NIM :
Matakuliah : Seminar Biblika
Dosen Pengampu : Pdt. Dr. Sukanto Limbong
Pdt. Dr. Raulina Siagian
(Tinjauan Biblis Amos 2:6-8 serta Implikasinya Terhadap Situasi Pandemi Covid-19)
I. Pendahuluan
Dalam kehidupan, orang banyak orang menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa.
Setiap pagi mereka bangun dan melakukan aktivitas mereka. Pada malam hari mereka
membaringkan diri untuk tidur dengan tenang. Sehingga hidup terlihat begitu biasa, karena sudah
menjadi suatu kebiasaan yang berulang. Kemudahan seperti ini seringkali tidak dimiliki oleh
orang-orang miskin. Kehidupan sehari-hari merupakan pergumulan bagi orang-orang miskin.
Dapat makan secukupnya sudah merupakan sebuah kemewahan. Dapat tidur dengan tenang
setiap malam sudah merupakan sebuah berkat yang besar. Miskin bukanlah takdir daripada
Tuhan, namun bukan juga kesalahan orang-orang miskin tersebut. Terlalu rumit jika membahas
permasalahan awal mula dari kemiskinan. Namun hal yang luput daripada spekulasi kebanyakan
orang tentang orang miskin ialah bahwasannya orang miskin ada karena suatu ketidakadilan
sosial. Tentu hal tersebut dapat terjadi mengingat manusia merupakan makhluk yang memiliki
egonya sendiri, sehingga berpotensi untuk menindas orang lain.
Orang miskin merupakan orang yang lemah, orang miskin tidak memiliki apa-apa
terkecuali kehidupannya. Tidak heran Tuhan begitu memperhatikan orang-orang miskin. Jika ada
orang lain yang menekan mereka, atau suatu ketidakadilan ditimpakan kepada mereka Tuhan
tidak tinggal diam. Dia menjadi pembela bagi mereka yang tidak memiliki apa-apa. Ada
hukuman serius bagi orang yang meremehkan sesamanya yang miskin, dan itulah yang ingin
disampaikan Amos 2:6-8. Sehingga hal tersebut amat menarik bagi penulis untuk ditinjau lebih
lanjut. Dalam hal tersebut muncul beberapa pertnyaan seperti, apa yang menyebabkan tindakan
penindasan dalam teks tersebut? bagaimana latar belakangnya? dan mengapa orang-orang miskin
dan lemah tampak penting dihadapan Tuhan? Sehingga teks tersebut tampak menghardik keras
orang-orang yang melakukan hal tersebut, dengan artian tindakan tersebut merupakan suatu
pelanggaran besar dihadapan Tuhan. Oleh karena beberapa pertanyaan yang muncul, penulis
ingin menjelaskan bagaimana kemiskinan yang terjadi dalam kitab Amos. Sehingga dengan
beberapa pertanyaan tersebut penulis harap dapat melihat bagaimana kemiskinan yang terjadi
dalam konteks Amos 2:6-8.
Dalam Perjanjian Lama, kata misikin digunakan dengan kata Kata אביןdalam bahasa
Ibrani. Kata “ebion“( )אביןberasal dari kata abhah yang artinya kekurangan dan tidak mempunyai
apa-apa, miskin atau sengsara. Orang yang menginginkan sesuatu dari orang lain atau yang
menunggu pemberian orang lain.1 Kata ( אביןebyon) menunjuk pada orang miskin, yang
meminta-minta, mendapat dukacita (celaka), melarat, hina dan bernasib malang. 2 Krisis daripada
orang miskin ini didasarkan pada jaringan hubungan kekuasaan yang membentuk masyarakat.
Istilah “miskin” dan orang miskin sendiri, meningkat ke tingkat yang baru pada abad ke-8 SM.
Hal tersebut menyebabkan ketimpangan meningkat dan elit baru mampu mengeksploitasi orang
miskin melalui pengaturan bagi hasil, Melalui penyitaan, bahkan seluruh kelas yang tergolong
miskin dimusnahkan.3
Dalam Perjanjian Baru keberadaan orang miskin lebih berharga dari pada orang kaya, karena
orang miskin itu lebih mudah bersikap tergantung kepada Allah 4. Bagi orang-orang miskinlah
Allah datang memberitakan kabar sukacita. Istilah yang digunakan dalam Perjanjian Baru adalah
kata πτωχος (Ptochos), artinya miskin, melarat, orang yang meminta-minta, pengemis. Kata
pthochos menunjuk pada kemiskinan yang semiskin-miskinnya, yaitu orang yang miskin hanya
1
“Ebion”, G. Johanes Botterweck, Helmer Ringren &HJ Fabry, (eds.), Theological Dictionary of The Old Testament
Vol I, (Micghan: WBE Publishing, 2003), 24.
2
Gamel, “The Poor In The Old Testament”, dalam G. Kittel (ed.), Theological Dictionary of The Old Testament, Vol.
VI, (Micghan: Grand Rapids, 1996), 888.
3
Stephen C. Mott, “poor”, dalam Paul J. Achtemeier (ed.), The HarperCollins Bible Dictionary, (New York:
HarperCollins Publisher, 1997), 866.
4
M. Hengel, “miskin” dalam J. D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 2003),
88.
mampu mencari pertolongan pada orang lain dengan mengemis (bnd. Luk 4:18; 7:12). 5 Orang
miskin (ptochos) adalah orang-orang yang sangat miskin yang berjuang untuk mengatasi
perjuangannya demi mempertahankan makna hidup.6
II.1.2. Benar
Kata benar pada Amos 2:6-8 menggunakan kata ( צּדִ֔ יקtsadiq) yang secara harafiah berarti
“kebenaran”. Namun kata tsadiq sendiri memiliki makna yang lebih luas, yakni keadilan. Secara
umum fokus pada dua pemahaman yang berbeda mengenai pengertian PL atas kebenaran dan
keadilan. Pengertian akar kata tsdq "secara hukum" dan memahami kebenaran sejalan dengan
standar atau norma. Barangsiapa menjaga kebenaran dan keadilan juga membagikan berkat dan
hukuman sesuai dengan apakah kebenaran yang dimaksud sesuai dengan norma itu. antitesis
termasuk istilah seperti "belas kasihan", "belas kasihan" dan "keselamatan."7
Dalam Perjanjian Lama, penggunaan kata tsadiq terdapat relasinya dengan perjanjian,
hukum, rekonsiliasi, dan ujian. Kegunaan tersebut digunakan sebagai konstruksi karakter sosial
serta hubungan indvidu yang melakukan kebenaran dan keadilan dengan Tuhan. Konsep tersebut
menunjukkan naturalisasi hubungan manusia dengan Tuhan dapat dicapai dengan kebenaran dan
keadilan.8
Dalam Perjanjian Baru, istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan “benar, adil”
adalah kata δικαιος (dikaios). kata-kata kelompok tersebut digunakan dalam banyak cara
berbeda. Kata sifat dikaios terjadi di hampir semua kitab PB, paling sering di Injil Matius dan
Paulus (masing-masing 17 kali), sementara kata-kata terkaitnya didominasi oleh Paulus, muncul
dengan frekuensi tertentu dalam Roma.9 Dalam hal tersebut, Paulus menyajikan tuntutan etis
bagi orang Kristen dan juga karakter karunia kebenaran. Sehingga secara garis besar, dalam PB
istilah benar dan adil saling terhubung. Hal tersebut merujuk kepada orang percaya yang
5
Hauck, “πτωχος“ dalam G. Kittel (ed.), Theological Dictionary of The Old Testament Vol. VI, (Michigan: Grand
Rapids, 1964), 886.
6
Wolfgang Stegeman, Injil dan Orang-orang Miskin, (Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 1994), 2-3.
7
B. Johnson, “tsadiq” dalam G. Johanes Botterweck, Helmer Ringren &HJ Fabry (eds), Theological Dictionary of the
Old Testament Vol. XII, (Michigan: WBE Publishing, 2003), 243-246.
8
B. Johnson, “tsadiq” dalam TDOT, 259-262
9
H. Sebees, “righteousness”, dalam Collin Brown (ed.), The New International Dictionary of New Testament
Theology, (Michigan: Zondervan, 1975), 360.
memiliki iman akan kebenaran, dengan diiringi tindakannya yang berlaku adil. Oleh karena
Tuhan juga adil dan benar, manusia semestinya juga melakukan benar dan adil.10
Ide sentral dari kitab Amos adalah bahwa Tuhan menempatkan umat-Nya pada tingkat
yang sama dengan bangsa-bangsa di sekitarnya - Tuhan mengharapkan kemurnian yang sama
dari mereka semua. Seperti halnya dengan semua bangsa yang bangkit melawan kerajaan Tuhan,
bahkan Israel dan Yehuda tidak akan dibebaskan dari penghakiman Tuhan karena penyembahan
berhala dan cara-cara mereka yang tidak adil. Bangsa yang mewakili Tuhan haruslah suci dari
apapun atau siapapun yang mencemarkan nama Tuhan. Nama Tuhan harus diagungkan. Struktur
Kitab Amos sendiri, adalah sebagai berikut:11
III. Metodologi
Untuk memahami teks ini teks ini, penulis menggunakan metode Historis Kritis. Metode
historis kritis adalah salah satu metode yang dapat dilakukan dengan proses pemikiran dan
pertimbangan sebelum diambilnya suatu keputusan, dengan memberi penilaian tepat untuk dapat
memahami suatu teks yang berdasarkan kebenaran Alkitab.13 Hasil penilaian itu dapat bersifat
negatif ataupun positif, melengkapi atau menyatakan ketidaksetujuan, dan sebagainya. Penilaian
yang bersifat kritis terhadap teks Alkitab tentu memiliki batas agar tidak merusak makna teks
atau mengurangi makna kewibawaan teks.14 Selain itu, pendekatan historis kritis diharapkan
memberikan informasi peneliti mengerti maksud daripada pengarang teks pada masa teks ditulis.
Melalui beberapa tahap metode penelitian historis kritis, maka penulis juga akan tetap
memperhatikan konteks pembaca yang pernah ada (termasuk konteks si penulis teks), hingga
pada saat ini dan pembaca-pembaca yang baru dalam tradisinya masing-masing, baik secara
pribadi maupun komunal. Metode penelitian yang dilakukan tersebut diharapkan dapat
membawa atau menghasilkan sesuatu makna yang terkandung dalam teks. Setiap teks dalam
Alkitab harus diteliti untuk memahami artinya dengan baik melalui berbagai penafsiran.
IV. Tafsiran
IV.1. Komposisi dan Redaksi
12
Michael Coogan, A Brief Introduction to the Old Testament, 258–259.
13
Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara,
1995) ,133-208.
14
John H. Hayes & Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 29.
Perkiraan paling awal ialah Amos sendiri yang mengerjakan kitabnya. Amos bernubuat
pada masa pemerintahan Yeroboam II, Raja Israel, dan Uzia dari Yehuda, yang
menempatkannya pada paruh pertama abad ke-8 SM. Menurut pengenalan awal dari teks (Amos
1:1) dia berasal dari Tekoa, sebuah kota di Yehuda di selatan Yerusalem, tetapi misi kenabiannya
ada di kerajaan utara. Ia disebut sebagai "gembala" dan "penata pohon ara", namun kualitas
sastra dalam kitab tersebut lebih menunjukkan seseorang yang berpendidikan daripada seorang
petani yang miskin.15
Para ahli telah lama berpendapat bahwa dalam tulisan-tulisan Amos terdapat himne kuno
yang tampaknya menginspirasi nubuatannya, (4:13; 5:8–9; 8:8; 9:5–6).16 Himne-himne tersebut
paling baik dipahami sebagai pujian kepada Tuhan atas penilaiannya, yang ditunjukkan dalam
kekuatan destruktifnya, daripada pujian atas ciptaan. Banyak ahli juga telah mengidentifikasi
motif 'Ratapan kota Sumeria' (SCL) yang khas dalam Amos dan khususnya himne, menawarkan
kemungkinan bahwa Amos menggunakan SCL sebagai suatu klise sastra untuk nubuatnya
tentang kehancuran Yerusalem. Himne Amos juga telah dibahas dalam istilah 'kutukan
perjanjian' yang digunakan untuk memperingatkan Israel tentang konsekuensi dari pelanggaran
perjanjian, dan khususnya motif 'kutukan Banjir'. Pendapat terbaru telah menunjukkan himne
Amos adalah teks naratif kuno, hal tersebut dapat diidentifikasi pada Amos 7:4. Hal tersebut juga
sebanding dengan himne yang terdapat dalam kisah Air Bah dalam Kejadian dan Ayub 9:5–10.17
Dari komposisi yang begitu banyak, para ahli berpendapat bahwa ada redaktur dari
semua komposisi tersebut. Ada beberapa tahapan redaksi daripada komposisi-komposisi kitab
Amos, diantaranya (i) kumpulan nubuat, (ii) 5 nubuat melawan bangsa lain (OAN) ditambah
dengan lima penglihatan (iii) digabungkan oleh murid-murid nabi (735 SM) yang juga
menambahkan beberapa nubuat lagi (iv) Eksposisi di masa Yosia dengan tujuan untuk
mendukung penghancuran tempat kudus Betel oleh Yosia. (v) Peredaksian Deuteronomistik
yang berusaha menerapkan kata kenabian untuk Yehuda selama masa pembuangan di Babilonia.
(vi) tambahan epilog pasca-pembuangan di 9:11-15 memberikan pesan keselamatan yang
hilang.18
15
M. Daniel Carroll R., "Amos" dalam James D. G. Dunn & John William Rogerson (eds.), Eerdmans Commentary on
the Bible, (Michigan: WBE Publishing, 2003), 690.
16
Hans Walter Wolff, Joel and Amos: A Commentary on the Books of the Prophets Joel and Amos (Hermeneia
Series), (Philadelphia: Fortress Press, 1977), 215.
17
G. Cox, "The ‘Hymn’ of Amos: An Ancient Flood Narrative." dalam Journal for the Study of the Old Testament Vol
38.1, (2013), 81–108
18
Joseph Blenkinsopp, A History of Prophecy in Israel, (Louisville: Westminster John Knox Press, 1996), 74-78.
IV.2. Kritik Sastra
Secara keseluruhan, kitab Amos sendiri disusun dengan teratur dan gaya bahasa yang
digunakan juga rapi. Kualitas sastra dari kitab Amos juga ciamik, dengan penggunaan metafora
dan sindiran sebagai khas dari pewartaannya.19 Dalam hal tersebut redaktur kitab Amos
menunjukkan diri menguasai bahkan ahli dalam bahasa ibrani. Hal tersebut dikarenakan
tulisannya bercirikan kesatuan dalam hal stuktir dan menuju ke klimaks (1:3-2:16), pergantian
antara sindiran dan kesungguhan (4:1-5); pernyataan retoris; suara yang mendesah yang
mengungkapkan pesan tanpa kata-kata (2:16), naik turuin, gaya tangga dari sastra kiasme (5:4-
6).20
Dalam Amos 2:6-8, yang termasuk ke dalam pasal yang kedua merupakan bagian dari
pembentukan nubuat yang lebih besar, dengan dilanjutkan pola bentuk sastra yang konsisten.
Penggambaran metode nubuat Amos paling ringkas dengan masing-masing dirumuskan dalam
pola sastra yang ditetapkan; pola numerik, keputusan ilahi yang mutlak tidak dapat dibatalkan;
penyebutan kejahatan khusus yang dilakukan; dan akhirnya putusan yang diumumkan oleh
Tuhan sebagai yang pertama, mengutuk setiap negara dengan hukuman api, bersama dengan
hukuman lainnya.21 Satu benang merah yang konsisten antara oracle melawan bangsa-bangsa
adalah penggunaan formula retorika-pembawa pesan dengan pendahuluan “Tuhan berkata…”
dan proklamasi numerik dari penghakiman yang tidak dapat diubah. Rumus pidato utusan
kenabian berasal dari gaya komunikasi diplomatik umum.22 Ada kesepakatan yang hampir bulat
bahwa formula sastra yang digunakan oleh Amos ini adalah produk dari bahasa tulisan-tulisan
hikmat. Makna dari pola 3+1 (kata-kata seperti “tiga bahkan empat…”) ini menegaskan
pandangan bahwa Tuhan telah bermurah hati dalam kesabarannya dibiarkan begitu saja tanpa
hukuman. Contoh pola ini terbukti dalam tulisan hikmat di Amsal 30.15-16; 18-19; 21-23 dan
29-31 untuk tiga pelanggaran ringan tetapi kesalahan keempat itu terlalu berlebihan.
19
B. J. Bolland, Tafsiran Kitab Amos, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 89
20
Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 655-656.
21
Hans Walter Wolff, Joel and Amos, 137
22
Hans Walter Wolff, Joel and Amos, 136-137
Lingkungan sosial dunia Amos selama pertengahan abad ke-8 menguntungkan secara
sosial, ekonomi dan politik bagi mereka yang memiliki kekayaan dan status di Israel dan
Yehuda. Barton menggambarkan kondisi dengan cara ini; "Israel, jika kita ingin mempercayai
kesaksian kitab Amos, maka menikmati" musim panas India "untuk paruh pertama abad
kedelapan."23 Ada ketenangan yang relatif antara Israel/Yehuda dan bangsa-bangsa tetangga
mereka, dan banyak dari tetangga itu merupakan bangsa-bangsa yang lemah dan sedikit
mengancam kerajaan mana pun. Jadi secara umum, perdamaian dan kemakmuran berkuasa atas
Israel dan Yehuda selama periode Amos. Orang kaya mendapat untung besar dan keamanan
negara kuat. Namun seperti yang disinggung Amos 6.1,8 dan Smith mengekstrapolasi “orang-
orang ini (Israel) merasa sangat aman, sangat bangga, dan sama sekali tidak peduli dengan
kesengsaraan yang diberikan kepada penduduk lainnya.24 Cukuplah untuk mengatakan bahwa
pesan Amos kepada orang-orang pada hari itu tidak langsung diterima; “… Karena hanya sedikit
yang menganggap serius peringatannya tentang malapetaka yang akan datang. Orang-orangnya
bangga dan tenang, sehingga peringatan Amos tentang kematian, pengasingan, dan akhir Israel
seakan tidak berhubungan dengan realitas politik yang mereka lihat di sekitar mereka.25
Pada sekitar abad ke-8 SM, Kerajaan Asyur yang merupakan kerajaan adikuasa
saat itu di Timur Dekat Kuno, mengalami kemundurannya. 26 Bahkan pada akhirnya
hancur kemudian hingga tidak tampak lagi kemegahannya. Hal tersebut tampaknya
dimanfaatkan oleh Negara-negara taklukan Asyur untuk merdeka. Sehingga hal tersebut
dimanfaatkan oleh pemimpin bangsa Israel dan Yehuda untuk menata kembali bangsa
mereka masing-masing. Di wlayah Utara, Yerobeam II berhasil memperluas wilayah
kerajaannya dan memulihkan batas-batas lama. Israel Utara pada masa kepemimpinan
Yerobeam II merupakan masa kemakmuran dan kejayaannya. Banyak kota dibangun,
muncul orang-orang elit baru. Tercatat bahwasannya pada masa tersebut Israel
merupakan wilayah paling padat di seluruh daratan Mediterania Timur. 27 Namun justru
23
John Barton, Old Testament Theology: The Theology of the Book of Amos, (New York: Cambridge University
Press, 2012), 4.
24
Gary V. Smith, Amos: A Commentary, (Grand Rapids, Regency, 1989), 2.
25
Gary V. Smith, Amos, 2.
26
Darmawijaya, Warta Nabi Abad ke-VIII, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 23.
27
M. Broshi & I. Finkelstein, "The Population of Palestine in Iron Age II", dalam Bulletin of the American School of
Oriental Research No. 287, (1992), 47–60.
hal tersebut menyebabkan ketidakadilan sosial terjadi di Israel. Hierarki kekuasaan
menjadikan kesenjangan sosial yang amat jauh antara yang kuat dan yang lemah, antara
kaum elit dan kaum miskin.
Pada masa pemerintahan raja Uzia di Yehuda dan Yerobeam II di Israel Utara,
Kerajaan Israel Utara mengalami masa kejayaan dan kemakmuran yang baik. Faktor-
faktor yang menyebaban kerajaan Israel utara mengalami kemakmuran ialah karena
kerajaan utara yang menjadi lintas perdagangan dari bangsa-bangsa sekitarnya. Kanaan
sebagai pusat kota memiliki jalan utama yang menghubungan Mesir, Mesopotamia dan
Asia kecil.29 Kemakmuran tersebut memberikan tampilan yang amat mewah bagi
kehidupan Israel Utara, namun kemewahan tersebut dibangun dari sebuah penindasan
dan ketidak-bebasan terhadap orang miskin. Kemewahan tersebut hanya menjadi milik
kaum elt saja, dan hal tersebut menyebabkan melebarnya jurang antar status sosial.
Kemewahan tersebut berdiri datas Ketidakadilan dan berorientasi pad keuntungan semata
saja.30
28
Robert B. Coote, Amos Among The Prophets: Composition and Theology, (Philadelphia: Fortress Press, 1981), 36-
37.
29
S. Wismoady Wahyono, Di sini Kutemukan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 142.
30
John Bright, A History of Israel, (Philadelphia: Wesminister, ),225-259.
bangsa Israel melakukan ibadah dengan giat, namun ibadah tersebut hanya sekedar
rutinitas tanpa disertai pertobatan. Salah satunya perayaan pesta Marzeach yang
merupakan suatu bentuk solidritas, dan dalam perayaan tersebut terdapat persembahan
dan memakan biaya yang mahal. Pesta tersebut diadakan secara khusus, dan berada di
bawah lindungan kerajaan, karena pesta diadakan sebagai unsur yang mencakup
kepentingan kerajaan. Pada perayaan tersebut tidak ada satupun kaum tani dan kaum
berseosial rendah diikut-sertakan.31.
Amos 2:6-8 melaporkan tentang empat kejahatan Israel. Menggunakan analogi dari
pembuatan narasi yang apik, dapat dikatakan bahwa wacana tersebut diperbesar ketika
mendekati target akhirnya, Israel. Sementara tuduhan dalam nubuat sebelumnya (dengan
pengecualian perikop Yehuda) menyangkut bidang politik internasional, tuduhan terhadap Israel
berkaitan dengan politik dalam negeri dan hubungan antarpribadi. Namun, ada berbagai
keterkaitan antara kritik terhadap Israel, dalam 2:6–8, dan dakwaan bangsa-bangsa lain, dalam
Amos 1:3-2:3.33
Ayat 6
Tuduhan pertama terhadap orang Israel ditemukan dalam 2:6b. Melalui topik, perdagangan
manusia, ucapan ini terhubung dengan beberapa nubuat sebelumnya, tetapi perspektifnya berbeda.
Sedangkan orang Filistin dan Fenisia dituduh mengirimkan sekelompok budak kepada majikan baru
mereka di negara asing (1:6, 9), 2:6b berfokus pada awal proses, ketika individu dijual: “mereka menjual
31
Robert B. Coote, Amos Among The Prophets, 37-38.
32
B. J. Boland, Tafsiran Kitab Amos, 67.
33
Jeremy M. Hutton, “Amos 1:3–2:8 and the International Economy of Iron Age II Israel” dalam Harvard
Theological Review vol. 107 (1), (January, 2014), 111-112.
tidak bersalah karena perak (bakkesep), dan orang miskin untuk sepasang sandal (baˤăbûr naˤălāyim). ”
Ini biasanya, dan mungkin benar, dianggap merujuk pada institusi perbudakan hutang. 34
Menurut beberapa teks dalam Alkitab Ibrani, orang yang tidak mampu membayar hutangnya
dipaksa menjadi budak (atau, kadang-kadang, menjual anak-anak mereka sendiri), tetapi idealnya untuk
jangka waktu terbatas selama enam tahun (Kel 21:2-11 ; Ul 15: 12–18; 2 Raj 4: 1; Neh 5:1–5). Daripada
mengkritik sistem perbudakan hutang seperti itu, ucapan dalam Amos 2: 6b tampaknya menggambarkan
situasi di mana sistem tersebut disalahgunakan. 35
Dalam ay 6b1, ungkapan bakkesep, "untuk perak (atau, untuk uang)," bisa merujuk pada
pembayaran. Namun, karena tidak masuk akal untuk mengasumsikan bahwa harga pasar manusia dewasa
serendah harga sepasang sepatu, ungkapan paralel baˤăbûr naˤălāyim ("untuk sepasang sandal")
tampaknya membutuhkan jenis lain penjelasan. Tidak ada dalam konteks langsung yang menunjukkan
bahwa referensi dibuat untuk tindakan yuridis simbolis melepas sandal (seperti dalam Rut 4: 8). Oleh
karena itu, poin yang dikemukakan mungkin adalah bahwa para kreditor yang tidak bermoral siap untuk
menjual sesama orang Israel yang miskin, bahkan karena hutang yang relatif kecil. 36 Dalam hal ini
laporan ayat 6 berlaku untuk kelas penindas, terutama para hakim dan kreditor yang "menjual orang
benar." Orang-orang yang berkuasa dan berpengaruh ini bersalah karena menerima suap. Mereka
menganggap enteng kelas-kelas tertindas sehingga mereka menerima suap.
Ayat 7
Pada ayat 7 kitab Amos melaporkan kutukan lainnya. Kutukan kedua terhadap Israel
dalam ay. 7 melanjutkan tema yang diperkenalkan oleh ay. 6b, yaitu penindasan terhadap orang
lemah (orang miskin dalam hal ini juga termasuk orang lemah). Menurut data yang diterima dari
ay. 7a1, orang yang kuat dikatakan "menginjak-injak kepala orang yang lemah ke dalam debu
tanah". Dalam klausa berikutnya, gambaran konvensional tentang penaklukan dan kekejaman
(lih. Yes 3:15) diganti dengan metafora lain. Pembaca diberitahu bahwa para penindas
“membelokkan (“ נָטָהnatah”) jalan orang sengsara” (ay. 7a2). Dalam intertekstual yang tepat,
Dalam Amsal 17:23 juga dikatakan bahwa orang jahat menyesatkan (“ )נָטָהjalan keadilan” (lih.
34
Martin A. Sweeney, Berit Olam: The Twelve Prophets Vol. 1: Hosea, Joel, Amos, Obadiah, Jonah, (Minnesota:
Michael Glazier, 2000), 214-215.
35
Göran Eidevall, Amos: A New Translation with Introduction and Commentary, (Connecticut: Yale University
Press, 2017), 114.
36
Jörg Jeremias, The Book of Amos: A commentary, (Kentucky: WJK Press, 1998), 35–36.
Kel. 23:6, sehingga dapat dikatakan bahwa spesifik topic Amos 2:7a adalah hilangnya keadilan
ditengah-tengah bangsa Israel.37
Tuduhan ketiga lebih sulit untuk ditafsirkan. Meskipun pengertian leksikal dari setiap
kata dalam 2:7b sudah diketahui dengan baik, rujukan dari ucapan ini tetap agak kabur.
Dinyatakan bahwa dua orang, ayah dan anak, “pergi ke (yēl˘ekû ˀel)” orang ketiga, yang disebut
“gadis (hannaˤărâ)” (ay. 7b1). Apakah itu kejahatan, setara dengan yang disebutkan sebelumnya?
Mengapa Tuhan, melalui nabi, mencela tindakan sepele seperti cara "mencemarkan nama kudus-
Ku" (ayat 7b2)? Para sarjana telah menghasilkan sejumlah solusi kreatif, termasuk proposal
bahwa naˤărâ ini sebenarnya adalah "istri" peminjam uang 38 atau "nyonya rumah" di sebuah
perjamuan yang melibatkan sekte sinkretis. Bahkan telah dikemukakan bahwa "naˤărâ" adalah
nama sebuah desa (yang sampai sekarang tidak diketahui), Naarah, tempat jamuan makan seperti
itu diadakan.39
Tampaknya lebih baik untuk berasumsi bahwa "na’ărâ," sesuai dengan pengertian
leksikal yang mapan, menunjukkan baik wanita muda (bebas) atau pembantu. Jelas, ucapan
tersebut berfokus pada hubungan antara tiga orang dalam teks ini, yakni pria (muda), ayahnya,
dan naˤărâ tersebut. Lebih lanjut, tampaknya ditekankan, sebagai suatu keanehan, bahwa ayah
dan anak mengunjungi gadis yang sama. Karena ungkapan "pergi/datang ke (bô’el)" sering
merujuk pada hubungan seksual (Kej 6: 4; 16: 2; 30: 3, 4, dll.), Frasa hlkl "pergi ke", mungkin
dianggap hampir setara, atau setidaknya sebagai singgungan pada niat seksual.40
Ayat 8
Pada ay. 8 kitab Amos melaporkan Sulit untuk menentukan apakah ay 8 berisi satu atau
dua muatan. Saya menyarankan bahwa ucapan ini menggambarkan dua aspek berbeda dari satu
skenario: pesta di tempat kudus. Apa yang membuat pesta pora ini secara moral menjijikkan bagi
pembaca pertama mungkin adalah fakta bahwa para peserta, tanpa malu-malu dan berulang kali,
menggunakan barang-barang yang diambil alih untuk kesenangan mereka sendiri. Lebih lanjut,
mereka tampaknya melakukan ini di tempat-tempat yang didedikasikan untuk pemujaan YHWH,
"di samping setiap altar" (ayat 8a1). Kelompok peserta tampaknya termasuk para perampas yang
kejam, yang berbaring di atas pakaian yang disita (ayat 8a), dan hakim yang korup, menikmati
anggur yang diperoleh melalui denda (ayat 8b). Dengan cara ini, tuduhan keempat terhadap
Israel terkait dengan tuduhan pertama (ayat 6b), tentang perbudakan hutang, dan juga tuduhan
kedua (ayat 7a), yang mengutuk korupsi di pengadilan.44
Menurut peraturan yang terdapat dalam Kel 22: 25-26 dan Ulangan 24: 12-13, seorang
kreditur, pada kesempatan tertentu, diizinkan untuk mengambil pakaian milik debitur sebagai
jaminan. Ini mungkin diterapkan hanya ketika pinjaman itu jatuh tempo. 45 Mengenai jubah,
bagaimanapun, secara spesifik dinyatakan bahwa itu harus dikembalikan kepada pemiliknya
sebelum matahari terbenam, dengan alasan sebagai berikut: “karena itu adalah satu-satunya
penutupnya” (Kel 22: 26). Dengan latar belakang itu, perilaku orang-orang yang bersuka ria
yang dijelaskan dalam Amos 2:8a pasti dianggap keterlaluan. Alih-alih mengembalikan jubah
kepada orang miskin yang membutuhkannya sebagai penutup malam, mereka akan berbaring di
atasnya, daripada menggunakan (dan mengotori) milik mereka sendiri.
Bagian kedua dari tuduhan, dalam ay 8b, juga tentang penyalahgunaan sistem hukum.
Anggur yang disajikan pada pesta itu rupanya telah diterima sebagai pembayaran dari penjahat
42
Jörg Jeremias, The Book of Amos: A commentary, 37.
43
Shalom M. Paul, Amos (Hermeneia Series), (Minneapolis: Fortress Press, 1991), 82-83.
44
Jörg Jeremias, The Book of Amos: A commentary, 37.
45
Shalom M. Paul, Amos (Hermeneia Series), 83-85.
yang didenda (atau, dibeli untuk uang yang dibayarkan ke pengadilan). Jelaslah, dosa yang
dikecam dalam ay 8b adalah pengampunan atas biaya publik. Denda dikenakan dalam kasus
pencurian atau cedera, misalnya jika seorang wanita hamil dipukuli begitu parah sehingga dia
mengalami keguguran (Kel 21:22). Tujuan dari sistem semacam itu, tentu saja, terutama untuk
memberi ganti rugi kepada pihak yang dirugikan, bukan untuk mensponsori konsumsi barang
mewah para hakim. Perlu dicatat bahwa motif minum anggur dan penindasan orang miskin
digabungkan juga dalam bagian lain dalam kitab Amos, yang menggambarkan (dan mencela)
gaya hidup orang kaya (4: 1; 5:11; 6: 6) .
Kemungkinan besar untuk menampilkan perilaku yang bahkan lebih menjijikkan, klausa
terakhir menambahkan informasi bahwa minum anggur terjadi di "rumah allah mereka" (ayat
8b2). Tidak mungkin bahwa ungkapan bêt ˘elōhêhem (yang, diakui, mungkin diterjemahkan
"rumah dewa mereka") menyinggung penyembahan dewa-dewa lain. Tuduhan serius seperti
"penyembahan berhala" hampir tidak akan disebutkan hanya sebagai catatan di pinggir. Mungkin
tampak aneh bahwa Tuhan berbicara tentang dirinya sebagai orang ketiga, tetapi ini menciptakan
jarak yang ironis dari para pelakunya46 dan mungkin juga dari tempat kudus, seperti biasanya. 47
Orang yang bersuka ria korup diingatkan, di atas segalanya, bahwa mereka telah menyinggung
tidak hanya sesama orang Israel, tetapi juga Tuhan sendiri. Akibatnya, mereka diberi tahu,
"tuhan mereka" telah menjadi jaksa dan hakim mereka.
Jika bagian 2:6-8 dibaca sebagai satu argumen yang kompleks, tujuan utamanya
tampaknya untuk menunjukkan bahwa sistem keadilan di Kerajaan Utara benar-benar rusak.
Raja Israel tidak disebutkan, tetapi tersirat bahwa dia telah gagal dalam kapasitasnya sebagai
penjamin keadilan. Pada tingkat teologis, kritik ketidakadilan ini dapat menjadi penjelasan atas
malapetaka tahun 722 SM. Jelas, pembaca akan menyimpulkan, Tuhan harus meninggalkan
masyarakat yang korup. Menariknya, penindasan terhadap orang miskin dianggap sebagai
kesalahan utama Israel, bukan pemujaan terhadap dewa lain. Namun, karena nama "Israel"
akhirnya menjadi sebutan juga untuk orang-orang Yehuda, bagian ini mungkin juga dibaca
sebagai kritik atas perlakuan buruk terhadap orang miskin di Yehuda (selama era monarki) atau
di Yehud (selama periode Persia).
46
Shalom M. Paul, Amos (Hermeneia Series), 86.
47
Jörg Jeremias, The Book of Amos: A commentary, 38.
IV.5. Skopus
Penindasan terhadap orang miskin merupakan ketidakadilan sosial dan suatu pelanggaran di hadapan
Tuhan
Jika membaca keseluruhan kitab Amos, banyak tema teologi yang ditawarkan, mulai dari
teologi kekudusan, hingga teologi pembebasan. Pada era postmodern saat ini, Amos lebih
dikaitkan dengan unsur teologi pembebasan didalamnya. 48 Namun terkhusus Amos 2:6-8
menurut hasil analisa penulis, tidak terdapat unsur pembebasan, justru hanya sekedar kritikan
terhadap penindasan akibat kesenjangan sosial yang terjadi. Oleh karena itu penulis lebih
mengarah kepada teologi keadilan sosial terkait dengan Amos 2:6-8.
Teologi Keadilan Sosial berdiri diantara dua kutub teologi, yakni teologi pembebasan,
dan teologi kemakmuran. Dengan kata lain teologi keadilan sosial berdiri sendiri, dengan segala
aspek teologi yang menunjang keadilan sosial untuk berdiri. Dalam hal tersebut, tindakan etis
dan kebenaran menjadi ukuran yang di kedepankan dalam menegakkan Keadilan Sosial.
Manusia sebagai ciptaan sekaligus makhluk istimewa daripada Tuhan, diwajibkan untuk
menegakkan keadilan sebagai bagian dari hakekat Tuhan sendiri. Sehingga keadilan mesti
sejalan dengan kebenaran. Dengan keadilan di dalam kebenaran kita akan mampu menyatakan
kehendak Tuhan, begitu juga sebaliknya. Namun yang mesti diperhatikan disini ialah
bahwasannya keadilan tidaklah sama dengan kesetaraan. Keadilan sendiri secara sederhana
berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya secara proporsional. Sementara kesetaraan
berarti membuat segala sesuatu sama secara absolut tanpa melihat porsi proporsionalnya. Jika
keadilan tersebut dihubungkan pada kasus sosial, dapat dikatakan jika semua tetap berada pada
proporsionalnya. Misalnya dalam kasus sosial yang terdapat pada konteks latar belakang
kehidupan dalam kitab Amos, disebut keadilan jika semua dalam porsi yang pas. Petani bekerja
di ladangnya, pedagang mengurusi barang dagangannya, pemimpin mengatur berjalannya
ekosistem negerinya seimbang. Hal tersebut terlihat sangat teratur, tentram, dan adil, hanya rusak
jika keinginan menguasai ada pada salah satu porsi tersebut.
V. Implikasi
48
John Barton, Old Testament Theology, 177-180.
Dalam keadaan saat ini, Pandemi Covid-19 ini tidak hanya mengakibatkan krisis
kesehatan, tetapi juga berdampak pada perekonomian secara global. Kondisi ini menyebabkan
penurunan tingkat produktivitas dalam segala aspek perekonomian. Guncangan terhadap suplai
juga didorong oleh pembatasan aktivitas fisik (physical distancing) ataupun pembatasan sosial
berskala besar (PSBB) sebagai bagian dari upaya pengendalian penyebaran pandemi. Dua
kebijakan tersebut mengakibatkan banyak pabrik, kantor, dan pusat bisnis ditutup untuk
sementara. Oleh karena itu, banyak yang terkena dampak phk, bahkan orang-orang miskin baru
banyak bermunculan.
Goncangan tersebut tentu menyebabkan kepanikan yang luar biasa bagi masyarakat,
sehingga menyebabkan orang untuk bertindak irasional. Hal tersebut dikarenakan naluri manusia
untuk bertahan hidup muncul seketika, sehingga menyebabkan dirinya akan mengambil segala
tindakan demi kepentingannya, tidak peduli jikalau tindakannya tersebut menindas orang lain.
seperti biasanya, tentu perilaku semacam itu terjadi jika adanya kepanikan masal. 49 Oleh karena
itu ketidakadilan sering dijumpai pada saat-saat seperti ini. Orang-orang akan lebih mudah
menindas satu sama lain dengan dalih bertahan hidup dan tidak lagi mementingkan orang
disekitarnya. kemudian jikalau hal tersebut terjadi maka akan berlaku hukum rimba, yang
bertahan ialah yang terkuat. Maka di mulailah kesenjangan sosial yang amat besar, dimana yang
miskin akan tertindas.
Tentu hal tersebut sudah terjadi pada saat ini. Protocol kesehatan yang diterbitkan oleh
pemerintah Indonesia menganjurkan untuk memakai masker disaat pandemi ini dan hal tersebut
berlaku untuk masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Dengan dalih kesehatan, warga
ditertibkan untuk melaksanakan protokol tersebut, mulai dari sanksi ringan hingga sanksi berat
diberikan kepada warga yang tidak melaksanakannya. Untuk orang-orang kelas menengah ke
atas membeli masker bukanlah suatu masalah. Namun beda cerita jika hal itu dilakukan oleh
orang-orang kelas rendah, dalam hal ini orang-orang miskin. Mereka mesti berpikir dua kali
untuk membeli masker, namun pemerintah tetap mendesak tanpa memberikan solusi atas hal itu.
“yang kami butuhkan itu makan, bukan masker” kira-kira seperti itu seruan orang-orang miskin
saat di edukasi mengenai protokol kesehatan. 50 Hal tersebut ada benarnya juga mengingat obat
49
Michel Foucault, Madness and Civilization: A History of Insanity in Age of Reason (terj.), (Yogyakarta: Ikon
Teralitera, 1988), 234.
50
Rudy W., “Orang Miskin Sulit Diedukasi Menggunakan Masker, dr. Tirta: Sebaiknya 2M Dulu” dalam
https://www.kompasiana.com/ (disadur pada 06 Oktober 2020 pukul 19.35 WIB).
dari virus ialah imun tubuh yang kuat, sementara imun tubuh yang kuat didapatkan dari makanan
yang cukup dan sehat.
Bukan hanya itu, keadaan makin parah setelah beberapa saat yang lalu DPR-RI
meresmikan UU cipta lapangan kerja. Padahal berdasarkan beberapa kritik, UU cipta lapangan
kerja berpotensi sangat besar untuk menindas kaum buruh atau tani.51 Kedua hal tersebut tampak
jelas merupakan penindasan terhadap orang-orang lemah dan miskin. Sehingga menurut Amos
2:6-8, hal seperti inilah yang perlu di kritisi dan dihadapi, namun bukan dengan tindakan anarki
yang ingin menang sendiri, juga bukan tindakan pasrah yang hanya diam menunggu Tuhan turun
mengatasinya. Namun dengan sikap yang bijak, dengan mencari kebenarannya, karena pada
dasarnya kedilan dan kebenaran itu saling terhubung.
51
Andri Fransiskus Gultom dan Marsianus Reresi, "Kritik Warga Pada RUU Omnibus Law Dalam Paradigma
Critical Legal Studies" dalam Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Vol. 10, Nomor 1, (Mei 2020), 38-46.