DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
A. 2017
JURNAL 1
Hubungan Faktor Budaya dan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Pemberian MPASI
Dini
Happy Dwi Aprilina1, Rahmawat
HASIL :
A. Analisa Univariat
1. Distribusi Frekuensi berdasarkan Karakteristik Responden
PEMBAHASAN :
1. Faktor Budaya
Ibu dengan budaya baik sebanyak 24 orang (60,0%) memberikan MPASI
dini pada bayinya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian dari
(Rahmawati, R, 2014) yang menunjukan adat atau kebiasaan mempengaruhi
pemberian MPASI Dini pada bayi sebanyak 77%.
2. Tingkat Pengetahuan
Ibu dengan pengetahuan cukup sebanyak 20 orang (50,0%) memberikan
MPASI pada bayinya sebelum usia 6 bulan. Pengetahuan ibu tentang ASI
yang baik dapat melandasi sikapnya untuk terdorong dalam memberikan ASI
pada bayinya yang memiliki manfaat sangat baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan bayi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian dari
(Muthmainnah, F, 2010) yang menunjukan bahwa ibu yang memiliki
pengetahuan baik lebih banyak memberikan MPASI pada bayi umur 0-6 bulan
yaitu sebanyak 42 orang (54,5%).
3. Pemberian MPASI Dini
Ibu yang memberikan MPASIdini sebanyak 33 orang (82,5%). Pemberian
MPASI terlalu dini tidak tepat karena akan menyebabkan bayi kenyang dan
akan mengurangi keluarnya ASI. Selain itu bayi jadi malas menyusu karena
sudah mendapatkan makanan atau minuman terlebih dahulu.
MPASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan
kepada bayi berusia 6 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Peranan
MPASI sama sekali bukan untuk menggantikan ASI melainkan hanya untuk
melengkapi ASI.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian dari (Rahmawati, R, 2014)
yang menunjukan lebih dari separuh ibu di wilayah kerja Puskesmas
Kecamataan Pesanggrahan tahun 2014 banyak yang memberikan MPASI Dini
dari 64 responden sebanyak 43 (67,2%) responden yang memberikan MPASI
pada bayi kurang dari 6 bulan.
4. Hubungan faktor budaya dengan pemberian MPASI dini pada bayi usia 0-12
bulan
Responden dengan budaya buruk yang memberikan MPASI dini pada
bayinya sebanyak 9 orang (56,5%). Responden dengan budaya baik semua
memberikan MPASI dini pada bayinya sebanyak 24 responden (36,4%). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Ginting, 2012)
yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara faktor sosial
budaya dengan pemberian MPASI dini dengan nilai p< 0,001.
5. Hubungan tingkat pengetahuan dalam pemberian MPASI dini pada bayi usia
0-12 bulan
Responden dengan pengetahuan kurang yang memberikan MPASI dini
pada bayinya sebanyak 1 orang (20,0%). Responden dengan pengetahuan
cukup yang memberikan MPASI dini pada bayinya sebanyak 17 orang
(85,0%). Pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dapat mempengaruhi ibu
dalam memberikan ASI eksklusif, maka seorang ibu akan memberikan ASI
eksklusif pada anaknya. Begitu juga semakin rendah pengetahuan ibu tentang
manfaat ASI eksklusif, maka semakin sedikit pula peluang ibu dalam
memberikan ASI eksklusif.
Penelitian (Ayed, 2014) menyimpulkan bahwa pengetahuan ibu
merupakan faktor penting yang mendukung pemberian ASI eksklusif. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian dari (Fithriatul Muthmainnah,
2010) yang menunjukan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan baik lebih
banyak memberikan MPASI pada bayi umur 0-6 bulan yaitu sebanyak 42
orang (54,5%).
KESIMPULAN
- Berdasarkan faktor budaya, kelompok paling besar memberikan MPASI pada
bayi usia kurang dari 6 bulan pada kelompok ibu yang memiliki budaya baik
sebanyak (60,0%).
- Berdasarkan tingkat pengetahuan, kelompok paling besar memberikan
MPASI pada bayi usia kurang dari 6 bulan pada kelompok ibu yang memiliki
pengetahuan cukup sebanyak (50,0%).
- Berdasarkan hasil penelitian di atas menyatakan bahwa ada hubungan
antara faktor budaya dan tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian MPASI
dini pada bayi dengan hasil uji Chi Square p = 0,000; p < 0,05
JURNAL 2
Infant Feeding and Rearing Practices Adapted by Mothers in Coastal South India
Nithin Kumar , B.Unnikrishnan, Rekha T, Prasanna Mithra, Vaman Kulkarni, Mohan
Kumar Papanna, Ramesh Holla, Angita Jain
HASIL :
a. Pada tabel 1 Sebanyak 152 ibu dilibatkan dalam penelitian kami. Usia rata-rata
(SD) ibu adalah 25 tahun. Usia rata-rata (SD) saat menikah adalah 21 tahun dan
usia rata-rata (SD) saat melahirkan anak pertama adalah 22 tahun. 13,2% dari
ibu berusia kurang dari 18 tahun pada saat pernikahan dan 11,8% memiliki lebih
dari dua anak. Hanya 5,3% dari ibu yang buta huruf dan 32,9% memiliki status
sosial ekonomi rendah
b. Praktik pemberian makan pada tabel 2 dipraktekkan oleh 57.9% ibu dan 34.9%
ibu telah memberi makan prelaktal kepada bayi mereka. Pada perbandingannya
dapat diamati bahwa di antara ibu yang melakukan ASI ekslusif, mayoritas
(53,4%) berasal dari status sosial ekonomi menengah.
c. Praktik membesarkan bayi yang diadaptasi oleh ibu diberikan dalam tabel 3.
Pemijatan minyak pada bayi dilakukan oleh 98,7% ibu dan 51,3% zat yang
diaplikasikan seperti asam borat, minyak, dan bubuk kunyit pada pusar sebagai
perlindungan dari infeksi.
d. Tabel 4 menunjukkan faktor-faktor yang terkait dengan ASI eksludif. Di antara ibu
yang mempraktikkan ASI ekslusif 70,5% adalah ibu rumah tangga dan 59,1%
milik keluarga bersama.
e. Berbagai faktor yang terkait dengan lamanya menyusui ditunjukkan pada tabel
5. Sejumlah 38,8% ibu yang menyusui anak hingga periode satu tahun. Ibu
yang menyusui bayinya selama lebih dari satu tahun sejumlah 64,5%.
f. Hanya 43,4% dari ibu yang mempraktikkan kebiasaan tradisional yang berkaitan
dengan membesarkan anak (Tabel 6).
PEMBAHASAN :
Penelitian kami bertujuan untuk menilai berbagai praktik pemberian makan bayi
di kalangan ibu Survei Kesehatan Keluarga Nasional III di India melaporkan tingkat ASI
ekslusif sebesar 46,3%. Dalam penelitian ini, 57,9% ibu tidak memberi ASI eksklusif.
Alasan yang diberikan oleh ibu adalah bahwa ASI saja tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan bayi. Sangat mengejutkan bahwa kesadaran yang rendah di antara para ibu
tentang ASI ekslusif meskipun tingkat melek huruf di antara para ibu serta kualitas
layanan antenatal di daerah penelitian sangat tinggi.
Dalam penelitian ini sejumlah 36,8% ibu berhenti menyusui saat mereka sakit.
22,4% ibu tidak menyusui saat bayi sedang sakit. Dalam sebuah penelitian di Ethiopia,
tiga perempat dari para ibu tidak menyusui saat mereka sakit dan 91% menyarankan
untuk tidak menyusui saat anak sakit. Bayi yang baru lahir harus segera dikeringkan
dan dibungkus dengan kain bersih hangat karena dapat kehilangan panas tubuh
dengan cepat, terutama dari kepala.
Dalam penelitian ini sejumlah 61,2% ibu terus menyusui bayinya selama lebih
dari satu tahun, dibandingkan dengan 38,8% ibu, yang melanjutkan hanya sampai satu
tahun. Persentase ibu yang lebih tinggi (53,8%) pada kelompok umur antara 26-30
tahun terus menyusui lebih dari satu tahun (p <0,05). Tidak ada hubungan yang
signifikan secara statistik ditemukan antara status melek huruf, pekerjaan ibu, agama,
dan status sosial ekonomi, jenis keluarga dan lamanya menyusui. Dalam sebuah
penelitian di Yordania, hampir dua pertiga dari kelompok studi terus menyusui selama
lebih dari satu tahun dan wanita yang bekerja lebih cenderung tidak menyusui penuh
dibandingkan dengan wanita yang menganggur. 43,4% dari ibu mengikuti metode
tradisional dalam membesarkan anak di AS.
KESIMPULAN
- Mayoritas ibu mempraktikkan pemberian ASI sejak lahir
- Tingkat menusu eksklusif sebesar 57,9% . Termasuk tinggi dibandingkan dengan
angka nasional
- Praktek-praktek seperti menghentikan menyusui saat ibu atau anak sakit dan segera
memandikan bayi setelah lahir masih lazim di kalangan ibu yang mengkhawatirkan
- Usia ibu, agama, jenis keluarga dan status sosial ekonomi berpengaruh terhadap
perilaku ibu
- Keefektifan program nasional dengan melibatkan petugas kesehatan dan kader
dalam praktik pemberian ASI masih kurang
JURNAL 3
T.M. Rafsanjani
HASIL
PEMBAHASAN
JURNAL 4
HASIL
Sebanyak 330 ibu berpartisipasi dalam penelitian kami, memiliki usia rata-rata
24,6 tahun ± 3,5 [Tabel 1]. Mayoritas (81%) dari mereka telah menerima pendidikan
tingkat dasar dan di atas. Sekitar 91% ibu adalah Hindu, 62% milik kelas terbelakang
lainnya, dan 77% tinggal dalam keluarga bersama. Tentang 41% ibu termasuk dalam
kelas sosial ekonomi I menurut klasifikasi Prasad yang dimodifikasi seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 3. Di antara ibu yang disurvei, 199 (60%) memiliki anak laki-
laki usia 6 bulan hingga 1 tahun, sedangkan 131 (40%) punya anak perempuan. Dari
330 bayi ini, 164 secara eksklusif disusui, membuat tingkat EBF pada populasi yang
diteliti menjadi 49,7%.
Dalam analisis univariat, hubungan yang signifikan ditemukan antara EBF dan
usia ibu saat menikah (P = 0,000), ibu (P = 0,017) serta pendidikan ayah, P = 0,01),
agama (P = 0,023) , status pekerjaan ibu (P = 0,000), jenis kelamin anak (P = 0,001),
urutan kelahiran anak (P = 0,000), interval kelahiran sebelumnya (P = 0,009), tempat
perawatan antenatal (ANC; P = 0,000), jenis persalinan (P = 0,008), waktu inisiasi
menyusui (P = 0,000), pemberian kolostrum (P = 0,039), konseling ibu untuk EBF (P
= 0,000), dan pembuat keputusan tentang pemberian makan anak (P = 0,039).
Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa EBF secara signifikan terkait dengan
usia ibu saat menikah (P = 0,000), urutan kelahiran (P = 0,000), interval kelahiran
sebelumnya (P = 0,039), pendidikan ayah (P = 0,035), agama (P = 0,011), status
bekerja ibu (P = 0,000), masalah kesehatan pada ibu yang berhubungan dengan
persalinan (P = 0,029), masalah kesehatan pada anak yang berhubungan dengan
kelahiran (P = 0,015), pengetahuan ibu tentang manfaat EBF (P = 0,000 ), dan
konseling ibu tentang EBF (P = 0,000).
PEMBAHASAN
Studi kami menemukan tingkat EBF sebesar 49,7% pada populasi pedesaan
Anand taluka dari negara bagian Gujarat, yang lebih rendah dari tingkat distrik
68,8%, tingkat negara bagian 60,2% di pedesaan Gujarat serta nasional tingkat 56%
di pedesaan India, seperti yang dilaporkan oleh NFHS ‐ 4. Sebuah survei cepat yang
dilakukan oleh Kementerian Perempuan dan Perkembangan Anak, Pemerintah India,
pada 2013-2014 juga melaporkan tingkat EBF yang lebih tinggi (65,1%) pada
populasi pedesaan. Namun, survei rumah tangga cepat tingkat kabupaten yang
dilakukan pada 2011 melaporkan tingkat EBF 44% di pedesaan Gujarat, dengan
kisaran 10% -83% di berbagai distrik di negara bagian. Sementara membandingkan
angka dengan populasi pedesaan negara-negara tetangga, ditemukan lebih rendah
daripada tingkat EBF di Rajasthan (57,5%), Maharashtra (60,6%), dan Madhya
Pradesh (60,6%). Namun, tingkat EBF yang kami deteksi dalam penelitian kami
sebanding dengan yang ditemukan dalam penelitian yang dilakukan di pedesaan
India selatan (48,5%), dan di negara tetangga kami, Sri Lanka (50,8%).
Menariknya, penelitian yang dilakukan di negara-negara timur tengah seperti
Yordania, Qatar, dan Arab Saudi melaporkan tingkat EBF yang sangat rendah
masing-masing 2,1%, 24,3%, dan 37%. Pada penelitian ini tidak ditemukannya usia
ibu sebagai predictor EBF. Usia orang tua saat menikah dan menemukan bahwa ibu
yang menikah pada usia lebih muda cenderung menyusui bayi mereka secara
eksklusif. Pada saat yang sama, usia ayah saat menikah tidak ditemukan terkait
dengan EBF. 6 bulan pertama melahirkan memudahkan EBF pada ibu yang bekerja.
Penelitian ini melaporkan tingkat EBF yang secara signifikan lebih tinggi pada bayi
perempuan daripada bayi laki-laki.
Alasan untuk temuan ini mungkin keyakinan di kalangan ibu bahwa bayi laki-
laki membutuhkan lebih banyak susu untuk pertumbuhan dan perkembangan
dibandingkan dengan bayi perempuan, dan karenanya hanya ASI yang tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka. Tidak ditemukannya kasta, jenis keluarga,
dan kelas sosial ekonomi sebagai hambatan EBF. Penelitian ini menemukan proporsi
yang jauh lebih tinggi dari bayi yang disusui secara eksklusif ketika ibu mereka
pembuat keputusan untuk pemberian makan mereka. Regresi logistik multivariat, di
samping itu, mengungkapkan bahwa perkembangan masalah kesehatan pada ibu
dan bayi yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan seperti preeklampsia,
eklampsia, retensi plasenta, infeksi pasca operasi, masalah puting, asfiksia lahir,
tangisan tertunda, dan ikterus neonatal mengakibatkan EBF lebih rendah tarif.
Temuan ini konsisten dengan yang dilaporkan oleh peneliti lain.
KESIMPULAN
Aprilina, Happy Dwi dan Rahmawati. 2018. Hubungan Faktor Budaya Dan Tingkat
Pengetahuan Ibu dengan Pemberian MPASI Dini. Jurnal Health of Studies
Vol 3, No. 2, September 2018, pp.47-55.
T.M. Rafsanjani. 2018. Pengaruh Individu, Dukungan Keluarga dan Sosial Budaya
terhadap Konsumsi Makanan Ibu Muda Menyusui (Studi Kasus di Desa
Sofyan Kecamatan Simeulue Timur Kabupaten Simeulue). Jurnal AcTion:
Aceh Nutrition Journal, Nopember 2018 (3)2: 124-131.
Kumar, Nithin etc all. 2012. Infant feeding and rearing practices adapted by mothers in
Coastal South India. International Journal of Collaborative Research on
Internal Medicine & Public Health Vol. 4 No. 12.