***
***
***
Kelly tidak langsung pulang. Dia malu pada mama dan adiknya
karena bisa dipastikan dia tidak bisa menahan tangis
sesampainya di rumah. Dia memilih ke rumah Mira dulu. Di
rumah Mira sepi, jadi Kelly bisa nangis jejeritan sesuka hati.
Di kamar Mira, Kelly telungkup di ranjang. Wajahnya
dibenamkan di bantal. Dadanya naik-turun karena menangis
sesenggukan.
Mira menepuk-nepuk punggung sahabatnya. Kelly terus saja
menangis sehingga Mira tidak tahu harus berkata apa. Segala hal
yang dikatakan Mira pada Kelly seakan tak berarti sama sekali.
Namanya juga orang patah hati. Pasti perasaan sakit hatinya
lebih dominan ketimbang logika. Hingga akhimya tubuh Kelly
bergerak lebih teratur. Gadis itu berbalik, menatap Mira.
Matanya sembap dan merah. Kelly menghapus air mata.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Mira khawatir.
Kelly mengangguk. “Rasanya aku nggak mau lagi bertemu Riku
karena malu.”
“Sudahlah. Kan tadi waktu kita pulang bareng, sikap Riku biasa-
biasa saja, kan? Dia tetap mengajak kita bercanda seperti biasa.
Jadi, nggak akan ada masalah. Kamu dan Riku tetap bisa
berteman seperti sebelumnya.”
“Tapi, aku takut Riku jijik melihat tingkahku tadi. Huhuhu...”
Kelly kembali menangis.
“Tingkah yang mana?”
Wajah Kelly merona malu. “Tadi aku sempat ngomelin dia saat
dia pura-pura nggak dengar waktu kutembak.” Mira ingin
tertawa, tapi ditahannya. Dia tak ingin membuat sahabatnya
makin malu.
“Oh, Riku pasti mengerti. Itu reaksi wajar kok. Kamu harus
ingat, dia sangat dewasa dan tidak berpikiran sempit seperti kita.
Kan kamu sendiri yang bilang ke aku bahwa Riku dewasa,
bijaksana, blablabla...” Mira memerot-merotkan bibir. Tapi dia
menahan diri untuk tidak terus menggoda Kelly karena Kelly
kembali mew ek. “Besok kamu harus sekolah, dan lihatlah
betapa dunia masih baik-baik saja. Riku akan tetap menunggu
kita di depan pintu gerbang rumahnya, sambil tersenyum tentu.”
“Tapi jangan singgung-singgung masalah ini, ya?” pinta Kelly
memelas. “Aku malu. Hiks!”
“He hem.” Mira mengangguk sambil tersenyum.
Kelly tersenyum, lalu memeluk Mira erat.
Mira lega, Kelly akhirnya bisa tersenyum kembali. Mira yakin
Kelly bakal mampu mengatasi masalah itu sendiri.
***
***
“Aoi!”
Mira berlari kecil menghampiri Aoi yang sedang duduk
sendirian di pinggir lapangan sepak bola. Aoi sedang membuka
bekal dan bersiap makan.
“Oh... hal, Mira.” Aoi menengadah sambil tersenyum. Dia urung
menyuapkan nasi ke dalam mulut.
Mira tersenyum hangat. Entah mengapa, hatinya tenang melihat
Aoi tersenyum. Segera gadis tombol itu menjejeri Aoi.
“Kok nggak bawa bekal?” tanya Aoi melihat Mira tak membawa
apa pun di tangannya. “Aku masih kenyang. Tadi waktu jemput
Kelly, aku ikut sarapan nasi goreng.”
“Wah, enak ya. Besok ikutan dong!” seloroh Aoi. “Hehe,
boleeeh. Ibu Kelly pasti senang kalau banyak yang memuji
masakannya. Emang enak banget lho masakan ibu Kelly,” Mira
berpromosi.
“Baiklah, sekali-sekali aku jemput kamu, trus kita bareng-
bareng jemput Kelly,” kata Aoi sambil tertawa.
Mira tersenyum lebar. Temyata, kalau sudah kenal dekat, Aoi
menyenangkan, tidak seperti waktu pertama kali bertemu.
Kebetulan, ada yang ingin Mira tanyakan pada Aoi: tentang
insiden semalam.
“Aoi, aku minta maaf tentang kejadian kemarin. Gara-gara pakai
mobilku, kamu dimarahi ayahmu. Dan... ng... ayahmu sepertinya
marah sama aku.” Mira meringis. Wajahnya memelas sekali
ketika menatap Aoi.
“Ah, itu kesalahanku. Nggak ada hubungannya sama kamu atau
mobilmu. Jadi jangan merasa bersalah begitu. Justru aku yang
harus minta maaf karena kata-kata ayahku semalam.” Aoi
menenangkan Mira.
Mira mengangguk. Tiba-tiba dia ingin sekali ke rumah Aoi.
“Aoi, boleh nggak sepulang sekolah nanti aku main ke
rumahmu?”
Aoi berhenti mengunyah. Dahinya mengernyit memandang
Mira.
Mira menelan ludah dan buru-buru meralat, “Eh, nggak. Aku
cuma bercanda. Kalo kamu keberatan, nggak apa-apa kok.”
“Kamu yakin?” potong Aoi. “Rumahku di gang kecil perumahan
padat. Di sana panas sekali. Kamu nggak akan betah di
rumahku,” balas Aoi.
Mira tersenyum. “Nggak apa-apa. Lagi pula ada tugas OSIS
yang harus kita kerjakan bersama, kan? Kita kerjakan di
rumahmu aja, ya?”
Aoi mengangguk, meski ragu. Dia memandang mata Mira yang
berbinar senang. Ah, bagaimana pendapat Mira nanti?
Rumahnya dan rumah Mira sangat jauh berbeda. Rumah Aoi
mungkin hanya seluas kamar tidur Mira. Itu pun kamar Mira
sudah pasti lebih bagus.
Setelah makan siang dan istirahat sebentar di rumah, Mira
mengajak Kelly ke rumah Aoi naik angkutan umum. Sepanjang
jalan Kelly terus-terusan mengomel.
“lih... gerah banget sih?” bisik Kelly di dalam angkot.
“Keringatan nih, kalau desak-desakan kayak gini. Lagi pula,”
Kelly mendekatkan mulut ke telinga Mira, “bapak di sebelahku
bau keringat. Hii...”
Mira tertawa kecil. “Itu rezekimu, haha.”
Kelly cemberut. “lh! Kapok deh naik angkot kayak gini. Kamu
sih aneh banget, Mir. Untuk apa di garasimu ada mobil? Untuk
apa punya sopir? Untuk apa kalau nggak kamu gunakan?
Huhuhu...” Kelly mulai lebay.
“Ssst... diam ah! Nggak enak sama penumpang lain. Kesannya
sombong amat,” bisik Mira.
“Ah, biarin!” Kelly masih merajuk. “Kepalaku pusing, tau!
Angkotnya ngerem-ngerem mulu.” Mira pura-pura nggak
peduli. Dia sibuk melihat jalanan dari jendela angkot.
Dicocokkannya jalanan dengan denah rumah yang tadi diberi
Aoi. “Stop!” pekik Mira tiba-tiba.
Ciiittt! Angkot mengerem mendadak, membuat penumpangnya
terguncang. Seisi angkot langsung menatap sebal pada Mira.
Kelly apalagi, dia langsung menyenggol lengan Mira.
“Memang rumahnya di sini?” tanya Kelly jengkel.
“Kayaknya sih,” balas Mira sambil buru-buru turun. Kelly
mengikuti di belakang sambil mengomel.
Setelah membayar ongkos angkot, Mira melihat kernbali denah
yang dibuat Aoi untuknya. Aoi yakin Mira tidak akan bisa
menemukan rumahnya, meski denahnya sangat jelas. Tapi Mira
yakin bisa menemukan rumah Aoi tanpa hams menelepon
cowok itu terlebih dahulu. Bagi Mira, anggap saja ini permainan
mencari jejak seperti dalam eskul pramuka.
“lya, aku bingung melihat denah ini. Rumit. Banyak sekali
petunjuk gang di sini. Tapi kayaknya kita masuk gang yang itu
aja deh” Mira menunjuk salah satu gang di samping pos ronda.
“Ya udah. Kalau kamu yakin, kita cepetan ke sana. Panas sekali
di sini nih, Mir. Kulitku bisa gosong!” rengek Kelly.
Mereka memasuki gang kecil itu sambil mencari-cari penjual
bensin eceran. Kata Aoi, rumahnya hanya selisih beberapa
rumah saja dari kios bensin eceran itu. Tapi Mira tidak
menemukannya. Ia kebingungan. Berulang kali ia melihat
denah.
“Aduh, Mir. Panas. Pusing. Haus. Lengket. Pulang saja yuk!”
keluh Kelly sambil mengipasi wajah menggunakan buku.
“Aku sudah janji mau ke rumah Aoi kan, Kel!” jawab Mira
sambil mendelik sebal. Dia sengaja minta Kelly menemaninya
supaya bisa bekerja sama menemukan rumah Aoi, temyata
keberadaan Kelly justru membuatnya repot.
“Yang janji kan kamu, bukan aku!” tukas Kelly. “Kalau kita
muter-muter terus kayak gini, pasti ada orang yang
memperhatikan. Kalau kita diincar orang jahat lalu diculik,
bagaimana? Aduh... ini kan daerah yang nggak aman, Mir.
Banyak orang jahat!” Kelly mulal panik.
Mira semakin kesal. “Kamu nakut-nakutin aja sih? Ah, biarin!
Aku nggak mau menyerah. Kita pasti menemukan rumah Aoi!”
“Kita? Huh, aku mau pulang! Aku nggak tahan dengan
panasnya!” kata Kelly, kemudian berbalik dan berjalan tergesa.
“Kok kamu gitu sih, Kel?”
“Aku mau pulang naik taksi. Kalau kamu mau ikut pulang ya
ayo. Tapi kalau masih mau terus mencari rumah Aoi, aku
menyerah!” teriak Kelly tanpa menoleh ke belakang. Ia terus
saja berjalan menuju jalan besar.
Mira mendesah sedih sambil memandangi denah. “Kelly... kok
nggak setia sih... ,“ gumamnya.
Sudah telanjur pergi jauh, Mira memutuskan akan terus mencari
rumah Aoi. Lingkungan itu asing sekali. Seumur-umur dia
belum pernah berada di gang Sesempit ini, dengan rumah-rumah
kecil yang berdempetan rapat. Sesekali Mira bertanya pada
beberapa orang yang lewat atau berada di depan rumah, tapi tak
ada satu pun yang mengenal Aoi. Mira putus asa. Kulitnya mulal
berkilat banjir keringat. Tiba-tiba sebuah motor berhenti di dekat
Mira.
Sontak Mira menoleh dan seketika memucat. Pengendara motor
adalah ayah Aoi!
“Tersesat di hutan rimba?” sapa ayah Aoi sinis.
Cleguk... Mira menelan ludah. “lya, Oom,” Mira tersenyum
rikuh. “Saya mencari rumah Oom.” Ayah Mira menghela napas
berat sambil menatap Mira tajam. Mira memperlihatkan
senyumnya yang paling memelas.
“Yuk, naik!” Ayah Aoi memberi kode pada Mira untuk naik di
boncengannya, namun kentara sekali, ekspresi wajahnya kurang
senang.
Hati Mira bersorak. Ia langsung nangkring di boncengan motor
ayah Aoi sarnbil mengucapkan terima kasih. Entah berapa kali
motor itu berbelok memasuki gang-gang kecil. Wah... temyata
rumah Aoi masih jauh sekali dan jalan tempat Mira turun angkot
tadi. Berarti setiap hari Aoi jalan kaki beberapa ratus meter saat
pergi dan pulang sekolah. Wow!
Akhirnya tibalah mereka di sebuah rumah kecil.
Mendengar suara motor berhenti, Aoi ke luar rumah. Betapa
terkejutnya Aoi saat melihat Mira datang bersama ayahnya.
Penampilan Mira benar-benar kucel dan lelah.
“Ya ampun, Mira! Masuk yuk!” ajak Aoi kemudian buru-buru
mengambil air putih untuk Mira. Dalam sekali tenggak, air putih
di gelas tandas. Aoi sampal geleng-geleng.
“Lho, katanya sama Kelly?” tanya Aoi dengan suara keras. Dia
sengaja melakukan itu supaya ayahnya mendengar.
“Kelly pulang karena kepanasan waktu nyari-nyari rumah
kamu,” balas Mira, juga dengan suara keras. Ia tahu maksud
Aoi.
Mungkin Aoi nggak enak hati sama ayahnya karena teman
cewek sekolahnya datang sendirian menemuinya. Mira takut
ayah Aoi mengira ia dan Aoi pacaran.
Mira dan Aoi kemudian berdiskusi soal beberapa program kerja
OSIS yang harus segera dijalankan. Mira sesekali mengamati
ayah Aoi yang duduk menghadap laptop di ruang makan. Tak
ada sekat antara ruang makan dengan ruang tamu yang sempit.
Rumah Aoi yang kecil terdiri atas ruang tamu yang dijejali
koleksi buku dan berbagal foto di dinding, dua kamar tidur
bersebelahan, serta ruang makan, dapur, dan kamar mandi di
bagian belakang. Ada sedikit sisa tanah di belakang dapur untuk
menjemur pakalan. Teras depan yang hanya berukuran 2X4
meter disesaki tanaman hias dan tanaman gantung. Tidak ada
ruang keluarga untuk menonton televisi. Bahkan, Mira tidak
menemukan televisi di rumah itu.
“Sudah sore, Aoi. Ingat tugasmu!” seru ayah Aoi dan ruang
makan. Tatapan ayah Aoi tetap ke layar laptop, tak sedikit pun
dia memandang Aoi dan Mira.
“Tugas apa?” bisik Mira pada Aoi.
“Mmm... masak untuk makan malam. Eh, diskusinya besok lagi
aja, ya? Kan kita juga perlu pendapat teman-teman lain,” kata
Aoi agak canggung. Sepertinya dia malu ketahuan harus masak.
“Boleh. Mmm... aku bisa bantu kamu masak lho. Aku biasa
masak. Serius!” kata Mira sungguh-sungguh.
Aoi menoleh pada ayahnya. “Mira boleh membantu kan, Yah?”
“Mmm...” Ayah Aoi hanya berdeham.
Aoi tersenyum. Sepertinya dehaman itu berarti boleh. Aoi
mengajak Mira ke dapur. Saat melewati ayah Aoi, Mira sempat
melihat layar monitor laptopnya. Temyata pria itu sedang
mengedit foto.
“Tapi dapumya kecil lho, Mir. Yang kami masak juga bahan-
bahan sederhana. Maklumlah...” Ucapan Aoi menggantung. Dia
sibuk mengeluarkan sayuran dari kulkas dan meletakkannya ke
meja keramik di sebelah kompor.
Mira tersenyum. “lya, nggak apa-apa. Sini, biar aku yang potong
sayurannya. Sudah dicuci, kan?” kata Mira sambil mengambil
pisau dari rak piring.
Sambil memotong-motong sayuran, Mira sesekali melirik ayah
Aoi. Tampang ayah Aoi serius sekali. Merasa sedang
diperhatikan, tiba-tiba ayah Aoi menoleh pada Mira. Gadis itu
tentu kaget, kemudian buru-buru menunduk, bergegas
mengambil sayuran.
Suasana mendadak hening. Tak ada yang membuka mulut.
“Mmm...” Aoi berdeham. “Kamu sering masak, ya?” tanya Aoi,
heran melihat betapa cekatannya Mira mengaduk sayuran dalam
wajan di kompor.
“lya. Aku suka bantuin Mbak Nunuk kalau teman-teman Mama
datang. Kan kami harus menyiapkan banyak makanan,” kata
Mira sambil mematikan api. Tanda masakannya matang.
“Wah, kayaknya enak nih!” Aoi mengambil sedikit masakan
dengan sendok, lalu mencicipi. Matanya melebar.
“Enak?”
“Jauh Iebih enak daripada tumis buatanku,” puji Aoi.
Mira senang sekali. Kemudian dia juga menggoreng tempe.
Setelah selesai, dia menyajikan masakan buatann ya di meja.
“Sudah siap nih, Oom,” kata Mira takut-takut. Ayah Aoi
menutup laptop. Kemudian dia menatap Mira dengan tajam.
Mira ketakutan. Akankah ia diusir, atau masakannya dicemooh?
“Baik. Mari kita makan bersama. Duduklah.” Hati Mira
melonjak girang. “Terima kasih, Oom.” Mira mengambilkan
nasi, yang tampaknya sudah dimasak sejak pagi, untuk Aoi dan
ayahnya dengan riang.
Dia bahagia luar biasa. Perasaan yang sangat aneh menyelusup
ke hatinya. Tahu-tahu Mira merasa dirinya sungguh berharga.
“Enak kan, masakan Mira, Yah?” tanya Aoi begitu mel ihat
ayahnya makan dengan lahap.
“lya, enak sekali. Seperti masakan... mmm... masakan...” Ayah
Aoi seolah berusaha mengingat seseorang.
“Masakan Ibu seperti ini, Yah?”
“Bukan... bukan masakan ibumu. Ini rasanya seperti masakan
seseorang dari masa lalu Ayah.”
Ayah Aoi termenung beberapa saat. “Tapi sudahlah... nggak
penting!” katanya buru-buru begitu melihat Aoi dan Mira
menatapnya dengan ekspresi penasaran. Ayah Aoi melanjutkan
makan, hanya kali ini dengan gerakan canggung.
Selesai makan, ayah Aoi menatap wajah Mira. Tapi dia tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Sepertinya, dia tengah
mengingat sesuatu.
SEMUA orang dapat melihat betapa ramah dan cerianya Mira
akhir-akhir ini. Mata bulatnya selalu berbinar-binar. Wajah Mira
yang manis terlihat semringah dan ramah karena bibirnya selalu
menyunggingkan senyum. Sungguh, Mira cantik sekali, seakan
hatinya tengah berbung-bunga.
“Wah, belakangan ini kamu ceria sekali!” seru ibu Kelly ketika
Mira menjemput Kelly.
“Terima kasih, Tante,” jawab Mira memberikan Senyum manis.
“Lagi jatuh cinta, ya?” goda ibu Kelly.
“Ah, Tante. Nggak kok, Tan!” Mira tersipu.
Kelly keluar dari kamar, berseragam rapi. “lya tuh, Mira
kayaknya lagi jatuh cinta,” ujarnya sambil mengedipkan mata ke
arah ibunya. “Jangan-jangan... aha! Jangan-jangan Mira jatuh
cinta pada Aoi deh! Betul kan tebakanku, Mir?” Kelly nyengir
pada Mira.
Pikiran Mira melayang. Ia mengingat kembali kebersamaannya
bersama Aoi di rumah sakit, di kantor polisi, dan yang paling
berkesan tentu saja di rumah Aoi saat mereka memasak
bersama. Sekarang Mira dan Aoi sering mengerjakan tugas
OSIS berdua. Mira akui, setiap bersama Aoi, hatinya senang dan
nyaman.
“Nah, kamu melamun, kan? Idih... benar nih, kamu jatuh cinta
pada Aol?” Mata Kelly melebar. Ekspresinya lucu sekali.
“Udah, ah. Yuk berangkat!” Mira bangkit, kemudian melakukan
ritual. Dia mencium tangan ibu Kelly, kemudian mencium pipi
Morati. “Dah, Tante... Dah, Morati sayang...”
“Mira, Aoi kan miskin... ,“ kata Kelly hati-hati, saat mereka
bejalan di trotoar.
“Memang kenapa kalau miskin?” tanya Mira.
“Mmm... apa cocok denganmu? Walau gaya hidupmu tidak
mewah, kamu kaya, banyak perbedaan, kan?”
Mira mengangkat bahu. “Nggak kerasa tuh. Aoi asyik-asyik aja
orangnya. Aku toh bukan tipe orang yang senang
menghamburkan uang. Lagi pula, Aoi mandiri. Pada usia
semuda kita, dia sudah punya penghasilan sendiri.”
“Tapi katamu, ayahnya galak?”
“Memang iya sih, tapi nggak masalah juga. Yang penting
buatku, Aoi baik dan otaknya pintar. Aku selalu mengagumi
cowok pintar.”
“Aiiih... yang lagi jatuh cinta!” Kelly geleng-geleng geli.
“Akhirnya kamu mengalami sendiri rasanya jatuh cinta. Semoga
kamu nggak ngerasain patah hati jugaseperti aku.” Kelly
menggigit bibir. Rupanya dia masih terkenang penolakan Riku.
“Hai, Mira... Hai, Kelly...” Seperti biasa Riku menunggu mereka
setiap berangkat sekolah. “Kamu cerah sekali, Mir.”
Riku tersenyum pada Mira. Namun ada yang aneh dengan
senyum Riku. Ya, Riku tahu Mira tengah jatuh cinta pada Aoi.
Aoi sering cerita pada Riku tentang kedekatannya dengan Mira
sekarang. Riku cemburu. Dia menyayangi Mira lebih dan
sekadar sahabat. Dia ingin Mira jadi pacarnya.
Di gerbang sekolah ternyata ada yang menanti kedatangan
mereka. Aoi bersender di pagar besi. Senyumnya mengembang
begitu melihat Mira. Ya, tatapannya fokus pada Mira sebelum
kemudian ia menyapa Kelly dan Riku.
Mira semakin berbunga-bunga. Ah, jatuh cinta memang indah!
***
***
***
***
***
Semalaman Mira sulit tidur. Benaknya dipenuhi khayalan
tentang pertemuannya dengan Aoi esok hari. Ya, apa pun yang
terjadi, Mira tetap akan ke rumah Aoi. Mira berharap ayah Aoi
akan menerimanya. Mira sibuk merangkai kata-kata indah untuk
mengambil hati ayah Aoi.
Pintu kamar Mira diketuk seseorang. Pasti Mama mau pamitan
karena besok pagi-pagi harus ke luar kota.
Benar saja. Mama yang masuk.
“Kamu belum tidur?” tanya Mama sambil memegang dahi
Mira.
“Belum,” sahut Mira tak bersahabat.
“Mama minta maaf, Mir.”
Mira diam saja.
Mama mendesah sedih. “Kamu boleh menjalin hubungan
dengan Aoi bila mereka memaafkan Mama. Kamu boleh
berteman dengan siapa pun, Mama tidak akan menuntut apa pun
padamu. Mama sadar selama ini Mama terlalu keras padamu.”
“Eh?” Mira tak percaya.
Mama menghela napas. “Mama menyesal selama ini tidak
menjadi mama yang baik bagimu. Mama hanya pergi sebentar,
lusa Mama pulang.”
Mira tak menggubris perkataan mamanya.
Mama mengecup dahi Mira sebelum meninggalkan kamar. Mira
makin tak bisa tidur. Sebenarnya Mira senang sekali mamanya
telah berubah. Namun, Mira masih gelisah mernbayangkan
sikap ayah Aoi padanya. Apakah ayah Aoi bisa memafkan
Mama kemudian merestui hubungannya dengan Aoi?
***
***