Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA


PEMBANGUNAN POLITIK

Nama : Arnes

Kelas : TI 4B

NIM : 15.01.172

Program Studi : Pendidikan Pancasila


BAB I
ABSTRAK

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan.
Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut
menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian,
paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus
dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan
aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan
tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang
harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu
paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan
dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.
Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu
pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan
ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka
pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah
dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai
kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting
BAB II
PENDEKATAN

• Untuk memahami Pancasila sebagaimana yang dimaksud oleh para pendiri

bangsa diperlukan pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis akan membawa


pada situasi dimana Pancasila tidak sekedar diterima sebagai barang jadi, tetapi
merupakan hasil dari suatu proses pergulatan pemikiran yang cukup panjang.
Pandangan ini mesti mampu membawa kita pada suasana tersebut agar dapat
memberikan gambaran yang utuh tentang Pancasila.

• Untuk dapat memberikan penjelasan yang memadai, kita harus menggunakan


banyak alat analisa. Mengingat sangat kompleksnya pokok persoalan ini, maka
suatu deskripsi sosial saja tidak akan cukup. Sifat gerakan-gerakan sosial itu
sendiri menghendaki agar penjelasan genetis dilengkapi dengan penjelasan
analitis. Dalam hubungan ini, pendekatan-pendekatan lain dapat ditambahkan
kepada pendekatan historis. Disiplin-disiplin lain, antropologi sosial, dan ilmu
politik berada pada kedudukan yang lebih baik untuk menganalisis fenomena
gerakan-gerakan sosial. Konstruksi-konstruksi konsepsial atau teori-teori mereka
jelas mempunyai daya penjelas yang lebih besar daripada penuturan sejarah yang
polos. Oleh sebab itu, dalam mencari petunjuk-petunjuk ke arah kondisi-kondisi
kausal gerakan-gerakan sosial, kita harus mempertemukan disiplin-disiplin itu.
“Penggunaan pemahamanpemahaman yang telah dicapai oleh disiplin-disiplin itu
tidak boleh tidak akan memperkokoh analisis kita dan memperluas pandangan kita
tentang gerakan itu”.

• Bahwa secara yuridis-konstitusional, “Pancasila adalah Dasar Negara yang


dipergunakan sebagai dasar mengatur-menyelenggarakan pemerintahan negara.
Mengingat bahwa Pancasila adalah Dasar Negara, maka mengamalkan dan
mengamankan Pancasila sebagai Dasar Negara mempunyai sifat imperatif/
memaksa, artinya setiap warga negara Indonesia harus tunduk-taat kepadanya.
Siapa saja yang melanggar Pancasila sebagai Dasar Negara, ia harus ditindak
menurut hukum, yakni hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Diharapkan
penggunaan pendekatan sosiologis, pendekatan historis, pendekatan yuridis ini
bisa lebih memperjelas isi makalah ini secara struktural. Dan dapat membantu
memahami bagaimana eksistensi globalisasi serta modernisasi akan mudah
berkembang secara dinamis dan dapat membangun nilai – nilai pancasila secara
lebih dalam.
BAB III
LATAR BELAKANG

Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem


nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagai
sistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus
kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’. Yang menyandangnya itu di
antaranya:

(a) bidang politik,

(b) bidang ekonomi,

(c) bidang social budaya,

(d) bidang hukum,

(e) bidang kehidupan antar umat beragama,

Memahami asal mula Pancasila. Kelimanya itu, dalam makalah ini,


dijadikan pokok sebahasan. Namun demikian agar sistematikanya menjadi relatif
lebih tepat, pembahasannya dimulai oleh ‘paradigma yang terakhir’ yaitu
paradigma dalam kehidupan kampus
A. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan.
Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut
menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma
makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi
pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma
kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka
bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan.
Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka,
acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan
demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan
segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-
nilai dasar pancasila secara normative menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok
ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini
sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas
Pancasila sebagai dasar negara dan ideology nasional. Hal ini sesuai dengan
kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan
negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak
berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan
bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan. Nilai-nilai dasar
Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut
Pancasila adalah makhluk monopluralis.

Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara


lain:

a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga

b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial

c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.


Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan
harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan
aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya
peningkatan manusia secara totalitas. Pembangunan sosial harus mampu
mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena
itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakupseluruh aspek
kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigm dalam
pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

• Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau
pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia
maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek
harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai
pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas
kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik
didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu,
secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan,
moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara Negara
dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik
yang santun dan bermoral. Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial
politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita
bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila.

Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:

· Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya,

agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;


· Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan
keputusan;

· Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan


konsep

mempertahankan persatuan;

· Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang


adil dan beradab;

· Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan


kemanusiaan (keadilan- keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa.

Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu


direkonstruksi kedalam pewujud dan masyarakat-warga (civil society) yang
mencakup masyarakat tradisional (berbagai asaletnik, agama, dan golongan),
masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-
nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:

~ nilai toleransi;

~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;

~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);

~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).

B. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi

Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka


sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila.
Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas
ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi
yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem
ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat
manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk
tuhan.

Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi


liberal yang hanya menguntungkan individuindividu tanpa perhatian pada
manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi
dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu. Pancasila
bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena
itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan
ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem
ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang
berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan
dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk
lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan,
dan kesengsaraan warga negara. Pancasila sebagai paradigma pengembangan
ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan
ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan
demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau
pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia
atau Sistem Ekonomi Pancasila.

Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk


sebesar – besar kemakmuran / kesejahteraan rakyat—yang harus mampu
mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga
masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada
ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih
memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang
mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama
pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai
dengan ini ialah koperasi.
Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program
kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih
mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah. Dengan
demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat
dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif.

Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis


berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi
warga atau meningkatkan kepastian hukum.

C. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila


bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini
sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh
karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan
martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.
Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam,
brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia
adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus
mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat
mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasar sila
persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar
penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh
wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu
ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan social berbagai
kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima
sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak
menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigm pembangunan
berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu
diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang
terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak
asasi individu secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan
Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada
otonomi sukubangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah
dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat),
sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam
rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup
menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga). Apabila
dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai
puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan-
kebudayaan di daerah:

(1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial
dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa;

(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap
warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan,
kedaerahan, maupun golongannya;

(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad
masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai
satu bangsa yang berdaulat; (4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas
persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan
kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan
nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;

(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang
membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.

D. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum

Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa


Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa
tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga
rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan
keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem
pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan
keamanan rakyat

Semesta (sishankamrata). Sistem pertahanan yang bersifat semesta


melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya,
serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total
terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan
sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban
warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Sistem ini pada dasarnya
sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu)
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan
bela negara. Pancasila sebagai paradigm pembangunan pertahanan keamanan
telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun
2002 tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang
di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:

(1) adanya perlindungan terhadap HAM,

(2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan

(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga


mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan
Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau
merupakan bagian dari hukum positif.

Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi


negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara);
segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR sesuai dengan ketentuan
Pasal 37 UUD 1945. Hukum tertulis seperti UUD termasuk perubahannya ,
demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu
pada dasar negara (silasila Pancasila dasar negara).

Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan


hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan
dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila:

(1) Ketuhanan Yang MahaNEsa,

(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,

(3) Persatuan Indonesia,

(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan, dan

(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan


perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya,
substansi produk hukum merupakan karakter produk hokum responsif (untuk
kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat).

E. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat


Beragama

Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun,
bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia
internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural.
Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis,bahasa dan agama namun terjalin kerja
bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita. Namun
akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena
ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa
yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini
karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di
Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga
apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim
mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim. Paradigma toleransi antar
umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif

Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:

1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu
komunitas (ummatan wahidah).

2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam
dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsi:

a. Bertentangga yang baik

b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama

c. Membela mereka yang teraniaya

d. Saling menasehati

e. Menghormati kebebasan beragama.

Dua prinsip tersebut mengisyaratkan:

• Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi
yang didasarkan atas suku dan agama; dan

• pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam


menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh
bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald
Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul
sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di
bidang agama. Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama
merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan
bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik,
maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi. Dalam beberapa
tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan
majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina
kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya
seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di
Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-
bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat. Ke depan, guna
memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini
sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal.
Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk
mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan
akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen. Identitas
indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia
berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda
mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang
berbudaya.

F. Inplementasi Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan

a) Kampus

Menurut saya, implementasi pancasila sebagai paradigma kehidupan kampus


adalah seperti contoh-contoh paradigma pancasila diatas kehidupan kampus tidak
jauh berbeda dengan kehidupan tatanan Negara. Jadi kampus juga harus
memerlukan tatanan pumbangunan seperti tatanan Negara yaitu politik, ekonomi,
budaya, hukum dan antar umat beragama. Untuk mencapai tujuan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka sebagai makhluk pribadi sendiri
dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia.
Unsur jiwa manusia meliputi aspek akal, rasa,dan kehendak. Sebagai mahasiswa
yang mempunyai rasa intelektual yang besar kita dapat memanfaatkan fasilitas
kampus untuk mencapai tujuan bersama. Pembangunanyang merupakan realisasi
praksis dalam Kampus untuk mencapai tujuan seluruh mahsiswa harus
mendasarkan pada hakikat manusia sebagai subyek pelaksana sekaligus tujuan
pembangunan. Oleh karena itu hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi
pembangunan pengembangan kampus itu sendiri.
· KESIMPULAN

Pancasila adalah ideologi yang sangat baik untuk diterapkan di negara Indonesia
yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras dan bahasa. Sehingga jika ideologi
Pancasila diganti oleh ideologi yang berlatar belakang agama, akan terjadi
ketidaknyamanan bagi rakyat yang memeluk agama di luar agama yang dijadikan
ideologi negara tersebut. Dengan mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar
negara, jika melaksanakannya dengan baik, maka perwujudan untuk menuju negara yang
aman dan sejahtera pasti akan terwujud.

· SARAN

Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan agama,


diperlukan usaha yang cukup keras. Salah satunya kita harus memiliki rasa nasionalisme
yang tinggi. Selain itu, kita juga harus mempunyai kemauan yang keras guna
mewujudkan negara Indonesia yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang
berada di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai