderung akan berkembang menajdi SLE. Hal ini menunjukkan adanya peran
hormone seks endogen dalam predisposisi penyakit. Perempuan dengan SLE
mempunyai konsentrasi androgen plasma yang rendah, termasuk testosterone,
dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron (DHEA) dan dehidroepiandrosteron
sulfat (DHEAS). Konsentrasi testosterone plasma yang rendah dan
meningkatnya luteinizing hormone (LH) ditemukan pada beberapa penderita
SLE laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormone androgen
yang tidak adekuat pada laki-laki maupun perempuan bertanggung jawab
terhadap perubahan respon imun. Prolaktin adalah hormone yang berasal dari
kelenjar hipofise anterior, diketahui menstimulasi respons imun homural dan
selular, yang diduga berperanan dalam pathogenesis SLE.
8
b) Aksis Hypothalamo-Pituitary-Adrenal (HPA)
Aksis HPA adalah komponen utama dari sistem ketegangan (stress). Yang
memicu peningkatan konsentrasi glukokortikoid serum yang merupakan
komponen penting dalam respons imun yang tidak terkendali, yang akan
mengakibatkan self injury dan autoimunitas.
c) Hormon sel lemak (adipocyte-derived hormone, ADH)
Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam patogenesis SLE adalah
leptin. Leptin diproduksi oleh sel lemak (adiposit) yang terdapat pada jaringan
lemak perilimfonodal. Leptin meningkatkan diferensiasi dari sel Th1,
mengaktivasi sel monosit/makrofag, meningkatkan sekresi sitokin-sitokin fase
akut.
Tabel 1. Perubahan Hormon Seks pada penderita SLE (Setiati et al.,2017)
Hormon Perempuan Laki-laki
DHEA/DHEAS  Mungkin 
Progesteron  Tidak diketahui

Testosteron  Normal

Edradiol  Normal
Prolactin  

2.3.3 Adrenomedulin (AM)

AM adalah suatu peptida yang mengandung 52 asam amino. Banyak ditemukan


pada jaringan normal seperti medulla adrenal, paru-paru, ginjal dan jantung. AM
berhubungan erat dengan sistem imun. Sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL1-,
TNF- dan TNF- menstumulasi produksi AM. Penderita SLE aktif dengan terapi
imunosupresan didapatkan konsetrasi AM plasma lebih rendah dibandingkan
dengan yang tidak mendapat imunosupresan.

2.3.4 Disfungsi Imun

9
Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi.
Autoantibodi seperti antinuclear, anti Ro, anti-La dan antifosfolipid pada umumnya
sudah terbentuk beberpa tahun sebelum timbulnya gejala SLE. Ada 3 fase
perkembangan autoantibodi pada SLE:
1. Fase normal: tanpa gejala (asimtomatik) dan tidak mempunyai autoantibodi
untuk SLE
2. Fase autoimunitas benign: sudah ditemukan autoantibodi seperti antinuclear,
anti Ro, anti- La dan antifosfolipid antibodi tanpa adanya manifestasi klinik.
3. Fase autoimunitas patogenik : Sudah terbentuk autoantibodi yag lebih buruk
seperti anti-dsDNA, anti-Sm dan anti-nuklear ribonukleoprotein antibodi dan
sudah ada manifestasi klinik.
2.3.5 Gangguan Respon Imun dan Regulasi Imun
Hiperaktivasi sel B
 Jumlah sel B yang aktif yang memproduksi Ig meningkat pada darah perifer
 Adanya abnormalitas sel B yang mendahului perkembangan SLE
 Sel B lupus lebih cenderung teraktivasi polikonal oleh antigen yang spesifik
 Sel B berespon abnormal terhadap aktivasi signal
 Peningkatan konsentrasi IL-6 dan IL-10 merangsang hiperaktivitas sel B

Hiperaktivitas sel T

 Jumlah sel T aktif pada daerah perifer meningkat


 Abnormalitas aktivasi sel T terjadi lebih awal
 Bantuan sel T yang berlebihan terhadap sel B mengakibatkan peningkatan
produksi antibodi Ig

Abnormalitas fungsi fagositik

 Sel fagositik tidak dapat mengikat atau memproses kompleks imun secara
efisien
 Ketidakmampuan fagositosis terhadap sel-sel apoptosis

10
Abnormalitas regulasi imun

 Ketidaksempurnaan pembersihan kompleks imun dan materi apoptosis karena


adanya defect kuantitatif atau kualitatif dari protein komplemen (c2,C4,C1q)
dan reseptor CR1 dan C1q pada permukaan sel
 Aktivasi supresi yang tidak adekuat dari sel T dan sel B yang aktif
 Disregulasi control idiotipik terhadap produksi antibodi
2.3.6 Faktor Lingkungan
Faktor genetik dan hormonal merupakan predisposisi untuk SLE, tapi penyakit ini
juga merupakan hasil dari beberapa factor eksogen dan lingkungan. Faktor yang
berhubungan dengan Patogenesis SLE adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Faktor Lingkungan yang Mungkin Berhubungan dengan
Patogenensis SLE (Setiati et al,.2017)
Faktor Fisik/Kimia
1 Amin aromatik
2 Hydrazine
3 Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpomazin, isoniazid, fenitoin,
penilsilamin
4 Merokok
5 Pewarna rambut
6 Sinar Ultraviolet (UV)
Faktor Makanan
1 Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan
2 L-canavanine (kuncup dari alfalfa)
Agen Infeksi
1 Retrovirus
2 DNA bakteri/endotoksin
Hormon dan Estrogen Lingkungan
1 Terapi sulih hormone (HRT), pil KB
2 Paparan estrogen prenatal

11
2.4 Kriteria Klasifikasi SLE

2.4.1 Kriteria Klasifikasi SLE (Setiati et al.,2017).

Kriteria untuk klasifikasi penyakit menurut ACR (The American College of


Rheumatology) yang dimodifikasi dari World Health Organisation (WHO) :

1) Ruam malar: Eritema yang menetap tipis atau tebal di atas eminensia malar yang
dapat melebar sampai lipatan naso-libial
2) Ruam diskoid : Warna kemerahan pada kulit dengan penebalan keratin kulit,
penyumbatan kelenjar folikel rambut dan atropi kulit
3) Fotosensitivitas: Perubahan warna kulit bentuk rash di kulit bila terkena cahaya
matahari
4) Ulkus di mulut (stomatitis) atau pada nasoparing tanpa nyeri
5) Artritis non erosif: terlibatnya 2 atau lebih sendi perifer dengan ciri khusus nyeri
tekan, bengkak atau adanya efusi (tanda-tanda artritis)
6) Pleuritis atau Perikarditis
7) Gangguan ginjal :
- Proteinuria yang menetap > 0,5gram/hari pada pemeriksaan urine kualitatif
- Ditemukan silinder eristrosit, granular, tubular atau campuran

8) Gangguan Neurologik: kejang, psikosis

9) Gangguan hematologic:
- Anemia hemolitik dengan retikulositosis
- Leukopenia <4000/mm2 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih
- Limfofenia <1500/mm2
- Trombositopenia
10) Gangguan imunologik :
- Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal
- Anti-Sm: terdapatnya antibody terhadap antigen nuklear
- Antibodi antifosolipid (+) berupa: IgG atau IgM anti kardiolipin meningkat
- Temuan positif terhadap antibody antifosfolipid yang didasarkan atas:
a. Kadar serum antigen antikardiolipin abnormal baik lgG atau IgM
b. Tes Lupus Antikoagulan positif menggunakan metoda standar

12
c. Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidium atau tes
fluoresensi absorbs antibody Treponema.
11) Antibodi Antinuklear positif (ANA) : titer abnormal dari antibody anti-nuklear
berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada
setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindrom lupus yang diinduksi obat.
Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11
kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.

2.4.2 Kriteria Klasifikasi SLE (Mitchel L. Zoler, 2018)

Kriteria klasifikasi SLE versi terbaru dari American College of Rheumatology (ACR) dan
European League Against Rheumatism (EULAR) pada kongres EULAR 2018, bahwa
semua pasien yang diklasifikasikan memiliki lupus erythematosus sistemik harus memiliki
titer serum antibodi antinuklear setidaknya 1:80 human epithelial -2-positive cells. Selain
itu, seorang pasien harus memiliki setidaknya 10 poin dari kriteria pada table di bawah ini :

Tabel 3. Kriteria SLE menurut ACR & EULAR (Mitchel L. Zoler, 2018
Clinical Domains Points
1 Domain Konstitusional
- Demam 2
2 Domain Kulit
- Alopesia nonscarring 2
- Ulkus oral 2
- Subacute cutaneous atau discoid lupus 4
- Acute cutaneous lupus 6
3 Domain Arthritis
- Sinovitis atau nyeri tekan pada kedua sendi dan 6
kekakuan selama 30 menit pada pagi hari
4 Domain Neurologis
- Delirium 2
- Psikosis 3
- Kejang 5

13
5 Serositis
- Efusi pleura atau efusi perikardial 5
- Pericarditis akut 6
6 Hematologi
- Leukopenia 3
- Trobositopenia 4
- Autoimun hemolisis 4
7 Ginjal
- Proteinuria >0,5g/24 jam 4
- Kelas II atau V Nefritis Lupus 8
- Kelas III atau IV Lupus Nefritis 10
Imunologic Domains Points
8 Antiposfolipid Antibodi
- Anticardiolipid IgG > 40 GPL atau anti -2GP1 2
IgG>40 unit atau Lupus Antikoagulan
9 Komplemen Protein
- C3 atau C4 rendah 3
- C3 dan C4 rendah 4
10 Antibodi Sangat spesifik
- Anti-dsDNA antibodi 6
- Anti Smith Antibodi 6

2.5 Manifestasi Klinik SLE (Setiati et al.,2017).


a. Manifestasi Umum : Gejala awal cepat lelah, nafsu makan menurun, demam, berat
badan menurun
b. Manifestasi pada kulit
Manifestasi pada kulit paling umum pada SLE, seperti : foto sensitivitas, ruam malar,
lesi diskoid, , lesi mukokutan (lesi pada mulut). Bersifat spesifik dan non spesifik,
akut, subakut dan kronik.
c. Manifestasi Muskuloskeletal :
- Artritis
- Misositis
- Mialgia

14
d. Manifestasi ginjal : Nefritis lupus
e. Manifestasi Neuro Psikiatrik :
Tabel 4. Manifestasi Neuro-Psikiatrik dari SLE
Gangguan Sistem Saraf Pusat Gangguan Sistem Saraf Perifer
Bingung (acute confusional state) Neuropati kranial
Psikosis Poli-neuropati
Gangguan mood (mood disorder) Pleksopati
Cemas Mono- Neufopati
Sakit kepala Sindrom Guillen Barre
Cerebro-vaskular accident Miastenia Gravis
Mielopati Gangguan saraf otonom
Gangguan gerak
Sindrom demielinisasi
Kejang meningitis aseptik

f. Manifestasi Psikiatrik : dapat berupa perubahan perilaku, psikosis, insomnia, delirium


dan depresi
g. Manifestasi Neurologi : Disfungsi kognitif, stroke, kejang dan neuropati perifer, sakit
kepala,
h. Manifestasi Gestasional : berupa kelainan pada esophagus, vaskulitis mesenterika,
radang pada usus, pankreatitis, hepatitis dan peritonitis
i. Manifestasi Hepar : Hepatitis kronik aktif, hepatitis granulomatosa, hepatitis kronik
presisten dan steatosis. Biasanya terlihat dari peningkatan enzim hati SGOT, SGPT
dan alkali-fosfatase.
j. Manifestasi pada Sitem Hematologik : Sitopenia, anemia, trombositopenia,
limfofenia, leukopenia
k. Manifestasi pada Paru : Pleuritis lupus, pneumonitis, perdarahan paru, emboli paru
dan hipertensi pulmonal
l. Manifestasi Kardiovaskuler atau Jantung :
- Gangguan Perikardium seperti pericarditis dengan gejala berupa nyeri dada pada
perubahan posisi, nyeri bertambah bila tidur terlentang atau dengan inspirasi dalam.
- Gangguan Miokardium dengan gambaran miokarditis
m. Manifestasi Lain : - Vaskulitis yaitu peradangan pada pembuluh darah

15
- Fenomena Raynaud : terjadi oleh karena pengturan kontrol neuro endothelial yang
abnormal pada tonus vascular.

2.6 Patofisiologi (Gulanick et al.,2017 ; Setiati et al,.2017).

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan


peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Autoimunitas dianggap sebagai mekanisme
utama yang terkait dengan SLE. Tubuh memproduksi antibodi terhadap komponen
selnya sendiri, yang mengakibatkan penyakit kompleks imun. Pasien dengan SLE dapat
memproduksi antibodi terhadap berbagai komponen jaringan (seperti sel darah merah,
neutrofil, trombosit, limfosit) atau hampir semua organ atau jaringan dalam tubuh.

Produksi autoantibodi merupakan gangguan utama imunologik pada penyakit


SLE. Antibodi-antibodi ini melawan molekul iangnya sendiri yang ditemukan dalam
nucleus, sitoplasma, atau permukaan sel. Antibodi tersebut mengikat DNA, RNA,
protein nucleus, dan kompleks asam nukleus/protein. Molekukl ini mempengaruhi
aktifitas intrinsic imunopatologik. Anti-dsDNA mengganggu sistem imun yang
mengaktivasi proses inflamasi secara sistemik.. imun kompleks yang mengandung DNA
meningkatkan ekspresi interferon alfa (IFN ) oleh sel dentritik plasmasitoid Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi diantaranya faktor genetik, hormonal ,
faktor lingkungan, dan akibat senyawa kimia atau obat-obatan (Setiati et al,.2017).

Faktor genetik diantaranya gen dari kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC)


yang melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen ) kelas II. Gen
HLA kelas II ini berhubungan dengan adanya antibodi tertentu seperti anti-Sm (small
nuclear ribonuclearprotein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear protein)
dan anti-DNA. Gen HLA kelas III mengkode komponen komplemen C2, C3, dan C4
memberikan risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Penderita dengan homozygous
C4A null alleles mempunyai risiko tinggi berkembang menjadi SLE.

Faktor Hormonal yaitu hormon seks dan hormon sel lemak terlibat dalam
pathogenesis SLE. Pada hormon seks terjadi metabolisme estrogen yang abnormal pada
kedua jenis kelamin yaitu dengan peningkatan hidroksilasi 16 dari estrone
mengakibatkan peningkatan konsentrasi 16 hodroksiestron. Konsentrasi testosterone
plasma yang rendah dan meningkatnya konsentrasi LH (luteinising hormone) ditemukan
pada penderita SLE laki-laki. Estrogen yang berlebihan dengan aktivitas androgen yang
tidak adekuat pada laki-laki dan perempuan memfasilitasi respon imun humoral dengan
16
meningkatkan proliferasi sel B dan produksi antibodi. Selebihnya estrogen dosis tinggi
menghambat respons sel T. Pada hormone sel lemak yaitu leptin yang disintesis oleh
jaringan lemak yang berkaitan dengan reseptor sitokin. Leptin memodulasi imunitas
adaptive dengan memperpanjang kelangsungan hidup sel T dan menstimulasinya untuk
memproduksi sitokin proinflamasi.

Faktor Lingkungan dan beberapa faktor eksogen diantaranya agen infeksi seperti
virus Epstein-Barr (EBV) menginduksi respon spesifik melalui kemiripan molekuler dan
gangguan terhadap regulasi imun. Diet mempengaruhi produksi mediator inflamasi,
toksin/obat-obatan memodifikasi respons seluler dan imunogenisitas dari self antigen,
dan agen fisik/kimia seperti ultraviolet (UV) dapat menyebabkan inflamasi, memicu
apotosis

sel dan menyebabkan kerusakan jaringan. Radiasi UV mencetuskan dan mengekserbasi


ruam fotosintesitivitas pada SLE. Dan ditemukan bukti bahwa UV dapat merubah
struktur DNA yang menyebabkan terbentuknya autoantibodi dan juga dapat
menginduksi apoptosis keratinosit manusia yang menhasikan blebs nuklear dan
autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik (Setiati et al,.2017) dan menurut WHO (Kuhn et al,.2015)

1) Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA) yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah


autoantibodi terhadap inti sel sering muncul di dalam darah.
2) Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ). yaitu : untuk menentukan
apakah pasien memiliki antibodi terhadap factor genetik di dalam sel.
3) Pemeriksaan sel LE (LE cell prep) yaitu : pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan
jenis sel tertentu yang dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain
pemeriksaan ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena
pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit SLE dibandingkan dengan LE
cell prep.
4) Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit
5) Antibodi Antiphospholipid

6) Antibodi antifosfolipid (lupus antikoagulan [LA], IgG dan IgM anticardiolipin [aCL]
antibodi; dan IgG dan IgM anti-beta2-glikoprotein [GP] I)
7) Level komplemen C3 dan C4
8) C-Reactive Protein (CRP)
17
9) Rasio protein terhadap kreatinin urine
10) Jika tes ANA positif periksa dsDNA, anti-Sm, Ro / SSA, La / SSB, dan U1
ribonucleoprotein (RNP).
11) Jika tes ANA awal negatif, periksa Antibodi faktor reumatoid (RF) dan anti-siklik
citrullinated peptide (CCP) - Pada pasien dengan artralgia atau artritis dominan, RF dan
antibodi anti-CCP dapat membantu mengecualikan diagnosis rheumatoid arthritis (RA).
12) Studi serologis untuk infeksi: Pada pasien dengan riwayat singkat (misalnya, kurang dari
enam minggu) artralgia atau radang sendi yang dominan, lakukan pengujian serologis
untuk parvovirus manusia B19.
13) Tes serologis virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV) pada pasien dengan
temuan klinis multisistemik
14) Creatine kinase (CK) - CK yang meningkat dapat mencerminkan myositis, yang relatif
jarang terjadi pada pasien dengan SLE. Myositis juga dapat menyarankan diagnosis
alternatif seperti MCTD, polymyositis (PM), atau dermatomyositis (DM)
15) .Pencitraan - Pencitraan diagnostik mungkin berharga, tetapi tidak diperoleh secara rutin
kecuali ditunjukkan oleh adanya gejala, temuan klinis, atau kelainan laboratorium.
Contohnya termasuk:
16) Laju filtrasi glomerulus; Urin 24 jam (jika protein urin positif)
17) Enzim hati; dehidrogenase laktat; creatine kinase
18) Kulit / selaput lendir mulut
19) Biopsi: histologi, imunofluoresensi jika diindikasikan
20) Sendi :Sinar-X konvensional
21) Arthrosonography: Magnetic resonance imaging (MRI)
22) Otot: Elektromiografi, Biopsi otot
23) Ginjal: Sonografi. Biopsi ginjal
24) Paru-paru / jantung: Rontgen dada, Computed tomography (HR-CT) beresolusi tinggi
Thoracic, Tes fungsi paru-paru termasuk kapasitas difusi, Bilas bronchoalveolar,
(Transesofageal) ekokardiografi, Kateterisasi jantung, MRI Jantung, Skintigrafi miokard,
Angiografi coroner
25) Mata: Funduscopy / investigasi khusus pada pasien dengan antimalarial
26) Sistem saraf pusat dan perifer : Elektroensefalografi, Terutama MRI kranial, teknik MRI
khusus jika diindikasikan, Tomografi terkomputasi, Analisis cairan serebrospinal,
Doppler / angiografi transcranial

18
27) Pemeriksaan neuropsikiatri : Pengukuran kecepatan konduksi saraf, Penilaian aktivitas
dan kerusakan

2.8 Algoritma Tatalaksana Pengobatan SLE Berdasarkan Aktifitas Penyakitnya


(Setiati et al,.2017).

Derajat beratnya SLE

Ringan Sedang Berat


- Manifestasi kulit - Nefritis ringan sampai sedang - Nefritis Berat: dengan
- Artritis - Trombositopenia gangguan fungsi ginjal
- Serositis mayor - Trobositopenia refrakter berat
- Anemia hemolitik refrakter
berat
- Keterlibatan paru-paru
(haemorhagik)
- NPSLE (serebritis, myelitis)
- Vaskulitis abdomen

Terapi Induksi
Terapi MP iv (0,5-1gr/hari Terapi Induksi
Hidroksiclorokuin/MTX ± selama 3 hari, diikuti MP iv (0,5-1gr/hari selama 3
KS (dosis rendah) QOAINS AZA (2 mg/kgBB/hr hari, + CYC iv 0,5-0,75
atau MMF (2-3 gr/hr) gr/m2/bulanx 7 dosis
KS (0,5-0,6
mg/kgBB/hr selama 4-6
mggu

Terapi Pemeliharaan
AZA (1-2 mg/kgBB/hr atau
MMF (1-2 gr/hr)
KS (diturunkan sampai dosis
0,125-0,6 mg/kgBB/hr selang
sehari)

Terapi Pemeliharaan Tambahkan retuxsimab inhibitor


CYC iv (0,5-0,75 gr/mm2 / 3 calcineurin (Clycosporin IGiv
bulan selama 1tahun ) (Imunoglobulin Intravena)
19
3. Tinjauan Teori Keperawatan Dorothea E. Orem “Self Care”
3.1 Teori Defisit Perawatan Diri dari Dorothea E. Orem
Orem (2001) menyatakan bahwa “Keperawatan merupakan bagian dari pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan untuk memberikan perawatan langsung kepada orang-
orang yang benar-benar memiliki kebutuhan perawatan langsung akibat gangguan
kesehatan mereka atau secara alamiah mereka yang membutuhkan perawatan
kesehatan”. Pernyataaan ini didasarkan pada pemahaman bahwa keperawatan memiliki
karakteristik interpersonal yang mencirikan hubungan bantuan antara mereka yang
membutuhkan perawatan dan mereka yang memberikan perawatan. Melalui SCDNT
(Self-Care Dependent-Care Nursing Theory), Orem menggabungkan 4 teori yaitu
system keperawatan, deficit perawatan diri, perawatan diri dan ketergantungan
keperawatan (Alligood, 2014).
3.2 Konsep Utama Teori Orem
Alligood (2014), menjelaskan bahwa teori keperawatan deficit perawatan diri
menurut Orem adalah teori umum yang terdiri dari 4 teori yaitu:
1) Teori Perawatan Diri
Perawatan diri terdiri dari kegiatan praktik yang mendewasakan dan orang dewasa
memulai dan melakukan, dalam kerangka waktu, atas nama mereka sendiri dalam
rangka kepentingan mempertahankan hidup, meningkatkan fungsi kesehatan,
melanjutkan pengembangan pribadi dan kesejahteraan dengan memenuhi syarat
yang dikenal untuk pengaturan fungsional dan perkembangan.
2) Teori Ketergantungan Perawatan
Ketergantungan perawatan mengacu pada perawatan yang diberikan kepada
seseorang yang karena usia atau faktor yang berhubungan, tidak dapat melakukan
perawatan diri sendiri yang diperlukan untuk mempertahankan hidup,
meningkatkan fungsi kesehatan, memfungsikan kesehatan, melanjutkan
pengembangan pribadi, dan kesejahteraan.
3) Teori Defisit Perawatan Diri
Hubungan antara tuntutan perawatan diri terapeutik individual dan kekuatan agen
perawatan dirinya dimana kemampuan perawatan diri yang telah dikembangkan di
dalam agen perawatan diri tidak bisa dioperasikan atau tidak memadai untuk
mengetahui dan memenuhi beberapa atau semua komponen permintaan perawatan
diri terapeutik yang ada atau diproyeksikan.
4) Teori Ketergantungan Perawatan
20
Hubungan yang ada ketika agen penyedia ketergantungan perawatan ini tidak
cukup untuk memenuhi permintaan perawatan diri terapeutik orang yang menerima
ketergantungan perawatan.

Sistem yang
mengkompensasi
sepenuhnya
Menyelesaikan perawatan
diri terapeutik pasien
Mengkompensasi
T
i ketidakmampuan pasien
untuk terlibat dalam
n
perawatan
Mendukung diri
dan melindungi
pasien

Sistem yang
mengkompensasi sebagian
Melakukan beberapa
langkah perawatan diri
untuk pasien
Mengkompensasi
keterbatasan perawatan diri
Membantu pasien
pasien seperti
yang diperlukan
T
i
Melakukan beberapa
n
langkah perawatan diri
untuk pasien T
Mengatur agen perawatan
i
diri
Menerima perawatan dan n
bantuan dari perawat

Sistem mendukung –
edukatif
Menyelesaikan perawatan
T
diri
i
T Mengatur latihan dan
n
i pengembangan agen
n perawatan diri

Tabel 2.2 Sistem Keperawatan Dasar Orem (Alligood, 2014)


3.3 Syarat Perawatan Diri
Syarat perawatan diri terbagi atas:
1) Syarat Perawatan Diri
2 elemen dalam syarat perawatan diri yaitu:

21
a) Faktor yang dikendalikan atau dikelolah untuk menjaga sebuah aspek atau
aspek-aspek dari fungsi dan pengembangan manusia dalam norma-norma yang
kompatibel dengan kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan pribadi
b) Sifat tindakan yang diperlukan
2) Syarat Perawatan Diri Universal
8 syarat umum perawatan untuk pria, wanita dan anak-anak:
a) Pemeliharaan asupan udara yang cukup
b) Pemeliharaan asupan makanan yang cukup
c) Pemeliharaan asupan air yang cukup
d) Pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat
e) Pemeliharaan keseimbangan antara kesendirian dan interaksi social
f) Pencegahan bahaya bagi kehidupan manusia, fungsi manusia, dan
kesejahteraan manusia
g) Promosi fungsi dan perkembangan manusia dalam kelompok social sesuai
dengan potensi manusia, keterbatasan manusia yang dikenal dan keinginan
manusia untuk menjadi normal
3) Syarat Perawatan Diri Perkembangan
3 perangkat DSCR (development self-care requisites) yaitu:
a) Penyediaan kondisi yang mempromosikan perkembangan
b) Keterlibatan dalam perkembangan diri
c) Pencegahan atau penanggulangan efek-efek dari kondisi manusia dan situasi
kehidupan yang dapat mempengaruhi perkembangan manusia secara negatif
4) Syarat Perawatan Diri Penyimpangan Kesehatan
Syarat perawatan diri ini ada untuk orang sakit atau terluka, yang memiliki kondisi
khusus atau gangguan patologis, termasuk defek dan disabilitas, dan yang berada di
bawah diagnosis dan pengomabtan medis. Dalam keadaan kesehatan yang
abnormal, syarat perawatan diri muncul baik dari keadaan penyakit maupun
langkah-langkah yang digunakan dalam diagnosis atau perawatannya (Alligood,
2014).

22
Ketergantungan Penanggung
Jawab Agen
Ketergantung
Catatan:
BCF: Basic Conditioning Factors SCDF: Self-Care Deficit SCS: Self-Care System
SCA: Self-Care Agency DCD: Dependent-Care Demand
TSCD: Therapeutic Self-Care Demand DCA: Dependent-Care Agency

Gambar 2.4 Sistem Ketergantungan Perawatan Dasar Orem (Alligood, 2014

3.4Patoflowdiagram SLE (terlampir)

3.5 Konsep Asuhan Keperawatan Sistemik Lupus Eritematosus

Pada konsep asuhan keperawatan ini membahas manajemen proses asuhan keperawatan
secara umum pada pasien dengan Sistemik Lupus Eritematosus.

1.Pengkajian Keperawatan

a. Identitas Pasien
b. Riwayat kesehatan :
1) Keluhan utama : Keluhan saat ini : mudah lelah, lemah, nyeri, demam,
kaku, anoreksia
2) Riwayat kesehatan saat ini : adanya tanda dan gejala klinis berupa
demam, malaise, nyeri sendi, mialgia, kelelahan, dan hilangnya
kemampuan kognitif sementara.
3) Riwayat penyakit dahulu : mengidentifikasi adanya faktor-faktor penyulit
4) Riwayat penyakit keluarga : Penyakit yang diderita oleh anggota keluarga
yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit pasien saat ini. Adanya
anggota keluarga yang menderita penyakit lupus.
5) Kondisi lingkungan tempat tinggal : apakah tempat tinggal pasien
langsung terpapar dengan sinar UV atau matahari.

23
c. Pengkajian Pola Fungsional
1) Pola persepsi : kelelahan, pembengkakan sendi, inspeksi adanya ruam
malar, ruam diskoid
2) Pola nutrisi dan metabolik : adanya penurunan berat badan, rasa mual,
tidak nafsu makan

3) Poli eliminasi : adanya diare, perubahan pola eliminasi

4) Pola aktifitas dan latihan

5) Pola eliminasi : adanya penurunan volume urine

6) Pola aktivitas dan latihan : adanya keluhan mudah kelelahan, nyeri sendi
7) Pola kognitif dan persepsi : Adanya perubahan pada daya perabaan
8) Pola persepsi diri dan konsep diri : Adanya lesi pada kulit yang bersifat
irreversible yang menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk
pada kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan
adanya lesi kulit yang ada, seperti timbulnya kemerahan pada pipi dan
kulit.
9) Pola peran hubungan : Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan yang
biasa dilakukan selama sakit. Namun masih dapat berkomunikasi. Selama
sakit, tidak dapat melakukan perannya dengan baik
10) Pola reproduksi dan seksualitas : Adanya gangguan pola menstruasi
11) Pola nilai dan kepercayaan
d. Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan tanda-tanda vital
1) Sistem Integumen : adanya gangguan integritas kulit, adanya ruam
berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus
oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
2) Sistem Paru : adanya infeksi paru
3) Sistem Vaskuler : lesi popular eritematosus dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor bawah.

4) Sistem Renal : hematuria, proteinuria


5) Sistem Saraf : gangguan psikosis

24
2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan
2) Kerusakan itegritas kulit berhubungan dengan kerusakan lapisan kulit
3) Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisiologis
4) Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan informasi yang tidak
memadai
5) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit.
6) Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik
7) Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan fungsi kognitif
8) Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan imun
9) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual/muntah
10) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
11) Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran
arteri dan vena
12) Risiko perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan aliran
tidak adekuat ke otak
13) Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas GI
14) Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal
15) Risiko Jatuh berhubungan dengan kelemahan tubuh

3. Edukasi Terhadap Pasien SLE (Infodatin Kemenkes 2017., Setiati et al,.

2017)

1) Jelaskan tentang penyakit dan proses penyakit


2) Jelaskan tipe dari penyakit SLE dan sifat dari masing-masing tipe
3) Jelaskan masalah yang terkait dengan fisik : manfaat latihan terutama yang
terkait dengan steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu,
diet
4) Jelaskan mengatasi infeksi secepatnya
5) Jelaskan pemakaian kontrasepsi atau obat lain yang mengandung hormone
estrogen

25
6) Jelaskan pengenalan masalah aspek psikologis: pemahaman diri pasien,
mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, yang terkait dengan
keluarga, pekerjaan, dan mengatasi nyeri
7) Jelaskan mengenai pemakain obat :dosis, lama pemberian,, perlu tidaknya
suplementasi mineral dan vitamin, . obat-obatan yang dipakai jangka
panjang.
8) Beritahu pasien dimana memperoleh informasi tentang SLE, adakah
kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE.
9) Hindari merokok
10) Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
11) Hindari pajanan sinar matahari secara langsung, khususnya UV pada pukul
15.00 wib
12) Gunakan pakaian yang tertutup, tabir surya minimal SPF30PA++30 menit
di luar rumah
13) Hindari pajanan lampu UV
14) Edukasi pasien dalam persiapan kehamilan/prekonsepsi untuk
meningkatkan kehamilan pada wanita dengan SLE.

26
Intervensi Keperawatan dengan SLE (Gulanick et al,.2017., )
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan
dengan inflamasi dan
NOC NIC
kerusakan jaringan
1 Pasien dapat mengontrol nyerinya 1. Kaji tanda-tanda peradangan sendi (kemerahan)
Tentukan tindakan untuk mengurangi rasa nyeri
2 Pasien dapat melakukan manajemen obat
( kompres hangat, atau mengurangi pergerakan )
pengontrol nyeri
2. Kaji deskripsi nyeri pasien
3 Pasien dapat melakukan mobilitas
3. Tentukan langkah-langkah yang dapat digunakan
Dengan kriteria hasil :
untuk mengurangi rasa nyeri
1.Pasien melaporkan rasa nyeri sampai 4. Kaji dampak nyeri atau kekakuan kemampuan untuk
pada tingkat skala 3 atau 4 pada skala 0 melakukan interpersonal, sosial, dan professional
hingga 10. 5. Instruksikan pasien untuk minum obat antiinflamasi
2.Pasien mengimplementasikan rencana sesuai resep. Jelaskan perlunya mengambil dosis
manajemen nyeri yang mencakup pertama hari sedini mungkin dengan camilan kecil.
strategi farmakologis dan 6. Sarankan analgesik nonopioid seperlunya.
nonfarmakologis 7. Jika pasien dirawat di rumah sakit, tanyakan cara
3. Pasien dapat berpartisipasi dalam pengobatan di rumah yang biasa digunakan dan cobalah
kegiatan perawatan diri. untuk melanjutkannya.
8. Dorong pasien untuk mengambil posisi anatomis yang
benar untuk posisi sendi. Sarankan agar pasien
27
menggunakan bantal datar kecil di bawah kepala dan
tidak menggunakan penutup lutut atau bantal untuk
menopang lutut.
9. Dorong pasien menggunakan alat bantu ambulasi jika
rasa sakit disebabkan oleh tumpuan berat badan
10. Sarankan pasien mengatur posisi tempat tidur untuk
mengurangi tekanan sperti selimut dari ekstremitas
bawah yang meradang.
11. Konsultasikan dengan ahli terapi okupasi untuk
pembidaian sendi yang terkena
12. Dorong pasien menggunakan metode alternatif untuk
mengendalikan rasa nyeri seperti relaksasi
13. Dorong pasien untuk mandi air hangat selama 15
menit atau mandi pada saat timbul nyeri
14. Dorong pasien untuk melakukan latihan rentang gerak
setelah mandi atau ulangi dua kali gerakan per sendi.
15. Ingatkan pasien untuk memberikan waktu yang cukup
untuk semua kegiatan.
16. Ingatkan pasien untuk menghindari periode tidak aktif
yang berkepanjangan.

28
2 Kerusakan integritas kulit NOC : NIC :
berhubungan dengan Tujuan : 1. Kaji adanya ruam eritematosa, yang mungkin ada pada
kerusakan lapisan kulit Setelah dilakukan tindakan keperawatan wajah, leher, atau ekstremitas.
diharapkan kerusakan kulit berkurang/ 2. Nilai kulit untuk integritas.
hilang dengan kriteria hasil : 3. Nilai sensitivitas kulit terhadap cahaya
1 Pasien mempertahankan integritas kulit 4. Kaji deskripsi nyeri pasien.
yang optimal, yang dibuktikan dengan 5. Kaji sejauh mana gejala mengganggu gaya hidup dan
tidak adanya ruam dan lesi kulit. citra tubuh pasien.

2 Pasien dapat mengidentifikasi perubahan 6. Instruksikan pasien untuk membersihkan,

kulit lebih awal sehingga perawatan mengeringkan, dan melembabkan kulit yang utuh;

dapat diimplementasikan. Pasien gunakan air hangat (bukan panas), dengan

mengucapkan kemampuan untuk menggunakan lotion tanpa aroma (mis., Eucerin atau

mengatasi kerontokan rambut. Lubriderm). Gunakan sampo ringan.


7. Dorong nutrisi dan hidrasi yang adekuat.
8. Rekomendasikan perangkat pelepas tekanan profilaksis
(mis., Kasur khusus, bantalan siku).
9. Instruksikan pasien untuk menghindari kontak dengan
bahan kimia yang keras (mis., Pembersih rumah tangga,
deterjen) dan untuk memakai sarung tangan pelindung
yang sesuai, sesuai kebutuhan. Hindari pewarna
rambut, larutan permanen, dan pelemak keriting.

29
Untuk ruam kulit :
10. Instruksikan pasien untuk:
a) Hindari sinar ultraviolet.
b) Kenakan tabir surya perlindungan maksimal (SPF
15 atau lebih tinggi) di bawah sinar matahari.
Berjemur merupakan kontraindikasi.
c) Kenakan topi bertepi lebar dan bawa payung.
d) Kenakan kacamata pelindung.

11. Berikan informasi yang tentang penggunaan


hydroxychloroquine (Obat antimalaria ini adalah obat
kerja lambat yang digunakan untuk meredakan atau
mengurangi peradangan dan ruam. Mungkin perlu 8
hingga 12 minggu untuk hasilnya. Efek samping
potensial adalah toksisitas retina. Pasien harus
menindaklanjuti dengan dokter spesialis mata setiap 6
bulan. Obat kortison topikal juga dapat digunakan.
EPBN: Kerja tim dan kolaborasi.

12. Memberitahu pasien tentang ketersediaan rias khusus

30
(di department store besar) untuk menutupi ruam,
terutama ruam wajah. (mis., Covermark, Dermablend,
Marilyn Miglin).
Untuk borok mulut:
13. Perintahkan pasien untuk berkumur dengan hidrogen
peroksida tiga kali sehari. (Hidrogen peroksida
membantu mencegah sariawan dan mulut tetap bersih).
14. Instruksikan pasien untuk menghindari makanan pedas
atau sitrus/cuka
15. Instruksikan pasien agar kulit yang bersih dan kering
terserang ulserasi. Oleskan pelembut sesuai kebutuhan
16. Instruksikan pasien untuk menggunakan salep topikal
sesuai resep.
Untuk rambut rontok :

17. Instruksikan pasien bahwa kerontokan rambut kepala


terjadi selama aktivitas penyakit yang diperburuk.
18. Beri tahu pasien bahwa kerontokan rambut kepala
mungkin disebabkan oleh kortikosteroid dosis tinggi
(prednison) dan obat imunosupresan.
19. Dorong pasien menggunakan (mis., Syal, topi, wig)
untuk menyembunyikan kerontokan rambut

31
3 Kelelahan berhubungan NOC : NIC :
dengan kondisi fisiologis Tingkat kelelahan berkurang, pasien 1. Nilai deskripsi kelelahan pasien: waktu (siang atau
dapat melakukan aktivitas, dengan sepanjang hari), hubungankan dengan aktivitas, dan
kriteria hasil : faktor yang memberatkan dan meringankan. (Informasi
1. Pasien menyatakan pengurangan ini dapat membantu dalam meningkatkan dan mengatur
tingkat kelelahan, sebagaimana pola aktivitas ketika pasien memiliki cadangan energi
dibuktikan oleh laporan peningkatan terbesar.
energi dan kemampuan untuk 2. Menentukan pola tidur malam hari pasien.
melakukan aktivitas yang diinginkan. (Ketidaknyamanan yang terkait dengan systemic lupus
2. Pasien menunjukkan penggunaan erythematosus (SLE) dapat mengganggu tidur).
prinsip konservasi energi.
3. Tentukan apakah kelelahan terkait dengan faktor
psikologis (mis., Stres, depresi). (Kelelahan paling baik
diobati dengan menentukan faktor penyebabnya.
Depresi adalah masalah umum bagi orang yang
menderita penyakit kronis, terutama ketika
ketidaknyamanan adalah masalah yang menyertainya.
Obat tersedia yang berhasil dalam mengobati depresi

32
klinis)

33
4 Kurangnya pengetahuan NOC : NIC :
berhubungan dengan
1. Nilai pengetahuan pasien tentang systemic lupus
informasi yang tidak Pasien dapat menjelaskan secara verbal
erythematosus (SLE) dan perawatannya
memadai proses penyakit dan pengobatannya
2. Perkenalkan atau jelaskan informasi proses penyakit
yang tidak diketahui penyebabnya, kronis SLE,
proses peradangan dan fibrosis, remisi dan
eksaserbasi, kontrol versus penyembuhan.
3. Diskusikan tes diagnostik umum.
4. Perkenalkan atau perkuat penjelasan informasi
tentang terapi obat. Instruksikan pasien pada efek
potensial steroid, obat imunosupresan, dan obat lain
yang digunakan untuk mengobati SLE :
a) Obat anti inflamasi nonsteroid : Tujuan
pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan,
meminimalkan gejala, dan mempertahankan fungsi
normal tubuh. Bukti flare dapat dikurangi dengan
mempertahankan nutrisi yang baik dan terlibat
dalam kebiasaan olahraga.
b) Antimalaria (hidroksi klorokuin, klorokuin) : Obat-
obatan ini digunakan dalam pengobatan kulit dan
gejala-gejala persendian SLE. Mungkin butuh

34
berbulan-bulan untuk melihat efek pengobatan.
Efek samping jarang terjadi, tetapi pasien
diperingatkan untuk mengunjungi dokter mata
mereka beberapa kali dalam setahun untuk
mengesampingkan perkembangan retinopati yang
tidak dapat dihindari. Pasien mungkin mengalami
gangguan GI ringan.
c) Tekankan pada pasien pentingnya tidak
mengubah dosis steroid atau tiba-tiba
menghentikan pengobatan.
d) Imunosupresan (azatioprin, siklofosfamid,
metotreksat, leflunomide, dan mikofenolat
mofetil)
e) Imunomodulator topikal (tacrolimus,
pimecrolimus)
f) Berikan informasi tentang uji klinis yang tepat.
g) Instruksikan pasien untuk memantau tanda-tanda
demam.
h) Instruksikan dalam kegiatan gaya hidup yang
dapat membantu mengurangi flare-up: istirahat,
menghindari paparan sinar matahari, melakukan

35
olahraga teratur, dan makan makanan yang
seimbang dari biji-bijian, buah-buahan, dan
sayuran.

Evaluasi Dan Dicharge Planning Asuhan Keperawatan pada SLE

36
(Gulanick et al,.2017)
No Diagnosa Evaluasi
Keperawatan
1 Nyeri akut Subjektif :
berhubungan dengan 1. Pasien dalam melaporkan rasa nyeri dan menyebutkan tingkatan nyeri
inflamasi 2. Rasa nyaman pasien terpenuhi
3. Pasien dapat toleransi terhadap kegiatan sehari-hari
4. Pasien dapat melakukan manajemen nyeri baik secara farmakologi da non farmakologi
Objektif :
1. Pasien tampak rileks terhadap keluhan nyeri
2. Pasien tampak melakukan aktivitas sehari-hari
3. Pasien dapat menggunakan alat-alat pendukung dalam mengatasi rasa nyeri
4. Pasien dapat mengendalikan rasa nyerinya dengan melakukan relaksasi dan melakukan
gerakan-gerakan sederhana untuk mengurangi nyeri
Asesmen :
Nyeri dapat toleransi sampai dengan teratasi
Planning :
1. Kaji ulang tanda-tanda vital
2. Kaji ulang tanda-tanda peradangan sendi
3. Kaji ulang deskripsi nyeri pasien

37
4. Lakukan discharge planning :
a) Ajarkan pasien tehnik relaksasi dalam menurangi dan untuk toleransi terhadap nyeri
b) Ajarkan pasien terhadap gerakan-gerakan sederhana untuk menurangi kekakuan
sendi
c) Ajarkan langkah-langkah dalam mengurangi nyeri untuk menggunakan terapi
farmakologi atau non farmakologi
d) Ajarkan pasien memodifikasi alat pelindung tidur untuk mengurangi tekanan pada
ekstremitas yang sakit
e) Anjurkan pasien segera menghubungi link petugas kesehatan atau ke unit gawat
darurat terdekat jika nyeri tidak dapat toleransi
2 Kerusakan integritas Subjektif :
kulit berhubungan 1. Pasien dapat mengidentifikasi dan menyebutkan gangguan pada kulit
dengan kerusakan 2. Pasien menunjukkan respon positif dalam mengatasi rasa gatal dan gangguan kulitnya.
lapisan kulit Objektif :
1. Ruam kulit tampak berkurang
2. Kerusakan kulit dapat diukur
3. Gangguan pada mukosa mulut dan hidung terdeteksi dengan jelas
4. Teridentifikasi gangguan pada kulit kepala : rambut rintok, bersisik
Asesmen :
Gangguan integritas kulit teratasi

38
Planning :
1. Kaji dan nilai ulang integritas kulit
2. Kaji ulang bertambah atau berkurangnya ruam eritematosa pada wajah, leher, atau
ekstremitas
3. Kaji ulang deskripsi nyeri pasien pada keluhan ruam kulit
4. Lakukan discharge planning :
a) Ajarkan pasien mengenali munculnya atau bertambahnya ruam kulit
b) Ajarkan pasien cara untuk menjaga estetika penampilan dirinya untuk
mempertahankan citra tubuh pasien.
c) Anjurkan pasien untuk hindari sinar ultraviolet
d) Anjurkan pasien untuk menggunakan tabir surya untuk melindungi kulitnya ( pada
wajah anjurkan memakai SPF 15 atau lebih)
e) Ajarkan pasien untuk tidak berjemur di bawah matahari
f) Ajarkan pasien untuk selalu menjaga kebersihan mulut
g) Jadwalkan kunjungan pasien untuk melakukan konsultasi perubahan kulitnya dan
untuk melakukan re-edukasi.

3 Kelelahan Subjektif :
berhubungan dengan Pasien dapat menyatakan tingkat kelelahan yang dirasakan.
kondisi fisiologis Objektif :

39
1. Pasien menunjukkan nonverbal tingkat kecemasannya karena kelelahan
2. Pasien tidak mammpu melakukan kegiatan sehari-hari.
Asesmen :
Kelelahan dapat teratasi
Planning :
1. Nilai ulang gambaran kelelahan apsien.
2. Kaji gangguan psikologi pasien akibat kelelahan yang berkepanjangan
3. Lakukan discharge planning :
a) Ajarkan pasien untuk melakukan gerakan – gerakan sederhana untuk mengurangi
dan memberatkan factor kelelahan
b) Ajarkan pasien untuk melakukan relaksasi untuk meningkatkan pola tidur pasien

4 Kurangnya Subjektif :
pengetahuan Pasien menyatakan ketidakpahaman terhadap proses penyakitnya
berhubungan dengan Objektif :
informasi yang tidak Pasien tampak cemas atau rileks selama dalam penyampaian keluhannya.
memadai Asesmen :
Pengetahuan pasien tentang penyakitnya memadai
Planning :
1. Nilai ulang pengetahuan pasien akan penyakit SLE dan pen

40
2. Jelaskan proses penyakit, rejimen pengobatan, rejimen perawatan
3. Lakukan discharge planning :
a) Fasilitasi pasien untuk mendapatkan konsultasi kesehatan khusunya tentang proses
perkembangan penyakitnya
b) Diskusikan dan ajarkan pasien mengenali perubahan-perubahan yang akan terjadi
terkait proses penyakitnya dan juga tentang hasil diagnostik umum

41
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian dengan Menggunakan Format Self Care Orem


Identitas Pasien
Nama Pasien : Nn.C
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Juli 1990
Umur : 29 tahun
Status : Belum menikah
Agama : Kristen
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Kp.Tebaci,Pegadungan,Kalideres Jakarta barat.
Diagnosa Medis :

No.RM : 95 07 42
Masuk dari : UGD
Asuransi : BPJS
Ruang Perawatan : Ruang Perawatan Umum
Tangal masuk RS : 8 November 2019

42
Tanggal pengkajian : 11 November 2019

Penanggung Jawab
Nama : Ny. M.K
Umur : 55 thn
Hubungan Keluarga : Ibu Pasien
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Keluhan Utama :
 Saat Masuk RS (8 November 2019)
Pasien mengatakan masuk ke RS dengan keluhan lemas badan mengigil, sakit kepala,sesak napas,batuk dan perut sakit pada area kiri dan
kanan bagian perut bawah di sertai muntah keluar darah ,mual dan tidak bisa berjalan.
Riwayat keluhan utama:
 Ibu pasien mengatakan kondisi anak nya
 Pertama kali sakit sejak 4 tahun yang lalu ( Th : 2015)
Berawal dengan keluhan badan lemas ,sesak napas dan demam.
Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit mengeluh sesak napas dan bengkak pada kedua tanggan dan kaki( sudah dialami
sejak 1 bulan),demam dan tidak nafsu makan di sertai mual dan sakit kepala.
Riwayat Penyakit dahulu :
 Sudah satu tahun ini di rawat sudah 6 kali masuk rumah sakit dengan keluhan yang sama.(SLE).

43
Riwayat Penyakit Keluarga :
Ibu pasien mengatakan bahwa nenek dari suami nya menderita SLE
Faktor Risiko :
 Ibu Pasien mengatakan bahwa pasien kerja nya bedagang pakaian buka tenda di pinggir jalan dan sering terkena sinar matahari
siang.
 Riwayat Alergi :
 Pasien mengatakan bahwa dia tidak memiliki riwayat alergi.
Pemeriksaan Fisik :
1. Keadaan umum : Pasien nampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis (E4, V5, M6)
3. Tekanan darah : 122/76 mmHg
4. MAP : 90,66 mmHg (Perfusi darah ke ginjal memadai :
normal MAP 70 mmHg)
5. Pernapasan : 25 x/mnt, irama teratur
6. Nadi : 86 x/mnt, irama teratur
7. Suhu badan : 36,6 ˚C
8. Sat 02 : 98%
9. Berat badan pasien 100 kg
10. Tinggi badan berdasarkan hasil wawancara pada pasien yaitu 155 cm.
11. IMT : 41.66 (obesitas level III)

44
Diagnostik test :
Pemeriksaan Hematologi
Jenis Pemeriksaan Hasil Hasil Nilai Normal Satuan
28 Okt 8 Nov
2019 2019
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 7.4 7.1 12.00 – 16.00 g/dL
Hematokrit 23 22 37 – 47 %
Leukosit 12.130 22.440 4.8.00 – 10.800 ribu/ul
Trombosit 95000 74000 150.000 – /uL
400.000
Hitung Jenis
Basofil 0.0 0.0 0.0 – 1.0 %
Eosinofil 1 0 0.0 – 3.0 %
Neutrofil Batang 0.0 0.0 0.0 – 6.0 %
Neutrofil Segmen 69.0 30.0 – 70.0 %
Limfosit 13 20 20.0 – 40.0 %
Monosit 10 11 0.0 – 8.0 %
DIABETES

45
Glukosa Sewaktu 180 90 70.00 – 140.00 mg/dL
GINJAL
Ureum 31.00 19.00 – 44.00 mg/dL
Kreatinin 0.80 0.70 – 1.20 mg/dL
KIMIA
Albumin 2.4 2.4 3.5 – 5.0 g/dL
Ureum 40 20 – 50 mg/dL
ELEKTROLIT
Kalium 4.0 3.7 3.50 – 5.10 mmol/L
Natrium 138 130 135.00 – 147.00 mmol/L
Chlorida 105. 103 94.00 – 111.00 mmol/L

FOTO THORAX (8 November 2019) :


KESAN : Infiltrat di lapang bawah paru bilateral,DD/Pneumonia
Tidak tampak efusi pleura dan efusi pericardium

Daftar Obat Pasien


Nama Obat Dosis Indikasi

OMZ 2x 1 OMZ merupakan sediaan obat yang digunakan untuk mengobati masalah perut tertentu dan

46
masalah kerongkongan. OMZ digunakan sebagai terapi jangka pendek untuk mengatasi
tukak lambung. OMZ bekerja dengan cara mengurangi jumlah asam lambung yang
terbentuk oleh tubuh. OMZ juga dapat membantu menyembuhkan kerusakan pada perut
dan kerongkongan yang di sebabkan oleh asam lambung, membantu mencegah tukak
lambung, dan dapat membantu mencegah kanker kerongkongan
Inpepsa 3x10 cc Inpepsa merupakan obat dengan kandungan Sucralfate dalam bentuk sirup. Obat ini
digunakan untuk pengobatan jangka pendek dan jangka panjang pada tukak lambung dan
usus, gastritis kronik.
ONDANCENTRON 3x 4mg Ondacentron adalah obat yang di gunakan untuk mencegah serta mengobati mual dan
muntah yang di sebabkan oleh efek samping kemoterapi,radioterapi atau operasi
Lasix 3x1 Lasix merupakan obat dengan kandungan Furosemid. Furosemid adalah obat golongan loop
diuretik yang bekerja pada glomerulus ginjal untuk menghambat penyerapan kembali zat
natrium oleh sel tubulus ginjal sehingga terjadi peningkatan pengeluaran air, natrium,
klorida, dan kalium tanpa mempengaruhi tekanan darah normal. Oleh karena itu furosemid
digunakan untuk membuang cairan yang berlebihan dari di dalam tubuh.
METILPREDNISOLON 2x1 Methylprednisolone adalah sejenis obat yang termasuk ke dalam golongan obat
kortikosteroid. Obat methylprednisolone digunakan untuk mengatasi berbagai kondisi
medis peradangan. Mari menyimak informasi lebih lanjut mengenai methylprednisolone
melalui penjelasan di bawah ini.

47
Ceftriaxone 2 x 1 gr Menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga terjadi kebocoran sel bakteri dan bakteri
lisis.
Indikasi untuk infeksi saluran napas, infeksi THT, infeksi saluran kemih, sepsis, meningitis,
infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra abdominal dll.

PRC 300 cc Transfusi darah merupakan bagian dari penanganan dokter untuk menyelamatkan nyawa
pasien yang kekurangan darah atau sedang menderita penyakit tertentu. Darah yang
ditransfusikan bisa dalam bentuk komponen darah secara keseluruhan (whole blood), atau
salah satu komponen darah saja, antara lain:
Sel darah merah (packed red cell/PRC) Merupkan komponen darah yang paling sering di
transfusikan.sel darah merah berfungsi mengaklirkan oksigen dari jantung keseluruh tubuh
serta membuang karbon dioksida dan zat-zat sisa tubuh.

Plasbumin 25% 3 hari Plasbumin adalah serum parenteral yang digunakan untuk keseimbangan elektrolit,
pemberian hipoproteinemia dengan edema, shock hipovolemia, hipoalbuminemia, atau
pada pasien luka bakar yang parah. Obat ini mengandung Human albumin, albumin serum
yang ditemukan dalam darah manusia.
Terapi cairan intravena NaCl 0.9 % memiliki penyebutan Natrium Klorida. NaCl 0.9 % merupakan sediaan infus steril yang

48
Nacl 500 ml /24 jam biasa digunakan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang karena beberapa faktor. NaCl 0.9 % juga
memiliki fungsi sebagai pengatur keseimbangan cairan tubuh, mengatur kerja dan fungsi otot jantung,
mendukung metabolisme tubuh, dan merangsang kerja saraf. NaCl 0.9 % merupakan golongan obat
keras sehingga perlu di konsultasi terlebih dahulu pada Dokter sebelum digunakan. Penggunaan infus
NaCl 0.9 % juga perlu bantuan dari tenaga medis profesional.

A. Basic conditioning factors (faktor kondisi dasar)


No Faktor kondisi Data
1. Umur 29 tahun
2. Jenis Kelamin Perempuan
3. Status perkembangan Pasien berusia 29 tahun sehingga berdasarkan status perkembangan dari Depkes, pasien saat
ini berada dalam tahap perkembangan Masa Dewasa Akhir (25 – 45 tahun)
4. Status Kesehatan Pasien memiliki riwayat penyakit Hipertensi, DM Tipe II .
5. Orientasi sosiokultural  Sebelum sakit: Pasien mengatakan bahwa dirinya aktif dalam bersosialisasi dengan
masyarakat di tempat tinggalnya
.
6. Fungsi system pelayanan Pasien mengatakan bahwa dia memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan berupa Puskesmas
kesehatan dan Rumah Sakit
7 Fungsi system keluarga  Sebelum sakit: Pasien mengatakan bahwa dirinya adalah tulang punggung keluarga sejak
bapak nya terkena stroke..

49
 Sejak sakit Pasien mengatakan bahwa ia sudah berhenti bekerja dan memfokuskan diri
untuk rehabilitasi dari kelemahan tubuh nya.
8. Pola hidup  Sebelum sakit: Pasien mengatakan bahwa sebelum ia mengalami Sakit dia tinggal di kosan
bersama dengan teman nya. Dalam mengkonsumsi makanan dia tidak pilih pilih dan lebih
makan makanan yang siap saji dan jarang membuat sendiri.
9. Factor lingkungan Pasien mengatakan bahwa pasien tinggal di kosan penduduk yang padat dengan kebersihan
lingkungan yang cukup menunjang karna warga memanfaatkan sarana pembuangan sampah
yang disediakan oleh pemerintah.
10 Ketersediaan sumber Pasien mengatakan menggunakan Asuransi Kesehatan BPJS dan memanfaatkan Puskesmas
dan RS sebagai tempat pelayanan kesehatan

B. Universal self care requisite ( kebutuhan perawatan diri universal)


No Kebutuhan Data Adequacy of Self-Care
1 Pemenuhan DS: Inadequate
kebutuhan udara  Pasien mengatakan ada
batuk dan sesak.
DO:
 R 25 x/mnt
 HR 86x/mnt

50
 Sat o2 98%
 Pulsasi nadi perifer kuat
pada ekstermitas bawah
 Suara nafas vesikuler
 Suara tambaghan ronchi
pada kedua lapang paru
 Terpasang o2 3 lt/ menit
 CRT<3 detik.
 tambahan

2 Pemenuhan DS: Inadequate


kebutuhan air  Sebelum sakit: Pasien
mengatakan minum air
putih ± 8 gelas / hari (±
2000 cc)
 Sejak sakit: Pasien
mengatakan minum nya
kurang
DO:
 Pasien minum air putih dari

51
gelas ± 50 cc.
 Mukosa bibir kering
 Tugor kulit kurang elastis
 CRT < 3 detik
 Sh 36.6’c
 HR 86 x/mnt
 Akral hangat
 Edema pada ekstermitas
atas dan bawah.
 Infus Nacl 500 cc/24 jam
 Intake ( 5 jam) : 300 cc
 Out put (5 jam ) : 750 cc
 Balance : -450 cc
 Diet : makan lunak
3 Pemenuhan DS: Inadequate
kebutuhan makan  Sebelum sakit: Pasien
makan di rumah 3 x/hari.
Pasien makan nasi (kira-kira
1 porsi yang setara dengan 1

52
mangkuk nasi pada
makanan cepat saji), sayur
dan ikan laut yang dibuat
sup/kuah. Pasien tidak lagi
mengkonsumsi makanan
yang berminyak.
 Sejak sakit: Pasien makan
makanan yang didapat dari
RS. Jenis makanan nasi,
ikan dan sayur yang
dimasak dalam olahan
sup/kuah. Pasien
menghabiskan porsi makan
yang diberikan dari RS, 3
kali/hari. ada keluhan mual
saat makan.
DO:
 Pasien nampak
menghabiskan 3 sendok
makan Mukosa bibir kering

53
 CRT < 3 detik
 Kulit kurang elastis
4 Pemenuhan DS : Inadequate
kebutuhan eleminasi  Sebelum sakit: Pasien BAB
1 x/hari. Konsistensi faeses
lembek, warna kuning
Pasien BAK ± 5 – 6 x/hari.
Warna urin kuning bening.
DO :
 Kandung kemih teraba
kosong
 Peristaltik usus 9 kali/menit
 pasien tampak terpasang
chateter no 16, warna urine
Kuning dan produksi urine
600 cc

5 Keseimbangan DS: Inadequate


aktivitas dan istirahat  Sebelum sakit: pasien
mengatakan sebelum sakit

54
aktivitas normal normal saja
tidak ada masalah
 Saat sakit: Pasien
mengatakan badannya terasa
lemah. Pasien mengatakan
bahwa aktifitasnya dibantu
oleh keluarga.
 karna pada kedua kaki nya
mengalami kelemahan
akibat Oedem
 Pasien mengatakan bahwa
ia merasa nyeri pada area
kiri dan kanan bagian perut
bawah ,

DO:
 Pasien nampak bedrest
diatas tempat tidur
 nampak Oedem pada
ekstermitas atas dan

55
ekstermitas bawah
derajat :3

 nyeri tekan pada area kiri


dan kanan bagian perut
bawah ,
 skala nyeri 5 – 6.
 Kebutuhan pasien semuanya
dilayani di atas tempat tidur,
Terpasang IV Catheter pada
punggung tangan kanan
 Kekuatan otot: (4 mampu
menggerakan oersendian
dengan gaya gravitasi
,mampu melawan dengan
tahan sedang.
 Kekuatan utuh. 3: Mampu
menahan tegak/gaya
grafitasi,
4 4

56
3 3
6 Pemeliharaan DS: Inadequate
keseimbangan diri  Sebelum sakit: Pasien
dan interaksi social mengatakan bahwa pasien
tinggal di kosan penduduk
yang padat dengan
kebersihan lingkungan yang
cukup menunjang karna
warga memanfaatkan sarana
pembuangan sampah yang
disediakan oleh pemerintah.
 Saat sakit: Pasien
mengatakan bahwa ia hanya
di tempat tidur saja hanya di
temanin oleh keluarga.
DO:
 Pasien dapat berinteraksi
dengan baik serta
komunikatif.
 Pasien sangat kooperatif

57
7 Pencegahan faktor DS: Inadequate
risiko/yang  Sebelum sakit: Pasien
mengancam mengatakan bahwa sejak
Sakit mengalami
kelemahan pada tubuh
bagian ekstermitas bawah
karena adanya oedem
 Saat sakit: Pasien
mengatakan ia beristirahat
diatas tempat tidur,
 Pasien mengatakan bahwa
ia merasa nyeri pada area
kiri dan kanan bagian perut
bawah ,
 skala nyeri 5 – 6.
DO:
 Pasien nampak tirah baring
terus diatas tempat tidur,
 Oedem pada bagian
ekstermitas atas dan bawah.

58
 Derajat : 3
8 Peningkatan fungsi DS: Inadequate
diri dan  Sebelum sakit: Pasien
pengembangan mengatakan aktivitas seperti
dalam kelompok biasa tidak ada masalah
social dalam bergaul.
 Saat sakit: Pasien
mengatakan bahwa ia sangat
khawatir mengenai kondisi
sakit nya takut tidak dapat
sembuh.
 Dan pasien mengatakan dia
belum menikah
DO:
 Pasien sangat kooperatif
 Pasien nampak terbuka
dalam berkomunikasi
dengan keluarga, perawat
maupun pengunjung.

59
C. Developmental self care requisites (kebutuhan perawatan diri sesuai dengan tahap perkembangan)
No Kebutuhan Data Adequacy of Self-Care
1 Pemeliharaan  Pasien mengatakan Inadequate
perkembangan bahwa pemenuhan
lingkungan aktifitasnya dibantu oleh
keluarganya
 Pasien mengatakan ia
tetap berusaha untuk
berpartisipasi dalam
aktifitasnya.
 Pasien nampak dibantu
secara total oleh
keluarganya dalam
pemenuhan kebutuhan
 Pasien bisa makan dan
minum di bantu oleh
keluarga nya.
2 Pencegahan/pengelolaan  Pasien mengatakan Inadequate
kondisi yang mengancam bahwa ia selalu meminta
perkembangan normal bantuan keluarga nya.

60
 Pasien nampak dibantu
keluarganya di atas
tempat tidur.
 Pagar tempat tidur pasien
pada sisi kanan bagian
atas dan bawah terpasang,
dan pada sisi kiri pagar
bagian atas terpasang.
 Pasien nampak
didampingi dan dirawat
oleh keluarganya.

D. Health deviation self care reguisites (Kebutuhan perawatan diri dari penyimpangan kesehatan)
No Kebutuhan Data Adequacy of Self-Care
1 Mencari bantuan medis  Pasien mengatakan bahwa Adequate
ketika perubahan status ia selalu memanfaatkan
kesehatan Puskesmas dan RS sebagai
sarana untuk mengobati
penyakitnya
2 Kesadaran/manajemen  Pasien mengatakan bahwa Adequate

61
proses penyakit ia telah mengerti dengan
manajemen proses
penyakitnya,
3 Kepatuhan terhadap  Pasien mengatakan bahwa Adequate
regimen terapetik ia selalu patuh pada
pengobatan yang diberikan
4 Kesadaran terhadap  mengatakan bahwa ia Indequate
masalah sangat khawatir mengenai
ketidaknyamanan yang kondisi sakit nya takut
berhubungan dengan tidak dapat sembuh.
regimen terapetik  Dan pasien mengatakan
dia belum menikah

5 Modifikasi konsep diri  Pasien nampak sangat Adequate


terhadap perubahan kooperatif dan komunikatif
status kesehatan dalam proses
pengobatannya
6 Penilaian gaya hidup  Pasien mengatakan bahwa Adequate
terhadap perubahan memang saat ini ia
akomodasi status. mengalami cobaan dalam

62
hal kesehatannya, namun ia
akan tetap berusaha untuk
mengikuti pengobatan dan
juga pemulihan agar bisa
sembuh dan beraktifitas
lagi

E. Diagnosa Keperawatan (NANDA)


No Therapeutik self care Adequacy of self Nursing Diagnosis
demand care agency
1 DS: Pasien mengatakan batuk peningkatan Ketidakefektifan Bersihan jalan napas
dan sesak napas produksi mucus
DO :
Ku pasien sakit sedang
Kes cm
 R 25 x/mnt
 HR 86x/mnt
 Sat o2 98%
 Pulsasi nadi perifer kuat
pada ekstermitas bawah

63
 Suara nafas vesikuler
 Suara tambaghan ronchi
pada kedua lapang paru
 Terpasang o2 3 lt/ menit
 CRT<3 detik.
 tambahan

2 DS Inadekuat Nyeri akut berhubungan dengan adanya nyeri pada area kiri dan
 Pasien mengatakan ia (Perlunya kanan perut bagian bawah
beristirahat diatas tempat bantuan untuk
tidur, mengatasi
 Pasien mengatakan bahwa masalah nyeri
ia merasa nyeri pada area akut yang dialami
kiri dan kanan bagian perut pasien)
bawah ,
 skala nyeri 5 – 6.
DO:
 Pasien nampak bedrest
diatas tempat tidur
 nampak Oedem pada

64
ekstermitas atas dan
ekstermitas bawah
 nyeri tekan pada area kiri
dan kanan bagian perut
bawah ,
 skala nyeri 5 – 6.
 Kebutuhan pasien
semuanya dilayani di atas
tempat tidur, Terpasang IV
Catheter pada punggung
tangan kanan

3 DS: Inadekuat Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan keterbatasan karna


 Pasien mengatakan (Perlunya oedem pada bagian ekstermitas bawah.
badannya terasa lemah. bantuan untuk
 Pasien mengatakan bahwa mengatasi
aktifitasnya dibantu oleh masalah
keluarganya karna Oedem hambatan
pada kedua kaki mobilitas fisik

65
DO: pasien)
 Pasien nampak bedrest
diatas tempat tidur
 Oedem pada kedua kaki
 Derajat : 3
 Kekuatan otot: (4 mampu
menggerakan persendian
dengan gaya gravitasi
,mampu melawan dengan
tahan sedang.
 Kekuatan utuh. 3: Mampu
menahan tegak/gaya
grafitasi,
4 4
3 3

66
3.2 Prioritas Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefeektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan produksi mucus.
2. Nyeri akut berhubungan dengan Inadekuat (Perlunya bantuan untuk mengatasi masalah nyeri akut yang dialami pasien)
3. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan keterbatasan karna oedem pada bagian ekstermitas atas dan bawah

INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama / Umur :Nn.C / 29 tahun
Ruang /Kamar : Perawatan Umum
No Therapeutic Adequacy Nursing diagnosis Outcomes and Plan
self-care of self
demand care Outcome Nursing planning Design of the Method of
agency nursing helping
system
1 DS: Pasien Ketidakefektifan Setelah dilakukan Ongoing assessment wholly  Pendampin
compensatory
mengatakan Bersihan jalan tindakan gan
keperawatan 3 x 1. Auskultasi suara system  Dukungan
batuk dan sesak napas berhubungan napas, catat adanya
24 jam, bersihan perawat
napas dengan jalan napas suara napas
dan
kembali efektif, tambahan dan
DO : peningkatan keluarga
penggunaan otot
Ku pasien sakit produksi mucus
dengan criteria  Ciptakan
hasil: bantu pernapasan
lingkungan
sedang  Pasien dapat 2. Kaji batuk berlendir yang
Kes cm mengeluarkan yang dialami pasien nyaman
lendir secara

67
 R 25 x/mnt mandiri 3. Monitor status
melalui batuk oksigenasi pasien
 HR 86x/mnt  Produksi
 Sat o2 98% lendir 4. Observasi saturasi
berkurang oksigen
 Pulsasi nadi  Tidak ada
perifer kuat suara napas Therapeutic
tambahan Intervention
pada  Lekosit dalam 5. Berikan posisi tidur
ekstermitas rentang semi fowler
normal:
bawah 6. Lanjutkan
( 4.80 – 10.20
pemberian terapi O2
 Suara nafas  TTV dalam
rentang 3 lt/mnt
vesikuler normal:
 Suara
 TD:110-
tambaghan 120/80-
ronchi pada mmHg,

kedua  N : 70-80 x/
menit,
lapang paru
 Terpasang  R : 16-
20x/mnt,
o2 3 lt/
 S: 36-37 oC
menit
 CRT<3
detik.

68
 tambahan

69
PELAKSANAAN KEPERAWATAN

Nama / Umur Nn.C / 29 tahun


Ruang /Kamar : Pearawatan Umum
Tanggal Waktu DP Pelaksanaan Keperawatan Nama
Jelas
11/11/20 08.00 DP I, Mengkaji keadaan umum pasien Lenny
19 II, III (pasien tampak sakit sedang,
terbaring semifowler, akral hangat,
pulsasi kuat, CRT kembali <3 detik,
suara napas tambahan ronchi pada
kedua lapang paru, tampak edema
pada ek termitas atas dan bawah,
derajat 3 bising usus ada 9x/menit,
terpasang o2 3 lt/mnt
S: 36.6’C N:86 x/mnt,RR : 25
x/mnt,TD 122/76 mmhg,Sat 02 98%

09.00 DP III Lenny


Pasien mengatakan badan nya
lemas,aktifitas nya hanya di tempat
tidur dan di bantu oleh keluarga.
Terdapat oedem pada ekstermitas
bawah dan atas.Derajat 3

10.00 DP Mengatur posisi pasien dengan Lenny


I,II
miring ke kiri, Pasien mengatakan
batuk dan sesak napas

10.30 DP II Pasien mengatakan nyeri pada area Lenny


kiri dan kanan bagian perut skala 5-6
Mengajarkan pasien untuk
melakukan tehnik tarik napas

62
panjang

11.00 DP II, Melanjutkan pemberian support Lenny


III
oksigen
sesuaikebutuhan,pasiendiberikan
okseigen 3 liter, SPO2 98-99 %
11.30 DP III Lenny
Mengganti panpers pasien (250cc)

63
PELAKSANAAN KEPERAWATAN

Nama / Umur :Nn.C/ 29 Tahun


Ruang /Kamar: Perawatan Umum
Tanggal Waktu DP Pelaksanaan Keperawatan Nama
Jelas
12/11/19 08.30 DP I, pasien tampak sakit sedang, Lenny
II, III terbaring semifowler, akral hangat,
pulsasi kuat, CRT kembali <3 detik,
suara napas tambahan ronchi pada
kedua lapang paru, tampak edema
pada tungkai bawah,bising usus ada
10x/menit, sklera ikterik,
konjungtiva anemis, RR 20, TD
110/80, HR: 80x/menit, S: 37,0, dan
saturasi oksigen 98%, terpasang
(nasal) 02 3 lt/mnt

10.00 DP I, Membantu merubah posisi pasien Lenny


II untuk miring ke kanan dan mengeluh
sakit pada bagian perut bawah
dengan skala 5 ,dan memberi O2 3
lt/mnt, sesak ada RR 25x/mnt
10.30 DP I, Membantu pasien memberikan Lenny
II,III minum pasien habis 100 cc ,Pasien
mengatakan masih batuk.

10.30 DP I, Membantu keluarga untuk Lenny


II,III mengganti pampers pasien (300 cc)
Tampak ekstermitas bawah dan
ekstermitas atas Oedem derajat 3

12.00 DP III Membantu menggantikan pakaian Lenny


pasien yang lembab

64
EVALUASI KEPERAWATAN

Nama / Umur :Nn. C/ 29 Tahun


Ruang /Kamar : Perawatan Umum
Tanggal Evaluasi ( S .O. A.P ) Nama
Jelas
11/11/2019 DP I
S: Pasien mengatakan batuk dan sesak napas

O: Pasien tampak sakit sedang, terbaring semifowler,


Lenny
akral hangat, pulsasi kuat, CRT kembali <3 detik,
suara napas tambahan ronchi pada kedua lapang paru,
tampak edema pada ek termitas atas dan bawah,
derajat 3 bising usus ada 9x/menit, terpasang o2 3
lt/mnt
S: 36.6’C N:86 x/mnt,RR : 25 x/mnt,TD 122/76
mmhg,
Sat 02 98%

A: Bersihan jalan napas tidak efektif belum teratasi

P: intervensi diteruskan : (Memberikan o2 3 lt/menit)


Lenny
DP II

S: Pasien mengatakan nyeri pada area kiri dan kanan


bagian perut bawah.

O: Pasien tampak sakit sedang, terbaring semifowler,


akral hangat, pulsasi kuat, CRT kembali <3 detik,
suara napas tambahan ronchi pada kedua lapang paru,
tampak edema pada ek termitas atas dan bawah,
derajat 3 bising usus ada 9x/menit, terpasang o2 3
lt/mnt,Skala nyeri 5-6
S: 36.6’C N:86 x/mnt,RR : 25 x/mnt,TD 122/76
mmhg,
Sat 02 98%

A: Nyeri akut belum teratasi


P: intervensi diteruskan( Mengajarkan tehnik relaksasi
Lenny
tarik napas panjang,Kolaborasi dengan dr untuk terapi
Analgetik)

DP III
S: Pasien mengatakan badan terasa lemas
Pasien mengatakan aktifitasnya di tempat tidur di
bantu oleh keluarganya.

65
O:Pasien tampak sakit sedang, terbaring semifowler,
akral hangat, pulsasi kuat, CRT kembali <3 detik,
suara napas tambahan ronchi pada kedua lapang paru,
tampak edema pada ektermitas atas dan bawah, derajat
3 ,bising usus 9x/menit, terpasang o2 3 lt/mnt,Skala
nyeri 5-6
S: 36.6’C N:86 x/mnt,RR : 25 x/mnt,TD 122/76
mmhg,Sat 02 98%

A: hambatan mobilitas fisik belum teratasi


P: intervensi diteruskan ( Membantu pemenuhan
kebutuhan dasar nya bersama keluarga)

66
EVALUASI KEPERAWATAN

Nama / Umur :Nn C/ 29 Tahun


Ruang /Kamar :Perawatan Umum
Tanggal Evaluasi ( S .O. A.P ) Nama
Jelas
12/11/2019 DP I Lenny
S: Pasien mengatakan batuk masih ada
O: Pasien tampak sakit sedang, terbaring semifowler,
akral hangat, pulsasi kuat, CRT kembali <3 detik, suara
napas tambahan ronchi pada kedua lapang paru, tampak
edema pada tungkai bawah,bising usus ada 10x/menit,
sklera ikterik, konjungtiva anemis, RR 20, TD 110/80,
HR: 80x/menit, S: 37,0, dan saturasi oksigen 98%,
terpasang (nasal) 02 3 lt/mnt

A: Bersihan jalan napas tidak efektif belum teratasi

P: intervensi diteruskan : (Memberikan o2 3 lt/menit)

DP II
S: Pasien mengatakan masih sakit pada daerah perut
bagian bawah Lenny
O: Pasien tampak sakit sedang, terbaring semifowler,
akral hangat, pulsasi kuat, CRT kembali <3 detik, suara
napas tambahan ronchi pada kedua lapang paru, tampak
edema pada tungkai bawah,bising usus ada 10x/menit,
sklera ikterik, konjungtiva anemis, RR 20, TD 110/80,
HR: 80x/menit, S: 37,0, dan saturasi oksigen 98%,
terpasang (nasal) 02 3 lt/mnt

A: Nyeri akut belum teratasi


P: intervensi diteruskan :
Mengajarkan tehnik relaksasi menarik tarik napas
panjang.
Kolaborasi dengan dr untuk pemberian th analgetik

67
Lenny

DP III
S: Pasien mengatakan badan terasa lemas
Pasien mengatakan aktifitasnya di tempat tidur di bantu
oleh keluarganya.
O: pasien tampak sakit sedang, terbaring semifowler,
akral hangat, pulsasi kuat, CRT kembali <3 detik,
suara napas tambahan ronchi pada kedua lapang
paru, tampak edema pada tungkai bawah,bising
usus ada 10x/menit, sklera ikterik, konjungtiva
anemis, RR 20, TD 110/80, HR: 80x/menit, S: 37,0,
dan saturasi oksigen 98%, terpasang (nasal) 02 3
lt/mnt
A: hambatan mobilitas fisik belum teratasi
P: intervensi diteruskan ( Membantu pemenuhan
kebutuhan dasar nya bersama keluarga)

68
BAB IV
PEMBAHASAN

Wanita jauh lebih mungkin dari pada pria untuk memiliki diagnosis lupus
erythematosus sistemik (SLE), dengan insidensi puncak selama masa subur.
Metode kontrasepsi dan kehamilan dapat berdampak buruk bagi kesehatan wanita
dengan SLE, oleh karena itu perencanaan dan intervensi yang cermat diperlukan
untuk membantu wanita mengelola pilihan kesehatan reproduksi mereka. Wanita
dengan SLE mungkin mengalami infertilitas, kesulitan hamil dan kesulitan
mempertahankan kehamilan, dan akhirnya memiliki lebih sedikit anak dari pada
yang mereka rencanakan.

Perencanaan konsepsi sangat penting bagi wanita dengan SLE untuk


membatasi risiko bagi ibu dan bayi terhadap obat yang diminum untuk
mengendalikan SLE, dari ancaman kematian hingga kesuburan, dan dari penyakit
yang tidak terkontrol selama kehamilan dan persalinan (Barbhaiya & Bermas,
2013; Lateef & Petri, 2013). Data menunjukkan wanita dengan SLE (Clowse et
al., 2012) memiliki anak lebih sedikit dari yang direncanakan dan bahwa efek
SLE potensial menjadi orang tua adalah komponen penting dari hidup dengan
SLE (Sutanto et al., 2013).
Dari penelitian yang berjudul “Impact of Preconception Evidence Based
Nursing Guideline on Pregnancy Outcome for Systemic Lupus Erythematosus
Women) atau “Dampak Pedoman Keperawatan Berbasis Bukti Prakonsepsi pada
Hasil Kehamilan untuk Wanita Systemic Lupus Erythematosus” yang dilakukan
di Rumah Sakit Universitas Ain Sham Cairo-Egypt, sampel yang diambil dengan
cara purposive sampling. Didapatkan 83 responden wanita yang didiagnosis
dengan SLE. Dimana sampel dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol
sebanyak 35 wanita hamil dan 48 wanita dalam kelompok intervensi.

Dari 35 wanita hamil hanya 28 wanita yang mencapai persalinan dengan baik
yaitu wanita dengan SLE yang merencakan kehamilan, yang bisa membaca dan
menulis (untuk kelompok intervensi), yang sudah tidak aktif bekerja lagi minimal
6 bulan sebelum hamil, dan wanita yang tidak menderita penyakit kronis.

69
Peran perawat dalam meningkatkan kesehatan anak di masa depan dan
untuk meningkatkan kesehatan ibu melalui penilaian risiko kesehatan, perawat
dapat melakukan asuhan keperawatan melalui promosi konseling dan internensi
dengan melakukan pengkajian, identifikasi, dan evaluasi yang sistematis terhadap
risiko untuk hasil kehamilan yang dapat berdampak buruk bagi ibu dan anak yang
dikandungnya. Dalam penelitian berbasis bukti ini peran peran yang dilakukan
adalah melalui pemberian konseling, promosi kesehatan kepada wanita yang akan
menghadapi prakonsepsi. Perawat dapat melakukan skrining tes diagnostic
dengan mengkonsultasikan kepada spesialis interdisiplin yang terkait. Promosi
kesehatan tentang manfaat suplemen asam folat, menghindari alcohol atau
tembakau atau minum obat tanpa resep medis dan pentingnya nutrisi yang tepat.

Intervensi berarti upaya untuk memodifikasi atau menghilangkan faktor


risiko. Prekonsepsi individu. Perawat Magister menawarkan kepada wanita yang
berisiko tinggi dari golongan yang kurang mampu termasuk wanita dengan
komplikasi riwayat medis, terutama pada kondisi kronis seperti SLE. Dan titik
utama yang paling ideal promosi kesehatan dilakukan sebelum terjadi kehamilan.
Oleh karena itu, konseling prakonsepsi mewakili suatu kesempatan untuk
meningkatkan hasil kehamilan pada wanita dengan SLE. Perawat memainkan
peran kunci dalam kolaborasi dengan multidisiplin kesehatan lainnya.

A. Keterkaitan antara teori dan praktik


Praktik self-care dapat mempromosikan kesejahteraan fisik dan psikis
serta mengurangi gejala, setidaknya dalam jangka waktu pendek (Musheke,
Bond, & Merten, 2013). Self-care adalah kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang untuk mempertahankan dan memelihara kesehatannya, baik secara
fisik maupun psikis, sesuai dengan kondisi kehidupan, integritas fungsional
dan perkembangannya (Alligood, 2014).
Pada kasus Nn. C, mahasiswa terlebih dahulu menentukan
kemampuan pasien untuk melakukan sef-care (self-care agency) dengan cara
mengkaji basic conditioning factor pasien. Muhlisin & Irdawati (2010)
mengatakan bahwa self care agency adalah kemampuan manusia atau
kekuatan untuk melakukan self-care yang dipengaruhi oleh basic

70
conditioning factors. Basic conditioning factors terdiri dari umur, jenis
kelamin, status perkembangan, status kesehatan, orientasi sosial budaya,
sistem perawatan kesehatan (diagnostik, penatalaksanaan modalitas), sistem
keluarga, pola kehidupan, lingkungan, serta ketersediaan sumber.
Berdasarkan data kajian basic conditioning factors, mahasiswa
menemukan faktor yang terganggu adalah status kesehatan. Dari data
didapatkan bahwa pasien sempat mengatakan batuk dan sesak di rumah dan
mengalami masuk ke rumah sakit berulang kali dan di rawat saturasi oksigen
98 % dan Oedem pada ekstermitas atas dan bawah dengan derajat 3 .Setelah
mahasiswa mengkaji dan menentukan kemampuan pasien untuk melakukan
perawatan diri, mahasiswa kemudian mengkaji kebutuhan pasien akan self-
care (self-care demand) dengan mengkaji self-care requisite yang terdiri dari
tiga kategori, yaitu (1) universal yang meliputi udara, air, makanan, eliminasi,
aktifitas dan istirahat, solitude, dan interaksi sosial, pencegahan kerusakan
hidup, kesejahteraan dan peningkatan fungsi manusia, (2) developmental
yang dihubungkan dengan kondisi yang meningkatkan
proses pengembangan siklus kehidupan, serta (3) Health deviation, yang
berhubungan dengan akibat terjadinya perubahan struktur normal dan kerusakan
integritas individu untuk melakukan self care akibat suatu penyakit atau injury (Muhlisin
& Irdawati, 2010). Berdasarkan hasil kajian self-care requisite mahasiswa menemukan
bahwa kebutuhan pasien akan self-care adalah pada pemeliharaan kecukupan oksigenasi
dan sirkulasi, pemeliharaan kecukupan cairan, pemeliharaan kecukupan eliminasi,
peningkatan pemeliharaan fungsi diri dan perkembangan dalam kelompok sosial, dan
modifikasi konsep diri akibat perubahan status kesehatan. Self-care terhadap
pemeliharaan kecukupan oksigenasi dan sirkulasi dianggap tidak adekuat adalah karena
pasien sesak, batuk, bunyi ronchi di kedua lapang paru. Hal ini membuat pasien di
berikan 02 3 lt/menit
Setelah mahasiswa melakukan pengkajian kemampuan self-care dan kebutuhan
self-care. Langkah selanjutnya adalah merumuskan diagnosa keperawatan yang sesuai
untuk pasien berdasarkan hasil pengkajian dengan menggunakan format diagnosis
keperawatan NANDA (Gulanick & Myers, 2017). Diagnosa keperawatan yang diangkat
pada kasus adalah (1) Ketidak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan

71
peningkatan produksi mukus,(2) Nyeri akut berhubungan dengan Inadekuat (perlunya
bantuan untuk mengatasi masalah nyeri akut yang dialami pasien,(3) Hambatan mobilitas
fisik berhubungan dengan keterbatasan karena oedem pada bagian ekstermitas atas dan
bawah.
(Rencana keperawatan yang dibuat penulis berdasarkan referensi yang
disesuaikan dengan kondisi klien dan rasional dapat dilakukan oleh perawat kepada klien
dengan kondisi yang ada. Perencanaan dibuat berdasarkan dari 4 aspek terdiri dari
ongoing assessment, intervensi mandiri keperawatan, edukasi dan kolaborasi sesuai
dengan teori. Terdapat beberapa intervensi keperawatan teori yang tidak dimasukkan
dalam perencanaan pada kasus karena tidak sesuai dengan kondisi pasien.
Implementasi yang dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan yang dibuat
oleh penulis. Implementasi keperawatan membantu klien untuk menjaga bersihan sekresi
,nyeri akut dan Hambatasan mobilitas fisik.
B. Analisa positif dan negatif dari konsep
Aplikasi teori self-care deficit dari Orem memberikan perawat model keperawatan yang
komprehensif dalam menangani pasien dengan SLE. Pasien dengan SLE mengalami
masalah tidak hanya pada fisik, tetapi juga psikologi, sosial dan spiritual. Dengan
melakukan pengkajian menggunakan teori Orem, perawat dapat mengkaji masalah yang
muncul dari semua aspek serta kebutuhan yang sesuai bagi pasien. Teori self-care orem
juga memberikan dampak positif bagi pasien karena teori ini meningkatkan kemampuan
pasien dalam perawatan dirinya. Tetapi teori self-care deficit Orem masih sulit dilakukan
jika masalah yang diangkat adalah yang berhubungan dengan psikologis dan sosial,
karena keterbatasan informasi yang keluarga tidak ketahui mengenai pasien.

C. Analisa Pengalaman Penulis


Selama dilakukan pengamatan kurang lebih dua hari di Ruang Perawatan Umum
RSPAD, penulis mengamati kasus Nn. C dengan SLE. Pada pasien dengan penyakit
yang membutuhkan perawatan diri sepanjang kehidupan seperti Pemberian obat yang
tidak boleh terputus, teori self-care orem sangat tepat digunakan, karena teori Orem
memberikan tujuan yang spesifik, dan dapat di gabungkan dengan proses keperawatan,
dimana teori tersebut digunakan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi, sehingga
pasien keluar dari rumah sakit, tidak hanya mendapatkan kesembuhan tetapi juga
memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai penyakitnya dan mengalami
perubahan perilaku yang lebih baik dalam memandang penyakitnya.
72
D. Evidance Base Yang Perlu Dilakukan Penelitian Lebih Lanjut

Penyakit SLE yang dikenal juga dengan sebutan penyakit Lupus kebanyakan
menyerang wanita pada usia 15-50 tahun (usia masa produktif). Hal ini disebabkan
oleh factor hormonal. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit LES sebelum periode
menstruasi atau selama kehamilan mendukung dugaan bahwa hormon, khususnya
estrogen menjadi pencetus penyakit LES. Namun, hingga saat ini belum diketahui secara
pasti peran hormon yang menjadi penyebab besarnya prevalensi LES pada perempuan
pada periode tertentu (Infodatin, 2017).

Beberapa intervensi yang dapat dilakukan berdasarkan bukti dapat bermanfaat


dalam melakukan asuhan keperawatan terhadap pasien wanita yang menjalani proses
kehamilan. Berikut adalah analisa jurnal dengan metode PICOT ( Problem,
Intervention, Comparison, Outcome Time).

Judul Penelitian :
Impact of Preconception Evidence Based Nursing Guideline on Pregnancy Outcome
for Systemic Lupus Erythematosus Women. (Dampak Pedoman Keperawatan
Berbasis Bukti Prakonsepsi pada Hasil Kehamilan untuk Wanita Systemic Lupus
Erythematosus)

Tujuan Penelitian :
Untuk mengevaluasi dampak dari pedoman keperawatan berdasarkan bukti
prakonsepsi pada hasil kehamilan untuk wanita SLE

Population
- Jenis Penelitian Kuasi Eksperimen
- Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Universitas Ain Sham Cairo-Egypt
- Sampel dalam penelitian ini diambil dengan cara purposive sampling. Didapatkan
83 responden wanita yang didiagnosis dengan SLE
- Sampel dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol sebanyak 35 wanita
hamil dan 48 wanita dalam kelompok intervensi

73
- Dari 35 wanita hamil hanya 28 wanita yang mencapai persalinan dengan kriteria
hasil :
 Wanita dengan SLE yang merencakan kehamilan
 Wanita yang bisa membaca dan menulis (untuk kelompok intervensi)
 Wanita dengan SLE yang sudah tidak aktif lagi minimal 6 bulan sebelum
hamil
 Wanita yang tidak menderita penyakit kronis.
Intervention
Penelitian ini dilakukan dengan 6 langkah yang meliputi :
1. Data Sosial Demografi dari responden (Umur,Tingkat Pendidikan, dll)
2. Status kehamilan sebelumnya (berapa kali hamil, komplikasi selama kehamilan, dll)
3. Riwayat SLE (durasi SLE, komplikasi SLE, dll)
4. Riwayat prekonsepsi (digunakan untuk mengkaji faktor resiko pada kehamilan.
Pengkajian menggunakan 4 item yang meluputi rencana kehamilan, riwayat
penyakit kronis, pengobatan, aktivitas fisik dan stress psikososial)
5. Wanita dengan SLE (dikaji pengetahuan tentang SLE dengan 20 pertanyaan pilihan
ganda terkait SLE)
6. Follow up penyakit (meliputi manfestasi, pengobatan, nyeri, komplikasi,

Comparison: -
Outcome
Dari penelitian ini ditemukan bahwa evidence based nursing pedoman keperawatan
prekonsepsi bagi wanita dengan SLE efektif untuk meningkatkan kehamilan daripada
wanita SLE yang hanya menerima peraawatan rutin.
Time
Penelitian ini dipubikasikan dalam jurnal World J Nursing, Sci

74
E. Implementasi Aspek Etik Dan Legal Terkait Pasien Dan Keluarga
Sesuai dengan prinsip utama dalam etika keperawatan yang diterapkan pada kasus ini
adalah:
1. Hormat
Prinsip menghormati didasarkan bahwa perawat mampu menghormati keputusan
dan kebebasan klien. Perawat harus tetap menghargai apa yang menjadi keputusan
keluarga.
2. Otonomi
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa keluarga klien mampu berpikir
logis atas segala keputusan yang diambil. Keluarga klien dianggap kompeten dan
memiliki kekuatan membuat keputusan sendiri, memilih dan memiliki berbagai
keputusan atau pilihan yang dihargai. Prinsip otonomi ini adalah bentuk respek
terhadap klien, juga dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak
secara rasional. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat
menghargai hak-hak pasien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
3. Beneficiene
Beneficiene berarti melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan juga memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan
orang lain. Kadang-kadang dalam situasi pelayanan kesehatan kebaikan menjadi
konflik dengan otonomi. Di dalam kasus ini adalah perawat memiliki kewajiban
untuk mengimplementasikan tindakan yang menguntungkan klien dan keluarga.
Perawat memberikan asuhan keperawatan selama klien di rawat.
4. Non-Maleficiene
Non-Maleficiene (tidak merugikan), prinsip ini berarti tidak menimbulkan
bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien. Perawat tidak boleh memaksakan
diri kepada pasien untuk memindahkan pasien ke Unit Perawatan jika pasien
secara Psikologi tidak siap. Perawat harus memberikan informasi secara jelas dan
relevan tentang kondisi dan unit perawatan, sehingga klien tidak di rugikan secara
psikologi.
5. Veracity
Prinsip otonomi menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan
menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang mereka pilih.
Permasalaan yang muncul dari penerapan prinsip ini adalah adanya variasi
75
kemampuan otonomi pasien yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat
kesadaran, usia, penyakit, lingkungan rumah sakit, ekonomi, tersedianya
informasi dll. Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran.
6. Fidelity
Prinsip ketaatan merupakan tanggung jawab untuk tetap setia pada suatu
kesepakatan. Tanggung jawab dalam konteks hubungan perawat-pasien meliputi
tanggung jawab menjaga janji, mempertahankan konfidensi dan memberikan
perhatian/kepedulian. Peduli pada pasien merupakan salah satu aspek dari prinsip
ketaatan. Peduli kepada pasien merupakan komponen paling penting dari praktik
keperawatan, terutama pada pasien dalam kondisi terminal.
7. Keadilan
Prinsip keadilan ini menyatakan bahwa mereka yang sederajat harus diperlakukan
sederajat, sedangkan yang tidak sederajat harus diperlakukan tidak sederajat
sesuai dengan kebutuhan mereka.

F. Hambatan Saat Pengkajian


Pengkajian dilakukan pada tanggal 11 November 2019 dimulai pada pukul
08.00. Hambatan yang ditemui adalah, Keterbatasan informasi yang di dapatkan dari
keluarga mengenai kondisi pasien , karena pasien waktu saat di lakukan kondisi
lemas.,sehingga ada beberapa aspek di pengkajian yang tidak dapat di kaji.

76
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kronis yang


menyebabkan respons peradangan sistemik di berbagai bagian tubuh. Penyebab SLE
tidak diketahui, tetapi faktor genetik dan hormonal serta lingkungan terlibat. Dalam
keadaan normal, sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi terhadap serangan
antigen penyakit untuk melindungi dirinya sendiri. Pada individu dengan SLE, tubuh
kehilangan kemampuannya untuk membedakan antigen dan sel serta jaringannya sendiri.
Ini menghasilkan antibodi terhadap dirinya sendiri, yang disebut autoantibodi, dan
antibodi ini bereaksi dengan antigen dan menghasilkan pengembangan kompleks imun.
Kompleks imun berkembang biak di jaringan pasien dengan SLE dan mengakibatkan
peradangan, kerusakan jaringan, dan nyeri. Penyakit ringan dapat memengaruhi sendi dan
kulit. Penyakit yang lebih parah dapat memengaruhi ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh
darah, sistem saraf pusat, persendian, dan kulit (Gulanick et al.,,2017).

Perawat ditempatkan dengan sempurna untuk memberikan pendidikan pasien berbasis


bukti dan menghilangkan ketakutan pasien yang menderita penyakit SLE dan juga
menghilangkan mitos tentang pilihan reproduksi serta memandu kesuburan dan
perencanaan konsepsi. Membantu pasien dengan navigasi sistem perawatan kompleks
dengan kolaborasi dengan multidisiplin kesehatan lainnya untuk dapat meningkatkan
kemungkinan konsepsi yang direncanakan, menjaga kesuburan, dan hasil kehamilan yang
baik untuk ibu dan bayi.

Asuhan keperawatan pasien bagi penderita SLE menjadi perhatian bagi perawat untuk
dapat memberikan asuhan yang tepat kepada pasien meski dalam beberapa literatur dalam
tinjauan teoritis pada makalah ini mengatakan bahwa prevalensi kejadian SLE lebih
banyak ditemukan pada wanita namun secara keselurukan perawat perlu mengetahui
intervensi-intervensi keperawatan yang berbasis bukti pada pasien dengan SLE secara
umum sehingga tingkat kesehatan pasien dengan SLE dapat dipertahankan bahkan
ditingkatkan.

77
5.2 Saran

Sebagai barisan paling depan dalam dunia kesehatan, terutama dalam pemberian asuhan
langsung kepada pasien yang menderita SLE perawat perlu membekali pengetahuannya
tentang penyakit sistemik lupus eritematosus baik proses penyakit maupun proses asuhan
keperawatannya. Institusi kesehatan baik rumah sakit maupun bidang pendidikan
keperawatan perlu mengaktifkan dan memotivasi perawat untuk mengetahui inetrvensi-
intervensi keperawatan yang berbasis bukti melalui pembelajaran mandiri perawat.

Pedoman keperawatan prekonsepsi bagi wanita dengan SLE efektif untuk meningkatkan
kehamilan bahwa kesehatan prakonsepsi mengacu pada kesehatan wanita usia reproduksi,
sehingga perawatan pada wanita prakonsepsi dapat meningkatkan kesehatan anak di masa
depan dan meningkatkan kesehatan ibu melalui promosi, konseling, dan intervensi. Promosi
kesehatan dengan memberi informasi edukasi untuk mengkonsumsi asam folat,
menghindari alcohol, rokok, konsumsi obat-obatan tanpa resep medis, dan nutrisi yang
tepat. Intervensi keperawatan pada prekonsepsi individu diberikan pada wanita yang
berisiko tinggi seperti orang yang tidak mampu/miskin, wanita dengan komplikasi medis,
ataupun penyakit kronis. Dan terbukti bahwa ada peningkatan yang signifikan dalam
pengetahuan wanita tentang SLE dan kepatuhan terhadap pemberian obat lupus.
.

78
DAFTAR PUSTAKA

Annegret Kuhn, Prof.MBA, Gisela Bonsman, DR.,and Matthias Schneider, (2015). The
Diagnosis and Treatment of Systemic Lupus Eryhematosus. Deutsches Arzteblatt
International Journal, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4558874/

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Situasi Lupus di Indonesia Jakarta.


Retrieved from : http://www.depkes.go.id/resources/dowload/pusdatin/Infodatin-

Myers, Judith L., Gulanick, Meg. (2017) Nursing Care Plans: Diagnoses, Interventions, &

Outcomes (9th ed). St. Louis, Missouri: Elsevier Inc.

PPNI (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta : DPP

PPNI

Rutan, Kartoz C. (2015). Impact of Preconception Evidence Based Nursing Guideline on


Pregnancy Outcome for Systemic Lupus Erythematosus Women: Evidence Based
Nursing Journal, (vol 40)number 4, 220–226
https://www.nursingcenter.com/pdfjournal.

Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadibrata, M. K., Setiyohadi, B., & Fahrial, A. S.
(2017). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (6th ed.). Jakarta: Interna Publishing.

Sue E. Huether., Kathryn L. Mc Cance (2017). Buku Ajar Patofisiologi (6 th ed.vol 2).
Singepore Pte Ltd : Elsevier Inc.

Wu, Mei-Ling., Yu, Kuang-Hui., Tsai, Jen-Chen. (2017) The Effectiveness of Exercise in

Adults With Systemic Lupus Erythematosus: A Systematic Review and Me Guide


Evidence-Based Practice. S; 14:4, 306–315.

79

Anda mungkin juga menyukai