Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

A. Konsep Dasar Teori


1. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya
(Smeltzer, 2001). Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan
COPD adalah Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale. Asthma
bronchial (hipersensitivitas cabang trakeobronkial terhadap berbagi jenis rangsangan,
bronchitis kronis (pembentukan mukus yang berlebihan dan bronkus dan bermanifestasi
sebagai batuk kronis dan pembentukan sputum 3 bulan), dan efisema paru
(perubahan anatomis paremkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus
yang tidak normal).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit obstruksi jalan napas
karena bronkitis kronik atau emfisema (American Thoracic Society 1995). Obstruksi
tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian
bersifat reversibel (Mansjoer, Arief, 2001). PPOK merujuk pada sejumlah gangguan
yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar Paru. Gangguan yang penting
adalah Bronkhitis Obstruktif, Emphysema dan Asthma Bronkiale. (Black. J. M. &
Matassarin,.E. J. 1993).
2. Anatomi Fisiologi Pernafasan

a. Anatomi
1) Saluran Pernafasan Bagian Atas
Saluran pernafasan bagian atas terdiri atas hidung, faring, laring, dan
epiglotis, yang berfungsi menyaring menghangatkan, dan melembabkan udara
yang dihirup
(1) Hidung
Bagian ini terdiri atas nares anterior (saluran di dalam lubang hidung) yang
memuat kelenjar sebaseus dengan di tutupi bulu kasar yang bermuara ke
rongga hidung. Bagian hidung lainnya adalah rongga hidung yang dilapisi
oleh selaput lendir yang mengandung pembuluh darah. Proses oksigenasi
diawali dari sini. Pada saat udara masuk melalui hidung, udara akan disaring
oleh bulu-bulu yang ada di dalam vestibulum (bagian rangga hidung).
(2) Faring
Faring merupakan pipa yang memiliki otot, memanjang muli dari dasr
tenggorokan sampai dengan esofagus yang terletak dibelakang naso faring (di
belakang hidung), orofaring (di belakang mulut), dan larino faring (di
belakang faring).
(3) Laring
Laring merupakan saluran pernafasan setelah faring yang terdiri atas bagian
tulang rawan yang diikat bersama ligamen dan membran, yang terdiri atasdua
lamina yang bersambung di garis tengah.
(4) Epiglotis
Epiglotis merupakan katup tulang rawqan yang berfungsi membantu menutup
laringketika orang sedang menelan.
2) Saluran Pernafasan Bagian Bawah
Saluran pernafasan bagian bawah terdiri atas trakea, tendon bronchus, segmen
bronchus, dan bronkhiolus yang berfungsi mengalirkan udara dan memproduksi
surfaktan.
(1) Trakea
Trakhea atau disebut juga sebagi batang tenggorok yang memiliki panjang
kurang lebih 9 cm dimulai dari laring sampai kira-kira setinggi vertebra
thorakalis kelima. Trakhea tersebut tersusun atas enam belas dampai dua
piluh lingkaran toidak lengkap yang berupa cincin. Trakhea ini dilapisi oleh
selaput lender yang terdiri atas epithelium bersilia yang dapat mengeluarkan
debu atau benda asing.
(2) Bronkhus
Bentuk percabangan atau kelanjutan dari trakhea yang terdiri atas dua
percabangan yaitu kanan dan kiri. Pada bagian kanan lebih pendek dan lebar
dari pada bagian kiri yang memiliki tiga lobus atas, tengah, dan bawah
sedangkan bronkus kiri lebih panjang dari bagian kanan yang berjalan dalam
lobus atas dan bawah, Kemudian saluran setelah bronkhus adalah bagian
percabangan yang disebut sebagai bronkhiolus.

(3) Paru-paru
Letak paru di dalam rongga thoraks sehingga tulang selangka sampai dengan
diafragma. Paru terdiri atas beberapa lobus yang diselaputi oleh pleura yaitu
pleura parietalis dan pleura viseralis, kemudian juga dilindungi oleh cairan
pleura yang berisi cairan surfaktan.
Dalam setiap paru-paru terdapat sekitar 300 juta alveolus, karena alveolus
pada hakikatnya merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh
jalinan kapiler, maka batas antara cairan dan gas membentuk suatu tegangan
permukaan yang cenderung mencegah pengembangan pada waktu ekspirasi.
Alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan, yang dapat
mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terdapat
pengembangan pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada
waktu ekspirasi.
b. Fisiologi pernafasan
1) Ventilasi
Proses ini merupakan proses keluar dan masuknya oksigen dari atmosfer ke
dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer, dalam proses ventilasi ini terdapat
beberapa hal yang mempengaruhi, diantaranya adalah perbedaan tekanan antara
atmosfer dengan paru. Semakin tinggi tempat maka tekanan udara semakin
rendah. Demikian sebaliknya, semakin rendah tempat maka tekana udara semakin
tinggi.
Hal ini mempengaruhi proses ventilasi kemampuan thorak dan paru pada
alveoli dalam melaksanakan ekspansi atau mengembang dan mengempisnya,
adanya jalan nafas yang dimulai dari hidung hingga alveoli yang terdiri dari
berbagai otot polos yang kerjanya sangat dipengaruhi oleh sistem saraf otonom,
terjadinya rangsangan simpatis dapat menyebabkan relaksasi sehingga dapat
terjadi vasodilatasi, kemudian kerja saraf parasimpatis dapat menyebabkan
kontriksi sehingga dapat menyebabkan vasokntriksi atau proses penyempitan, dan
adanya reflek batuk serta muntah juga dapat mempengaruhi adanya proses
ventilasi.
Adanya peran mukus ciliaris sebagai penangkal benda asing yang
mengandung interveron dapat mengikat virus. Pengaruh proses ventilasi
selanjutnya adalah komplians (complience) dan recoil yaitu kemampuan paru
untuk berkembang yang dapat dipengaruhi oleh surfaktan yang terdapat pada
lapisan alveoli yang berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan dan masih
ada sisa udara sehingga tidak terjadi kolaps dan gangguan thorak atau keadaan
paru itu sendiri. Surfaktan diproduksi saat terjadi peregangan sel alveoli,
surfaktan disekresi saat klien menarik napas sedangkan recoil adalah kemampuan
untuk mengeluarkan CO₂ atau kontraksi atau menyempitnya paru.
2) Difusi Gas
Merupakan pertukaran antara oksigen alveoli dengan kapiler paru dan CO₂
kapiler dengan alveoli. Dalam proses pertukaran ini terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi, yaitu:
a. Luas permukaan paru.
b. Tebal membran respirasi/ permeabilitas yang terdiri dari epitel alveoli dan
interstisial keduanya.
c. Perbedaaan tekanan dan konsentrasi O₂, hal ini dapat terjadi seperti O₂ dari
alveoli masuk ke dalam darah oleh tekanan O₂ dalam rongga alveoli lebih
tinggi dari tekanan O₂ darah vena pulmonalis (masuk dalam darah secara
berdifusi) dan PCO₂ dalam arteri pulmonalis juga akan berdifusi ke dalam
alveoli.
d. Afinitas fas yaitu kemampuan untuk menembus dan saling mengikat Hb.
3) Transportasi Gas
Merupakan transportasi antara O₂ kapiler ke jaringan tubuh dan CO₂
jaringan tubuh ke kapiler. Pada proses transportasi O₂ akan berikatan dengan Hb
membentuk oksihemoglobin (97%) dan larutan dalam plasma (5%). Kemudian
transportasi CO₂ akan berikatan dengan Hb membentuk karbominohemoglobin
(30%), dan larutan dalam plasma (5%), kemudian sebagian menjadi HCO₃
berada pada darah (65%). Pada transportasi gas terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi, diantaranya: curah jantung (cardiac output) yang dapat dinilai
melalui isi sekuncup dan frekuensi denyut jantung. Isi sekuncup ditentukan oleh
kemampuan otot jantung berkontraksi dan volume cairan. Frekuensi denyut
jantung dapat ditentukan oleh keadaan seperti over load atau beban yang dimiliki
pada akhir diastol. Faktor lain dalam menentukan proses transportasi adalah
kondisi pembuluh darah, latihan/ olag raga (exercise), hematokrit (perbandingan
antara sel darah dengan darah secara keseluruhan atau HCT/PCV), eritosit, dan
Hb.

3. Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Beberapa Faktor resiko yang dapat
menyebabkan COPD adalah :
a. Seseorang yang menggunakan rokok dari tembakau diperkirakan 80 sampai 90% dari
kasus COPD.
b. Perokok pasif.
c. Terkena polusi udara.
d. Paparan debu, asap, dan gas – gas kimiawi akibat kerja.
e. Riwayat infeksi saluran nafas.
f. Genetic abnormal yang terdiri dari defisiensi alpha1-antitripsin, sebuah enzim
penghambat yang normalnya menghilangkan jaringan paru yang rusak oleh beberapa
enzim lain.
4. Gejala Klinis
a. Asthma Bronkiale
Selama serangan klien mengalami dispnea dan tanda kesulitan bernafas. Permulaan
tanda serangan terdapat sensasi kontriksi dada (dada terasa berat), Whezing, batuk
non produktif, takhi kardi dan takipnea.
b. Manifestasi klinis Emphysema dan bronkhitis kronis
Gambaran Emphysema Bronkhitis
Mulai timbul Usia 30 – 40 tahun 20 – 30 tahun batuk akibat
merokok (cacat pada usia
pertengahan)
Sputum Minimal Banyak sekali
Dispne Dispnea relatif dini Lambat
Rasio V/Q Ketidakseimbangan Ketidakseimbangan nyata
minimal
Bnetuk Tubuh Kurus dan ramping Gizi cukup
Diameter AP dada Dada seperti tong Tidak membesar
Gambaran respirasi Hyperventilasi hypoventilasi
Volume Paru FEV 1 rendah FEV 1 rendah
TLC dan RV meningkat TLC normal RV meningkat
moderat
Pa O2 Normal/rendah Meningkat
Sa O 2 Normal Desaturasi
Polisitemia Normal Hb dan Hematokrit meningkat
Sianosis Jarang sering

5. Patofisiologi
Pada COPD, keterbatasan aliran udara terjadi secara progresif dan berhubungan
dengan respon inflamasi abnormal dari paru terhadap partikel atau gas beracun. Respon
inflamasi terjadi diseluruh jalan napas, parenkim dan vaskularisasi pulmonal. Oleh
karena adanya inflamasi kronik dan tubuh berusaha untuk memperbaikinya, maka trjadi
penyempitan di sekeliling jalan napas yang kecil. Akhirnya, proses perlukaan dan
perbaikan ini akan menyebabkan terbentuknya jaringan parut dan menyebabkan
penyempitan lumen jalan napas. Obstruksi aliran napas dapat juga menyebabkan
kerusakan parenkim seperti yang terlihat pada empisema, suatu penyakit pada alveoli
atau unit pertukaran gas.
Sebagai tambahan dari adanya inflamasi, terjadi proses yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan proteinase dan antiporteinase pada paru yang mungkin bertanggung
jawab terhadap keterbatasan aliran udara. Ketika diaktifasi oleh inflamasi kronik,
proteinase dan substansi lain akan dikeluarkan kemudian merusak parenkim paru.
Perubahan parenkim dapat juga merupakan konsekuensi dari inflamasi, faktor
lingkungan, atau faktor genetik yang abnormal (misalnya defisiensi alpha1-antitripsin).
Permulaan dari rangkaian penyakit COPD, respon inflamasi menyebabkan perubahan
vaskularisasi pulmonal yang dikarakteristikkan dengan penebalan dari dinding pembuluh
darah. Perubahan ini dapat terjadi sebagai hasil dari penggunaan rokok cigarette atau
penggunakan produk tembakau atau sebagai hasil dari pengeluaran mediator inflamasi.

6. Stadium PPOK
Stadium Karakteristik
0 Nilai spirometer normal
Gejala kronis dari batuk dan produksi sputum.
I (Mild COPD) FEV1 / FVC < 70%
Diprediksikan FEV1 > 80%
Dapat atau tidak terdapat gejala kronis dari
batuk, produksi sputum
II (Moderate COPD) FEV1 / FVC < 70%
Diperkirakan FEV1 antara 30% sampai 80%
Bisa dapat atau tidak terdapat gejala kronis
dari batuk, produksi sputum
III (Severe COPD) FEV1 / FVC < 70%
Diperkirakan FEV1 < 30% atau < 50%
Ditambah adanya gagal napas atau tanda
klinis dari gagal jantung kanan.

7. Komplikasi
a. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
b. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara
lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
d. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami
masalah ini.
e. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
f.Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit
ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon
terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi
vena leher seringkali terlihat.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan radiologi
1) Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
:
(a) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel,
keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan
bronkus yang menebal.
(b) Corak paru yang bertambah.
2) Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
(a) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula.
Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer.
(b) Corakan paru yang bertambah.
(c) Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan
VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR
(maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP
bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut,
sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small
airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli
untuk difusi berkurang.

b. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor
pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan
aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari
1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
c. Kultur sputum, untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen,pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
d. Bronchogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi,
kollapsbronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus
(bronchitis).
e. Laboratorium darah lengkap
1) Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada
kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja
lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
2) Darah Komplit : peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan
eosinofil(asthma).
3) Kimia Darah : alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada
emfisema primer
9. Penatalaksanaan
a. Terapi esakserbasi akut dilakukan dengan :
1) Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi.
(a) Infeksi ini umunya disebabkan oleh H.Influenza dan S. Pneumonia , maka
digunakan ampilisilin 4 x 0,25 – 0.5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
(b) Augmentin ( amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H.Influenza dan B. Catarkalis u tanda – tanda
yang meproduksi β- laktamase.
(c) Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan
dan membantu mempercapat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7
– 10 hari selama periode ekaserabasi/ Bila terdapat infeksi sekunder atau
pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang lebih kuat.
2) Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnea
dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
3) Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
4) Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk didalamnya
golongan adrenergik β dan antikolinergik. Pada pasien dapat diberikan
salbutamol 5 mg dan atau ipratropium bromida 250μg diberikan setiap 6 jam
dengan nwbulizer atau aminofilia 0,25 -0,5 g i.v secara perlahan.
b. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
1) Antibiotik untuk kemotrapi preventif jangka panjang, ampisilin 4 x 0,25-0,5/hari
dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
2) Bronkodilator, tergantung tingkat revensibilitas obstruksi saluran napas tiap
pasien maka sebelumnya pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dan fungsi faal paru.
3) Fisioterapi dada.
4) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
5) Mukolitik dan ekspektoran.
6) Terapi oksigen jangka panjang yang mengalami gagal napas tipe II dengan PaO2
< 7,3 kPa ( 55 mmHg).
10. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya PPOK dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Mengubah pola hidup : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara.
b. Pencegahan Penyakit Paru Pada Usia Lanjut.
Proses penuaan pada seseorang tidak bisa dihindari. Perubahan struktur anatomik
maupun fisiologik alami juga tidak dapat dihindari. Pencegahan terhadap timbulnya
penyakit-penyakit paru pada usia lanjut dilakukan pada prinsipnya dengan
meningkatkan daya tahan tubuhnya dengan memperbaiki keadaan gizi,
menghilangkan hal-hal yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, misalnya
menghentikan kebiasaan merokok, minum alkohol dan sebagainya.
c. Pencegahan terhadap timbulnya beberapa macam penyakit dilakukan dengan cara
yang lazim, diantaranya:
1) Usaha pencegahan infeksi paru / saluran nafas
Usaha untuk mencegahnya dilakukan dengan jalan menghambat, mengurangi
atau meniadakan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya infeksi. Hal positif
yang dapat dilakukan misalnya dengan melakukan vaksinasi dengan vaksin
pneumokok untuk menghindari timbulnya pneumoni, tetapi sayangnya pada usia
lanjut vaksinasi ini kurang berefek (Mangunegoro, 1992).
2) Usaha pencegahan timbulnya PPOM
Sejak usia muda, bagi orang-orang yang beresiko tinggi terhadap timbulnya
kelainan paru (PPOM dan karsinoma paru), perlu dilakukan pemantauan secara
berkala : Pemeriksaan foto rontgen toraks, pemeriksaan faal paru, paling tidak
setahun sekali. Sangat dianjurkan bagi mereka yang beresiko tinggi (perokok
berat dan laki-laki) menghindari atau segera berhenti merokok.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Subyektif
Pasien mengatakan mengeluh sesak, dan merasa dada tertekan, keluarga pasien
mengatakan pasien sulit bernafas pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas
atau latihan, pasien mengatakan batuk menetap/hilang timbul dengan dahak setiap
hari saat bangun tidur selama 3 bulan dalam 1-2 tahun yang berturut-turut, pasien
mengatakan iritan pernafasan pada jangka panjang misalnya merokok, debu/asap,
pasien mengeluh pusing, kelemahan dan keletihan, malaise, keluarga pasien
mengatakan pasien mual dan muntah, nafsu makan buruk, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu untuk melakukan aktivitas sehari-hari kerena
kesulitan bernafas,
b. Data Objektif
Napas pendek, sulit napas (asma), batuk, sputum (hijau, putih atau kuning) dalam
bronchitis kronis, nafas cepat, dapat lambat denga fase ekspirasi memanjang dengan
mendengkur dan nafas bibir (emfisema), hiperinflasi dengan gerakan diafragma
minimal, bunyi nafas, mungkin redup dengan ekspirasi mengi (pada emfisema),
menyebar, lembut atau krekels lembab kasar (bronkitis), ronki, mengi sepanjanng
area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai
penurunan atau tak adanya bunyi nafas (asma), perkusi (hipersonan), bunyi pekak,
kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus. Pembengkakan
ekstremitas bawah, peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/
takikardia berat, distritmia, edema dependen yang tidak berhubungan dengan
penyakit jantung, bunyi jantung redup yang berhubungan membrane mukosa (normal
atau abu-abu/), sianosis (kuku tubuh dan sianosis perifer), pucat (anemia), anoreksia,
ketidakmamapuan untuk makan karena distress pernafasan, penurunan berat badan
menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema (bronkitis),
palpitasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali akibat bronkitis, Pasien terlihat
letih, kelemahan umum/kehilangan massa otot,
2. Diagnosa
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi
dan iritan jalan napas.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan
kebutuhan oksigen.
e. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
f. Kurang pengetahuan tentang penyakit, perawatan, dan status nutrisi berhubungan
dengan kurangnya informasi.

3. Rencana Keperawatan
No Diagnose Rencana Keperawatan
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
1. Bersihan jalan Setelah diberikan 1. Posisikan pasien 1. Mempermudah
napas tidak efektif tindakan keperawatan semi fowler ventilasi
2. Buka jalan nafas 2. Memastikan
berhubungan selama …x… jam
menggunakan airway clear
dengan diharapkan jalan
3. Retraksi dada
teknik chin lift
bronkokontriksi, nafas pasien bersih
mengindikasikan
atau jaw thrust
peningkatan dengan kriteria hasil:
3. Monitor kelainan pada paru-
produksi sputum, 1. Suara nafas
pergerakan paru lobus tertentu
batuk tidak efektif, vesikuler, RR 4. Mengetahui
dinding dada
kelelahan/berkuran normal, tidak 4. Monitor RR kemampuan paru-
5. Kaji suara paru
gnya tenaga dan suara nafas paru dalam
dan irama nafas
infeksi abnormal, perkusi ventilasi
6. Monitor status
5. Mengetahui adanya
bronkopulmonal. sonor, tidak ada
O2
kelainan dalam
retraksi dada, 7. Pastikan
organ paru-paru
tidak ada kebutuhan
6. Memastikan
penggunaan otot suction
kebutuhan oksigen
8. Auskultasi suara
bantu nafas
pasien
2. Pasien nafas sebelum
7. Suctioning
mengatakan tidak dan sesudah
membantu
merasa sulit melakukan
membersihkan
bernafas suctioning
jalan nafas dari
9. Informasikan
sekret
kepada pasien
8. Mengetahui
dan keluarga
perubahan keadaan
tentang
jalan nafas
suctioning 9. Agar keluarga
mampu berperan
2. Pola napas tidak Setelah diberikan 1. Monitor TD, nadi, 1. Mengetahui
efektif berhubungan tindakan keperawatan suhu dan RR. keadaan umum
2. Monitor frekuensi
dengan napas selama …x… jam pasien
dan irama 2. Mengetahui
pendek, mucus, diharapkan pola nafas
pernapasan. kemampuan pasien
bronkokontriksi dan pasien efektif dengan
3. Monitor suara
iritan jalan napas. kriteria hasil : paru. memenuhi
1. TTV dalam 4. Monitor pola
kebutuhan oksigen.
rentang normal, pernapasan 3. Mengetahui adanya
suara nafas abnormal. suara tambahan
5. Monitor suhu, 4. Mengetahui
vesikuler, irama
warna dan hambatan jalan
nafas teratur,
kelembaban kulit. napas.
suara paru sonor
6. Monitor sianosis 5. Adanya perubahan
2. Klien tidak
perifer pada warna dan
mengeluh susah
7. Monitor aliran
suhu kulit
bernafas.
oksigen
menunjukkan
8. Berikan
meningkatnya
bronkodilator bila
kemampuan dalam
perlu
memenuhi
kebutuhan oksigen.
6. Sianosis perifer
menunjukkan
kurangnya oksigen
pada jaringan.
7. Memantau
pemenuhan
kebutuhan oksigen
pasien.
8. Menghentikan
spasme otot-otot
bronkus.

3. Gangguan Setelah diberikan 1. Kaji dipsnea, 1. TB paru


pertukaran gas asuhan keperawatan tachipnea, menyebabkan efek
berhubungan selama …x… jam menurunnya bunyi luas pada paru dari
dengan diharapkan nafas, peningkatan bagian kecil
ketidaksamaan pertukaran gas upaya pernafasan, bronkopneumonia
ventilasi perfusi efektif. terbatasnya sampai inflamasi
Dengan kriteria ekspansi dinding difus luas,
hasil : dada & nekrosis, efuisi
1. Tidak adanya kelemahan. pleura & fibrosis
dispneu 2. Evaluasi CRT catat luas.
2. Bebas dari 2. Akumulasi
distress sianosis dan atau sekret/pengaruh
pernapasan perubahan pada jalan napas dapat
3. Syanosis (-)
warna kulit. mengganggu
4. CRT < 2 detik
5. PH antara 7,35- 3. Anjurkan bernafas oksigenasi organ
7,45 bibir selama vital & jaringan.
6. PCO2 antara 34- 3. Membuat tahanan
ekshalasi.
45 melawan udara
4. Kolaborasi
7. HCO3 antara 22-
luar, mencegah
pemberian oksigen
26
kolaps
5. Kolaborasi
/penyempitan jalan
pemeriksaan
napas
analisa gas darah
4. Memperbaiki
sesuai kebutuhan
hipoksemia.
5. Untuk
mengevaluasi
keadekuatan
system sirkulasi
oksigen dalam tubuh

4. Intoleransi aktivitas Setelah diberikan 1. Evaluasi respon 1. Menetapkan


berhubungan asuhan keperawatan klien terhadap kemampuan/kebutu
dengan selama 3x24 jam aktivitas. han pasien dan
2. Berikan
ketidakseimbangan diharapkan klien memudahkan
lingkungan
antara suplai dapat beraktivitas pilihan intervensi.
tenang dan batasi 2. Menurunkan stress
dengan kebutuhan bertahap. Dengan
pengunjung. & rangsangan
oksigen. kriteria hsil
3. Jelaskan
berlebih.
1. Pasien
pentingnya 3. Tirah baring
melaporkan
istirahat dalam dipertahankan
menunjukkan
rencana selama fase akut
peningkatan
pengobatan dan untuk menurunkan
toleransi terhadap
perlunya kebutuhan
aktivitas yang
keseimbangan metabolik dan
dapat diukur aktivitas dan menghemat
4. Pasien mungkin
dengan tak istirahat.
4. Bantu pasien nyaman dengan
adanya,
memilih posisi kepala tinggi, tidur
kelemahan,
yang nyaman di kursi atau
kelelahan.
2. Memelihara untuk menunduk kedepan
ROM sendi istirahat/tidur meja atau bantal.
5. Meminimalkan
maksimal. 5. Bantu aktivitas
3. Dapat melakukan kelelahan &
perawatan diri
latihan isometrik membantu
yang diperlukan.
4. Dapat
keseimbangan
6. Lakukan latihan
memelihara HR,
suplai & kebutuhan
ROM secara aktif
irama jantung dan
oksigen.
atau pasif pada
tekanan darah 6. Latihan ini
semua
dalam rentang membantu
ekstremitas setiap
yang diharapkan perkembangan
2 – 4 jam.
selama aktifitas. kekuatan otot dan
7. Mengubah dan
tonus otot,
mereposisikan
memelihara
pasien mencegah
mobilitas sendi, dan
kerusakan kulit
mencegah
dan memperbaiki
kontraktur.
ekspansi paru 7. Ubah posisi pasien
serta cegah tiap 2 jam, tetapkan
atelektasis. schedule perubahan
posisi pada pasien
yang tergantung,
5. Ansietas Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat 1. Mengetahui
berhubungan tindakan kecemasan sejauh mana
2. Berikan dorongan
dengan perubahan keperawatan selama tingkat kecemasan
dan berikan waktu
status kesehatan. …x…jam yang dirasakan
untuk
diharapkan cemas oleh klien
mengungkapkan
pasien berkurang sehingga
pikiran dan
dengan kriteria hasil: memudahkan
1. Mendemonstrasi dengarkan semua
dlam tindakan
kan koping yang keluhannya.
selanjutnya
3. Jelaskan semua
positif. 2. Klien merasa ada
2. Mengungkapkan prosedur dan
yang
penurunan pengobatan
memperhatikan
4. Berikan dorongan
kecemasan
sehingga klien
spiritual
merasa aman
dalam segala hal
tundakan yang
diberikan
3. Klien memahami
dan mengerti
tentang prosedur
sehingga mau
bekejasama dalam
perawatannya.
4. Bahwa segala
tindakan yang
diberikan untuk
proses
penyembuhan
penyakitnya,
masih ada yang
berkuasa
menyembuhkanny
a yaitu Tuhan
Yang Maha Esa.

6. Kurang Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat 1. Mengetahui tingkat


pengetahuan tindakan pengetahuan pengetahuan pasien
tentang penyakit, keperawatan selama pasien mengenai mengenai penyakit
2. Informasi yang
perawatan, dan …x…jam penyakit
2. Sediakan jelas dapat
status nutrisi diharapkan
informasi pada mempermudah
berhubungan pengetahuan pasien
pasien tentang pemahaman pasien
dengan kurangnya bertambah dengan
3. Memberikan
kondisi dengan
informasi. kriteria hasil:
motivasi untuk
1. Menyatakan cara yang tepat
3. Hindari harapan sembuh kepada
pemahaman
yang kosong pasien
kondisi,
4. Jelaskan 4. Agar pasien tahu
prognosis, dan
patofisiologi dari mengenai
pengobatan
penyakit dan penyebab sakitnya
2. Mengidentifikasi
5. Agar pasien dan
bagaimana hal ini
hubungan
keluarga dapat
berhubungan
tanda/gejala
mengenal gejala
dengan anatomi
dengan proses
dini penyakit,
dan fisiologi
penyakit
gelaja gawat dan
3. Melakukan dengan cara yang gejala perbaikan
6. Mencegah
prosedur dengan tepat
5. Gambarkan tanda komplikasi atau
benar dan
dan gejala yang kambuh diperlukan
menjelaskan
biasa muncul keikutsertaan dari
alasan tindakan
pada penyakit keluarga untuk
6. Diskusikan
mendukung
perubahan gaya
program terapi
hidup yang 7. Keterlibatan
mungkin keluarga dalam
dilakukan untuk program terapi
menghindari meningkatkan
komplikasi di kesembuhan pasien
masa yang akan
datang
7. Instruksikan
pasien dan
keluarga
mengenai tanda
bahaya

4. Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah dibuat.
5. Evaluasi
a. Bersihan jalan napas efektif.
b. Pola nafas efektif
c. Pertukaran gas maksimal
d. Aktivitas normal
e. Kecemasan pasien teratasi
f. Klien bisa memahami tentang
g. Klien bisa memahami tentang penyakitnya
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, Engram. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1. Penerbit EGC.
Jakarta.
Black, MJ Jacob. (1993). Luckman & Sorensen’s Medical surgical Nursing A Phsycopsicologyc
Approach. W.B. Saunders Company. Philapidelpia.
Ralph, Sheila Spark & Cynthia M. Taylor. 2011. Nursing Diagnosis Pocket Guide.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins
Manjoer, A, et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : Medika Aeusculapeus
Smeltzer, Suzanne. C & Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2
edisi 8. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne. C & Brenda G. Bare 2008. Brunner And Suddarth Textbook Of Medical
Surgical Nursing 11th.
Sudoyo,Aru, dkk.2009.Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1,2,3, edisi keempat. Internal
Publishing: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai