Anda di halaman 1dari 2

BAHAN SERMON EVANGELIUM

HKBP RESORT YOGYAKARTA DISTRIK XVIII JABARTENGDIY


Minggu X Setelah Trinitatis, 13 Agustus 2023
Topik: “Menjadi Berkat Di Dalam Tuhan”
Ev. Kejadian 39:1-5 Ep. Matius 8:5-13

PENGANTAR
Salah satu sifat manusia yang mengancam relasi dan persekutuan ialah sifat iri hati atau kecemburuan
(pangiburuon). Kecemburuan membuat mata kita tertutup, tidak dapat membedakan yang benar dan salah, bahkan
membuat lupa diri. Orang Batak menyebutnya dengan “HOTEL” (hosom, teal, elat, dan late) yang acapkali terjadi
dalam kehidupan kita, dan itulah yang dialami oleh Yusuf dan saudara-saudaranya. Kita terjebak dalam siklus
kehidupan “balas dendam” yang telah kita anggap sebagai hukum alam, di mana apabila kita dilukai, maka kita
harus membalasnya (mate uluna mangalbasi ihurna). Demikian Yusuf adalah korban kecemburuan kakak-
kakaknya. Namun, hal yang unik ialah meskipun Yusuf terbuang sebagai budak di negeri orang, ia tidak pernah
berniat untuk membalas kejahatan saudaranya apalagi memikirkannya. Melalui sikap tersebut, Allah semakin
memberkatinya dalam pekerjaannya dan bahkan menjadi berkat bagi orang lain dan saudara-saudaranya.
Mungkinkah seorang budak belian (eved) menjadi berkat di tanah orang lain? Mengutip buku Darwin
Lumbantobing, bagaimanakah menyanyikan nyanyian Tuhan di negeri asing?

PENJELASAN NAS
ay. 1. Yusuf dijual dan dibawa oleh orang Ismael ke Mesir untuk menjualnya kembali dengan harga yang lebih
mahal, lebih dari 20 syikal perak. Dalam Kej. 37: 28, 36, disebutkan juga Yusuf dijual ke orang Midian.
Namun, baik orang Ismail maupun orang Midian keduanya adalah keturunan Abraham yang telah
mengembara jauh dari tanah kelahiran mereka (parhuta na dao).1 Mesir pada saat itu menjadi pusat dari
kehidupan Timur Dekat Kuno yang telah memiliki peradaban masyarakat yang sangat maju baik dalam
ilmu pengetahuan maupun perdagangan (abad ke-16). Wajar saja, Mesir menjadi tempat penampungan dan
perputaran budak yang cukup besar.
ay. 2-3. Seorang budak/ hamba (eved, dari kata kerja avad yang artinya mengabdi) tidak mungkin tinggal di rumah
tuannya. Rumah adalah tempat anak dan anggota keluarga berada. Maka adalah suatu kehinaan bagi tuan
yang memiliki status terpandang apabila bersentuhan apalagi tinggal bersama hambanya. Sebab hamba
adalah status sosial yang tetap melekat, sebagai properti tuannya yang diperjual belikan dan tidak memiliki
hak sebagaimana manusia atas dirinya sendiri.2 Rumah adalah harta yang paling berharga yang sifatnya
privat. Menyambut seseorang (manamue) dalam rumah saja adalah suatu kehormatan, apalagi bila diizinkan
tinggal di dalamnya. Demikian Yusuf mengalami reposisi status yakni tidak hanya sekadar sebagai hamba,
tetapi juga bagian dari keluarga Potifar. Tindakan Potifar yang radikal ini menembus sistem sosial tuan-
hamba yang ada. Hal ini terjadi karena ia melihat siapa yang berperan di dalam Yusuf (ay. 3). Potifar
menyadari bahwa Yusuf memiliki relasi yang sangat dalam dengan Tuhan, sehingga ia memandang Yusuf
tidak sekadar sebagai hamba kepunyaannya tetapi sebagai hamba Tuhan yang jauh lebih besar darinya.
Potifar mampu melihat Tuhan melalui Yusuf, bahwa Tuhan menyertai Yusuf dalam keberhasilan setiap
pekerjaannya. Potifar menunjukkan solidaritasnya kepada hambanya Yusuf bukan sekadar karena apa yang
Yusuf kerjakan, tetapi ia juga menyadari apa yang Tuhan berikan kepadanya melalui Yusuf.
ay. 4-5. Yusuf tidak hanya tinggal bersama tuannya, tetapi mendapatkan hati tuannya. Yusuf mendapat perhatian
penuh dari Potifar dan menjadi pelayannya. Kata “melayani” (syarat) lebih tinggi dari kata “mengabdi”
(avad) dalam bahasa Ibrani, sehingga ini menunjukkan perubahan dari hamba menjadi pelayan, dari
mengabdi menjadi melayani. Yusuf mendapatkan hak dan wewenang yang sangat besar atas seluruh harta
milik Potifar. Bagi orang Batak, seluruh harta milik orangtua (ugasan) biasanya diserahkan kepada anak,
dan secara khusus rumah kepada anak laki-laki paling bungsu (siampudan). Demikian juga Yusuf yang
secara personal telah dianggap sebagai anak, namun sekaligus secara struktural berstatus sebagai pelayan.
Inilah kemudian yang mengingatkan Yusuf agar tetap mawas diri dan tidak mempergunakan wewenang
yang diberikan Potifar kepadanya dengan sesuka hatinya. Sekalipun ia diberkati Tuhan dan menjadi pelayan
yang dipercayakan Potifar, ia tetap mengetahui kapasitasnya. Melalui kisah Yusuf ini terlihat, bahwa relasi
yang baik dengan Tuhan akan menciptakan relasi yang baik dengan sesama, bahkan sekalipun dalam relasi
struktural.

1 “Ismael” adalah sinonim dari “Midian.” Keduanya adalah sebutan umum terhadap keturunan Abraham yang mengembara. Ismael
diturunkan dari Hagar (Kejadian 16), seorang budaknya. Orang Midian merupakan keturunan Midian, seorang anak laki-laki Abraham dari
gundiknya Ketura (Kejadian 25:1-2).
2
Dalam tradisi imam Yahudi, muncullah solidaritas terhadap budak dengan menghadirkan sistem Tahun Sabat dan Yobel (bnd. Imamat 25).
Secara personal, seorang budak dapat dibebaskan dari statusnya melalui seorang pembebas (go’el); sedangkan secara komunal, kini budak
dapat dibebaskan dalam siklus tahun kelimapuluh (Yobel).
Bahan Sermon Evangelium, 13 Agustus 2023 1
POIN REFLEKSI & DISKUSI
1. Menjadi berkat.
Yusuf adalah seorang hamba di tempat yang ia tidak kenal. Namun, relasinya dengan Tuhan mempengaruhi
hidupnya dan orang-orang di sekitarnya. Ia menjadi berkat bagi tuannya bahkan bangsa tuannya, meskipun Potifar
bukanlah seorang keturunan Abraham. Demikian genaplah janji berkat Allah kepada Abraham (Kej. 12:2-3), bahwa
keturunannya akan menjadi bangsa yang besar dan olehnya bangsa lain mendapatkan berkat. Menjadi berkat
“parhitean ni pasupasu” adalah mandat dari Allah yang tidak bisa dikompromikan. Persoalannya ialah, apakah kita
bersedia? Jikalau pun belum bisa menjadi berkat, setidaknya tidak menjadi batu sandungan atau menghambat berkat
Allah kepada orang lain. Sebab, Allah tidak pernah memilih-memilih orang berdasarkan status atau kemampuannya,
tetapi karena kesediaan hatinya. Bahkan, acapkali Allah justru menghadirkan berkatNya melalui orang-orang kecil
yang tidak diperhitungkan.3
Setiap kita dipanggil untuk menjadi berkat. Namun nyatanya, tidak semua mampu memahami dan
menikmati berkat dengan benar. Berkat atau pasupasu, barakh (Ibrani) atau eulogia (Yunani), selalu bersifat ke
luar. Berkat tidak pernah memikirkan apa yang akan kita dapat, tetapi apa yang dapat kita beri. Berkat dan
pengutusan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Itu sebabnya ketika Yesus hendak mengutus murid-muridNya,
Ia terlebih dahulu memberkati mereka. Maka, menjadi berkat adalah orang-orang yang diutus untuk “memberi”
kepada yang lain, meskipun juga tidak abai terhadap apa yang ada pada dirinya (mengetahui porsinya). Ibarat gaya
sentrifugal (dalam Fisika), semakin bergerak cepat maka ia akan semakin ke luar menjauhi sumbu atau titik
lingkaran. Demikian juga semakin kita menjadi berkat, maka kita akan semakin memikirkan apa yang bisa kita
berikan kepada orang lain. Fokusnya tidak lagi dirinya sendiri, melainkan orang lain dalam relasi sesama subjek
dan bukan subjek-objek. Untuk inilah kita terpanggil, sebagaimana juga HKBP dalam visinya “menjadi berkat bagi
dunia”.

2. Loyalitas dan solidaritas adalah parhitean pasupasu ni Debata.


Ketaatan dan totalitas hidup Yusuf kepada atasannya menjadikannya sebagai orang yang dipercayakan.
Sebab, tidak mudah untuk mendapatkan kepercayaan seseorang, apalagi menjaganya. Kepercayaan adalah harta
berharga yang juga adalah pemberian Allah. Yusuf menjadi orang kepercayaan, mulai dari hal kecil hingga hal besar
(haposan). Sebagaimana juga dalam Lukas 16:10a disebutkan “ia haposan halak di na ummotik, haposan ma ibana
nang di na godang”. Yusuf melakukan segala pekerjaannya untuk Tuhan dengan profesional dan itulah yang
menjadikannya berhasil.4 Namun loyalitas saja pun tidak cukup, kita juga membutuhkan solidaritas. Solidaritas
adalah sikap setia kawan atau perasaan solider terhadap yang lain. Sikap solidaritas itu melampaui persoalan
struktural. Jikalau loyalitas cenderung berbicara tentang bagaimana seorang hamba setia terhadap tuannya,
solidaritas berbicara bagaimana seorang tuan peduli terhadap hambanya. Itulah yang tampak dalam epistel (Mat.
8:5-13), di mana seorang perwira yang bukan Yahudi memohon agar Yesus menyembuhkan hambanya. Perwira
tersebut menyadari posisi dan kapasitasnya di hadapan Yesus (ay. 9, sebab aku sendiri seorang bawahan..),
sehingga Yesus takjub dan memuji imannya di hadapan orang banyak Yahudi yang meyakini statusnya sebagai
bangsa pilihan Allah. Maka, melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh serta menikmati apa yang kita kerjakan
sebagai pemberian Tuhan juga adalah berkat Tuhan, sembari saling memperhatikan satu dengan yang lain.

Amin. Tuhan Yesus Memberkati. CPdt. APS

Referensi Bacaan:
❖ Darwin Lumbantobing, “Reposisi Pekabaran Injil: Bagaimanakah Menyanyinyan Nyanyian Tuhan di Negeri Asing?”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019.
❖ Yohanes Suprandono, “Reinterpretasi Sabat: Pendekatan Teologi Perjanjian Lama Posmodern dalam Dialog Perbudakan Modern Perdagangan Manusia”, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2021.
❖ Emmanuel G Singgih, “Garis Besar Teologi-teologi Perjanjian Lama: Berdialog antara Teks & Konteks”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2023.

Catatan.

3
Dalam budaya Yahudi, orang-orang yang termarginalkan umumnya ialah orang miskin (ani, ebyon), janda (almana), yatim piatu (yatom),
hamba (eved, doulos), secara khusus perempuan dan anak-anak dalam konteks Yunani.
4 Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Diberkatilah orang

yang mengandalkan Tuhan , yang menaruh harapannya pada Tuhan (Kolose 3:23; Yeremia 17:7)
Bahan Sermon Evangelium, 13 Agustus 2023 2

Anda mungkin juga menyukai