Anda di halaman 1dari 97

UJI PERFORMANSI MESIN PENEPUNG TIPE DISC

(DISC MILL) UNTUK PENEPUNGAN JUWAWUT


(Setaria italica ( L.) P. Beauvois)

Oleh :
KALTIKA SETYAUTAMI SUMARIANA
F14103057

2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
UJI PERFORMANSI MESIN PENEPUNG TIPE DISC
(DISC MILL) UNTUK PENEPUNGAN JUWAWUT
(Setaria italica (L.) P. Beauvois)

SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
KALTIKA SETYAUTAMI SUMARIANA
F14103057

2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UJI PERFORMANSI MESIN PENEPUNG TIPE DISC


(DISC MILL) UNTUK PENEPUNGAN JUWAWUT
(Setaria italic(L.) P. Beauvois)

SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
KALTIKA SETYAUTAMI SUMARIANA
F14103057

Dilahirkan pada tanggal 2 Januari 1985


Di Malang

Tanggal lulus :

Menyetujui
Bogor, Maret 2008
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ir. Parlaungan A. Rangkuti, M.Si. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si.


NIP. 131 564 497 NIP. 131 841 746

Mengetahui,

Dr. Ir. Wawan Hermawan, M.S


Ketua Departemen Teknik Pertanian
Kaltika Setyautami Sumariana. F14103057. Uji Performansi Mesin Penepung
Tipe Disc (Disc Mill) Untuk Penepungan Juwawut (Setaria italica (L.) P.
Beauvois). Di bawah bimbingan Ir. Parlaungan Adil Rangkuti, MSi. 2008.

RINGKASAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketersediaan pangan bagi


masyarakat suatu negara harus terjamin. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.68
Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7
tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus
berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan
mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya,
kelembagaan dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan,
mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan
prasarana produksi pangan dan mempertahankan serta mengembangkan lahan
produktif. Dari Peraturan Pemerintah tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk
meningkatkan ketahanan pangan perlu dilakukan diversifikasi pangan dengan
memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan
teknologi pengolahan dan produk pangan serta peningkatan kesadaran masyarakat
untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan gizi seimbang.
Penelitian ini bertujuan untuk pengkajian uji performansi mesin penepung
tipe disc (disc mill) menggunakan bahan baku juwawut sehingga dapat diketahui
besarnya kapasitas penepungan, rendemen mesin penepung dan susut tercecer
mesin penepung serta kualitas penepungan. Penelitian ini dilakukan mulai dari
bulan November 2007 sampai Januari 2008 bertempat di bengkel Departemen
Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB Leuwikopo. Bahan yang
digunakan pada penelitian ini adalah biji juwawut (Setaria italica (L.) P.
Beauvois) sebanyak 24 kg butir biji tersosoh, pulley ukuran 3”,6”,10”, dan 12”
tipe A, saringan 80 mesh dan 100 mesh. Proses penepungan dilakukan pada
kondisi rpm yang berbeda-beda yaitu 1425 rpm, 2850 rpm, 4750 rpm dan 5700
rpm dengan perbandingan ukuran puli sebagai indikator peningkatan rpm. Ukuran
puli yang digunakan pada motor penggerak (puli II) adalah 3 inchi, 6 inchi, 10
inchi dan 12 inchi, sedangkan ukuran puli pada mesin (puli I) tetap yaitu puli
ukuran 3 inchi. Berat bahan yang ditepungkan adalah 1000 gram (1 kg). Ukuran
mesh yang digunakan yaitu mesh 80 dan mesh 100.
Juwawut termasuk dalam spesies Setaria italica (L.) P. Beauvois dengan
nama Indonesia adalah Juwawut (Jawa) dan Jawawut (Sunda). Juwawut telah
diketahui sebagai tanaman sereal sejak lama (5000 SM di Negeri China dan 3000
SM di Eropa) dan juga dikenal sebagai pakan burung perkutut. Juwawut termasuk
jenis rumput tahunan yang mempunyai tinggi tanaman 60-120 cm, diameter biji
rata-rata biji juwawut adalah 2.43 mm x 1.91 mm x 1.35 mm dan berat bii rata-
ratanya adalah 3.68 mg. Massa jenis rata-rata biji juwawut adalah 0.674 g/ml,
dengan massa dan volume rata-rata sebanyak 674 g dan 1000 ml. Juwawut dapat
dipanen pada umur 3-4 bulan. Kandungan gizi juwawut menurut Wu Leung, dkk,
(1972) dalam Grubben, (1996)yaitu mengandung karbohidrat 84.2 gram, protein
10.7 gram, lemak 3.3 gram, dan mengandung serat 1.4 gram. Manfaat juwawut
sangat banyak, baik sebagai pakan burung (di Indonesia) maupun makanan
manusia (di Eropa bagian tenggara, Afrika Utara, Cina bagian utara, dan India).
Kegiatan pasca panen juwawut meliputi pemanenan, pengeringan malai,
perontokan, pengeringan, pembersihan, penyosohan, penepungan, pengemasan,
dan penyimpanan. Proses penepungan merupakan proses pengecilan ukuran (size
reduction) suatu bahan padat secara mekanis tanpa diikuti dengan perubahan sifat
kimia dari bahan yang digiling. Mengingat sifat biji – bijian yang keras, maka
terdapat 2 (dua) cara yang dikenal dalam proses penepungan, yaitu penepungan
cara basah dan cara kering. Penepungan cara kering (dry prosess) didefinisikan
sebagai bahan yang ditepungkan melibatkan perlakuan fisik dan mekanik untuk
membebaskan komponen–komponennya dari sifat aslinya. Sedangkan
penepungan cara basah (wet prosess) adalah bahan yang digiling melibatkan
perlakuan fisiko–kimia dan mekanik untuk memisahkan fraksi–fraksi yang
diinginkan. Kedua cara tersebut pada prinsipnya berusaha memisahkan lembaga
dari bagian tepungnya. Tepung yang dihasilkan dapat dikategorikan menjadi dua
yaitu tepung yang mengandung lemak dan tidak mengandung lemak. Hal ini
tergantung dari jenis bahan dasarnya
Disc mill merupakan suatu alat penepung yang berfungsi untuk menggiling
bahan serelia menjadi tepung, namun lebih banyak digunakan untuk
menepungkan bahan yang sedikit mengandung serat dan juga suatu alat penepung
yang memperkecil bahan dengan tekanan dan gesekan antara dua piringan yang
satu berputar dan yang lainnya tetap. Mesin penepung tipe disc yang digunakan
pada penelitian ini memiliki 6 (enam) bagian utama yaitu 1) hopper, 2) rumah
penepungan yang didalamnya terdapat pisau penepung, penutup pisau penepung
dan saringan mesh, 3) sistem transmisi dan dudukannya yang terdiri dari poros,
puli, sabuk v-belt, penutup sabuk v-belt dan puli, rangka dudukan bearing dan
bearing, 4) saluran pengeluaran tepung hasil penepungan, 5) motor penggerak dan
6) rangka penyangga. Mesin ini menggunakan sumber tenaga penggerak berupa
motor listirk 3 fase dengan daya maksimum 2.2 kW dan tegangan yang digunakan
adalah 380 volt serta mempunyai kecepatan putar poros sebesar 1425 rpm dengan
transmisi pulley-belt.
Proses penepungan dilakukan setelah biji juwawut mengalami proses
peyosohan terlebih dahulu. Kadar air juwawut sebelum disosoh adalah 12.03%,
kadar air setelah disosoh adalah 14.23% (bb) dan kadar air tepung juwawut hasil
dari proses penepungan adalah sekitar 5-7 %. Dalam kondisi operasional, mesin
penepung tipe disc (disc mill) apabila menggunakan rpm 5700 saringan mesh 80
menghasilkan kapasitas terbesar yaitu sebanyak 20.43 kg/jam, rendemen
penepungan tertinggi yaitu sebanyak 91.6%, susut tercecer terendah yaitu
sebanyak 1.77%. Kualitas penepungan terbaik (99.10%) didapatkan apabila
mengoperasikan mesin penepung tersebut menggunakan rpm 5700 dan saringan
mesh 100.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang, Jawa Timur pada tanggal 2 Januari


1985 sebagai anak pertama dari pasangan Sumarwan dan
Yusmiani Setyaningsih. Penulis menyelesaikan pendidikan
sekolah dasar di SD Negeri Tunjung Sekar I Malang pada tahun
1997. Penulis lalu melanjutkan pendidikan menengah di SLTP
Negeri 3 Malang lalu pindah pada tahun ke-2 ke SLTP Negeri 1
Bojonegoro, Jawa Timur dan tamat pada tahun 2000. setelah itu,
penulis melanjutkan pendidikan tingkat atas di SMU Negeri 1 Bojonegoro, Jawa
Timur dan tamat pada tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) diterima di Departemen Teknik Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan memilih Laboratorium
Ergonomika dan Elektronika (Ergotron).
Selama menjadi mahasiswi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam
Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Institut Pertanian
Bogor masuk di Departemen Pendidikan pada tahun kepengurusan 2003-2004.
Selain itu, penulis pernah menjadi anggota PASKIBRA IPB tahun 2003. Di
periode tahun 2005-2006, penulis mendapat kepercayaan lagi untuk menjadi
pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB
divisi Kebijaksanaan Daerah (Jakda). Di tahun yang sama, penulis menjabat
sebagai bendahara umum di Forum Mahasiswa Jawa Timur (FKMJ). Pada tahun
2007-2008, penulis tergabung dalam kepengurusan UKM Music IPB MAX!!
(Music Agriculture X-pression!!) divisi Event Organizer (EO). Penulis pernah
menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Pengukuran Wilayah pada tahun 2005 dan
Asisten Dosen Mata Kuliah Gambar Teknik pada tahun 2007.
Penulis telah melaksanakan kegiatan Praktek Lapangan di PTPN 12 Kebun
Teh Wonosari Malang, Jawa Timur pada tahun 2006 dengan judul ”Aspek
Keteknikan Pertanian pada Proses Pengolahan Teh Hitam di PTPN 12
Kebun Teh Wonosari, Malang, Jawa Timur” dan pada tahun 2008, penulis
melakukan penelitian sebagai syarat skripsi untuk menjadi sarjana teknologi
pertanian dengan judul ”Uji Performansi Mesin PenepungTipe Disc (Disc Mill)
untuk Penepungan Juwawut (Searia italica (L.) P. Beauvouis)”.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir yang berupa skripsi dengan judul “Uji Performansi Mesin Penepung
Tipe Disc (Disc Mill) Untuk Penepungan Juwawut (Setaria italica (L) P.
Beauvois)”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ir. Parlaungan Adil Rangkuti, MSi selaku Dosen Pembimbing Akademik I
atas bimbingan dan bantuannya selama penelitian dalam penyusunan skripsi
ini.
2. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi selaku Dosen Pembimbing Akademik II atas
bimbingannya dalam pembuatan skripsi ini sampai selesai.
3. Dr. Ir. Sam Herodian, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan
masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Orang tua penulis, Bapak Sumarwan dan Ibu Yusmiani serta adik – adik
tercinta (Galih, Alm. M. Shoddiq dan Suryoseno) yang selalu memberikan
dorongan dan motivasi selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
5. Rekan satu tim penelitian Juwawut, Siska Andriani, Ratna Nuryati dan Moch.
Yandra Darajat.
6. Rekan-rekan civitas akademika Jurusan Teknik Pertanian angkatan 2003 dan
2004, Jurusan Teknologi Pertanian angkatan 2003 dan 2004 serta Jurusan
Pangan dan Gizi angkatan 2003 dan 2004.
7. Bapak Parma di bengkel Leuwikopo, Bu Antin di Laboratorium L2 TPG,
Bpak Ujang dan Bapak Hendra di AP4, Bapak Junaedi Seafast serta Mas Jo di
Cibeureum.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat. Atas segala kekurangan


yang ada di dalamnya, penulis menyampaikan permohonan maaf sekaligus
mengharap kritik dan saran demi perbaikan.
Bogor, Februari 2008

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi
RINGKASAN ................................................................................................. vii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ........................................................................... 1
B. TUJUAN ................................................................................................ 2
II. TINJUAN PUSTAKA
A. TANAMAN JUWAWUT ..................................................................... 3
B. PENANGANAN PASCA PANEN JUWAWUT .................................. 7
C. MESIN PENEPUNG ............................................................................. 22
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ............................................. 30
B. BAHAN ................................................................................................. 30
C. ALAT DAN MESIN ........................................................................... 30
D. METODOLOGI
1. Pengukuran Kadar Air Biji Juwawut ................................................. 32
2. Uji Performansi
a) Kapasitas Produksi Mesin Penepung ........................................... 33
b) Rendemen Mesin Penepung ......................................................... 34
c) Susut Tercecer Mesin Penepung .................................................. 34
d) Kualitas Penepungan .................................................................... 35
e) Kebutuhan Daya Motor Listrik .................................................... 36
f) Efisiensi Tenaga Motor Listrik ..................................................... 36
IV. MESIN PENEPUNG TIPE DISC (DISC MILL)
A.PRINSIP KERJA MESIN ...................................................................... 37
B. MEKANISME KERJA MESIN ............................................................ 38
C. KONSTRUKSI MESIN
1. Desain fungsional .............................................................................. 39
2. Desain struktural ............................................................................... 43
V.HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengukuran Kadar Air Biji Juwawut ...................................................... 45
2. Uji Performansi Mesin Penepung Tipe Disc (Disc Mill)
a) Kapasitas Produksi Mesin Penepung ................................................. 46
b) Rendemen Mesin Penepung ............................................................. 48
c) Susut Tercecer Mesin Penepung ....................................................... 49
d) Kebutuhan Daya dan Efisiensi Mesin .............................................. 51
e) Kualitas Penepungan
1) Ukuran Partikel Tepung Juwawut ................................................ 55
2) Derajat Kehalusan (Fineness Modulus) ....................................... 57
VI.KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 62
LAMPIRAN ..................................................................................................... 64
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Anatomi Tanaman Juwawut (Setaria italica (L) P. Beauvois).......... 4


Gambar 2. Bagan Alir Penanganan Pasca Panen Juwawut ................................. 8
Gambar 3. Proses Penepungan Beras Cara Kering ............................................. 16
Gambar 4. Proses Penepungan Sorgum Cara Kering .......................................... 18
Gambar 5. Porses Penepungan Sorgum Cara Basah .......................................... 19
Gambar 6. Penampang Mesin Penepung Tipe Palu (Hammer Mill) ................... 24
Gambar 7. Attrition Mill ..................................................................................... 25
Gambar 8. (a) Single Disc Mill, (b) Double Disc Mill ....................................... 26
Gambar 9. Buhr Mill .......................................................................................... 27
Gambar 10. Mesin Penepung Tipe Silinder (Roller mill) .................................. 28
Gambar 11. Tahapan Penelitian ......................................................................... 33
Gambar 12. Mesin Penepung Tipe Disc (Disc Mill) .......................................... 37
Gambar 13. Mekanisme Kerja Mesin ................................................................. 38
Gambar 14. Pisau Penepung ............................................................................... 40
Gambar 15. Penutup Pisau Penepung ................................................................. 40
Gambar 16. Saringan .......................................................................................... 41
Gambar 17. Puli (a) Puli 3”, (b) Puli 6”, (c) Puli 10”, (d) Puli 12” .................... 42
Gambar 18. Hubungan Kapasitas Penepungan Pada Berbagai rpm ................... 47
Gambar 19. Rendemen Mesin Penepung Pada Beberapa rpm ........................... 49
Gambar 20. Hubungan SusutTercecer Mesin Penepung Pada Beberapa rpm .... 50
Gambar 21. Hubungan Daya Yang Dibutuhkan Motor Pada Beberapa rpm ..... 52
Gambar 22. Hubungan Efisiensi Yang Dibutuhkan Motor Listrik Pada
Beberapa rpm .................................................................................. 54
Gambar 23. Hubungan Ukuran Partikel Tepung Juwawut Pada Beberapa rpm 56
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan Gizi Berbagai Jenis Serealia .......................................... 6


Tabel 2. Pengukuran Kadar Air Biji Juwawut Sebelum Penyosohan Dengan
Metode Oven ..................................................................................... 45
Tabel 3. Pengukuran Kadar Air Tepung Juwawut ......................................... 45
Tabel 4. Data Hasil PengujianPerformansi Dari Mesin Penepung Tipe Disc
(Disc Mill) ......................................................................................... 46
Tabel 5. Hasil Pengukuran Kebutuhan Daya dan Efisiensi Motor Listrik ..... 53
Tabel 6. Kualitas tepung juwawut yang lolos ayakan mesh 28 ...................... 57
Tabel 7. Kualitas Tepung Juwawut Yang Lolos Ayakan Mesh 48 ................ 58
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil Uji Performansi Mesin Penepung Tipe Disc (Disc Mill) . 65
Lampiran 2. Hasil Pengukuran Arus Listrik Mesin Penepung Tipe Disc
(Disc Mill), Mesh 80 ................................................................. 66
Lampiran 3. Hasil Pengukuran Arus Listrik Mesin Penepung Tipe Disc
(Disc Mill), Mesh 100 ................................................................ 67
Lampiran 4. Berat Tepung Juwawut Yang Lolos Pada Tiap Mesh Pada
Ayakan Tyler Pada Berbagai RPM ........................................... 68
Lampiran 5. Moduls Kehalusan Dan Ukuran Partikel Tepung
Juwawut Penggilingan Mesh 80 ................................................. 69
Lampiran 6. Moduls Kehalusan Dan Ukuran Partikel Tepung
Juwawut Penggilingan Mesh 100 ............................................... 71
Lampiran 7. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap
Kapasitas Produksi Mesin Penepung ......................................... 73
Lampiran 8. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap
Rendemen Mesin Penepung………………………………….. 74
Lampiran 9. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap
Susut Tercecer Mesin Penepung ............................................... 75
Lampiran 10. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Daya . 76
Lampiran 11. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap
Efisiensi Pada Motor Listrik ………………………………… 77
Lampiran 12. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap
Modulus Kehalusan Tepung Juwawut ………………………... 78
Lampiran 13. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap
Ukuran Partikel Tepung Juwawut …………………………….. 80
Lampiran 14. Gambar Mesin Penepung Tipe Disc (Disc Mill) ……………… 81
Lampiran 15. Alat – Alat Yang Digunakan Selama Penelitian ……………… 82
Lampiran 16. Gambar Teknik Mesin Penepung Tipe Disc (Disc Mill) ………83
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketersediaan pangan


bagi masyarakat suatu negara harus terjamin. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan
pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya
penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi
pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal,
mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi
produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan
mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Dari Peraturan
Pemerintah tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan ketahanan
pangan dilakukan diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumberdaya,
kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan
produk pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi
aneka ragam pangan dengan gizi seimbang.
Di Indonesia, pola konsumsi dan produksi nasional sampai sekarang
sangat ditekankan pada beras. Ketergantungan kita pada beras merupakan
bahaya yang besar. Usaha–usaha diversifikasi pertanian serta usaha
penganekaragaman bahan pangan sebagai sumber karbohidrat alternatif perlu
dikembangkan, salah satu contohnya adalah tanaman Juwawut (Setaria italica
(L.) P. Beauvois).
Juwawut merupakan bahan pangan non-beras, termasuk biji-bijian
(serealia) yang pada umumnya digunakan sebagai pakan burung perkutut.
Pengembangan juwawut sebagai sumber karbohidrat alternatif diharapkan
dapat menjadi bahan pangan baru. Sehingga, dalam keadaan rawan
panganpun, juwawut dapat menggantikan sementara kedudukan beras. Hal ini
dapat ditunjang dengan pengolahan juwawut yang sangat sederhana dan tidak
memerlukan perlakuan tambahan.
Teknologi pangan non-beras seperti juwawut ini perlu dikembangkan
agar pengolahan pangan tersebut dapat dipermudah sehingga tenaga, biaya
dan waktu pengolahan dapat dipersingkat. Adanya perkembangan teknologi
pangan non-beras akan mendorong peningkatan mutu bahan pangan untuk
kebutuhan manusia serta memungkinkan terciptanya resep–resep jenis
makanan baru sehingga juwawut dapat dimanfaatkan kegunaannya.
Penepungan (penggilingan) juwawut adalah proses penghancuran biji
juwawut menjadi butiran halus hingga menjadi tepung. Penepungan
(penggilingan) juwawut menjadi tepung juwawut dapat dilakukan secara
tradisional, yaitu menggunakan alat penumbuk dan dapat pula secara mekanis
yaitu menggunakan mesin penepung yang telah ada di pasaran. Penepungan
(penggilingan) secara tradisional yang dilakukan dengan penumbukan
memakan waktu yang lama dan menghasilkan rendemen tepung yang rendah,
sehingga perlu peningkatan efisiensinya dengan menggunakan mesin
penepung.
Mesin penepung yang telah ada saat ini banyak sekali ragamnya.
Salah satunya adalah mesin penepung tipe disc (disc mill). Pada umumnya,
disc mill digunakan untuk menggiling bahan baku kasar atau biji-bijian kering
menjadi tepung dengan kehalusan tertentu. Bahan baku yang biasa digiling
menggunakan disc mill adalah beras, jagung, dan kopi.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk pengkajian uji performansi mesin


penepung tipe disc (disc mill) menggunakan bahan baku juwawut sehingga
dapat diketahui besarnya kapasitas penepungan, rendemen penepungan dan
susut tercecer mesin penepung serta kualitas penepungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAMAN JUWAWUT
Juwawut termasuk dalam spesies Setaria italica (L.) P. Beauvois dengan
nama Inggris adalah Foxtail millet, Italian millet, atau German millet, nama
Indonesia adalah Juwawut (Jawa) dan Jawawut (Sunda), sedangkan untuk
nama Malaysia adalah sekoi, sekui, atau rumput ekor kuching (Grubben dan
Soetjipto, 1996). Hirearki taksonomi selengkapnya menurut Skinner, 2006
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Class : Liliopsida
Subclass : Commelinidae
Order : Cyperales
Family : Poaceae
Genus : Setaria Beauv
Spesies : Setaria italica

Juwawut telah diketahui sebagai tanaman sereal sejak lama (5000 SM di


Negeri China dan 3000 SM di Eropa). Selain dikenal sebagai tanaman sereal,
juwawut jugaa dikenal sebagai pakan burung perkutut. Tanaman ini mungkin
asal perkembangannya dari rumput liar dan proses domestikasi telah
berlangsung mulai dari Eropa ke Jepang, bahkan barangkali hingga China;
kemungkinan besar juwawut pertama kali didomestikasi di dataran tinggi di
Cina tengah dan langsung menyebar ke India dan Eropa. Sekarang, juwawut
telah ditanam diseluruh dunia dan menjadi jenis yang paling penting di Cina,
India dan Eropa bagian tenggara. Di Asia Tenggara, jenis ini hanya ditanam
sewaktu-waktu dalam skala kecil (Grubben dan Soetjipto, 1996)
Tanaman juwawut terdiri dari akar, batang, daun dan malai. Di dalam
malai terdapat biji dan malai batang. Anatomi tanaman juwawut dapat dilihat
pada Gambar 1.

Daun

Malai

Batang

Biji
Juwawut

Akar

Gambar 1. Anatomi Tanaman Juwawut (Setaria italica (L) P. Beauvois)

Juwawut mempunyai tinggi tanaman 60-120 cm dan mempunyai


sistem perakaran padat, dengan akar liar tipis dan liat dari buku terbawah.
Batang tegak, lampai, menyirip dari tunas terbawah, namun kadang-kadang
bercabang. Pelepah daun silindris, terbuka diatas, ligula pendek, berjumbai,
helaian daun memita-melancip. Perbungaan malai seperti bulir, buliran
berbentuk menjorong, bunga bawah steril, bunga atas hermaprodit. Biji
membulat telur lebar, melekat pada sekam kelopak dan sekam mahkota,
berwarna kuning pucat hingga jingga, merah, coklat atau hitam (Grubben dan
Soetjipto, 1996).
Menurut Nuryati (2008), diameter biji rata-rata biji juwawut adalah
2.43 mm x 1.91 mm x 1.35 mm dan berat bii rata-ratanya adalah 3.68 mg
termasuk kecil jika dibandingkan dengan diameter biji sorghum yaitu 4.0 mm
x 2.5 mm x 3.5 mm dan berat biji sorghum rata-rata 28 mg. Namun, dimensi
biji juwawut justru lebih besar dari dimensi biji buru hotong yang mempunyai
diameter rata-rata 1.68 mm x 1.31 mm x 1.10 mm dengan berat biji rata-rata
1.2 mg. Massa jenis rata-rata biji juwawut adalah 0.674 g/ml, dengan massa
dan volume rata-rata sebanyak 674 g dan 1000 ml. Massa jenis biji juwawut
tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan massa jenis biji buru hotong
yaitu sebesar 0.726 g/ml.
Juwawut dapat diperbanyak dengan biji, baik ditaburkan atau ditanam
dalam lubang. Kebutuhan benih 8 sampai 10 kg/ha. Sebagian besar foxtail
millet dapat dipanen pada umur 3-4 bulan. Juwawut dapat ditanam di daerah
semi kering dengan curah hujan kurang dari 125 mm. Jenis ini tidak tahan
terhadap genangan dan rentan terhadap periode musim kering yang lama. Di
daerah tropis, tanaman ini dapat tumbuh pada daerah semi kering sampai
ketinggian 2000 m. Tanaman ini menyukai lahan subur tetapi dapat tumbuh
dengan baik pada berbagai jenis tanah dari tanah berpasir hingga tanah liat
yang padat, dan bahkan tetap tumbuh pada tanah miskin hara atau tanah
pinggiran.
Beberapa keuntungan juwawut apabila dibandingkan dengan beras dan
gandum dilihat dari kandungan gizi adalah juwawut mengandung karbohidrat
sebanyak 84.2 gram. Kandungan karbohidrat tersebut terletak di urutan ke-2
setelah beras yaitu 87.7 gram dan di atas kandungan karbohidrat dalam
gandum yaitu sebesar 82.4 gram. Kandungan lemak yang terdapat dalam
juwawut yaitu sebesar 3.3 gram lebih tinggi dibandingkan kandungan lemak
yang terdapat di dalam beras (2.1 gram) dan gandum (2.5 gram). Kandungan
protein yang ada di dalam juwawut sebanyak 10.7 gram. Kadar tersebut masih
lebih tinggi dibandingkan kandungan protein yang berada didalam beras yaitu
sebesar 8.8 gram. Kandungan zat besi dalam juwawut sebesar 6.2 gram lebih
tinggi dibandingkan kandungan zat besi yang terkandung di dalam beras (3.2
gram) dan gandum (3.8 gram). Kandungan gizi berbagai jenis serealia
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Gizi Berbagai Jenis Serealia (Wu Leung, dkk, 1972
dalam Grubben dan Soetjipto, 1996)
Juwawut
Beras Sorgum Gandum
(Foxtail Millet)
Kadar Air (%) 11.3 13.5 12 12.5
Energi (kJ) 1607 1711 1628 1586
Karbohidrat (gr) 84.2 87.7 82.6 82.4
Protein (gr) 10.7 8.8 11.4 13.3
Lemak (gr) 3.3 2.1 4.2 2.5
Serat (gr) 1.4 0.8 2.5 2.4
Abu (gr) 1.8 1.3 1.7 1.8
Ca (mg) 37 18 25 55
Fe (mg) 6.2 3.2 4.3 3.8
Vitamin A (mg) 0 0 0 0
Vitamin B1 (mg) 0.48 0.39 0.37 0.42
Vitamin B2 (mg) 0.14 0.08 0.2 0.14
Vitamin C (mg) 2.5 5.8 4.4 5.3

Manfaat juwawut sangat banyak, baik sebagai pakan burung maupun


makanan manusia. Di Indonesia, juwawut lebih dikenal sebagai pakan burung
pemakan biji-bijian, tetapi ada juga sebagian masyarakat di Magelang
misalnya yang memanfaatkan juwawut menjadi bahan pangan yaitu dijadikan
bubur atau jenang. Dalam prosesi pernikahan, jenang memiliki tempat yang
khusus, seperti dalam upacara jenang sumsuman. Upacara ini biasanya
dilakukan setelah semua acara perkawinan selesai dengan lancar (Andrawina,
2005).
Menurut Grubben dan Soetjipto (1996), di India, juwawut sering
ditanam dalam campuran dengan padi-padian, kapas dan gandum. Di Asia,
Eropa bagian tenggara dan Afrika Utara butir juwawut digunakan untuk
makanan manusia, dimasak dan dimakan seperti beras, baik utuh maupun
dengan dihancurkan. Juga dapat ditumbuk dan tepungnya dibuat roti tak
beragi atau ketika tepungnya dicampur dengan tepung terigu dapat dibuat roti
beragi. Tepungnya juga digunakan untuk membuat bubur dan puding. Di Cina
bagian utara, tepung ini menjadi bagian dari bahan pokok makanan dan
biasanya dicampur dengan polong-polongan dan dimasak, atau tepung
dicampur dengan tepung sereal lain untuk membuat adonan roti dan mie. Di
India, juwawut dihargai sebagai makanan dan diperlakukan sebagai hidangan
`suci` dalam upacara-upacara yang religius.
Di Cina, juwawut dianggap sebagai suatu makanan yang bergizi dan
sering direkomendasikan untuk wanita-wanita yang hamil dan orang tua.
Sejak tahun 1990 juwawut juga telah digunakan di Cina untuk membuat
keripik mini, juwawut gulung kering dan tepung untuk makanan bayi.
Kecambah juwawut digunakan sebagai sayuran dan terutama di Rusia dan
Burma (Myanmar), digunakan sebagai bahan untuk membuat bir dan alkohol,
dan di Cina, juga digunakan untuk membuat cuka dan anggur. Di Eropa,
juwawut dan jenis Setaria lain ditanam sebagai makanan unggas dan burung
peliharaan. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Setaria italica liar dapat
menjadi gulma yang merugikan pada kebun gandum dan tanaman polong-
polongan, terutama di daerah yang beriklim hangat. Sebagai bahan obat,
juwawut dapat dipakai sebagai diuretik, astringent, digunakan untuk
mengobati rematik.
Menurut Grubben dan Soetjipto (1996), juwawut diproduksi dan
diperdagangkan secara lokal. Di China, sekitar 90% dikonsumsi oleh
penduduk lokal dan 10% diperdagangkan secara lokal maupun internasional.
Tidak tersedia data statistik yang dapat dipercaya, biasanya data yang tersedia
merupakan kombinasi dari seluruh spesies millet. China merupakan negara
produsen millet terbesar di dunia, sebanyak 4.5 juta ton telah diproduksi di
atas lahan seluas 2.5 juta ha di tahun 1998. Harga pasar untuk butir juwawut di
China kira-kira sekitar 0.2-0.3 dolar Amerika Serikat per kilogram.
Produksi dunia mengalami kemunduran secara drastis sejak tahun 1950
dan juwawut tergantikan oleh tepung terigu (gandum) dan tepung jagung di
Eropa dan Rusia. Sedangkan di Asia, juwawut tergantikan oleh beras
(Grubben, 1996). Penanganan pasca panen juwawut berupa penyosohan dapat
dilakukan menggunakan stone roller atau menggunakan mesin penggiling
beras. Penyosohan juwawut dilakukan sebelum proses berlangsung
dikarenakan sekam (kulit ari) cepat terinfeksi dengan serangga.
B. PENANGANAN PASCA PANEN JUWAWUT
Menurut Purwadaria (1988) penanganan pasca panen merupakan semua
kegiatan yang dilakukan sejak bahan tersebut dipanen sampai dipasarkan
kepada konsumen. Dengan demikian, kegiatan pasca panen juwawut meliputi
semua kegiatan berikut yaitu pemanenan, pengeringan malai, perontokan,
pengeringan, pembersihan, penyosohan, penepungan, pengemasan, dan
penyimpanan. Bagan alir penanganan pasca panen juwawut dapat dilihat pada
Gambar 2.
Kegiatan penanganan pasca panen pada umumnya dilakukan oleh petani,
kelompok tani, koperasi dan pedagang pengumpul (Purwadaria, 1988).
Penanganan pasca panen bertujuan untuk 1) menjaga mutu bahan supaya tetap
sama seperti pada waktu panen, 2) mengurangi susut tercecer pada semua
proses kegiatan yang dilakukan dan 3) memperpanjang masa pemasaran
sehingga diperoleh harga yang layak dan menguntungkan.

Pemanenan Pengeringan I Perontokan

Penyosohan Pembersihan Pengeringan II

Penepungan Pengemasan Penyimpanan

Gambar 2. Bagan Alir Penanganan Pasca Panen Juwawut (Sutanto, 2006)

Uraian kegiatan kegiatan pasca panen telah tercantum di bawah ini:


1. Pemanenan dan Pengeringan
Pemanenan dilakukan ketika juwawut sudah masak atau pada kadar
air tertentu. Pada sorghum, pemanenan dilakukan secara serempak dengan
panjang pangkasan sekitar 7.5–15 cm di bawah bagian bijinya, kemudian
diikat menjadi satu dan dimasukkan ke dalam karung goni untuk disimpan
(Mudjisihono dan Suprapto, 1987).
Pemanenan di Indonesia pada umumnya masih menggunakan alat
tradisional seperti ani–ani dan sabit. Pemanenan dilakukan dengan
memotong tangkai juwawut yang ada malainya. Menurut panjang
pemotongan, ada dua macam cara pemanenan yaitu: 1) pemanenan jerami
pendek, dan 2) pemanenan jerami panjang. Pada pemanenan jerami
pendek, panjang jerami adalah 15 cm dan total dengan malainya adalah 30
cm, sedangkan pada pemanenan jerami panjang, panjang jerami adalah 60
cm dan total dengan malainya adalah 75 cm (Sutanto, 2006).
Pemanenan jerami pendek umumnya dilakukan pada sawah yang
tergenang air sepanjang tahun. Untuk pemanenan jerami pendek ini
membutuhkan tenaga lagi untuk memotong jerami apabila akan mengolah
tanah. Pemanenan jerami panjang dilakukan apabila waktu panen, sawah
tidak ada genangan air. Keuntungan pemanenan jerami panjang adalah
penyiapan lahan baru akan lebih cepat.
Setelah dipanen, biji–biji tersebut dikeringkan dan kemudian
disimpan. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air juwawut
sampai tingkat kadar air yang aman untuk disimpan atau untuk
perontokan.
Berdasarkan sumber energinya, proses pengeringan digolongkan
menjadi dua yaitu pengeringan alami dan pengeringan buatan. Sumber
energi pengeringan alami adalah sinar matahari sedangkan pengeringan
buatan adalah pemanas buatan. Pengeringan alami atau biasa disebut
penjemuran dilakukan dengan meletakkan malai juwawut diatas alas jemur
atau lantai penjemuran. Pengeringan alami tersebut mempunyai beberapa
keuntungan antara lain: 1) biaya operasi relatif murah, 2) cara
pelaksanaanya mudah dan 3) efektif. Sedangkan kelemahannya adalah 1)
mutu hasil pengeringan kurang seragam dan kurang konsisten karena
tergantung pada cuaca, 2) waktu pengeringan lama, 3) suhu pengeringan
sulit dikendalikan, dan 4) memerlukan tempat yang luas untuk
meningkatkan kapasitasnya (Purwadaria, 1988).
Pengeringan buatan merupakan tindak pengeringan dengan alat
pengering pada kondisi suhu, kelembapan udara, kecepatan pengaliran
udara dan waktu pengering yang dapat dikontrol. Beberapa alat pengering
buatan yang digunakan untuk pengeringan biji – bijian dalam bentuk utuh
(butir) dan tepung adalah drum dryer, tunnel dryer, cabinet dryer, dan try
dryer. (Hubeis, 1984). Pengering buatan menggunakan mesin pengering
mempunyai beberapa keunggulan yaitu 1) suhu pengeringan dapat
dikontrol, 2) mutu pengeringan lebih seragam dan konsisten, dan 3) waktu
pengeringan lebih cepat (Purwadaria, 1988).
Pada umumnya pengeringan sorghum dilakukan dengan cara
penjemuran hingga kadar air mencapai 10-12 %. Pengeringan dengan cara
penjemuran dilakukan dengan menghamparkan biji juwawut dengan
ketebalan 10 cm dan dilakukan proses pembalikan secara berkala hingga
mendapatkan kadar air sekitar 13% yang memerlukan waktu 3–4 hari
tergantung kondisi cuaca. Kriteria untuk mengetahui tingkat kekeringan
biji biasanya dengan cara menggigit biji dan bila telah bunyi kemeretak
berarti biji tersebut telah kering (Mudjisihono dan Suprapto, 1987). Cara
pengeringan dengan penjemuran sangat bergantung pada musim, suhu dan
kelembaban, oleh sebab itu cara–cara pengeringan ini tidak selalu
digunakan.
Pengeringan juwawut secara mekanis dapat dilakukan dengan mesin
pengering tipe bin dryer. Laju pengeringan dipengaruhi oleh suhu dan
kelembapan udara pengeringan, aliran udara pengering dan kadar air
bahan yang dikeringkan. Suhu pengeringan yang dianjurkan adalah 43°C
untuk tujuan benih, 60°C untuk penggilingan atau pengolahan pangan dan
82°C untuk pakan ternak.
2. Perontokan
Perontokan adalah pemisahan biji juwawut dari malainya. Perontokan
biji juwawut dapat dilakukan sesudah atau sebelum pengeringan, tetapi
umumnya perontokan dilakukan sebelum pengeringan.
Di Indonesia, cara perontokan masih menggunakan cara tradisional
seperti “diiles” (diinjak), dibanting, dan dipukul dengan pemukul kayu.
Namun, ada pula kegiatan perontokan yang dilakukan secara mekanis
yaitu menggunakan mesin perontok. Perontokan dengan cara diinjak
dilakukan dengan meletakkan juwawut yang telah dipanen pada lantai,
kemudian juwawut tersebut diinjak–injak dengan menggesekkan antara
malai yang satu dengan yang lainnya sehingga juwawut akan rontok.
Perontokan secara mekanis menggunakan mesin perontok yang terdiri
dari tiga bagian utama yaitu silinder perontok, tempat pemasukan
juwawut, dan motor penggerak atau pedal. Sebagian mesin perontok
dilengkapi dengan ayakan atau saringan serta penghembus udara yang
berfungsi sebagai alat pemisah butiran biji juwawut yang berisi dengan
kotoran, gabah hampa, dan debu. Silinder perontok konvensional terdiri
dari beberapa tipe yaitu silinder gigi paku, silinder pasak, dan silinder
kawat bengkok.
Faktor yang mempengaruhi perontokan biji menurut Mudjisihono dan
Suprapto (1987) adalah jenis tanaman, tingkat kekeringan batang, dan
metode yang digunakan untuk perontokan. Agar dicapai hasil yang terbaik
dan efisien dalam kegiatan perontokan perlu diperhatikan hal–hal sebagai
berikut:
1) Perontokan sebaiknya dilakukan dalam wadah agar bijinya tetap bersih,
tidak tercampur dengan kotoran.
2) Bila memungkinkan, biji–biji segera dirontokkan setelah panen, hal ini
mencegah serangan burung, tikus, dan binatang lainnya.
3) Kadar air biji pada waktu perontokan tidak boleh lebih dari 10-12%,
hal ini untuk menghindari pertumbuhan jamur selama penyimpanan.
3. Pembersihan
Biji juwawut yang telah dirontokkan perlu dibersihkan. Pembersihan
ini bertujuan utuk memisahkan biji juwawut dari kotoran, jerami, dan
benda-benda lainnya yang dapat mengganggu proses pengolahan hotong
selanjutnya. Pembersihan juwawut dapat dilakukan secara manual
(tradisional) atau dengan menggunakan mesin pembersih.
Pembersihan secara tradisional dapat dilakukan dengan menggunakan
penampi (tampah). Penggunaan penampi ini dilakukan secara manual
sehingga memerlukan keahlian atau ketrampilan khusus. Gerakan apabila
bahan berputar–putar diatas penampi disebut “mengayak”, sedangkan
apabila bahan meloncat–loncat disebut “menampi”.
Pembersihan biji–bijian yang lebih modern adalah dengan
menggunakan alat pembersih. Cara kerja alat pembersih biji–bijian ini
adalah dengan prinsip perbedaan berat jenis.
4. Penyosohan
Penyosohan biji hotong bertujuan untuk memisahkan kulit ari dari
butir biji dengan tingkat kerusakan minimum atau menghasilkan biji pecah
kulit yang maksimum. Menurut Hubeis (1984), penyosohan atau disebut
juga pengupasan merupakan proses pendahuluan dari penggilingan
(penepungan) untuk menghilangkan bagian luar atau bagian kulit ari dari
serealia dan biji–bijian. Penyosohan biji-bijian bertujuan untuk
mendapatkan biji-bijian sosoh. Dasar proses pengulitan dan penyosohan
biji-bijian adalah sama seperti pada penggilingan padi yaitu memberikan
gaya gesek pada biji sehingga kulit biji tersosoh dari dagingnya
(Purwadaria, 1980). Penyosohan sorgum menjadi beras sorgum dapat
dilakukan dengan cara tradisional, yaitu menggunakan alu dan lesung, dan
cara baru yaitu menggunakan mesin penyosoh sorgum (Purwadaria dan
Purwanegara, 1984)
Secara tradisional penyosohan hotong dengan cara penumbukan
sehingga diperoleh biji pecah kulit dan dedak kasar. Menurut Purwadaria
dan Purwanegara (1984), penyosohan sorghum secara tradisional
dilakukan dengan penumbukan seperti halnya beras tumbuk atau beras
jagung. Cara penyosohan sorgum dengan mesin penyosoh sebenarnya
agak berbeda dengan yang dilakukan pada penyosohan gabah menjadi
beras, karena sorghum tidak mempunyai sekam sebagaimana halnya pada
gabah.
Proses penyosohan dapat terbagi menjadi dua bagian yaitu proses
pemutihan (whitening) dan penyosohan (polishing or refiring). Pada
proses pemutihan terjadi pengelupasan kulit perak dan lapisan dedak,
sedangkan proses penyosohan biji–bijian menjadi biji–bijian putih, lapisan
dedak yang masih tertinggal pada permukaan biji-bijian terpoles menjadi
mengkilap. Proses penyosohan selalu terjadi setelah proses pemutihan
selesai.
Jika diinginkan hasil yang optimal, biji–bijian dari pemutih di proses
sekali lagi atau lebih di dalam penyosoh. Prinsip kerja penyosoh sama
dengan pemutih kecuali disamping sebuah batu penggosok, juga terdiri
dari sebuah drum yang dibungkus dengan strip–strip dari kulit domba atau
kulit kerbau liar.

5. Penepungan
Pengolahan bahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
adalah proses penepungan. Penepungan terhadap serealia dan biji–bijian
merupakan salah satu proses tertua dan penting dalam pengolahan pangan
yang dimulai dari penggunaan lumpang batu beserta alunya dan kemudian
dilanjutkan dengan penepungan dengan batu pada pertengahan abad 19
(Hubeis, 1984). Penepungan merupakan proses pengecilan ukuran (size
reduction) suatu bahan padat secara mekanis tanpa diikuti dengan
perubahan sifat kimia dari bahan yang digiling. Menurut Soetojo (1975),
penepungan merupakan proses penghancuran bahan yang berada dalam
ruang tertutup dimana terdapat bagian pemukul yang berputar pada
porosnya, sehingga proses penghancuran berlangsung bersama perputaran
bagian pemukul tersebut di dalam ruang penggiling.
Proses penepungan dapat dilakukan beberapa kali sampai diperoleh
hasil penggilingan dengan fraksi ukuran tertentu. Namun, pada prakteknya
untuk memperoleh hasil giling dengan ukuran tertentu tidaklah mudah.
Ukuran partikel bahan hasil giling selalu tersebar dalam banyak fraksi
(Henderson dan Perry, 1976).
Menurut Esmay, dkk (1979) dalam Sutanto (2006), penggilingan padi
adalah proses penghilangan sekam dan dedak dari butir biji–bijian
menghasilkan biji–bijian putih dan bersih. Kriteria operasi penggilingan
tersebut adalah 1) biji–bijian yang dihasilkan maksimum, 2) mendapatkan
kualitas terbaik, 3) meminimumkan kehilangan, dan 4) minimum dalam
ongkos pengolahan.
Menurut Hubeis (1984), penepungan yang dilakukan pada biji –
bijian bertujuan untuk 1) meningkatkan daya larut bahan dan daya
pemisahannya, 2) mempercepat proses ekstraksi kandungan bahan mentah,
3) membuat ukuran tertentu yang berguna untuk konsumsi makanan
manusia dan ternak, 4) meningkatkan luas permukaan bahan yang dapat
mempersingkat waktu pengeringan dan waktu ekstraksi, 5) mempercepat
proses pencampuran, 6) mempermudah proses penanganan lebih lanjut, 7)
untuk penyimpanan, 8) meningkatkan ongkos produksi, 9) menimbulkan
debu pada saat pengolahan, dan 10) kehalusan mengeringkan bahan asal
pada tingkat kadar air tertentu untuk mendapatkan hasil giling yang
memuaskan. Penepungan atau pengecilan ukuran dilakukan untuk
memenuhi tujuan tertentu. Beberapa tujuan dari proses pengecilan bahan
menurut Brennan, dkk (1990) adalah :
1) Mempermudah ekstraksi unsur tertentu dari struktur komposit, contoh
tepung dari gandum dan cairan gula dari tebu.
2) Penyesuaian dengan kebutuhan spesifikasi produk, contoh penyajian
rempah – rempah
3) Untuk menambah luas permukaan padatan
4) Mempermudah pencampuran bahan secara lebih merata
Menurut Henderson dan Perry, 1976 mekanisme pengecilan ukuran dapat
dibagi menjadi 3 (tiga) cara yaitu :
1) Pemotongan
Pemotongan merupakan cara pengecilan ukuran dengan
menghantamkan ujung suatu benda tajam pada bahan yang dipotong.
Struktur permukaan yang terbentuk oleh proses pemotongan relatif
tidak menjadi rusak.
2) Penggerusan
Penggerusan menggunakan daya yang relatif besar sehingga bahan
terpecah dengan bentuk yang tidak teratur.
3) Pengguntingan
Pengguntingan merupakan gabungan dari mekanisme pemotongan
dan penggerusan.
Pemilihan prosedur yang digunakan dalam pengecilan ukuran bahan
banyak dipengaruhi oleh karakteristik bahan yang hendak digiling dan
didasarkan pada mekanisme yang sesuai untuk pengecilan bahan yang
mempunyai sifat tertentu (Leniger dan Baverloo, 1975). Pemotongan lebih
cocok diterapkan pada sayuran pada buah–buahan. Penggerusan sesuai
untuk bahan butiran seperti biji–bijian, sedangkan pengguntingan cocok
untuk bahan yang berserat.
Salah satu sifat fisik hasil pertanian yang penting hubungannya
dengan penepungan adalah kekerasan bahan. Mengingat sifat biji–bijian
yang keras, maka terdapat 2 (dua) cara yang dikenal dalam proses
penepungan, yaitu penepungan cara basah dan cara kering. Penepungan
cara kering (dry prosess) didefinisikan sebagai bahan yang ditepungkan
melibatkan perlakuan fisik dan mekanik untuk membebaskan komponen–
komponennya dari sifat aslinya. Sedangkan penepungan cara basah (wet
prosess) adalah bahan yang digiling melibatkan perlakuan fisiko–kimia
dan mekanik untuk memisahkan fraksi–fraksi yang diinginkan. Kedua cara
tersebut pada prinsipnya berusaha memisahkan lembaga dari bagian
tepungnya. Tepung yang dihasilkan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu
tepung yang mengandung lemak dan tidak mengandung lemak. Hal ini
tergantung dari jenis bahan dasarnya (Hubeis, 1984).
Penepungan secara kering relatif lebih baik dibandingkan dengan
cara basah karena hasilnya dapat langsung disimpan tanpa harus
mengalami proses pengeringan terlebih dahulu. Dalam penepungan secara
kering harus diperhatikan kemungkinan kerusakan produk karena panas
yang terlalu tinggi serta kerusakan karena oksidasi.
Menurut Hubeis (1984) proses penepungan beras dan sorghum
dengan cara kering dan cara basah adalah sebagai berikut:
1. Cara kering
a. Tepung beras
Pembersihan Bahan

Pengeringan I (Oven), KA 14 %

Penepungan Kasar
(menggunakan hammer mill)

Pengeringan II, KA 14 – 16 %

Pendinginan
(dengan cara diangin – anginkan)

Penepungan Halus

Pengayakan
(menggunakan pengayak bertingkat)

Tepung Beras
Gambar 3. Proses Penepungan Beras Cara Kering

Dari tabel tersebut diatas dapat dilihat bahwa bahan yang akan
ditepungkan yaitu beras, terlebih dahulu dibersihkan. Beras
dibersihkan dari benda asing yang masih menempel seperti batu
kecil, kotoran, kulit gabah yang belum terkelupas, dan lain-lain.
Setelah bahan dianggap bersih, tahap selanjutnya adalah
pengeringan tahap I hingga didapatkan kadar air beras sebesar
14%. Pengeringan dilakukan menggunakan mesin pengering yaitu
oven. Setelah beras mencapai kadar air yang diinginkan, dilakukan
penepungan (penggilingan) kasar dengan menggunakan penggiling
palu (hammer mill). Hasil tepung dari penggilingan kasar
dikeringkan dahulu (pengeringan tahap II) hingga mencapai kadar
air antara 14%-16%. Setelah bahan dikeringkan, tahapan
selanjutnya yaitu pendinginan bahan dengan cara diangin-anginkan
di udara tebuka. Setelah diangin-anginkan, dilakukan penggilingan
(penepungan halus) menggunakan alat penggilas. Untuk
mendapatkan hasil tepung beras yang optimal, dilakukan kegiatan
pengayakan tepung menggunakan ayakan bertingkat (ayakan
Tyler).

b. Tepung sorgum
Dalam proses pembuatan tepung sorgum dengan metode
kering, tahapan pertama yang harus dilakukan adalah pembersihan
bahan yang akan ditepungkan. Pembersihan bahan tersebut
mempunyai tujuan untuk memisahkan benda asing dari bahan yang
akan ditepungkan yaitu biji dan untuk menghilangkan bau tidak
sedap dari kotoran atau benda asing yang masih menempel. Setelah
bahan dianggap bersih, dilakukan conditioning selama 10 menit
hingga kadar ai rmencapai 14-15%. Tahapan selanjutnya adalah
pengeringan biji sorgum menggunakan oven hingga didapatkan
KA bahan sekitar 14-15%. Biji sorghum yang telah dikeringkan
hingga mencapai KA tertentu dapat dilakukan penyosohan untuk
memisahkan kulit ari dari butir biji sehingga menghasilkan biji
pecah kulit yang maksimum. Setelah didapatkan biji tersosoh,
dilakukan pengayakan tahap I menggunakan pengayak hembusan
udara. Pengayakan tersebut dilakukan untuk memisahkan kulit
yang masih tersisa pada biji yang telah disosoh,sehingga
didapatkan biji sorgum yang bersih. Tahapan selanjutnya yaitu
penepungan halus dengan menggunakan alat penggilas (hammer
mill) yang dilanjutkan dengan pengayakan tahap II menggunakan
ayakan bertingkat (ayakan tyler). Hasil ayakan tyler didapatkan
tepung sorgum yang siap dikonsumsi. Proses penepungan sorgum
cara kering dapat dilihat pada Gambar 4.

Pembersihan Bahan

Conditioning

(selama 10 menit, KA 14 – 15 %)

Pengeringan, KA 11- 12 %

Penyosohan

Pengayakan I
(menggunakan pengayak hembusan udara)

Penepungan Halus

Pengayakan II
(menggunakan pengayak bertingkat)

Tepung Sorgum

Gambar 4. Proses Penepungan Sorgum Cara Kering

2. Cara basah
a. Tepung beras
Proses pembuatan tepung beras dengan cara basah sama dengan
cara kering hanya berbeda dalam hal perlakuan perendaman di dalam
air selama 1 malam dan pencucian yang kerap kali dilakukan,
khususnya untuk pembuatan pati.
b. Tepung sorgum

Pembersihan Bahan

Perendaman

Penggilingan

Separator

Pencucian

Pengeringan
Suhu 40 -50°C

Penepungan

Sentrifuge

Gluten Tepung Pati

Gambar 5. Proses Penepungan Sorgum Cara Basah

Proses pembuatan tepung sorgum dengan cara basah dimulai


dengan pembersihan bahan menggunakan ayakan dan aspirator.
Pembersihan bahan dilakukan untuk memisahkan kotoran yang
masih menempel. Setelah proses pembersihan selesai, tahapan
selanjutnya yang dilakukan adalah perendaman dalam air hangat
dengan suhu 52°C yang dicampur dengan 0.2% larutan SO2 selama
12-24 jam. Setelah perendaman selama 1 hari 1 malam selesai,
dilakukan tahapan penggilingan menggunakan alat degeminator.
Separator digunakan sebagai alat pemisah bahan yang telah digiling
dengan kotoran yang ikut tergiling. Tahapan berikutnya adalah
proses pencucian yang dilanjutkan dengan proses pengeringan
dengan suhu 40-50°C. Dari pengeringan tersebut dihasilkan bubur
kasar kering. Bubur kasar kering tersebut ditepungkan
menggunakan alat penggilas yang diikuti oleh proses pemisahan
bagian yang menggunakan protein dan pati yang disebut sentrifuse.
Hasil akhir yang didapat dari proses penepungan sorgum dengan
cara basah adalah gluten dan tepung pati.

6. Pengemasan
Pengemasan merupakan salah satu cara untuk melindungi dan
memperpanjang umur produk yang dikemas. Pengemasan dideskripsikan
sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melindungi suatu produk
atau komoditas selama pengangkutan dari tempat produksi ke konsumen
akhir atau dari tahapan produksi satu ke tahapan produksi yang lain atau
selama pemasaran, sehingga produk atau komoditas berada dalam kondisi
baik dengan harga semurah mungkin.
Fungsi pengemasan menurut susunan lapisan pengemasan:
a.) Pengemasan primer yaitu pengemasan yang langsung mewadahi
atau membungkus produk yang dikemas
b.) Pengemasan sekunder, berfungsi untuk melindungi kelompok
kemasan lainnya
c.) Pengemasan tersier, berfungsi untuk melindungi produk selama
pengangkutan yang lebih dikenal sebagai kemasan distribusi.
Fungsi pengemasan menurut sifat mutu performa yaitu (1)
perlindungan terhadap produk, (2) pemasaran dan penjualan, (3) informasi
tentang produk yang dikemas, dan (4) transportasi dan distribusi.
Pengemasan pada tepung dilakukan untuk memperpanjang umur
penyimpanan tepung (tahan lama). Kriteria pengemasan yang dianjurkan
untuk tepung antara lain menggunakan plastik tipe PE karena
permeabilitas uap air dari plastik tersebut rendah.

7. Penyimpanan
Pada umumnya, bahan pangan hasil pertanian mengalami beberapa
tingkat penyimpanan, yaitu penyimpanan pada tingkat panen, tingkat
petani, tingkat pengumpul, tingkat penyalur, tingkat peralihan, tingkat
pengecer dan tingkat konsumen (Soesarsono,1977). Penyimpanan
mempunyai pengertian mempertahankan bahan agar tetap dalam keadaan
baik dalam jangka waktu tertentu. Kondisi penyimpanan yang baik untuk
biji sorghum hampir sama dengan penyimpanan pada biji jagung atau
gabah. Beras sorgum yang telah dimasukkan dalam karung goni atau tanpa
pengarungan perlu disimpan di dalam gudang yang memenuhi syarat–
syarat penggudangan. Syarat–syarat penggudangan anatara lain adalah
bebas dari serangan hama dan penyakit, suhu dan kelembapan yang
terawasi dan pengaliran udara yang teratur (Hadiwiyoto, dkk, 1980).
Menurut Mudjisihono, dkk (1987), faktor–faktor yang harus diperhatikan
dalam penyimpanan adalah: 1) suhu dan kelembaban relatif udara ruang
penyimpanan, 2) kadar air dari juwawut, dan 3) kebersihan juwawut dan
serangan hama dan penyakit. Faktor–faktor tersebut dapat dikontrol
dengan cara pengeringan biji, konstruksi biji, konstruksi gudang yang
baik, dan cara penyimpanan.
Selain ketiga faktor di atas, perlu diperhatikan juga sanitasi dan
pengelolaan secara praktis, yaitu:
a) Biji harus dikeringkan dan dibersihkan untuk menghindari
(mengurangi) pertumbuhan jamur, serangga, dan burung atau
serangan tikus.
b) Usahakan biji selalu kering dan dingin
c) Pilihlah biji–biji yang utuh untuk disimpan, sedang biji–biji yang
pecah perlu dipisahkan sebab biji–biji tersebut sangat peka
terhadap hama.
Selain itu bentuk, ukuran dan dinding gudang sangat berpengaruh terhadap
kondisi gudang dan ini merupakan kunci keberhasilan selama
penyimpanan.
Sebagai bahan konsumsi pangan, dalam bentuk biji kering berkadar
air ± 13%, sorgum hanya mempunyai daya simpan 2–3 bulan dan mudah
sekali terserang hama Calandra. Kerusakan tersebut dapat diatasi apabila
biji hasil panen setelah dikeringkan segera diproses untuk dijadikan beras
sorgum giling. Dalam bentuk beras sorgum giling, disamping dapat lebih
lama disimpan, produk tersebut dapat segera dikonsumsi menjadi bentuk
olahan sebagai bahan makanan (Mudjisihono, dkk, 1987).

C. MESIN PENEPUNG
Menurut Leniger dan Baverloo (1975) ada dua jenis alat penepung bila
dilihat dari keadaan bahan selama penepungan yaitu:
1) Penepungan tipe batch dimana selama penepungan bahan akan tetap ada
dalam bak dan baru dikeluarkan bila penepungan telah selesai.
2) Penepungan tipe terusan (continue) yaitu dimana selama penepungan akan
melewati penepungan selama sekali lintasan, dengan tipe alat ini hasil
gilingan akan mempunyai ukuran yang tidak merata, karena itu alat harus
diatur sedemikian rupa sehingga ukuran bahan sesuai yang diijinkan.
Ada beberapa tipe alat penepung menurut Leniger dan Baverloo
(1975) yaitu :
1) Penepung tipe palu (hammer mill)
2) Penepung tipe gigi vertikal
3) Penepung dengan pasak berputar
4) Penepung tipe piring (disk mill)
Perry dan Green (1984) dalam Sutanto (2006) membagi alat pengecil
ukuran bahan menjadi empat kelompok menurut gaya yang dikenakan
terhadap bahan tersebut yaitu :
1) Bila gaya yang bekerja diantara dua permukaan bahan yang disebut
penggerusan
2) Bila gaya yang bekerja pada satu permukaan bahan disebut proses
pemukulan
3) Bila gaya yang bekerja tidak pada permukaan bahan tetapi melalui aksi
medium sekeliling
4) Bila gaya yang bekerja bukan dengan energi mekanik tetapi dengan aksi
lain seperti kejutan panas dan elektrohidraulik.
Brennan, dkk (1990) membagi alat penepung berdasarkan gaya yang
bekerja terhadap bahan yaitu:
1) Penepung tipe palu (hammer mill)
Penepung tipe palu yaitu suatu alat penepung yang digunakan
untuk memperkecil dengan pukulan atau impak gigi penggiling.
Hammer mill terdiri dari palu/pemukul yang berputar pada porosnya.
Bahan yang akan digiling akan masuk ruang pemukulan melalui
corong pemasukan. Susunan palu yang terdapat pada porosnya akan
bergerak bolak–balik memberikan pukulan bahan. Menurut Sutanto
(2006), pengurangan ukuran bahan dapat diakibatkan karena 1)
pukulan/impak dari pemukul, 2) pemotongan oleh sisi pemukul, 3)
keausan (attrition) atau aksi gosokan (rubbing action). Penepung palu
digunakan untuk penepungan sedang dan halus. Pada Gambar 6
menunjukkan Penampang Mesin Penepung Tipe Palu (Hammer Mill).
Kecepatan putar penepung dan bentuk dari pemukul juga
mempengaruhi tepung yang dihasilkan (Kusmiarso, 1987). Kecepatan
putar dari pemukul penepung palu adalah antara 1500 sampai 4000
rpm (Brennan, dkk, 1990). Secara umum dibutuhkan tenaga sebesar
satu kilowatt (kW) untuk menggiling satu kilogram bahan permenit
pada penepungan sedang (Sutanto, 2006).
Hopper

Palu

Balok

Rotor

Saringan

Produk

Gambar 6. Penampang Mesin Penepung Tipe Palu (Hammer mill)

Menurut Brennan, dkk (1990), beberapa keuntungan dalam


menggunakan alat penepung tipe palu antara lain: 1) bentuk
konstruksinya yang sederhana, 2) dapat digunakan untuk menghasilkan
hasil giling dengan bermacam–macam ukuran, 3) tidak mudah rusak
dengan adanya benda asing dalam ruang penepung, dan 4) biaya
operasi dan pemeliharaan yang lebih murah bila dibandingkan dengan
penepung bergerigi. Beberapa kerugian dalam menggunakan
penggiling palu adalah: 1) kurang mampu untuk menghasilkan hasil
giling yang seragam, 2) kebutuhan tenaga yang lebih tinggi, dan 3)
biaya investasi awal yang lebih tinggi dibandingkan penggilingan
bergerigi.

2) Penepung tipe bergerigi


Menurut Brennan, dkk (1990) penggiling bergerigi biasanya
dikenal juga dengan nama attrition mill, plate mill atau disc mill.
Penggiling tersebut bekerja berdasarkan gaya tekanan gesekan antara
dua piringan satu piringan bergerak sedang piringan lain diam atau
bergerak berlawanan. Pada Gambar 7 menunjukkan gambar Attrition
Mill.

Hopper

Pisau
Penepung

Gambar 7. Attrition Mill

Menurut Brennan, dkk (1990), laju pemasukan yang berlebihan


akan memperkecil keefektifan dari alat dan akan menyebabkan panas
yang berlebihan.
Disc mill merupakan suatu alat penepung yang berfungsi untuk
menggiling bahan serelia menjadi tepung, namun lebih banyak
digunakan untuk menepungkan bahan yang sedikit mengandung serat
dan juga suatu alat penepung yang memperkecil bahan dengan tekanan
dan gesekan antara dua piringan yang satu berputar dan yang lainnya
tetap. Disc mill dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu single disc mill,
double disc mill, dan buhr mill. Pada single disc mill, bahan yang akan
dihancurkan dilewatkan diantara dua cakram. Cakram yang pertama
berputar dan yang lain tetap pada tempatnya. Efek penyobekan
didapatkan karena adanya pergerakan salah satu cakram, selain itu
bahan juga mengalami gesekan lekukan pada cakram dan dinding alat.
Jarak cakram dapat diatur, disesuaikan dengan ukuran bahan dan
produk yang diinginkan. Pada double disc mill, kedua cakram berputar
berlawanan arah sehingga akan didapatkan efek penyobekan terhadap
bahan yang jauh lebih besar dibandingkan single disc mill. Gambar 8
menunjukkan Single Disc Mill dan Double Disc Mill.

Piringan
Biji Biji
yang

berputar

Piringan yang diam

Produk Produk

Gambar 8. (a) Single Disc Mill, (b) Double Disc Mill

Bagian – bagian disc mill terdiri dari corong pemasukan, lubang


pemasukan, screen filter, disc penggiling dinamis, corong pengeluaran,
motor, pengunci, dan disc penggiling statis. Prinsip kerja disc mill
adalah berdasarkan gaya sobek dan gaya pukul. Bahan yang akan
dihancurkan berada diantara dinding penutup dan cakram berputar.
Bahan akan mengalami gaya gesek karena adanya lekukan–lekukan
pada cakram dan dinding alat. Gaya pukul terbentuk karena ada
logam–logam yang dipasang pada posisi yang bersesuaian.
Buhr mill merupakan tipe lama dari penggiling cakram. Penggiling
ini terdiri dari dua buah batu berbentuk lingkaran yang disusun
bertumpuk. Silinder batu bagian bawah akan berputar dan menyobek
bahan yang masuk dari atas. Buhr mill ini banyak digunakan dalam
penggilingan wadah seperti jagung dan kedelai (pembuatan kedelai).
Gambar 9 menunjukkan Buhr Mill.
Biji

Produk Produk

Gambar 9. Buhr Mill

Hasil gilingan dipengaruhi oleh kecepatan putar, kadar air biji,


jenis biji yang digiling, laju pemasukan bahan serta kondisi dan jenis
piringan penggiling. Umumnya kecepatan putar penepung bergerigi
adalah di bawah 1200 rpm (Brennan,dkk, 1990).
Laju pemasukan yang berlebihan akan memperkecil keefektifan
dari alat dan akan menyebabkan panas yang berlebihan. Sedangkan
menurut Sutanto (2006), tenaga yang diperlukan untuk menggiling
akan berkurang bila kecepatan penepungan bertambah.
Beberapa keuntungan bila menggunakan penggiling tipe buhr mill
adalah: 1) biaya pemasangan awal yang rendah, 2) hasil gilingan yang
relatif seragam, 3) tenaga yang dibutuhkan lebih rendah bila
dibandingkan dengan penggiling palu, dan 4) lebih dapat
menyesuaikan diri dengan gerusan kasar daripada penggiling palu.
Beberapa kerugian dalam menggunakan penggiling bergerigi adalah:
1) adanya benda – benda asing didalam bahan yang digiling dapat
menyebabkan kerusakan pada alat, dan 2) bila piringan beroperasi
tanpa bahan yang digiling maka akan mempercepat kerusakan
piringan.

3) Penepung tipe silinder


Menurut Henderson dan Perry (1976), ukuran penepung silinder
didasarkan pada ukuran diameter dan panjang silinder. Sebelum
pemasukan bahan yang akan digiling, silinder harus dalam keadaan
berputar dengan kecepatan tertentu, bila tidak maka akan terjadi slip
pada belt atau motor menjadi mati.
mati. Prinsip kerja dari alat ini adalah
penggilasan bahan diantara celah–celah
c celah silinder. Gambar 10
menunjukkan Mesin Penepung Tipe Silinder (Roller Mill).

Biji

Jarak ruang
penyetelan

Produk

Gambar 10.
10 Mesin Penepung Tipe Silinder (Roller
Roller Mill
Mill)

Celah antara silinder dapat diatur jaraknya untuk memperoleh


derajat kehalusan yang diinginkan, bila jarak antara silinder terlalu
dekat maka tenaga yang diperlukan akan menjadi lebih besar, kapasitas
penepungan berkurang serta debu banyak terjadi. Pada beberapa jenis
satu silinder berputar lebih cepat dibandingkan dengan yang lain untuk
mendapatkan aksi gilingan yang lebih ringan ketika bahan melalui
celah silinder bergerigi sejajar dengan as silinder. Kebutuhan tenaga
penggiling silinder tergantung kepada
kepada bentuk dan kuantitas biji yang
digiling, derajat kehalusan yang diinginkan, kadar air bahan, laju
pengumpanan, kecepatan operasi, tenaga yang tersedia serta kondisi
dari silinder. Tipe dengan kecepatan putar silinder satu yang dua atau
tiga kali dari silinder
silinder lain sudah banyak digunakan untuk industri
tepung. Tahap akhir pembuatan tepung dipergunakan silinder halus
dengan kecepatan silinder 25% lebih cepat dari silinder yang lain
(Henderson dan Perry, 1976).
1976
4) Penepung tipe pisau (cutter mill)
Menurut Brennan, dkk (1990), penepung tipe pisau terutama
digunakan untuk bahan yang liat atau berserat, dimana aksi
pengguntingan lebih efektif dibandingkan dengan tekanan maupun
pukulan/impak. Laju pemasukan bahan pada ruang pemotong
hendaknya tidak melebihi panjang dari pisau pemotong dengan
ketebalan bahan pengumpan tidak lebih dari satu inchi. Bentuk umum
dari alat penggiling ini adalah rotor dengan pisau pemotong berputar
pada ruang pemotongan dan memotong bahan dengan bantuan pisau
tetap pada keliling luar bahan yang digiling akan keluar melalui
saringan dengan ukuran maksimum tergantung pada jenis saringan
yang digunakan.
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

1. Waktu
Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan November 2007 sampai Januari
2008. Kegiatan penelitian meliputi pendahuluan, penelitian utama,
pengolahan data dan pembuatan laporan.
2. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di bengkel Jurusan Teknik Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Leuwikopo, Darmaga, Bogor

B. BAHAN
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Biji juwawut (Setaria italica (L.) P. Beauvois) sebanyak 24 kg butir biji
tersosoh.
2. Pulley ukuran 3”,6”,10”, dan 12” tipe A
3. Saringan 80 mesh dan 100 mesh

C. ALAT DAN MESIN


Alat dan mesin yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Mesin penyosoh sorghum
Mesin penyosoh sorghum digunakan untuk menyosoh biji juwawut,
sehingga diperoleh biji sosoh juwawut yang siap digiling.
2. Mesin penepung (penggiling) tipe disc
Mesin penepung digunakan untuk menggiling juwawut menjadi
tepung.
3. Timbangan digital
Timbangan digital digunakan untuk menimbang berat biji juwawut
yang akan digiling dan menimbang hasil tepung yang di dapatkan dari
proses penggilingan.
4. Stop watch
Stop watch digunakan untuk mengukur lamanya proses penepungan.
5. Tachometer
Tachometer digunakan untuk mengukur kecepatan putar puli pada
roller penggiling pada saat mesin bekerja tanpa beban dan dengan beban.
6. Fasilitas bengkel
Fasilitas bengkel digunakan dalam pengoperasian mesin penepung.
Fasilitas bengkel yang digunakan adalah mesin bubut, tang penjepit, obeng,
palu, test pan, amplas,dan peralatan lainnya.
7. Clampmeter
Clampmeter digunakan untuk mengukur arus listrik yang masuk ke
motor ketika mesin dalam kondisi tanpa beban penggilingan maupun dengan
beban.
8. Toples
Digunakan sebagai wadah tempat penyimpanan tepung juwawut.
9. Jangka sorong
Jangka sorong digunakan untuk mengukur dimensi biji juwawut.
Untuk mengetahui volume biji juwawut pada pengukuran massa jenis biji
juwawut maka digunakan teko ukur 1000ml.

10. Komputer dan Alat tulis


Komputer dan alat tulis digunakan untuk pencatatan dan pengolahan
data.

D. METODOLOGI
Uji performansi dilakukan pada mesin penepung tipe disc (disc mill)
dengan menggunakan bahan baku berupa biji juwawut yang telah disosoh.
Kegiatan yang dilakukan meliputi pengambilan data untuk mengetahui
kapasitas penepungan, rendemen penepungan, susut tercecer mesin penepung,
efisiensi kerja dari mesin penepung, dan kebutuhan daya untuk
mengoperasikan mesin penepung tipe disc (disc mill) serta kualitas tepung yang
didapat dari proses penepungan.
Proses penepungan dilakukan pada kondisi rpm yang berbeda-beda
yaitu 1425 rpm, 2850 rpm, 4750 rpm dan 5700 rpm dengan perbandingan
ukuran puli sebagai indikator peningkatan rpm. Ukuran puli yang digunakan
pada motor penggerak (puli II) adalah 3 inchi, 6 inchi, 10 inchi dan 12 inchi,
sedangkan ukuran puli pada mesin (puli I) tetap yaitu puli ukuran 3 inchi.
Berat bahan yang ditepungkan adalah 1000 gram (1 kg). Ukuran mesh yang
digunakan yaitu mesh 80 dan mesh 100.
1. Pengukuran Kadar Air Biji Juwawut
Kegiatan yang dilakukan sebelum melakukan uji performansi
mesin penepung tipe disc (disc mill) adalah menyosoh biji juwawut
dengan menggunakan mesin penyosoh sorgum. Namun, sebelum disosoh,
terlebih dahulu mengukur kadar air yang terkandung di dalam juwawut.
Hal tersebut juga dilakukan apabila biji sosoh juwawut telah didapat.
Sehingga, data yang diperoleh adalah data kadar air juwawut sebelum
disosoh dan data kadar air juwawut setelah disosoh. Kadar air yang
terkandung di dalam juwawut mempengaruhi proses penepungan (hasil
tepung yang didapat).
Analisis kadar air menggunakan metode oven (AOAC, 1995)
dilakukan dengan tahapan yaitu cawan alumunium dikeringkan dalam
oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit,
kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang lebih 5 gram) dimasukkan
ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya
dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105°C selama kurang lebih 6 jam atau
sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.0003 g).
Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator dan
ditimbang. Kadar air bahan diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
Wa – Wb
Kadar air (% bb) = x 100%...............................................(3)
Wa

Keterangan :
Ka = kadar air
Wa = berat awal sampel (gram)
Wb = berat akhir akhir (gram)
2. Uji Performansi
Berbeda halnya dengan gabah, biji juwawut langsung mengalami
tahap penyosohan yang sekaligus juga berfungsi sebagai alat pengupas,
sedangkan beras melalui tahap pengupasan terlebih dahulu yang terpisah
dengan tahap penyosohan. Hal ini dikarenakan biji juwawut tidak
mempunyai sekam seperti gabah, sehingga dalam pembuatan tepung
juwawut, biji juwawut langsung dikupas dan disosoh dalam mesin
penyosoh yang sama. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan
penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan pengering buatan.
Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.

Biji juwawut

Analisis kadar air biji juwawut sebelum penyosohan

Penyosohan dengan mesin penyosoh sorgum

Biji juwawut tersosoh

Analisis kadar air biji juwawut setelah penyosohan

Uji performansi mesin disc mill

Tepung juwawut

Gambar 11. Tahapan Penelitian

Pada analisis data, parameter yang digunakan sebagai acuan dalam


penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Kapasitas Penepungan
Kapasitas penepungan dihitung untuk mengetahui kemampuan
mesin untuk menggiling biji juwawut hingga menjadi tepung pada
keadaan rpm yang berbeda. Kapasitas penepungan merupakan nilai
kapasitas yang diperoleh sampai biji benar–benar menjadi tepung yang
halus. Rumus kapasitas penepung diperoleh dengan rumus:

........................................................... 4)

Keterangan:
Kpt = kapasitas mesin penepung (kg/jam)
Wpk = berat bahan (kg)
t = waktu penepungan (detik)
b) Rendemen Penepungan
Rendemen mesin penepung dapat diperoleh dari rumus:

.............................................................. 5)

Keterangan:
ηt = rendemen mesin penepung (%)
Wt = berat tepung hasil penepungan atau output (kg)
Wpk = berat bahan yang ditepungkan atau input (kg)

Rendemen mesin penepung didapat dari pembagian output atau


berat tepung hasil penepungan dengan berat bahan atau input sebesar 1
(satu) kg.

c) Susut Tercecer Mesin Penepung


Susut tercecer mesin penepung pada proses penepungan dapat
diperoleh dari rumus di bawah ini :

..........................................................6)

Keterangan:
Stp = Susut tercecer mesin penepung (%)
WtTc = Berat biji juwawut tercecer (gram)
WtTs = Berat biji juwawut yang ditepungkan atau input (gram)
d) Kualitas Penepungan
Menurut Henderson dan Perry (1976), ukuran bahan berdasarkan
modulus kehalusan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

D = 0.0041 x 2FM ...................................................................................7)

Keterangan:
D = Ukuran rata – rata partikel bahan (inchi)
FM = Modulus kehalusan (tanpa satuan)

Modulus Kehalusan (FM) pada Lampiran 6, dapat dihitung dengan


menggunakan rumus:

FM = Σ (mi x fi) .................................................................................. 8)


Σ mi

Keterangan:
mi = persentase bahan tertinggal pada ayakan mesh ke-i
mt = faktor pengali pada ayakan mesh ke-i

Untuk mengetahui kualitas penepungan, diperlukan test pengayakan


yang menggunakan 7 (tujuh) macam ukuran ayakan yaitu 3/8, 4, 8, 14,
28, 48, 100 mesh dan baki pada tingkat terbawah. Menurut Henderson
dan Perry (1976), bahwa dalam penentuan mutu hasil giling digunakan
dua macam kriteria, yaitu:
1) Derajat kehalusan adalah bilangan yang mewakili ukuran rata-rata
partikel bahan hasil penepungan. Derajat kehalusan dihitung
berdasarkan jumlah fraksi bahan yang tertinggal pada setiap ayakan
Tyler dibagi dengan 100.
2) Indeks keseragaman adalah perbandingan angka yang menyatakan
fraksi-fraksi kasar, sedang, halus dari partikel bahan hasil
penepungan. Untuk penentuan indeks keseragaman, bahan hasil
penepungan dibagi menjadi tiga kategori yaitu kasar, sedang dan
halus. Yang termasuk kategori kasar adalah jumlah fraksi berat yang
tertahan pada tiga ayakan pertama dari satu set ayakan Tyler, yaitu
pada 3/8, 4, dan 8 mesh, sedangkan jumlah fraksi berat yang tertahan
pada 2 ayakan berikutnya, yaitu 14 dan 28 mesh termasuk dalam
kategori sedang. Jumlah fraksi berat pada ayakan selanjutnya, yaitu
48, 100 mesh dan baki digolongkan dalam kategori halus.
Perbandingan ketiga kategori bahan tersebut merupakan indeks
keseragaman.

e) Kebutuhan daya motor listrik


Analisis data yang dilakukan adalah penentuan kebutuhan daya
berdasarkan penghitungan nilai tegangan dan arus (persamaan 9) yang
diukur pada motor listrik. Pengukuran dilakukan pada 2 (dua) kondisi
yaitu tanpa beban (semua puli telah dihubungkan, proses penepungan
belum dilakukan) dan kondisi saat diberi beban (saat proses
penepungan dilakukan). Rumus yang digunakan yaitu:

Pml = V x (Ib – Io) ................................................................................. (9)

Keterangan:
Pml = daya motor listrik (Watt)
V = tegangan listrik pada saat diukur (volt)
Ib = arus pada motor listrik saat bekerja dan dikenai beban (A)
Io = arus pada motor listrik saat bekerja tanpa dikenai beban (A)

f) Efisiensi tenaga motor listrik


Efisiensi tenaga motor listrik adalah perbandingan antara daya
terpakai mesin penepung (kondisi dengan beban, Pml) terhadap suplay
daya motor listrik (Ps). Rumus yang digunakan adalah:

Et = [Pml/Ps]* 100% ............................................................................(10)

Keterangan:
Et = Nilai efisiensi tenaga motor listrik (%)
Pml = Daya terpakai mesin penepung (kondisi dengan beban), Watt
Ps = Suplay daya motor listrik (Watt)
IV. MESIN PENEPUNG TIPE DISC (DISC MILL)

A. PRINSIP KERJA MESIN


Proses penepungan biji juwawut terjadi didalam rumah
penepungan yang di dalamnya terdapat pisau penepung yang berbentuk
balok pejal yang berputar dan balok pejal statis (diam). Kombinasi antara
pisau penepung berbentuk balok pejal yang berputar dan balok pejal statis
menghasilkan tumbukan dan tekanan pada biji juwawut. Pisau penepung
berbentuk balok yang berputar berfungsi untuk menumbuk biji juwawut,
sedangkan pisau balok yang diam berfunsi untuk menekan biji juwawut
sehingga biji juwawut dapat menjadi tepung yang berkualitas baik (halus).
Gambar mesin penepung dapat dilihat pada Gambar 12.

Hopper

Rumah Lubang
Penepungan Pengeluaran

Rangka
Penyangga

Gambar 12. Mesin Penepung tipe disc (disc mill)

Penggiling pisau digunakan untuk bahan yang liat atau berserat,


dimana aksi pengguntingan lebih efektif dibandingkan dengan tekanan
maupun pukulan atau impak. Laju pemasukan bahan pada ruang pemotong
hendaknya tidak melebihi panjang dari pisau pemotong dengan ketebalan
bahan pengumpan tidak lebih dari 1 inchi. Bentuk umum dari alat
penggiling ini adalah rotor dengan pisau pemotong berputar pada ruang
pemotongan dan memotong bahan dengan bantuan pisau tetap pada
keliling luar bahan yang digiling akan keluar saringan dengan ukuran
maksimum tergantung pada jenis saringan yang digunakan.
Setelah terjadi penepungan di dalam rumah penepungan, tepung
akan dilanjutkan menuju lubang pengeluaran mesin penepung. Tepung
akan ditampung pada wadah mesin penepung yang berupa karung.

B. MEKANISME KERJA MESIN


Mekanisme kerja mesin penepung tipe disc yang digunakan untuk
penepungan juwawut dapat dilihat pada Gambar 13.

Hopper

Rumah Penepungan
(Proses Penepungan Berlangsung)

Lubang Pengeluaran Tepung


(Output)

Gambar 13. Mekanisme Kerja Mesin Tipe Disc

Biji juwawut dari hopper akan turun melewati lubang pemasukan


dan langsung ditumbuk oleh pisau penepung yang berbentuk balok dan
berputar yang dikombinasikan dengan pisau penepung statis, yaitu
sepanjang satu putaran pisau penepung yang berputar satu lingkaran
penuh. Pisau penepung yang menumbuk biji juwawut yang akan
ditepungkan dengan kecepatan putar yang tinggi maka akan didapatkan
kualitas tepung yang halus.
Biji yang telah menjadi tepung akan turun ke bawah karena
terdorong oleh pisau untuk keluar dari rumah penepung melalui saringan,
lalu disalurkan ke lubang pengeluaran. Partikel yang lebih kecil atau sama
ukuran partikelnya dengan ukuran mesh saringan maka partikel tepung
akan disalurkan ke lubang pengeluaran mesin penepung.
Perputaran pisau penepung diatur dengan motor listrik yang di
hubungkan oleh puli dan sabuk. Cara pengisian biji juwawut ke dalam
hopper dilakukan secara manual, begitu pula biji yang telah menjadi
tepung ditampung dan diambil dari tempatnya secara manual.
Kapasitas penepungan yang optimum tercapai apabila biji yang
menjadi tepung dengan kualitas halus yang dihasilkan banyak atau yang
tidak halus seminim mungkin. Kapasitas tinggi juga diperoleh apabila
jumlah biji yang dapat ditepungkan persatuan waktu sebesar mungkin.
Kapasitas mesin penepung yang dihasilkan tergantung dari kecepatan
mengumpan serta tenaga yang tersedia untuk penepungan. Mesin
penepung tersebut dioperasikan oleh 1 (satu) orang operator.

C. KONSTRUKSI MESIN
1. Desain fungsional
Disain fungsional merupakan rancangan atau disain berdasarkan
fungsi atau kegunaan dari tiap bagian yang terdapat pada mesin
tersebut. Bagian – bagian dari mesin penepung tipe disc antara lain
adalah:
1. Hopper
Hopper berfungsi sebagai tempat penampung biji hotong
yang dilengkapi dengan lubang pemasukan untuk mengatur jumlah
biji yang akan masuk ke rumah penepungan.
2. Rumah penepung
Rumah penepung digunakan untuk menopang hopper, pisau
penepung dan saringan serta penutup pisau penepung. Bagian –
bagian dari rumah penepung adalah:
a. Pisau penepung
Pisau penepung berfungsi sebagai unit penepung biji
juwawut yang berputar bertumbukan dengan pisau penepung
yang lain dan pisau yang lain tersebut diam. Gambar pisau
penepung dapat dilihat pada Gambar 14.

Pisau Penepung

Gambar 14. Pisau Penepung

b. Penutup pisau penepung


Penutup pisau penepung berfungsi untuk menutup pisau
penepung dan sebagai penepung yang dikombinasikan dengan
pisau penepung yang berputar. Di dalam penutup pisau
penepung ini terdapat bagian pisau penepung statis. Gambar
penutup pisau penepung dapat dilihat pada Gambar 15.

Pisau Penepung Statis

Gambar 15. Penutup Pisau Penepung


c. Saringan
Saringan berfungsi sebagai penentu ukuran partikel tepung
yang diinginkan sehingga diperoleh hasil tepung yang halus
sesuai ukuran meshnya. Saringan ini berbentuk lingkaran yang
ukurannya disesuaikan dengan lingkaran rumah penepung.
Gambar saringan dapat dilihat pada Gambar 16.

Mesh (saringan)

Gambar 16. Saringan

3. Sistem transmisi dan dudukannya


Sistem transmisi dan dudukan mesin penepung biji juwawut
terdiri dari:
a. Poros
Poros berfungsi untuk meneruskan putaran dari poros motor
listrik ke poros roller penepung dan sebagai tempat memasang
puli.
b. Puli
Puli berfungsi untuk dudukan sabuk, selain itu diameter
puli yang berbeda dapat memperbesar atau memperkecil
kecepatan putaran mesin. Gambar puli dapat dilihat pada
Gambar 17.
Gambar 17. (a) Puli 3”, (b) Puli 6”, (c) Puli 10”, (d) Puli 12”

c. Sabuk V-belt
Sabuk V-belt berfungsi untuk menyalurkan putaran dari
puli pada motor listrik ke puli pada poros pisau penepung.
Panjangnya disesuaikan dengan jarak antar puli yang
digunakan. Sabuk yang dipakai adalah tipe A karena mudah
didapatkan dipasaran dan disesuaikan dengan tipe puli yang
digunakan.
d. Penutup sabuk V-belt dan puli
Penutup sabuk V-belt berufngsi untuk menutup sabuk V-
belt dan puli berfungsi sebagai pelindung.
e. Rangka dudukan bearing
Rangka dudukan bearing berfungsi sebagai dudukan
bearing
f. Bearing
Bearing berfungsi sebagai dudukan poros atau as. Ukuran
bearing yang dipakai sesuai dengan ukuran diameter as yang
digunakan.
4. Saluran pengeluaran tepung hasil penepungan
Saluran ini terletak di bawah rumah penepungan dan
berfungsi sebagai saluran pengeluaran tepung yang dihasilkan dari
proses penepungan yang ada di rumah penepung.
5. Motor penggerak
Motor penggerak dari mesin penepung tipe disc adalah
motor listrik yang berfungsi untuk menghasilkan putaran sebagai
sumber tenaga. Motor listrik dipilih sebagai sumber tenaga
penggerak karena memiliki beberapa kelebihan dibanding tenaga
penggerak yang lainnya. Kelebihan menggunakan motor listrik
diantaranya, 1) perawatan yang lebih mudah dan lebih murah, 2)
getarannya halus, 3) tidak menimbulkan suara bising, 4) tidak
menimbulkan polusi di daerah sekitarnya, 5) konstuksi yang
kompak dan sederhana.
6. Rangka penyangga
Rangka penyangga berfungsi sebagai dudukan rumah
penepung dan hopper, motor listrik, dan saluran pengeluaran
tepung.

2. Desain struktural
Mesin penepung hotong terdiri atas enam bagian utama yaitu
hopper, rumah penepung, sistem transmisi dan dudukannya, saluran
pengeluaran tepung, motor listrik dan rangka penyangga.
1. Hopper
Hopper merupakan penampung biji yang terbuat dari plat
besi dengan bentuk limas terbalik yang terpotong di bagian bawah.
Ukuran hopper ini adalah 27 cm x 20 cm x 21 cm. Hopper ini
menempel pada penutup rumah penepung berbentuk huruf U
terbalik dan memiliki ukuran.

2. Rumah penepung
Rumah penepung terdiri dari pisau penepung baik yang
berputar maupun statis dan terdapat saringan dengan ukuran 14
mesh. Pisau penepung yang berputar terdiri dari pisau balok
sebanyak 4 (empat) buah dengan ukuran 3 cm x 2 cm x 2 cm dan
pisau silinder sebanyak 8 (delapan) buah dengan diameter 1.5 cm
dan panjangnya 2.5 cm. Pisau statis terdiri dari pisau balok
sebanyak 24 buah dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 1.5 cm.

3. Sistem transmisi dan dudukannya


Sistem transmisi terdiri dari 1 (satu) buah poros yang
ditempatkan pada roller penepung. Penghubung antara puli adalah
sabuk V-belt tipe A. Pada sistem transmisi dibuat juga penutup
sabuk dan puli yang terbuat dari plat.

4. Saluran pengeluaran tepung hasil penepungan


Saluran ini berada di bawah rumah penepung yang
dihubungkan dengan 4 (empat) buah baut ukuran 8 mm yang
dibuat ke rangka penyangga. Bagian ini terbuat dari besi plat dan
mempunyai bentuk balok ukuan 15 cm x 6 cm.

5. Motor penggerak
Motor penggerak mesin penepung hotong adalah motor
listrik yang menggunakan arus AC 3 (tiga) fasa dengan daya 2.2
kW. Sedangkan tegangan yang digunakan 380 V dan mempunyai
kecepatan putar sebesar 1425 rpm.
6. Rangka penyangga
Rangka penyangga merupakan meja persegi panjang yang
terbuat dari besi plat dengan ukuran 37 cm x 13.5 cm dan tinggi
kaki 29 cm (posisi kaki miring) di atas meja besi plat diletakkan
motor penggerak dan saluran pengeluaran tepung.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengukuran Kadar Air Biji Juwawut


Kadar air biji juwawut sebelum penyosohan diukur dengan analisa
kadar air metode oven (AOAC, 1995) pada suhu 105 oC sampai berat
konstan. Dari pengukuran tersebut diketahui bahwa kadar air awal biji
juwawut adalah sebesar 12.03% (bb). Pengukuran kadar air dapat dilihat
pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengukuran Kadar Air Biji Juwawut Sebelum Penyosohan dengan


Metode Oven

Kadar Air Sebelum Penyosohan


Kriteria
Sample 1 Sample 2 Sample 3 rata-rata

Bo (g) 10.00 10.00 10.00 10.00

Btaw (g) 8.81 8.80 8.78 8.80

∆B (g) 1.19 1.20 1.22 1.20

KAbb (%) 11.90 12.00 12.20 12.03

KAbk (%) 13.51 13.64 13.90 13.68

Pengukuran kadar air tidak hanya dilakukan pada saat biji juwawut
sebelum dan sesudah disosoh yaitu 14.38% (bb), namun pengukuran kadar
air juga dilakukan pada saat tepung juwawut telah diperoleh. Pengukuran
tepung juwawut menggunakan analisa metode oven (AOAC, 1995) pada
suhu 105 oC sampai berat konstan. Dari pengukuran tersebut dapat
diketahui bahwa kadar air tepung juwawut tiap perlakuan berbeda-beda
yaitu berada kisaran angka 5-7% (bb). Pengukuran kadar air tepung
juwawut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengukuran Kadar Air Tepung Juwawut
W
W cawan W sampel W cawan + Hasil Rata-
sample cawan+sampel
(gr) (gr) sample (gr) (%) rata (%)
kering (gr)
mesh 1 4.7000 4.0749 8.7749 8.5335 5.92
5.95
rpm 80 2 4.6474 3.9635 8.6109 8.3737 5.98
1425 mesh 1 4.6523 3.6706 8.3229 8.1155 5.65
5.56
100 2 4.4036 3.3289 7.7325 7.5502 5.48
mesh 1 5.2375 4.6060 9.8435 9.5766 5.79
6.31
rpm 80 2 4.6392 4.3844 9.0236 8.7240 6.83
2850 mesh 1 4.0900 5.1308 9.2208 8.9200 5.86
5.85
100 2 5.9934 3.1702 9.1636 8.9787 5.83
mesh 1 4.9176 3.8464 8.7640 8.4985 6.90
6.85
rpm 80 2 4.1272 3.7542 7.8814 7.6264 6.79
4750 mesh 1 4.8369 3.3364 8.1733 7.9472 6.78
6.79
100 2 4.8020 3.5201 8.3221 8.0829 6.80
mesh 1 5.1616 4.1946 9.3562 9.0722 6.77
6.80
rpm 80 2 4.5895 4.3481 8.9376 8.6408 6.83
5700 mesh 1 5.0217 4.5530 9.5747 9.2407 7.34
7.36
100 2 4.7470 5.3773 10.1243 9.7276 7.38

2. Uji Performansi Mesin Penepung Tipe Disc (Disc Mill)

Uji performansi dilakukan pada mesin penepung tipe disc (disc mill)
dengan menggunakan bahan baku berupa biji juwawut yang telah disosoh.
Kegiatan yang dilakukan meliputi pengambilan data untuk mengetahui
kapasitas penepungan, rendemen penepungan, susut tercecer penepungan,
efisiensi kerja motor listrik, kebutuhan daya untuk mengoperasikan mesin
penepung tipe disc (disc mill) serta kualitas tepung yang didapat dari proses
penepungan. Data hasil pengujian performansi dari mesin penepung tipe disc
(disc mill) dapat dilihat pada tabel 4. Dari tabel 4 ditunjukkan bahwa terjadinya
peningkatan rpm dengan pengubahan pada diameter puli II (diameter pada
motor penggerak) dan penggunaan mesh yang berbeda (mesh 80 dan mesh
100) berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas mesin penepung.
Tabel 4. Data Hasil Pengujian Performansi dari Mesin Penepung Tipe Disc

RPM 1425 RPM 2850 RPM 4750 RPM 5700


Kriteria mesh mesh mesh mesh mesh mesh mesh mesh
80 100 80 100 80 100 80 100
Kapasitas
penepungan 2.41 1.59 6.02 4.85 10.43 8.35 20.43 15.93
(kg/jam)
Rendemen
18.47 17.23 54.37 22.33 83.07 78.93 91.6 81.7
penepungan (%)
Susut tercecer
mesin penepung 7.6 9.7 5.43 5.67 2.53 3.63 1.77 2.03
(%)
Daya (watt) 279 291 291 329 304 342 519 532

Efisiensi motor 0.11 0.12 0.11 0.13 0.12 0.14 0.20 0.21
listrik (%)

a) Kapasitas penepungan
Kapasitas produksi mesin penepung dihitung untuk mengetahui
kemampuan mesin untuk menggiling biji juwawut hingga menjadi tepung
pada keadaan rpm yang berbeda dan pada panggunaan mesh yang berbeda
pula. Kapasitas mesin penepung merupakan nilai kapasitas yang diperoleh
sampai biji juwawut menjadi tepung. Analisa sidik ragam (Lampiran 7)
menunjukkan bahwa perlakuan rpm, perlakuan kapasitas produksi mesin
penepung dan interaksi rpm dengan kapasitas produksi mesin penepung
berpengaruh nyata. Menurut uji lanjut Duncan (Lampiran 7) perlakuan rpm
1425, rpm 2850, rpm 4750, dan rpm 5700 berbeda nyata terhadap kapasitas
penepungan.
25

KAPASITAS PRODUKSIMESIN
20

PENEPUNG (KG/JAM)
15

Mesh 80
10
Mesh 100
5

0
1425 2850 4750 5700

RPM

Gambar 18. Hubungan Kapasitas Penepungan Pada Berbagai RPM

Tabel 4 menunjukkan bahwa hubungan antara peningkatan rpm


dengan kapasitas penepungan adalah semakin tinggi rpm yang digunakan
pada motor penggerak, semakin
semaki tinggi pula kapasitas penepungan yang
didapat. Hal tersebut juga terjadi juga pada penggunaan mesh 80 dan mesh
100 untuk menentukan besarnya kkapasitas penepungna.. Kapasitas
penepungan terendah didapat apabila menggunakan rpm 1425
menggunakan saringan mesh 80 sebanyak 2.41 kg/jam,
m, sedangkan apabila
menggunakan saringan mesh 100, kapasitas penepungan yang didapat
adalah sebesar 1.59 kg/jam. Kapasitas penepungan tertinggi didapat apabila
menggunakan rpm 5700 dengan hasil apabila menggunakan saringan mesh
80 sebanyak 20.43 kg/jam, sedangkan
s apabila menggunakan saringan mesh
100 kapasitas penepungan yang didapat sebanyak 15.93 kg/jam. Kapasitas
penepungan berturut-turut
berturut turut pada rpm 2850 dan rpm 4750 menggunakan
saringan mesh 80 adalah 6.02 kg/jam dan 10.43 kg/jam dan apabila
menggunakan saringan mesh 100, hasil yang didapat berturut-turut
turut adalah
4.85 kg/jam dan 8.35 kg/jam.
Semakin besar ukuran puli yang digunakan pada motor penggerak,
semakin cepat motor penggerak berputar serta semakin cepat pula pisau
penumbuk yang berada di dalam rumah penepungan berputar untuk
menghancurkan biji juwawut sehingga kapasitas mesin penepungan yang
diperoleh semakin besar. Begitu pula dengan penggunaan saringan mesh.
Kapasitas mesin penepungan yang dihasilkan apabila menggunakan
saringan mesh 80 lebih besar dibandingkan menggunakan saringan mesh
100. Hal tersebut dikarenakan jumlah lubang dalam 1 inchi pada mesh 80
lebih renggang dibandingkan pada mesh 100. Hubungan antara peningkatan
rpm dengan kapasitas penepungan dapat dilihat pada Gambar 18.
Pengukuran kapasitas penepungab dapat dilihat pada Lampiran 1.

b) Rendemen Penepungan
Rendemen menunjukkan persen hasil, yaitu perbandingan berat akhir
(output) dan berat awal (input) penepungan dikalikan dengan 100.
Rendemen tersebut menunjukkan pula persen tepung yang hilang selama
proses penepungan. Analisa sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa
perlakuan perbedaan rpm kecepatan motor penggerak, perlakuan mesh dan
interaksi rpm dengan mesh berpengaruh nyata terhadap rendemen
penepungan. Menurut uji lanjut Duncan (Lampiran 8) perlakuan pada rpm
1425, rpm 2850, rpm 4750, dan rpm 5700 berbeda nyata terhadap
rendemen mesin penepung.
Tabel 4 menunjukkan bahwa hubungan antara peningkatan rpm
dengan rendemen penepungan adalah dengan penambahan rpm
mempengaruhi besarnya hasil rendemen penepungan yang dihasilkan oleh
mesin penepung. Hal tersebut juga terjadi pada penggunaan saringan mesh
mesh 80 dan saringan mesh 100.
RENDEMEN MESIN PENEPUNG (%)
100
90
80
70
60
50
mesh 80
40
30 mesh 100
20
10
0
1425 2850 4750 5700

RPM

Gambar 19. Rendemen Penepungan Pada Beberapa RPM

Dilihat dari Gambar 18 bahwa hasil rendemen penepungan


penepun yang
didapat apabila menggunakan saringan mesh 80 lebih besar dibandingkan
bila menggunakan saringan mesh 100. Rendemen penepungan dipengaruhi
oleh hasil tepung yang didapat
didap setiap kali melakukan penepungan.
ngan. Semakin
banyak hasil tepung (output) yang dihasilkan
dihasilkan dari setiap penggilingan,
maka rendemen penepungan
penepung semakin besar. Rendemen penepungan
penepung apabila
menggiling menggunakan saringan mesh 80 pada rpm rendah yaitu rpm
1425 adalah 18.47%. Apabila menggunakan rpm 2850, rpm 4750 dan rpm
5700, hasil rendemen mesin penepung berturut-turut
turut adalah 54.37%,
83.07% dan 91.6%. Sedangkan rendemen mesin penepung apabila
menggiling biji juwawut menggunakan saringan mesh 100 pada rpm rendah
yaitu 1425 adalah 17.23%. Rendemen mesin penepung menggunakan rpm
yang tinggi yaitu
itu rpm 5700 pada mesh 100 sebesar 81.7%.
81.7%. Pengukuran
rendemen mesin penepung
penepu dapat dilihat pada Lampiran 1.

c) Susut Tercecer Mesin Penepung


Susut tercecer mesin penepung diperoleh dengan cara membagi berat
biji dan tepung juwawut yang tercecer pada saat penepungan
epungan dengan total
berat biji juwawut yang ditepungkan (input) kemudian dikali dengan 100
%. Susut tercecer ini diperoleh dengan cara mengambil bi
biji
ji dan tepung
yang tercecer saat penepungan berlangsung dan biji serta tepung yang tidak
tertampung
rtampung pada te
tempat penampung. Analisa
nalisa sidik ragam (Lampiran 9)
9
menunjukkan bahwa perlakuan rpm,
rpm perlakuan mesh dan interaksi rpm
dengan mesh terhadap susut tercecer mesin penepung berpengaruh
engaruh nyata.
Menurut
ut uji lanjut Duncan (Lampiran 9)
9 perlakuan pada rpm 1425 berbeda
nyata terhadap rpm 2850, rpm 4750 dan rpm 5700. Perlakuan rpm 2850
tidak berbeda nyata terhadap rpm 4750, namun berbeda nyata terhadap
perlakuan rpm 5700. Perlakuan rpm 4750 tidak berbeda nyata terhadap
perlakuan rpm 5700. Hubungan antara susut tercecer pada
da beberapa rpm
dapat dilihat pada Gambar 20
20.
SUSUT TERCECER MESIN PENEPUNG (%)

10
9
8
7
6
5
Mesh 80
4
3 Mesh 100
2
1
0
1425 2850 4750 5700

RPM

Gambar 20. Hubungan Susut Tercecer Mesin Penepung Pada Beberapa


RPM

Tepung tercecer terjadi karena ketika proses penepungan


berlangsung, banyak tepung yang menempel pada rumah penepungan dan
pisau penepung,, selain itu ada pula biji yang tercecer keluar dari hopper.
Gambar 20 dan Tabel 4 menunjukkan bahwa susut tercecer mesin
penepung ketika menggunakan saringan mesh 80 lebih kecil daripada susut
tercecer yang didapat apabila
apab menggunakan saringan mesh 100 serta
se
penambahan
enambahan rpm pada proses
pros penepungan biji juwawut mempengaruhi
hasil susut tercecer. Jadi, semakin meningkatnya rpm, susut tercecer yang
diperoleh semakin sedikit.
Susut tercecer yang didapat ketika menggunakan rpm 1425 saringan
mesh 80 adalah 7.6% dan ketika menggunakan saringan mesh 100, susut
tercecer yang didapat adalah 9.7%. Pada rpm 2850 menggunakan saringan
mesh 80 susut tercecer yang diperoleh adalah 5.43%, sedangkan apabila
menggunakan saringan mesh 100 susut tercecer yang diperoleh adalah
5.67%. Pada rpm 4750 dan rpm 5700 susut tercecer yang didapat berturut-
turut ketika menggunakan saringan mesh 80 adalah 2.53% dan 3.63%,
sedangkan apabila menggunakan saringan mesh 100, hasil yang didapat
berturut-turut adalah 1.77% dan 2.03%. Pengukuran susut tercecer mesin
penepung dapat dilihat pada Lampiran 1.

d) Kebutuhan Daya dan Efisiensi Mesin yang Dibutuhkan


Konsekuensi lain dari peningkatan kecepatan putar motor dari mesin
penepung adalah bertambah besarnya daya yang dibutuhkan, karena
kecepatan putar yang tinggi memerlukan tenaga yang besar pula (Gambar
21). Peningkatan kebutuhan daya ini ditunjukkan dengan peningkatan
penggunaan daya oleh motor listrik. Analisa sidik ragam (Lampiran 10)
menunjukkan bahwa perlakuan rpm, perlakuan mesh dan interaksi rpm
dengan mesh terhadap kebutuhan daya yang diperlukan unutk proses
penepungan biji juwawut berpengaruh nyata. Menurut uji lanjut Duncan
(Lampiran 10) perlakuan pada rpm 5700 berbeda nyata terhadap rpm 1425,
rpm 2850 dan rpm 4750. Perlakuan rpm 1425 tidak berbeda nyata terhadap
rpm 2850. Begitu pula rpm 2850 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan
rpm 4750.
600

500

DAYA (WATT)
400

300
mesh 80
200 mesh 100

100

0
1425 2850 4750 5700

RPM

Gambar 21.. Hubungan Daya Yang Dibutuhkan Motor Pada Beberapa RPM

Daya yang diperlukan oleh mesin penepung ketika sedang bekerja pada
beberapa rpm menunjukkan
me nilai
lai yang beragam. Dari Gambar 21
menunjukkan bahwa hubungan daya yang dibutuhkan pada motor pada
beberapa rpm berbeda-beda.
berbeda beda. Dengan penambahan rpm dan penggunaan
saringan mesh untuk proses penepungan mempengaruhi besarnya daya
yang dibutuhkan. Pada
Pada rpm 1425 menggunakan saringan mesh 80 dan
saringan mesh 100, daya yang dibutuhkan motor listrik berturut
berturut-turut
adalah sebesar 279 watt dan 291 watt.. RPM 2850 membutuhkan daya 291
watt ketika menggunakan saringan mesh 80 dan 329 watt ketika
menggunakan saringan mesh 100. Pada saat mesin penepung berada pada
rpm 4750, daya yang dibutuhkan ketika menggunakan
menggunakan saringan mesh 80
adalah 304 watt sedangkan apabila mengunakan saringan mesh 100, daya
yang dibutuhkan adalah 342 watt. Penggunaan rpm yang tinggi
membutuhkan
utuhkan daya yang tinggi pula. Pada rpm 5700 daya sebesar 519 watt
dibutuhkan ketika menggunakan saringan mesh 80, berbeda halnya ketika
menggunakan saringan mesh 100. Daya yang dibutuhkan adalah sebesar
532 watt.
Tabel 5. Hasil pengukuran kebutuhan daya dan efisiensi motor listrik (daya
saat diberi beban kosong (P beban kosong)= 2546 watt)
RPM 1425 RPM 2850 RPM 4750 RPM 5700
Kriteria mesh mesh mesh mesh mesh mesh mesh mesh
80 100 80 100 80 100 80 100
Daya
279 304 291 329 304 355 519 532
(Watt)
Efisiensi
0.11 0.12 0.11 0.13 0.12 0.14 0.20 0.21
(%)

Besar kebutuhan daya yang beragam ini disebabkan karena motor listrik
yang digunakan sebagai sumber tenaga penggerak puli adalah motor listrik
3 (tiga) fasa menggunakan listrik AC yang merupakan arus bolak balik.
Listrik AC mempunyai besaran arus yang berubah setiap saat (bergetar)
sesuai dengan fungsinya (Lampiran 2 dan Lampiran 3). Maka setiap saat
akan didapat nilai arus yang berbeda untuk masing-masing fasanya.
Arus listrik yang dihasilkan motor ketika motor tidak dihubungkan
dengan sistem transmisi (beban kosong) adalah I1 = 1.7 A., I2 = 2.8 A., I3 =
2.2 A. Maka daya yang mampu dihasilkan motor listrik (beban kosong)
adalah sebagai berikut:
P=V*Σ I…………………………………………………….....…………(10)
P= (V*I1)+(V*I2)+(V*I3)
P= (380*1.7)+(380*2.8)+(380*2.2)
P= 2546 Watt
Adapun nilai efisiensi motor listrik diperoleh dengan membandingkan
daya motor listrik pada saat diberi beban dengan daya motor listrik pada
saat kondisi beban kosong (Tabel 5).
0.25

0.2

EFISIENSI (%)
0.15

mesh 80
0.1
mesh 100
0.05

0
1425 2850 4750 5700

RPM

Gambar 22.. Hubungan Efisiensi Yang Dibutuhkan Motor Listrik Pada


Beberapa RPM

Analisa sidik ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan rpm,


perlakuan mesh dan interaksi rpm dengan mesh terhadap kebutuhan
efisiensi yang diperlukan unutk proses penepungan biji juwawut
berpengaruh nyata.
nyata. Menurut uji lanjut Duncan (Lampiran 11) perlakuan
pada rpm 5700 berbeda nyata terhadap rpm 1425, rpm 2850 dan rpm 4750.
Perlakuan rpm 1425 tidak berbeda nyata terhadap rpm 2850. Begitu pula
rpm 2850 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan rpm 4750.
Dari Gambar 22 menunjukkan bahwa hubungan efisiensi yang
dibutuhkan pada motor penggerak pada beberapa rpm tidak jauh berbeda.
Dengan penambahan rpm dan penggunaan saringan mesh yang digunakan
digunaka
untuk proses penepungan mempengaruhi besarnya efisiensi yang
dibutuhkan. Pada rpm 1425 menggunakan saringan mesh 80 dan saringan
mesh 100, efisiensi yang dibutuhkan motor li
listrik berturut-turut
turut yaitu
sebesar 0.11% dan 0.12%.
0.12% Pada rpm 2850 efisiensi yang dihasilkan yaitu
0.11%
% ketika menggunakan saringan mesh 80 dan 0.13% ketika
menggunakan saringan mesh 100. Pada saat mesin penepung berada pada
rpm 4750, efisiensi
nsi yang dihasilkan sebesar 0.12
0.12%
% ketika menggunakan
saringan mesh 80 sedangkan apabila mengunakan
mengunakan saringan mesh 100, daya
yang dibutuhkan adalah 0.14%.
0.14%. Pada rpm 5700 efisiensi sebesar 0.20%
dibutuhkan ketika menggunakan saringan mesh 80, berbeda halnya ketika
menggunakan saringan mesh 100. Efisiensi yang dibutuhkan adalah sebesar
0.21%. Jadi nilai efisiensi adalah persentase dari penggunaan listrik oleh
motor bukan nilai efisiensi tenaga mesin penepung

e) Kualitas Penepungan
Untuk mengetahui kualitas penepungan, diperlukan test pengayakan
yang menggunakan 7 (tujuh) macam ukuran ayakan yaitu 3/8, 4, 8, 14, 28,
48, 100 mesh dan baki pada tingkat terbawah. Menurut Henderson dan
Perry (1976), bahwa dalam penentuan mutu hasil giling digunakan dua
macam kriteria, yaitu:
3) Ukuran Partikel Tepung Juwawut
Ukuran partikel tepung dapat menunjukkan kehalusan tepung,
semakin kecil ukuran tepung maka semakin halus tepung tersebut, dan
sebaliknya, bila ukuran semakin besar maka tingkat kehalusan tepung
semakin kasar. Analisa sidik ragam (Lampiran 13) menunjukkan bahwa
perlakuan rpm, perlakuan mesh dan interaksi rpm dengan mesh
terhadap ukuran partikel tepung berpengaruh nyata. Menurut uji lanjut
Duncan (Lampiran 13) pada rpm 1425 tidak berbeda nyata terhadap
rpm 2850. Namun, rpm 2850 berbeda nyata terhadap rpm 4750, begitu
pula yang terjadi pada rpm 4750 berbeda nyata terhadap rpm 5700.
Hubungan antara ukuran tepung pada beberapa rpm dapat dilihat pada
Gambar 23.
Ukuran Partikel Tepung Juwawut (inchi)
0.02500

0.02000

0.01500

mesh 80
0.01000
mesh 100
0.00500

0.00000
1425 2850 4750 5700

RPM

Gambar 23.. Hubungan Ukuran Partikel Tepung Juwawut Pada


Beberapa RPM

Gambar 23 menunjukkan bahwa apabila proses penepungan


menggunakan rpm 1425 dan saringan
saringan yang digunakan adalah mesh 80
dan mesh 100, maka hasil tepung yang didapat mempunyai ukuran rata-
rat
rata partikel tepung yaitu sebesar 0.022202095 inchi dan 0.02221749
inchi.. Ukuran rata-rata
rata rata partikel tepung juwawut apabila proses
penepungan menggunakan rpm
rp 2850 dan saringann mesh 80 adalah
sebesar 0.016849384 inchi. Sedangkan apabila menggunakan saringan
mesh 100, ukuran rata-rata
rata partikel tepung yang didapat lebih besar
yaitu sebesar 0.016919604
0.0 inchi.
Proses penepungan menggunakan rpm 4750, ukuran rata-rata
rata
partikel tepung juwawut yang
y didapat adalah sebesar 0.016767828
767828 inchi
pada saat menggunakan saringan mesh 80 dan sebesar 0.016896165
inchi pada saat menggunakan mesh 100. Pada saat rpm 5700 digunakan
untuk proses penepungan juwawut, ukuran rata-rata
rata partikel
rtikel yang
didapat yaitu
tu sebesar 0.016456937
0.016 inchi bila saringan mesh 80 yang
digunakan dan 0.016468348 inchi bila saringan mesh 100 yang
digunakan. Artinya, lebih halus tepung yang didapat apabila
menggunakan mesh 100 daripada menggunakan mesh 80 pada sa
saat rpm
5700. Pengukuran ukuran partikel tepung juwawut dapat dilihat pada
Lampiran 5 dan Lampiran 6.
4) Derajat kehalusan (fineness modulus)
Derajat kehalusan (fineness modulus) adalah bilangan yang
mewakili ukuran rata-rata partikel bahan hasil penepungan. Derajat
kehalusan dihitung berdasarkan jumlah fraksi bahan yang tertinggal
pada setiap ayakan Tyler dibagi dengan 100. Derajat kehalusan
menentukan kualitas tepung juwawut. Pengukuran berat tepung
juwawut yang tertampung pada tiap mesh pada ayakan tyler pada
berbagai rpm dapat dilihat pada Lampiran 4.
Analisa sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa
perlakuan rpm, perlakuan mesh dan interaksi rpm dengan mesh
terhadap kualitas penepungan berpengaruh sangat nyata. Menurut uji
lanjut Duncan (Lampiran 12) perlakuan ayakan yang lolos pada ayakan
mesh 28 pada rpm 1425 tidak berbeda nyata terhadap rpm 2850.
Namun, rpm 2850 berbeda nyata terhadap rpm 4750, begitu pula yang
terjadi pada rpm 4750 berbeda nyata terhadap rpm 5700. Sedangkan,
menurut uji lanjut Duncan (Lampiran 12) perlakuan ayakan yang lolos
pada ayakan mesh 48 pada rpm 1425 tidak berbeda nyata terhadap rpm
2850, rpm 4750 dan rpm 5700. Namun, rpm 2850 berbeda nyata
terhadap rpm 4750, begitu pula yang terjadi pada rpm 4750 berbeda
nyata terhadap rpm 5700. Hubungan antara kualitas penepungan pada
beberapa rpm dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7.

Tabel 6. Kualitas Tepung Juwawut yang Lolos Ayakan Mesh 28


RPM
Ayakan
1425 2850 4750 5700
mesh 80 3.75% 0.55% 4.20% 43.75%
mesh 100 3.55% 31.20% 4.50% 0.90%

Tabel 6 menunjukkan derajat kehalusan tepung pada ayakan


mesh 28. Menurut Henderson dan Perry (1976), jumlah fraksi yang
tertahan pada ayakan mesh 28 termasuk dalam kategori sedang. Hasil
yang didapat ketika mesin penepung menggunakan saringan mesh 80,
derajat kehalusan yang paling tinggi didapat ketika menggunakan rpm
5700, yaitu sekitar 43.75%. Derajat kehalusan yang paling rendah
didapat ketika menggunakan rpm 2850 yaitu 0.55%. Pada saat
menggunakan rpm 1425 dan rpm 4750, derajat kehalusan dari tepung
juwawut berturut-turut adalah 3.75% dan 4.2 %. Lain halnya ketika
mesin penepung menggunakan saringan mesh 100 untuk penepungan
juwawut. Derajat kehalusan tertinggi didapat ketika menggunakan rpm
2850 yaitu 31.2% dan derajat kehalusan terendah didapat ketika
menggunakan rpm 5700 yaitu sebesar 0.9%. Untuk rpm 1425 dan rpm
4750, derajat kehalusan tepung yang didapat berturut-turut sebesar
3.55% dan 4.5%.
Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa penggunaan
saringan mesh mempengaruhi kualitas tepung yang dihasilkan. Kualitas
tepung yang didapat ketika menggunakan saringan mesh 100 lebih baik
dari pada menggunakan saringan mesh 80. Kadar air tepung
mempengaruhi kualitas tepung yang dihasilkan (Tabel 6). Perbedaan
kadar air tepung untuk menentukan derajat kehalusan tiap sampel
tepung berbeda-beda (kondisi fisik tepung tiap sample berbeda).

Tabel 7. Kualitas Tepung Juwawut Yang Lolos Ayakan Mesh 48


RPM
Ayakan
1425 2850 4750 5700
mesh 80 96.25% 99.45% 95.80% 56.25%
mesh 100 96.45% 68.80% 95.50% 99.10%

Tabel 7 menunjukkan derajat kehalusan tepung yang lolos pada


ayakan mesh 48. Ketika mesin penepung menggunakan saringan mesh
80, derajat kehalusan yang paling tinggi didapat ketika menggunakan
rpm 2850, yaitu sekitar 99.45%. Derajat kehalusan yang paling rendah
didapat ketika menggunakan rpm 5700 yaitu 56.25%. Pada saat
menggunakan rpm 1425 dan rpm 4750, derajat kehalusan dari tepung
juwawut berturut-turut adalah 96.25% dan 95.8%. Lain halnya ketika
mesin penepung menggunakan saringan mesh 100 untuk penepungan
juwawut. Derajat kehalusan tertinggi didapat ketika menggunakan rpm
5700 yaitu 99.1% dan derajat kehalusan terendah didapat ketika
menggunakan rpm 2850 yaitu sebesar 68.8%. Untuk rpm 1425 dan rpm
4750, derajat kehalusan tepung yang didapat berturut-turut sebesar
96.45% dan 95.5%. Semakin besarnya persentase yang didapat maka
kualitas tepung tersebut semakin bagus.
Berdasarkan pertimbangan penggunaan rpm pada saat
mengoperasikan mesin penepung dan penggunaan saringan mesh untuk
mendapatkan tepung juwawut, pengoperasian mesin penepung tipe disc
(disc mill) akan lebih optimal apabila menggunakan rpm 5700 saringan
mesh 80 untuk mendapatkan kapasitas terbesar yaitu sebanyak 20.43
kg/jam, rendemen penepungan tertinggi yaitu sebanyak 91.6%, susut
tercecer terendah yaitu sebanyak 1.77%. Sedangkan kualitas
penepungan terbaik (99.10%) didapatkan apabila mengoperasikan
mesin penepung tersebut menggunakan rpm 5700 dan saringan mesh
100.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Kadar air awal biji juwawut (sebelum disosoh) adalah sebesar 12.03%
(bb), kadar air setelah disosoh sebesar 14.23% (bb) dan kadar air tepung
juwawut berada kisaran angka 5-7% (bb).
2. Dalam kondisi operasional, mesin penepung tipe disc (disc mill) apabila
menggunakan rpm 5700 saringan mesh 80 menghasilkan kapasitas
terbesar yaitu sebanyak 20.43 kg/jam, rendemen penepungan tertinggi
yaitu sebanyak 91.6%, susut tercecer terendah yaitu sebanyak 1.77%.
3. Kualitas penepungan terbaik (99.10%) didapatkan apabila mengoperasikan
mesin penepung tersebut menggunakan rpm 5700 dan saringan mesh 100.
4. Susut tercecer mesin penepung menggunakan saringan mesh 80 lebih kecil
daripada susut tercecer apabila menggunakan saringan mesh 100.
Penambahan rpm pada proses penepungan biji juwawut mempengaruhi
hasil susut tercecer mesin penepung. Semakin meningkatnya rpm, susut
tercecer yang diperoleh semakin sedikit.
5. Kualitas tepung juwawut hasil penggilingan menggunakan mesin
penepung tipe disc yang tergolong dalam kategori halus mencapai 90%
untuk tiap-tiap perlakuan rpm. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas
tepung juwawut tersebut tinggi sehingga layak dipasarkan.
6. Penambahan rpm dan penggunaan saringan mesh untuk proses
penepungan mempengaruhi besarnya daya yang dibutuhkan dimana
semakin tinggi rpm, kebutuhan daya yang dibutuhkan juga semakin besar.

B. SARAN
1. Perlu perlakuan khusus agar diperoleh kadar air juwawut yang rendah (10-
11%) dan bersih seperti penampian dan penjemuran di bawah sinar
matahari sebelum dilakukan proses penyosohan.
2. Perlu dilakukan uji performansi menggunakan mesin penepung tipe lain
dengan rpm yang rendah dan menggunakan metode penepungan yang
sama (metode kering) namun menghasilkan kapasitas produksi dan
rendemen penepungan yang tinggi, susut tercecer yang rendah dan kualitas
tepung yang baik.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai metode penepungan
dengan cara basah (wet milling) dengan menggunakan mesin penepung
dengan tipe yang berbeda dan menggunakan perlakuan parameter yang
lebih lengkap hingga dilakukannya uji analisa fisik (warna, kekerasan,
kelengketan) dari tepung juwawut yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA

Andrawina. 2006. Nikmatnya Aneka Jenang Berkhasiat dari Magelang.

Anonima.2005.http://www.deptan.go.id/renbangtan/Rencana_Pembangunan_Perta
nian_2005-2009

AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official


Analytical Chemist. AOAC Inc. Arlington.

Brennan, J. G, et all. 1990. Food Engineering Operations 3th Ed. Elsevier


Publishing Co.,. New York.

Grubben, G.J.H dan Soetjipto Partohardjono (Editors). 1996. Setaria italica (L.) P.
Beauvois cv. group Foxtail Millet. Jurnal Cereals Plant Resources of
South-East Asia (PROSEA) No 10:127-130.

Hubeis, Musa. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji – Bijian.
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Leniger, H.A., dan W.A. Baverloo. 1975. Food Prosess Engineering. D. Reidel
Publishing Company, Dordreht, Holland.

Mudjisihono, Rob dan Suprapto. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorghum


Penebar Swadaya. Jakarta.

Mohsenin, N.N. 1996. Physical Properties of Plant and Animal Materials. Gordon
and Breach Science Pub. New York.

Nuryati, Ratna. 2008. Uji Performansi Mesin Penyosoh Biji Juwawut (Setaria
italica (L.) P. Beauvois) Tipe Abrasive Roll. Skripsi. Departemen Teknik
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Purwadaria, Hadi K. 1988. Buku Pegangan Teknologi Penanganan Pasca Panen


Kedelai, Jagung, dan Kacang Tanah Edisi Kedua. Departemen Pertanian
– FAO, UNDP, Development and Utilization of Post Harvest Tools and
Equipment. Bogor.
Purwadaria, Hadi K dan Tarma Purwanegara. 1984. Pengolahan Sorghum
Terutama Pada Aspek Penyosohannya. Makalah Untuk Pelatihan
Teknologi Pasca Panen/Kewiraswastaan, Direktorat Bina Usaha Tani dan
Pengolahan Hasil Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, Bogor, 13 -
22 September 1984.

Skinner, M.W. 2006. The Plants Database. National Plant Data Center, USA.
www.gramene.org

Sutanto.2006. Uji Performansi Mesin Penyosoh dan Penepung Biji Buru Hotong
(Setari italica (L) Beauv). Skripsi. Departemen Teknik Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Soetojo, Ami Soetijah. 1975. Mempelajari Pengaruh Kecepatan Putaran Gigi
Penggiling Terhadap Kebutuhan Tenaga dan Hasil Gilingan Jagung Pada
Proses Giling Ulang Dengan Menggunakan Hammer Mill. Skripsi.
Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Uji Performansi Mesin Penepung Tipe Disc (Disc Mill)

Susut
Rendemen
Kapasitas Tercecer
Hasil Tepung Mesin
Berat Biji Produksi Mesin Mesin
(gram) Penepung
Sample Tersosoh (kg/jam) Penepung
(%)
(kg) (%)
mesh mesh mesh mesh mesh mesh mesh mesh
80 100 80 100 80 100 80 100
1 1 1.96 1.21 189 181 18.90 18.10 3.50 8.50
2 1 2.34 1.53 198 166 19.80 16.60 10.40 6.80
3 1 2.94 2.04 167 170 16.70 17.00 8.90 13.80
Rataan 1 2.41 1.59 185 172 18.47 17.23 7.60 9.70
1 1 5.87 4.05 540 237 54.00 23.70 5.70 5.10
2 1 5.11 5.73 549 248 54.90 24.80 2.00 3.00
3 1 7.06 4.75 542 228 54.20 22.80 9.60 4.60
Rataan 1 6.02 4.85 544 238 54.37 23.77 5.77 4.23
1 1 9.16 8.35 842 752 84.20 75.20 3.00 4.90
2 1 11.32 8.07 758 796 75.80 79.60 2.80 2.00
3 1 10.81 8.63 892 820 89.20 82.00 1.80 4.00
Rataan 1 10.43 8.35 831 789 83.07 78.93 2.53 3.63
1 1 18.75 13.58 932 808 93.20 80.80 2.10 2.00
2 1 25.53 18.95 942 776 94.20 77.60 1.30 2.50
3 1 29.03 15.25 874 867 87.40 86.70 1.90 1.60
Rataan 1 20.43 15.93 916 817 91.60 81.70 1.77 2.03
Lampiran 2. Hasil Pengukuran Arus Listrik Mesin Penepung Tipe Disc (Disc Mill), Mesh 80

Kecepatan Arus (I, Ampere) Kebutuhan


Tegangan Efisiensi
Putar Sample Io Ib lbn-lon Daya
(volt) (%)
Motor Io 1 Io 2 Io 3 lb 1 lb 2 lb 3 1 2 3 (watt)
1 380 2.5 1.6 2 2.8 2 2.5 0.3 0.4 0.5 456 0.18
RPM 1425 2 380 2.3 1.6 2.2 2.4 1.8 2.3 0.1 0.2 0.1 152 0.06
3 380 3 2 2.5 3.2 2.2 2.7 0.2 0.2 0.2 228 0.09
Rataan 380 2.6 1.7 2.2 2.8 2 2.5 0.20 0.27 0.27 279 0.11
1 380 2.5 2.5 2 2.7 2.7 2.3 0.2 0.2 0.3 228 0.09
RPM 2850 2 380 2.6 2.6 2.6 2.8 3 2.8 0.2 0.4 0.2 304 0.12
3 380 2.4 2.5 2.3 2.7 2.9 2.5 0.3 0.4 0.2 342 0.13
Rataan 380 2.5 2.5 2.3 2.7 2.9 2.5 0.23 0.33 0.23 291 0.11
1 380 2.1 2 2 2.5 2.5 2.3 0.4 0.5 0.3 380 0.15
RPM 4750 2 380 2.3 2.5 2.1 2.4 3 2.4 0.1 0.5 0.3 228 0.09
3 380 2.4 2.5 2 2.6 2.8 2.3 0.2 0.3 0.3 304 0.12
Rataan 380 2.3 2.3 2.0 2.5 2.8 2.3 0.23 0.43 0.30 304 0.12
1 380 2.2 2.4 2.2 2.8 2.9 2.6 0.6 0.5 0.4 570 0.22
RPM 5700 2 380 2.1 2 2.4 2.6 2.3 2.6 0.5 0.3 0.2 380 0.15
3 380 2.3 2.2 2 2.7 3 2.4 0.4 0.8 0.4 608 0.24
Rataan 380 2.2 2.2 2.2 2.7 2.7 2.5 0.50 0.53 0.33 519 0.20
Lampiran 3. Hasil Pengukuran Arus Listrik Mesin Penepung Tipe Disc (Disc Mill), Mesh 100

Kecepatan Arus (I, Ampere) Kebutuhan


Tegangan Efisiensi
Putar Sample Io Ib lbn-lon Daya
(volt) (%)
Motor Io 1 Io 2 Io 3 lb 1 lb 2 lb 3 1 2 3 (watt)
1 380 2.4 2.5 2 2.7 2.7 2.1 0.3 0.2 0.1 228 0.09
RPM 1425 2 380 2.2 2.6 2 2.6 3.1 2.2 0.4 0.5 0.2 418 0.16
3 380 2.5 2.6 1.8 2.6 2.8 2.1 0.1 0.2 0.3 228 0.09
Rataan 380 2.37 2.57 1.93 2.63 2.87 2.13 0.27 0.30 0.20 291 0.12
1 380 2.5 2.7 2.6 2.9 3 2.9 0.4 0.3 0.3 380 0.15
RPM 2850 2 380 2.1 2 2 2.5 2.4 2.1 0.4 0.4 0.1 342 0.13
3 380 2.4 2.5 2 2.5 2.9 2.2 0.1 0.4 0.2 266 0.10
Rataan 380 2.33 2.4 2.2 2.63 2.77 2.4 0.3 0.37 0.2 329 0.13
1 380 2.1 2.6 2.3 2.3 2.8 2.5 0.2 0.2 0.2 228 0.09
RPM 4750 2 380 2 2.5 2 2.4 3 2.5 0.4 0.5 0.5 532 0.21
3 380 2.4 2 2 2.6 2.3 2.2 0.2 0.3 0.2 266 0.10
Rataan 380 2.17 2.37 2.1 2.43 2.70 2.40 0.27 0.33 0.30 342 0.14
1 380 2 2.1 3 2.5 2.4 3.4 0.5 0.3 0.4 456 0.18
RPM 5700 2 380 2.3 2 2 2.8 2.5 2.5 0.5 0.5 0.5 570 0.22
3 380 2.1 2.4 2 2.6 3 2.4 0.5 0.6 0.4 570 0.22
Rataan 380 2.13 2.17 2.33 2.63 2.63 2.77 0.50 0.47 0.43 532 0.21
Lampiran 4. Berat Tepung Juwawut Yang Lolos Pada Tiap Mesh Pada Ayakan
Tyler Pada Berbagai RPM

a) Penepungan menggunakan mesh 80

mesh
rpm sample
3,8 4 8 14 28 48 100 pan
1 0 0 0 0 3.2 96.8 0 0
1425
2 0 0 0 0 4.3 95.7 0 0
rataan 0 0 0 0 3.75 96.25 0 0
1 0 0 0 0 0.5 99.5 0 0
2850
2 0 0 0 0 0.6 99.4 0 0
rataan 0 0 0 0 0.55 99.45 0 0
1 0 0 0 0 3.9 96.1 0 0
4750
2 0 0 0 0 4.5 95.5 0 0
rataan 0 0 0 0 4.2 95.8 0 0
1 0 0 0 0 43.7 56.3 0 0
5700
2 0 0 0 0 43.8 56.2 0 0
rataan 0 0 0 0 43.75 56.25 0 0

b) Penepungan menggunakan mesh 100

mesh
rpm sample
3,8 4 8 14 28 48 100 pan
1 0 0 0 0 3.4 96.6 0 0
1425
2 0 0 0 0 3.7 96.3 0 0
rataan 0 0 0 0 3.55 96.45 0 0
1 0 0 0 0 31.8 68.2 0 0
2850
2 0 0 0 0 30.6 69.4 0 0
rataan 0 0 0 0 31.2 68.8 0 0
1 0 0 0 0 4.4 95.6 0 0
4750
2 0 0 0 0 4.6 95.4 0 0
rataan 0 0 0 0 4.5 95.5 0 0
1 0 0 0 0 0.7 99.3 0 0
5700
2 0 0 0 0 1.1 98.9 0 0
rataan 0 0 0 0 0.9 99.1 0 0
Lampiran 5. Moduls Kehalusan Dan Ukuran Partikel Tepung Juwawut
Penggilingan Mesh 80

dikalikan
ukuran % bahan
dengan Ukuran rata-
rpm sample mesh lubang tertinggal FM
pengali FM rata
(inchi) (mi)
(mt)
0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
1
28 0.0232 43.7 131.1
48 0.0116 56.3 112.6
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 243.7 2.437 0.022202095
1425 0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
2 28 0.0232 43.8 131.4
48 0.0116 56.2 112.4
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 243.8 2.438 0.02221749
0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
1
28 0.0232 3.9 11.7
48 0.0116 96.1 192.2
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 203.9 2.039 0.016849384
2850 0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
2
28 0.0232 4.5 13.5
48 0.0116 95.5 191
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 204.5 2.045 0.016919604
Lanjutan Lampiran 5.

0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
1
28 0.0232 3.2 9.6
48 0.0116 96.8 193.6
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 203.2 2.032 0.016767828
4750
0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
2
28 0.0232 4.5 13.5
48 0.0116 95.5 191
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 204.5 2.045 0.016896165
0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
1
28 0.0232 0.5 1.5
48 0.0116 99.5 199
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 200.5 2.005 0.016456937
5700
0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
2
28 0.0232 0.6 1.8
48 0.0116 99.4 198.8
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 200.6 2.006 0.016468348
Lampiran 6. Moduls Kehalusan Dan Ukuran Partikel Tepung Juwawut
Penggilingan Mesh 100

dikalikan
ukuran % bahan
dengan Ukuran rata-
rpm sample mesh lubang tertinggal FM
pengali FM rata
(inchi) (mi)
(mt)
0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
1
28 0.0232 31.8 95.4
48 0.0116 68.2 136.4
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 231.8 2.318 0.02044426
1425 0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
2 28 0.0232 30.6 91.8
48 0.0116 69.4 138.8
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 230.6 2.306 0.020274914
0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
1
28 0.0232 4.4 13.2
48 0.0116 95.6 191.2
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 204.4 2.044 0.01690788
2850 0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
2
28 0.0232 4.6 13.8
48 0.0116 95.4 190.8
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 204.6 2.046 0.016931336
Lanjutan Lampiran 6.

0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
1
28 0.0232 4.4 10.2
48 0.0116 95.6 193.2
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 203.4 2.034 0.016791089
4750
0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
2
28 0.0232 4.6 11.1
48 0.0116 95.4 192.6
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 203.7 2.037 0.016826042
0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
1
28 0.0232 0.7 2.1
48 0.0116 99.3 198.6
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 200.7 2.007 0.016479767
5700
0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
2
28 0.0232 1.1 3.3
48 0.0116 98.9 197.8
100 0.0058 0 0
pan 0 0 0
total 100 201.1 2.011 0.016525522
Lampiran 7. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kapasitas
Produksi Mesin Penepung

Anova

Variable: Kapasitas
Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel
F Hitung
Keseragaman Kuadrat Bebas Tengah α = 0.05
rpm 1119.841 3 373.280 77.930 .936
mesh 59.346 1 59.346 12.390 .436
rpm * mesh 58.836 3 19.612 4.094 .434
Galat 76.639 16 4.790
Total 1314.662 23

a R Squared = .942 (Adjusted R Squared = .916)

Kapasitas Produksi
a,b
Duncan
rpm N Subset
1 2 3 4
rpm 1425 6 2.0033
rpm 2850 6 5.4283
rpm 4750 6 9.3900
rpm 5700 6 20.1817

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 4.790.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 8. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Rendemen
Mesin Penepung

Anova

Variable: Rendemen
Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel
F Hitung
Keragaman Kuadrat Bebas Tengah α=0.05
rpm 19839.015 3 6613.005 545.909 .990
mesh 788.907 1 788.907 65.125 .803
rpm * mesh 790.557 3 263.519 21.754 .803
Galat 193.820 16 12.114
Total 21612.298 23

a R Squared = .991 (Adjusted R Squared = .987)

Rendemen
a,b
Duncan
Subset
rpm N
1 2 3 4
rpm 1425 6 17.8500
rpm 2850 6 39.0667
rpm 4750 6 81.0000
rpm 5700 6 86.6500

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 12.114.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 9. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Susut
Tercecer Mesin Penepung

Anova

Variable: Susuttercecer
Type III Sum
Source df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
rpm 156.835 3 52.278 9.265 .635
mesh 1.402 1 1.402 .248 .015
rpm * mesh 10.662 3 3.554 .630 .106
Galat 90.280 16 5.642
Total 259.178 23

a R Squared = .652 (Adjusted R Squared = .499)

Susuttercecer
a,b
Duncan
Subset
rpm N
1 2 3
rpm 5700 6 1.9000
rpm 4750 6 3.0833 3.0833
rpm 2850 6 5.0000
rpm 1425 6 8.6500

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 5.642.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 10. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Daya

Anova

Variable: Daya
Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel
F Hitung
Keragaman Kuadrat Bebas Tengah α=0.05
rpm 207214.000 3 69071.333 5.827 .522
mesh 240.667 1 240.667 .020 .001
rpm * mesh 2166.000 3 722.000 .061 .011
Galat 189645.333 16 11852.833
Total 399266.000 23

a R Squared = .525 (Adjusted R Squared = .317)

Daya
a,b
Duncan
Subset
rpm N
1 2
rpm 1425 6 285.00
rpm 2850 6 316.67
rpm 4750 6 354.67
rpm 5700 6 525.67

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 11852.833.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 11. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Efisiensi
Pada Motor Listrik

Anova

Variable: Efisiensi
Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel
F Hitung
Keragaman Kuadrat Bebas Tengah α=0.05
rpm .032 3 .011 5.792 .521
mesh .000 1 .000 .009 .001
rpm * mesh .000 3 .000 .058 .011
Galat .029 16 .002
Total .061 23

a R Squared = .523 (Adjusted R Squared = .315)

Efisiensi
a,b
Duncan
Subset
rpm N
1 2
rpm 1425 6 .1117
rpm 2850 6 .1217
rpm 4750 6 .1383
rpm 5700 6 .2050

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = .002.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 12. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Modulus
Kehalusan Tepung Juwawut

Anova

Variable: ayakanmesh28
Sumber Jumlah Kuadrat Kuadrat F Tabel
F Hitung
Keragaman Kuadrat Bebas Tengah α=0.05
rpm 996.225 3 332.075 1600.361 .998
mesh 36.603 1 36.603 176.398 .957
rpm * mesh 2739.073 3 913.024 4400.116 .999
Galat 1.660 8 .207
Total 3773.560 15

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)

ayakanmesh28
a,b
Duncan
Subset
rpm N 1 2 3
rpm 1425 4 3.650
rpm 4750 4 4.350
rpm 2850 4 15.875
rpm 5700 4 22.325

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = .207.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
b Alpha = .05.
Lanjutan Lampiran12.
Anova

Variable: ayakanmesh48
Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel
F Hitung
Keragaman Kuadrat Bebas Tengah
rpm 996.225 3 332.075 1600.361 .998
mesh 36.603 1 36.603 176.398 .957
rpm * mesh 2739.073 3 913.024 4400.116 .999
Galat 1.660 8 .207
Total 3773.560 15

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)

ayakanmesh48
a,b
Duncan
Subset
rpm N
1 2 3
rpm 5700 4 77.675
rpm 2850 4 84.125
rpm 4750 4 95.650
rpm 1425 4 96.350

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = .207.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 13. Analisa Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Ukuran
Partikel Tepung Juwawut

Anova

Variable: Ukurantepung
Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel
F Hitung
Keragaman Kuadrat Bebas Tengah α=0.05
rpm .000 3 .000 4385.333 .999
mesh .000 1 .000 800.000 .990
rpm * mesh .000 3 .000 11068.000 1.000
Galat .000 8 .000
Total .000 15

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Ukurantepung
a,b
Duncan
Subset
rpm N
1 2 3
rpm 1425 4 .016825
rpm 4750 4 .016875
rpm 2850 4 .018250
rpm 5700 4 .019250

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = .000.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 14. Gambar Mesin Penepung Tipe Disc (Disc Mill)

Hopper

Puli Mesin
Penepung

Belt
(Sabuk)

Puli Motor
Penggerak
Lubang
Motor
Pengeluaran
Listrik
Tepung

Tombol
On/Off
Rangka
Lampiran 15. Alat – Alat Yang Digunakan Selama Penelitian

Ayakan Tyler (Ro-Tap) Timbangan Biasa

Oven Timbangan Digital

Tachometer Clampmeter
Lampiran 16. Gambar Teknik Mesin Penepung Tipe Disc (Disc Mill). .

Skala :1:8 Nama : Kaltika Setyautami S.


Satuan : cm NRP : F14103057 Peringatan:
Tgl : 03-03-2008 Pmrks : Ir. Parlaungan A. Rangkuti, MSi

TEP-IPB MESIN PENEPUNG TIPE DISC (DISC MILL) Hal: A4

Anda mungkin juga menyukai