Oleh:
Nanda Kurnia Ramadhan G991903043
Nathasya Vania G991903044
Nopriyan Pujokusuma G991903045
Noviana Pravita Dewi G991905046
Nur Kalih Diah Puspitorini G991905047
Pembimbing:
Oleh:
Nanda Kurnia Ramadhan G991903043
Nathasya Vania G991903044
Nopriyan Pujokusuma G991903045
Noviana Pravita Dewi G991905046
Nur Kalih Diah Puspitorini G991905047
A. NYERI
Nyeri adalah keluhan yang paling banyak dijumpai pada pasien kanker
stadium lanjut. Terdapat 2 jenis nyeri pada kanker yaitu nyeri nosiseptif dan
nyeri neuropatik (Andrade, et al., 2010).
1. Skala Nyeri
a. NRS (Numeric Rating Scale)
Tanyakan intensitas nyeri dengan menggunakan angka 0-10:
0 berarti tidak nyeri
1-3 berarti nyeri sedang
4-10 berarti nyeri berat
b. Categorial Scale
Dibagi atas: nyeri ringan – nyeri sedang – nyeri berat
c. Behaviour Pain Scale
Digunakan pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi atau
menggunakan ventilator (Payen JF, et al., 2001)
2. Tatalaksana Nyeri
a. Medikamentosa
1) Analgetik
a) NSAID
NSAID sangat efektif untuk menangani nyeri tulang, namun
biasa juga digunakan pada nyeri akibat inflamasi dan kerusakan
jaringan, nyeri karena metastase tulang, demam neoplastik dan nyeri
post operasi (Zeppetella, 2005).
b) Non opioid
Analgetik non opioid digunakan untuk nyeri ringan, terutama
untuk jaringan lunak dan muskuloskeletal serta penurun panas.
Contoh golongan non opioid adalah paracetamol dengan dosis 500
mg – 1000 mg per 4 jam dengan maksimum dosis 4 gram per hari.
c) Opioid
Opioid untuk nyeri sedang atau nyeri ringan yang tidak respon
terapi sebelumnya bisa menggunakan codein dan tramadol. Opioid
untuk nyeri berat atau nyeri sedang yang tidak respon terhadap terapi
sebelumnya bisa diberikan morfin oral, morfin parenteral dan
fentanil. Untuk nyeri kepala karena peningkatan TIK atau edema
otak dapat diberikan steroid. Nyeri tulang karena hiperkalsemia
dapat diberikan bifosfonat. Bila ditemukan infeksi penyerta atau
infeksi sekunder diberikan antibiotik yang sesuai. Nyeri karena kolik
diberikan antispasmodik dan nyeri karena spasme otot diberikan
muscle relaxan.
2) Adjuvant
a) Kortikosteroid
b) Antidepresan
c) Anti epilepsi
d) Relaksan otot
e) Antispasmodik
b. Lain-lain
Modifikasi terhadap proses patologi yang ada, misalnya diperlukan
pada kondisi darurat seperti patah tulang karena proses metastase, resiko
patah tulang pada tulang penyangga tubuh, metastase ke otak,
leptomeningeal atau epidural, obstruksi memerlukan radioterapi dan
infeksi memerlukan antibiotik.
2. Mual/Muntah
Mual dan muntah adalah masalah yang sangat umum terutama pada
kanker solid stadium lanjut seperti kanker payudara dan kanker lambung
dimana 50-60% penderita terutama wanita dibawah 65 tahun. Mual dan
muntah dapat terjadi karena komplikasi dan bisa juga oleh kemoterapi atau
perawatan lainnya. Penyebab utama mual dan muntah karena statis lambung,
obstruksi usus, sembelit yang disebabkan oleh penggunaan morfin,
hiperkalsemia, metastasis otak, gagal ginjal, hiponatremia, peningkatan
tekanan intrakranial dan beban tumor (Molassiotis, 2006).
Tujuan utama dari perawatan antiemetik adalah untuk menghilangkan
mual dan muntah. Pada hiperasiditas dapat menyebabkan mual, rasa pahit dan
nyeri lambung, bila sesudah muntah keluhan masih ada, berikan proton pump
inhibitor seperti omeprazole 20 mg atau ranitidin 300 mg PO. Mual akibat
iritasi mukosa karena pemberian NSAID bisa diberikan omeprazole 20 mg
PO. Mual akibat kemoterapi atau radiasi bisa diberikan 5HT3 reseptor
antagonis yaitu ondansetron 4 mg 1-2x/hari dan atau eksametason 4 mg pagi
hari (Jordan, K., 2005).
3. Konstipasi
Penyebab konstipasi pada pasien dengan kanker solid stadium lanjut
antara lain karena diet rendah serat dan kekurangan cairan, imobilitas, tidak
segera ke toilet pada saat rasa BAB muncul, penggunaan obat opioid,
antikolinergik, antasid yang mengandung alumunium, zat besi,
antispasmodik dan antipsikotik, terjadinya obstruksi saluran cerna akibat
feses, tumor atau perlengketan, adanya gangguan metabolisme seperti
hiperkalsemia dan gangguan saraf gastrointestinal seperti nefropati saraf
otonom.
Tatalaksana paliatif adalah dengan menganjurkan makanan tinggi serat
dan tingkatkan jumlah cairan, anjurkan pasien untuk banyak bergerak bila
memungkinkan, berikan respon yang cepat bila pasien ingin BAB, hentikan
atau kurangi obat yang menyebabkan konstipasi, koreksi hiperkalsemia dan
gunakan penyangga kaki untuk meningkatkan kekuatan otot abdomen.
Tatalaksana rehabilitasi medik pada kasus konstipasi adalah dilakukan bowel
training.
4. Diare
Penyebab diare diantaranya adalah infeksi, malabsorbsim obstruksi
partial, karsinoma kolorectal, kompresi tulang belakang, penggunaan
antibiotik, kemoterapi atau radiasi dan kecemasan. Tatalaksana yang
dilakukan pada pasien kanker solid stadium akhir dilakukan sesuai dengan
penyebabnya, pada malabsorbsi, pemberian enzim pankreas akan bermanfaat
dan lakukan perawatan kulit sekitar anus dengan zinc oxide (Haggerty, M.,
2005).
5. Obstruksi Gastrointestinal
Penyebab obstruksi gastrointestinal dapat mekanik atau paralitik.
Penyumbatan bisa terjadi baik intraluminal atau ekstraluminal akibat
inflamasi atau metastase, fibrosis akibat radiasi dan gangguan saraf otonom.
Tatalaksana yang dilakukan adalah dengan mengatasi penyebab dasar
yaitu apabila obstruksi tunggal pada pasien tanpa asites dan karsinomatosis
yang luas bisa dipertimbangkan untuk operasi. Terapi medikamentosa
ditujukan untuk mengurangi mual, muntah dan nyeri. Bila terjadi kolik,
gunakan obat untuk mengurasngi sekresi dan antispasmodik seperti hyosine
butylbromide. Bila hyoscine butylbromide gagal menghentikan muntah,
berikan octreotide untuk mebgurangi distensi, muntah dan nyeri. Ranitidin
300 mg 2x/hari dapat diberikan untuk mengurangi sekresi lambung.
Haloperidol 0,5 – 2,5 mg PO/SC 2x/hari untuk mengurangi muntah. Obat
laksatif yang merangsang peristaltik dan obat prokinetik harus dihentikan.
Pada pasien dengan obstruksi parsial bisa menggunakan laksatif pelunak
feses. Untuk terapi non medikamentosa dapat dilakukan dengan mengurangi
cairan parenteral untuk menurunkan sekresi intraluminer yang menyebabkan
muntah dan distensi.
7. Asites Keganasan
Bentuk asites transudatif atau eksudatif dapat terjadi pada pasie
kanker. Penanganan kedu abentuk asites berupa parasintesis abdomen, bila
menyebabkan rasa tidak nyaman atau mengganggu gerakan diafragma.
Parasintesis dilakukan perlahan-lahan selama beberapa jam untuk
menghindari gangguan volume pada sirkulasi darah. Pada dasarnya volume
cairan yang dikeluarkan hanya sebatas menghilangkan rasa tidak nyaman
agar tidak terlalu banyak protein yang hilang. Diuretik dapat mengurangi
asites, terutama jika terjadi hipoproteinemia atau gagal jantung stadium
lanjut. Obat yang digunakan adalah Spironolacton 25 mg – 450 mg PO
dalam dosis terbagi dan Furosemide 40 mg – 80 mg PO.
C. FATIGUE/KELEMAHAN
Kelemahan adalah gejala utama dari kondisi ganas, terutama pada kanker
paru-paru. Tetapi juga pada penyakit paru yang tidak ganas, kelemahan adalah
masalah utama. Kelemahan didefinisikan sebagai kelelahan secara fisik,
emosional atau kognitif yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari (Heigener,
2011). Kelemahan dan cepat lelah sering ditemukan pada pasien kanker stadium
akhir (Iwase, et.al, 2015). Kelemahan terkait kanker didefinisikan sebagai
kelemahan fisik dan atau emosional yang dirasakan terkait dengan kanker atau
perawatan kanker itu. Kondisi ini dapat disebabkan gangguan elektrolit,
dehidrasi, anemia, malnutrisi, hipoksemia, infeksi, gangguan metabolisme,
penggunaan obat, kemoterapi, dan progresifitas penyakit. Perawatan paliatif
adalah perawatan pada pasien yang penyakitnya tidak responsif terhadap kuratif
pengobatan. Perawatan pada pasien yang mengalami kelemahan ini merupakan
perawatan paliatif yang fokus menyeluruh meliputi pemeriksaan fisik dan
penilaian lebih lanjut atau terapi dengan dokter (Kemenkes RI, 2017).
Tatalaksana gejala pada pasien kanker solid stadium akhir yang mengalami
fatigue/kelemahan adalah:
1. Melakukan koreksi faktor penyebab yang memungkinkan untuk dilakukan
perbaikan: gangguan elektrolit, dehidrasi, anemia, infeksi
2. Medikamentosa: dexametason 2mg pagi hari. Bila dalam 5 hari tidak
menunjukkan perbaikan, hentikan
3. Non medikamentosa: olahraga ringan hingga sedang, fisioterapi,
memperbaiki emosi dan kualitas hidup, konseling diet, penambahan
suplemen diet seperti L-karnitin, suplemen protein melalui konsultasi
dengan ahli gizi (jika diperlukan)
4. Tata laksana rehabilitasi medik pada kasus fatigue yaitu dengan relaksasi,
endurance exercise dan save energy for ADL (Ghoshal A, et.al, 2016)
2. Batuk
Batuk diawali dengan adaptasi secara cepat reseptor 'iritan' yang terletak di
laring dan saluran nafas, terutama di percabangan bronkus. Reseptor batuk
tersebut dapat dirangsang oleh berbagai faktor seperti asap, histamin atau
benda asing. Penting untuk dilakukan penilaian apakah batuknya produktif
atau tidak, faktor pemicu, dan kapan batuk terjadi (Heigener dan Rabe,
2011). Penyebab batuk yang terbanyak pada pasien paliatif adalah:
1. Penyakit penyerta: asma bronkial, infeksi, COPD, CHF
2. Kanker paru atau metastase paru
3. Efusi pleura
4. Aspirasi, gangguan menelan
5. Limfangitis karsinomatosis
Tatalaksana:
Secara medikamentosa. Obat untuk mengobati batuk dapat dibagi menjadi
dua kategori: yang membuat batuk lebih efektif dan yang menghambat
refleks batuk. Batuk dengan sputum diberikan nebulizer salin,
bronkodilator; batuk kering diberikan codein; batuk karena emfisema dapat
diberikan oksigen; batuk karena tumor endobronkial, limfan- gitis,
pneumonitis akibat radiasi dapat diberikan kortikosteroid (Heigener, 2011).
4. Cekukan (Hiccups)
Cegukan adalah kontraksi tiba-tiba yang tak disengaja pada diafragma, dan
umumnya terjadi berulang-ulang setiap menitnya. Udara yang tiba-tiba
lewat ke dalam paru-paru menyebabkan glottis (ruang antara pita suara)
menutup (Kloke, 2015).
Penyebab:
1. Distensi gaster
2. Iritasi diafragma
3. Iritasi nervus vagus atau nervus frenikus
4. Gangguan metabolik: uremia, gangguan fungsi hati
Tata laksana:
1. Mengatasi penyebabnya (distensi abdomen)
2. Distensi abdomen: metochlopromide jika tidak ada kontrain- dikasi
Non Medikamentosa:
Stimulasi faring dengan air dingin medikamentosa:
b. Haloperidol 0,5 mg – 5 mg/hari
c. Baclofen 3x 5mg, dosis sesuaikan pada gangguan ginjal
d. Kortikosteroid (Kemenkes RI, 2017).
E. GANGGUAN KULIT
1. Pruritus
Pruritus merupakan hal yang jarang didapati dalam perawatan paliatif
pasien kanker, dengan frekuensi sekitar 5% dan 24% untuk pasien dengan
diagnosis kanker fase terminal. Manifestasi pruritus pada pasien selama paliasi
dapat menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi dalam mempersulit
aktivitas pasien. Pruritus bukan hanya gangguan kulit, tetapi lebih merupakan
masalah sistemik dari berbagai penyebab. Selain itu, tergantung pada penyebab
pruritus, pendekatan paling sesuai untuk manifestasi klinis tertentu mungkin
tidak selalu berhasil untuk yang lain dan sebaliknya (Seccareccia et al., 2011;
Anand et al., 2012).
Pruritus pada keganasan dapat dikaitkan dengan beberapa faktor, seperti
sel-sel penyebab kanker yang menghasilkan sensasi gatal, efek samping dari
obat kanker, obat yang digunakan dalam manajemen nyeri (misalnya opioid)
dan komplikasi dari keganasan seperti gagal ginjal dan kolestasis (Anand et al.,
2012). Pruritus pada tumor padat dipercaya menandakan perkembangan
penyakit. Namun, bisa jadi karena reaksi imunologis terhadap antigen spesifik
tumor meskipun patofisiologinya tidak sepenuhnya jelas. Gatal dapat
terlokalisir sebagai rasa gatal perianal pada kanker kolorektal, gatal vulva pada
kanker serviks atau gatal skrotum pada kanker prostat. Rasa gatal juga dapat
disebabkan oleh obstruksi bilier, misalnya, pada kanker pankreas, di mana
drainase bilier dengan stenting adalah terapi yang sangat efektif (Alshammary,
2016).
Terlepas dari penyebab pruritus pada pasien paliatif, hal yang penting
adalah menjaga keadaan kulit agar tetap lembab. Xerosis, atau kulit kering,
dapat menyertai semua penyebab pruritus pada pasien paliatif. Oleh karena itu,
langkah terbaik adalah memberikan pelembab kulit secara teratur, terutama
setelah mandi. Mandi harus diminimalkan dan air hangat dengan dipakaikan
sabun yang ringan dan tidak mengandung parfum. Tindakan lainnya termasuk
mengenakan pakaian longgar, tidak membuat iritasi, dan menghindari agen
topikal yang mengandung pengharum. Lingkungan yang sejuk dan lembab
sangat ideal untuk menghindari masalah kulit (Walsh, 2008). Agen topikal juga
dapat membantu, dengan menggunakan mentol 1% atau 0,5% hingga fenol 2%.
Untuk daerah gatal yang terlokalisir, agen seperti krim lidokain 2,5% dapat
membius ujung saraf sensorik. Namun, krim lidokain dalam jumlah besar harus
dihindari karena berpotensi toksisitas ketika diserap. Daerah-daerah gatal yang
mungkin juga merespon agen yang menghambat mediator pruritus - misalnya,
capsaicin, yang menghabiskan zat neuropeptida P. Jika ada peradangan lokal,
kortikosteroid topikal juga dapat bermanfaat. Selain itu dapat juga diberikan
antihistamin seperti loratadine dan cetirizine (Seccareccia et al., 2011).
2. Dekubitus
Ulkus dekubitus sering dijumpai pada pasien dengan kanker stadium akhir
dikarenakan terjadinya penurunan kemampuan berjalan atau terjadi imobilitas,
sehingga terjadi gesekan dan tekanan yang terus menerus antara tubuh pasien
dengan pakaian dan kasur. Ulkus juga dapat disebabkan karena kerapuhan
jaringan sebagai efek samping dari kemoterapi dan radiasi (Hendrichova et al.,
2010). Beberapa pencegahan dan tatalaksana seperti reposisi pasien mungkin
tidak bisa dilakukan pada setiap pasien karena terbatas rasa sakit atau mual.
Tatalaksana yang dapat dilakukan dan tetap menjaga kenyamanan pasien dapat
berupa penggunaan pelindung kulit, penggunaan kasur anti dekubitus,
medikasi teratur, dan pembalutan luka. Terapi dengan metronidazole dapat
diberikan untuk meminimalkan bau dari luka. Tujuan utama dari terapi paliatif
dalam mengatasi dekubitus adalah meminimalkan bau dan kelebihan eksudat,
mengendalikan rasa sakit, menghindari infeksi, serta menstabilkan luka
(Hendricova et al., 2010).
3. Cancer wound
Cancer wound terjadi ketika sel-sel kanker menyerang epitel, infiltrasi ke
pembuluh darah dan kelenjar limfonodi, dan menembus epidermis. Hal ini
menyebabkan hilangnya vaskularisasi dan nutrisi pada kulit, yang
menyebabkan kematian jaringan dan nekrosis. Lesi kanker ini mungkin
merupakan akibat dari kanker primer atau metastasis ke kulit (BC Cancer
Agency Care, 2011).
Prinsip yang paling penting dalam perawatan cancer wound adalah manajemen
gejala, kemudian diikuti oleh manajemen luka dan pengobatan tumor yang
mendasarinya jika mungkin dan tepat. Untuk mengelola cancer wound dengan
benar, bau dan eksudat pada luka harus ditangani, dan secara bersamaan
memusatkan perhatian pada penanganan rasa tidak nyaman akibat luka-luka ini
(O’ Brien, 2012).
Tatalaksana paliatif yang dilakukan untuk cancer wound dapat berupa anti
inflamasi untuk mengurangi peradangan dan nyeri pada luka, antibiotik untuk
mengobati infeksi jika terdapat tanda-tanda infeksi, dan medikasi dan
debridement jaringan nekrosis serta medikasi teratur (Pieper et al., 2009).
2. Perdarahan
Perdarahan terjadi pada 20% pasien kanker stadium lanjut dan
menyebabkan kematian pada 5% pasien. Perdarahan internal lebih sering
terjadi. Hematom yang banyak dan perdarahan pada gusi dan hidung serta
perdarahan gastrointestinal menun-jukkan lebih kepada gangguan platelet
sedang perdarahan pada persendian atau otot lebih mengarah kepada defisiensi
salah satu faktor pembekuan. Pada pasien kanker, dapat terjadi kenaikan
Prothrombin Time dan APTT akibat ganguan fungsi hati berat, defisiensi vit K
dan koagulasi intravaskular diseminata.
4. Trombositopenia
Trombosit 10.000-20.000 sangat jarang menyebabkan perdarahan
massif (0.1%/hari). Sedang dibawah 10.000 resikonya meningkat menjadi
2%/hari. Sebagian besar perdarahan massif terjadi pada trombosit dibawah
5.000. sedangkan, risiko untuk terjadinya perdarahan intrakranial bila
trombosit kurang dari 1.000. Trombositopenia juga dapat disebabkan oleh
penggunaan heparin (Heparin Induced Trombositopenia) bisa terjadi kurang
dari 4 hari setelah pemakaian heparin, namun biasanya antara 5-8 hari.
Dianjurkan untuk menghentikan heparinisasi. Bila trombosit kurang dari 5.000,
transfusi trombosit dapat dilakukan bila keadaan pasien memungkinkan.
Konsultasikan dengan dokter hematologist/internist bila pemberian trombosit
direncanakan.
Abnormalitas jumlah trombosit memberikan informasi penting untuk
diagnostik. Trombositopenia didapatkan pada beberapa keadaan yang
berhubungan dengan anemia, misalnya hipersplenisme, keterlibatan keganasan
pada penyakit, destruksi trombosit autoimun (idiopatik atau karena obat),
sepsis, defisiensi folat atau B12 (Mehta et al., 2006).
5. Neutropenia
Hubungan antara neutropenia dan infeksi merupakan salah satu penyebab
utama morbiditas dan mortalitas pasien kanker yang mendapat kemoterapi
yang bersifat mielosupresif. Pemberian segera antibiotic spektrum luas secara
empiris dapat memperbaiki outcome pasien dengan neutropenia. Baik derajat
dan durasi neutropenia merupakan faktor penting yang berhubungan dengan
risiko dan outcome infeksi. Komplikasi neutropenia akibat kemoterapi
menyebabkan perawatan yang lebih lama, juga menyebabkan banyak
tertundanya atau direduksinya dosis kemoterapi yang dapat berpengaruh pada
kesintasan pasien tumor padat (Pascoe and Cullen, 2006).
6. Pansitopenia
Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan
netropenia. Pansitopenia berat dapat ditemukan pada anemia aplastik,
defisiensi folat, vitamin B12, atau keganasan hematologis (leukemia akut).
Pansitopenia ringan dapat ditemukan pada penderita dengan splenomegali dan
splenic trapping sel-sel hematologis (Mehta et al., 2006).
Terapi suportif yang dapat dilakukan pada pasien kanker yang mengalami
pansitopenia diantaranya:
a. Untuk mengatasi infeksi
1) Hygiene mulut.
2) Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotic yang adekuat.
3) Transfusi granulosit konsetrat diberikan pada sepsis berat.
b. Cara untuk mengatasi anemia
1) Berikan transfuse packed red cell (PRC) jika Hb kurang dari 7 gr/dl atau
tanda payah jantung atau anemia yang sangat simptomatik.
2) Koreksi Hb sebesar 9-10 g%, tidak perlu sampai normal karena akan
menekan eritropoiesis internal. Pada penderita yang akan dipersiapkan
untuk transplantasi sumsum tulang pemberian transfuse harus lebih berhati-
hati.
c. Usaha untuk mengatasi perdarahan
Berikan transfusi konsetrat trombosit jika terdapat perdarahan mayor atau
trombosit kurang dari 20.000 /mm3.
I. GANGGUAN PSIKIATRI
1. Delirium
Delirium adalah kondisi bingung yang terjadi secara akut dan
perubahan kesadaran yang muncul dengan perilaku yang fluktuatif. Gangguan
kemampuan kognitif mungkin merupakan gejala awal dari delirium. Delirium
sangat mengganggu keluar-ga karena adanya disorientasi, penurunan perhatian
dan konsentrasi, tingkah laku dan kemampuan berfikir yang tidak terorganisir,
ingatan yang terganggu dan kadang muncul halusi-nasi. Kadang muncul dalam
bentuk hiperaktif atau hipoaktif dan perubahan motorik seperti mioklonus.
Penyebab delirium bermacam macam, seperti:
a. Gangguan biokimia: hiperkalsemia, hiponatremia, hipoglike-mia,
dehidrasi
b. Obat: opioid, kortikosteroid, sedative, antikolinergik, benzodi-azeepin
c. Infeksi
d. Gangguan fungsi organ: gagal ginjal, gagal hati
e. Anemia, hipoksia
f. Gangguan SSP: tumor, perdarahan
Tatalaksana
a. Koreksi penyebab yang dapat segera diatasi : penyebab yang mendasari atau
pencetusnya
b. Non Medikamentosa:
1. Pastikan berada di tempat yang tenang, dan pasien merasa aman,
nyaman dan familier
2. Singkirkan barang yang dapat membahayakan
3. Jangan sering mengganti petugas
4. Hadirkan keluarga, dan barang barang yang dikenal
5. Dukungan emosional
c. Medikamentosa
3. Haloperidol 0,5 mg- 2,5 mg PO/6 jam atau 0,5-1 mg SK/6 jam,
namun bisa diberikan setiap 30-60 menit dengan dosis maksimal 20
mg/hari
4. Pada pasien yang tidak dapat diberikan haloperidol karena efek
samping
5. Risperidone 0.5 mg- 2 mg Oral/hari dalam dosis terbagi
6. Olanzepine 2.5 mg – 10 mg Oral/hari dalam dosis terbagi
7. Benzodiazepine bila penyebabnya ensepalopati hepatik, HIV
8. Loarazepam 0,5 – 1 mg sublingual, tiap 1 – 3 jam atau
9. Midazolam 2,5 – 5 mg SK tiap 1 – 3 jam.
2. Depresi
Harus dibedakan antara depresi dan sedih. Sedih adalah reaksi normal
pada saat seseorang kehilangan sesuatu. Lebih sulit mendiagnosa depresi.
Kadang diekspresikan sebagai gangguan somatik. Kadang bercampur dengan
kecemasan. Kemampuan bersosialisasi sering menutupi adanya depresi.
Depresi adalah penyebab penderitaan yang reversibel. Gejala psikologis pada
depresi mayor`adalah:
a. Rasa tidak ada harapan/putus asa
b. Anhedonia
c. Rasa bersalah dan malu
d. Rendah diri dan tak berguna
e. Ide untuk bunuh diri yang terus menerus
f. Ambang nyeri menurun
g. Perhatian dan konsentrasi menurun
h. Gangguan memori dan kognitif
i. Pikiran negatif
j. Perasaan yang tidak realistic
Tata laksana :
a. Depresi ringan dan sedang: dukungan, empati, penjelasan, terapi kognitif,
simptomatis
b. Depresi berat:
Terapi suportif
Obat : SSRI selama 4 – 6 minggu. Bila gagal
Psikostimulan : berikan TCA methylpenidate 5 – 20 mg pagi hari
3. Kecemasan
Cemas dan takut banyak dijumpai pada pasien stadium lanjut. Cemas
dapat muncul sebagai respon normal terhadap keadaan yang dialami. Mungkin
gejala dari kondisi medis, efek samping obat seperti bronkodilator, steroid atau
metilfenidat atau reaksi fobia dari kejadian yang tidak menyenangkan seperti
kemoterapi.
Kecemasan pada pasien terminal biasanya kecemasan terhadap
terpisahnya dari orang yangdicintai, rumah, pekerjaan, cemas karena ke
tidakpastian, menjadi beban keluarga, kehilangan control terhadap keadaan
fisik, gagal menyelesaikan tugas, gejala fisik yang tidak tertangani dengan
baik, karena ditinggalkan, tidak tahu bagaimana kematian akan terjadi, dan hal
yang berhubungan dengan spiritual. Cemas ditandai oleh perasaan takut atau
ketakutan yang sangat dan dapat muncul dengan bentuk gejala fisik seperti
palpitasi, mual, pusing, perasaan sesak nafas, tremor, berkeringat atau diare.
Tata laksana:
Non Medikamentosa :
a. Dukungan termasuk mencari dan mengerti kebutuhan dan apa yang
menjadi kecemasannya dengan mendengarkan dengan seksama dan
memberikan perhatian pada hal- hal yang khusus.
b. Memberikan informasi yang jelas dan meyakinkan bahwa akan terus
memberikan dukungan untuk mencapai harapan yang realistik.
c. Intervensi psikologi: distraksi untuk menghilangkan kejenuh-an dan
pikiran yang terpusat pada diri sendiri
d. Perawatan spiritual
Medikamentosa:
a. Benzodiazepin: diazepam, alprazolam, lorazepam
b. Penghambat Beta untuk mengatasi gejala perifer
BAB III
PENUTUP
Terapi paliatif pada penderita keganasan ovarium atau kanker ginekologi yang lain
dapat diberi bersamaan ataupun setelah terapi definitif. Terapi paliatif ditujukan untuk
mengurangi gejala penyakit dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Pada pasien stadium
terminal, intervensi medis yang berlebihan dan sia-sia sebaiknya dihindari untuk
kenyamanan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Cho OH, Yoo YS, Kim JC, Park RH, Hwang KH. Factors influencing lower urinary
tract symptoms in advanced cancer patients with chemotherapy-induced
peripheral neuropathy. Int Neurourol J 2018; 22(3):192-199.
Departemen Kesehatan, Survei Kesehatan Nasional. Laporan studi mortalitas 2001.
Depkes R I Jakarta, 2002. [cited 2019 Sept 7]. Available from:
http://www.riskesda.com.
Molassiotis, A, & Börjeson, S. Nausea and Vomiting In: Kearney N., Richardson
A.,editor. Nursing Patients With Cancer/ Principles and Practice.
Philadelphia: Churchill Livingstone; (2006). , 415-437.
Narsavage, G. L., Chen, Y.-J., Korn, B., & Elk, R. (2017). The potential of
palliative care for patients with respiratory diseases. Breathe, 13(4), 278–
289.
Pieper B. Honey-based dressings and wound care: an option for care in the United
States. J Wound Ostomy Continence Nurs 2009;36(1):60-6.
Rome RB, Luminais HH, Bourgeois DA, Blais CM. The role of palliative care at
the end of life. The Ochsner Journal. 2011; 11:348-352.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 2 (4th ed). Jakarta: Interna Publishing, 2009; p. 1035-
40.
Victor TC, Neil AH, Bianca BL : Assessment of pain and other symp toms dalam Cancer
pain management. M.J Fish and AW Buton, pp 3 – 22. The Mc Graw Hill
Companies, New York; 2007
Victor TC, Neil AH, Bianca BL : Assessment of pain and other symp toms dalam
Cancer pain management. M.J Fish and AW Buton, pp 3 – 22. The Mc
Graw Hill Companies, New York; 2007
Walsh D, editor. Palliative medicine. Expert consult: online and print. Philadelphia,
PA: WB Saunders; 2008.
World Health Organization. Palliative Care. Tersedia dalam
https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/palliative-care. 19
Februari 2018 (diakses pada 5 September 2019).
World Health Organization. The global burden of disease 2004, update. Geneve:
WHO, 2008. [cited 2019 Sept 7]. Available from: http://www.WHO.com.