Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Multi-Drug Resistance dalam pengobatan TB menjadi masalah kesehatan masyarakat di


sejumlah negara dan merupakan hambatan terhadap program pengendalian TB secara global.
Kekebalan kuman TB terhadap OAT sebenarnya telah muncul sejak lama. Kekebalan ini dimulai
dari yang sederhana yaitu monoresisten, poliresisten, sampai dengan MDR dan extensive drug
resistance (XDR).

Menurut WHO, saat ini Indonesia menduduki peringkat ke delapan jumlah kasus MDR TB
dari 27 negara. Oleh karena itu, penegakan diagnosis lebih dini, pencegahan TB MDR dan
penatalaksanaan yang adekuat perlu dilakukan agar TB MDR dapat diatasi.

B. Tujuan dan Manfaat Modul

Dari proses pembelajaran di modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan


mengenai definisi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan, dan prognosis dari TB-MDR.

1
BAB II
ISI

SKENARIO
Bapak T, usia 65 tahun, alamat Bukit Indah, Samarinda, adalah seorang pasien TB paru
yang sedang dalam pengobatan dengan panduan OAT kategori 1 dan berobat teratur di
Puskesmas Lempake. Pada bulan ke-5 pengobatan ternyata pemeriksaan sputum menunjukkan
BTA positif. Bapak T kemudian dirujuk ke RSUD AWS. Setelah dilakukan pemeriksaan sputum
dengan Gene Xpert, hasilnya ternyata Mycobacterium Tuberculosis dalam sputum Bapak T
ternyata sudah resisten terhadap Rifampisin. Oleh dokter yang merawatnya bapak T kemudian
dikategorikan sebagai penderita TB MDR.

STEP 1. IDENTIFIKASI ISTILAH


1. Gen xpert : Merupakan tes diagnosis cepat bakteri TB yang resisten terhadap
rifampisin, menggunakan dahak.
2. TB MDR : Multi Drug Resistance, terjadi akibat mutasi gen, dimana pengobatan tidak
teratur, yang termasuk dengan MDR, apabila seseorang resisten minimal terhadap INH dan
Rifampisin.
3. Rifampisin : Obat anti TB bakterisidal.
4. OAT Kategori 1 : Bagian dari lini 1 pengobatan TB.

STEP 2. IDENTIFIKASI MASALAH


1. Mengapa tes BTA bulan ke 5 positif ?
2. Kenapa bisa resisten terhadap rifampisin ?
3. Apa saja jenis resisten ?
4. Mengapa sudah minum obat teratur tetapi mengalami MDR ?
5. Apa yang membuat dokter mendiagnosis MDR ?
6. Apa saja kriteria TB MDR ?
7. Apa bisa resisten terhadap obat lain ?
8. Apa saja pemeriksaan untuk TB MDR ?

2
9. Bagaimana pencegahan TB MDR ?
10. Apa pencetus TB MDR ?

STEP 3. ANALISA MASALAH


1. Pada 2 bulan pengobatan umumnya tes BTA seseorang negatif, namun bisa saja ada kuman
yang tersembunyi atau dalam hal ini dorman sehingga positif pada bulan ke 5. Kuman
dorman ini tidak sensitif terhadap obat TB, sehingga pada kemudian hari ia aktif dan
membuat tes BTA positif.
2. Bisa karena pasien merasa sembuh sehingga menghentikan pengobatan. Bisa juga karena
petugas kesehatan yang lalai, lalu ketersediaan obat yang terbatas, serta pasien itu sendiri
tertular oleh seseorang yang mengalam TB MDR.
3. Jenis :
 Mono Drug Resistance : Resisten terhadap satu obat
 Poly Drug Resistance : Resisten terhadap dua obat selain INH dan Rifampisin
 Rifampisin Resistance : Resisten rifampisin
 Multi Drug Resistance : Resisten minimal terhadap Rifampisin dan INH
 Excessive Drug Resistance : Seperti MDR ditambah satu obat golongan
flouroquinolon dan sedikitnya salah satu obat OAT lini 2
 Total Drug Resistance : Resisten terhadap seluruh obat
4. Bisa saja dia tertular oleh seseorang yang mengalami TB MDR, mengalami gangguan
absorpsi, atau sedang mengalami TB-HIV yang dimana obatnya saling menghambat satu
sama lain.
5. Dari gen xpert dapat dipastikan apa seseorang resisten terhadap rifampisin atau tidak. Bila
seseorang positif resisten rifampisin setelah dilakukan gen xpert, dilakukan lagi
pemeriksaan uji kepekaan OAT atau DST (Drug Sensitivity Test) untuk menentukan
apakah seseorang hanya TB RR, TB MDR, TB pre XDR, atau TB XDR.
6. Kriterianya :
 Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
 Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak dikonversi setelah 3 bulan pengobatan
 Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan

3
 Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
 Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan
 Pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan 2
 Pasien TB yang kembali setelah loss to follow up
 Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR
 Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT
7. Tentu bisa bila pemakaian tidak teratur. Tidak ada 1 obat yang ampuh, jadi perlu dilakukan
kombinasi untuk menghindari resisten.
8. Sama seperti nomor 5.
9. Ikuti pengobatan yang teratur serta hindari kontak dengan TB MDR. Ikuti juga pola FDC
dan DOTS.
10. Penatalaksanaan tidak sesuai dengan ISTC :
Komitmen Politik
 Ketidakteraturan supply OAT
 Bahan/Reagen lab tidak tersedia
 Pemeriksaan lab tidak sesuai standar
 Belum ada regulasi peredaraan OAT di pasar obat
Petugas Kesehatan
 Diagnosis tidak tepat
 Pengobatan tidak menggunakan panduan yang tepat
 Dosis, jenis, jumlah obat, dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat
 Penyuluhan pasien tidak adekuat
Pasien
 Tidak mematuhi anjuran
 Tidak teratur mengikuti panduan OAT
 Menghentikan sebelum waktunya
 Gangguan penyerapan obat

4
STEP 4. STRUKTURISASI

STEP 5. LEARNING OBJECTIVE


1. Menjelaskan Tentang TB-MDR

STEP 6. BELAJAR MANDIRI

Pada step ini, kami belajar mandiri untuk mempersiapkan DKK 2. Menggunakan sumber
yang terpercaya seperti, text book, menanyakan pada narasumber, dan jurnal terpercaya.
5
STEP 7. SINTESIS
Learning Objective I
TB MDR

Definisi
TB-MDR adalah TB dengan resistensi ganda dimana basil M. tuberculosis resisten terhadap
rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya.
TB-MDR dapat dibagi menjadi 2 yaitu Primer dan Sekunder
1. Resistensi Primer resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapatkan
OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnnya pada pasien-pasien
dengann positive HIV.
2. Resistensi Sekunderresistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya
sensitive obat.

Epidemiologi
Pada tahun 1992 WHO mencanangkan tuberculosis sebagai “Global Emergency” .
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberculosis dan menurut regional WHO
jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di
dunia, bila dilihat dari jumlah penduduk maka terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.
Di Indonesia TB menduduki peringkat ke 3 dengan prevalensi tertinggi di dunia setelah
Cina dan India. Kematian karena TB ini terutama terjadi di Negara-negara berkemban.
Di Indonesia TB menduduki peringkat ke-3 sebagai penyebab kematian.

Etiologi
Basil mengalami mutasi resisten terhadap satu jenis obat yang mendapatkan terapi OAT
tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya
satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang
sensitive terhadap basil tersebut (indirek monoterapi).
Mutasi baru dalam pertumbuhan basil menyebablan resistensi obat yang banyak bila
terapi yang tidak adekuat terus berlanjut. Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat
menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer.

6
Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih
cepat, adanya prosedur control infeksi yang tidak adekuat, dan terlambatnya penegakkan
diagnostic.
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu:
- Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis
- Penggunaan panduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di
lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan,
misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah denngan resistensi terhadap
kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
- Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu
berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter mendapat obat kembali
selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, dan seterusnya.
- Fenomena “additional syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu panduan
pengobbatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada panduan yang opertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat
hanya akan menambah penjangnya daftar obat yang resisten.
- Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga
mengganggu bioavaibilitas obat
- Penyediaan obbat yang tidak regular, kadang-kadang terhenti pengirimannnya sampai
berbulan-bulan.

Patomekanisme resistensi
Ungkapan terhadap “tahap MDR” pada mikrobakteriologi mengarah pada resisten secara
simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa resistensi pada obat anti
tuberkulosis lainnya). Analisa secara genetik dan molekuler pada mikobakterium tiberkulosis
menjelaskan bahwa mekanisme resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap
target obat atau oleh titrasi dari obat akibat overproduksi dari target. MDR TB menghasilkan secara
primer akumulasi mutasi gen target obat pada individu.

A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)

7
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air sehingga
mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat sintesis dinding
sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui
jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase peroksidase.
Mutasi mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid terjadi secara spontan
dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh
adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2
gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya
aktivitas katalase dan peroksidase.

B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin


Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang bekerja
sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler . Obat ini menghambat sintesis RNA dengan
mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA.
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif,
mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada semua
populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih 12. Resistensi terhadap rifampisin
ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase
tergantung DNA. Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari
mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation)
tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manuisia tidak
terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan
frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya
perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA
polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut.

C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide


Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai bakterisid
jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri
tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak

8
berefek atau hanya sedikit ber efek. Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara
lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat
tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat.
Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas pyrazinamidase
sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus
resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan
pyrazinamidase.

D. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol


Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada
mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme
utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi
arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel.
Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi missense
pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada
70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada
sekitar 90% kasus.

E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin


Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces
griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi
ribosomal14. Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah
diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs)
atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada
ikatan streptomysin ribosomal14. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah
diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs
sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi
mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap
streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin.

9
Diagnosis MDR TB
Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap
positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa
gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten
obat, yaitu 1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak
sesuai standar terapi; 2) Kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau kambuh;
4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB.
Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang
adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan
sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas
terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai .
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi resistensi
obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan
M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk
mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode
terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik
khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan
sebagai petanda TB resisten khususnya pada suasana dengan prevalensi TB resisten tinggi.
Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah
diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin

Pengobatan TB MDR
a. OAT untuk pengobatan TB MDR.
Pengobatan pasien TB MDR menggunakan paduan OAT yang terdiri dari OAT lini
pertama dan lini kedua, yang dibagi dalam 5 kelompok berdasar potensi dan efikasinya, yaitu:

10
Tabel 6. Pengelompokan OAT

b. Paduan obat TB MDR di Indonesia


Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan terstandar, yang pada permulaan
pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR (standardized treatment).
Adapun paduan yang akan diberikan adalah :

11
Km – Eto – Lfx – Cs – Z-(E) / Eto – Lfx – Cs – Z-(E)

1) Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris.
2) Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.
Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4
bulan setelah terjadi konversi biakan. Apabila hasil pemeriksaan biakan bulan ke-8 belum
terjadi konversi maka disebut gagal pengobatan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan
OAT tanpa suntikan setelah menyelesaikan tahap awal.
3) Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resistan atau riwayat penggunaan sebelumnya
menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistansi terhadap etambutol.
4) Paduan OAT akan disesuaikan paduan atau dosis pada:
 Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid Test, setelah ada
konfirmasi hasil uji resistansi M.tuberculosis dengan cara konvensional, paduan
OAT akan disesuaikan.
 Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya sehingga
dicurigai telah ada resistansi, misalnya :
Pasien sudah pernah mendapat kuinolon pada pengobatan TB sebelumnya, maka
diberikan levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resistan terhadap
levofloksasin maka paduan pengobatan ditambah PAS dan levofloxacin diganti
dengan moksifloksasin, hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan dan
persetujuan dari tim ahli klinis atau tim ad hoc.
 Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat
diidentifikasi sebagai penyebabnya.
 Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi biakan. Hal-
hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk, produksi dahak, demam,
penurunan berat badan.
5) Penentuan perpindahan ke tahap lanjutan ditentukan oleh TAK
6) Jika terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar disesuaikan sebagai
berikut:

Cm – Lfx – Eto –Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

12
7) Jika terbukti resistan terhadap kuinolon, maka paduan standar disesuaikan sebagai berikut:

Km – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)

8) Jika moxifloksasin tidak tersedia maka dapat digunakan levofloksasin dengan dosis tinggi.
Pada penggunaan levofloksasin dosis tinggi harus dilakukan pemantauan ketat terhadap
kondisi jantung pasien dan kemungkinan terjadi tendinitis/ rupture tendon.
9) Jika terbukti resistan terhadap kanamisin dan kuinolon (TB XDR), atau pasien TB
MDR/HIV memerlukan penatalaksanaan khusus yang akan dibahas dalam bab VII.

c. Pemberian obat
1) Pada fase awal : Obat per oral ditelan setiap hari (7 hari dalam 1 minggu), Suntikan
diberikan 5 (lima) hari dalam seminggu (senin – jumat).
2) Pada fase lanjutan : Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari dalam seminggu (hari minggu
pasien tidak minum obat).
3) Obat suntikan harus diberikan oleh petugas kesehatan.
4) Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut
prinsip DOT = Directly Observed Treatment, dengan PMO diutamakan adalah tenaga
kesehatan atau kader kesehatan terlatih.
5) Piridoxin (vit. B6) ditambahkan pada pasien yang mendapat sikloserin, dengan dosis 50 mg
untuk setiap 250 mg sikloserin.
6) Berdasar sifat farmakokinetiknya pirazinamid, etambutol danfluoroquinolon diberikan
sebagai dosis tunggal. Sedang etionamid, sikloserin dan PAS dapat diberikan sebagai dosis
terbagi untuk mengurangi efek samping.
Catatan : Untuk mengurangi kejadian efek samping obat maka pada awal pemberian OAT
bisa dilakukan ramping/ incremental dose selama maksimal 1 minggu.
d. Dosis OAT
1) Dosis OAT ditetapkan oleh TAK dan diberikan berdasarkan berat badan pasien. Penentuan
dosis dapat dilihat tabel 7.

13
2) Obat TB MDR akan disediakan dalam bentuk paket (disiapkan oleh petugas farmasi
fasyankes Rujukan TB MDR untuk 1 bulan mulai dari awal sampai akhir pengobatan sesuai
dosis yang telah dihitung oleh TAK. Jika pasien diobati di fasyankes Rujukan TB MDR
maka paket obat yang sudah disiapkan untuk 1 bulan tersebut akan di simpan di Unit TB
MDR fasyankes Rujukan TB MDR.
3) Jika pasien meneruskan pengobatan di fasyankes sub rujukan/ satelit TB MDR maka paket
obat akan diambil oleh petugas farmasi fasyankes sub rujukan/ satelit TB MDR dari unit
farmasi fasyankes Rujukan TB MDR setiap 3 bulan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasien
tidak diijinkan untuk menyimpan obat.
4) Perhitungan dosis OAT dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7. Perhitungan dosis OAT MDR

14
e. Pengobatan ajuvan pada TB MDR
Pengobatan ajuvan akan diberikan bilamana dipandang perlu:
1) Nutrisi tambahan :
 Pengobatan TB MDR pada pasien dengan status gizi kurang, keberhasilan
pengobatannya cenderung meningkat jika diberikan nutrisi tambahan berupa protein,
vitamin dan mineral (vit A, Zn, Fe, Ca, dll).
 Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon karena akan
mengganggu absorbsi obat, pemberian masing – masing obat dengan jarak paling
sedikit 2 jam sebelum atau sesudah pemberian fluorokuinolon.
2) Kortikosteroid.
Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan gangguan respirasi berat, gangguan
susunan saraf pusat atau perikarditis. Kortikosteroid yang digunakan adalah Prednison 1
mg/kg, apabila digunakan dalam jangka waktu lama (5-6 minggu) maka dosis diturunkan
secara bertahap (tappering off). Kortikosteroid juga digunakan pada pasien dengan
penyakit obstruksi kronik eksaserbasi.

4. Tahapan Pengobatan TB MDR

15
a. Tahap awal
Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan menggunakan obat suntikan
(kanamisin atau kapreomisin) yang diberikan sekurangkurangnya selama 6 bulan atau 4
bulan setelah terjadi konversi biakan.
1) Tahap rawat inap di Rumah Sakit
TAK menetapkan pasien perlu rawat inap atau tidak. Bila memang diperlukan, rawat inap
akan dilaksanakan maksimal 2 minggu dengan tujuan untuk mengamati efek samping obat
dan KIE yang intensif. Pada pasien yang menjalani rawat inap, TAK menenentuan
kelayakan rawat jalan berdasarkan:
 Tidak ditemukan efek samping pengobatan atau efek samping yang terjadi dapat
ditangani dengan baik.
 Keadaan umum pasien cukup baik.
 Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan jadwal suntikan sesuai dengan
pedoman pengobatan TB MDR.
Penentuan tempat pengobatan
Sebelum pasien memulai rawat jalan, TAK menetapkan fasyankes untuk
meneruskan pengobatan. Bila rawat jalan akan dilaksanakan di fasyankes satelit/sub
rujukan TB MDR, TAK membuat surat pengantar ke fasyankes tujuan.
Catatan:
Harus diusahakan desentralisasi pengobatan pasien TB MDR ke fasyankes satelit, karena
bila kegiatan telah berjalan sebagai kegiatan rutin, fasyankes Rujukan TB MDR tidak akan
dapat melayani pasien dengan optimal setiap hari dalam jumlah banyak, karena
keterbatasan tempat, waktu dan sumber daya.
2) Tahap rawat jalan
Selama tahap awal baik obat suntikan dan obat minum diberikan oleh petugas
kesehatan di hadapan PMO kepada pasien. Pada tahap rawat jalan obat oral ditelan
dihadapan petugas kesehatan/ kader kesehatan yang berfungsi sebagai PMO.
a) Pasien mendapat obat oral setiap hari, 7 hari seminggu (Senin s/d Minggu)
Suntikan diberikan 5 hari dalam seminggu (Senin sd Jumat). Pasien menelan obat
di hadapan petugas kesehatan/PMO.

16
b) Seminggu sekali pasien diupayakan bertemu dokter di fasyankes untuk
berkonsultasi dan pemeriksaan fisik.
c) Pasien yang diobati di fasyankes satelit akan berkonsultasi dengan dokter di
fasilitas rujukan minimal sekali dalam sebulan (jadwal kedatangan disesuaikan
dengan jadwal pemeriksaan dahak atau pemeriksaan laboratorium lain).

b. Tahap lanjutan
1) Tahap lanjutan adalah tahap pengobatan setelah selesai pengobatan tahap awal dan
pemberian suntikan dihentikan.
2) Konsultasi dengan dokter dilakukan minimal sekali setiap bulan.
3) Pasien yang berobat di fasyankes satelit akan mengunjungi fasyankes Rujukan TB MDR
setiap 2 bulan untuk berkonsultasi dengan dokter (sesuai dengan jadwal pemeriksaan dahak
dan biakan).
4) Obat tetap disimpan fasyankes, pasien minum obat setiap hari di bawah pengawasan
petugas kesehatan yang bertindak sebagai PMO.
5) Indikasi perpanjangan pengobatan sampai dengan 24 bulan berdasar adanya kasus kronik
dengan kerusakan paru yang luas.
Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling sedikit 18 bulan setelah
terjadi konversi biakan.

Prognosis
Dengan tatalaksana yang benar dan kepatuhan minum obat dari pasien maka prognosis
baik.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
TB MDR adalah dimana basil M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan
isoniazid, dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya. TB MDR dapat berupa resistensi
primer dan resistensi sekunder. TB MDR terjadi karena adanya resistensi OAT dengan
mekanisme seperti yang telah dijelaskan diatas, Tuberkulosis paru dengan resistensi
dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau
kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Dasar pengobatan terutama untuk
keperluan membuat regimen obat-obat anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB
menjadi 5 kelompok berdasarkan potensi dan efikasinya. Terapi pembedahan juga dapat
menjadi pilihan terapi dengan indikasi seperti yang telah dijelaskan diatas.

B. Saran
Hendaknya mahasiswa belajar lebih dalam tentang materi pada modul ini.
Mahasiswa diharap memahami dengan baik cara mendiagnosis TB MDR dan mampu
melakukan penatalaksanaannya dengan baik, karena TB MDR merupakan salah satu
masalah kesehatan yang cukup sulit dan penting untuk ditangani dengan baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan


Lingkngan.2014. Pemdoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Nofriyanda. 2010. Analisis Molekuler Pada Proses Resistensi Mikobakterium Tuberkulosis
Terhadap Obat – Obat Anti Tuberkulosis. Padang : Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas
Soepandi, P. Z. 2008. Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya TB-MDR. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

19

Anda mungkin juga menyukai