Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Media massa merupakan salah satu alat dalam proses komunikasi massa,
karena media massa mampu menjangkau khalayak yang lebih luas dan relatif lebih
banyak, heterogen, anonim, pesannya bersifat abstrak dan terpencar. Media massa
sendiri dalam kajian komunikasi massa sering dipahami sebagai perangkat-
perangkat yang diorganisir untuk berkomunikasi secara terbuka dan pada situasi
yang berjarak kepada khalayak luas dalam waktu yang relatif singkat (McQuail,
2000:17). Media massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan
penyebaran informasi secara massa dan dapat diakses oleh masyarakat secara
massal (Bungin, 2006:7).

Secara garis besar media massa merupakan "kekuatan keempat" (The Fourth
Estate) dalam menjalankan kontrol sosial terhadap masyarakat setelah lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media massa terbagi dua, yakni: media cetak
dan elektronik. Media cetak meliputi, surat kabar, majalah, tabloid, buku
newsletter, dan buletin. Sedangkan media elektronik meliputi radio, televisi,
internet, dan film. Media massa memiliki fungsi-fungsi, yakni menyiarkan
informasi, mendidik, menghibur dan mempengaruhi.

Media online kini telah menjadi salah satu media komunikasi yang mulai
mendapat banyak perhatian dari masyarakat. Keberadaanya juga mulai menjadi
favorit bagi seluruh lapisan masyarakat.

Media massa online memiliki peran dalam memajukan peradaban umat


manusia yang kian pesat didorong tak luput dari peran teknologi komunikasi yang
serba canggih. Bahkan tak jarang kecanggihan tersebut disalah gunakan, sehingga
media massa memiliki dua peranan yakni memperburuk sisi kemanusiaan
seseorang (dehumanisasi) atau memperkuat dan menajamkan sence of humanity
(humanisasi).
Media online adalah media massa ”generasi ketiga” setelah media cetak
(printed media) seperti koran, tabloid, majalah, buku dan media elektronik
(electronic media) seperti radio, televisi, dan film/video. Media Online merupakan
produk jurnalistik online disebut juga cyber journalisme yang didefinisikan sebagai
“pelaporan fakta atau peristiwa yang diproduksi dan didistribusikan melalui
internet”.

Secara teknis atau ”fisik”, media online adalah media berbasis telekomunikasi
dan multimedia (komputer dan internet). Termasuk kategori media online adalah
portal, website, radio online, TV online (streaming), dan email.

B. Rumusan Masalah

Fenomena crossdressing yang meresahkan para kaum hawa dan adam

C. Tujuan Masalah

Untuk mengetahui maksud dari crossdressing

D. Manfaat

Supaya masyarakat tidak meniru perilaku crossdressing


BAB II

PEMBAHASAN

A. Analisis Fenomena Crossdressing

Twitter (/ˈtwɪtər/) adalah layanan jejaring sosial dan mikroblog daring yang
memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan membaca pesan berbasis teks
hingga 140 karakter akan tetapi pada tanggal 07 November 2017 bertambah hingga
280 karakter yang dikenal dengan sebutan kicauan (tweet). Twitter didirikan pada
bulan Maret 2006 oleh Jack Dorsey, dan situs jejaring sosialnya diluncurkan pada
bulan Juli. Sejak diluncurkan, Twitter telah menjadi salah satu dari sepuluh situs
yang paling sering dikunjungi di Internet, dan dijuluki dengan "pesan singkat dari
Internet." Di Twitter, pengguna tak terdaftar hanya bisa membaca kicauan,
sedangkan pengguna terdaftar bisa menulis kicauan melalui antarmuka situs web,
pesan singkat (SMS), atau melalui berbagai aplikasi untuk perangkat seluler.

Twitter mengalami pertumbuhan yang pesat dan dengan cepat meraih


popularitas di seluruh dunia. Hingga bulan Januari 2013, terdapat lebih dari 500
juta pengguna terdaftar di Twitter, 200 juta di antaranya adalah pengguna aktif.
Lonjakan penggunaan Twitter umumnya berlangsung saat terjadinya peristiwa-
peristiwa populer. Pada awal 2013, pengguna Twitter mengirimkan lebih dari 500
juta kicauan per hari, dan Twitter menangani lebih dari 1,6 miliar permintaan
pencarian per hari.

Gara-gara media sosial twiter ini fenomena crossdressing semakin


menyebar kemana-mana. Crossdressing menjadi popular karena fashion yang
sangat digemari, menurut mereka crossdressing bukanlah suatu hal yang dilarang,
karena mereka hanya merubah fashion saja tidak dengan sifatnya. Hal ini dilakukan
semata-mata untuk perkembangan fashion, meskipun banyak yang mencekal
fenomena ini karena ditakutkan sifat dari pengguna fashion ini juga berubah, itu
sama saja dengan transgender.
B. ISI

Baru-baru ini media sosial dihebohkan mengenai komunitas crosshijaber,


pria yang berpenampilan menggunakan hijab hingga bergaya dengan hijab syar'i
dan cadar. Crosshijaber jadi sensasi setelah akun Twitter @lnfinityslut
mengunggah thread tentang keberadaan komunitas tersebut.

Crosshijaber bahkan memiliki komunitasnya di Facebook dan Instagram,


bahkan ada hashtag-nya sendiri. Dari tangkapan layar Insta story, terpampang
wajah pria yang mengenakan pakaian gamis, hijab panjang dan ada yang memakai
cadar.

Diungkapkan bahwa laki-laki yang tampil dengan hijab syar'i ini bahkan
berani masuk ke tempat yang semestinya hanya dimasuki wanita, seperti toilet.
Mereka bahkan tidak ragu berada di masjid. Istilah crosshijaber sendiri diambil dari
kata crossdressing yakni aksi mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan jenis
kelamin bawaan dari lahir.

Perilaku yang juga dikenal dengan sebutan trasvestisisme ini sering kali
dianggap sebagai suatu penyimpangan karena disalahpahami sebagai penyakit
seksual. Namun, pada beberapa masa crossdressing merupakan bagian dari
kebudayaan tertentu.

Istilah crossdressing ini tak sama dengan kondisi transgender. Seseorang


yang melakukan crossdressing ini pun dapat memiliki tujuan beragam dari sebagai
penyamaran hingga sebagai hiburan atau ekspresi diri.

Crossdressing bukanlah fenomena modern. Seperti dilansir Fashion


History, raja Asyur Sardanapulus, juga dikenal sebagai Ashurbanipal pada abad ke-
5 SM, dikatakan telah menghabiskan sebagian besar waktunya di istananya
mengenakan pakaian wanita dan dikelilingi oleh para selirnya. Ketika berita tentang
perilaku ini dikenal luas, beberapa bangsawan memberontak. Meskipun
crossdressing dipandang rendah karena menunjukkan kelemahan feminin, ia
berjuang lama dan berani berpakaian beda dari gendernya selama dua tahun,
sebelum akhirnya bunuh diri.
Pada 1420-an di Prancis ada seorang wanita yang berpakaian sebagai pria
demi ikut perang membebaskan negaranya dari penjajahan Inggris. Joan of Arc
berpakaian sebagai seorang pria untuk memimpin tentara Prancis ke medan perang,
sebuah pekerjaan yang dianggap tidak pantas dilakukan oleh seorang wanita.
Sebagai seorang gadis berusia 12 tahun di pedesaan Prancis, ia telah menerima
penglihatan dari orang-orang suci masa lalu dan menjadi yakin bahwa takdirnya
adalah membebaskan Prancis dari penjajah Inggris. Dia ditolak sebagai seorang
wanita, tetapi berpakaian sebagai seorang pria dan mengajukan permohonan kepada
Charles VII secara langsung untuk diizinkan bertarung. Anehnya, Charles
membiarkan gadis petani itu memimpin pasukannya dan dia memenangkan
beberapa kemenangan besar, meskipun dia tidak pernah bertarung secara langsung.
Joan kemudian dibakar dengan tuduhan sesat karena 'pakaian pria-nya', yang
dikatakan tidak menghormati hukum Tuhan dan alam.
BAB III

PENUTUP

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa media massa sangat


berperan tentang fenomena crossdressing ini. Walaupun orang yang melakukan
crossdressing ini melakukan tanpa merubah sifatnya. Mereka melakukan ini
semata-mata untuk fashion saja bukan karena ingin merubah sifatnya ataupun
perilakunya. Tetapi masyarakat khawatir dengan fenomena ini. Masyarakat
berharap semoga fenomena ini tidak menjamur kemana-mana.
DAFTAR PUSAKA

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada


Media Group.

McQuail, Denis. 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga.

https://wolipop.detik.com/entertainment-news/d-4744724/heboh-
crosshijaber-ini-sejarah-saat-orang-tak-berpakaian-sesuai-gender

Anda mungkin juga menyukai