Anda di halaman 1dari 4

Analisis Wacana Kritis Keadilan Gender dalam Perspektif Islam dan Kristen

(Studi Literatur tentang Relasi Agama dan Gender)

Iqtamar Muhammad (30500116001)

A. Latar Belakang Masalah


Gender merupakan salah satu isu yang cukup ramai dibincangkan

seiring dengan perkembangan zaman, baik di Dunia Barat maupun di

Dunia Timur. Gender terbentuk melalui proses yang panjang dan

disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya dibentuk, disosialisasikan,

diperkuat, dan dikonstruksikan secara sosial dan kultural melalui negara

bahkan juga ajaran agama.1

Isu gender menjadi agenda penting dari semua pihak, karena realitas

perbedaan gender yang berimplikasi pada perbedaan status, peran, dan

tanggung jawab antara laki-laki dengan perempuan seringkali

menimbulkan apa yang disebut dengan ketidakadilan gender.

Ketidakadilan ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik dalam

wilayah domestik maupun publik, dalam bidang pendidikan, kesehatan,

keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara lebih luas.

Problem ketidakadilan gender ini dalam banyak kasus menjadi isu yang

cukup sensitif dan tidak mudah dipecahkan, terutama ketika terkait dengan

doktrin agama, atau bahkan seolah-olah mendapatkan legitimasi teologis.2

Adanya ketidakadilan gender (gender inequality) seperti demikian

menyebabkan banyaknya gerakan-gerakan yang menyerukan kesetaraan

gender. Indikator-indikator ketidakadilan dalam gender terlihat dari

1
Zakiyuddin Baidhawy (ed.), Perspektif Agama-Agama, Geografis, dan Teori-Teori:
Wacana Teologi Feminis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. vii.
2
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (cet IV., Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hal. 12-13.
manifestasi keadilan tersebut, yakni marginalisasi atau proses pemiskinan

ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan

politik, stereotype atau pelabelan negatif, kekerasan (violence), dan beban

kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta kurangnya sosialisasi

ideologi nilai peran gender.3

Keadilan gender telah menjadi keharusan zaman. Setidaknya,

Beijing pernah membicarakan upaya kesetaraan antara perempuan dengan

laki-laki yang masih sulit untuk diwujudkan apabila wacana publik

dipengaruhi oleh pemahaman terhadap teks-teks keagamaan yang tidak

berperspektif gender. Kesadaran masyarakat yang amat dipengaruhi oleh

doktrin keagamaan masih saja belum beranjak dari sikap diskriminatif

terhadap perempuan. Persoalan ketimpangan gender yang bersumber dari

doktrin agama tersebut dapat diatasi dengan menggunakan metodologi

“baru” dalam memahami teks-teks keagamaan yang dianggap timpang

gender.4

Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman beragama yang

berbeda, karena mereka melalui sebuah proses sosialisasi yang berbeda.

Proses sosialisasi tersebut pada gilirannya menghasilkan pengalaman yang

berbeda dalam melihat diri mereka masing-masing, antara diri mereka

dengan setiap konstelasi komunitas dan hubungan keduniaan serta

interaksi dialektik yang melandasi kemampuan setiap individu untuk

menerjemahkan dan menerima apakah simbol-simbol dan hukum-hukum

yang dikonstruksi sedemikian rupa itu otentik atau tidak.5

3
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, hal. 12-13.
4
Siti Ruhaini Dzuhayatin dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender
dalam Islam, (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. v.
5
Siti Ruhaini Dzuhayatin dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender
dalam Islam, hal. 6.
Khusus di dunia Islam, perbincangan isu gender tidak bisa dilepaskan

dari pemahaman atas teks-teks keagamaan, baik Alquran maupun Hadis.

Sebab, diakui atau tidak, tafsir keagamaan yang kurang produktif menjadi

salah satu penyebab bermunculannya tafsir bias gender yang ujung-

ujungnya perempuan selalu menjadi objek dan dinomorduakan. Begitu

pula dengan pemikiran yang mendobrak pemahaman (penafsiran)

terdahulu.6

Namun, dalam Alquran sendiri, terdapat ayat yang menjelaskan

tentang bagaimana kedudukan antara laki-laki dengan perempuan. Salah

satunya dalam Surah Al-Hujurat ayat 13. Allah subhanahu wa ta’ala

berfirman:
ۚ ُ‫ارف‬
َ ‫وا إِن أَ ْك َر َم ُك ْم ِعند‬ ُ ‫اس إِنا َخلَ ْقنَا ُكم ِمن ذَك ٍَر َوأُنث َ ٰى َو َجعَ ْلنَا ُك ْم‬
َ َ‫شعُوبًا َوقَبَائِ َل ِلتَع‬ ُ ‫يَاأَيُّ َها الن‬
١٣‫ير‬ٌ ِ‫َّللاِ أَتْقَا ُك ۚ ْم ِإن َّللاَ َع ِلي ٌم َخب‬
Terjemahnya:
13. Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
(Q.S. Al-Hujurat:49/13)7
Alkitab adalah sumber utama bagi dogma dan etika Kristen, karena

itu, pemahaman yang benar tentang status dan peranan laki-laki dan

perempuan baik secara fungsional dan struktural, berdasarkan apa yang

dikemukakan Alkitab sangatlah penting. Tetapi, kitab suci yang menjadi

sumber utama dogma dan etika Kristen itu amat diwarnai budaya

patriarkhat. Dengan demikian, cukup banyak para teolog dan penafsir

menganggap ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan yang

dipengaruhi oleh refleksi dari budaya tersebut adalah kodrat atau kehendak

6
Ahmad Bulyan Nasution, Gender dalam Islam: Tela’ah Pemikiran Siti Musdah Mulia,
Tesis, (Medan: Pascasarjana UIN Sumatera Utara, 2014), hal. 1.
7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 517.
Tuhan. Mereka tidak dapat membedakan konsep gender yang berubah-

ubah dan yang terbentuk dalam proses sosial budaya yang panjang dari

konsep seks yang tetap dalam Alkitab.8

Akan tetapi, dalam Alkitab sendiri, terdapat sabda yang menerangkan

tentang bagaimana kedudukan antara laki-laki dengan perempuan. Salah

satunya ialah:
Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar
dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-
burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala
binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan
manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kej. 1:26-27)9
Dari pandangan kedua agama yang telah dipaparkan, sebenarnya telah

mengemukakan persoalan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan

secara proporsional. Namun, yang membuatnya tidak proporsional ialah

adanya penafsiran terhadap teks-teks keagamaan yang dianggap timpang

gender. Maka, ini menjadi penting untuk diteliti agar dapat membongkar

bagaimana sebenarnya teks-teks keagamaan yang ditafsirkan dengan bias

gender tersebut tidak menyudutkan salah satu pihak, khususnya pihak

perempuan.

Risnawaty Sinulingga, “Gender Ditinjau dari Sudut Pandang Agama Kristen”, Jurnal
8

Wawasan 12, no. 1 (2006), hal. 48-49.


9
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Deuterokanonika, (Jakarta: Lembaga Biblika,
2018), hal. 1.

Anda mungkin juga menyukai