Anda di halaman 1dari 3

Nama : Yeremia Ofen Tamba

Nim : 16.3102

Mata Kuliah : Missiologi II

Dosen : Pdt. Pulo Aruan, S.si, M.Div, M.Th

TRANSFORMASI MISI KRISTEN (David J. Bosch)

1. Paradigma Misi Gereja Timur

Iman Kristen yang hidup dan berkembang pada tradisi keyahudian mulai mengalami
perubahan ketika memasuki dunia kebudayaan Yunani-Romawi. Para teolog Kristen cenderung
mencemoohkan agama-agama kafir, mereka bersikap lebih baik pada filsuf kafir. Pengaruh filsafat
Plato sangat terasa dalam perubahan paradigma misi. Allah perjanjian lama dan kekristenan yang
primitive kini diidentifikasikan dengan gagasan-gagasan yang umum tentang Allah dalam metafisika
Yunani. Penekanan budaya Yunani yang menitikberatkan pada pengetahuani dan bukannya pada
pengalaman menyebabkan perubahan yang sangat memegang peranan. Allah bukanlah dilihat
dalam hubunganNya antara manusia dan Allah, melainkan Allah menjadi semakin penting untuk
direfleksikan dalam diriNya sendiri. Dengan kata lain Pengetahuan menggantikan peristiwa.
Keselamatan bukan masalah pengalaman atau peristiwa melainkan masalah pemahaman yang
benar. Oleh karena itu implementasinya adalah Roh Kudus bukan lagi penuntun/ penghibur/
penolong, melainkan menjadi roh hikmat (bukan kegiatanNya yang diperhatikan melainkan
keberadaan awalNya yang menjadi perhatian). Penyataan Allah tidak lagi dipahami sebagai
komunikasi peristiwa-peristiwa, melainkan komunikasi kebenaran-kebenaran tentang keberadaan
Allah dalam tiga hakikat dan pribadi tunggal Kristus dalam dua tabiat. Pesan menjadi doktrin, doktrin
menjadi dogma, dan dogma ini diuraikan dalam ajaran yang dengan lihai dirangkai menjadi satu.
Perbedaan yang mencolok antara tradisi Yunani dan tradisi Ibrani (semitik) adalah terletak pada
penekanan Visual dan Audio. Iman timbul dari pendengaran, berasal dari kata Dabar (kata Ibrani
untuk firman), menunjuk pada kata-kata yang diucapkan. Sedangkan Logos (kata Yunani untuk
Firman), mengacu pada pengetahuan yang timbul melalui penglihatan. Perbaikan situasi
mengakibatkan perubahan wawasan akan pengahrapan Apokaliptik tidak lagi diperhatikan. Pesan
Kristen berada dalam masa perubuhan dari pemberitaan tentang pemerintahan Allah yang imanen
menjadi pemberitaan tentang agama yang satu-satuya yang sejati dan universal untuk umat
manusia. Iman pada janji-janji Allah yang masih harus digenapi digantikan oleh iman pada kerajaan
Kristus yang kekal yang sudah digenapi dalam kebangkitan Kristus. kebangkitanNya bukan lagi buah
sulung (Paulus), dari kebangkitan orang percaya melainkan menjadi peristiwa yang lengkap sebagai
penggenapan puncak dari semua janji Allah.

Kristus tidak lagi dipandang dalam bingkai Historisasi PL dan Eskatologis masa depan.
Melainkan peristiwa kematian dan kebangkitan menjadi puncak (awal dan akhir). · Kristologi Yahudi
yang menekankan pentingnya Kristus yang histories tersingkirkan menjadi kristus yang dimuliakan
(Logos yang kekal). Pemahaman bukan lagi pada eskatologi dan protologi Kristus (apa yang
dikerjakan dan tujuan kedatangan Kristus), kedalam dunia melainkan pada praeksistensi kekal
Kristus (dari mana Kristus datang). Kekristenan Yahudi menekankan penyelamatan manusia dari
bencana yang terjadi dalam dunia dan pembebasan para tawanan (keselamatan kepada dunia ini),
sedangkan kekristenan Helenis menekankan pada penyelamatan dari dunia ini. Gereja zaman ini
mengalami ancaman yang cukup serius dari kaum Gnosis. Sementara gereja semakin menamkan
kekuasaannya di dunia barat, kekristenan dituntut untuk membangun kerjasama yang erat dengan
kekaisaran. Kerena itu model kekritenan yang lainnya kemudian dikucilkan diusir. Akan tetapi
pengusiran ini kemudia melahirkan model kekristenan Timur yang lain konteks (Asia). Sehingga
metode yang khas dan berbeda dengan kekristenan di Barat.
2. Paradigma Misi Katolik Roma (Abad Pertengahan)

Yang dimaksud dengan abad pertengahan disini adalah masa antara 500 sampai 1500 tahun
sesudah Masehi. Zaman ini boleh dikatakan dimulai pada saat Gregorius Agung menjadi Paus dan
mencapai akhirnya pada saat Konstantinopel direbut oleh Islam. Sekalipun demikian kita harus
melihat sosok Agustinus dari Hippo yang dapat dikatakan sebagai pelopor abad pertengahan. Reaksi
dan tanggapan beliau terhadap berbagai gejolak yang terjadi dalam dunia ke-Kristenan abad
pertengahan itu yang kemudian sangat mempengaruhi teologi abad pertengahan tersebut.
Bantahan Agustinus terhadap Pelagianisme; Pelagius memiliki pandangan yang sangat optimis akan
potensi yang ada pada diri manusia. Bagi Pelagius manusia mempunyai kemampuan untuk mencapai
segala hal yang baik melalui tindakan, perkataan, dan pengilhaman. Dengan kata lain Pelagius
menganggap kematian Yesus di kayu salib bukanlah dalam rangka penebusan dosa-dosa manusia
dan karena itu Yesus bukanlah Juruslamat melainkan sebatas guru dan model, dimana kita terpanggil
untuk meneladaniNya. Jelas bagi Agustinus pemahaman Pelagius ini adalah pemahaman yang salah.
Ia adalah seorang yang sangat memegang ajaran Paulus tentang pembenaran oleh iman. Jelas
bahwa Agustinus melihat manusia sedemikian berdosanya sehingga sama sekali tidak dapat berbuat
apa-apa selain menerima anugrah Allah. Oleh karena itu Kematian Yesus Kristus di salib dan
kebangkitanNya adalah pusat teologi Kristen. Respon Agustinus terhadap kaum Donatis yang ada di
Afrika Utara. Mereka menekankan bahwa ketujuh dosa maut (penyembahan berhala, hujat,
membunuh, zinah, hubungan di luar nikah, bersaksi palsu, dan menipu), tidak dapat diampuni.
Sehubungan dengan hal tersebut, mereka memprotes kehadiran Filipus dalam proses penahbisan
Caecilian sebagai uskup Karthago. Mereka yakin bahwa Filipus adalah seorang pengkhianat terhadap
orang-orang Kristen ketika terjadi penganiayaan dimasa Diocletianus. Selain itu ajaran utama
mereka adalah pemisahan yang mutlak antara gereja dan Negara. Agustinus kemudian menentang
kaum Donatis ini, dalam hal ini Agustinus tidak hendak menyatakan bahwa gereja dan para
pemimpinnya bebas dari dosa, melainkan harus disadari bahwa di dalam gereja kita juga akan
menemukan orang-orang yang masih berlumuran dosa. Oleh karena itu semua orang dalam gereja
(termasuk orang-orangbaik), adalah orang berdosa, menurutnya kauym Donatis yang merasa diri
benar dan kudus lebih berdosa daripada orang-orang berdosa lainnya. Ia menekankan bahwa
kehadiran gereja bukanlah menjadi tempat perlindungan dari dunia yang telah rusak melainkan
hadir demi perbaikan dunia. Akan tetapi yang kemudian menjadi fatal adalah pandngan Agustinus
tadi kemudian menimbulkan paradigma kekudusan melekat pada diri Gereja. Sehingga barangsiapa
yang berada di luar gereja (Katolik) menjadi tidak selamat. Dua abad setelah Agustinus, Cyprianus
yang muncul di daerah bekas perbantahan antara Agustinus dan kaum Donatis mengatakan istilah
yang kemudian menjadi dasar gereja Katolik abad pertengahan “extra ecclesian nulla salus” (tidak
ada keselamatan di luar gereja Katolik). Sekalipun slogan ini lahir dalam kondisi yang sangat khas
(hasil pembantahan Agustinus terhadap kaum Donatis), akan tetapi tidak lama kemudian
kontekstualisasi ucapan Cyprianus menjadi tidak penting, sehingga ini dijadikan dasar dalam
bertindak melakukan ekspansi-ekspansi keluar bahkan dengan cara-cara yang memalukan.

Penaklukkan Roma yang saat itu telah menjadi Kristen oleh kaum Gotik (non Kristen). Menjadi kasus
yang juga dijawab oleh Agustinus melalui salah satu karya fenomenalnya “De Civitate Dei”. Teologi
saat itu yang sangat mengagung-agungkan kekristenan sebagai sumber berkat, terbukti dari
kejayaan Roma menjadi luntur akibat kekalahan mereka dari kaum Gotik yang bukan orang Kristen.
Sehingga banyak orang yang melihat ini sebagai bukti kegagalan agama Kristen. Terutama para
penganut agama tradisi Romawi yang menuduh penerimaan agama Kristen dan pelarangan agama
Romawi kuno menyebabkan kemarahan para dewa dan membiarkan kekalahan Roma. Agustinus
dalam jilid 15, menekankan bahwa ada dua masyarakat di dunia ini. Masyarakat yang pertama
adalah kelompok yang hidup berdasarkan stndar-standar manusia, sedang kelompok yang kedua
adalah yang hidup menurut kehendak Allah. Agustinus yakin bahwa kelompok manusia yang kedua
ini telah ditetapkan oleh Allah sebelumnya untuk memerintah bersama Allah (predestined). Penting
untuk melihat bahwa Agustinus tidak menyamakan civitas Dei dengan gereja secara institusi apalagi
Negara, melainkan ia menunjuk kepada persekutuan orang-orang kudus (communion sanctorum),
yang sedang berziarah dalam sebuah perjalanan menuju ke rumah sorga. Sekalipun demikian
pandangan Agustinus ini dilencengkan menjadi penyamaan Kota Allah dengan kehadiran gereja
Katolik sebagai Institusi. Yang menarik adalah pandangan Agustinus tentang Kota Dunia (kelompok
manusia yang pertama), tidak sepenuhnya negative berbea dengan kaum Donatis. Ia tidak
memisahkan secara mutlak antara yang kudus dan yang profan. Tetapi ia juga tidak menjadi terburu-
buru menyatakan bahwa Kekaisaran Roma sebagai alat keselamatan Allah. Agustinus mengakui
bahwa masyarakat Kota Dunia (civitas terrena), sedang berjuang menuju kepada masyarakat ideal
dimana keadilan dan perdamaian berkuasa, akan tetapi kondisi ideal ini tidak akan pernah tercapai
di dalam dunia, melainkan hanya di dalam kerajaan Kristus yang akan datang.

Tiga peristiwa di atas kemudian menjadi dasar bagi teologi gereja Katolik abad pertengahan.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya terjadi pergeseran-pergeseran pemahaman ke arah
yang lebih radikal dan cendrung tidak memperhatikan konteks ide tersebut lahir. Sebagai contoh ide
pemaksaan terhadap kaum Donatis agar mereka kembali masuk Kristen kemudian menjadi dasar
bagi Gregorius Agung melakukan tindakan kekerasan bagi para budak yang belum dibabtis, padahal
pemaksaan yang dilakukan oleh Agustinus hanya sebatas penambahan pajak, pengucilan, dan
bukannya hukuman fisik. Yang sungguh disyukuri kemudian adalah perkembangan Monastisime
yang sebenarnya diyakini lahir di dunia gereja Timur. Sekalipun demikian ada perbedaan yang
mencolok antara monastisisme gereja Timur dan gereja Barat. Di Timur gerekan ini lebih kepada
menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, melakukan penyendirian-penyendirian, sedangkan di Barat
Biara bahkan menjadi pusat Misi. Di sini para Misionaris dibekali dan diperlengkapi. Puncak dari
teologi abad pertengahan diyakini muncul dalam diri Thomas Aquinas. Ia membagi manusia dan
segala sesuatunya di alam ini ke dalam dua bagian besar. Bagian yang menunjuka kepada yang
bersifat kodrati dan yang kedua bersifat adikodrati. Yang bersifat adiodrati lebih tinggi dari yang
bersifat kodrati, ia mengatakan bahwa iman lebih tinggi dari nalar, teologi lebih tinggi dari filsafat.

3. Paradigma Misi Reformasi Protestan

Kekecewaan terhadap ajaran-ajaran yang menyimpang dari Alkitab membuat Marthin


Luther mengadakan reformasi dalam tubuh gereja KAtolik Roma. · Roma 1:16 memberi kesadaran
kepada Marthin Luther dan melahirkan 3 semboyan, sola gratia, sola scripture, sola fide. · Akhirnya
gereja Katolik Roma mengusir Marthin Luther dari dalam gereja, sehingga pengikutnya kemudia
disebut sebagai kaum reformator. Gereja protestan bertumbuh dengan pesat, bahkan masih
terpecah ke dalam beberapa aliran lainnya. Menuju satu Misi yang Relevan. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah menyadarkan manusia bahwa konsep-konsep rasionalisme bukan
lagi segala-galanya dan tidak harus melakukan ekspansi dalam menyebarluaskannya. Skema subjek-
objek telah dibaharui, bumi bukanlah sekedar objek tetapi bagian dari manusia yang tidak dapat
dipisahkan, sehingga kesadaran ekologis mulai berkembang. Kesadaran akan pentingnya
membangun dialog dengan penganut agama lain menjadi hal yang tidak dapat dikesampingkan. ·
Gereja bukanlagi bersifat sentifugal tetapi sentrypetal. Misi bukanlagi dari gereja dan untuk gereja,
melainkan dari gereja dan untuk umat manusia. Misi yang dijalankan oleh gereja bukanlah misi
gereja, melainkan misi Allah yang dipercayakan kepada gereja, sehingga gereja adalah Alat dan
bukan penentu dalam melaksanakan Misi. Proses pelaksanaan Misi tidak boleh serampangan, harus
memperhatikan konteks social masyarakat sekitarnya, sehingga tidak lagi tejadi vandalisme teologis.

Anda mungkin juga menyukai