Anda di halaman 1dari 4

Nama : FRANS Y.

MANGASI HUTAHAEAN

NIM : 16.3076

Mata Kuliah : Teologi Biblika II ( Perjanjian Baru)

Dosen Pengampuh : Pdt. Dr. Raulina Siagian

Tafsir Naratif terhadap Teks Lukas 15 : 11-32 “ Bapa yang Murah Hati dan Penuh Belas kasih”

Ada sebuah teks yang diceritakan oleh Yesus kepada sekelompok orang yakni para pemungut
cukai dan orang-orang berdosa. Disamping itu juga Cerita itu disampaikan kepada Orang farisi dan
ahli-ahli taurat yang saat itu berada bersamaan dengan Yesus. Dalam menceritakannya, Yesus
menggunakan sebuah perumpamaan sebagaimana bentuk ini merupakan esensi dari metode homile
dan metode pengajaranNya.

Cerita ini lahir dari bagaimana orang-orang farisi dan ahli-ahli taurat hendak memperdebatkan
alasan mengapa Yesus toleran dan bahkan menerima orang-orang berdosa seperti para pemungut
cukai dan orang-orang berdosa. Namun, sebagaimana kita ketahui bahwa esensi dari perdebatan ini
pada dasarnya lahir dan berkembang dalam kekeliruan mereka dalam memahami Yesus sebagai Anak
Allah yang menderita sebagai penggenapan Allah akan hukum taurat yang diberikanNya kepada
Musa di zaman dulu ( PL) dan sekaligus penggenapan janji Allah akan keselamatan umatNYa.

Dalam perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus ini, pada dasarnya ada dua peristiwa besar
yang harus diuraikan. Bila kita melihat pada ayat 11-24 ini merupakan peristiwa pertama dalam teks
ini, dimana ini menceritakan tentang kisah anak bungsu. Sedangkan peristiwa kedua adalah kisah
anak sulung dalam ayat 25-32. Namun perlu diingat bahwa didalam kedua peristiwa ini peran Bapak
berada didalam kedua-duanya itu, dimana Bapak juga mengambil alih sebagai tokoh utama dalam
teks ini.

Peristiwa pertama ialah kisah anak bungsu. Berawal dari bagaimana anak bungsu dikisahkan
dengan kronologis peristiwa seperti ia terlebih dahulu meminta harta, kemudian ia pergi, lalui ia
menyesal, lalu ia pulang , dan lalu ada jamuan pesta. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam teks
memang mungkin memberikan semacam kesan yang sangat buruk. Misalnya anak bungsu yang
dikisahkan dengan karakter yang boros dan egois. Namun, bila kita telusuri bahwa anak bungsu ini
memiliki nilai positif dari karakter yang ia bawakan dimana ia mampu menunjukkan keberaniannya
dalam mengakui kesalahannya , dia berani untuk keluar dari zona nyamannya ( dari rumah bapaknya
sendiri) dan dia juga rendah hati. Ada beberapa tokoh dalam peristiwa ini, namun pengarang seakan
hanya menghadirkan tokoh tersebut sebagai penjelasan situasi ( tokoh figuran semata) dari kisah anak

1
bungsu seperti tokoh majikan, teman-teman si anak bungsu, dan hamba yang diutus bapaknya. Secara
tidak langsung, kisah anak bungsu ini dengan karakter yang digambarkan seperti demikian seakan
merujuk pada pemungut cukai dan orang-orang berdosa.

Peristiwa kedua terkait kisah anak sulung. Secara kronologis peristiwa, anak sulung terlebih
dahulu dikisahkan ia pulang dari ladang, lalu terheran-heran akan suasana rumah yang sibuk
menyiapkan pesta, lalu bertanya pada seorang hamba bapaknya, lalu menemui bapaknya dan marah
sehingga ia tidak mau masuk, lalu ia menyatakan pembenaran diri atau pernyataan sikap dan tersadar.
Selain itu juga Anak sulung dikisahkan dalam dua sisi karakter yang berbeda, dimana disamping
anak sulung digambarkan sebagai pribadi pekerja keras dalam hal menyelesaikan segala tugasnya, ia
juga digambarkan dalam sisi yang kurang baik dimana ia digambarkan sebagai pribadi yang
pencemburu , serakah, pemfitnah, dan pemarah. Ketika si anak sulung ini meluapkan segala rasa
kekecewaanya pada ayahnya, terlihat bahwa ia sangat mengutamakan hak kesulungan sebagaimana
yang dijungjung oleh orang Yahudi, bahwa segala-galanya adalah milik kesulungan bahkan itu
menyangkut tentang hal anugerah. Namun, bapaknya mencoba meredakan kemarahannya dengan
kembali menegaskan bahwa hak kesulungannya itu tidak akan pernah hilang , sebab ia akan selalu
bersama-sama dengan bapaknya itu. Maka dari itulah, si anak sulung ini menjadi sedikit lebih tenang
kembali dan mungkin menerima perlakuan si ayah ini. Dalam peristiwa yang kedua ini, Yesus juga
menggunakan tokoh figuran seperti para pekerja ladang, pemusik, dan pelacur-pelacur. Itu
dimaksudkan tidak lain untuk memperjelas situasi peristiwa anak sulung tersebut. Gambaran karakter
ini merujuk pada mereka orang-orang yang munafik dan lebih berdosa ( orang-orang farisi dan ahli-
ahli taurat).

Sedangkan untuk tokoh Bapak yang berada dalam kedua peristiwa itu, bapak digambarkan
sebagai tokoh yang positif dalam keduanya. Memang, secara umum kesan Bapak dalam kedua
peristiwa ini seakan terkesan Inkonsisten dalam penokohannya, namun sebenarnya karakter Bapak
yang digambarkan oleh Yesus sangat konsisten dalam keputusan dan kepribadiannya sebagai seorang
bapak bagi anak-anaknya. Bapak dikesankan sebagai pribadi yang penuh kasih, pengampun dan adil.
Gambaran karakter bapak ini seakan merujuk pada Allah ( Bapa ) itu sendiri. Peristiwa ini dimulai
dengan membagikan harta kepada anak bungsunya, lalu ayahnya menjamunya lagi, lalu
mempersiapkan pesta dan segala keistimewaan perayaan, lalu ia bertemu dengan anaknya , ia
menasihati dan menyadarkan anaknya serta menenangkan emosi anak sulungnya , lalu ditutup dengan
rasa sukacita sang bapak melihat kedua anaknya. Bahkan Bapaknya ini memberikan suatu
kehormatan yang lebih kepada anaknya yaitu dengan memberikan cincin di tangannya.

Perumpamaan yang Yesus sampaikan ini tidak lepas dari bagaimana konteks kehidupan orang
Yahudi kala itu yang menggangap bahwa hukum berada diatas segala-galanya, bahkan hukum yang
2
menjadi tolak ukur dari segala keselamatan, sehingga hukum dianggap melampaui segalanya dan
memaksa hukum yang memberikan pembebasan atau pendiskriminasian terhadap suatu komuniats
tertentu. Secara budaya, hukum warisan dalam adat Yahudi menempati posisi yang sangat dijungjung
tinggi. Menurut hukum waris dalam Yahudi, suatu warisan hanya dapat dialihkan atau
dipindahtangankan bilamana si pemilik pertama warisan itu telah meninggal. Namun, dalam tradisi
sosial Yahudi bahwa ketika seseorang telah menginjak usia kurang lebih 20 tahun, kebanyakan orang
akan pergi keluar dari negri kelahirannya menuju ke negri asing dengan bayangan bahwa disana akan
mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi. Maka tidak mengherankan ketika si anak bungsu
digambarkan telah berusia 20 tahun ia langsung menuntut haknya dan berusaha mandiri dengan pergi
dari tanah kelahirannya ke negri asing.

Ini menjadi suatu problematik yang hendak Yesus jelaskan bahwa ada banyak penuntutan
hak yang hampir melupakan kewajiban bahkan melanggar hukum. Anak bungsu memang telah
berhasil menerima haknya memperoleh warisan itu, tetapi ia lupa akan kewajibannya sebagai penerus
warisan itu. Sehingga haknya membawakan dia pada malapetaka dan kehancuran dimana ia harus
bekerja sebagai penjaga ternak babi yang bagi orang Yahudi itu lebih rendah dari seorang budak,
bahkan yang lebih buruk lagi anak bungsu dikisahkan dengan memakan ampas atau makanan ternak.
Maka Yesus hendak menegaskan bahwa hukum waris yang dipahami orang Yahudi berbeda dengan
hukum waris kerajaan Allah. Menurut hukum waris kerajaan Allah, warisan memang telah diberikan
kepada setiap orang, namun setiap orang tidak berhak sepenuhnya untuk memperoleh atau menikmati
warisan itu sebelum si Pemilik utama itu menilai bahwa orang itu telah berhasil menunjukkan
kewajibannya terlebih dahulu sebelum haknya diperoleh.

Salah satu hukum yang sangat dijunjung tinggi orang Yahudi juga adalah tentang hukum
kekafiran dan hukum kekudusan. Bagi orang yahudi, sekali seseorang melakukan dosa, ia dipandang
hina dan dimarginaliasi dari komunitas. Bahkan itu menjadi salah satu warisan juga, dimana baik
orang yang melakukan dosa atau keturunannya sekalipun, sangat kecil peluangnya untuk diterima
kembali dalam komunitasnya. Perbuatan Zinah sangat dinilai buruk bahkan tidak memperoleh tempat
dalam masyarakat. Maka tidak mengherankan bilamana anak sulung digambarkan sebagai pribadi
yang mengasumsikan bahwa anak bungsu telah bersama dengan pelacur-pelacur. Sehingga,menurut
si anak sulung, anak bungsu tidak layak untuk diterima kembali dalam komunitas masyarakat.

Maka perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus ini seakan hendak menegaskan bahwa
keselamatan terbuka bagi siapa saja yang mau bertobat untuk yang lebih baik lagi. Ini juga terkesan
bahwa orang-orang berdosa memiki hak untuk memperoleh keselamatan dan masih berpeluang besar
untuk memperolehnya. Sama halnya dengan Allah sebagai Bapa bagi orang-orang percaya dengan
kesan yang murah hati, bapak dalam kisah yang disampaikan Yesus juga turut mengambil bagian dari
3
kesiapaan bapak yang bermurah hati kepada kedua anaknya yang mana memiliki sisi baik dan
buruknya, namun semuanya itu digambarkan demikian merujuk pada Allah sebagai Bapa yang sejati.
Hukum bukan segala-galanya, karena kedatangan Yesus telah menggenapi hukum tersebut dan
merevitalisasikannya dalam tindakan yang hanya dinilai bersifat doktrin namun menjadi bersifat lebih
praktis melalui kesan bahwa hukum menjadi anugerah keselamatan. Yesus mengisahkan dua
peristiwa ini dalam satu cerita besar memberikan gambaran bahwa kehidupan orang-orang
disekitarNya berada dalam kedua-duanya, bahwa BapaNya adalah bapa yang murah hati dan penuh
belas kasih.

Dalam perumpamaan ini juga Yesus menegaskan bahwa sukacita sebagai persamaan hak
menerima keselamatan melampaui segala bentuk kecemburuan, iri hati, bahkan meniadakan rasa
bersalah yang berlebihan. Yesus tidak juga hendak memperlihatkan bahwa menerima keselamatan
itu sesuatu yang praktis dan mudah, namun dalam kisah ini Yesus menggambarkan bagaimana
kesungguhan anak bungsu itu untuk mendapatkan tempat yang hampir telah tiada baginya dari
bagaimana ia mengakui salahnya bukan hanya kepada bapaknya sendiri melainkan juga kepada Bapa
yang disurga ( merujuk pada Allah Bapa). Bahkan anak bungsu itu juga siap dalam konsekuensinya
dan bukti kesungguhannya melalui gambaran sebagai seorang hamba bukan anak. Namun, Yesus
dalam karakter Bapak menunjukkan bahwa dengan kesungguhannya itu, ia tetap menjadi anaknya
dan bahkan ia dilayakkan untuk menerima jamuan yang istimewa. Dimana ini juga yang
menimbulkan kecemburuan pada diri anak sulung itu. Akan tetapi, Yesus konsisten dalam karakter
bapak dengan memperingatkan bahwa kesungguhan si anak sulung itu juga tidak sia-sia, melainkan
Yesus dengan tegas menunjukkan bahwa kedua anak itu memiliki hak yang sama dan kewajiban yang
sama. Kisah Problematik yang terjadi antara anak sulung dengan bapaknya mewarnai bagaimana
bapaknya sedang mengarahkan anak sulung tersebut untuk menyadari bahwa tidak selamanya orang
yang bersalah harus dihukum bahkan dimarginalisasikan. Semua Dosa dihapuskan oleh belas kasih
dan kemurahan hati seperti yang dilakukan oleh Allah, Bapa yang sejati.

Buku Bacaan/ Rujukan :


1. Bruce Chilton dan Deidrdre Good, A Fortress Introduction Studying The New Testament,
Minneapolis : Fortress Press, 2011, Bab III, Hal. 110-112
2. Charles B. Puskas dan David Crump, An Introduction to The Gospels and Acts, Cambridge : B.
Eerdmans Publishing, 2008, Bab V, Hal. 146-149
3. B.J. Boland dan P.S. Naipospos , Tafsiran Lukas 9 : 51-24 : 53, Jakarta : Bpk Gunung Mulia, 1982, Hal.
117-123
4. Donald G. Miller, The Laymans Bible Commentary- The Gospel According to LUKE, Virginia : John
Knox Press, 1959, hlm. 120-121

Anda mungkin juga menyukai