Anda di halaman 1dari 13

GASTROPERASIS DIABETIKA

SRI MARYANI SUTADI

Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Sumatera Utara

Diabetes mellitus merupakan penyakit sistemik yang dapat mengakibatkan


disfungsi berbagai organ tubuh. Gangguan fungsi saluran cerna ternyata merupakan
masalah yang sering ditemui pada penderita-penderita disbetes mellitus lanjut,
dimana hal ini sebagian disangkakan berkaitan dengan terjadinya disfungsi
neurogenik dari saluran cerna tersebut (1-4).
Sering terjdi penderita diabetes mellitus mengeluhkan gejala gangguan
saluran cerna atas tanpa sebab yang jelas. Penderita seperti ini bila dilakukan uji
tertentu dapat menunjukkan adanya keterlambatan pengosongan lambung, keadaan
seperti ini dinamai gastroparesis diabetika (1). Gastroparesis diabetika merupakan
komplikasi dari diabetes mellitus yang kini semakin dikenal.
Gastroparesis diabetika adalah suatu kelainan motilitas lambung yang terjadi
pada penderita diabetes yang dapat dimanisfestasikan oleh berbagai macam gejala
serta dijumpainya kelainan pada uji pengosongan lambung (5).
Istilah “gastroparesis diabeticorum” pertama sekali digunakan oleh Kassender
terhadap keadaan retensi lambung yang dijumpai pada penderita diabetes mellitus
yang asimptomatik(6). Gastroparesis diabetika dapat terjadi pada penderita IDDM
maupun NIDDM. Horowitz dkk memperkirakan keterlambatan waktu pengosongan
lambung dijumpai pada sekitar 50% penderita IDDM maupun NIDDM (7-9).
Selain dapat menimbulkan keluhan yang terkadang sampai berlarut-larut dan
sulit diatasi, Gastroparesis diabetika juga dapat menyulitkan pengendalian gula
darah (7,10,11). Namun dengan ditemukannya berbagai macam obat gastrokinetik
maka pengelolaan gastroparesis menjadi lebih efektif.
Tulisan ini akan menguraikan berbagai aspek dari gastroparesis diabetika.

GAMBARAN PREVALENSI

Suatu studi menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab


kedua tersering dari gastroparesis (24%) setelah isiopatik (33%), sedang penyakit
tersering lainnya adalah paska operasi lambung (19%) (112).
Laporan mengenai prevalensi gangguan motilitas lambung pada penderita
diabetes memberikan hasil yang berbeda-beda, al ini disebabkan beberapa factor
antara lain : tipe penderita diabetes yang diselidik (IDDM atau NIDDM, diabetes yang
lama dan berat, dengan atau tanpa gejala gastriparesis), criteria yang digunakan
untuk diagnosa gastroparesis (berdasarkan gejala-gejala saja, berdasarkan adanya
kelainan motorik atuapun elektrik lambung, atau berdasarkan keterlambatan
pengosonganlambung), dan metode yang digunakan untuk menilai, mengosongkan
lambung (pemeriksaan barium, radiopaque marker, USG, ataupun scintigraphy)(15).
Dari hasil berbagai laporan disimpulkan bahwa sekitar 30-60% penderita diabetes
mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung, dan bahwa prevalensi
keterlambatan pengosongan lambung diperkirakan sama pada penderita IDDM
maupun NIDDM (8,9,13,19).
Hasil penelitian Feldman dkk terhadap penderita IDDM menunjukkan adanya
keterlambatan waktu pengosongan lambung solid non digestible pada 62%
penderita, keterlambatan waktu pengosongan lambung liquid pada 25% penderita,

©2003 Digitized by USU digital library 1


dan tidak ada yang mengalami keterlambatan pengosongan lambung solid digistibel
(13). Penelitian terhadap 45 penderita IDDM oleh Horowitz dkk menunjukkanadanya
keterlambatan pengosongan solid (persentase retensi pada 100 menit), liquid
(T50)atau keduanya pada 58% penderita, presentase retensi makanan solit pada
100 menit lebih besar dari normal pada 36% penderrita dan T 50 liquid yang lebih
besar dari normal pada 29% pendeerita (8).
Pada IDDM, uji scintigraphy oleh Chang dkk terhadap 70 penderita
menunjukkan 27,5% mengalami keterlambatan pengosongan liquid dan 58,6%
mengalami keterlambatan pengosongan solid (18). Pada NIDDM yang baru
terdiagnosa, Festa dkk menemukan adanya keterlambatan pengosongan lambung
semisolid pada 36,6% dari 30 penderita (20).
Pada kasus IDDM degan neuropati, Keshavarzian dkk secara scintigraphy
menemukan keterlambatan pengosongan solid pada 27% kasus (17), sedang
laporan dari Rumah Sakit Sutomo Surabaya mengatakan bahwa pemeriksaan
dengan solid radiopaque marker terhadap penderita IDDM dengan neuropati
autonom menunjukkan 52% kasusmengalami gangguan pengosongan lambung (21).

SISTEM SYARAF SALUTRAN CERNA

Fungsi motorik lambung sangat tergantung kepada keadaan system saraf.


Sistem syaraf saluran cerna terdiri dari syaraf-syaraf intrinsic dan ekstrinsik. Syaraf
intrinsic membentuk system persyarafan yang disebut sebagai enteric nervous
system (system syaraf enteric) yaitu berupa kumpulan neuron-neuron pada saluran
cerna yang dapat berfungsi mandiri walaupun tanpa kendali dari system syaraf
pusat, sehingga disebut juga sebagai “brain of the gut” (4,22). Sistem syaraf enteric,
mengatur berbagai fungsi saluran cerna termasuk motilitas, sekresi eksokrin dan
endokrin yang juga mikrosirkulasi (22). Sistem syaraf enteric membentuk 2 flexus
utama. Flesus myenteric (Auerbach’s) terletak diantara lapisan otot longitudinal dan
sirkuler sepanjang saluran cerna, terutama memberikan inervasi motorik kepadaa
kedua lapisaan tersebut dan intervasi sekretomotor ke mukosa. Flexus submucosa
(Meissner’s) terletak di submukosa yaitu antara lapisan otot sirkuler dan muskularis
mukosa, flesus ini menginervasi epitel granduler, sel-sel endokrin usus dan
pembuluh darah submukosa (22). Sebagai amna pada system saraf pusat, maka
neuron system syaraf enteric juga menggunakan berbagai neurotransmitter sebagai
mediator, antara lain acetyl-choline, neuropeptida seperti cholecystokinin (CCK),
glanin, calcitonin gene related peptide (CGRP), gastrin releasing peptide(GRP),
enkephalins, somatostatin, substance P, vasoactive intestinal polypeptide (VIP);
purine, nitric oxide, dan kemungkinan juga asam-asam amino seperti gamma amino
butyric acid (GABA) (4,22).
Syaraf eksentrik berupa serabut-serabut sensorik (afferent) dari syaraf
parasimpatis, simpatis maupun somatic. Syaraf-syaraf ini menghubungkan system
syaraf eksentrik dengan sitem syaraf pusat yang berperan penting dalam
penyelarasan berbagai fungsi system syaraf enteric.(4,22)
Parasympatetic motor pathway yang mengatur fungsi motorik dan
sekretomotorik saluran cerna bagian atas sampai ke colon transversum sebelah
kanan adalah berasal dari nervus vagus. Cabang nervus vagus utama yang menuju
ke lambung adalah berasal dari nervus anterior dari laterjet yang mempersyarafi
permukaan anterior lambung duodenum, serta nervus posterior dari laterjet yang
mempersyarafi permukaan posterior dari lambung (4,23) Sedangkan parasympatetic
motor pathway yang mengatur fungsi colon distal dan rectum berasal dari nervus
sacralis (22). Serabut parasimpatik merupakan serabut preganglionic cholinergic
yang menyebabkan efek eksitasi pada neuron-neuron enteric melalui reseptor-
reseptor nikotinik dan muskarinik (4). Di esophagus, lambung, colon distal anorectal

©2003 Digitized by USU digital library 2


serabut parasimpatik tersebut banyak mengadakan koneksi dengan neuron-neuron
myenteric sehingga sehingga kendali system syaraf pusat pada tempat-tempat
terseburt lebih langsung (4).
Serabut simpatik efferent yang memasuki saluran cerna merupakan serabut
postganglionic adrenergig, sedangkan serabut preganglionicnya terletak si spinal
cord (T5 s/dL3). Syaraf simpatis efferent ini menyelenggarakan sebagian besar
aksinya secara indirek melalui neuron enteric, yaitu berupa inhibisi pada seluruh
saluran cerna kecuali pada skfinkter yang akan berkontraksi oleh aksi syaraf simpatis
(4,23).
Serabut-serabut sensorik yang membawa informasi sensorik ke system syaraf
pusat disebut sebagai primary efferent neurons. Primary vagal afferent neurons
berasal dari lapisan otot plos (sensitive terhadap distensi mekanis usus) dan dari
mukosa (sensitive terhadap glukosa, asam amino, asam lemak rantai panjang dan
juga rangsang kimia dan mekanis). Splanchnic primary afferent neurons berasal dari
dinding serosal usus, merupakan suatu nosiseptor, berperan dalam timbulnya rasa
nyeri saluran cerna, dan bereaksi terhadap rangsang mekanis, termis dan kemis
berintensitas tinggi (22,23).

FISIOLOGI PENGOSONGAN LAMBUNG


Aktifitas pengosongan lambung mencakup proses penampungan bahan
makanan solid maupun liquid, penghancuran bahan solid serta mencampurnya
dengan asam lambung sehingga partikel-partikel kecil yang optimal bagi
pencernaan, pengosongan bahan liquid dan bahan solid yang telah dihancurkan ke
duodenum pada periode digestive postprandial, dan pengosongan semua sisa
makanan termasuk bahan yang non digestible pada periode interdigestive (4,23,24).
Proses pengosongan lambung tersebut diatur oleh aksi yang berbarengan dengan
fundus,antrum,pylorus dan duodenum (4,24,25)
Lambung proksimal yaitu fundus dan sepertiga atas corpus merupakan bagian
lambung yang tidak memiliki aktivitas listrik miogenik spontan (25,27). Lambung
proksimal ikut berperan dalam proses pengosongan liquid karena adanya perbedaan
tekanan fundic-duaodenum akibat kontraksi tonik yang lambat (1-3menit) yang
terjadi di fundus (4,25,27). Kontraksi tonik ini distimulasi oleh excitatory fibers dari
nervus vagus dan neurohormon seperti motilin (4,27,29)
Fungsi lain dari lambung proksimal adalah sebagai penampung makanan.
Pada waktu proses menelan lambung proksimal mengalami fase relaksasi yang
disebut “receptive relaxation”, dimana terjadi peningkatan volume lambung tanpa
disertai peningkatan tekanan lambung sehingga memampukannya berfungsi sebagai
reservoir (4,24,27,30). Kemampuan relaksasi tersebut dipertahankan oleh inhibitor
fibers dari nervus vagus dan pengaruh inhibisi dari neurohormonal (4,27,31)
Penderita yang divagotomy dapat mengalami gastric statis ataupun rasa
penuh epigastric walaupun sedikit makan, diare bahkan dumping syndrome sebagai
akibat terganggunya fungsi lambung proksimal (27,31)
Berbeda dengan lambung proksimal maka otot-otot lambung distal mulai dari
corpus sampai ke cicncin pylorus memiliki aktivitas listrik spontan (autorythmicity)
(26), namun kontraksi lambung distal ini diatur oleh suatu pacemaker yang terletak
di curvatura mayor yang melepaskan gelombang depolarisasi spontan (basal
electrical rhythm) dengan kecepatan 3 siklus / menit (gambar 2). Kecepatan ini tidak
berubah baik pada waktu puasa, makan, beraktifitas ataupun tidur (24,26,27,30).
Depolarisasi spontan tersebut akan berubah menjadi sebuah kontraksi (yang
ekivalen dengan sebuah action potential) ataupun tidak, tergantung ada tidaknya
rangsang syaraf atau hormonal tertentu. Lambung akan sangat mudah berkontraksi
selama waktu makan karena adanya distensi akan menstimulasi afferent vagus yang
disertai prlrpasan peptida post prandial dan karena adanya stimulasi oleh bahan-

©2003 Digitized by USU digital library 3


bahan makanan yang kontak ke mukosa. Pada periode gigestive kontraksi tersebut
berperan penting dalam proses pengosongan lambung dimana kontraksi tersebut
akan mendorong isi lambung ke arah gastroduodenal junction (23,25,27,30)
Makanan solid sebelum dikosongkan akan mengalami proses pencampuran
dan penggilingan (mixing & grinding) oleh kontraksi otot-otot antrum yang tebal,
sehingga menjadi pertikel-pertikel kecil (<1 mm) agar dapat melewati pylorus
(24,27,32,33). Waktu yang diperlukan untuk proses tersebut disebut lag phase.
Pada periode intergestive yaitu ± 2 jam sesudah makan dan pada waktu
tidur, lambung melakukan aktivitas motorik secara siklik yang disebut dengan
“Interdigestive Migrating Motor Complex” (IMMC) dengan waktu ± 100 menit / siklus
(4,23,24,27). Fase I dari siklus ini merupakan fase diam kareena jarang terjadi
kontraksi, berlangsung ± 1 jam. Fase 2 berlangsung ± 30 menit, lebih aktif dimana
terjadi 1 atau 2 kontraksi setiap beberapa menit yang sifatnya intermitten dan
irregular. Puncak aktivitas dari IMMC adalah fase 3 dimana terjadi rentetan kontraksi
dengan kecepatan 3 kontraksi /, bersifat singkat, ritmik, kuat dan mendorong ke
arah duodenum, berlangsung selama 5 – 10 menit ( gambar 3)

Pada fase ini berlangsung pengosongan terhadap bahan-bahan solid digestible


(seperti serat, biji, sayur ataupun partikel makanan keras yang tidak dapat
dihancurkan oleh lambung) sebab pada saat yang bersamaan terjadi pembukaan dan
relaksasi dari pylorus. Fase 4 merupakan transisi dari fase 3 ke fase 4. Aktivitas
IMMC ini dipengaruhi oleh nervus vagus.

Pylorus dan duodenum berfungsi sebagai pengatur ataupun barier mekanis


terhadap aliran keluar dari lambung (34-37), pylorus berbentuk terowongan
berdinding tebal yang dapat secara aktif mengubah ukuran lumennya dibawah
pengaruh neurohumoral akibat stimulasi reseptor-reseptor di duodenum maupun
usus halus lainnya (4,27,34,37). Sefera setelah makan, kontraksi lambung akan
mendorong makanan ke arah pylorus, namun pylorus akan terbuka sebahagian saja
sehingga hanya bagian liquid atau partikel kecil saja yang dapat lewat, sedangkan
partikel yang lebih besar akan tertahan diantrum untuk menjalani proses mixing dan
grinding oleh konstruksi antrum (4,25,27,34,36). Pada fase 3 IMMC pylorus terbuka
lebar sehingga bahan solid non digestible dengan pertikel besar dapat melewati
pylorus oleh dorongan kontraksi antrum yang terkoordinasi dengan motilitas
duodenum (27).
Di duodenum terdapat reseptor-reseptor sensorik yang kan terstimulasi oleh
bahan-bahannutrien yang melewati lumen duodenum (25,27,35,37,38). Bahan
nutrien dengan kalori tinggi, kandungan lemak tinggi, osmolitas tinggi ataupun PpH
yang lebih tinggi asam akanmemberikan stimulasi yang lebih kuat terhadap reseptor
tersebut yang kan menyebabkan relaksasi fundus, terlambatnya peristaltic antrum,
mengecilnya lumen antrum,pylorus dan duodenum, terangsangnya kontraksi local di
pylorus, berkurangnya aktivitas peristaltikmdi duodenum, serta berkurangnya
koordinasi kontraksi antara antrum dan duodenum, sehinngga keseluruhan efek ini
akan berfungsi sebagai rem terhadap proses pengosongan lambung.
Karbohidrat selain dapat memperlambat pengosongan lambung melalui efek
stimulasi langsung reseptor-reseptor di usus halus, juga efek peningkatan gula darah
yang diakibatkannya (39-41).

PATOFISIOLOGI GASTROPARESIS DIABETIKA

Meskipun belum sepenuhnya dimengerti, yang dianggap sebagaifaktor


patogenetikterpenting dalam terjadinya gastroparesis diabetika dalah terjadinya
neuropati diabetika yang mengakibatkan rusaknya syaraf-syaraf ekstrinsik lambung

©2003 Digitized by USU digital library 4


(1,5,11). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa adanya gastroparesis pada
penderita-penderita diabetes mellitus sangat berkorelasi dengan keberadaan
autonom dari nervus vagus (8,16,17,42,43). Namun demikian, penelitian morfologis
terhadap nervus vagus masih menunjukkan hasil yang bertentangan. Pada sebagian
penderita diabetes dengan atau tanpa gastroparesis dapat ditunjukkan adanya
penurunan densitas serabut myelinated vagus dan degenerasi serabut unmyelinated
(44). Sedangkan penelitian lain tidak menemukan adanya kelainan morfologis dari
nervus vagus abdominalis pada penderita gastroparesis diabetika, baik jumlah
maupun penampilan dari neuron dan axonnya (45)
Keadaan hiperglikemia merupakan factor penting lainnya yang menyebabkan
terjadinya gastroparesis (1,5,10). Ternyata bahwa peningkatan kadar gula darah
meskipun masih dalam rentang normal dapat menyebabkan keterlambatan
pengosongan lambung pada orang normal maupun penderita diabetes (41).
Burgstaller dkk mengatakan bahwa pengosongan lambung melambat secara
bermagna pada keadaan hiperglikemia dibandingkan dengan keadaan euglikemia
pada penderita diabetes (pengosongan lambung ± 1180 menit pada kadar gula darah
5,5 mmol / 1, dan ± 240 menit pada kadar gula darah 14 mmol / 1) (14).
Diduga mekanisme hiperglikemia memperlambat pengosongan lambung
adalah secara tak langsung yang melibatkan perubahan pada aktivitas vagus,
aktivitas listrik lambung, sekresi hormon-hormon gastrointestinal dan mekanisme
miogenik (7). Fischer dkk menunjukkan bahwa hipergilemia post prandial pada
penderita diabetes menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik
lambung, pengurangan aktivitas motorik antrum dan keterlambatan pengosongan
lambung (47). Studi oleh Barnett dan Ow yang menunjukkan bahwa motilitas
antrum puasa akan menurun pada kadar gula darah 7,8 mmol/1 sedangkan motilitas
antrum postprandial akan menurun pada kadar gula darah 9,7 mmol/1 (48).
Adanya korelasi antara kadar gula darah yang tinggi dengan keterlambatan
pengosongan lambung dijumpai pada IDDM maupun NIDDM (8,9,43). Tidak jelasnya
kolerasi antara kadar HbA1c dengan keterlambatan pengosongan lambung
menunjukkan bahwa keterlambatan pengosongan lambung lebih merupakan efek
akut hiperglikemia ketimbang efek kronisnya (8,9,16,17,40).
Peranan hormon-hormon gastrointestinal dalam mengatur motilitas lambung
telah diketahui, namun kebermaknaan perubahan hormon tersebut terhadap
motilitas yang abnormal masih belum jelas (7). Tingginya kadar motilin plasma pada
penderita gastroperasis diabetika menunjukkan bahwa kelainan motilitas yang
terjadi kelihatannya tidak berkaitan dengan defisiensi motilin (42). Pemberian infus
cholecystokinin octapeptida(CCK8) pada penderita baru NIDDM jelas mengakibatkan
keterlambatan pengosongan lambung (49) akan tetapi belum pernah diteliti
begaimana kadar CCK pada penderita gastroparesis diabetika (5)

KELAINAN MOTILITAS PADA GASTROPARESIS DIABETIKA

Semua unsure makanan baik liquid, solid digestible maupun solid non
digestible dapat mengalami keterlambatan pengosongan dari lambung secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama pada gastroparesis diabetika
(8,9,13,14,17,18,50).
Adapun adanya percepatan pengosongan lambung liquid pada sebagian
penderita diabetes telah dilaporkan oleh beberapa studi (17,20,51,52), yang dapat
merupakan manisfestasi dini dari gastroparesis. Diduga hal ini diakibatkan oleh
berkurangnya receptive relaxion dari lambung (52).
Terjadinya keterlambatan pengosongan lambung liquid maupun solid pada
penderita diabetes (gambar 4) berkaitan dengan terjadinya penurunan aktivitas
motorik lambung proksimal, penurunan kativitas motorik lambung distal berupa

©2003 Digitized by USU digital library 5


hipomotilitas antrum post prandial, terjadinya peningkatan aktifitas motorik py;oruss
(4,24), serta terganggunya koordinasi dari motilitas antropyloroduodenal (53,54).

Hilangnya atau berkurangnya aktivitas fase 3 IMMC pada penderita diabetes,


yang mengakibatkan terjadinya keterlabatan pengosongan lambung solid non
digestible adalah temuan paling dini dan indikator paling sensitive dari gastroparesis
diabetika (55,56). Feldman dkk memeriksa adanya keterlambatan pengosongan
lambung non digestible ini dengan cara menyuruh penderita menelan 10 potongan
nasogastric tube radiopaque dan kemudian dipantau dengan foto polos abdomen.
Ternyata 62% dari para penderita diabetes tidak dapat mengosongkan keseluruhan
potongan-potongan tersebut dari lambung dalam waktu 6 jam (113)

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis gastroparesis diabetika sangat beragam (6,8,9,15,17,42,50),


bahkan sering pula tanpa gejala gangguan saluran cerna atas yang minimal ataupun
tanpa gejala sama sekali (28). Sehingga tidaklah berlebihan kalau Kassender pada
tahun 1958 mengatakan bahwa gastroparesis diabeticorum lebih sering terabaikan
disbanding yang terdiagnosa (6)
Berbagai penelitian telah menunjukkan lemahnya atau tidak adanya korelasi
antara tingkat keparahan symptom saluran cerna dengan keterlambatan waktu
pengosongan lambungpada penderita diabetes (8,9,15,16,43,50). Dengan perkataan
lain bisa saja dijumpai penderita diabetes dengan keluhan saluran cerna atas yang
berat namun waktu pengosongan lambung relatif normal, demikian pula sebaliknya
dapat terjadi.
Adanya neuropati sensori afferent disamping neuropati motorik afferent, turt
terganggunya motilitas esophagus dan intestinal, dan adanya gangguan psikiatrik
pada penderita diabetes, diduga merupakan factor penyebab ketidak sesuaian antara
kelainan motorik lambung dan gejala-gejala saluran cerna (1,8,43)
Gejala-gejala yang bisa ditemukan pada penderita gastroparesis diabetika
antara lain mual, muntah, anoreksia, nyeri abdomen, rasa cepat kenyang, rasa tidak
enak diperut bagian atas, rasa terbakar di dada (heart burn), regurgitasi asam,
sendawa, halitosis dan penurunan berat badan (5,8,9).Karena gastroparesis
diabetika sering disertai gangguan pada saluran cerna lainnya maka gejala-gejala
disgfagi (disfungsi esophagus), diare dan atau konstipasi (disfungsi usus halus dan
colon) sering pula ditemui (8,11).
Pengamatan oleh Merio dkk terhadap 22 penderita IDDM dengan
keterlambatan pengosonganlambung menemukan adanya keluhan rasa gembung
post prandial di perut bagian atas pada57% kasus, rasa cepat kenyang 41% kasus,
rasa mual post prandial 27% kasus, muntah post prandial 9% kasus, heart burn 9%
kasus, diare 10% kasus dan konstipasi 18% kasus (16). Lamanya gejala dialami
penderita sangat bervariasi, bisa berminggu-minggu, bisa pula berlangsung singkat
diselingi waktu bebas gejala (5).
Mual dan muntah merupakan keluhan yang paling sering mengganggu pada
gastroparesis diabetika, dan seringkali merupakan petunjuk adanya gastroparesis,
terutama bila volume yang seperti ini diakibatkan oleh stasis dan distensi lambung,
dan akan mereda oleh dekompresi akibat muntah itu sendiri ataupun pemasangan
NGT. Muntah bisa pula bersifat refleks terjadi segera setelah makan, bisa pula terjadi
pada keadaan puasa terutama pada pagi hari dengan bahan muntahan yang
bercampur cairan empedu yang menandakan adanya refluxduodeno-gastrik (11).
Mual dan muntah yang terjadi bisa hilang sendiri, serangan-serangan ataupun terus
menerus.

©2003 Digitized by USU digital library 6


Nyeri abdomen pada gastroperasis diabetika bisa samar-samar berupa rasa
tidak enak di perut, ataupun angat jelas yang terasa di abdomen bagian tengah dan
atas (4). Rasa nyeri ini tidak berkaitan langsung dengan distensi lambung, namun
disangkakan sebagai akibat keterlibatan syaraf simpatis visceral dan juga neuropati
somatic nervus thoracalis abdomen (11).
Gastroparesis, meskipun tanpa gejaladapat menyebabkan gangguan terhadap
kontrol gula darah dan absorbsi obat-obatan (5,11). Pada penderita gastroparesis
diabetika , akibat ketidak sesuaian antara onset insulin ataupun obat hipoglikemik
oral dengan absorbsi bahan nutrisi di usus halus, dpat terjadi kendali gula darah
yang tidak stabil (4,7,8,43)

DIAGNOSA

Adanya gastroparesis diabetika patut dicurigai pada penderita diabetes yang


mengalami gejala-gejala saluran cerna atas seperti misalnya mual, muntah dan
cepat kenyang (1), juga pada penderita diabetes yang tanpa gejala namun didapati
keadaan seperti sulitnya mencapai kendali gula darah yang baik (11). Harus diingat
bahwa tidak ada gejala yang khas untuk gastroparesis sehingga perlu dilakukan
ekslusi dari kelainan-kelainan lain seperti ulkus peptic, esophagitis maupun lesi-lesi
lainnya dengan menggunkan test-test diagnostikrutin seperti endoskopi maupun
radiology (7). Dengan studi barium ataupun endoskopi bisa dijumpai bukti tak
langsung dari gastroparesis yaitu adanya retensi dan ataupun dilatasi lambung,
namun hal ini belum membuktikan adanya gastroparesis, dan disamping itu temuan
yang normal tidak pula menyingkirkan adanya kelainan motorik lambung (11).
Karena kurang baiknya nilai prediktif dari gejala-gejala, amka diperlukan pengukuran
objektif dari keterlambatan pengosonganlambung dengan test-test tertentu (7,24)
Dalam mendiagnosa gastroparesis diabetika perlu disingkirkan keadaan-
keadaan lain yang dapat meyebabkan gastroparesis,obat-obatan yang
mempengaruhi motilitas lambung harus dihentikan 12 – 24 jam sebelum test antara
lain narkotik, benzodiazepin, β adrenergic agonist, calcium channel blocker,
levodopa, obat-obat dengan aktifitas anti cholinergic, rokok, obat-obat prokinetik,
antasid β blocker dan lain-lain (24,58)
Sebaiknya test dilakukan dalam keadaan euglikemia dan juga diperiksa
adanya tanda-tanda neuropati autonom dengan test reflex cardiovascular yang
tersandarisasi (7,58-60).
Sejumlah metode saat ini tersedia untuk pemeriksaan motilitas lambung,
yang dapat dikelompokkan dalam 3 kategotri : pengukuran pengosongan lambung (
semtigraphy, radiology, uji nafas radioisotop dan USG), pengukuran tekanan intra
luminal (manometry) dan perekaman aktivitas elektrik lambung
(electrogastrographty) (7,24).

©2003 Digitized by USU digital library 7


Scintigraphy saat ini merupakan suatu cara pengukuran waktu pengosongan
lambung yang paling akurat, dan dapat digunakan di klinis karena non invasive dan
hanya menyebabkan paparan radiasi yang relatif rendah (7,10,43). Cara ini dapat
mengukur pengosongan lambung liquid, solid ataupun keduanya dengan cara
memasukkan bahan radioisotop (biasanya indium ataupun technetium) kedalam
makanan, dengan suatu kamera gamma direkam distribusi radioisotop di lambung
selama periode waktu sekurang-kurangnya 2 jam atau hingga 50% (T50) dari isi
lambung telah dikosongkan (5,7,58). Karena keterkaitan antara pengosongan
makanan solid dengan liquid pada penderita diabetes relatif lemah, dimana
pengosongan bahan yang satu tidak dapat meramalkan pengosongan yang lainnya,
sebaiknya test dilakukan terhadap kedua jenis makanan tersebut dengan label isotop
sendiri-sendiri (gambar 6) (7,11,24). Pemeriksaan yang demikian merupakan “gold
standard” pemeriksaan pengosongan lambung (1). Dengan menilai retensi bahan
solid pada 100 menit dan T50 bahan liquid suatu studi scintigraphy terhadap 86
pendeerita diabetes diperoleh hasil berikut ini : 16 (19%) penderita mengalami
keterlambatan pengosongan solid maupun liquid, 7 (8%) penderita normal solid
tetapi pengosongan liquid terlambat, dan 30 (35%) normal liquid tetapi solid
terlambat (43).
Pemeriksaan radiologis dengan fluoroskopi dan CT scan selain tidak sensitive
juga menyebabkan paparan radiasi yang tinggi (7,24). Namun metode yang
dilakukan Feldman dkk dengan menggunakan solid radiopaque marker ternyata
merupakan cara yang sensitive dalam mendeteksi keterlambatan
pengosonganlambung pada gastroparesis diabetika (13). Setelah menelan 10 buah
marker radiopaque bersama dengan makanan standard, maka masih dijumpai
marker dalam lambung setelah 6 jam yang dilihat dengan foto polos abdomen
menunjukkan adanye keterlambatan pengosongan lambung solid non digestible yang
berkaitan dengan hilangnya fase 3 dari IMMC antrum. Metode ini sederhana, aman,
ditoleransi baik, relatif murah dan reproducible, dan mungkin lebih sensitive
disbanding scintigraphy, sehingga dapat digunakan sebagai uji penyaring untuk
penentuan gangguan pengosongan lambung (13,61,62)
Uji nafas radioisoto[ (radioisotop breath testing,(13C) octanoic acid breath
test) merupakan teknik yang baru dikembangkan. Dengan mengukur kadar 13CO2
dalam nafassetelah menelan 13C-octanoic acid yang dimasukkan ke dalam makanan
dapat diperoleh waktu pengosongan lambung yang hasilnya berkolerasi baik dengan
scintigraphy (11,24,63).
Ultrasonography merupakan suatu pemeriksaan non invasive yang dapat
dipakai untuk mengevaluasi kecepatan pengosongan lambung liquid namun tidak
cocok untuk menilai pengosongan solid (64,65). Dengan system tiga demensi dapat
diperoleh hasil yang lebih tepat dan juga dapat dinilai distribusi makanan dalam
lambung (66).

©2003 Digitized by USU digital library 8


Dengan manometri dapat dinilai aktivitas tekanan pada berbagai tempat di
lambung dan usus halus, melalui suatu transducer yang dihubbungkan dengan
kateter manometrymultilumen yang dimasukkan dalam saluran cerna (37,67).
Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat pengaturan temporal maupun spasial dari
tekanan di antrum, pylorus maupun duodenum. Pemeriksaan ini mampu
memberikan gambaran yang luas dari fisiologi lambung normal dan disfungsi yang
berkaitan dengan pengosongan lambung, namun pemeriksaan ini sangat spesialistik,
memiliki tingkat kesulitan teknis yang tinggi dan kesediaannya juga sangat terbatas
(7,11,24,37)
Electrogastrography (EGG) merupakan suatu prosedur perekaman aktivitas
elektrik lambung yang dilakukan dengan cara menempatkan beberapa electrode
pada daerah epigastrium yang dilakukan dengan cara menempatkan beberapa
electrode pada daerah epigastrium dengan sebuah limb lead sebagai referensi
(4,48). Dengan EGG dapat diukur aktivitas elektris berbagaibagianlambung.
Normalnya aktivitas elektrik lambung distal memiliki depolarisasi siklis (slow wave)
dengan kecepatan 3 siklus / menit. Abnormalitas dari depolarisasi siklis ini
(dysrhytmia) dapat berupa techigastria (peningkatan frekwensi slow wave)
bradygastria ( penurunan frekwensi slow wave) ataupun gastric arrhythmia ( tidak
teraturnya frekwensi slow wave) (4) Dengan pemeriksaan EGG terlihat bahwa
dysrhythmia lambung relatif sering terjadi pada penderita diabetes, namun korelasi
antara EGG dengan pengosongan lambung maupun simptom-simptom statis
lambung tidak jelas (1,5)

DIAGNOSA DIFERENSIAL

Pada kebanyakan kasus, diagnosa gastroparesis dibuat berdasarkan adanya


mual dan muntah yang berlarut-larut pada penderita diabetes yang lanjut, namun
perlu diingat bahwa mual dan muntah sering dialami penderita diabetes dan bukan
seluruhnya disebabkan oleh gastroparesis. Mual dan muntah lazim terjadi pada
ketoasidosis akut yang umumnya akan mereda setelah koreksi kelainan metabolic
tersebut (4).
Sebelum menyimpulkan adanya suatu gangguan motilitas harus disingkirkan
kemungkinan obstruksi mekanis, peradangan maupun ulkus dengan endoskopi
ataupun foto serial saluran cerna atas (5). Meskipun agak jarang, obstruksi saluran
cerna bagian tengah dan bawah dapat menyerupai gastroparesis, bila tanda klinis
mengarah ke kemungkinan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan seperti foto polos
abdomen, barium follow through ataupun CT scan (11). Harus pula diingat
kemungkinan adanya perforasi, appendicitis, pankreatitis,penyakit susunan syaraf
pusat, sindroma paraneoplastik, efek samping obat, kehamilan dan psikogenik (11).
Banyak keadaan-keadaan lain yang dapat menyebabkan gastroparesis (table
1) (24), keadaan tersebut bisa menyebabkan gastroparesis yang tak berkaitan
dengan diabetiknya pada penderita diabetes, sehingga sebelum memulai terapi
keadaan-keadaan tersebut, terutama yang reversible haruslah diatasi (24)

©2003 Digitized by USU digital library 9


Tabel 1. Etiologi dari gastroparesis

Keterlambatan pengosongan lambung sementara


Postoperative ileus
Acute viral gastroenteritis
Hyperglycemia
Hyperkalemia
Hypothyroidism
Obat-obatan morphine,anticholinergics,levodopa,β-adrenergic agonisis,
nicotine
Stress : Labyrinthine stimulation, cold pain
Statis Lambung Kronik
Idiopathic (non ulcer atau functional dyspepsia)
Diabetes mellitus
Postsurgical : post vagotomygastroesophageal reflux disease
Tumor-associated (carcinoma lung, pancreas)
Anorexia nervosa
Progressive systemic selerosis
Chronic idiopathic intestinal pseudo-obstruction
Amyloidosis
Myotania Dystrophica
Dermatomyositis
Automatic degeneration
Brain stem tumor
Spinal cord injury
Post-irradiation
Porphyria

KOMPLIKASI

Komplikasi gastroparesis diabetika sangat serius sehingga sedapat mungkin


harus dicegah. Akibat muntah-muntah ataupun regurgitasi yang berulang-ulang
sering terjadi esofagitis yang berat dan luas yang menyebabkan perdarahan saluran
cerna atas yang akut maupun kronis, dapat pula terjadi robekan esophagus Mallory
weiss, pneumonia aspirasi, malnutrisi maupun gangguan keseimbangan air dan
elektrolit (11).
Akibat terganggunya pengosongan lambung solid non digestible dapat terjadi
pembentukan bezoar di lambung (68).
Gastroparesis juga dapat menyebabkan terganggunya absorbsi obat oral
sehingga menyebabkan fluktuasi kadar obat dalam darah, hal ini menjadi masalah
yang penting bagi penderita diabetes dewngan obat hipoglikemik oral (24).

PENATALAKSANAAN

Adapun tujuan penatalaksanaan gastroparesis diabetika adalah memperbaiki


kwalitas hidup, mencegah komplikasi dan membantu terselenggaranya kendali
diabetes yang lebih baik (11). Sampai saat ini tindakan pengobatan lebih ditujukan
kepada kasus-kasus yang simptomatik, pada yang asimptomatik apalagi dengan
kendali diabetes yang baik belum diperlukan pengobatan, namun dalam rangka
membantu mencapai kendali gula darah yang lebih baik dan memperbaiki nutrisi,
pengobatan terhadap kasus asimptomatik dapat diberikan (1,7,69)

©2003 Digitized by USU digital library 10


Terhadap penderita gastroparesis yang simptomatik sebaiknya dilakukan
penyesuaian diit, yang dianjurkan adalah porsi kecil namun sering, dengan kadar
lemak dan serat yang rendah dan tetap menjaga asupan kalori yang cukup (4). Bila
cara tersebut tidak menolong dapat diberikan makanan cair ataupun yang
dihomogenesisasi, dan pada kasus yang sangat berat mungkin diperlukan suatu
feeding tube ke jejunum untuk nutrisi enternal (1)
Penggunaan obat-obat prokinetik untuk meningkatkan kecepatan
pengosongan lambung merupakan pendekatan paling efektif dalam pengobatan
penderita gastroparesis yang simptomatik (7). Sebelum terapi prokinetik dimulai
seharusnya waktu pengosongan lambung diukur, namun karena tidak praktis dapat
diberikan terapi pengobatan selama 4 minggu, bila symptom tidak berkurang
ataupun muncul kembali setelah terapi dihentikan maka waktu pengosongan
lambung harus diukur (24)
Ada berbagai bahan fannakologik yang memiliki efek prokinetik lambung,
namun obat-obat prokinetik yang secara luas digunakan, dalam mengobati
gastroparesis diabetika adalah metoclopramide, domperidone, cisapride dan
erythromycin (4,10,24,70).
Karena sifat kelainan motorik yang beraneka ragam pada gastroparesis diabetika
maka tidak mungkin untuk memperoleh perbaikan terhadap seluruh kelainan motorik
/ sensorik dengan satu obat (7). Waktu pemberian obat prokinetik haruslah
sedemikian rupa sehingga kadar plasma obat (&). Waktu pemberian obat prokinetik
haruslah sedemikian rupa sehingga kadar plasma puncak dan aktivitas terapeutik
bertepatan dengan waktu makan yaitu setidaknya 30 menit peprandial, selain itu
juga perlu diberikan dosis malam hari untuk mengurangi pembentukan bezzoar (69).
Metoclopramide adalah suatu derivat procainamide merupakan antagonis
reseptor dopamine D2 dan reseptor 5HT3, pelepas acetylcholine dan inhibitor
cholinesterase, memiliki khasiat prokinetik lambung dan anti emetik dan dapat
melewati sawar darah otak (4). Aktivitas prokinetiknya diperkirakan berasal dari
antagonisme reseptor dopamine lambung peningkatan pelepasan acetylcholine dari
plexus myentericus. Adapun aksi prokinetiknya antara lain meningkatkan tekanan
sfingter esophagus bawah, menghambat relaksasi fundus, meningkatkan
kontraktilitas antrum dan merelaksasi sfingter pylorus (69). Aksi metoclopramide
pada aktivitas IMMC masih belum jelas (4). Aktivitas antiemetiknya adalah
berdasarkan antagonisme reseptor dopamine sentral pada chemoreceptor trigger
zone dan vomiting center (5,69). Metoclopramide dapat menurangi symptom statis
lambung dan memperbaiki pengosongan lambung solid maupun liquid, namun antara
perbaikan symptom dengan pengosongan lambung tidak berkorelasi (5). Pada
pemakaian yang berkepanjangan efek prokinetiknya akan menghilang meskipun
perbaikan simptomatiknya terus berlangsung (5,69). Metoclopramide dianggap
merupakan obat yang paling efektif dalam hal memperbaiki symptom (70).
Metoclopramide diberikan per oral dengan dosis 5 – 20 mg sebelum makan
dan pada waktu tidur. Dapat pula diberikan melalui intravena, intramuskuler,
subkutan, intrarektal maupun intraperitoneal (5)
Efek samping metoclopramide setidak-tidaknya mengenai 20% penderita,
sifatnya tergantung dosis, dan yang tersering adalah gangguan neurologik dan
endokrinologik (69). Gangguan neurologik berupa mengantuk, gelisah, cemas,
depresi, symptom dystonic (yaitu tardive dyskinesia, oculogyric crisis, opisthotonus,
trismus dan torticollis), dan symptom parkinsonisme (yaitu tremor, rigidity dan
akinesia). Gangguan endokrinologik antara lain hiperprolaktinemia yang
menyebabkan gynecomastia, mastalgia, galactorrhea dan amenorrhea, selain itu
dapat terjadi peningkatan kadar aldosterone dan thyrotropin dan penurunan kadar
luteinizing hormone, follicle stimulating hormone dan growth hormone (4,69).

©2003 Digitized by USU digital library 11


Domperidone merupakan derivat benzimidalzole, suatu antagonis reseptor
dopamine yang tidak melewati sawar darah otak (71). Aksi prokinetik lambungnya
adalah melalui penghambatan reseptor dopamine pada lambung dan duodenum
(69), sedangkan efek antiemetiknya hanya terjadi pada chemoreceptor trigger zone
(72). Domperidone efektif dalam mengendalikan symptom dan memperbaiki
pengosongan lambung pada gastoparesis diabetika (73,74). Pemberian secara akut
pada pendderita diabetes akan meningkatkan kecepatan pengosongan solid maupun
liquid, sesudah pengobatan 4 minggu peningkatan pengosongan liquid tetap terjadi
namun pengosongan solid tidak, sedangkan symptom klinis membaik pada
pengobatan akut maupun kronis (4)
Domperidone dapat diberikan melalui oral, intravena, intramuskuler ataupun
intrarektal. Dosis awal oral adalah 10 mg sebelum makan dan malam sebelum tidur,
dapat ditingkatkan menjadi 4 kali 20 mg perhari, dan pada gastroparesis yang berat
dapat ditingkatkan menjadi 4 x 30 mg perhari (5,69,74)
Insidens efek samping domperidone bervariasi dari 2-7%, umumnya adalah
mulut kering, sakit kepala, ruam kulit, gatal diare, kegelisahan dan gangguan
endokrin yang berkaitan dengan hiperproklaktinemia (4,69)
Cisapride merupakan suatu derivat benzamide yang tidak memiliki sifat
antidopaminergik, akan tetapi meningkatkan pelepasan acetylcholine pada plexus
myentericus intestinalis dan juga bersifat antagonis terhadap reseptor 4 HT3 dan
antagonis 5HT4 (4,69,75).
Cisapride tidak mempunyai efek antiemetik langsung, namun dapat meningkatkan
amplitudo kontraksi di seluruh bagian saluran cerna sehingga menguntungkan bagi
penderita (4,24). Obat ini meningkatkan kontraksi antrum dan duodenum dan juga
meningkatkan koordinasi antroduodenal (64,75). Pada penderita gastroparesis
diabetika cisapride dapat memperbaiki pengosongan lambung liquid, solid maupun
non digestible solid (42,50,57), dan efek perbaikan ini terjadi pada pemberian akut
maupun kronis (50,76-78). Dibanding dengan metoclopramide, cisapride lebih poten
dan dianggap sebagai obat pilihan utama untuk gastroparesis pada saat ini (7).
Cisapride diberikan melalui oral dengan dosis 5-20mg, sebelum makan dan
atau pada waktu tidur (5).
Efek samping cisaapride jauh lebih sedikit disbanding metoclopramide,
umumnya adalah kram perut, diare dan sakit kepala, biasanya bersifat sementara
dan dapat diatasi dengan pengurangan dosis (11,24).
Erythomycin merupakan antibiotik macrolide yang memiliki efek menyerupai
motilin terhadap motilitas saluran cerna, bekerja sebagai agonis motilin dengan cara
berkaitan dengan reseptor motilin pada antrum dan duodenum bagaian atas, dan
aktivitas ini tidak berkaitan dengan efek antimikrobialnya (20). Studi inviro
menunjukkan bahwa selain merangsang kontraksi antrum dan duodenum,
erythromycin juga menginhibisi otot pylorus (7(). Pada manusia erythromycin dapat
meningkatkan kontraksi antrum, memperbaiki kontraksi antroduodenal, mengurangi
waktu aktivitas IMMC fase 2 dan merangsang serta memperpanjang aktivitas IMMC
fase 3 (5 kutip). Kao dkk menyimpulkan bahwaerythromycin efektif terhadap
gastroparesis diabetika karena memperbaiki transit esophagus dan
pengosonganlambung (80). Studi meta analisis mengenai penggunaan obat-obat
prokinetik pada penderita gastroparesis menunjukkan bahwa erythromycin lebih
unggul disbanding cisapride, metoclopramide maupun domperidone dalam hal
mempercepat pengosongan lambung (70).
Pemberian erythromycin 200 mg intravena kepada penderita gastroparesis
diabetika akan memperbaiki pengosongan lambung solid maupun liquid secara
dramatis menjadi seperti yang terlihat pada orang norml, bila diberi secara oral 3
kali 250 mg selama 4 minggu, pewrbaikan juga terjadi namun hasilnya kurang
disbanding intravena(81), Erythromycin tersedia untuk penggunaan oral dalam

©2003 Digitized by USU digital library 12


bentuk stearat dan etyl succinate. Dosis erythromycin stearst adalah 3 kali 250 mg
diberikan 30 – 60 menit sebelum makan. Untuk penggunaan intravena dalam bentuk
lactobionate diberikan sebagai infus selama 30 menitdengan dosis 200mg,
diencerkan dalam larutan garam fisiologis (4).
Pada orang normal erythromycin dapat menimbulkan efek samping mual,
muntah, kejang abdomen dan diare (4,5), sedangkan pemberian yang berlama-lama
sebagai prokinetik akan meningkatkan resiko timbulnya strain bakteri resisten (1).
Saat ini dikembangkan derivat erythromycin, ER 523, suatu agonis reseptor
motilin yang 18 kali lebih kuat dari erythromycin namun tidak memiliki aksi
antibiotik, dan terbukti efektif memperpendek waktu pengosongan lambung liquid
maupun solid pada penderita IDDM dengan gastroparesis yang berat (82).
Tindakan operatif seperti loop gastroenterostomy, vagotomy dan pyloroplasty
terhadap gastroparesis diabetika umumnya mengecewakan sehingga hampir tidak
digunakan, kalaupun digunakan hanya pada kasus yang sangat berat yang tidak
respons terhadap terapi medis lainnya (1,5,11).
Pemakaian gastric pacing yaitu stimulasi listrik terhadap otot polos lambung
sedang dlam penelitiaan. Kelihatannya gastric pacing dapat memperbaiki symptom
gastroparesis dan ,e,percepat pengosonganlambung pada penderita gastroparesis
yang berat, sehingga pada masa mendatang mungkin dapat merupakan pilihan
terapi pada gastroparesis (83,84).

KESIMPULAN

Gangguan motilitas lambung, khususnya keterlambatan pengosongan


lambung merupakan kelinan yang seering dijumpai pada penderita diabetes mellitus.
Pada penderita diabetes, adanya neuropati otonom dan tingginya kadar gula
darah merupakan factor penting dalam terjadinya gastroparesis.
Banyak metode yang telah dikembangkan untuk menilai motilitas lambung,
namun metode radiologis dengan radiopaque marker sangat mungkin untuk
digunakan di Indonesia karena non invasive, mudah dilakukan relatif kecil biayanya.
Karena keterlambatan pengosongan lambung dapat berpengaruh terhadap
kendali gula darah maka pengelolaan yang baik terhadap gastroparesis diabetika
khususnya yang simptomatik perlu mendapat parhatian, dalam hal ini penggunaan
obat-obat prokinetik sangat bermanfaat.

KEPUSTAKAAN

1. Meari, F.:. Malagelada JR. Gastroparesis and dyspepsia in patients with diabetes
mellitus. Eur J Gastroenterol HE:patol 1995,1/17-23.

2. Von der One MR. Diarrhoea in patients with diabetes mellitus. Eur J Gastroenterol
Hepatol1995; 7: 730-6.

3. May RJ. Gpyal RK. Effects of diabetes mellitus on the digestive system. In: Kahn
CR, Weif GC, eds. Joslin's Diabetes I. Mellitus. 13111 ed. Pensylvilnia: Lea &
Febiger, 1994: 921-54.

©2003 Digitized by USU digital library 13

Anda mungkin juga menyukai