Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keselamatan anak Indonesia makin mencemaskan. Hampir tiap hari
terjadi kasus terhadap anak berupa eksploitasi ekonomi, kejahatan seksual,
kekerasan fisik dan mental, penculikan, perdagangan, penelantaran, bahkan
pembunuhan.
Belum lagi anak Indonesia dihantui sejumlah masalah lain seperti
kemiskinan, anak dengan kecacatan, tuna sosial dan penyimpangan perilaku,
anak berhadapan dengan kasus hukum, anak di kelompok minoritas dan terisolasi,
maupun anak korban bencana. Semua merupakan kendala terwujudnya Indonesia
yang aman dan sejahtera bagi anak.
"Bahkan Indonesia menempati peringkat teratas jumlah kasus pedofilia se-
Asia. Kasus ini terus meningkat. Seperti kasus pedofilia disertai pembunuhan dan
mutilasi yang menimpa enam anak yang terjadi di Riau belum lama ini," kata
Direktur Kesejahteraan Sosial Anak Kementerian Sosial RI, Edi Soeharto, dalam
rilis kepada merdeka.com, Rabu (27/8).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pedofilia ?
2. Apa saja faktor penyebab terjadinya pedofilia?
3. Data kasus pedofilia?
4. Apa dampak dari pedofilia
5. Apa saja cara penanganan pengobatan pelaku pedofilia?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pedofilia
2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya pedofilia
3. Untuk mengetahui dampak dari pedofilia
4. Untuk mengetahui cara penanganan pelaku pedofilia.
5. Untuk mengetahui data ksus pedofilia

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pedofilia


Dalam psikologi, pedofilia diklasifikasikan sebagai parafilia (penyimpangan
seksual). Pedofilia didefinisikan sebagai fantasi atau perilaku seksual dengan anak
berusia 13 tahun atau lebih muda. Pedofil biasanya laki-laki dan dapat tertarik
pada salah satu atau kedua jenis kelamin. Korban Pedofilia biasanya mereka yang
dekat dengan pelaku. Beberapa studi menemukan bahwa beberapa pedofil
(khususnya yang memilih anak lelaki yang tidak berhubungan keluarga dengan
dirinya) memiliki keselarasan emosional dengan anak-anak, dibandingkan
penyimpang seksual lain (Underhill, Wakeling, Mann, & Webster, 2008; Wilson,
1999, dalam Seto, 2012).
Keselarasan emosional dengan anak-anak yang dimaksud di sini adalah
sejauh mana hubungan seksual dengan anak-anak dapat memuaskan kebutuhan
emosionalnya (Finkelhor, 1984, dalam Seto, 2012). Keselarasan emosional juga
meliputi sejauh mana ia memilih untuk ditemani anak-anak, menikmati aktivitas
untuk anakanak, dan merasa kebutuhan emosi dan intim dapat dipuaskan oleh
anak-anak (Wilson, 1999, dalam Seto, 2012).
Beberapa pedofil tidak hanya menginginkan kontak seksual dengan
anakanak, tapi juga mencari hubungan romantisme. Ada juga yang merasa
hubungannya dengan anak hanya bersifat platonik. Menurut beberapa peneliti,
pedofilia memiliki jangka waktu seumur hidup. Biasanya pertama kali muncul pada
awal remaja, yang dapat diprediksikan akan menikmati hubungan seksual dengan
anak-anak sampai 40 tahun mendatang (Hanson, Steffy, & Gauthier, 1993, dalam
Seto, 2012). Pedofil biasanya menjalani kehidupan ganda, di mana di depan orang
bertindak normal, terhormat, bertanggung jawab, dan menjalankan tanggung
jawab sebagai orang dewasa. Beberapa malah menikah dan memiliki keluarga.
Tidak jarang pasangannya tidak menyadari hasrat dan aktivitas menyimpangnya
(Salter, 2003).
Gangguan pedofilia adalah gangguan yang ditandai dengan ketertarikan
seksual orang dewasa terhadap anak kecil. Anak kecil yang dimaksud adalah

2
anak yang belum memasuki pubertas, yaitu sampai usia sekitar 13 tahun.
Meskipun begitu, batasan usia ini sering dianggap kabur karena banyak anak
yang sudah memasuki pubertas sebelum berusia 13 tahun.
Orang dewasa yang dikategorikan mengalami gangguan ini juga harus
berusia minimal 16 tahun dan memiliki jarak usia 5 tahun dengan anak yang
disukai. Oleh karena itu, seseorang dalam rentang perkembangan remaja akhir
yang terlibat aktivitas seksual dengan anak berusia 12 atau 13 tahun tidak dapat
dikategorikan memiliki gangguan ini.
Hampir semua pedofil adalah pria, namun tidak menutup kemungkinan
bagi wanita mengidap pedofilia. Data yang akurat belum berhasil dikumpulkan
karena mayoritas pasien menutup dirinya dari masyarakat. Penelitian penyakit ini
dilakukan pada pedofil yang melakukan kekerasan seksual, maka dari itu hasilnya
masih belum pasti.
Belakangan ini, para ilmuwan dan masyarakat memiliki kecenderungan
untuk mempelajari masalah-masalah psikologis; beberapa pasien lebih terbuka
akan penyakit mereka demi ilmu pengetahuan. Menurut para pasien, gejala
pedofilia di antara lain perasaan inferior, terisolasi, dan bahkan depresi; mereka
takut orientasi seksual mereka diketahui, jadi mereka mengisolasi diri dari orang
lain.

2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Pedofilia


Belum diketahui secara pasti penyebab kemunculan gangguan pedofilia,
akan tetapi beberapa faktor di bawah ini dapat memengaruhi kemungkinan
kemunculan gangguaan pedofilia.

a. Pernah mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak.


b. Gangguan perkembangan saraf, otak, atau kelainan pada hormon.
c. Pernah mengalami cedera kepala serius sebelum usia 6 tahun.
d. Memiliki ibu dengan riwayat gangguan psikiatrik.
Banyak ahli berasumsi bahwa penyebab utama datang dari faktor
psikologi sosial, bukan biologis. Beberapa dokter menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi kepribadian pasien adalah latar belakang keluarga yang tidak

3
normal. Dilecehkan pada usia dini juga dapat menjadi penyebabnya. Namun
demikian, angka kasus ini tidak banyak, sehingga tidak pasti menyebabkan
pedofilia.
Sejak tahun 2002, beberapa penelitian tentang pedofilia dari faktor-faktor
biologis telah dilakukan. Beberapa faktor dan teori-teori dalam menentukan
penyebab pedofilia, seperti:
 IQ rendah dan ingatan jangka pendek
 Kurangnya white matter pada otak
 Kurangnya testosteron
 Masalah-masalah otak
Masalah pada otak adalah penyebab yang paling diterima di antara faktor-
faktor tersebut. Pada orang normal, melihat anak-anak membuat otak mereka
secara spontan menghasilkan gelombang saraf untuk meningkatkan insting-insting
melindungi dan menyayangi; pada pedofil, gelombang saraf tersebut terganggu
dan berakibat meningkatnya gairah seksual.
2.3 Data Kasus Pedofilia di Dunia dan Indonesia
Berdasarkan info Datin yang dirilis oleh Kemenkes Republik Indonesia,
menurut WHO September 2016
 1 dari 4 orang dewasa pernah mengalami kekerasan saat usia anak/remaja
 1 dari 5 perempuan dan 1 dari 13 laki laki melaporkan pernah mengalami
kekerasan seksual saat anak/remaja
 12% anak anak mengalami kekerasan seksual satu tahun terakhir
Markas Besar Polri mencatat ada 236 kasus pelecehan seksual
terhadap anak yang terjadi pada Januari hingga Mei 2019. Namun, Kepala
Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Asep Adi
Saputra mengatakan hanya 50 persen dari keseluruhan kasus yang bisa
ditangani tuntas oleh institusinya.
Kasus Pedofil yang Terungkap di Bulan Maret 2017 Tanggal
Tempat Kasus 3 Maret 2017 Mataram, Nusa Tenggara Barat 25 anak
dipaksa oleh warga negara Italia, Bruno Gallo (70th) 9 Maret 2017
Jabodetabek 13 anak menjadi korban medsos pedofil Wawan (25 th) dan
AA Januar (24 th) 15 Maret 2017 Karawang, Jawa Barat 23 anak dirayu

4
dengan uang dan jajanan oleh pedofil Oki Akbar (27 th) 15 Maret 2017
Karanganyar, Jawa Tengah 16 anak tetangga dicabuli dengan iming-iming
uang oleh F (29th) 18 Maret 2017 Tapanuli Selatan, Sumatera Utara 42
anak (5 korban juga dari Jakarta dan 7 di Langkat) dicabuli Samsul Anwar
(36 th) Sumber: Republika, 21 Maret 2017
Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Data dan Informasi
Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia dari tahun 2010 hingga
tahun 2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus pelanggaran hak anak,
yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupatan dan kota. Sebesar 42-58%
dari pelanggaran hak anak itu, katanya, merupakan kejahatan seksual
terhadap anak. Selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, dan penelantaran
anak. Data dan korban kejahatan seksual terhadap anak setiap tahun terjadi
peningkatan. Pada 2010, ada 2.046 kasus, diantaranya 42% kejahatan
seksual. Pada 2011 terjadi 2.426 kasus (58% kejahatan seksual), dan 2012
ada 2.637 kasus (62% kejahatan seksual). Pada 2013, terjadi peningkatan
yang cukup besar yaitu 3.339 kasus, dengan kejahatan seksual sebesar
62%. Sedangkan pada 2014 (Januari-April), terjadi sebanyak 600 kasus
atau 876 korban, diantaranya 137 kasus adalah pelaku anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga menemukan banyak
aduan kekerasan pada anak pada tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan
yang masuk, sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan. Dan
dari kasus kekerasan tersebut yang paling banyak terjadi adalah kasus
kekerasan seksual yaitu sebesar 45,7 persen (53 kasus).[2] Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat, jenis kejahatan
anak tertinggi sejak tahun 2007 adalah tindak sodomi terhadap anak. Dan
para pelakunya biasanya adalah guru sekolah, guru privat termasuk guru
ngaji, dan sopir pribadi. Tahun 2007, jumlah kasus sodomi anak, tertinggi
di antara jumlah kasus kejahatan anak lainnya. Dari 1.992 kasus kejahatan
anak yang masuk ke Komnas Anak tahun itu, sebanyak 1.160 kasus atau
61,8 persen, adalah kasus sodomi anak. Dari tahun 2007 sampai akhir
Maret 2008, jumlah kasus sodomi anak sendiri sudah naik sebesar 50
persen.[3] Komisi Nasional Perlindungan Anak telah meluncurkan

5
Gerakan Melawan Kekejaman Terhadap Anak, karena meningkatnya
kekerasan tiap tahun pada anak. Pada tahun 2009 lalu ada 1998 kekerasan
meningkat pada tahun 2010 menjadi 2335 kekerasan dan sampai pada
bulan maret 2011 ini paling tidak dari pantauan Komisi Nasional
Perlindungan Anak ada 156 kekerasan seksual khususnya sodomi pada
anak.
2.4 Dampak yang dapat ditimbulkan terhadap anak yang menjadi
korban pedofilia dapat berupa gangguan secara mental maupun fisik, dan
hal tersebut dapat terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Gangguan
secara fisik yang dialami anak adalah gangguan kesehatan.
Anak-anak korban pedofilia tentunya juga akan mengalami
gangguan kejiwaan seperti depresi, gangguan stres pasca trauma,
kegelisahan, kecemasan, yang tingkatnya bervariasi. Dan trauma tersebut
akan berakibat sangat buruk bagi kehidupan sosial dan intelektualnya.
Psikolog senior, Rose Mini, mengatakan kerusakan yang bisa
terjadi pada korban pedofilia disebabkan seberapa besar tekanan yang ia
peroleh dari lingkungan, misalnya dimarahi, disalahkan, atau dikucilkan
dari lingkungan. Hal ini, kata dia, yang membuat seorang anak merasa
tidak nyaman dengan dirinya sendiri.
Namun, dampak akan terlihat berbeda jika ditinjau dari
karakteristik kepribadian anak. Anak yang cenderung terbuka, mudah
beradaptasi dan bermuatan energi positif akan cenderung lebih mudah
pulih dari trauma mereka. Sedangkan anak-anak yang cenderung tertutup,
sulit beradaptasi, bermuatan energi negatif dan sensitif akan membutuhkan
waktu yang lebih lama dan upaya yang lebih besar untuk pulih dari trauma
mereka.
Keadaan trauma yang ditimbulkan sebagai dampak dari kejadian
pelecehan atau kekerasan seksual dapat terlihat dari perilaku korban.
Seorang anak yang sedang dalam keadaan trauma biasanya menunjukkan
adanya penurunan derajat aktivitas dan minat sosial, mengalami mimpi
buruk, meningkatnya perilaku cemas atau takut akan hal-hal yang

6
sebelumnya tidak ia khawatirkan, bahkan kesulitan tidur hingga bunuh
diri.
2.5 Penanganan Pedofil
Sudah banyak peraturan mengenai penanganan kejahatan pedofilia.
Pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya dimulai dari preventif hingga
pemberian hukuman bagi pelaku. Salah satu upaya pencegahan kejahatan
pedofilia dilakukan dengan memblokir konten yang bermuatan pedofilia oleh
Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun, pemblokiran hanya dapat
dilakukan pada ranah publik.
Menteri Komunikasi dan Informatika mengakui tidak bisa memata-matai
seluruh komunitas di media sosial yang berstatus rahasia atau private, apalagi
memblokir, karena dinilai melanggar hak asasi manusia. Sementara pemberatan
hukuman bagi pedofil diatur dalam UU. No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalamnya tertuang 4
sanksi yang akan dijatuhkan kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak,
yaitu: (a) hukuman mati, hukuman seumur hidup atau pidana minimal 10 tahun
dan maksimal 20 tahun; (b) pengumunan kepada publik tentang identitas pelaku;
(c) pemberian suntikan kebiri kimia paling lama 2 tahun setelah pelaku
menjalankan pidana pokok; dan (d) pemberian cip terhadap pelaku untuk
mengetahui keberadaan mantan narapidana sehingga mudah untuk melakukan
kebiri kimia dan mengetahui keberadaan mantan narapidana tersebut. Akan tetapi,
pemberatan sanksi seharusnya juga beriringan dengan pengobatan penyimpangan
perilaku. Selain diganjar pidana, pedofil sebaiknya juga diwajibkan untuk melalui
proses intervensi psikologi, seperti konseling dan terapi. Dengan begitu, tidak
hanya tindak kejahatannya dihukum, namun juga diberikan kesempatan untuk
mengelola dan mengontrol perilaku meyimpangnya. Dulu orang berpikir bahwa
sekali pedofil akan tetap pedofil.
Namun, dalam perkembangan ilmu psikologi, para ahli mulai merumuskan
intervensi psikologis yang dianggap dapat mengontrol perilaku tersebut.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) 5 menegaskan
bahwa gangguan pedofilia dapat berfluktuasi, meningkat ataupun menurun
bergantung pada usia (APA, 2013: 699). Hal ini dibuktikan Sexual Behaviours

7
Clinic (SBC) di The Royal Ottawa Mental Health Centre yang pada tahun 2015
menggunakan pendekatan untuk mengukur dan menangani pada pelaku
penyimpangan seks. Hasil penelitian Marshal (2008, dalam Seto, 2012) juga
menemukan bahwa preferensi pedofilik dapat berubah. Dengan perlakuan
tertentu, minat seksual terhadap anak-anak dapat diturunkan. Drescher & Zucker
(dalam Seto, 2012) menambahkan bahwa dengan memandang pedofilia sebagai
orientasi seksual, perlakuan yang menekankan pada keterampilan pengaturan diri
akan lebih efektif, dibandingkan dengan mencoba mengubah preferensi seksual.
Pada kenyataannya, peraturan yang ada hanya dalam mengkondisikan
lingkungan untuk menciptakan kehidupan yang kondusif bagi anak. Namun,
interaksi personal antara anak dan pedofil seksual tidak mungkin dicegah dengan
pengaturan di atas. Oleh karena itu, peran serta masyarakat terutama keluarga
menjadi signifikan. Keluarga merupakan lapisan terdalam sistem dukungan sosial
individu. Keluarga adalah yang paling dapat melakukan kontrol anak. Orang tua
memiliki tanggung jawab terbesar untuk melindungi anak. Orang tua perlu
melakukan pengasuhan dengan menekankan kehatihatian kepada anak. Hubungan
antara anak dan orang tua perlu dikembangkan secara sehat dan harmonis, agar
anak senantiasa mengkomunikasikan interaksinya dengan orang lain kepada orang
tua. Keterbukaan anak ini menjadi sumber data bagi orang tua untuk melakukan
pengawasan dan pengontrolan pergaulan anak. Selain itu, orang tua juga perlu
tanggap terhadap perkembangan teknologi agar dapat mendampingi anak ketika
mengakses internet.

BAB III
PENUTUP

3.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai