Laporan Manajemen TB
Laporan Manajemen TB
DISUSUN OLEH:
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Di Sulawesi Tengah sendiri berdasarkan jumlah penduduk diperkirakan kasus TB BTA
positif dimasyarakat pada tahun 2011 sekitar 4.856 orang. Pada tahun 2011 ditemukan 2.807
kasus yang menandakan CDR hanya 57,80%. Angka CDR Propinsi masih dibawah 70%.
Berbagai upaya-upaya yang dilakukan, salah satunya promosi secara aktif, pendekatan
pelayanan terhadap pelayanan kesehatan yaitu memaksimalkan Puskesmas Pembantu dan
Bidan Desa untuk mendekatkan pelayanan TB di masyarakat terpencil.
Pada area kerja puskesmas tipo pada tahun 2011 terdapat 4 orang penderita TB paru
BTA positive dan 98 orang BTA negative. Pada tahun 2012 terdapat 9 kasus BTA positif dan
43 kasus bta negative. Tahun 2013 terdapat 5 orang penderita BTA positive dan BTA
negative 49. Tahun 2014 terdapat 7 penderita BTA positif 59 BTA negative. Tahun 2015
terdapat 14 kasus BTA positive dan 37 kasus BTA negatif. Namun, data pada kasus ini tidak
digambarkan secara spesifik jumlah kasus pada anak. Pada tahun 2016 dari bulan januari
hingga bulan Desember tercatat 3 kasus kejadian TB pada anak, dan pada tahun 2017 data
bulan Januari hingga Mei tercatat 2 kasus kejadian TB pada anak.
2. Apa saja permasalahan yang menjadi kendala dalam mencapai target cakupan P2TB Paru
di Puskesmas Tipo?
3
BAB II
PERMASALAHAN
4
Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan, maka tugas puskesmas dibagi ke
dalam beberapa program dengan masing-masing program memiliki cakupan kegiatan
masing-masing. Beberapa program tersebut:
1. Program Kesehatan Lingkungan
2. Program KIA dan Keluarga Berencana
3. Program Promosi Kesehatan
4. Program Gizi
5. Program Pencegahan Penyakit Menular (P2M)
6. Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat
7. Program Kesehatan Jiwa
8. Program Pelayanan Kesehatan Gigi
9. Program Penyakit Tidak Menular
10. Program Kesehatan Olahraga
11. Program Kesehatan Lansia
12. Program Keselamatan Kerja
2.2.Penyakit TB Paru
Penyakit TB Paru merupakan salah satu masalah kesehatan kelompok usia kerja
produktif, kelompok ekonomi lemah dan berpendidikan rendah. Kegiatan pemberantasan
penyakit TB Paru seperti tahun sebelumnya mengacu pada program DOTS (Directly
Observed Treatment Short Course), yang artinya pengobatan jangka pendek dengan
pengawasan langsung.
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB.
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang orang tubuh
lain. TB pada anak terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Di Negara-negara berkembang
jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi
umum dan terdapat sekitar 500.000 anak didunia menderita TB setiap tahun.
Proporsi kasus TB anak di Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,4% , kemudian
menjadi 8,5% pada tahun 2011, 8,2% pada tahun 2012, 7,9% pada tahun 2013, 7,16%
pada tahun 2014 dan 9 % ditahun 2015. Variasi populasi ini mungkin menunjukan
endemisitas yang berbeda antar provinsi, tetapi bias juga karena perbedaan kualitas
diagnosis TB anak pada level provinsi.
Factor risiko penularan TB pada anak sama halnya dengan penularan TB pada
umumnya, tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan dan daya tahan tubuh. Pasien
5
TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan yang lebih besar
dibandingkan dengan pasien yang BTA negative.
6
Kegiatan-kegiatan penanggulangan TB Paru tersebut merupakan jenis kegiatan yang
termasuk dalam upaya kesehatan wajib Puskesmas, artinya puskesmas sebagai sarana
kesehatan terdepan bertanggung jawab terhadap keseluruhan upaya penanggulangan TB paru.
Petugas kesehatan yang terlibat langsung sebagai petugas pelaksana program TB paru di
Puskesmas adalah seluruh petugas yang sudah dilatih tentang program penanggulangan TB
Paru yaitu dokter, perawat dan tenaga laboratorium untuk petugas di Puskesmas satelit
dibutuhkan tenaga yang telah dilatih terdiri dari dokter dan perawat dan bagi Puskesmas
pembantu cukup 1 orang perawat sebagai petugas pengelola TB. Keseluruhan petugas
tersebut mempunyai tugas masing-masing sesuai uraian tugas pokoknya dalam
penanggulangan kasus TB. Tanpa penemuan suspek maka program pemberantasan TB paru
dari penemuan sampai pengobatan tidak akan berhasil, sehingga proses penemuan suspek TB
paru oleh petugas sangat menentukan keberhasilan program. Proses ini akan berhasil apabila
kompetensi yang mencakup pengetahuan, sikap petugas dan keterampilan petugas baik.
Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap awal (intensif, 2
bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung berat ringannya penyakit.
Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur sesuai jadwal berobat sampai
dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui
perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir pengobatan tahap awal, sebulan
sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan.
Pengobatan TB Paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak
menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TB (gejala TB
tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan
dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.
Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS atau Directly Observed
Treatment Short-course adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan
secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB dapat
secara tepat. DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar
menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh.
Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95%. Strategi
DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB. Strategi DOTS
terdiri dari 5 komponen, yaitu, (a) komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk
dukungan dana, (b) diagnosa penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis,
(c), kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita, dan (d) Pengobatan TB
7
dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat).
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya pendekatan yang paling
tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia. Pengobatan TB tanpa didukung
oleh kualitas dan persediaan OAT yang baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan
Multi Drug Resistance yang dapat memperparah keadaan penderita TB. OAT yang tersedia
saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup banyak dan dapat
menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh sebab itu banyak ahli berusaha untuk
mengembangkan OAT-Fixed Dose Combination (FDC), yaitu kombinasi OAT dalam jumlah
tablet yang lebih sedikit dimana jumlah kandungan masing-masing komponen sudah
disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaan OAT-FDC dapat
menyederhanakan proses pengobatan, meminimalkan kesalahan pemberian obat, dan
mengurangi efek samping.
8
menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun
dengan masyarakat sasaran.
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem pencatatan dan
pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar. Evaluasi hasil kegiatan
penanggulangan TB didasarkan pada indikator–indikator program penanggulangan TB yang
dilakukan pada tahap akhir program dilakukan. Indikator merupakan alat yang paling efektif
untuk melakukan evaluasi dan merupakan variabel yang menunjukkan keadaan dan dapat
digunakan untuk mengukur terjadinya perubahan. Indikator yang baik harus memenuhi syarat
– syarat tertentu antara lain : valid, sensitive dan specific, dapat dimengerti, dapat diukur dan
dapat dicapai.
9
3) Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita
4) Menentukan PMO (bersama penderita)
5) Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO
6) Memantau keteraturan berobat
7) Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
8) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya
9) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita
c. Penanganan Logistik
1) Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas
2) Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir, reagens, dll)
3) Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c
10
BAB III
PEMBAHASAN
A. Input
Program Penanggulangan (P2) TB Paru di puskesmas Tipo dikelola oleh seorang
perawat yang bekerjasama dengan dokter. Kegiatan awalnya berupa penemuan kasus
yang bersifat pasif yaitu penemuan kasus berdasarkan pasien yang datang berobat ke
puskesmas yang memiliki gejala utama seperti batuk lebih dari 3 minggu. Pasien yang
memiliki gejala tersebut akan berstatus suspek yang selanjutnya akan dilakukan
pemeriksaan sputum. Pemeriksaan sputum dilakuan untuk menjaring pasien yang BTA
positif terhadap pasien suspek. Pemeriksaan sputum dilakukan selama 2 hari berturut-
turut yaitu sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)-dahak pagi (keesokan harinya)-
sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi (SPS).
Untuk pemeriksaan sputum di puskesmas Tipo hanya sebatas pembuatan
spesimen, karena puskesmas Tipo belum memiliki laboratorium sendiri. Spesimen akan
di periksa di laboratorium puskesmas Kamonji karena puskesmas ini yang memiliki
laboratorium khusus TB. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum BTA positif akan
dilakukan pengobatan sesuai kategori.
Untuk pengantaran sample disini ada kendala SDM karena sampel kadang
dikumpulkan beberapa sampel baru kemudian dilakukan pengantaran sampel ke
puskesmas kamonji, dengan demikian point pada five level prevention point tiga yaitu
penegakan diagnosis dini dengan pengobatan yang cepat dan tepat belum tercapai.
B. Proses
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB paru, antara
lain
1. Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2. Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC
3. Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek
4. Membuat sediaan hapus dahak
5. Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium
6. Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
7. Membuat klasifikasi penderita
8. Mengisi kartu penderita
11
9. Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+)
10. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang ditemukan.
Memberikan Pengobatan
1. Menetapkan jenis paduan obat
2. Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan
3. Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita
4. Menentukan PMO (bersama penderita)
5. Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO
6. Memantau keteraturan berobat
7. Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
8. Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara penanganannya
9. Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita
Penanganan Logistik
1. Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas
2. Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir, reagens, dll)
3. Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c
C. Output
Untuk program p2TB pada tahun 2016 kemarin angka keberhasilannya yaitu sekitar
70% pada data, namun untuk cakupan cure rate atau angka kesembuhan dari target yaitu
14 dan pencapaian juga 14 maka angkat cure rate 100%.
12
BAB IV
PENUTUP
4.1.Kesimpulan
1. Dalam pelaksanaan program P2TB paru di puskesmas Tipo sejauh ini telah
berjalan sesuai dengan pedoman pedoman nasional pengendalian tuberculosis,
namun banyak menemui kendala.
2. Permasalahan yang didapat selama pelaksanaan program antara lain yaitu masih
banyak nya pasien yang tidak mengantar pot dahak yang diberikan oleh petugas
kesehatan sehingga banyak pasien suspek yang belum diperiksa sputum.
4.1.Saran
1. Penyuluhan kesehatan mengenai TB Paru harus lebih sering dilakukan untuk
meningkatkan kunjungan masyarakat ke puskesmas sehingga angka penemuan kasus
bisa dideteksi lebih cepat.
2. Monitoring dan evaluasi pemeriksaan maupun pengobatan TB Paru harus lebih ketat
sehingga penjaringan pasien suspek TB Paru akan lebih baik.
3. Jumlah SDM dalam hal ini petugas P2TB harus ditambah untuk memaksimalkan
program kerja yang telah ditargetkan.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Hiswani, 2004, ‘Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi Masalah
Kesehatan Masyarakat’, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatra Utara,
Medan.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002, ‘Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, Cetakan ke-8’, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
Dan Penyehatan Lingkungan, 2014, ‘Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis’,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
4. Girsang, M., 2002, Pengobatan Standar Penderita TBC’, Cermin Dunia Kedokteran 137,
6-8.
5. Permatasari, A., 2005, ‘Pemberantasan Penyakit TB Paru Dan Strategi DOTS’, Bagian
Paru, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatra Utara, Medan.
6. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2016. Petunjuk teknis menajement dan tatalaksana TB anak.
7. UPTD Puskesmas Tipo, 2016-2017. Profil Kesehatan Puskesmas Talise. Depkes RI,
Palu.
14