Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN MANAJEMEN Mei 2017

MANAJEMEN TB PADA ANAK

DISUSUN OLEH:

NAMA : ANGRIANA HI HIMRAN

STAMBUK : N 111 13 003

PEMBIMBING : dr. INTJE NORMA

dr. DR. M SABIR., M.si

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYA RAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat. TB adalah suatupenyakit infeksi yang disebabkan bakteri
berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis dan
ditularkan melalui perantara droplet udara.1
Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksis sepertiga penduduk dunia. PadaTahun
1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB karena pada sebagian besar
negara di dunia.Penyakit TB tidak terkendali, ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak
berhasil disembuhkan, terutama penderita menular /BTA (+). Jumlah penderita TB
diperkirakan akan meningkat seiring dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia.2,3
Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2012, mendeskripsikan bahwa
untuk wilayah regional Asia Tenggara merupakan regional dengan kasus TB paru tertinggi
yaitu sebesar 40%, diikuti regional Afrika 26%, Pasifik Barat 19%, dan terendah pada
regional Eropa 3%. Pada regional Asia Tenggara, negara tertinggi prevalensi TB Paru adalah
Myanmar yaitu 525 per 100.000 penduduk, diikuti Bangladesh sebesar 411 per 100.000
penduduk, dan Indonesia menempati urutan ke lima yaitu dengan prevalensi sebesar 289 per
100.000 penduduk.2
Laporan Riset Kesehatan Daerah (Riskesda) tahun 2010, memberikan gambaran bahwa
terdapat (5) lima provinsi yang memiliki angka prevalensi tertinggi adalah (1) Papua 1.441
per 100.000 peduduk, (2) Banten 1.282 per 100.000 penduduk), (3) Sulawesi Utara 1.221 per
100.000 penduduk, (4) Gorontalo 1.200 per 100.000 penduduk, dan (5) DKI Jakarta 1.032
per 100.000 penduduk. Berdasarkan komposisi penduduk, diketahui prevalensi TB paru
paling banyak terdapat pada jenis kelamin laki-laki 819 per 100.000 penduduk, penduduk
yang bertempat tinggal di desa 750 per 100.000 penduduk, kelompok pendidikan yang tidak
sekolah 1.041 per 100.000 penduduk), petani/nelayan/buruh 858 per 100.000 penduduk dan
pada penduduk dengan tingkat pengeluaran kuintil 4 sebesar 607 per 100.000 penduduk.2
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia, (2012), diketahui peningkatan angka penjaringan
suspek mempunyai range 8-123 per 100.000 penduduk. Provinsi dengan peningkatan angka
penjaringan suspek tertinggi adalah Provinsi Maluku (123 per 100.000 penduduk) dan Provinsi
Sumatera Utara (8 per 100.000 penduduk).3

2
Di Sulawesi Tengah sendiri berdasarkan jumlah penduduk diperkirakan kasus TB BTA
positif dimasyarakat pada tahun 2011 sekitar 4.856 orang. Pada tahun 2011 ditemukan 2.807
kasus yang menandakan CDR hanya 57,80%. Angka CDR Propinsi masih dibawah 70%.
Berbagai upaya-upaya yang dilakukan, salah satunya promosi secara aktif, pendekatan
pelayanan terhadap pelayanan kesehatan yaitu memaksimalkan Puskesmas Pembantu dan
Bidan Desa untuk mendekatkan pelayanan TB di masyarakat terpencil.
Pada area kerja puskesmas tipo pada tahun 2011 terdapat 4 orang penderita TB paru
BTA positive dan 98 orang BTA negative. Pada tahun 2012 terdapat 9 kasus BTA positif dan
43 kasus bta negative. Tahun 2013 terdapat 5 orang penderita BTA positive dan BTA
negative 49. Tahun 2014 terdapat 7 penderita BTA positif 59 BTA negative. Tahun 2015
terdapat 14 kasus BTA positive dan 37 kasus BTA negatif. Namun, data pada kasus ini tidak
digambarkan secara spesifik jumlah kasus pada anak. Pada tahun 2016 dari bulan januari
hingga bulan Desember tercatat 3 kasus kejadian TB pada anak, dan pada tahun 2017 data
bulan Januari hingga Mei tercatat 2 kasus kejadian TB pada anak.

1.2. Identifikasi Masalah


Pada laporan manajemen ini, permasalahan terkait program P2 (Program
Penanggulanagan) TB Paru yang akan dibahas antara lain :
1. Bagaimana pelaksanaan P2TB Paru di Pukesmas Tipo?

2. Apa saja permasalahan yang menjadi kendala dalam mencapai target cakupan P2TB Paru

di Puskesmas Tipo?

3
BAB II
PERMASALAHAN

2.1.Gambaran Umum UPTD Urusan Puskesmas Tipo


Puskesmas Tipo merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang berada di
wilayah Provinsi Sulawesi Tengah tepatnya berada di Kota Palu. Puskesmas Tipo
berada di wilayah Kecamatan Ulujadi yang memiliki luas wilayah 32,97 km 2 dan secara
administratif pemerintahan terdiri atas 3 kelurahan, 16 RW serta 37 RT. Wilayah kerja
Puskesmas Tipo mencakup tiga kelurahan yaitu: Kelurahan Tipo, Kelurahan Buluri dan
Kelurahan Watusampu.
Berdasarkan data BPS Kota Palu tahun 2015, jumlah penduduk di wilayah kerja
Puskesmas Tipo adalah 8.967 jiwa yang tersebar di tiga kelurahan yaitu Kelurahan
Tipo, dengan jumlah penduduk 3.495 jiwa, Kelurahan Buluri dengan jumlah penduduk
3.250 jiwa dan Kelurahan Watusampu dengan jumlah penduduk 2.222 jiwa. Adapun
jumlah penduduk laki-laki pada tahun 2015 sebesar 4.585 jiwa dan perempuan sebesar
4.382 jiwa.
Program kegiatan puskesmas mengacu pada program kesehatan nasional dengan
visi Indonesia Sehat, dengan mempertimbangkan paradigma masyarakat, dimana
masyarakat semakin sadar akan tuntutan pelayanan kesehatan yang lebih optimal,
dengan dilandasi oleh kesadaran dan keyakinan bahwa kesehatan merupakan hak azasi
manusia, sehingga pemerintah dalam hal ini lembaga pelayanan kesehatan dituntut peka
terhadap berbagai permasalahan kesehatan yang berkembang di masyarakat serta
memberikan pelayanan lebih optimal kepada masyarakat.
Dengan memperhatikan kondisi nyata pelayanan kesehatan saat ini, maka
disepakati bahwa Motto Puskesmas Tipo yaitu “TERSENYUM” dengan makna
Terdepan, Sehat, Nyaman, Utuh dan Merata. Serta Visi Puskesmas Tipo adalah
“Terwujudnya Pelayanan Kesehatan Masyarakat yang Mandiri dan Berkeadilan”.
Pelaksanaan visi tersebut diuraikan dalam 3 misi berikut ini:
1. Meningkatkan kualitas pelayanan.
2. Mendorong kemandirian masyarakat melalui peningkatan upaya-upaya kesehatan
yang bersumber pada masyarakat.
3. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

4
Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan, maka tugas puskesmas dibagi ke
dalam beberapa program dengan masing-masing program memiliki cakupan kegiatan
masing-masing. Beberapa program tersebut:
1. Program Kesehatan Lingkungan
2. Program KIA dan Keluarga Berencana
3. Program Promosi Kesehatan
4. Program Gizi
5. Program Pencegahan Penyakit Menular (P2M)
6. Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat
7. Program Kesehatan Jiwa
8. Program Pelayanan Kesehatan Gigi
9. Program Penyakit Tidak Menular
10. Program Kesehatan Olahraga
11. Program Kesehatan Lansia
12. Program Keselamatan Kerja

2.2.Penyakit TB Paru
Penyakit TB Paru merupakan salah satu masalah kesehatan kelompok usia kerja
produktif, kelompok ekonomi lemah dan berpendidikan rendah. Kegiatan pemberantasan
penyakit TB Paru seperti tahun sebelumnya mengacu pada program DOTS (Directly
Observed Treatment Short Course), yang artinya pengobatan jangka pendek dengan
pengawasan langsung.
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB.
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang orang tubuh
lain. TB pada anak terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Di Negara-negara berkembang
jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi
umum dan terdapat sekitar 500.000 anak didunia menderita TB setiap tahun.
Proporsi kasus TB anak di Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,4% , kemudian
menjadi 8,5% pada tahun 2011, 8,2% pada tahun 2012, 7,9% pada tahun 2013, 7,16%
pada tahun 2014 dan 9 % ditahun 2015. Variasi populasi ini mungkin menunjukan
endemisitas yang berbeda antar provinsi, tetapi bias juga karena perbedaan kualitas
diagnosis TB anak pada level provinsi.
Factor risiko penularan TB pada anak sama halnya dengan penularan TB pada
umumnya, tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan dan daya tahan tubuh. Pasien

5
TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan yang lebih besar
dibandingkan dengan pasien yang BTA negative.

2.3.Tujuan Program Penanggulangan TB paru


Adapun tujuan program penanggulangan TB Paru meliputi tujuan jangka panjang dan
tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah menurunkan angka kesakitan dan
angka kematian yang diakibatkan penyakit TB paru dengan cara memutuskan rantai
penularan,sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan
masyarakat Indonesia, sedangkan tujuan jangka pendek adalah :
1) Melaksanakan kegiatan penemuan dan tata laksana kasus TB.

2.4.Strategi Program Penanggulangan TB paru


1) Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk menjamin ketersediaan
sumberdaya dan menjadikan penanggulangan TB suatu prioritas.
2) Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu dilaksanakan secara
bertahap dan sistematis.
3) Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait melalui kegiatan advokasi,
komunikasi dan mobilisasi sosial.
4) Kerjasama dengan mitra internasional untuk mendapatkan komitmen dan bantuan
sumber daya.
5) Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan supervisi, pemantauan
dan evaluasi yang berkesinambungan.

2.5.Kegiatan Program Penanggulangan TB paru


Kegiatan pada Program Penanggulangan (P2) TB Paru yaitu kegiatan pokok dan
kegiatan pendukung. Kegiatan pokok mencakup kegiatan penemuan penderita (case finding)
pengamatan dan monitoring penemuan penderita didahului dengan penemuan tersangka TB
paru dengan gejala klinis adalah batuk-batuk terus menerus selama tiga minggu atau lebih.
Kegiatan pendukung mencakup kegiatan penanganan logistik yaitu penanganan tersedianya
OAT (Obat Anti Tuberkulosis) dan penanganan tersedianya reagensia di laboratorium.
Setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala utama ini harus
dianggap suspek tuberkulosis atau tersangka TB Paru dengan pasive promotive case finding
(penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif) (Depkes RI, 2009).

6
Kegiatan-kegiatan penanggulangan TB Paru tersebut merupakan jenis kegiatan yang
termasuk dalam upaya kesehatan wajib Puskesmas, artinya puskesmas sebagai sarana
kesehatan terdepan bertanggung jawab terhadap keseluruhan upaya penanggulangan TB paru.
Petugas kesehatan yang terlibat langsung sebagai petugas pelaksana program TB paru di
Puskesmas adalah seluruh petugas yang sudah dilatih tentang program penanggulangan TB
Paru yaitu dokter, perawat dan tenaga laboratorium untuk petugas di Puskesmas satelit
dibutuhkan tenaga yang telah dilatih terdiri dari dokter dan perawat dan bagi Puskesmas
pembantu cukup 1 orang perawat sebagai petugas pengelola TB. Keseluruhan petugas
tersebut mempunyai tugas masing-masing sesuai uraian tugas pokoknya dalam
penanggulangan kasus TB. Tanpa penemuan suspek maka program pemberantasan TB paru
dari penemuan sampai pengobatan tidak akan berhasil, sehingga proses penemuan suspek TB
paru oleh petugas sangat menentukan keberhasilan program. Proses ini akan berhasil apabila
kompetensi yang mencakup pengetahuan, sikap petugas dan keterampilan petugas baik.
Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap awal (intensif, 2
bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung berat ringannya penyakit.
Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur sesuai jadwal berobat sampai
dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui
perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir pengobatan tahap awal, sebulan
sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan.
Pengobatan TB Paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak
menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TB (gejala TB
tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan
dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.
Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS atau Directly Observed
Treatment Short-course adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan
secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB dapat
secara tepat. DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar
menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh.
Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95%. Strategi
DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB. Strategi DOTS
terdiri dari 5 komponen, yaitu, (a) komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk
dukungan dana, (b) diagnosa penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis,
(c), kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita, dan (d) Pengobatan TB

7
dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat).
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya pendekatan yang paling
tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia. Pengobatan TB tanpa didukung
oleh kualitas dan persediaan OAT yang baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan
Multi Drug Resistance yang dapat memperparah keadaan penderita TB. OAT yang tersedia
saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup banyak dan dapat
menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh sebab itu banyak ahli berusaha untuk
mengembangkan OAT-Fixed Dose Combination (FDC), yaitu kombinasi OAT dalam jumlah
tablet yang lebih sedikit dimana jumlah kandungan masing-masing komponen sudah
disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaan OAT-FDC dapat
menyederhanakan proses pengobatan, meminimalkan kesalahan pemberian obat, dan
mengurangi efek samping.

2.6.Indikator Keberhasilan Program Penanggulangan TB Paru


Indikator dalam data yang terdaftar pada puskesmas tipo tidak di rindikan indicator
pada TB anak namun indicator TB secara keseluruhan.
- Cakupan penderita baru BTA positif target 20 pencapaian 14 atau 70%
- Cakupan proporsi suspek yang diperiksa dahak 37,84%
- Cakupan proporsi penderita positif antara suspek yang ditemukan yaitu 70%
- Cakupan cure rate atau angka kesembuhan target 14 pencapaian 14 atau 100 %
2.7.Evaluasi program penanggulangan TB paru
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan program. Pemantaun dilaksanakan secara berkala dan terus
menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang
telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi dilakukan
setelah suatu jarak-waktu (interval) lebih lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan
evaluasi dapat dinilai sejauhmana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya
dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat
berguna untuk kepentingan perencanaan program. Masing-masing tingkat pelaksana program
(UPK, Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan
kegiatan pada wilayahnya masing-masing. Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek
masukan (input), proses, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan

8
menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun
dengan masyarakat sasaran.
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem pencatatan dan
pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar. Evaluasi hasil kegiatan
penanggulangan TB didasarkan pada indikator–indikator program penanggulangan TB yang
dilakukan pada tahap akhir program dilakukan. Indikator merupakan alat yang paling efektif
untuk melakukan evaluasi dan merupakan variabel yang menunjukkan keadaan dan dapat
digunakan untuk mengukur terjadinya perubahan. Indikator yang baik harus memenuhi syarat
– syarat tertentu antara lain : valid, sensitive dan specific, dapat dimengerti, dapat diukur dan
dapat dicapai.

2.8.Uraian Tugas Pengelola Program Penanggulangan TB Paru


Petugas pengelola program TB paru adalah petugas yang bertangung jawab dan
mengkoordinir seluruh kegiatan dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam
program TB di Puskesmas. Adapun Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Program TB paru di
Puskesmas yaitu : (Depkes RI, 2009)
a. Menemukan Penderita
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB paru, antara
lain
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2) Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC
3) Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek
4) Membuat sediaan hapus dahak
5) Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium
6) Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
7) Membuat klasifikasi penderita
8) Mengisi kartu penderita
9) Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+)
10) Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang
ditemukan.
b. Memberikan Pengobatan
1) Menetapkan jenis paduan obat
2) Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan

9
3) Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita
4) Menentukan PMO (bersama penderita)
5) Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO
6) Memantau keteraturan berobat
7) Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
8) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya
9) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita
c. Penanganan Logistik
1) Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas
2) Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir, reagens, dll)
3) Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c

10
BAB III
PEMBAHASAN

A. Input
Program Penanggulangan (P2) TB Paru di puskesmas Tipo dikelola oleh seorang
perawat yang bekerjasama dengan dokter. Kegiatan awalnya berupa penemuan kasus
yang bersifat pasif yaitu penemuan kasus berdasarkan pasien yang datang berobat ke
puskesmas yang memiliki gejala utama seperti batuk lebih dari 3 minggu. Pasien yang
memiliki gejala tersebut akan berstatus suspek yang selanjutnya akan dilakukan
pemeriksaan sputum. Pemeriksaan sputum dilakuan untuk menjaring pasien yang BTA
positif terhadap pasien suspek. Pemeriksaan sputum dilakukan selama 2 hari berturut-
turut yaitu sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)-dahak pagi (keesokan harinya)-
sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi (SPS).
Untuk pemeriksaan sputum di puskesmas Tipo hanya sebatas pembuatan
spesimen, karena puskesmas Tipo belum memiliki laboratorium sendiri. Spesimen akan
di periksa di laboratorium puskesmas Kamonji karena puskesmas ini yang memiliki
laboratorium khusus TB. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum BTA positif akan
dilakukan pengobatan sesuai kategori.
Untuk pengantaran sample disini ada kendala SDM karena sampel kadang
dikumpulkan beberapa sampel baru kemudian dilakukan pengantaran sampel ke
puskesmas kamonji, dengan demikian point pada five level prevention point tiga yaitu
penegakan diagnosis dini dengan pengobatan yang cepat dan tepat belum tercapai.
B. Proses
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB paru, antara
lain
1. Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2. Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC
3. Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek
4. Membuat sediaan hapus dahak
5. Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium
6. Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
7. Membuat klasifikasi penderita
8. Mengisi kartu penderita

11
9. Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+)
10. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang ditemukan.

Memberikan Pengobatan
1. Menetapkan jenis paduan obat
2. Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan
3. Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita
4. Menentukan PMO (bersama penderita)
5. Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO
6. Memantau keteraturan berobat
7. Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
8. Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara penanganannya
9. Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita

Penanganan Logistik
1. Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas
2. Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir, reagens, dll)
3. Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c

C. Output
Untuk program p2TB pada tahun 2016 kemarin angka keberhasilannya yaitu sekitar
70% pada data, namun untuk cakupan cure rate atau angka kesembuhan dari target yaitu
14 dan pencapaian juga 14 maka angkat cure rate 100%.

12
BAB IV
PENUTUP

4.1.Kesimpulan
1. Dalam pelaksanaan program P2TB paru di puskesmas Tipo sejauh ini telah
berjalan sesuai dengan pedoman pedoman nasional pengendalian tuberculosis,
namun banyak menemui kendala.
2. Permasalahan yang didapat selama pelaksanaan program antara lain yaitu masih
banyak nya pasien yang tidak mengantar pot dahak yang diberikan oleh petugas
kesehatan sehingga banyak pasien suspek yang belum diperiksa sputum.
4.1.Saran
1. Penyuluhan kesehatan mengenai TB Paru harus lebih sering dilakukan untuk
meningkatkan kunjungan masyarakat ke puskesmas sehingga angka penemuan kasus
bisa dideteksi lebih cepat.
2. Monitoring dan evaluasi pemeriksaan maupun pengobatan TB Paru harus lebih ketat
sehingga penjaringan pasien suspek TB Paru akan lebih baik.
3. Jumlah SDM dalam hal ini petugas P2TB harus ditambah untuk memaksimalkan
program kerja yang telah ditargetkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Hiswani, 2004, ‘Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi Masalah
Kesehatan Masyarakat’, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatra Utara,
Medan.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002, ‘Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, Cetakan ke-8’, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
Dan Penyehatan Lingkungan, 2014, ‘Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis’,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
4. Girsang, M., 2002, Pengobatan Standar Penderita TBC’, Cermin Dunia Kedokteran 137,
6-8.
5. Permatasari, A., 2005, ‘Pemberantasan Penyakit TB Paru Dan Strategi DOTS’, Bagian
Paru, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatra Utara, Medan.
6. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2016. Petunjuk teknis menajement dan tatalaksana TB anak.
7. UPTD Puskesmas Tipo, 2016-2017. Profil Kesehatan Puskesmas Talise. Depkes RI,
Palu.

14

Anda mungkin juga menyukai