Pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkatkan mutu sumber daya
manusia. Di Indonesia, pendidikan merupakan masalah utama yang harus
dibenahi karena masih banyaknya sumber daya manusia yang tidak tersentuh
pendidikan, khususnya di daerah terpencil. Masih banyak pula masyarakat yang
buta huruf, putus sekolah, dan rata-rata tenaga kerja Indonesia lulusan SD.
Perbaikan sistem pendidikan meliputi meratanya pendidikan di setiap daerah,
infrastruktur pendidikan, kualitas kurikulum dan tenaga pendidik, serta
distribusi jumlah tenaga pendidik yang merata. Dengan mutu pendidikan yang
lebih baik, Indonesia akan membangun sumber daya manusia yang berkualitas
dan berdaya saing tinggi.
Pelatihan Keterampilan
Menguasai Teknologi
Di zaman serba digital ini, istilah gaptek (gagap teknologi) tak berlaku lagi
untuk tenaga kerja. SDM Indonesia harus cakap dalam menguasai teknologi
guna menunjang produktivitas kerjanya. Teknologi (khususnya internet) sangat
membantu dalam perluasan pangsa pasar hingga ke seluruh dunia. Selain itu
penggunaan teknologi akan membuat pekerjaan lebih efektif dan efisien serta
tepat waktu. Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah melakukan pelatihan
berkala terhadap SDM di Indonesia mengenai teknologi guna mewujudkan SDM
yang berkualitas.
Sertifikasi Kompetensi
Para tenaga kerja dari negara ASEAN yang memiliki kompetensi kerja yang lebih
tinggi, tentunya akan memiliki kesempatan lebih luas untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi di dalam MEA. Dengan demikian, SDM Indonesia harus
meningkatkan kualitas dan mengejar ketertinggalan dari negara lain di ASEAN
yaitu dengan cara sertifikasi kompetensi. Sertifikasi kompetensi diperlukan
untuk menyetarakan kemampuan pekerja nasional di pasar regional.
Masyarakat bisa mengikuti uji kompetensi di Lembaga Sertifikasi Kompetensi
(LSK) yang disediakan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud).
Jiwa Wirausaha
44
Melalui perbaikan kualitas hidup itu, otomatis warga perbatasan akan merasa nyaman di
negeri sendiri sehingga keutuhan wilayah terjaga.
SALAH satu agenda besar yang tidak boleh diabaikan Presiden Jokowi dalam lima tahun mendatang ialah
pembangunan kawasan perbatasan. Program terkait perbatasan dari pemerintahan baru seperti
tercermin dalam visi misi Jokowi-JK ternyata lebih menitikberatkan pada kedaulatan wilayah negara jika
dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat. Padahal menjaga keindonesiaan masyarakat di
perbatasan lebih esensial jika dibandingkan dengan sekadar keutuhan wilayah.
Menjaga keutuhan wilayah sudah dilakukan rezim pemerintahan sebelumnya, termasuk SBY. Melalui
penjagaan di pos lintas batas negara oleh TNI dan Polri serta patroli, rutin di wilayah perairan. Itu yang
disebut sebagai pendekatan keamanan. Namun, hal itu tidak cukup menyelesaikan masalah di perbatasan
karena ancaman disintegrasi justru datang dari masyarakat perbatasan yang merasa diabaikan
kesejahteraannya oleh pemerintah.
Jokowi menawarkan program prioritas di kawasan perbatasan dalam bidang politik, yaitu diplomasi
maritim untuk mempercepat penyelesaian masalah perbatasan, integritas wilayah NKRI, serta
mengamankan sumber daya alam dan Zona Ekonomi Eksklusif dan pengembangan tol laut. Hampir tidak
ada yang baru jika dibandingkan dengan SBY, kecuali yang terakhir.
Kondisi kawasan perbatasan sendiri sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan negara tetangga,
seperti Malaysia. Jalan yang mulus dan terang di Serawak, berbanding terbalik dengan jalan rusak
berlubang dan gelap di malam hari di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Belum lagi kondisi pendidikan dan kesehatan. Di beberapa perkampungan di Krayan Selatan, Kalimantan
Barat, anak-anak harus berjalan lebih enam kilometer untuk bersekolah. Kurangnya jumlah guru
sehingga guru harus mengajar 2-3 kelas sekaligus. Sebagian besar dari mereka ialah guru honorer. Sarana
kesehatan juga masih memprihatinkan.
Hampir seluruh kabupaten di perbatasan memiliki indeks pembangunan manusia (IPM) yang rendah.
Ambil contoh Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat yang hanya 66,19 atau Kabupaten Morotai di
Maluku yang IPM-nya 66,08 jika dibandingkan dengan rata-rata nasional yang 73,29 (data BPS 2012).
Angka IPM itu dicerminkan dari indikator pendidikan, kesehatan, dan daya beli.
Selama ini warga di wilayah perbatasan dengan Malaysia, seperti di Sebatik, Kabupaten Nunukan,
Kalimantan Utara, lebih akrab dengan mata uang ringgit. Mereka menggunakan bahan bakar gas produk
Petronas dan membeli kebutuhan pokok seperti gula pasir serta minyak goreng dari Malaysia. Saat sakit,
warga lebih memilih berobat ke negeri jiran. Rumah sakit di Tawau, Sabah, Malaysia, bisa ditempuh
hanya 20 menit dengan speed boat batu bara, jika dibandingkan dengan puskesmas terdekat di ibukota
kabupaten yang perlu waktu sekitar 2 jam. Semua itu dilakukan dalam rangka mengakses pelayanan
dasar dan kebutuhan ekonomi.
Bahkan ratusan warga di perbatasan telah direkrut dan digaji sebagai askar wataniah atau milisi militer
Malaysia. Menjadi milisi Malaysia tak lepas dari makin sulitnya perekonomian di perbatasan. Bagi
mereka, itu ialah pilihan untuk bertahan hidup.
Padahal, secara alami kawasan perbatasan ialah wilayah yang kaya potensi sumber daya alam. Contohnya
mineral dan batu bara di kawasan perbatasan Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur, timbal dan bauksit
di Kalimantan Barat, mangan di NTT, serta emas dan nikel di perbatasan Papua. Potensi minyak dan gas
bumi juga membentang dari Aceh, Natuna, Kalimantan hingga Papua.
Program Massal
Karena itu harus ada upaya serius dan besar-besaran dari Jokowi untuk menyelesaikan masalah di
kawasan perbatasan. Pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) di era SBY untuk
mengoordinasi program-program perbatasan yang tersebar di berbagai kementerian patut dihargai.
Namun, kewenangan BNPP, yang dikepalai oleh Menteri Dalam Negeri, belumlah memadai untuk
memastikan program-program itu tepat sasaran dan efektif. Harus ada tindakan khusus dari Presiden
Jokowi. Salah satunya meletakkan BNPP berada langsung di bawah Kantor Presiden, seperti halnya
program pengentasan kemiskinan yang dibawahi langsung oleh Kantor Wapres.
Program yang tersebar di beberapa kementerian harus dikumpulkan jadi satu, sedangkan kementerian
teknis, seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, berperan memberikan bimbingan teknis dan mengawasi kualitas pelaksanaan program.
Melalui itu, diharapkan program-program tersebut tidak tumpang-tindih dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat perbatasan.
Dana alokasi khusus (DAK) untuk kawasan perbatasan juga harus didongkrak serius. Data Bappenas
menunjukkan DAK untuk kabupaten di perbatasan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan daerah
lainnya. Kurang dari Rp2,8 triliun pada 2013. Bandingkan dengan DAK untuk daerah tertinggal lainnya
yang lebih dari Rp12,8 triliun, atau daerah maju yang mencapai Rp15 triliun. Proporsi jumlah DAK itu
hampir tidak berubah sejak 10 tahun lalu (2003-2013). Padahal kebutuhan infrastruktur lebih besar
untuk mengejar ketertinggalan kawasan perbatasan.
Sektor swasta juga harus didorong untuk berinvestasi di perbatasan. Agar menarik, sejumlah fasilitas
pembiayaan dan keringanan pajak harus diberikan. Sektor perikanan dan agrowisata ialah dua sektor
yang prospektif untuk dikembangkan di kawasan perbatasan laut. Untuk kawasan perbatasan darat,
sektor energi dan migas sangat potensial untuk digarap. Hal itu penting dilakukan agar roda
perekonomian di perbatasan berputar menandingi negara tetangga.
Jokowi juga harus mampu mengajak lembaga kerja sama pembangunan internasional untuk bekerja di
wilayah perbatasan. Melalui program hibah untuk peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dan
pemberdayaan masyarakat, diharapkan pemerintah daerah mampu merespons kebutuhan masyarakat
dengan cepat sehingga ancaman disintegrasi dapat diantisipasi sedini mungkin.
Program besar-besaran itu harus menjadi prioritas Jokowi. Jadi, dalam lima tahun mendatang ada
perubahan signifikan bagi kualitas hidup masyarakat perbatasan. Melalui perbaikan kualitas hidup itu,
otomatis warga perbatasan akan merasa nyaman di negeri sendiri sehingga keutuhan wilayah terjaga. Bila
tidak, ancaman gabung ke negara tetangga bisa jadi kenyataan. Bagi warga perbatasan, terlalu hijau
rumput tetangga, sementara halaman rumah gersang kering kerontang.
53