Isi PKL PDF
Isi PKL PDF
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat serta rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Laporan Praktik Kerja Lapangan Intergratif Dinas Kesehatan.
Dalam penyusunan Laporan Praktik Kerja Lapangan Intergratif, penulis
banyak sekali mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr.Roihatul Muti’ah M.Kes., Apt. selaku ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri maulana
Malik Ibrahim Malang
2. Ibu dr. Kuspardani selaku kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar
3. Bapak Hajar Sugihantoro, M.P.H, Apt., Abdul Hakim, M.P.I, M.Farm, Apt,
dan ibu Ria Ramadhani Dwi Atmaja, S.Kep., Ners., M.kep. selaku pembimbing
lapangan jurusan farmasi
4. Bapak Sugiyono S.farm, Apt Selaku Pembimbing lapangan Dinas Kesehatan
Kabupaten Blitar
5. Teman-teman Mahasiswa Farmasi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
angkatan 2015 yang telah bekerjasama selama kegiatan PKLI ini
6. Semua pihak yang telah membantu selama pelaksanaan dan penyelesaian
laporan Praktik Kerja Lapangan Intergratif
Penulis menyadari terbatasnya pengetahuan dan pengalaman, maka dalam
penyususnan laporan ini masih banyak kekurangan dan kesalahan serta masih jauh
dari kesempurnaan, namun penulis mengharapkan mudah-mudahan tugas ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu kesehatan pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya.
Ketua Kelompok
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Program PKLI................................................................... 1
1.2 Tujuan PKLI .............................................................................................. 3
1.3 Program PKLI ............................................................................................ 3
1.4 Waktu PKLI ............................................................................................... 3
BAB II KONDISI OBYEKTIF LOKASI PKLI
2.1 Deskripsi Instansi/Lembaga Profesi................. ..........................................4
2.1.1 Nama dan Sejarah Singkat ......................................................... 4
2.1.2 Struktur Organisasi Personalia dan Deskripsi Tugas...................5
2.1.2.1 Struktur Organisasi ......................................................... 5
2.1.2.2 Deskripsi Tugas .............................................................. 6
2.1.3 Tugas dan Fungsi Instansi/Lembaga ........................................... 31
2.2 Denah Lokasi PKL ..................................................................................... 32
2.2.1 Denah Lokasi Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar .......... 32
2.2.2 Denah Lokasi Instalasi Farmasi Kesehatan Dinas Kesehatan
Kabupaten Blitar..........................................................................33
1
2
Salah satu peran dari apoteker dan farmasis adalah mengelola dan
memantau instalasi famasi kabupaten (IFK) dan vaksin. Dimana Sistem
penyimpanan obat pada dinas kesehatan kabupaten blitar di bagian IFK
menggunakan First in First out (FIFO), menurut Stice dan Skousen (2009)
menyatakan bahwa sistem FIFO dinilai lebih logis dan realitas terhadap arus biaya.
Kelebihan dari sistem ini yaitu dapat meminimalkan obat – obatan dan alat
kesehatan yang telah kadaluwarsa. Sedangkan Metode yang di gunakan dalam
perencanaan kebutuhan obat di dinas Kesehatan Kabupaten Blitar adalah metode
konsumsi. Perencanaan Pengadaan Obat menggunakan metode konsumsi kurang
sesuai dengan kebutuhan serta tidak dapat dijadikan dasar pengkajian penggunaan
obat sehingga sering terjadi kekurangan stok obat atau bahkan perubahan pola
konsumsi obat juga dapat menyebabkan stock obat menjadi berlebih (Rahmawatie
dan Santoso, 2015). Selain itu vaksin yang harus dikelola oleh soerang farmasis
juga berhubungan erat dengan proses imunisasi dimana berdasarkan profil
kesehatan dinas kesehatan Kabupaten Blitar (2016) menyatakan bahwa Kabupaten
Blitar menempati peringkat pertama daerah dengan kasus difteri tertinggi di Jawa
Timur dengan terdapat lebih dari 50 kasus difteri di Kabupaten Blitar dengan 2
penderita meninggal dunia. Dimana proses imunisasi pada tahun tersebut telah
berjalan dengan semestinya (Dinkes Kab Blitar, 2016). Sehingga untuk
mendapatkan pengalaman dalam memahami peran dan tugas farmasis di instansi
pemerintahan baik dalam pengelolaan obat maupun vaksin perlu dilakukan PKLI
pada dinas kesehatan yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar.
3
4
5
pemberdayaan masyarakat.
• menyiapkan bahan penyusunan dan pelaksanaan sosialisasi
pedoman umum, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis serta
prosedur tetap di bidang komunikasi, informasi dan edukasi
kesehatan, advokasi dan kemitraan, potensi sumber daya promosi
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
• menyiapkan bahan penyusunan dan pelaksanaan bimbingan teknis
dan supervisi di bidang komunikasi, informasi dan edukasi
kesehatan, advokasi dan kemitraan, potensi sumber daya promosi
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.
• menyiapkan bahan koorDinasi di bidang komunikasi, informasi
dan edukasi kesehatan, advokasi dan kemitraan, potensi sumber
daya promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.
• menyiapkan bahan pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan di bidang komunikasi, informasi dan edukasi kesehatan,
advokasi dan kemitraan, potensi sumber daya promosi kesehatan
dan pemberdayaan masyarakat.
• melaksanakan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala Bidang.
3c. Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Olah Raga
− Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Olah Raga
mempunyai tugas untuk menyiapkan bahan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan operasional, bimbingan teknis dan supervisi,
serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang kesehatan
lingkungan, kesehatan kerja dan olah raga.
− Untuk melaksanakan tugas, Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan,
Kesehatan Kerja dan Olah Raga mempunyai fungsi :
• menyiapkan bahan penyusunan perencanaan program di bidang
penyehatan air dan sanitasi dasar, penyehatan pangan dan
penyehatan udara, tanah dan kawasan serta pengamanan limbah
dan radiasi, kesehatan okupasi dan surveilans, kapasitas kerja,
lingkungan kerja dan kesehatan olahraga.
• menyiapkan bahan rumusan kebijakan di bidang penyehatan air
14
penyakit.
• melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang
pencegahan dan pengendalian malaria, zoonosis, filariasis dan
kecacingan, dan arbovirosis, serta vektor dan binatang pembawa
penyakit.
• melaksanakan koorDinasi dengan lintas program, UPTD, lintas
sektor, organisasi profesi, institusi pendidikan, LSM, dan pihak
swasta dalam melaksanakan program pencegahan dan
pengendalian penyakit menular langsung dan penyakit menular
bersumber binatang serta program pengamatan dan pengendalian
vektor penular penyakit.
• melaksanakan fungsi lain yang diberikan Kepala Bidang.
4c. Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dan
Kesehatan Jiwa
− Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular
dan Kesehatan Jiwa mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan
dan pelaksanaan kebijakan operasional, bimbingan teknis dan
supervisi, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang
pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular dan kesehatan
jiwa.
− Untuk melaksanakan tugas, Kepala Seksi Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa
mempunyai fungsi :
• menyiapkan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang pencegahan dan pengendalian penyakit paru kronik dan
gangguan imunologi, jantung dan pembuluh darah, kanker dan
kelainan darah, diabetes mellitus dan gangguan metabolik,
gangguan indera dan fungsional, penyakit gigi dan mulut, serta
kesehatan jiwa dan NAPZA.
• menyiapkan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan
dan pengendalian penyakit paru kronik dan gangguan imunologi,
jantung dan pembuluh darah, kanker dan kelainan darah, diabetes
20
34
35
dari itu selain melihat sisa stok tahu lalu juga di lakukan metode VEN untuk
penentuan rencana pegadan obat yang akan dipesan. Metode VEN merupakan
penggolongan obat berdasarkan waktu kepentingan. Dibagi menjadi 3: Vital (V),
Esensial (E), Non Esensial (N) serta mengacu pula pada Formularium nasional.
Obat-obat adalah obat-obat vital yang tak tergantikan.Yang termasuk dalam
kelompok vital antara lain : obat penyelamat (life saving drug), obat-obatan untuk
pelayanan kesehatan pokok dan obat-obatan untuk mengatasi penyakit penyebab
kematian terbesar. Contoh obat yang termasuk jenis obat vital adalah adrenalin,
antitoksin, insulin, obat jantung. Obat esensial adalah obat yang sangat dibutuhkan,
Obat-obat yang ada dalam Formularium Nasional sendiri sudah termasuk obat-obat
esensial. Esensial (E) bila perbekalan farmasi tersebut terbukti efektif untuk
menyembuhkan penyakit, atau mengurangi penderitaan pasien. Contoh obat yang
termasuk jenis obat esensial adalah antibiotik, obat gastrointestinal, NSAID dan
lain lain. Dan obat-obat non-esensial adalah obat-obat tambahan namun tanpa obat
tersebut maka perencanaan obat akan pincang. Non-esensial (N) meliputi aneka
ragam perbekalan farmasi yang digunakan untuk penyakit yang sembuh sendiri
(self limiting disease), perbekalan farmasi yang diragukan manfaatnya, perbekalan
farmasi yang mahal namun tidak mempunyai kelebihan manfaat dibanding
perbekalan farmasi lainnya. Contoh obat yang termasuk jenis obat non-esensial
adalah vitamin, suplemen dan lain-lain.
Gambar 3.2 Penerimaan obat dari pemenang tender melalui non e-catalog
37
kadaluarsa dan ruangan khusus untuk obat narkotika dan psikotropik. Untuk
penyimpanan obat narkotik dan psikotropik langsung tersedia kartu stok
yang diletakkan di dekat masing-masing obat. Namun untuk obat-obat lain
kartu stok diletakkan terpisah dari obat dan di kumpulkan menjadi satu
dengan kartu stok obat yang lain.
tertutup sedangkan yang diatas adalah vaksin yang telah terbuka. Dalam pembagian
vaksin kepada sasaran haruslah sesuai, dengan target. Tidak dianjurkan membawa
vaksin berlebih pada vaccine carrier karena vaksin yang telah keluar dari
refrigerator VVM pada vaksin akan menurun.
telah larut dan telah di keluarkan dari wadah primer dimasukkan kedalam galian.
Cara tersebut merupakan cara manual untuk pemusnahan obat. Pada beberapa
puskesmas telah menggunakan insenerator sebagai pemusnahan dengan cara
modern.
Pembuangan/pemusnahan dengan incinerator adalah pilihan utama,
sementara itu sanitary landfill merupakan pilihan terakhir. pembuangan ke landfill
diperlukan bila sarana incinerator tidak mencukupi atau tidak tersedia. Menurut
Setyo Sarwanto, (2003) Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat
ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran (Liming)
tersebut meliputi sebagai berikut :
1. Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter
2. Tebarkan limbah klinik didasar lubang samapi setinggi 75 cm
3. Tambahkan lapisan kapur
4. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditanamkan
samapai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah
5. Akhirnya lubang tersebut harus ditutup dengan tanah
Setelah dilakukan pengawasan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar
dilakukan dibuatlah berita acara pemusnahan obat yang dibuat oleh dinas kesehatan
dengan mengacu kepada Permenkes Nomor 73 tahun 2016 yang ditujukan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan
Makanan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Arsip di Puskesmas. Terdapat
pula daftar obat yang dimusnahkan dengan kolom nama obat jumlah dan alasan
pemusnaan obat. Kedepanya Menurut penuturan Bapak Suprianto., S.farm., Apt
selaku penanggung jawab gudang menuturkan “Pemusnahan obat kadaluwarsa di
Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar dilakukan melalui pihak ke-3”.
Pemusnahan melalui pihak ke tiga yang di maksud yaitu pemusnahan obat
melalui istansi yang mebyediakan jasa untuk memusnahkan obat. Pihak ke 3 yang
dituju untuk pemusnahan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar yang di
lakukan melalui PT. PRIA. PT. PRIA merupakan PT yang bergerak di bidang
pengolahan dan pemanfaatan limbah.
46
yang lebih ketat pengadaan obat secara mandiri tidak boleh dilakukan dengan
pembelian di apotek.
3. Penyimpanan puskesmas
Penyimpanan merupakan suatu kegiataan pengamanan terhadap obat-
obatan yang diterima agar aman, terhindar dari kerusakan, fisik maupun
kimia, dan mutunya tetap terjamin. Tujuan penyimpanan adalah agar obat
yang tersedia di unit pelayanan kesehatan mutunya dapat dipertahankan
(Depkes, 2004).
Kabupaten Blitar memiliki 24 puskesmas sebagai fasilitas kesehatan
yang tersebar di seluruh Kabupaten Blitar. Puskesmas yang di tempati oleh
mahasiswa PKLI yaitu puskesmas Nglegok, Sanankulon, dan Garum. Pada
masing-masing puskesmas pengelompokan obat sudah secara alfabetis, dan
menggunakan sistem First In First Out (FIFO) dan First Expired First Out
(FEFO), untuk memudahkan pemantauan obat di gudang setiap puskesmas
juga mengelompokkan obat-obatan berdasarkan golongan. Pada
penyimpanan obat narkotik dan psikotropik diletakkan dalam lemari khusus,
namun dua dari puskesmas tersebut menyimpanan obat narkotik dan
psikotropik yang dipisahkan, ada yang di gudang dan ada yang dilemari
khusus, untuk pencatatan suhu ruangan, salah satu puskesmas masih belum
terdapat pengutur suhu. Selain itu terdapat lemari pendingin yang digunakan
untuk menyimpan obat-obatan dengan suhu yang rendah (dingin).
Setiap seharusnya puskesmas memiliki ventilasi dan pengatur suhu
yang fungsional, untuk ventilasi digunakan untuk sirkulasi udara dan untuk
pengatur suhu untuk mengatur suhu yang ada dalam gudang. Selain fasilitas
tersebut terdapat pallet yang digunakan untuk memisahkan lantai dengan
obat. Masing-masing Puskesmas juga melakukan pengecekan mutu obat
secara organoleptis dan dicatat dalam buku catatan penyimpanan obat.
Pengamatan mutu obat bertujuan agar obat memiliki kualitas yang terjaga.
Pada setiap obat terdapat stok obat, sehingga ketika mengambil obat langsung
ditulis dalam kartu stok.
50
4. Pendistribusian Puskesmas
Distribusi obat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan obat pelayanan
kesehatan yang ada di wilayah dengan jenis mutu, jumlah, dan tepat waktu.
Kegiatan pendistribusian dilakukan di gudang obat untuk menyerahkan /
mengirimkan obat dan diterima di unit pelayanan. Penyerahan di gudang puskesmas
diambil sendiri oleh sub unit pelayanan. Obat diserahkan bersama-sama dengan
formulir LPLPO dan lembar pertama disimpan sebagai tanda bukti penerimaan obat
( depkes, 2004 )
Obat-obat yang ada di puskesmas didistribusikan ke pasien,
Puskesmas Pembantu (PUSTU) yang di pimpin oleh perawat dan Pusat
Kesehatan Desa (PUSKESDES). Pendistribusian obat ke PUSTU dan
PUSKESDES dilakukan dengan membuat permohonan permintan obat yang
dilakukan menggunakan Formulir Laporan Pemakaian Dan Lembar
Permintaaan Obat ( LPLPO ) dari PUSKESDES dan PUSTU yang diketahui
oleh penanggung jawabnya yaitu kepala puskesmas. Sedangkan proses
pendistribusian obat ke pasien dilakukan langsung oleh tenaga kefarmasian
ke pasien yang berobat dan membawa resep. Kemudian obat disiapkan sesuai
dengan resep dan didistribusikan ke pasien dengan persiapan yang teratur dan
terbungkus lengkap dengan etiket pada masing-masing obat. Obat yang
didistribusikan dicatat dalam buku pengeluaran barang dan formulir
pengeluaran obat berisi pengiriman, penerimaan, dan pemeriksaan obat.
51
beberapa obat yang tidak sesuai antara perencanaan dengan pengadaan. Hal tersebut
dapat di karenakan jumlah anggaran yang tidak mencukupi untuk pengadaan sesuai
dengan perencanaan. Untuk hal tersebut maka pihak dinas sudah cukup baik dalam
mengambil keputusan tentang obat apa yang harus diadakan. Pihak Dinas kesehatan
akan memilih mana obat yang paling di perlukan dan yang paling memberikan
manfaat sehingga di prioritaskan untuk di adakan sesuai rencana.
Kendala lain yang terjadi dalam proses pengadaan obat yaitu terlambatnya
suplaier dalam memasok obat. sehingga hal tersebut menyebabkan ketersediaan
obat tertentu menjadi kosong ( Kusmini dkk, 2016). Kendala tersebut dapat berasal
dari distributor obat secara e-Catalogue (e-purchasing) ataupun secara non e-
Catalogue ( non e-purchasing). Kendala yang di hadapi selama mahasiswa PKLI
melakukan observasi dan wawancara yaitu terlambatnya disributor obat dari e-
catalogue (e-purchasing) sehingga terdapat beberapa obat yang mengalami stock
out.
Terjadinya keterlambatan pemasokan obat oleh distributor dalam metode e-
purchasing secara e-catalogue penayangan e-catalogue yang tidak memberikan
cukup waktu bagi disributor pemenang e-catalogue untuk mempersiapkan obat
dalam jumlah yang sesuai dengan komitmen pada saat dibutuhkan oleh
satker/faskes ( Dwiaji dkk, 2016). Hambatan dalam proses pengadaan obat di
Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar sendiri berasal dari faktor eksternal sehingga
pihak Dinas sendiri pun sulit untuk menangani hal tersebut. Hal yang dapat
dilakukan pihak Dinas Kesehatan untuk menangani hal tersebut adalah melakukan
komunikasi terlebih dahulu kepada distributor penyedia sebelumnya agar tidak
mengalami hambatan e-purchasing dilaksanakan. Mereka menyampaikan
informasi rencana pengadaan kepada distributor penyedia di awal tahun anggaran.
Distributor penyedia menyiapkan barang, setelah barang tersedia distributor
penyedia akan memberi informasi balik kepada pihak Dinas Kesehatan, selanjutnya
pihak Dinas Kesehatan melakukan e-purchasing obat ( Kusmini dkk, 2016).
Proses pengadaan yang sesuai dan dapat berjalan dengan lancar akan
membawa dampak terpenuhinya ketersediaan obat sehingga tidak terjadi
kekosongan obat. Pengadaan obat secara e-purchasing sendiri juga memiliki
kelebihan yakni dapat menekan biaya obat karena harga obat didasarkan pada
55
distributor yang memenagkan tander dengan harga yang paling murah dan itu
berlakau secara nasional. Metode pengadaan obat secara e-purchasing bila berjalan
lancar tanpa hambatan akan sangat efisien dan mampu menghemat biaya obat (
Kusmini dkk, 2016).
Pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar berdasarkan katalog
elektronik (e-catalogue). Hal ini sesuai dengan Pasal 110 Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012,
dikembangkan metode pengadaan obat melalui sistem E-Purchasing Obat.
Pengadaan obat oleh Satuan Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah
dan FKTP atau FKRTL dapat dilaksanakan sebagai berikut:
2. Dalam hal obat yang dibutuhkan tidak terdapat dalam Katalog Elektronik
(E-Catalogue) obat, proses pengadaan dapat mengikuti metode lainnya
sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012.
Sistem penyimpanan ini dapat diperbaiki dengan cara ditata ulang sesuai dengan
peraturan setelah dilakukannya renovasi pada Gudang IFK Dinas Kesehatan
Kabupaten Blitar dan mengurangi jumlah susunan khususnya pada barang-barang
yang memiliki bobot yang cukup berat.
Menurut siregar (2004) Obat-obatan sebaiknya disimpan sesuai dengan
syarat kondisi penyimpanan masing-masing obat. Kondisi penyimpanan yang
dimaksud antara lain adalah temperatur/suhu sekitar 20-250C dengan alat
pengatur suhu dan kelembapan. Untuk pengatur suhu di dinas kesehatan sudah
tergolong baik, dikarenakan pengontrolan suhu dilakukan setiap hari oleh
petugas pada waktu pagi dan sore. Akan tetapi, dinas kesehatan belum memiliki
pengatur kelembapan ruangan. Hal ini dirasa cukup dengan adanya kipas angin
dan AC disekitar ruangan Gudang.
Kendala lain yang ditemui pada proses penyimpanan di Dinas Kesehatan
Kabupaten Blitar ialah tidak adanya ruangan khusus untuk bahan-bahan yang
mudah terbakar seperti reagen, dan juga alat pemadam kebakaran. Untuk
menanggulangi kemungkinan-kemungkinan seperti kebakaran, sebaiknya bahan-
bahan yang mudah terbakar dipisahkan dengan obat-obatan yang tersedia, dan
disediakan alat pemadam kebakaran minimal 1 agar dapat meminimalisir kerugian
yang mungkin akan terjadi. Selain itu, penyimpanan kartu stok terpisah dari barang
atau obatnya, yang diisi pada setiap pengambilannya ditempat penyimpanan kartu
stok. Sementara itu, penyimpanan kartu stok sebaiknya diletakkan didekat obat,
agar memudahkan dalam mencari barang saat pelayanan.
Kondisi penyimpanan khusus yang terdapat di Dinas Kesehatan Kabupaten
Blitar yaitu penyimpanan obat-obatan atau barang-barang seperti serum,
suppositoria dan obat-obat injeksi yang diletakkan pada lemari pendingin dengan
suhu berada pada rentang 2-8 C. Akan tetapi kendala yang ditemukan ialah pada
saat pemadaman listrik terjadi, karena di IFK Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar
belum dapat mengoprasikan genset sebagai sumber listrik bagi lemari pendingin.
Hal ini terjadi karena janset masih dalam keadaan rusak dan belum diperbaiki,
untuk mengurangi terjadinya kerusakan pada obat-obat di dalam lemari pendingin
pada saat listrik mati, maka sebaiknya genset yang ada dapat diperbaiki agar dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
57
Penyimpana sediaan farmasi tidak hanya obat namun juga meliputi vaksin.
Proses penyimpanan vaksin sendiri menjadi tanggung jawab dari bidang P2P di
bawah seksi surveilans dan Imunisasi. Pada proses penyimpanan vaksin di Dinas
Kesehatan Kabupaten Blitar dari pengamatan terhadap penyimpanan vaksin di
Dinas kesehatan terdapat frezzer yang memiliki ketebalan bunga es yang melebihi
dari 0,5 dan seharusnya harus di defros. Menurut SOP Sistem defrosting dilakukan
bertujuan untuk membersihkan refrigerator dari bunga es. Dilakukan selama
sebulan sekali saat bunga es mencapai 0,5 cm. Selama sebulan praktek kerja
lapangan belum pernah dilakukan defrosting pada refrigerator dan ditemukan bunga
es yang mencapai 2 cm. Hal ini dapat diartikan bahwa telah lama tidak dilakukanya
pembersihan bunga es. Kegiatan pemeliharaan refrigerator menurut SOP dilakukan
dalam 3 tahap yakni harian, mingguan dan bulanan. Kegiatan pemeliharaan yang
dilakukan oleh pegawai dinas kesehatan yang dilakukan rutin adalah harian dengan
mengecek suhu. Sedangkan pemeliharaan mingguan dan bulanan jarang dilakukan.
Sehingga sering terjadi penebalan bunga es dan kurang terawatnya steker. Pada tata
letak refrigerator menurut SOP adalah berjarak 15-20 cm dari dinding dan antara
refrigerator. Di dalam gudang penyimpanan vaksin jarak antara dinding dan
refrigerator bervariasi. Ada yang berjarak 15-20 cm dan ada juga yang terlalu dekat
sekitar 5-10 cm. Hal ini dimungkinkan karena kurangnya pemeliharaan yang
dilakukan oleh pegawai. Selain itu pada gudang penyimpanan vaksin tidak
ditemukan adanya generator yang digunakan sebagai pembangkit listrik apabila
listrik padam. Menurut Permenkes no 82 (2015) alat yang harus ada dalam
penyimpanan vaksin adalah standby generator.
untuk ORI seperti mengambil Vaksin, syiring, Emergency kit, safety box dll. Serta
bertanggung jawab pula untuk mengawasi dan mengevaluasi kegiatan Ori tersebut.
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa ketika proses penyimpanan
vaksin di Puskesmas masih terdapat beberapa kekurangan seperti adanya genangan
pada bagian bawah refrigeretor dan juga monitoring suhu yang belum di lakukan
secara optimal. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya pengawasan dari pihak dinas
kesehatan dan juga keaktifan dari pihak pengelola vaksin di Puskesmas untuk
melakukan pemeliharaan terhadap refrigerator juga memonitoring suhu
penyimpanan secara berkala.
Permasalahan lain juga terjadi ketika kegiatan ORI berlangsung di
Posyandu. Pada beberapa posyandu belum terdapat petugas penjaga yang
mengamankan kegiatan ORI tersebut. Padahal berdasarkan pedoman penceklisan
di haruskan ada penjaga di setiap posyandu untuk memastikan keamanan program
ORI. Dan permasalahan lain ketika proses ORI berlangsung yaitu adanya obat di
dalam emergency kit yang telah kadaluarsa. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kurangnya perhatian dari petugas posyandu dalam mempersiapkan segala
perbekalan ketika ORI. Maka dari itu perlu dilakukan pengecekan segala hal yang
di butuhkan ketika ORI yang tidak hanya menyangkut vaksin, Namun juga
perlengkapan lainnya.
Permasalahan yang lain adalah pada ORI Putaran I diKabupaten Blitar yang
diikuti sebanyak 290.144 anak dengan diberikan vaksin DPT-HB-Hib
(PENTABIO), vaksin DT, dan vaksin Td pada usia berbeda menghasilkan reaksi
KIPI yang beragam. Kasus terbanyak terjadi pada pemberian vaksin PENTABIO
dengan jumlah kasus 212 kasus KIPI baik serius dan Non Serius sebesar 49.882%.
Puskesmas dengan kasus KIPI yang paling banyak ialah Puskesmas Wonotirto
dengan sebanyak 65 kasus dengan persentase 15,294%. Pada vaksin DT jumlah
kasus KIPI sebanyak 76 kasus dengan persentase sebesar 17.882%. Kasus
terbanyak pada vaksin DT terdapat pada Puskesmas sutojayan sebanyak 22 kasus
dengan persentase 5,174% dan juga pada vaksin Td jumlah kasus yang terjadi
sebanyak 144 kasus dengan persentase sebanyak 33.882%. kasus terbanyak pada
vaksin Td teradapat pada Puskesmas sutojayan sebanyak 35 kasus dengan
persentase 8,235%.
60
Untuk mencegah lebih banyaknya kasus KIPI yang terjadi Dinas Kesehatan
Kabupaten Blitar telah melakukan Supervisi. Menurut Permenkes Ri Nomor 12
Tahun 2017 Supervisi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan secara
berkala dan berkesinambungan meliputi pemantauan, pembinaan, dan pemecahan
masalah serta tindak lanjut. Kegiatan ini sangat berguna untuk melihat bagaimana
program atau kegiatan dilaksanakan sesuai dengan standar dalam rangka menjamin
tercapainya tujuan kegiatan Imunisasi. Supervisi suportif didorong untuk dilakukan
dengan terbuka, komunikasi dua arah dan membangun pendekatan tim yang
memfasilitasi pemecahan masalah. Ini difokuskan pada pemantauan kinerja
terhadap target, menggunakan data untuk mengambil keputusan dan di pantau oleh
petugas untuk memastikan bahwa ilmu atau strategi yang baru tersebut
dilaksanakan dengan baik. Kegiatan supervisi dapat dimanfaatkan pula untuk
melaksanakan “on the job training” terhadap petugas di lapangan. Diharapkan
dengan supervisi ini, dari waktu ke waktu, petugas akan menjadi lebih terampil baik
segi teknis maupun manajerial. Supervisi diharapkan akan menimbulkan motivasi
untuk meningkatkan kinerja petugas lapangan.
atau dalam hal ini adalah TTK (Tenaga Teknis Kefarmasian) yang bertugas
setiap harinya mencatat jumlah tiap item obat yang keluar dalam satu hari
dengan sistem komputerisasi. Dengan metode tersebut maka dapat
mempermudah memperoleh dan menganalisis data pemakaian. Sehingga data
yang di dapat sebagai dasar perencanaan obat dapat lebih akurat dan mudah di
analisis. Hal tersebut seharusnya di contoh oleh Puskesmas lain agar proses
perencanaan dapat berlangsung efektif dan akurat.
2. Pengadaan
Pengadaan obat di Puskesmas dilakukan dengan mengajukan Lembar
Permintaan dan Persediaan Obat (LPLPO) ke Dinas Kesehatan Kabupaten
Blitar. Adanya hambatan dari proses pengadaan sendiri juga berpengaruh
terhadap tersedianya Obat yang ada di Puskesmas. Berdasarkan keterangan
dari petugas Puskesmas kendala yang di alami ketika proses pengadaan obat
yaitu tidak tersedianya obat di Dinas Kesehatan ataupun stock di Dinas
Kesehatan sedikit sehingga permintaan Puskesmas tidak sesuai LPLPO.
Namun, untuk memenuhi kebutuhan di Puskesmas maka pihak Puskesmas
boleh melakukan pengadaan sendiri.
Pengadaan sendiri pernah dilakukan oleh beberapa Puskesmas seperti
pada Puskesmas Garum dan juga Puskesmas Ngelegok. Pengadaan pada kedua
Puskesmas tersebut dilakukan dengan membeli stock obat yang kosong di
Apotek. Namun karena ada peraturan terbaru yang mengatur tentang
pengadaan obat di Puskesmas maka Puskesmas tidak lagi melakukan
pengadaan sendiri. Hal yang biasanya dilakukan oleh petugas Puskesmas
dengan mengganti obat yang kosong dengan obat yang memiliki indikasi yang
sama. Menurut salah satu petugas Puskesmas untuk melakukan pengadaan
sendiri di Puskesmas terlalu sulit dan harus menyesuaikan harga sesuai
ketentuan, sehingga Puskesmas memilih untuk tidak melakukan pengadaan
sendiri.
Kekosongan obat pada Puskesmas tersebut dapat di karenakan
pengadaannya yang belum optimal seperti jumlah obat yang di adakan tidak
sesuai dengan LPLPO karena stock di Dinas kesehatan terbatas atau bahkan
Kosong. Salah satu Puskesmas juga pernah mengalami kekosongan obat untuk
63
penyakit jiwa yang setiap bulannya mengambil resep. Dari hal tersebut maka
pihak Puskesmas harus mampu melakukan perencanaan dan merealisasikan
pengadaan sesuai kebutuhan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka untuk
memenuhi kebutuhan di Puskesmas maka pihak Dinas Kesehatan juga harus
mampu memenuhi ketersediaan obat untuk di distribusikan ke Puskesmas.
3. Penyimpanan
Penyimpanan obat di Puskesmas tidak jauh berbeda dengan Gudang
IFK Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar. Di beberapa Puskesmas Kabupaten
Blitar penyimpanan sudah sesuia ketentuan akan tetapi masih terdapat kendala
yang dialami yaitu, penyimpanan obat OKT terpisah, dimana sebagian
diletakkan di lemari khusus OKT dan sebagian diletakkan di Gudang obat
tanpa lemari khusus. Dari penyimpanan ini, sebaiknya diletakkan pada satu
tempat khusus saja atau dalam lemari 2 kunci, agar tidak terjadi kesalahan
pengambilan obat yang terdapat di Gudang farmasi Puskesmas karena tidak
adanya lemari khusus pula. Akan tetapi penyimpanan stok terpisah ini
diperbolehkan asalkan masing-masing tempat penyimpanan memiliki lemari
khusus.
Kendala yang ditemukan pada sarana dan prasarana yang ada
diantaranya ialah belum adanya lemari pendingin dan menitipkan obat-obat
dengan suhu rendah (dingin) I instansi yang lain. Setiap penyimpanan di
Gudang farmasi Puskesmas seharusnya mempunyai lemari pendingin sendiri,
dikarenakan ada beberapa obat harus disimpan di lemari pendingin tersebut,
memudahkan petugas dalam melayani atau mengambil dan meminimalisir
kehilangan obat-obatan yang ada di lemari pendingin. Selain itu pada beberapa
Gudang farmasi di Puskesmas kurang sirkulasi udara yang baik, yaitu ventilasi
yang terlalu kecil dan beberapa petugas mencukupkan dengan adanya AC,
namun kenyataannya AC sering telat dihidupkan. Jika memang ingin
menggunakan AC saja sebaiknya AC dihidupkan terus tanpa dimatikan, hal ini
juga dilakukan untuk kestabilan suhu, dan diperbaiki sedikit untuk ventilasi hal
ini dilakukan untuk kelancaran sirkulasi udara di dalam Gudang farmasi
Puskesmas. Menurut Muhammad (2009), suhu sangat berperan dalam menjaga
umur simpanan sediaan obat dan pembekalan farmasi, maka dari itu selayaknya
64
suatu depo atau Gudang obat untuk menyediakan thermometer ruangan untuk
memantau temperature. Akan tetapi dari beberapa Puskesmas ini terdapat salah
satu Puskesmas yang belum memasangkan alat pengukur suhu tersebut. Dari
hal tersebut sebaiknya alat pengukur suhu (termometer) tersebut secepatnya
dipasang, agar petugas lebih mudah mengontrol tekanan yang ada pada Gudang
dan dapat mengurangi kerusakan pada obat yang ada di Gudang farmasi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar dilaksanakan menggunakan metode
konsumsi berdasarkan pada obat generik yang tercantum dalam Daftar Obat
Esensial Nasional (DOEN), Formularium Nasional (Fornas), pedoman
pengobatan puskesmas, petunjuk teknis dana alokasi khusus (JukNis DAK),
dan dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) Dinas Kesehatan Kabupaten
Blitar. Hal ini sesuai dengan Permenkes RI (2016) menyatakan bahwa
proses seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai juga harus
mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium
Nasional.
2. Pengadaan Obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar dilakukan secara e-
purchasing dan Non e- purchasing. Pada pengadaan obat secara e-
purchasing di dasarkan pada daftar obat yang tersedia di e-catalogue
sedangkan obat yang tidak teredia di e-catalogue diadakan secara non e-
purchasing atau melalui tander.
3. IFK Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar tidak disusun secara alfabetis dan
penyusunan melebihi batas maksimal. Hal ini terjadi karena ruang
penyimpanan yang kurang memadai dan masih dalam tahap renovasi.
4. Distribusi pada Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar menggunakan sistem
distribusi pasif. Distribusi obat-obatan Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar
dilakukan secara 1 kali setiap bulan, dengan mekanisme 2 kali Dinas
kesehatan mengantar ke puskesmas, dan 10 kali puskesmas mengambil obat
ke Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar dalam setahun.
5. Dinas Kesehatan dalam program ORI adalah dalam penyediaan logistik
vaksin yang telah diatur pada Permenkes No.12 tahun 2017 Bab III Pasal 13
Ayat 1-3. Dinas Kesehatan bertanggung jawab untuk mengadakan dan
mendistribusikan segala kebutuhan untuk ORI seperti mengambil Vaksin,
syiring, Emergency kit, safety box dll. Serta bertanggung jawab pula untuk
mengawasi dan mengevaluasi kegiatan Ori tersebut.
65
66
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan R.I. 2007. Pedoman Pengelolaan Obat Publik Dan
Perbekalan Kesehatan Di Daerah Kepulauan
Depkes RI, 2015, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, Jakarta: Depkes RI
Dwiaji, A., Sarnianto, P., Thabrany, H. 2016. Evaluasi Pengadaan Obat Publik pada
JKN Berdasarkan Data e-Catalogue Tahun 2014-2015, Jurnal Ekonomi
Kesehatan Indonesia. Vol.1. No. 1.
Dwiaji, A., Sarnianto, P., Thabrany, H., et.al, 2016, Evaluasi Pengadaan Obat
Publik pada JKN Berdasarkan Data e-Catalogue Tahun 2014-2015, Jurnal
Ekonomi Kesehatan Indonesia, 1(1) : 39-53
Kusmini, Satibi Dan Suryawati Sri. 2016. Evaluasi Pelaksanaan E Purchasing Obat
Pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah Tahun 2015. Jurnal
Managemen Dan Pelayanan Farmasi. Volume 6 Nomor 4
Sarwanto, Setyo. 2009. Limbah Rumah Sakit Belu Dikelolah Dengan Baik. Jakarta
: Ui
Siregar, Charles. JP., 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Cetakan. I,
Penerbit EGC, Jakarta.
LAMPIRAN
Gambar 12. Foto Form Permintaan Obat Kejadian Luar Biasa (KLB)