Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

OFTALMIA NEONATORUM

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Di RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang

Pembimbing:
Dr. Nanik Sri Mulyani, Sp. M
Penyusun:
Mario Gisepha D
406182027

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


RSUD KRMT WONGSONEGORO SEMARANG
PERIODE 20 MEI – 30 JUNI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat dan kuasa-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan penulisan referat yang
berjudul “Oftalmia Neonatorum”. Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui
segala sesuatu yang berhubungan dengan Oftalmia Neonatorum mulai dari definisi,
penyebab, gejala, pengobatan, hingga pencegahan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Nanik Sri
Mulyani, Sp.M selaku pembimbing dalam menyusun referat ini, dan kepada semua pihak
yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan referat ini.
Akhir kata penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan ataupun kesalahan dalam
penyusunan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan orang lain.

Semarang, Juni 2019

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................................. 1


KATA PENGANTAR ........................................................................................................... 2
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. 4
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KONJUNGTIVA ........................................................................................................... 7
2.1.1. ANATOMI KONJUNGTIVA ............................................................................. 7
2.1.2. HISTOLOGI KONJUNGTIVA .......................................................................... 7
2.2. OFTALMIA NEONATORUM ..................................................................................... 9
2.2.1. DEFINISI .......................................................................................................... 9
2.2.2. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO .............................................................. 9
2.2.3. PATOFISIOLOGI ............................................................................................. 12
2.2.4. MANIFESTASI KLINIS…............................................................................... 13
2.2.5. DIAGNOSIS...................................................................................................... 15
2.2.6. PENATALAKSANAAN .................................................................................. 15
2.2.7. KOMPLIKASI .................................................................................................. 17
2.2.8. PENCEGAHAN ................................................................................................ 17
BAB III KESIMPULAN....................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 19

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva..............................................................................7


Gambar 2.2 Histologi Konjungtiva..............................................................................8
Gambar 2.3 Neisseria gonorrhoeae conjunctivitis......................................................10

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Di awal abad ke-20, munculnya skrining pada wanita hamil untuk penyakit menular
seksual (PMS) merupakan pemicu meluasnya penggunaan profilaksis tetes mata pada bayi
baru lahir. Periode ini ditandai dengan prevalensi oftalmia neonatorum yang jauh lebih tinggi
dari tahun-tahun belakangan ini.1
Di seluruh dunia, insidensi oftalmia neonatorum tinggi di daerah-daerah dengan
kejadian penyakit menular seksual yang juga tinggi. Insiden berkisar dari 0,1% di negara-
negara yang maju dengan perawatan prenatal yang efektif, sedangkan berkisar 10% di daerah
seperti Afrika Timur.2
Organisme biasanya menginfeksi bayi melalui kontak langsung selama proses
kelahiran. Infeksi diketahui naik ke uterus sehingga bayi yang dilahirkan melalui seksiosesar
juga dapat terinfeksi. Kemungkinan ini diperkuat oleh kejadian ketuban pecah dini pada
persalinan yang lama.2
Pada abad ke-19 kejadian ofthalmia neonatorum telah mencapai tingkat yang
mengkhawatirkan di bangsal bersalin tidak hanya dari Eropa, tetapi juga di Kanada. Dampak
paling buruk yaitu kebutaan dari infeksi mata karena penyakit ini pada tahun 1872-1985 di
Kanada berdasarkan pemeriksaan dari 80 jurnal medis, buku, dan artikel pada periode itu.
Penggunaan profilaksis dan terapeutik dari 2% AgNO3 diperkenalkan oleh Crede pada tahun
1880 untuk mencegah kebutaan neonatal.3
Tingkat oftalmia neonatorum bervariasi di berbagai belahan dunia. Dalam satu rumah
sakit di Pakistan, kejadian oftalmia neonatorum dilaporkan pada 17%. Insiden oftalmia
neonatorum di Amerika berkisar antara 1-2%, tergantung pada karakter sosial ekonomi
daerah. Epidemiologi oftalmia neonatorum berubah ketika larutan AgNO3 diperkenalkan
pada tahun 1800-an untuk mencegah oftalmia gonokokal.4
Klamidia adalah agen infeksi yang paling umum yang menyebabkan oftalmia
neonatorum di Amerika Serikat (40% oftalmia neonatorum disebabkan oleh klamidia).
Sebaliknya, kejadian oftalmia neonatorum oleh agen gonokokal telah berkurang drastis dan
menyebabkan kurang dari 1% kasus konjungtivitis neonatal. Seperti di Amerika Serikat,
kejadian oftalmia neonatorum di banyak negara lain menurun setelah larutan AgNO3 mulai
dipakai. Di Eropa, insiden jatuh dari 10% dari kelahiran sampai kurang dari 1%.4

5
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang berhubungan
dengan Oftalmia Neonatorum mulai dari definisi, penyebab, gejala, pengobatan, hingga
pencegahan.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konjungtiva
2.1.1. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang melapisi
permukaan posterior dari kelopak mata dan permukaan anterior dari sklera.5
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:6
-
Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus. Konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari
tarsus.
-
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.
-
Konjungtiva fornises atau forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dan konjungtiva bulbi.

Gambar 2.1. Anatomi Konjungtiva5


(Khurana, A.K. 2007. Disease of Conjunctiva. In Comprehensive Ophthalmology Fourth
Edition. Page 52)
2.1.2. Histologi Konjungtiva
Secara histologis, konjungtiva terdiri atas tiga lapisan yang disebut:5,7
1. Epitel
Lapisan dari sel epitel pada konjungtiva berbeda pada tiap-tiap regionya seperti:
-
Konjungtiva marginal mempunya lima lapis sel epitel gepeng bertingkat.
7
-
Konjungtiva tarsalis mempunyai dua lapis sel epitel. Sel silindris pada bagian
superfisial dan sel gepeng pada bagian basal.
-
Konjungtiva forniks dan bulbar mempunyai tiga lapis sel epitel. Sel silindris pada
bagian superfisial, polihedral pada bagian tengah, dan sel kuboid pada bagian basal.
-
Konjungtiva limbal mempunyai lima sampai enam lapis sel epitel gepeng
bertingkat.
Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih
pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen.
2. Adenoid
Disebut juga lapisan limfoid yang terdiri dari jaringan ikat, terdapat sel limfosit di
antaranya. Lapisan ini paling berkembang di forniks. Lapisan ini belum terbentuk pada
saat kelahiran sampai usia 3-4 bulan kehidupan. Oleh sebab itu peradangan konjungtiva
pada bayi ttidak menghasilkan reaksi folikular.
3. Fibrosa
Terdiri dari jalinan kolagen dan serat elastin. Pada lapisan ini terdapat pembuluh darah
dan saraf. Lapisan ini lebih tebal dari adenoid, kecuali pada bagian konjungtiva tarsal
dimana lapisan ini sangat tipis.

Gambar 2.2. Histologi Konjungtiva5


(Khurana, A.K. 2007. Disease of Conjunctiva. In Comprehensive Ophthalmology Fourth
Edition. Page 52)

8
2.2. Oftalmia Neonatorum
2.2.1. Definisi
Oftalmia neonatorum adalah radang konjungtiva yang terjadi pada neonatus dengan
onset munculnya manifestasi dalam 28 hari pertama kehidupan. Infeksi ini umumnya
diperoleh oleh neonatus selama perjalanan melalui jalan lahir yang terinfeksi. Kondisi ini
juga dikenal sebagai konjungtivitis neonatal yang dapat mengakibatkan berbagai macam
komplikasi visual.1,5
Kejadian oftalmia neonatorum dapat disebabkan oleh agen infeksius maupun non-
infeksius. Penyebab infeksius seperti bakteri, klamidia dan virus, sedangkan penyebab non-
infeksius adalah bahan kimia yang biasanya diberikan sebagai profilaksis mata pada bayi
baru lahir.8

2.2.2. Etiologi dan Faktor Risiko


Infeksi dapat terjadi dalam tiga cara, yaitu sebelum kelahiran, selama kelahiran atau
setelah lahir.5
1. Sebelum Kelahiran
Infeksi sangat jarang terjadi melalui cairan amnion pada ibu yang mengalami rupture
membran.
2. Selama Kelahiran
Ini adalah cara infeksi yang paling umum terjadi. Infeksi dari jalan lahir yang terinfeksi
terutama ketika anak lahir dengan presentasi wajah atau dengan bantuan forceps.
3. Setelah Lahir
Infeksi dapat terjadi selama bayi baru lahir pertama kali mandi atau dari pakaian kotor
atau jari dengan lokia yang terinfeksi.

Faktor risiko untuk terjadinya ophtalmia neonatorum termasuk:8


1. Vagintis pada ibu
2. Terdapatnya mekonium pada air ketuban saat bayi lahir
3. Ketuban pecah dini
4. Partus yang lama
5. Rendahnya tingkat lisozim dan imunoglobulin dalam konjungtiva neonatal,
6. Kehamilan kurang dari 36 minggu,
7. Tidakan pertolongan persalinan yang tidak higienis dan steril
9
Etiologi konjungtivitis neonatal dapat disebabkan oleh berbagai macam agen seperti
bahan kimia atau mikroba. Meskipun beberapa agen non-infeksius maupun infeksius dapat
menginfeksi konjungtiva, penyebab paling umum konjungtivitis neonatal adalah larutan
perak nitrat (AgNO3), klamidia, gonorea, dan infeksi virus herpes.

1. Gonokokal
Bentuk yang paling serius dari ofthalmia neonatorum disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae. Ciri khas dari bakteri ini dari pewarnaan gram adalah bakteri diplokokus gram
negatif, tidak bergerak, dengan diameter kira-kira 0,8 µm. Pada keadaan tidak berpasangan
kokus bakteri berbentuk seperti ginjal, bila berpasangan bagian yang datar atau cekung saling
berdekatan.9
Manifestasi dari oftalmia neonatorum yang disebabkan bakteri gonokokal yaitu:2,10
-
Onset penyakit biasanya terjadi dalam 3 - 4 hari pertama kelahiran tetapi mungkin
tertunda sampai 3 minggu.
-
Dapat terjadi unilateral maupun bilateral.
-
Mata penderita akan kelihatan merah dan membengkak disertai keluarnya sekret
purulen.
-
Pada kasus berat ditandai dengan kemosis, sekret yang berlebihan, dan ulserasi kornea
yang progresif dan dapat berlanjut menjadi perforasi.

Gambar 2.3. Neisseria gonorrhoeae conjunctivitis


(American Academy of Ophthalmology. 2011. Infectious and Allergic Ocular Disease. In
Pediatric Ophthalmology and Strabismus Section 6. Page187)

10
Ophtalmia neonatorum dari Neisseria meningitidis juga telah dilaporkan. Dua
organisme Neisseria tersebut tidak dapat dibedakan dengan pewarnaan gram. Diagnosis
definitif didasarkan pada kultur dari eksudat konjungtiva. Bayi yang terinfeksi harus
diperiksa untuk infeksi bersamaan dengan HIV, Klamidia, dan Sifilis.2

2. Klamidia
Bakteri golongan Klamidia yang paling sering menyebabkan konjungtivitis neonatal
adalah spesies Chlamydia trachomatis, disebut juga Trachoma Inclusion Conjungtivitis
(TRIC). Bakteri ini adalah organisme intraselular obligat. Onset dari konjungtivitis pada bayi
biasanya muncul sekitar usia 1 minggu, walaupun ada kemungkinan onset bisa muncul lebih
cepat terutama pada kasus ketuban pecah dini.2
Karakteristik dari infeksi pada mata berupa:10
-
edema ringan, konjungtiva hiperemis dan reaksi papiler dengan eksudat ringan sampai
sedang.
-
Pada kasus-kasus berat yang biasanya jarang terjadi, diikuti dengan munculnya sekret
yang banyak serta terbentuknya pseudomembran.
Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis adalah kultur dari kerokan konjungtiva yang
terinfeksi. Karena kuman ini merupakan organism obligat intraselular, pada material yang
akan dikultur harus terdapat sel epitel didalamnya. Tes amplifikasi asam nukleat (reaksi
rantai polymerase) lebih sensitif dari pemeriksaan kultur. Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan adalah tes fluoresens antibodi langsung dan enzim immunoassay.2

3. Infeksi Bakteri Lain


Bakteri-bakteri lain yang dapat menyebabkan oftalmia neonatorum adalah spesies
gram positif seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Streptococcus
viridans, dan Staphylococcus epidermidis. Bakteri-bakteri ini merupakan penyebab 30-50%
dari seluruh kasus oftamia neonatorum.2,4
Organisme Gram negatif, seperti Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Serratia
marcescens, Proteus, Enterobacter, dan spesies Pseudomonas, juga telah diteliti sebagai
penyebab oftalmia neonatorum.4

4. Herpes simpleks
Virus herpes merupakan virus yang memiliki morfologi besar. Semua virus herpes
mempunyai inti DNA untai-ganda yang dikelilingi oleh protein. Virus memasuki sel melalui
11
peleburan dengan selaput sel setelah berikatan dengan reseptor sel khusus berupa
glikoprotein.9
Infeksi yang disebabkan virus herpes simpleks (HSV) biasanya jarang terjadi
sehingga menyebabkan konjungtivitis neonatorum. Manifestasi klinis pada infeksi HSV
biasanya lebih lama muncul dari pada infeksi gonokokal yaitu pada minggu pertama atau
kedua kehidupan.2,5

5. Konjungtivitis Kimiawi
Konjungtivitis karena bahan kimia biasanya ditandai dengan iritasi ringan dan dapat
sembuh dengan sendirinya, serta munculnya kemerahan pada konjungtiva muncul pada 24
jam pertama setelah pemberian larutan perak nitrat (AgNO3) atau antibiotik yang biasanya
digunakan sebagai profilaksis mata.2,5

2.2.3. Patofisiologi
Konjungtiva merupakan selaput lendir tipis, berdasarkan lokasi dapat dibagi menjadi
tarsal, bulbi, dan forniks. Konjungtiva terdiri dari epitel skuamosa non-keratin, yang kaya
vaskularisasi pada substantia propria (mengandung pembuluh limfatik dan sel, seperti
limfosit, sel plasma, sel mast, dan makrofag). konjungtiva ini juga memiliki kelenjar lakrimal
dan sel goblet.4
Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi
konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal
dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata,
mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada
mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva.11
Konjungtiva pada neonatus berada dalam kondisi steril saat lahir tapi mudah menjadi
tempat kolonisasi oleh berbagai mikroorganisme yang dapat berupa patogenik atau non-
patogen. Konjungtiva neonatus rentan terhadap infeksi, bukan hanya karena ada rendahnya
tingkat agen antibakteri dan protein seperti lisozim dan immunoglobulin A dan G, tetapi
karena kelenjar air mata dan salurannya yang baru mulai berkembang.12
Patologi konjungtivitis neonatal dipengaruhi oleh anatomi dari jaringan konjungtiva
pada bayi baru lahir. Peradangan pada konjungtiva dapat menyebabkan pelebaran pembuluh
darah, kemosis, dan sekresi berlebihan. Eksotoksin dari bakteri seperti yang dapat ditemukan
pada spesies Streptococcus dan Staphylococcus dapat menginduksi terjadi nekrosis, terutama

12
bagi sel epitel konjungtiva. Hasil nekrosis dari epitel tersebut akan menghasilkan sekret pada
mata.1,4
Walaupun pada fase akut sebagian besar patogen akan tereliminasi, tapi beberapa
spesies dapat bertahan dari reaksi imun tersebut. Seperti pada spesies Chlamydia trachomatis
yang dapat bertahan dan hidup pada sel fagosit.1

2.2.4. Manifestasi Klinis


Gejala klinis bervariasi sesuai dengan etiologi, sulit untuk menentukan penyebab pasti
konjungtivitis neonatal hanya berdasarkan gambaran klinis saja. Gejala klinis bisa dinilai
dari:2,5,13
a. Berdasarkan masa inkubasi
- konjungtivitis gonokokal, terjadi 3-5 hari setelah lahir tapi dapat terjadi dikemudian
hari
- konjungtivitis klamidia, biasanya memiliki onset lebih lama dari konjungtivitis
gonokokal, masa inkubasi 5-14 hari.
- konjungtivitis kimia sekunder akibat aplikasi larutan perak nitrat biasanya terjadi pada
hari pertama kehidupan, menghilang secara spontan dalam waktu 2-4 hari .
- Masa inkubasi konjungtivitis lain yaitu nongonokokal, nonchlamydial lebih panjang,
menurut laporan sebelumnya. Konjungtivitis Herpetik, biasanya terjadi dalam
minggu pertama setelah lahir.

b. Berdasarkan penyebab
Gambaran klinis konjungtivitis gonokokal cenderung lebih parah dari penyebab lain
ophthalmia neonatorum, yaitu: 2,10,13
-
terdapat tanda klasik berupa konjungtivitis purulen, yang biasanya bilateral.
-
Keterlibatan kornea juga telah dilaporkan, termasuk edema difus epitel dan ulserasi
yang dapat berlanjut ke perforasi kornea dan endophthalmitis.
-
Pasien mungkin juga memiliki manifestasi sistemik misalnya, rhinitis, stomatitis,
artritis, meningitis, infeksi anorektal, septicemia.
Karakteristik dari infeksi pada mata pada oftalmia neonatorum akibat infeksi klamidia
berupa: 10,13
-
edema ringan, konjungtiva hiperemis dan reaksi papiler dengan eksudat ringan sampai
sedang.

13
-
Pada kasus-kasus berat yang biasanya jarang terjadi, diikuti dengan munculnya sekret
yang banyak serta terbentuknya pseudomembran.
-
Kebutaan dapat terjadi meskipun jarang dan jauh dan terjadi lebih lambat daripada
konjungtivitis gonokokal, bukan karena keterlibatan kornea seperti pada konjungtivitis
gonokokal; tetapi akibat dari bekas luka kelopak mata dan pannus (seperti pada
trachoma).
Pada konjungtivitis yang disebabkan bakteri lain dapat memberikan manifestasi klinis
berupa:6
-
hiperemis konjungtiva
-
edema palpebra
-
adanya sekret pada mata.
Presentasi klinis konjungtivitis neonatal karena agen kimia biasanya lebih ringan.
Ditandai dengan infeksi bilateral, iritasi, dan sekret mukosa. Herpes simpleks
keratokonjungtivitis biasanya terjadi pada bayi dengan adanya vesikel pada kornea yang
dapat membentuk gambaran dendrit. Pada herpes simpleks umum adanya keterlibatan epitel
kornea disertai vesikula pada kulit (yang mengelilingi mata).6,11
Tabel 2.1. Manifestasi Oftalmia Neonatorum17
Hasil
Penyebab Onset Temuan Klinis Laboratorium
dan Sitologi
Bahan Kimia Dalam - Hiperemis Kultur negatif
(perak nitrat beberapa jam - sekret cair maupun
sebagai mukoid
profilaksis)

Gonokokus 2-4 hari Akut Purulen Gram negatif


setelah lahir Konjungtivitis diplokokus
intraselular pada
agar coklat dan
agar darah

Klamidia 5-14 hari - Konjungtivitis Giemsa-positif


setelah lahir mukopurulen lebih inklusi
jarang dari purulen sitoplasma sel
- Mukus kental epitel.
Kultur negatif

Bakteri lain 4-5 hari Konjungtivitis Kultur positif


(Pseudomonas setelah lahir mukopurulen pada agar darah,
aeruginosa, gram positif
Staphylococcus maupun negatif.

14
aureus,
Streptococcus
pneumoniae,
Haemophilus)

Herpes simpleks 5-7 hari - Blepharoconjunctiviti Multinucleated


setelah lahir s Giant Cell,
- Keterlibatan kornea positif inklusi
- Manifestasi sistemik sitoplasma,
kultur negatif.
(Lang, G.K. & Lang, G.E. 2000. Conjungtiva. Ophthalmology A Short Textbook. Thieme
Stuttgart. New York. Page 96-98)

2.2.5. Diagnosis
Studi laboratorium untuk konjungtivitis neonatal sangat penting untuk penegakan
diagnosis dan pengelolaan yang baik. Pemeriksaan kultur awal pada agar coklat atau agar
Thayer-Martin untuk N. gonorrhoeae harus dilakukan serta agar darah untuk bakteri lain.14,15
Pada N.gonorrhoeae dalam 24 jam kultur akan didapat koloni mukoid cembung,
mengkilat dan menonjol dengan diameter 1-5 mm. Koloni dapat transaparan atau opak, tidak
berpigmen dan tidak hemolitik.9
Infeksi klamidia dapat dikesampingkan dengan mengambil goresan konjungtiva
kemudian diperiksa dengan pewarnaan Giemsa yang akan memberikan hasil ungu atau
pewarnaan Macchiavello yang menghasilkan warna merah, dimana hasil tersebut kontras
dengan sel inang yang berwarna biru. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan uji
antibodi langsung immunofluorescent.9,14
Pada konjungtivitis herpes, pewarnaan gram dapat menunjukkan hasil sel raksasa
multinukleat atau Pewarnaan Papanicolaou dapat menunjukkan inklusi eosinofilik
intranukleat pada sel epitel.14

2.2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kasus oftalmia nenonatorum lebih difokuskan pada pemberian
profilaksis selalu lebih baik daripada pengobatan kuratif.5
a. Profilaksis pada masa antenatal, natal dan postnatal
1. Antenatal: meliputi perawatan menyeluruh ibu dan pengobatan infeksi genital saat
dicurigai terinfeksi.5
2. Natal: merupakan waktu yang sangat penting, karena sebagian besar infeksi terjadi
selama persalinan.5

15
- Proses melahirkan harus dilakukan dengan higienisitas tinggi dan melakukan
tindakan aseptik.
- Kelopak mata bayi yang tertutup harus benar-benar dibersihkan dan dikeringkan.
3. Postnatal: langkah-langkahnya meliputi:5,16
- Penggunaan tetrasiklin topikal 1% atau eritromisin topikal 0,5% atau perak nitrat
1% (metode Crede 's) ke dalam mata bayi segera setelah kelahiran.
- Suntikan tunggal ceftriaxone 50 mg / kg IM atau IV (tidak melebihi 125 mg)
harus diberikan kepada bayi yang lahir dari ibu yang tidak diobati.
b. Pengobatan Kuratif 5,15
Pengobatan kuratif sebaiknya diberikan bila ada pemeriksaan sitologi dari epitel
konjungtiva ataupun kultur dari sekret konjungtiva sebelum memulai perawatan.
1. Oftalmia neonatorum kimiawi adalah kondisi yang dapat sembuh dengan sendirinya
dan tidak memerlukan pengobatan apapun.
2. Oftalmia neonatorum yang disebabkan gonokokus membutuhan pengobatan yang
tepat untuk mencegah komplikasi.

Terapi topikal harus mencakup:


- Pemberian irigasi dengan larutan garam salin tiap jam sampai eksudat dari
konjungtiva bersih.
- Salep mata Bacitracin 4 kali / hari. Karena strain ini resisten terhadap penisilin,
terapi topikal dengan golongan ini tidak dapat diandalkan.
- Jika terjadi keterlibatan kornea maka salep atropin sulfat harus diberikan.

Terapi sistemik.
Neonatus dengan gonokokal ophthalmia harus dirawat selama 7 hari dengan satu
rezim berikut:
- Ceftriaxone 75-100 mg / kg / hari IV atau IM, dibagi dalam 4 dosis
- Cefotaxime 100-150 mg / kg / hari IV atau IM, per 12 jam.
- Ciprofloxacin 10-20 mg / kg / hari atau Norfloxacin 10 mg / kg / hari.
- Jika isolat gonokokal yang terbukti rentan terhadap penisilin, kristal benzyl
penisilin G 50.000 unit untuk bayi cukup bulan dengan berat badan normal dan
20.000 unit untuk bayi prematur atau bayi berat badan rendah harus diberikan
secara intramuskuler dua kali sehari selama 3 hari.
3. Oftalmia neonatorum oleh bakteri lain
16
Diberikan pengobatan dengan tetes antibiotik spektrum luas dan salep selama 2
minggu.
4. Oftalmia neonatorum yang disebabkan klamidia memberikan respon yang baik
terhadap tetrasiklin topikal 1% atau eritromisin topikal 0,5% sebanyak 4 kali sehari
selama 3 minggu. Namun, eritromisin sistemik 125 mg oral, 4 kali sehari selama 3
minggu juga harus diberikan pada infeksi yang disebabkan klamidia di konjungtiva
dimana menyiratkan kolonisasi bakteri pada saluran pernapasan bagian atas juga.
Kedua orang tua juga harus diobati dengan eritromisin sistemik.
5. Oftalmia neonatorum yang disebabkan virus herpes simpleks biasanya merupakan
penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, obat antivirus topikal dapat
mengendalikan infeksi lebih efektif dan dapat mencegah kekambuhan. Biasanya
diberikan asiklovir 20mg/kg setiap 8 jam selama 14 hari (21 hari jika keterlibatan
SSP) bersama-sama dengan terapi topikal asiklovir salep mata 3% 5 kali sehari.

2.2.7. Komplikasi
Kasus yang tidak diobati, khususnya dari ofthalmia neonatorum gonokokal, dapat
berkembang menjadi ulkus kornea, yang dapat menyebabkan perforasi kornea.5
Bila tidak diketahui dan tidak segera diobati, infeksi Pseudomonas dapat
menyebabkan endoftalmitis dan menyebabkan kematian. Pneumonia telah dilaporkan pada
10-20% kasus pada bayi dengan konjungtivitis klamidia. HSV keratokonjungtivitis dapat
menyebabkan jaringan parut kornea dan ulserasi. Selain itu, infeksi HSV yang menyebar luas
sering menyebabkan keterlibatan sistem saraf pusat.4,5

2.2.8. Pencegahan
Ibu hamil yang mengetahui dirinya menderita klamidia, gonorrhea, ataupun herpes
genital perlu berkonsultasi kepada dokter mengenai perlunya pengobatan tambahan sebelum
melahirkan. Umumnya oftalmia neonatorum dapat dicegah dengan mengobati atau
menghambat penularan penyakit melalui seksual ibu. Pada akhirnya dokter kebidanan perlu
mempertimbangkan kelahiran melalui seksiosesaria bila ibu menderita infeksi vagina berat
saat menjelang kelahiran bayinya.6

17
BAB III
KESIMPULAN

Oftalmia neonatorum merupakan penyakit infeksi pada bayi baru lahir yang
insidensinya tinggi terutama pada daerah dengan insidensi penyakit menular seksual yang
tinggi pula.
Oftalmia neonatorum adalah suatu infeksi pada konjungtiva yang melapisi kelopak
mata pada neonatus dibawah usia 1 bulan. Sementara itu agen penyebab yang paling sering
menyebabkan timbulnya infeksi pada konjungtiva bayi baru lahir ini adalah diantaranya,
kuman gonokokal, klamidia, virus herpes simpleks, serta bahan kimia seperti perak nitrat,
Gejala dan perjalanan penyakit yang dapat ditimbulkan bervariasi berdasarkan agen penyebab
masing-masing.
Proses transmisi dari penyakit ini biasanya terjadi pada saat proses kelahiran bayi dari
ibu yang sudah terinfeksi sebelumnya. Maka dari itu, pencegahan penyakit ini apat dilakukan
dengan menjaga higienisitas jalan lahir pada saat proses persalinan dan penggunaan aseptik
atau pemilihan persalinan melalui operasi seksiosesaria.
Namun pencegahan merupakan cara paling efektif untuk mengurangi insidensi
penyakit ini. Yaitu pada ibu yang sudah mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit
genital sebaiknya segera mengkonsultasikan pada dokter kebidanan mengenai terapi lanjutan
yang akan dilakukan serta metode persalinan yang akan dipilih guna mencegah terjadinya
penulara infeksi pada bayi yang akan dilahirkan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Palafox, S.K et all. 2011. Ophtalmia Neonatorum. Clinic Experiment Ophthalmology


Volume 2. Available at:
http://omicsonline.org/2155-9570/2155-9570-2-119.php
2. American Academy of Ophthalmology. 2011. Infectious and Allergic Ocular Disease. In
Pediatric Ophthalmology and Strabismus Section 6. San Fransisco. Page 186-187
3. Milot, J. 2008. Ophthalmia neonatorum of the newborn and its treatments in Canadian
medical publications. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19297783
4. McCourt, E.A. 2014. Neonatal Conjunctivitis. MedScape. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1192190-overview
5. Khurana, A.K. 2007. Disease of Conjunctiva. In Comprehensive Ophthalmology Fourth
Edition. New Age International (P) Limited Publisher. New Delhi. Page 52, 71-73
6. Ilyas, S., Yulianti, S.R. 2011. Mata Merah dengan Penglihatan Normal. Ilmu Penyakit
Mata. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 126-127
7. Vaughan & Asbury. 2010. Anatomi dan Embriologi Mata, Subjek Khususyang Berkaitan
dengan Pediatri. Oftalmologi Umum. ECG. Jakarta. Hal 5-6, 360.
8. Gul, S.S. et all. 2010. Ophtalmia Neonatorum. Journal of the College of Physicians and
Surgeons Pakistan Volume 20. Pakistan Available at:
http://www.jcpsp.pk/archive/2010/Sep2010/08.pdf.
9. Jawetz et all. 1996. Neiseria, Klamidia, dan Herpesvirus. Mikrobiologi Kedokteran.
EGC. Jakarta. Page 280-282, 340-345, 412-413
10. Nelson, W.E. 1992. Textbook of Pediatric 12th Edition Part 2. EGC. Philadelphia. Page
77-81, 191-193
11. Alloyna, D. 2011. Prevalensi Konjungtivitis di Rumah Sakit Umu Haji Adam Malik
Medan Tahun 2009 dan 2010. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Available at:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31458
12. Iyamu, E. Enabuele, O. 2003. A Survey on Ophthalmia Neonatorum in Benin City,
Nigeria (Emphasis on gonococcal ophthalmic). Published Quarterly Mangalore Volume
2. JHAS. South India. Available at:
http://cogprints.org/3230/

19
13. Birmingham and Midland Eye Centre. 2009. Treatment of Ophthalmic Infection.
Available at:
http://bmec.swbh.nhs.uk/wp-content/uploads/2013/03/OPHTHALMIA-
NEONATORUM.pdf.
14. Song, J.C. 2013. Chapter 6 Neonatal Conjungtivitis (Ophtalmia Neonatorum). Avalable
at:
http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v4/v4c006.html
15. The College of Optometrists. 2012. Clinical Management Guidelines Ophtalmia
Neonatorum. Available at:
http://www.college-optometrists.org/download.cfm/docid/768CA144-45F4-4EC6-
93CC6C041AC94904
16. Lubis, C.P. 2003. Infeksi Nosokomial pada Neonatus. Bagian Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan. Available at:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/2006
17. Lang, G.K. & Lang, G.E. 2000. Conjungtiva. Ophthalmology A Short Textbook. Thieme
Stuttgart. New York. Page 96-98

20

Anda mungkin juga menyukai