Anda di halaman 1dari 32

Referensi Artikel

TERAPI PALIATIF PADA KANKER SOLID STADIUM


AKHIR

Oleh:
Nanda Kurnia Ramadhan G991903043
Nathasya Vania G991903044
Nopriyan Pujokusuma G991903045
Noviana Pravita Dewi G991905046
Nur Kalih Diah Puspitorini G991905047

Pembimbing:

dr. Sri Marwanta, Sp.PD., M.Kes., FINASIM.

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi Artikel Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

TERAPI PALIATIF PADA KANKER SOLID STADIUM


AKHIR

Oleh:
Nanda Kurnia Ramadhan G991903043
Nathasya Vania G991903044
Nopriyan Pujokusuma G991903045
Noviana Pravita Dewi G991905046
Nur Kalih Diah Puspitorini G991905047

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

dr. Sri Marwanta, Sp.PD., M.Kes., FINASIM.


BAB I
PENDAHULUAN

Tumor solid ganas merupakan pertumbuhan sel/jaringan yang tidak


terkendali, dan terus bertumbuh/bertambah benjolan yang tidak normal (abnormal)
dalam tubuh, yang disebabkan oleh berbagai macam penyakit, seperti penyakit
keganasan dan secara umum keganasan ini disebut kanker (Kementerian Kesehatan
RI, 2015). Tumor padat ganas (solid tumor) adalah keganasan dari organ tubuh
selain darah. Jenis tumor solid diberi nama sesuai jenis sel-sel yang membentuknya.
Sebagai contoh, yaitu: sarkoma terdiri atas fibrosarkoma, osteosarkoma,
liposarkoma, kondrosarkoma dan sarkoma jaringan lunak, sedangkan karsinoma
terdiri dari karsinoma nasofaring, karsinoma laring, karsinoma tiroid, karsinoma
lidah, karsinoma mammae, karsinoma paru, karsinoma gaster, karsinoma hati
primer, karsinoma kolorektum, karsinoma pankreas, karsinoma ginjal, karsinoma
prostat, karsinoma penis, karsinoma serviks uteri, karsinoma endometrium,
karsinoma ovaroum dan karsinoma vulva (Sudoyo, 2009).
Pada tahun 2007, kanker merupakan penyebab utama mortalitas di dunia
(sekitar 13% dari seluruh penyebab mortalitas) dengan angka perkiraan sekitar 7,9
juta kematian. Jenis kanker tersering penyebab mortalitas tiap tahunnya berupa
karsinom aparu (1,4 juta mortalitas/tahun), karsinoma lambung (866.000
mortalitas/tahun), kolon (677.000 mortalitas/tahun) dan karsinoma mammae
(584.000 mortalitas/tahun).
Pada laki-laki, jenis kanker tersering terdiri dari karsinoma paru, lambung,
kolorektal dan prostat sedangkan pada perempuan terdiri dari karsinoma mammae,
paru, lambung, kolorektal dan serviks. Sekitar 72% dari seluruh mortalitas kanker
pada tahun 2007 terjadi di negara berpendapatan rendah sampai berpendapatan
menengah (WHO, 2015).
Dampak penyakit kanker terhadap ketahanan sumber daya manusia di
Indonesia sangat besar karena selain merupakan penyebab kematian dan kesakitan
juga menurunkan produktivitas (Depkes RI, 2002).
Terapi paliatif atau perawatan paliatif menurut World Health Organization
(WHO) merupakan pelayanan yang dirancang untuk mencegah dan meringankan
penderitaan bagi pasien dan keluarga yang menghadapi penyakit yang bersifat
mengancam jiwa, melalui manajemen awal nyeri dan masalah lain terkait masalah
fisik, psikososial, dan spiritual (WHO, 2018). Perawatan paliatif berfokus terutama
dalam mengantisipasi, mencegah, mendiagnosis, dan mengobati gejala yang
dialami oleh pasien dengan penyakit serius atau yang mengancam jiwa dan
membantu pasien dan keluarga mereka membuat keputusan penting secara medis.
Tujuan akhir dari perawatan paliatif adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dan keluarga, tanpa memandang diagnosis. Meskipun perawatan paliatif,
tidak seperti perawatan rumah sakit, tidak tergantung pada prognosis, ketika akhir
kehidupan mendekati, peran perawatan paliatif semakin meningkat dan berfokus
pada manajemen gejala agresif dan dukungan psikososial (Rome et al., 2011)
Perawatan paliatif bersifat holistik, patient centered, komprehensif, dan
multidimensi sehingga tidak hanya menangani aspek fisik, tetapi juga dimensi
psikologis, sosial, dan spiritual. Ilustrasi dari sifat multidimensi adalah konsep 'rasa
sakit total' yang dijelaskan oleh Saunders (Al-Mahrezi et al., 2016). Rasa sakit di
sini bukan hanya fisik tetapi mencakup semua aspek lain yang disebutkan di atas.
Perawatan paliatif menegaskan kehidupan dan menganggap kematian sebagai
proses normal. Perawatan paliatif menawarkan sistem pendukung untuk membantu
pasien hidup seaktif mungkin hingga kematian. Selain itu, perawatan paliatif juga
menyediakan sistem pendukung untuk membantu pengasuh dan keluarga mengatasi
penyakit pasien dan berkabung (WHO, 2018).
Perawatan paliatif biasanya disediakan oleh tim multidisiplin, yang
mencakup dokter, perawat, psikolog, fisioterapis, apoteker klinis, terapis okupasi,
ahli diet, dan pekerja sosial. Selain itu, perawatan pastoral juga dimasukkan sesuai
dengan keyakinan agama pasien. Komponen penting lainnya dari perawatan paliatif
adalah komunikasi dan perencanaan yang efektif dan koordinasi perawatan.
Perawatan paliatif dapat diperkenalkan dalam beberapa pengaturan yang berbeda:
sebagai layanan mandiri di pusat atau rumah sakit, berbasis rumah sakit, berbasis
komunitas, dan perawatan di rumah (Bruera et al., 2002)
Keuntungan dari perawatan paliatif sangat besar. Pasien dan keluarga pasien
telah melaporkan adanya peningkatan kualitas hidup setelah menerima perawatan
paliatif (Higginson et al., 2014). Gejala yang menyusahkan seperti rasa sakit,
depresi, dan tekanan spiritual telah lebih terkontrol. Selain itu, pasien dan keluarga
mereka melaporkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi (Gomes et al., 2013).
Penghematan biaya yang signifikan untuk sistem perawatan kesehatan telah
dilaporkan ketika layanan perawatan paliatif dilaksanakan, seperti mengurangi
jumlah masuk rumah sakit, mempersingkat lamanya tinggal di rumah sakit, dan
mengurangi frekuensi konsultasi ruang gawat darurat (Howie et al., 2013).
American Society for Clinical Oncology (ASCO) merekomendasikan untuk
mempertimbangkan kombinasi perawatan paliatif dengan perawatan onkologi
standar pada awal perjalanan pengobatan untuk pasien dengan kanker metastasis
dan/atau beban gejala yang tinggi. Hingga saat ini, ada peningkatan pengakuan
perawatan paliatif sebagai aspek integral dari pengobatan kanker, dengan
kemampuannya meningkatkan kualitas hidup dan mencegah masuk rumah sakit
yang tidak perlu (Ferrel et al., 2017).
BAB II
ISI

A. NYERI
Nyeri adalah keluhan yang paling banyak dijumpai pada pasien kanker
stadium lanjut. Terdapat 2 jenis nyeri pada kanker yaitu nyeri nosiseptif dan
nyeri neuropatik (Andrade, et al., 2010).
1. Skala Nyeri
a. NRS (Numeric Rating Scale)
Tanyakan intensitas nyeri dengan menggunakan angka 0-10:
0 berarti tidak nyeri
1-3 berarti nyeri sedang
4-10 berarti nyeri berat
b. Categorial Scale
Dibagi atas: nyeri ringan – nyeri sedang – nyeri berat
c. Behaviour Pain Scale
Digunakan pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi atau
menggunakan ventilator (Payen JF, et al., 2001)
2. Tatalaksana Nyeri
a. Medikamentosa
1) Analgetik
a) NSAID
NSAID sangat efektif untuk menangani nyeri tulang, namun
biasa juga digunakan pada nyeri akibat inflamasi dan kerusakan
jaringan, nyeri karena metastase tulang, demam neoplastik dan nyeri
post operasi (Zeppetella, 2005).
b) Non opioid
Analgetik non opioid digunakan untuk nyeri ringan, terutama
untuk jaringan lunak dan muskuloskeletal serta penurun panas.
Contoh golongan non opioid adalah paracetamol dengan dosis 500
mg – 1000 mg per 4 jam dengan maksimum dosis 4 gram per hari.
c) Opioid
Opioid untuk nyeri sedang atau nyeri ringan yang tidak respon
terapi sebelumnya bisa menggunakan codein dan tramadol. Opioid
untuk nyeri berat atau nyeri sedang yang tidak respon terhadap terapi
sebelumnya bisa diberikan morfin oral, morfin parenteral dan
fentanil. Untuk nyeri kepala karena peningkatan TIK atau edema
otak dapat diberikan steroid. Nyeri tulang karena hiperkalsemia
dapat diberikan bifosfonat. Bila ditemukan infeksi penyerta atau
infeksi sekunder diberikan antibiotik yang sesuai. Nyeri karena kolik
diberikan antispasmodik dan nyeri karena spasme otot diberikan
muscle relaxan.
2) Adjuvant
a) Kortikosteroid
b) Antidepresan
c) Anti epilepsi
d) Relaksan otot
e) Antispasmodik
b. Lain-lain
Modifikasi terhadap proses patologi yang ada, misalnya diperlukan
pada kondisi darurat seperti patah tulang karena proses metastase, resiko
patah tulang pada tulang penyangga tubuh, metastase ke otak,
leptomeningeal atau epidural, obstruksi memerlukan radioterapi dan
infeksi memerlukan antibiotik.

B. GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN


1. Xerostomia
Xerostomia atau mulut kering mungkin tidak menimbulkan rasa haus pada
pasien dengan kanker stadium terminal, sehingga perlu diperiksa walaupun
pasien tidak mengeluh, untuk melihat apakah ada tanda dehidrasi, inflamasi,
lidah kotor atau tanda infeksi.
Penyebab mulut kering bisa berupa kerusakan kelenjar liur, akibat radiasi,
kemoterapi atau infeksi, atau efek samping obat seperti Trisiklik, antihistamin
dan antikolinergik. Dehidrasi dan penggunaan oksigen tanpa pelembab dapat
juga menyebabkan mulut kering. Penyebab yang sering adalah adanya infeksi
kandida akibat pemakaian steroid yang lama. Tatalaksananya xerostomia:
a) Atasi dasar penyebab dengan melihat kembali obat-obat yang diberikan
dan berikan obat untuk kandidiasis
b) Non medikamentosa dengan melakukan perawatan mulut
c) Medikamentosa dengan Pilocarpin solution 1 mg/1 ml, 5 ml kumur 3 x
hari

2. Mual/Muntah
Mual dan muntah adalah masalah yang sangat umum terutama pada
kanker solid stadium lanjut seperti kanker payudara dan kanker lambung
dimana 50-60% penderita terutama wanita dibawah 65 tahun. Mual dan
muntah dapat terjadi karena komplikasi dan bisa juga oleh kemoterapi atau
perawatan lainnya. Penyebab utama mual dan muntah karena statis lambung,
obstruksi usus, sembelit yang disebabkan oleh penggunaan morfin,
hiperkalsemia, metastasis otak, gagal ginjal, hiponatremia, peningkatan
tekanan intrakranial dan beban tumor (Molassiotis, 2006).
Tujuan utama dari perawatan antiemetik adalah untuk menghilangkan
mual dan muntah. Pada hiperasiditas dapat menyebabkan mual, rasa pahit dan
nyeri lambung, bila sesudah muntah keluhan masih ada, berikan proton pump
inhibitor seperti omeprazole 20 mg atau ranitidin 300 mg PO. Mual akibat
iritasi mukosa karena pemberian NSAID bisa diberikan omeprazole 20 mg
PO. Mual akibat kemoterapi atau radiasi bisa diberikan 5HT3 reseptor
antagonis yaitu ondansetron 4 mg 1-2x/hari dan atau eksametason 4 mg pagi
hari (Jordan, K., 2005).
3. Konstipasi
Penyebab konstipasi pada pasien dengan kanker solid stadium lanjut
antara lain karena diet rendah serat dan kekurangan cairan, imobilitas, tidak
segera ke toilet pada saat rasa BAB muncul, penggunaan obat opioid,
antikolinergik, antasid yang mengandung alumunium, zat besi,
antispasmodik dan antipsikotik, terjadinya obstruksi saluran cerna akibat
feses, tumor atau perlengketan, adanya gangguan metabolisme seperti
hiperkalsemia dan gangguan saraf gastrointestinal seperti nefropati saraf
otonom.
Tatalaksana paliatif adalah dengan menganjurkan makanan tinggi serat
dan tingkatkan jumlah cairan, anjurkan pasien untuk banyak bergerak bila
memungkinkan, berikan respon yang cepat bila pasien ingin BAB, hentikan
atau kurangi obat yang menyebabkan konstipasi, koreksi hiperkalsemia dan
gunakan penyangga kaki untuk meningkatkan kekuatan otot abdomen.
Tatalaksana rehabilitasi medik pada kasus konstipasi adalah dilakukan bowel
training.

4. Diare
Penyebab diare diantaranya adalah infeksi, malabsorbsim obstruksi
partial, karsinoma kolorectal, kompresi tulang belakang, penggunaan
antibiotik, kemoterapi atau radiasi dan kecemasan. Tatalaksana yang
dilakukan pada pasien kanker solid stadium akhir dilakukan sesuai dengan
penyebabnya, pada malabsorbsi, pemberian enzim pankreas akan bermanfaat
dan lakukan perawatan kulit sekitar anus dengan zinc oxide (Haggerty, M.,
2005).

5. Obstruksi Gastrointestinal
Penyebab obstruksi gastrointestinal dapat mekanik atau paralitik.
Penyumbatan bisa terjadi baik intraluminal atau ekstraluminal akibat
inflamasi atau metastase, fibrosis akibat radiasi dan gangguan saraf otonom.
Tatalaksana yang dilakukan adalah dengan mengatasi penyebab dasar
yaitu apabila obstruksi tunggal pada pasien tanpa asites dan karsinomatosis
yang luas bisa dipertimbangkan untuk operasi. Terapi medikamentosa
ditujukan untuk mengurangi mual, muntah dan nyeri. Bila terjadi kolik,
gunakan obat untuk mengurasngi sekresi dan antispasmodik seperti hyosine
butylbromide. Bila hyoscine butylbromide gagal menghentikan muntah,
berikan octreotide untuk mebgurangi distensi, muntah dan nyeri. Ranitidin
300 mg 2x/hari dapat diberikan untuk mengurangi sekresi lambung.
Haloperidol 0,5 – 2,5 mg PO/SC 2x/hari untuk mengurangi muntah. Obat
laksatif yang merangsang peristaltik dan obat prokinetik harus dihentikan.
Pada pasien dengan obstruksi parsial bisa menggunakan laksatif pelunak
feses. Untuk terapi non medikamentosa dapat dilakukan dengan mengurangi
cairan parenteral untuk menurunkan sekresi intraluminer yang menyebabkan
muntah dan distensi.

6. Gangguan Fungsi Hati dan Encefalopati


Gangguan fungsi hati berat yang menuju ke gagal hati dapat terjadi pada
pasien dengan metastase hati atau obstruksi saluran empedu. Namun dapat
juga terjadi karena obat, radiasi, infeksi virus dan sumbatan vena hepatika
akibat trombosis. Keadaan yang dapat memacu encefalopati adalah kenaikan
produksi ammonia, hipovolemia, gangguan metabolisme, obat yang menekan
SSP, kelebihan protein, pemberian diuretik, infeksi, perdarahan dan uremia
(MacLeod, R., 2008).
Gejala gagal fungsi hati meliputi kenaikan enzim hati, ikterik, asites,
gatal, penurunan albumin, peningkatan INR dan ensefalopati. Konsentrasi
albumin dan INR menggambarkan kapasitas metabolik. Pada gangguan
fungsi hati berat turunkan dosis obat sampai 50%.
Tatalaksana yang dilakukan adalah bila keadaan ini terjadi pada
stadium terminal, prinsipnya adalag kenyamanan pasien. Pada ensefalopati
hentikan obat-obat yang memacu timbulnya gejala encefalopati, batasi diet
protein dan lactulose 30 mg/8 jam untuk menurunkan produksi amonia.
Halusinansi dan psikosis obati dengan haloperidol dan chlorpromazine. Pada
pasien terminal panggunaan obat yang menekan SSP tidak menjadi
kontraindikasi.

7. Asites Keganasan
Bentuk asites transudatif atau eksudatif dapat terjadi pada pasie
kanker. Penanganan kedu abentuk asites berupa parasintesis abdomen, bila
menyebabkan rasa tidak nyaman atau mengganggu gerakan diafragma.
Parasintesis dilakukan perlahan-lahan selama beberapa jam untuk
menghindari gangguan volume pada sirkulasi darah. Pada dasarnya volume
cairan yang dikeluarkan hanya sebatas menghilangkan rasa tidak nyaman
agar tidak terlalu banyak protein yang hilang. Diuretik dapat mengurangi
asites, terutama jika terjadi hipoproteinemia atau gagal jantung stadium
lanjut. Obat yang digunakan adalah Spironolacton 25 mg – 450 mg PO
dalam dosis terbagi dan Furosemide 40 mg – 80 mg PO.

C. FATIGUE/KELEMAHAN
Kelemahan adalah gejala utama dari kondisi ganas, terutama pada kanker
paru-paru. Tetapi juga pada penyakit paru yang tidak ganas, kelemahan adalah
masalah utama. Kelemahan didefinisikan sebagai kelelahan secara fisik,
emosional atau kognitif yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari (Heigener,
2011). Kelemahan dan cepat lelah sering ditemukan pada pasien kanker stadium
akhir (Iwase, et.al, 2015). Kelemahan terkait kanker didefinisikan sebagai
kelemahan fisik dan atau emosional yang dirasakan terkait dengan kanker atau
perawatan kanker itu. Kondisi ini dapat disebabkan gangguan elektrolit,
dehidrasi, anemia, malnutrisi, hipoksemia, infeksi, gangguan metabolisme,
penggunaan obat, kemoterapi, dan progresifitas penyakit. Perawatan paliatif
adalah perawatan pada pasien yang penyakitnya tidak responsif terhadap kuratif
pengobatan. Perawatan pada pasien yang mengalami kelemahan ini merupakan
perawatan paliatif yang fokus menyeluruh meliputi pemeriksaan fisik dan
penilaian lebih lanjut atau terapi dengan dokter (Kemenkes RI, 2017).
Tatalaksana gejala pada pasien kanker solid stadium akhir yang mengalami
fatigue/kelemahan adalah:
1. Melakukan koreksi faktor penyebab yang memungkinkan untuk dilakukan
perbaikan: gangguan elektrolit, dehidrasi, anemia, infeksi
2. Medikamentosa: dexametason 2mg pagi hari. Bila dalam 5 hari tidak
menunjukkan perbaikan, hentikan
3. Non medikamentosa: olahraga ringan hingga sedang, fisioterapi,
memperbaiki emosi dan kualitas hidup, konseling diet, penambahan
suplemen diet seperti L-karnitin, suplemen protein melalui konsultasi
dengan ahli gizi (jika diperlukan)
4. Tata laksana rehabilitasi medik pada kasus fatigue yaitu dengan relaksasi,
endurance exercise dan save energy for ADL (Ghoshal A, et.al, 2016)

D. GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN


1. Sesak Nafas
Dispnea adalah gejala yang sering terjadi pada pasien kanker lanjut dengan
prevalensi tertinggi pada kanker paru-paru (hingga 74%) meningkat pada
fase terminal (hingga 80%) dengan dampak besar pada kualitas hidup
pasien, keluarganya, serta pengasuh. Data kualitatif menunjukkan bahwa
gejala dapat digambarkan dalam tiga dimensi:
a. Membutuhkan udara yang cukup untuk bernafas tetapi tidak dapat
terpenuhi
b. Kelelahan fisik yang terkait dengan pernapasan
c. Sesak di dada digambarkan dengan perasaan penyempitan dan
ketidakmampuan untuk inspirasi dan ekspirasi secara maksimal.
Sesak nafas dapat merupakan gejala kronis seiring dengan progresifitas
penyakit, namun bisa juga merupakan gejala akut (Kloke, 2015).
Penyebab sesak nafas:
a. Obstruksi jalan nafas: tumor yang menyebabkan obstruksi intrinsik
atau ekstrinsik, kelumpuhan laring, striktur akibat radiasi
b. Penurunan volume paru: efusi pleura, pneumotoraks, tumor, paru
yang kolaps, infeksi, asites
c. Kekakuan paru: edema paru, fibrosis
d. Penurunan pertukaran gas: edema paru, fibrosis, limfangitis
karsinomatosis, emboli, trombus, ganguan sirkualsi paru
e. Gagal jantung kiri
f. Ventilasi yang meningkat: cemas, anemia, masidosis meta- bolik
g. Nyeri: pleuritik, infiltrasi dinding dada, fraktur costa atau vertebra
h. Gangguan neuromuskuler: paraplegia, kelumpuhan nervus
frenikus, kaheksia, paraneuroplastik sindrom
Anamnesis untuk menilai sesak nafas:
1. Tingkat beratnya sesak nafas: ringan, sedang, berat
2. Akut atau kronik
3. Frekuensi sesak nafas
4. Kualitas sesak nafas: kesulitan inspirasi/ ekspirasi
5. Faktor yang memperberat atau memperingan
Kelainan yang mendasari dapat diketahui melalui:
1. Riwayat penyakit dahulu dan sekarang (penyakit paru atau jantung,
kelemahan muskuler akibat kaheksia atau penyakit motor neuron,
metastase paru)
2. Pemeriksaan fisik: bronkokonstriksi, efusi plesura, gagal jantung atau
gangguan diafragma
3. Pemeriksaan lain: foto toraks, saturasi oksigen dan analisa gas darah
4. Respon terhadap pengobatan yang diberikan.
Tatalaksana:
1. Menangani terapi penyebab
2. Non Medikamentosa:
a. Dukungan psikososial: bahas tentang kecemasan dan ketakutan
dengan mendengarkan secara aktif, pemberian penjelasan dan
yakinkan
b. Atur posisi nyaman
c. Ajarkan cara menggunakan dan menyimpan energi
d. Fisioterapi: cara bernafas
e. Aliran udara segar: buka jendela, fan
3. Medikamentosa:
a. Oksigen: bila terjadi hipoksia
b. Opioid: morfin menurunkan sensasi sesak nafas tanpa menyebabkan
depresi pernafasan. Untuk pasien yang belum pernah mendapatkan
opioid, berikan IR mofin 2.5 – 5 mg PO atau morfin 1 – 2.5 mg SK.
Jika berlanjut SR 10 mg/24 jam secara teratur. Pada pasien yang
telah mendapat morfin sebelumnya, berikan dosis 1/12 -1/6 dosis
dasar. Bila berlanjut, naikkan dosis dasar 30 – 50%.
c. Cemas dan panik: Alprazolam 0,125 PO 2x sehari atau klonazepam
0,25 PO 2x/hari atau diazepam 2 mg PO, 2x sehari. Bila tidak
berhasil: midazolam 2.5 mg SC
d. Nebulizer: gunakan saline
e. Bronkodilator: salbutamol bila terjadi obstruksi
f. Korticosteroid: pada limfangitis karsinomatosa, obstruksi bronkus
atau pneumonitis radiasi
g. Diuretik: Gagal Jantung Kongestif dan edema paru
h. Antikolinergik: untuk sekresi yang berlebihan (Kemenkes RI, 2017).

2. Batuk
Batuk diawali dengan adaptasi secara cepat reseptor 'iritan' yang terletak di
laring dan saluran nafas, terutama di percabangan bronkus. Reseptor batuk
tersebut dapat dirangsang oleh berbagai faktor seperti asap, histamin atau
benda asing. Penting untuk dilakukan penilaian apakah batuknya produktif
atau tidak, faktor pemicu, dan kapan batuk terjadi (Heigener dan Rabe,
2011). Penyebab batuk yang terbanyak pada pasien paliatif adalah:
1. Penyakit penyerta: asma bronkial, infeksi, COPD, CHF
2. Kanker paru atau metastase paru
3. Efusi pleura
4. Aspirasi, gangguan menelan
5. Limfangitis karsinomatosis
Tatalaksana:
Secara medikamentosa. Obat untuk mengobati batuk dapat dibagi menjadi
dua kategori: yang membuat batuk lebih efektif dan yang menghambat
refleks batuk. Batuk dengan sputum diberikan nebulizer salin,
bronkodilator; batuk kering diberikan codein; batuk karena emfisema dapat
diberikan oksigen; batuk karena tumor endobronkial, limfan- gitis,
pneumonitis akibat radiasi dapat diberikan kortikosteroid (Heigener, 2011).

3. Batuk Darah (Haemoptysis)


Penyebab batuk darah pada pasien paliatif adalah:
1. Erosi tumor
2. Infeksi
3. Emboli paru atau ganguan pembekuan darah
Tata laksana:
Mengatasi penyebab apabila memungkinkan.
1. Perdarahan ringan (tidak memerlukan tindakan)
2. Bila perdarahan berlanjut: asam transeksamat min 3x1g-1.5g/hari,
pertimbangkan radiasi
3. Pada perdarahan massif, tindakan invasive tidak layak
dilakukan. Berikan midazolam 2,5 mg-10 mg untuk
mengurangi kecemasan dan rasa takut
4. Gunakan kain/handuk berwarna gelap untuk menampung darah
yang keluar agar pasien/keluarga tidak takut (Kemenkes RI,
2017).

4. Cekukan (Hiccups)
Cegukan adalah kontraksi tiba-tiba yang tak disengaja pada diafragma, dan
umumnya terjadi berulang-ulang setiap menitnya. Udara yang tiba-tiba
lewat ke dalam paru-paru menyebabkan glottis (ruang antara pita suara)
menutup (Kloke, 2015).
Penyebab:
1. Distensi gaster
2. Iritasi diafragma
3. Iritasi nervus vagus atau nervus frenikus
4. Gangguan metabolik: uremia, gangguan fungsi hati
Tata laksana:
1. Mengatasi penyebabnya (distensi abdomen)
2. Distensi abdomen: metochlopromide jika tidak ada kontrain- dikasi
Non Medikamentosa:
Stimulasi faring dengan air dingin medikamentosa:
b. Haloperidol 0,5 mg – 5 mg/hari
c. Baclofen 3x 5mg, dosis sesuaikan pada gangguan ginjal
d. Kortikosteroid (Kemenkes RI, 2017).

E. GANGGUAN KULIT
1. Pruritus
Pruritus merupakan hal yang jarang didapati dalam perawatan paliatif
pasien kanker, dengan frekuensi sekitar 5% dan 24% untuk pasien dengan
diagnosis kanker fase terminal. Manifestasi pruritus pada pasien selama paliasi
dapat menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi dalam mempersulit
aktivitas pasien. Pruritus bukan hanya gangguan kulit, tetapi lebih merupakan
masalah sistemik dari berbagai penyebab. Selain itu, tergantung pada penyebab
pruritus, pendekatan paling sesuai untuk manifestasi klinis tertentu mungkin
tidak selalu berhasil untuk yang lain dan sebaliknya (Seccareccia et al., 2011;
Anand et al., 2012).
Pruritus pada keganasan dapat dikaitkan dengan beberapa faktor, seperti
sel-sel penyebab kanker yang menghasilkan sensasi gatal, efek samping dari
obat kanker, obat yang digunakan dalam manajemen nyeri (misalnya opioid)
dan komplikasi dari keganasan seperti gagal ginjal dan kolestasis (Anand et al.,
2012). Pruritus pada tumor padat dipercaya menandakan perkembangan
penyakit. Namun, bisa jadi karena reaksi imunologis terhadap antigen spesifik
tumor meskipun patofisiologinya tidak sepenuhnya jelas. Gatal dapat
terlokalisir sebagai rasa gatal perianal pada kanker kolorektal, gatal vulva pada
kanker serviks atau gatal skrotum pada kanker prostat. Rasa gatal juga dapat
disebabkan oleh obstruksi bilier, misalnya, pada kanker pankreas, di mana
drainase bilier dengan stenting adalah terapi yang sangat efektif (Alshammary,
2016).
Terlepas dari penyebab pruritus pada pasien paliatif, hal yang penting
adalah menjaga keadaan kulit agar tetap lembab. Xerosis, atau kulit kering,
dapat menyertai semua penyebab pruritus pada pasien paliatif. Oleh karena itu,
langkah terbaik adalah memberikan pelembab kulit secara teratur, terutama
setelah mandi. Mandi harus diminimalkan dan air hangat dengan dipakaikan
sabun yang ringan dan tidak mengandung parfum. Tindakan lainnya termasuk
mengenakan pakaian longgar, tidak membuat iritasi, dan menghindari agen
topikal yang mengandung pengharum. Lingkungan yang sejuk dan lembab
sangat ideal untuk menghindari masalah kulit (Walsh, 2008). Agen topikal juga
dapat membantu, dengan menggunakan mentol 1% atau 0,5% hingga fenol 2%.
Untuk daerah gatal yang terlokalisir, agen seperti krim lidokain 2,5% dapat
membius ujung saraf sensorik. Namun, krim lidokain dalam jumlah besar harus
dihindari karena berpotensi toksisitas ketika diserap. Daerah-daerah gatal yang
mungkin juga merespon agen yang menghambat mediator pruritus - misalnya,
capsaicin, yang menghabiskan zat neuropeptida P. Jika ada peradangan lokal,
kortikosteroid topikal juga dapat bermanfaat. Selain itu dapat juga diberikan
antihistamin seperti loratadine dan cetirizine (Seccareccia et al., 2011).

2. Dekubitus
Ulkus dekubitus sering dijumpai pada pasien dengan kanker stadium akhir
dikarenakan terjadinya penurunan kemampuan berjalan atau terjadi imobilitas,
sehingga terjadi gesekan dan tekanan yang terus menerus antara tubuh pasien
dengan pakaian dan kasur. Ulkus juga dapat disebabkan karena kerapuhan
jaringan sebagai efek samping dari kemoterapi dan radiasi (Hendrichova et al.,
2010). Beberapa pencegahan dan tatalaksana seperti reposisi pasien mungkin
tidak bisa dilakukan pada setiap pasien karena terbatas rasa sakit atau mual.
Tatalaksana yang dapat dilakukan dan tetap menjaga kenyamanan pasien dapat
berupa penggunaan pelindung kulit, penggunaan kasur anti dekubitus,
medikasi teratur, dan pembalutan luka. Terapi dengan metronidazole dapat
diberikan untuk meminimalkan bau dari luka. Tujuan utama dari terapi paliatif
dalam mengatasi dekubitus adalah meminimalkan bau dan kelebihan eksudat,
mengendalikan rasa sakit, menghindari infeksi, serta menstabilkan luka
(Hendricova et al., 2010).

3. Cancer wound
Cancer wound terjadi ketika sel-sel kanker menyerang epitel, infiltrasi ke
pembuluh darah dan kelenjar limfonodi, dan menembus epidermis. Hal ini
menyebabkan hilangnya vaskularisasi dan nutrisi pada kulit, yang
menyebabkan kematian jaringan dan nekrosis. Lesi kanker ini mungkin
merupakan akibat dari kanker primer atau metastasis ke kulit (BC Cancer
Agency Care, 2011).
Prinsip yang paling penting dalam perawatan cancer wound adalah manajemen
gejala, kemudian diikuti oleh manajemen luka dan pengobatan tumor yang
mendasarinya jika mungkin dan tepat. Untuk mengelola cancer wound dengan
benar, bau dan eksudat pada luka harus ditangani, dan secara bersamaan
memusatkan perhatian pada penanganan rasa tidak nyaman akibat luka-luka ini
(O’ Brien, 2012).
Tatalaksana paliatif yang dilakukan untuk cancer wound dapat berupa anti
inflamasi untuk mengurangi peradangan dan nyeri pada luka, antibiotik untuk
mengobati infeksi jika terdapat tanda-tanda infeksi, dan medikasi dan
debridement jaringan nekrosis serta medikasi teratur (Pieper et al., 2009).

F. GANGGUAN SALURAN KEMIH


Neuropati perifer mengacu pada neuropati sensorik / motorik dengan nyeri,
dan ini merupakan komplikasi utama yang terjadi pada sekitar 40% pasien kanker
yang menerima kemoterapi (1). Sekitar 20% pasien kanker yang menerima
kemoterapi secara bersamaan mengeluh retensi urin atau neuropati residual
(Grisold et al., 2012). Gejala saluran kemih bagian bawah/lower urinary tract
symptoms (LUTS) yang dikeluhkan termasuk disuria dan motorik dan disfungsi
saraf sensorik di uretra. LUTS dibagi menjadi storage symptoms (seperti frekuensi,
nokturia, dan inkontinensia urin), voiding symptoms (seperti hesistansi),dan gejala
post voidig (seperti polakisuria dan post void dribbling) (Faithfull, 2015).
Selain itu, radioterapi dapat mengiritasi lapisan dinding kandung kemih dan
dinding otot, yang menyebabkan penurunan kemampuan pemenuhan dan kapasitas
kandung kemih (11). Beberapa obat-obat kemoterapi juga dapat menyebabkan
gejala sistitis hemoragik (misalnya, frekuensi-urgensi, dan nyeri panggul) (12),
yang dapat meningkatkan risiko sistitis, fibrosis, disfungsi sfingter, atau kandung
kemih. kekakuan otot (11,12).
Pada pasien dengan LUTS dapat diberikan terapi berupa antikolinergik dan
α-blocker untuk meningkatkan fungsi dari vesica urinaria. Setelah itu, dapat
dilakukan pertimbangan kembali dalam pemberian obat-obat kemoterapi dan
tindakan radiasi yang mempunyai potensi mengakibatkan LUTS (Cho, 2018). Pada
pasien kanker fase terminal dengan imobilisasi, pemasangan kateter dan
pengurangan intake cairan dapat membantu (Cho, 2018).

G. GANGGUAN HEMATOLOGI PADA KANKER


1. Anemia
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel
darah merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah.
Menurut kriteria WHO anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada
pria dan di bawah 12 g% pada wanita (Mehta, 2004). Berdasarkan kriteria
WHO yang direvisi/ kriteria National Cancer Institute, anemia adalah kadar
hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita.
Kriteria ini digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita dengan keganasan
(Mehta, 2004). Anemia merupakan tanda adanya penyakit. Anemia selalu
merupakan keadaan tidak normal dan harus dicari penyebabnya (Mehta et al.,
2006).
Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat disebabkan
karena aktivasi sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang ditandai dengan
peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti interferon, Tumor Necrosis
Factor (TNF) dan interleukin yang semuanya disebut sitokin, dan dapat juga
disebabkan oleh sel kanker sendiri. Konsekuensi klinis anemia pada kanker:
a. Gangguan oksigenasi jaringan
b. Gangguan fungsi organ
c. Gangguan kualitas hidup
d. Meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya pendarahan karena
trombositopenia
e. Meningkatkan angka kematian pasca operasi
f. Meningkatkan kemungkinan mendapat transfusi darah pasca kemoterapi
g. Meningkatkan absorpsi besi bila eritropoiesis tidak efektif. Menurunkan
umur kehidupan (karena infeksi HIV).

2. Perdarahan
Perdarahan terjadi pada 20% pasien kanker stadium lanjut dan
menyebabkan kematian pada 5% pasien. Perdarahan internal lebih sering
terjadi. Hematom yang banyak dan perdarahan pada gusi dan hidung serta
perdarahan gastrointestinal menun-jukkan lebih kepada gangguan platelet
sedang perdarahan pada persendian atau otot lebih mengarah kepada defisiensi
salah satu faktor pembekuan. Pada pasien kanker, dapat terjadi kenaikan
Prothrombin Time dan APTT akibat ganguan fungsi hati berat, defisiensi vit K
dan koagulasi intravaskular diseminata.

3. Deep Vein Thrombosis (DVT)


Kanker menyebabkan berlebihnya pembentukan tissue factor (TF) dan
menyebabkan hiperkoagulasi. DVT banyak ditemukan pada pasien kanker
paru, payudara, gastrointestinal. teruta-ma pankreas dan SSP.
DVT sering tidak menimbulkan gejala pembengkakan dan nyeri. Kadang
menyerupai limfoedema atau penekanan vena besar. Pada pasien yang
kondisinya memungkinkan, USG Doppler perlu dilakukan untuk mendiagnosa
DVT.
Tata laksana:
a. NSAID
b. Kompresi dengan stocking
c. Pada DVT di tungkai bawah: Posisi tungkai lebih tinggi
d. Antikoagulan:
Pada pasien dengan resiko perdarahan tinggi seperti renal cell
karsinoma dan melanoma, pemberian antikoagulan adalah kontraindikasi.
Konsultasi dengan hematologist/internist diper- lukan untuk pemberian
antikoagulan.
Tata laksana rehabilitasi medik pada DVT diberikan sesuai kondisi pasien

4. Trombositopenia
Trombosit 10.000-20.000 sangat jarang menyebabkan perdarahan
massif (0.1%/hari). Sedang dibawah 10.000 resikonya meningkat menjadi
2%/hari. Sebagian besar perdarahan massif terjadi pada trombosit dibawah
5.000. sedangkan, risiko untuk terjadinya perdarahan intrakranial bila
trombosit kurang dari 1.000. Trombositopenia juga dapat disebabkan oleh
penggunaan heparin (Heparin Induced Trombositopenia) bisa terjadi kurang
dari 4 hari setelah pemakaian heparin, namun biasanya antara 5-8 hari.
Dianjurkan untuk menghentikan heparinisasi. Bila trombosit kurang dari 5.000,
transfusi trombosit dapat dilakukan bila keadaan pasien memungkinkan.
Konsultasikan dengan dokter hematologist/internist bila pemberian trombosit
direncanakan.
Abnormalitas jumlah trombosit memberikan informasi penting untuk
diagnostik. Trombositopenia didapatkan pada beberapa keadaan yang
berhubungan dengan anemia, misalnya hipersplenisme, keterlibatan keganasan
pada penyakit, destruksi trombosit autoimun (idiopatik atau karena obat),
sepsis, defisiensi folat atau B12 (Mehta et al., 2006).
5. Neutropenia
Hubungan antara neutropenia dan infeksi merupakan salah satu penyebab
utama morbiditas dan mortalitas pasien kanker yang mendapat kemoterapi
yang bersifat mielosupresif. Pemberian segera antibiotic spektrum luas secara
empiris dapat memperbaiki outcome pasien dengan neutropenia. Baik derajat
dan durasi neutropenia merupakan faktor penting yang berhubungan dengan
risiko dan outcome infeksi. Komplikasi neutropenia akibat kemoterapi
menyebabkan perawatan yang lebih lama, juga menyebabkan banyak
tertundanya atau direduksinya dosis kemoterapi yang dapat berpengaruh pada
kesintasan pasien tumor padat (Pascoe and Cullen, 2006).

6. Pansitopenia
Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan
netropenia. Pansitopenia berat dapat ditemukan pada anemia aplastik,
defisiensi folat, vitamin B12, atau keganasan hematologis (leukemia akut).
Pansitopenia ringan dapat ditemukan pada penderita dengan splenomegali dan
splenic trapping sel-sel hematologis (Mehta et al., 2006).
Terapi suportif yang dapat dilakukan pada pasien kanker yang mengalami
pansitopenia diantaranya:
a. Untuk mengatasi infeksi
1) Hygiene mulut.
2) Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotic yang adekuat.
3) Transfusi granulosit konsetrat diberikan pada sepsis berat.
b. Cara untuk mengatasi anemia
1) Berikan transfuse packed red cell (PRC) jika Hb kurang dari 7 gr/dl atau
tanda payah jantung atau anemia yang sangat simptomatik.
2) Koreksi Hb sebesar 9-10 g%, tidak perlu sampai normal karena akan
menekan eritropoiesis internal. Pada penderita yang akan dipersiapkan
untuk transplantasi sumsum tulang pemberian transfuse harus lebih berhati-
hati.
c. Usaha untuk mengatasi perdarahan
Berikan transfusi konsetrat trombosit jika terdapat perdarahan mayor atau
trombosit kurang dari 20.000 /mm3.

H. GANGGUAN SISTEM SARAF PADA KANKER


1. Kejang
Kejang dapat terjadi karena tumor primer atau metastase otak,
perdarahan, obat yang merangsang kejang atau penghentian benzodiazepine,
gangguan metabolism (hyponatremia, uremia, hyperbilirubinemia) atau
infeksi. Kejang pada pasien stadium terminal dapat juga karena penyakit yang
sudah ada sebelum-nya. Pada kejang yang bukan karena penyakit lama,
gunakan: Clonazepam 0.5 – 1 mg sublingual atau diazepam 5 – 10 mg PR atau
midazolam 2.5 – 5 mg SC.
Jika belum berhenti, berikan: Phenobarbital 100 mg SC atau Phenytoin
15 – 20 mg/kg IV lambat, maksimum 50 mg/menit. Myoclonus adalah kejang
yang tiba tiba, sebentar. Dapat terjadi secara fokal, regional atau mulitfokal,
unilateral atau bilateral. Gunakan diazepam 5mg PR lanjutkan 5 – 10 mg PR
o.n atau midazolam 5mg SC kalau perlu (Victor et al., 2007).

2. Distonia dan akatisia akut


Distonia terjadi secara akut beberapa hari setelah pemakaian obat. Bila
karena metoklopramid, gantikan dengan domperidon dan berikan benzatropin
1 – 2mg IV. Ulang setelah 30 menit bila perlu. Dapat juga digunakan
diphenhidramin 20 -50 mg IV diikuti 25 – 50 mg 2 – 4x/ hari
Penggunaan neuroleptik seperti haloperidol dan prochlorperazin dapat
memberikan efek samping akatisia. Hentikan penyebabnya bila mungkin.
Gunakan obat seperti distonia atau ditambah diazepam 5 mg bila memberikan
respon parsial.
Tata laksana rehabilitasi medik pada kasus neuropati/defisit neurologis
dan myopati atau muscle spasm adalah dengan memberikan modalitas
electrical stimulation (faradisasi atau galvanisasi), strengthening dan
endurance exercise, relaksasi, muscle massage & stretching, propper body
positioning.

3. Kompresi sumsum tulang belakang


Kompresi sumsum tulang belakang merupakan keadaan kegawat
darurat yang memerlu- kan tatalaksana yang adekuat. Terjadi pada 5% pasien
kanker stadium lanjut. Penyebabnya antara lain penjalaran sel kanker dari
vertebra ke epidural, intradural metastase atau vertebra yang kolaps. Terbanyak
terjadi pada vertebra torakalis, diikuti vertebra lumbalis dan servikalis. Nyeri,
kelemahan ekstremitas bawah, gangguan sensori dan kehilangan kontrol otot
sfingter adalah gejala kompresi tulang belakang.
Tata laksana:
a. Dexametasone 16 mg/ hari dalam beberapa hari kemudian tapering off
b. Radioterapi
c. Dekompresi bila memungkinkan.
Tatalaksana rehabilitasi medik pada kasus metastase ke verte- bra,
dilakukan pemasangan spinal orthose (brace, korset)/ Tata laksana rehabilitasi
medik pada kasus immobilisasi lama menyangkut semua sistem tubuh yang
terganggu akibabat immobilisasi lama (sindroma immobilisasi), yang
merupakan program kolaborasi dari dokter, fisioterapis, terapis okupasi dan
ortotis (bila diperlukan alat bantu ortosa). (Vella-Brincat et al., 2008)

I. GANGGUAN PSIKIATRI
1. Delirium
Delirium adalah kondisi bingung yang terjadi secara akut dan
perubahan kesadaran yang muncul dengan perilaku yang fluktuatif. Gangguan
kemampuan kognitif mungkin merupakan gejala awal dari delirium. Delirium
sangat mengganggu keluar-ga karena adanya disorientasi, penurunan perhatian
dan konsentrasi, tingkah laku dan kemampuan berfikir yang tidak terorganisir,
ingatan yang terganggu dan kadang muncul halusi-nasi. Kadang muncul dalam
bentuk hiperaktif atau hipoaktif dan perubahan motorik seperti mioklonus.
Penyebab delirium bermacam macam, seperti:
a. Gangguan biokimia: hiperkalsemia, hiponatremia, hipoglike-mia,
dehidrasi
b. Obat: opioid, kortikosteroid, sedative, antikolinergik, benzodi-azeepin
c. Infeksi
d. Gangguan fungsi organ: gagal ginjal, gagal hati
e. Anemia, hipoksia
f. Gangguan SSP: tumor, perdarahan
Tatalaksana
a. Koreksi penyebab yang dapat segera diatasi : penyebab yang mendasari atau
pencetusnya
b. Non Medikamentosa:
1. Pastikan berada di tempat yang tenang, dan pasien merasa aman,
nyaman dan familier
2. Singkirkan barang yang dapat membahayakan
3. Jangan sering mengganti petugas
4. Hadirkan keluarga, dan barang barang yang dikenal
5. Dukungan emosional
c. Medikamentosa
3. Haloperidol 0,5 mg- 2,5 mg PO/6 jam atau 0,5-1 mg SK/6 jam,
namun bisa diberikan setiap 30-60 menit dengan dosis maksimal 20
mg/hari
4. Pada pasien yang tidak dapat diberikan haloperidol karena efek
samping
5. Risperidone 0.5 mg- 2 mg Oral/hari dalam dosis terbagi
6. Olanzepine 2.5 mg – 10 mg Oral/hari dalam dosis terbagi
7. Benzodiazepine bila penyebabnya ensepalopati hepatik, HIV
8. Loarazepam 0,5 – 1 mg sublingual, tiap 1 – 3 jam atau
9. Midazolam 2,5 – 5 mg SK tiap 1 – 3 jam.
2. Depresi
Harus dibedakan antara depresi dan sedih. Sedih adalah reaksi normal
pada saat seseorang kehilangan sesuatu. Lebih sulit mendiagnosa depresi.
Kadang diekspresikan sebagai gangguan somatik. Kadang bercampur dengan
kecemasan. Kemampuan bersosialisasi sering menutupi adanya depresi.
Depresi adalah penyebab penderitaan yang reversibel. Gejala psikologis pada
depresi mayor`adalah:
a. Rasa tidak ada harapan/putus asa
b. Anhedonia
c. Rasa bersalah dan malu
d. Rendah diri dan tak berguna
e. Ide untuk bunuh diri yang terus menerus
f. Ambang nyeri menurun
g. Perhatian dan konsentrasi menurun
h. Gangguan memori dan kognitif
i. Pikiran negatif
j. Perasaan yang tidak realistic
Tata laksana :
a. Depresi ringan dan sedang: dukungan, empati, penjelasan, terapi kognitif,
simptomatis
b. Depresi berat:
Terapi suportif
Obat : SSRI selama 4 – 6 minggu. Bila gagal
Psikostimulan : berikan TCA methylpenidate 5 – 20 mg pagi hari
3. Kecemasan
Cemas dan takut banyak dijumpai pada pasien stadium lanjut. Cemas
dapat muncul sebagai respon normal terhadap keadaan yang dialami. Mungkin
gejala dari kondisi medis, efek samping obat seperti bronkodilator, steroid atau
metilfenidat atau reaksi fobia dari kejadian yang tidak menyenangkan seperti
kemoterapi.
Kecemasan pada pasien terminal biasanya kecemasan terhadap
terpisahnya dari orang yangdicintai, rumah, pekerjaan, cemas karena ke
tidakpastian, menjadi beban keluarga, kehilangan control terhadap keadaan
fisik, gagal menyelesaikan tugas, gejala fisik yang tidak tertangani dengan
baik, karena ditinggalkan, tidak tahu bagaimana kematian akan terjadi, dan hal
yang berhubungan dengan spiritual. Cemas ditandai oleh perasaan takut atau
ketakutan yang sangat dan dapat muncul dengan bentuk gejala fisik seperti
palpitasi, mual, pusing, perasaan sesak nafas, tremor, berkeringat atau diare.
Tata laksana:
Non Medikamentosa :
a. Dukungan termasuk mencari dan mengerti kebutuhan dan apa yang
menjadi kecemasannya dengan mendengarkan dengan seksama dan
memberikan perhatian pada hal- hal yang khusus.
b. Memberikan informasi yang jelas dan meyakinkan bahwa akan terus
memberikan dukungan untuk mencapai harapan yang realistik.
c. Intervensi psikologi: distraksi untuk menghilangkan kejenuh-an dan
pikiran yang terpusat pada diri sendiri
d. Perawatan spiritual
Medikamentosa:
a. Benzodiazepin: diazepam, alprazolam, lorazepam
b. Penghambat Beta untuk mengatasi gejala perifer
BAB III
PENUTUP

Terapi paliatif bukan bertujuan menyembuhkan, tapi lebih pada mengatasi


gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Pendekatannya adalah mengatasi gejala
simptomatik akibat penyakit kanker sendiri ataupun efek samping dari pengobatan
antikanker yang diterima pasien, misalnya kelelahan, nyeri, mual-muntah, diare dan
konstipasi, gangguan tidur, dsb.

Beberapa intervensi pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi dapat diberikan baik


untuk mengatasi gejala yang menganggu maupun untuk memperpanjang usia harapan
hidup pada kanker stadium lanjut yang tidak dapat disembuhkan. Ketika sudah mendekati
akhir, adalah penting untuk membantu pasien menemui kematiannya dengan nyaman dan
tenang, bila perlu dengan menghentikan segala bentuk tindakan dan intervensi medis yang
tidak bermanfaat.

Terapi paliatif pada penderita keganasan ovarium atau kanker ginekologi yang lain
dapat diberi bersamaan ataupun setelah terapi definitif. Terapi paliatif ditujukan untuk
mengurangi gejala penyakit dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Pada pasien stadium
terminal, intervensi medis yang berlebihan dan sia-sia sebaiknya dihindari untuk
kenyamanan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahrezi A, Al-Mandhari Z. Palliative care: time for action. Oman Medical


Journal. 2016; 31(3): 161-163.

Alshammary SA, Duraisamy BP, Alsuhail A. Review of management of pruritus in


palliative care. Journal of Health Speciality. 2016;4:17-23.
Anand S. Gabapentin for pruritus in palliative care. Am J Hosp Palliat Med
2012;30:192-6.
Andrade RS, Proctor JW, Slack R Marlowe U, et al. 2010. A simple and effective
daily pain management method for patients receiving radiation therapy for
painful bone metastase. Int J Radiat Oncol Biol Phys; article in press.

BC Cancer Agency Care and Research [website]. Care of malignant wounds


Vancouver, BC: BC Cancer Agency; 2011.
Bowman, B., & Meier, D. E. (2017). Palliative care for respiratory disease: An
Education Model of Care. Chronic Respiratory Disease, 15(1), 36–40.

Bruera E, Sweeney C. Palliative care models: international perspective. J Palliat


Med. 2002;5(2):319-327.

Cho OH, Yoo YS, Kim JC, Park RH, Hwang KH. Factors influencing lower urinary
tract symptoms in advanced cancer patients with chemotherapy-induced
peripheral neuropathy. Int Neurourol J 2018; 22(3):192-199.
Departemen Kesehatan, Survei Kesehatan Nasional. Laporan studi mortalitas 2001.
Depkes R I Jakarta, 2002. [cited 2019 Sept 7]. Available from:
http://www.riskesda.com.

Faithfull S, Lemanska A, Aslet P, Bhatt N, Coe J, Drudge-Coates L, et al.


Integrative review on the non-invasive management of lower urinary tract
symptoms in men following treatments for pelvic malignancies. Int J Clin
Pract 2015;69:1184-208.
Ferrell BR, Temel JS, Temin S, Alesi ER, Balboni TA, Basch EM, et al. Integration
of Palliative Care Into Standard Oncology Care: American Society of Clinical
Oncology Clinical Practice Guideline Update. J Clin Oncol. 2017; 35 (1):96-
112.
Ghoshal A., Salins N., Deodhar J., Damani A., Muckaden M. (2016). Fatigue and
quality of life outcomes of palliative care consultation: A Prospective,
Observational Study in a Tertiary Cancer Center. Indian J Palliat Care:
22(4): 416–426.

Gomes B, Calanzani N, Curiale V, McCrone P, Higginson IJ. Effectiveness and


cost-effectiveness of home palliative care services for adults with advanced
illness and their caregivers. Cochrane Database Syst Rev. 2013;6(6).

Grisold W, Cavaletti G, Windebank AJ. Peripheral neuropathies from


chemotherapeutics and targeted agents: diagnosis, treatment, and prevention.
Neuro Oncol 2012;14(4):45-54.
Haggerty, M. Nausea and Vomiting. In: Donna O., Christine J., Karen B. (ed.)
The Gale Encyclopedia of Medicine. Farmington Hills: Gale Research; An
International Thomson company; (2005). , 21-34

Heigener, D. F., & Rabe, K. F. (2011). Palliative care concepts in respiratory


disease. Respiration, 82(6), 483–491.

Hendrichova I, Castelli M, Mastroianni C, Piredda M, Surdo L, Marinis MGD et


al. Pressure ulcers in cancer palliative care patients. Palliative Medicine 2010;
24(7): 669-673.
Higginson IJ, Bausewein C, Reilly CC, Gao W, Gysels M, Dzingina M, et al. An
integrated palliative and respiratory care service for patients with advanced
disease and refractory breathlessness: a randomised controlled trial. Lancet
Respir Med. 2014;2(12):979-987.

Howie L, Peppercorn J. Early palliative care in cancer treatment: rationale,


evidence and clinical implications. Ther Adv Med Oncol. 2013;5(6):318-323.

Iwase S, Kawaguchi T, Tokoro A, Yamada K, Kanai Y, Matsuda Y, et al. (2015).


Assessment of cancer-related fatigue, pain, and quality of life in cancer
patients at palliative care team referral: A Multicenter Observational Study
(JORTC PAL-09). PLoS ONE 10(8): 1-11.

Jordan, K, Kasper, C, & Schomll, H-J. Chemotherapy-Induced Nausea and


Vomiting: Current and New Standards in The Antiemetic Prophylaxis and
Treatment. European Journal of Cancer (2005). , 41, 199-205.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Petunjuk Teknis Paliatif


Kanker pada Dewasa. Jakarta: DIT.P2PTM.
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Buletin Kanker. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI: Jakarta.

Kloke, M., & Cherny, N. (2015). Treatment of dyspnoea in advanced cancer


patients: ESMO Clinical Practice Guidelines. Annals of Oncology, 26(suppl
5), v169–v173.

Lim, R. B. L. (2016). End-of-life care in patients with advanced lung cancer.


Therapeutic Advances in Respiratory Disease, 10(5), 455–467.

Mehta, Atul., Hoffbrand, Victor. 2006. Haematology at a Glance. diterjemahkan


oleh : dr. Hunawarti Hartanto. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Molassiotis, A, & Börjeson, S. Nausea and Vomiting In: Kearney N., Richardson
A.,editor. Nursing Patients With Cancer/ Principles and Practice.
Philadelphia: Churchill Livingstone; (2006). , 415-437.

Narsavage, G. L., Chen, Y.-J., Korn, B., & Elk, R. (2017). The potential of
palliative care for patients with respiratory diseases. Breathe, 13(4), 278–
289.

O’Brien C. Malignant Wounds. Canadian Family Physician 2012; 58: 272-274.


Palliative Expert Group. 2005. Therapeutic Guidelines Palliative Care, version 2,
Therapeutic Guideline Limited, Melbourn

Pascoe, M. and Cullen, J. (2006). The prevention of febrile neutropenia. - PubMed


- NCBI. [online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16721125 [Accessed 10 Sep. 2019].

Pieper B. Honey-based dressings and wound care: an option for care in the United
States. J Wound Ostomy Continence Nurs 2009;36(1):60-6.
Rome RB, Luminais HH, Bourgeois DA, Blais CM. The role of palliative care at
the end of life. The Ochsner Journal. 2011; 11:348-352.

Seccareccia D, Gebara N. Pruritus in palliative care: Getting up to scratch. Can Fam


Physician 2011;57:1010-3, e316-9.
Shibuya K, Mathers CD, Boschi-Pinto C, Lopez AD, Murray CJL. 2003. Global
and regional estimates of cancer mortality and incidence by site: II. Results
for the global burden of disease 2000.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC183848/ diunduh pada
tanggal 10 September 2019.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 2 (4th ed). Jakarta: Interna Publishing, 2009; p. 1035-
40.

Vella-Brincat, J, Macleod, A.D, MacLeod, R, 2008, The Palliative Care Handbook,


Guidelines for Clinical mnanagement and Symptom Control, 4th edn, The
Caxton Press, Auckland.

Vella-Brincat, J, Macleod, A.D, MacLeod, R, 2008, The Palliative Care


Handbook, Guidelines for Clinical mnanagement and Symp- tom Control,
4th edn, The Caxton Press, Auckland.

Victor TC, Neil AH, Bianca BL : Assessment of pain and other symp toms dalam Cancer
pain management. M.J Fish and AW Buton, pp 3 – 22. The Mc Graw Hill
Companies, New York; 2007

Victor TC, Neil AH, Bianca BL : Assessment of pain and other symp toms dalam
Cancer pain management. M.J Fish and AW Buton, pp 3 – 22. The Mc
Graw Hill Companies, New York; 2007

Walsh D, editor. Palliative medicine. Expert consult: online and print. Philadelphia,
PA: WB Saunders; 2008.
World Health Organization. Palliative Care. Tersedia dalam
https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/palliative-care. 19
Februari 2018 (diakses pada 5 September 2019).

World Health Organization. The global burden of disease 2004, update. Geneve:
WHO, 2008. [cited 2019 Sept 7]. Available from: http://www.WHO.com.

Zeppetella. Breaktrhough Pain in Cancer Patients. 10 September 2019. Didapat dari


Journal homepage: www.elsevier.com/locate/-clon

Anda mungkin juga menyukai