Anda di halaman 1dari 148

BAHAN AJAR

MATA KULIAH STUDI KASUS

Tim Penyusun:

 David Hizkia Tobing  Naomi Vembriati


 Ni Made Swasti Wulanyani  Ni Made Ari Wilani
 Luh Made Karisma Sukmayati Suarya  Putu Wulan Budisetyani
 I Made Rustika  Putu Nugrahaeni Widiasavitri
 Komang Rahayu Indrawati  Adijanti Marheni
 Luh Kadek Pande Ary Susilawati  Supriyadi
 Dewi Puri Astiti  Yohanes Kartika Herdiyanto
 Made Diah Lestari

Program Studi Psikologi


Fakultas Kedokteran
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
PRAKATA

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memperkenankan buku itu
dituliskan untuk membantu para mahasiswa matakuliah studi kasus untuk memahami dan
mendalami materi yang dibahas dalam matakuliah tersebut.
Penyusunan buku ini masih sangat membutuhkan perbaikan dan penyesuaian dengan topik-
topik terkini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan masukan maupun kritik demi
perbaikan di masa yang akan datang.

Selamat belajar.

Denpasar, 20 September 2016

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

PRAKATA ..................................................................................... Error! Bookmark not defined.


DAFTAR ISI .................................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
MATERI 1: PENGANTAR ............................................................................................................. 8
MATERI 2: PENGERTIAN STUDI KASUS ....................................... Error! Bookmark not defined.
MATERI 3: TUJUAN STUDI KASUS ............................................................................................ 16
MATERI 4: DATA DALAM STUDI KASUS ................................................................................... 14
MATERI 5: PROSES DAN LANGKAH-LANGKAH DALAM STUDI KASUS...................................... 18
MATERI 6: LANGKAH-LANGKAH BIMBINGAN .......................................................................... 24
MATERI 7:TEKNIK-TEKNIK BIMBINGAN ................................................................................... 26
MATERI 8: PENGUMPULAN DATA............................................................................................ 28
MATERI 9: CONTOH KASUS I .................................................................................................... 29
MATERI 10: CONTOH KASUS II ................................................................................................. 79
MATERI 11: CONTOH KASUS III .............................................................................................. 109
MATERI 12: RANGKUMAN ..................................................................................................... 148

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 149

3
PENDAHULUAN

1. Manfaat Mata Kuliah


Mata kuliah ini diberikan pada mahasiswa untuk dapat memahami dasar-dasar
pengetahuan terkait dengan bagaimana memahami sebuah kasus psikologi dari berbagai
macam sisi dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana merencanakan suatu intervensi
psikologis dan sosial terkait dengan kebutuhan klien.

2. Deskripsi Perkuliahan
Mata kuliah ini membahas tentang proses memahami sebuah kasus, terutama
terkait dengan bagaimana mengambil data dalam studi kasus. Mata kuliah ini tidak saja
memberikan teori-teori psikologi dalam memahami kasus yang ada, namun juga akan
diberikan beberapa contoh kasus yang ditemukan, dan bagaimana penyajian serta saran
yang diberikan untuk pemahaman dan pemecahan masalah terkait kasus tersebut.

3. Tujuan Instruksional
Setelah menyelesaikan mata kuliah ini (pada akhir semester), mahasiswa akan dapat
menyebutkan teori-teori maupun pendekatan-pendekatan dalam psikologi yang dapat
dipakai da;am melakukan pendekatan terhadap kasus yang dihadapi. Mahasiswa juga akan
memperoleh dasar-dasar pengambilan data dalam rangka untuk membantu memberikan
solusi terkait kasus yang ditemukan.

Organisasi Materi

Organisasi materi dapat dilihat pada jadwal perkuliahan.

4. Strategi Perkuliahan

Strategi instruksional yang digunakan pada mata kuliah ini terdiri dari:

a. Urutan kegiatan instruksional berupa: pendahuluan (tujuan mata kuliah, cakupan materi
pokok bahasan, dan relevansi), penyajian (uraian, contoh, diskusi, evaluasi), dan

4
penutup (umpan balik, ringkasan materi, petunjuk tindak lanjut, pemberian tugas di
rumah, gambaran singkat tentang materi berikutnya)

b. Metode instruksional menggunakan: metode ceramah, tanya-jawab, diskusi kasus, dan


penugasan.

 Ceramah berupa penyampaian bahan ajar oleh dosen pengajar dan penekanan-
penekanan pada hal-hal yang penting dan bermanfaat untuk diterapkan nantinya
dalam merencanakan suatu program intervensi komunikasi.
 Tanya jawab dilakukan sepanjang tatap muka, dengan memberikan kesempatan
mahasiswa untuk memberi pendapat atau pertanyaan tentang hal-hal yang tidak
mereka mengerti atau bertentangan dengan apa yang mereka pahami sebelumnya.
 Diskusi kasus dilakukan dengan memberikan contoh kasus/kondisi pada akhir pokok
bahasan, mengambil tema yang sedang aktual di masyarakat dan berkaitan dengan
pokok bahasan tersebut, kemudian mengajak mahasiswa untuk memberikan
pendapat atau menganalisis secara kritis kasus/kondisi tersebut sesuai dengan
pengetahuan yang baru mereka dapatkan.
 Penugasan diberikan untuk membantu mahasiswa memahami bahan ajar, membuka
wawasan, dan memberikan pendalaman materi. Penugasan bisa dalam bentuk
menulis tulisan ilmiah, membuat review artikel ilmiah, ataupun membuat tulisan
yang membahas kasus/kondisi yang berkaitan dengan pokok bahasan. Pada
penugasan ini, terdapat komponen ketrampilan menulis ilmiah, berpikir kritis,
penelusuran referensi ilmiah, dan ketrampilan berkomunikasi.
c. Media instruksionalnya berupa: LCD projector, whiteboard, artikel aktual di surat
kabar/internet/majalah/jurnal ilmiah, buku diktat bahan ajar, handout, dan kontrak
perkuliahan.
d. Waktu (per-SKS): 5 menit pada tahap pendahuluan, 40 menit pada tahap penyajian, dan
5 menit pada tahap penutup.
e. Evaluasi: evaluasi formatif dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung.

5. Materi/Bacaan Perkuliahan
Buku/bacaan pokok dalam perkuliahan ini adalah:

5
A. E. J. I. Kasie-Worung dan Hermien Laksmiwati, Mencermati Masalah Keterampilan
Melaksanakan Studi Kasus Wujud Kinerja Konselor Sekolah (Unesa Uneversity Press:
Surabaya. 2005), hal. 1
1
B. Obed Agung Nugroho.S.Pd. http:// obedan.wimamadiun.com/studi-kasus-bimbingan-
konseling/. 02 juni 08

C. I. Djumhur dan Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance &
Counseling), (C.V. ILMU: Bandung. 1975) . hal. 64

D. Kasie dan Hermien, Mencermati Masalah keterampilan…, hal. 2

6. Tugas
Dalam perkuliahan, diberikan beberapa tugas sebagai berikut:
a. Materi perkuliahan sebagaimana disebutkan dalam jadwal perkuliahan harus sudah
dibaca sebelum mengikuti tatap muka. Apabila ada, handout sudah akan diserahkan
pada mahasiswa sebelum hari kuliah.
b. Quiz diberikan kurang lebih 4-5 kali selama proses perkuliah untuk menilai pemahaman
mahasiswa dan absensi. Kehadiran pada tatap muka minimal 75%.
c. Evaluasi mahasiswa dilakukan dengan mengadakan kuis, setiap beberapa kali
pertemuan, dengan format soal pilihan ganda atau essay.
d. Penugasan sesuai pokok bahasan, yang harus sudah diselesaikan sesuai tanggal yang
ditentukan.

7. Kriteria Penilaian
Penilaian akan dilakukan oleh pengajar dengan menggunakan kriteria sebagai
berikut:
Nilai dalam huruf Rentang skor
A 80- keatas
B 65-79
C 55-64
D 40-54
E kebawah -39

6
 Pembobotan nilai adalah sebagai berikut:
Nilai Tugas/quiz : 30% ( penugasan kuliah, laporan, presentasi, quiz)
UTS : 35%
UAS : 35%
 Bagian Psikologi tidak mentolerir adanya kecurangan dalam ujian. Ujian Kuis, UTS, UAS
adalah instrumen untuk menguji kemampuan mahasiswa dalam memahami mata kuliah.
Apabila mahasiswa menunjukkan gerak-gerik mencurigakan selama tes-tes tersebut,
atau ditemukan mencontek/memberikan contekan, akan mendapatkan pengurangan
nilai 25% dari nilai yang diperolehnya untuk tes tersebut, dan pengurangan ini akan
disampaikan secara terbuka pada waktu pengumuman nilai. Apabila mahasiswa
ditemukan membawa/membuat (walaupun tidak membuka) catatan selama tes-tes
tersebut, baik berupa kertas, coretan di kursi, dan sebagainya, maka mahasiswa tersebut
akan mendapat nilai 0 untuk tes tersebut.
 Presentasi ketentuan mendapatkan penilaian kehadiran sebagai berikut:
- Setiap mahasiswa wajib hadir tepat waktu saat perkuliahan dimulai. Bagi yang
terlambat melebihi 15 menit maka diperkenankan masuk tetapi tidak diperkenankan
melakukan presensi.
- Bagi mahasiswa yang jumlah presensinya kurang dari 75% dari jumlah kehadiran
kuliah sebelum UTS (atau tidak hadir sebanyak 2 kali) maka orang bersangkutan tidak
boleh mengikuti UTS (atau tidak hadir sebanyak 4 kali) maka orang bersangkutan
tidak boleh mengikuti UAS. Larangan ini tidak berlaku apabila yang bersangkutan
mengganti ketidakhadiran dengan menulis paper/tugas/makalah.

7
MATERI 1: PENGANTAR

A. PENGANTAR

Dalam era kemajuan informasi dan teknologi, siswa semakin tertekan dan terintimidasi oleh
perkembangan dunia akan tetapi belum tentu dimbangi dengan perkembangan karakter dan mental
yang mantap. Seorang Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor mempunyai tugas yaitu
membantu siswa untuk mengatasi permasalahan dan hambatan dan dalam perkembangan siswa.
Setiap siswa sebenarnya mempunyai masalah dan sangat variatif. Permasalahan yang
dihadapi siswa dapat bersifat pribadi, sosial, belajar, atau karier. Oleh karena keterbatasan
kematangan siswa dalam mengenali dan memahami hambatan dan permasalahan yang dihadapi
siswa, maka konselor – pihak yang berkompeten – perlu memberikan intervensi. Apabila siswa tidak
mendapatkan intervensi, siswa mendapatkan permasalahan yang cukup berat untuk dipecahkan.
Konselor sekolah senantiasa diharapkan untuk mengetahui keadaan dan kondisi siswanya secara
mendalam.

Untuk mengetahui kondisi dan keadaan siswa banyak metode dan pendekatan yang dapat
digunakan, salah satu metode yang dapat digunakan yaitu studi kasus (Case Study). Dalam
perkembangannya, oleh karena kompleksitas permasalahan yang dihadapi siswa dan semakin
majunya pengembangan teknik-teknik pendukung – seperti hanya teknik pengumpulan data, teknik
identifikasi masalah, analisis, interpretasi, dan treatment – metode studi kasus terus diperbarui.

Studi kasus akan mempermudah konselor sekolah untuk membantu memahami kondisi
siswa seobyektif mungkin dan sangat mendalam. Membedah permasalahan dan hambatan yang
dialami siswa sampai ke akar permasalahan, dan akhirnya konselor dapat menentukan skala prioritas
penanganan dan pemecahan masalah bagi siswa tersebut.

B. KESIMPULAN
Untuk mengetahui kondisi dan keadaan siswa banyak metode dan
pendekatan yang dapat digunakan, salah satu metode yang dapat digunakan yaitu
studi kasus (Case Study). Dalam perkembangannya, oleh karena kompleksitas
permasalahan yang dihadapi siswa dan semakin majunya pengembangan teknik-
teknik pendukung – seperti hanya teknik pengumpulan data, teknik identifikasi
masalah, analisis, interpretasi, dan treatment – metode studi kasus terus diperbarui

8
L. LATIHAN SOAL MANDIRI (QUIZ)
1. Apa yang membedakan permasalahan-permasalahan yang dimiliki tiap-tiap orang?
2. Apa pengertian dari konselor?

9
MATERI 2: PENGERTIAN STUDI KASUS

A. PENGERTIAN
Studi kasus yang di kenal tertua adalah suatu catatan tentang penempatan anak,
yang diperkirakan di buat kira-kira pada tahun 4000 SM. Salah satu perkembangan
yang paling penting dari metode studi kasus adalah dalam lapangan hukum. Studi
kasus dimulai di hardvard school kirs-kirs tahun 1970 sebagai suatu alat untuk
melatih siswa-siswa untuk memikirkan tentang prinsip-prinsip yang fundamentil.1

Kamus Psikologi (Kartono dan Gulo, 2000) menyebutkan 2 (dua) pengertian tentang
Studi kasus (Case Study) pertama Studi kasus merupakan suatu penelitian
(penyelidikan) intensif, mencakup semua informasi relevan terhadap seorang atau
beberapa orang biasanya berkenaan dengan satu gejala psikologis tunggal. Kedua
studi kasus merupakan informasi-informasi historis atau biografis tentang seorang
individu, seringkali mencakup pengalamannya dalam terapi. Terdapat istilah yang
berkaitan dengan case study yaitu case history atau disebut riwayat kasus, sejarah
kasus. Case history merupakan data yang terimpun yang merekonstruksikan masa
lampau seorang individu, dengan tujuan agar orang dapat memahami kesulitan-
kesulitannya yang sekarang . serta menolongnya dalam usaha penyesuaian diri
(adjustment) (Kartini dan Gulo, 2000).

Berikut ini definisi studi kasus dari beberapa pakar dalam Psikologi dan Bimbingan
Konseling, yaitu ;

1. Menurut WS. Winkel (1995) dalam artikel yang ditulis oleh Obed Agung Nugroho
Studi kasus adalah suatu metode untuk mempelajari keadaan dan perkembangan
seorang murid secara mendalam dengan tujuan membantu murid untuk
mencapai penyesuaian yang lebih baik.

2. Obed Agung Nugroho juga menyebutkan bahwa menurut Dewa Ketut Sukardi
(1983). Studi kasus adalah metode pengumpulan data yang bersifat integrative
dan komprehensif. Integrative artinya menggunakan berbagai teknik pendekatan

1
E. J. I. Kasie-Worung dan Hermien Laksmiwati, Mencermati Masalah Keterampilan Melaksanakan
Studi Kasus Wujud Kinerja Konselor Sekolah (Unesa Uneversity Press: Surabaya. 2005), hal. 1

10
dan bersifat komprehensif yaitu data yang dikumpulkan meliputi seluruh aspek
pribadi individu secara lengkap.2

3. Menurut Djumhur Studi kasus diartikan sebagai suatu teknik mempelajari


seorang individu secara mendalam untuk membantunya memperoleh
penyesuaian diri yang lebih baik.3

4. Sedangkan menurut Kasie dan Hermien studi kasus dalam pelayanan bimbingan
merupakan metode untuk mempelajari keadaan dan perkembangan seorang
siswa secara lengkap dan mendalam, dengan tujuan untuk memahami
individualitas siswa dengan baik dan membantunya dalam perkembangan
selanjutnya.4

5. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa studi kasus adalah
metode atau teknik yang digunakan untuk mempelajari seorang individu secara
mendalam guna guna membantunya dalam perkembangan yang lebih baik. Jadi
berdasarkan pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa studi kasus adalah
suatu studi atau analisa yang bersifat integratif dan komprehensif dengan
menggunakan berbagai teknik. Integratif artinya menggunakan berbagai
pendekatan, dan bersifat komprehensif artinya data yang dikumpulkan meliputi
seluruh aspek pribadi individu secara lengkap. Bahan dan alat mengenai gejala
atau ciri-ciri/karakteristik berbagai jenis masalah atau tingkah laku menyimpang,
baik individu maupun kelompok.

Analisa itu mencakup aspek-aspek kasus seperti jenis, keluasan dan kedalaman
permasalahannya, latar belakang masalah (diagnosis) dan latar depan (prognosis),
lingkungan dan kondisi individu/kelompok dan upaya memotivasi terungkapnya masalah
kepada guru pembimbing (konselor) sebagai orang yang mengkaji kasus. Data yang telah
didapatkan oleh konselor kemudian dinvertaris dan diolah sedemikian rupa hingga
mudah untuk diinterpretasi masalah dan hambatan individu dalam penyesuaiannya.

2
Obed Agung Nugroho.S.Pd. http:// obedan.wimamadiun.com/studi-kasus-bimbingan-konseling/. 02
juni 08

3
I. Djumhur dan Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance & Counseling), (C.V.
ILMU: Bandung. 1975) . hal. 64
4
Kasie dan Hermien, Mencermati Masalah keterampilan…, hal. 2

11
B. Studi kasus memiliki ciri-ciri antara lain: mengumpulkan data yang lengkap, bersifat
rahasia, terus menerus (kontinu) secara ilmiah dan diperoleh dari berbagai pihak.5

B. KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa studi kasus adalah metode atau
teknik yang digunakan untuk mempelajari seorang individu secara mendalam guna guna
membantunya dalam perkembangan yang lebih baik. Jadi berdasarkan pembahasan di
atas dapat dikatakan bahwa studi kasus adalah suatu studi atau analisa yang bersifat
integratif dan komprehensif dengan menggunakan berbagai teknik. Integratif artinya
menggunakan berbagai pendekatan, dan bersifat komprehensif artinya data yang
dikumpulkan meliputi seluruh aspek pribadi individu secara lengkap. Bahan dan alat
mengenai gejala atau ciri-ciri/karakteristik berbagai jenis masalah atau tingkah laku
menyimpang, baik individu maupun kelompok.

C. LATIHAN SOAL MANDIRI (QUIZ)


1. Apa yang dimaksud dengan studi kasus (3 pengertian)

12
MATERI 3: TUJUAN STUDI KASUS
A. Tujuan Studi Kasus
Studi Kasus diadakan untuk memahami siswa sebagai individu dalam keunikannya dan
dalam keseluruhannya. Kemudian dari pemahaman dari siswa yang mendalam, konselor
dapat membantu siswa untuk mencapai penyesuaian yang lebih baik. Dengan penyesuian
pada diri sendiri serta lingkungannya, sehingga siswa dapat menghadapi permasalahan dan
hambatan hidupnya, dan tercipta keselarasan dan kebahagiaan bagi siswa tersebut.

B. Sasaran Studi kasus


Sasaran studi kasus adalah individu yang menunjukan gejala atau masalah yang serius,
sehingga memerlukan bantuan yang serius pula. Yang biasanya dipilih menjadi sasaran bagi
suatu studi kasus adalah murid yang menjadi suatu problem (problem case); jadi seorang
murid membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan lebih baik, asal murid itu
dalam keadaan sehat rohani/ tidak mengalami gangguan mental

13
MATERI 4: DATA DALAM STUDI KASUS

1. Data-data dalam Studi kasus


Data yang dikumpulkan dalam studi kasus ini ialah antara lain:

a) Identifikasi diri, sepert nama, kelamin, tanggal lahir, alamat nomor pokok dan sebagainya.
b) Latar belakang keluarga, yang meliputi data mengenai: besarnya keluarga, status sosial
keluarga, pekerjaan orang tua, keadaan saudara-saudaranya, situasi di rumah, bantuan
orang tua dan sebagainya.
c) Keadaan kesehatan dan perkembangan jasmani, yang meliputi keterangan tentang ciri-ciri
jasmani, penyakit yang di derita dan sebagainya.
d) .Latar belakang pendidikan, seperti hasil belajar, pengalaman pendidikan, kegagalan dalam
pendidikan, minat belajar, cita-cita pendidikan dan sebagainya.
e) Kemampuan dasar, seperti kecerdasan, bakat, minat,sikap dan sebagainya.
f) Tingkah laku sosial, meliputi latar belakang pergaulan, kelompoknya, sikapnya terhadap
orang lain, peranan dalam kelompoknya dan sebagainya.

Sebuah contoh data studi kasus

Nama kasus : Mardi

Umur/ kelamin : 14 tahun/ laki-laki

Kelas : VI

1. Masalah : Guru kelasnya melaporkan bahwa Mardi sebagai anak yang kurang
dikelasnya. Tidak pernah mau mencatat pelajaran, tidak mau
membawa pensil, buku, tidak pernah mengerjakan pekerjaan
rumah. Sering tidak masuk kelas. Selalu murung, tidak mau
bermain dengan kawan-kawannya. Mudah tersinggung. Angka
raportnya menurun dibandingkan angka-angka yang di capai
sebelumnya. Jika di suruh menyanyi di depan kelas ia selalu
menolaknya.
2. Kemajuan akademis : Dengan mempelajari raportnya sejak kelas 1, Mardi tergolong
hanya anak-anak yang rata-rata saja. Menurut guru kelas 1 dan

14
kelas 2, ia lambat bisa membaca dan berhitung. Nilai yang selalu
baik, yaitu 7 dan 8, diperolehnya dari menggambar. Pernah tidak
naik kelas dari kelas 2 ke kelas 3. gejala menurun milai nampak
ketika di kelas 5, bahkan hampir-hampir tidak naik kelas 6.
3. Fisik dan kesehatan : Mmenurut hasil pemeriksaan kesehatan, ternyata Mardi tergolong
baik pertumbuhan fisiknya. Mata dan pendengarannya normal. Ia
memiliki tinggi 2 cm lebih dari kawan-kawan sekelasnya (jadi ia
anak yang tertinggi). Juga berat badannya. Pernah sakit thypus
ketika di kelas empat selama tiga minggu. Tidak menunjukkan
adanya kelainan dalam jasmaninya.
4. Keadaan keluarga : Mardi anak ketiga dari enam orang anak putra pak Kardi. Kakaknya
yang tertua (perempuan) telah menikah ketika telah tamat dari
kelas VI. Tiga orang adiknya perempuan semua. Pekerjaan pak
Kardi ialah supir truk yang biasa mengangkat sayur-mayur ke
jakarta. Ibunya juga sebagai pedagang kecil. Situasi ekonomi
keluarga pak Kardi boleh di kata kurang. Penghasilan pak Kardi
hanya cukup untuk makan saja. Untuk itu anak-anaknya di suruh
membantu ibunya bekerja mencari nafkah. Pulang sekolah Mardi
bekerja sebagai pengantar koran. Kakaknya yang kedua sering
sakit, sehingga ia tidak tamat sekolah karena keluar dari kelas lima
tahun yang lalu.
Ayah dan ibunya tidak pernah memberikan bantuan dalam
bimbingan pelajaran. Sangat jarang kesempatan untuk berkumpul
bersama seluruh keluarga, karena semuanya selalu sibuk. Ketika
guru pembimbing datang mengunjungi keluarga pak Kardi, mereka
menyambut dengan gembira dan berterima kasih atas usaha untuk
membimbing Mardi. Ayahnya menyambut baik rencana untuk
memberikan bimbingan kepada Mardi, dan mengakui segala
kekeliruan dalam mendidik anaknya. Harapan pak Kardi, andaikan
Mardi ada kemungkinan, ingin agar sekolahnya di terusklan karena
sebagai harapan dalam keluarga. Kalaupun tidak bisa, ingin agar
Mardi dapat bekerja dengan baik. Perlu di jelaskan bahwa ibunya
bersifat keras kepada anak-anaknya.

15
5. Kepribadian : Berdasarkan pengamatan guru-guru yang pernah mengajarnya,
Mardi anak yang pendiam, mudah tersinggung, menyisihkan diri
dari kawan-kawannya. Wawancara dengan Mardi memberikan
keterangan bahwa ia selalu diliiputi oleh rasa takut terutama oleh
ibunya. Sebenarnya ia tidak mau bekerja sebagai pengantar koran,
tetapi ibunya yang memaksa untuk itu.
Ia selalu rindu kapada ayahnya. Cita-citanya ingin menjadi seorang
montir mobil. Ia ingin juga melanjutkan sekolah, tapi ibunya
melarang meskipun ayahnya endorong. Minatnya banyak tercurah
ke dalam pelajaran menggambar, sedangkan kepada pelajaran
sejarah ia menyatakan paling tidak senang. Berdasarkan test
intelegensi yang di berikan kepadanya, ternyata ia memiliki tingkat
kecerdasan yang tergolong rata-rata. Bakatnya lebih menonjol
dalam bakat mekanis.

6. Tingkah laku sosial : Kurang banyak bermain, lebih banyak menyendiri. Kawan-
kawannya banyak yang mencemooh-kannya. Data sosiometris
menunjukkan bahwa ia tidak ada yang memilih. Ia sendiri memilih
Amir, seorang murid yang cukup pandai dalam kelasnya. Ketika
dinyatakan kenapa memilih Amir, ia menyatakan karena Amir
pandai dan orangnya baik, ia ingin seperti Amir. Menurut laporan
guru kelas 1, ketika di kelas 1 mardi tidak seperti sekarang. Waktu
itu ia anak yang cukup populer diantara kawannya. Gejala
semacam itu mulai mundur ketika ia tidak naik kelas. Kawan-
kawannya encemoohkan dan ibunya memarahinya. Ia merasa
malu untuk bergaul dengan kawan-kawannya, ia merasa kurang
diantara teman-temannya. Ia merasa lain diantara kawan-
kawnnya (umurnya paling tua di antara teman sekelasnya). Diluar
sekolah ia kurang mendapat kesempatan untuk bermain, karena
harus bekerja sebagai pengantar koran di sore hari.
7. kesimpulan : - Mardi menghadapi maslah yang memerlukan bantuan;
- Lingkungan keluarga merupakan fakta yang menimbulkan
masalahnya;

- Ada bakat dan minat yang tidak berkembang

16
- Keluarga terutama ayahnya memberikan bantuan dan
pengertian kepada usaha bimbingan.

- Mardi tersisihkan dari pergaulannya karena merasa rendah


diri

- Sesungguhnya ia tidak tergolong anak yang bodoh karena


tingkat kecerdasannya tidak tergolong rendah. Ia mengalami
hambatan dalam dirinya.

- Umur dan keadaan fisik yang melebihi kawan-kawannya,


mempengaruhi dirinya.6

17
MATERI 5:
PROSES DAN LANGKAH-LANGKAH DALAM STUDI KASUS
1. PENGANTAR

Sebelum sampai pada uraian mengenai langkah-langkah dan teknik bimbingan, berikut ini akan
digambarkan sebuah contoh yang akan memberikan gambaran bagaimana langkah dan teknik
memberikan bimbingan kepada seorang kasus. Contoh yang akan diberikan ialah kasus Mardi
seperti telah digambarkan pada kasusu terdahulu.

Guru pembimbing di sekolah itu menerima laporan ari guru kelas enam, bahwa seorang
murid yang bernama Mardi menunjukkan gejala-gejala: sering tidak masuk sekolah, hasil
belajarnya menurun, menyendiri, mudah tersinggung, tidak mau mencatat, tidak pernah
membawa buku dan alat-alat tulis, bersikap acuh terhadap pelajaran, dan selalu menolak kalau
disuruh kedepan untuk bernyanyi. Setelah menerima laporan, guru pemebimbing mulai
mengumpulkan keterangan mengenai diri kasus, yaitu mengenai alamat, tanggal lahir, lamanya
menunjukkan gejala tersebut, orang tua, pekerjaan orang tua, dll. Semuanya itu ditanyakan
kepada guru kelasnya. Berdasarkan keterangan pendahuluan itu guru pembimbing menetapkan
Mardi sebagai kasusu yang memerlukan pemahaman dan bantuan yang khusus.

Langkah yang pertama dilakukan ialah mengadakan studi yang mendalam tentang diri
Mardi beserta latar belakangnya(studi kasus). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh
pemahaman yang sebaik-baiknya agar memperoleh gambaran mengenai kesulitan atau masalah
yang sebenarnya, sehingga dapat di tetapkan bagaimana jenis bantuan yang dapat diberikan
untuk menolong Mardi. Dalam langkah ini guru pembimbing mulai mengumpulkan dokumen-
dokumen sekolah yang mencatat tentang diri Mardi, seperti buku induk, raport sejak di kelas
satu sampai sekarang, daftar absen, catatan-catatan guru, dll.(studi dokmenter). Juga mulai
mengadakan wawancara dengan guru-guru yang pernah mengajarnya.

Langkah selanjutnya ialah memanggil Mardi untuk diajak wawancara. Kepadanya di


jelaskan bahwa guru bermaksud akan membantunya dan bukan akan menghukumnya. Pada
mulanya Mardi merasa ragu-ragu dalam menjawab pertanyaan tetapi setelah dijelaskan segala
maksudnya, Mardi dengan terbuka memberikan jawaban-jawabanya. Ia menceritakan bahwa
jika berada di sekolah selalu merasa malu, malas. Ia merasa bodoh dan lebih tua dari rata-rata
umur murid teman sekelasnya, juga tinggi dan berat badannya. Sejak ia tidak naik kelas, ia
merasa bahwa dirinya yang paling bodoh.

18
Di rumah selalu diliputi oleh rasa takut karena ibunya selalu memarahinya. Setelah
sekolah ia menjadi pengantar koran, meskipun sebenarnya ia tidak mau melakukan hal itu,
tetapi ibunya memaksa untu itu. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya iapun ingin seperti kawan-
kawannya yang lain. Pelajaran yang paling disenanginya ialah menggambar, sedangkan yang
paling tidak disenanginya ialah sejarah. Cita-citanya menjadi ahli mesin atau montir mobil, tetapi
ayahnya melarang untuk itu. Wawancara pertama yang dilakukan waktu itu oleh guru
pembimbing dimaksudkan untuk memperoleh keterangan yang lebih banyak dari diri kasus,
disamping mulai menanamkan kepercayaan pada dirinya serta mulai membina hubungan yang
baik dan disertai saling mempercayai. Pada akhir wawancara, dan ia berjanji akan datang lagi
kepada guru pembimbing.

Pada hari yang telah ditentukan guru pembimbing mengunjungi rumah orang tua Mardi.
Ia diterima oleh kedua orang tuanya dengan ramah tamah. Kedua orang tuanya meminta
bantuan guru atau sekolah untuk membimbingnya. Dalam kunjungan itu kepada kedua orang
tuanya dijelaskan maksud guru pembimbing datang, dan kedua orang tuanya memahami dengan
baik dan memberikan keterangan dengan sejujur-jujurnya. Dari kunjungan ini guru pembimbing
memperoleh keterangan sebagai berikut. Ayah Mardi (pak Kardi) bekerja sebagai supir truk, dan
ibunya sebagai pedagang sayur. Anaknya semuanya 6 orang. Mardi sendiri adalah anak yang
ketiga, yang paling besar perempuan dan sudah kawin. Kakak Mardi yang kedua ialah laki-laki
dan sering sakit, tiga orang adiknya semuanya perempuan, yang paling kecil berumur 5 tahun.
Jadi Mardilah anak laki-laki yang dijadikan sebagai harapan orang tuanya. Ibunya bersikap keras
kepada anaknya, terutama kepada Mardi. Ayahnya menghendaki agar Mardi dapat meneruskan
sekolahnya. Sedangkan ibunya menghendaki tidak melanjutkan sekolah, tetapi bekerja. Keadaan
ekonomi keluarga pak Kardi boleh dikatakan kurang, karena penghasilan pak Kardi sebagai supir
dan ibunya hanya cukup untuk makan saja. Suasana di rumah kurang begitu baik, karena pak
Kardi sering tidak ada di rumah. Ibunya sejak pagi-pagi sudah pergi ke pasar, dan baru pulang
sore hari. Sehingga kesempatan untuk berkumpul dengan seluruh keluarga boleh dikatakan
jarang sama sekali. Pada wawancara itu guru tidak memberikan saran apa-apa karena
maksudnya hanya untuk memperoleh keterangan tentang latar belakang keluarga Mardi. Pada
akhir wawancara dijanjikan bahwa guru pembimbing akan datang lagi dan hal itu diterima baik
oleh kedua orang tuanya.

Atas persetujuan guru dan juga Mardi sendiri kemudian guru pembimbing membawa
Mardi untuk diperiksa kesehatannya kepada klinik yang terdekat. Hasil pemeriksaan tersebut
menunjukkan fisik dan kesehatan Mardi termasuk baik, tidak terdapat kelainan-kelainan. Hanya
tinggi dan berat badan lebih tinggi dibandingkan dengan kawan-kawan sekelasnya. Maka

19
disimpulkan bahwa dari segi jasmani dan kesehatan sesungguhnya tidak terdapat gangguan dan
kelainan. Hanya diperoleh keterangan bahwa Mardi pernah sakit typhus ketika di kelas lima dan
ketika berumur 6 tahun.

2. PERSETUJUAN

Kemudian atas persetujuan guru kelas dan kepala sekolah diadakan psychotest kepada
seluruh murid kelas enam. Hasil psychotest menunjukkan bahwa dalam inteligensi Mardi
menunjukkan tingkat kecerdasan yang tergolong normal (rata-rata). Ia memiliki bakat mekanis
yang tinggi, mudah tersinggung dan memerlukan dorongan.

Untuk mengetahui keadaan tingkah laku sosialnya, guru mencoba melakukan teknik
sosiometri, dan dari sosiogramnya ternyata Mardi tergolong anak yang terisolir (tidak ada yang
memilih). Ia sendiri memilih Amir, seorang murid yang pandai di kelas itu. Selanjutnya situasi,
seperti ketika mengikuti pelajaran, sedang olah raga, sedang istirahat, sedang bekerja, dan
sebagainya. Dari observasi ini diperoleh data bahwa memang Mardi kurang populer dalam
kelompokknya.

Dalam suatu pelajaran mengarang guru kelas memuruh murid-murid untuk membuat
dua buah karangan yang masing-masing berjudul : “Keadaan di rumahku” dan “Cita-citaku
setelah tamat sekolah”. Dari kedua judul karangan itu Mardi menceritakan keadaan keluarganya
dan lebih banyak menyalahkan keadaan keluarganya, terutama kepada ayahnya yang sering
tidak ada di rumah, dan ibunya yang sering memarahinya. Ia menyatakan kerinduan kepada
ayahnya. Dari karangan mengenai cita-citanya, diketahui bahwa ia menginginkan menjadi
seorang montir mobil yang cakap.

3. CONTOH

Berdasarkan data yang telah terkumpul kemudian guru pembimbing membuat laporan
data studi kasus yang bentuknya seperti telah dicontohkan dalam bagian yang terdahulu
membuat suatu kesimpulan mengenai maslaah yang dihadapi Mardi serta latar belakangnya,
sebagai berikut :

Masalah (kesulitan) Mardi :

1. Masalah kesulitan dalam belajar


2. Masalah penyesuaian diri dalam kehidupan sosial
3. Masalah pribadi (ada konflik dalam dirinya dan kurang percaya pada diri sendiri)
Latar belakangnya ialah :

20
1. Kekecewaan waktu tidak naik kelas
2. Situasi di rumah yang tidak memadai
3. Ada bakat-bakat yang tidak dapat berkembang
4. Umur yang lebih tua dari kawan-kawannya
Berdasarkan data dan kesimpulan sementara itu, kemudian bersama-sama dengan guru
kelas dan Kepala Sekolah, diadakan rapat atau pertemuan dengan semua guru di sekolah itu,
untuk membicarakan masalah tindakan selanjutnya. Pada kesempatan itu guru pembimbing
memberikan laporan mengenai data yang telah terkumpul dan kesulitan serta latar belakangnya.
Kemudian dikemukakan pula kemungkinan-kemungkinan langkah selanjutnya, yaitu usaha-usaha
yang dapat ditempuh untuk memberikan bantuan. Pada pertemuan itu semua guru memberikan
sumbangan pikiran masing-masing, baik mengenai data maupun mengenai langkah-langkah
usaha memberikan bimbingan. Rapat semacam ini disebut case conference (pertemuan kasus).

Pertemuan tersebut menyimpulkan dan menetapkan langkah-langkah sebagai berikut :

Jenis bantuan yang akan diberikan ialah :

1. Bimbingan dalam kesulitan belajar


2. Bimbingan penyesuaian diri, terutama dalam kehidupan sosial
3. Bimbingan pribadi dalam penyelesaian konflik pribadi
Untuk itu, langkah-langkah yang akan ditempuh ialah :

1. Mengadakan wawancara khusus dengan kasus secara teratur dan sistematis


2. Mengadakan pendekatan dengan orang tua untuk memperoleh pengertian yang sebaik-
baiknya dari orang tua. Hal ini dilakukan dengan mengunjungi rumah (home visit) atau
pemanggilan orang tua ke sekolah.
3. Mengikutsertakan kasus dalam kegiatan-kegiatan kelompok seperti diskusi, kerja kelompok,
dan sebagainya.
4. Mengadakan kunjungan (karyawisata atau field trip) ke objek-objek tertentu.
5. Memberikan bantuan secara khusus dan individual dalam belajar, terutama untuk
matapelajaran-matapelajaran yang kurang.
6. Memberikan informasi atau keterangan-keterangan baik tentang pendidikan maupun
tentang pekerjaan kepada murid secara kelompok ataupun individu.
Berdasarkan langkah-langkah yang telah dirumuskan dalam pertemuan (case
conference) tersebut, kemudian guru pembimbing mulai mengadakan wawancara dengan
Mardi. Dalam kesempatan wawancara tersebut diusahakan agar Mardi lebih memahami
gambaran tentang dirinya. Dijelaskan bahwa ia tidak perlu merasa rendah diri. Dalam

21
wawancara tersebut Mardi menyatakan kepuasannya, karena ada tempat mencurahkan
perasaannya dan telah berniat untuk memperbaiki keadaannya. Iapun melaporkan bahwa
semenjak kunjungan gurunya ke rumah, ibunya bersikap lebih baik dan ayahnya pun leih banyak
memperhatikan dirinya. Hal itu telah menimbulkan gairah untuk belajar lebih baik.

Dalam kunjungan ke rumah (home visit) yang kedua kali kepada orang tuanya dijelaskan
dan diminta pengertian dalam menghadapi Mardi. Kepada orang tuanya dijelaskan pula
mengenai data tentang diri Mardi baik mengenai kemampuan, kecerdasan, maupun bakatnya.
Ibunya berjanji untuk mengubah sikapnya dan ayahnyapun berjanji untuk tidak terlalu lama
meningglkan rumah. Pekerjaan Mardi sebagai pengantar koran dihentikan dan lebih banyak
memberikan kesempatan kepada Mardi untuk bekerja sesuai dengan minatnya, yaitu
menggambar dan mmebuat kerajinan atau mainan. Juga sekali-kali ikut dengan ayahnya ke
bengkel untuk memperbaiki mesin mobil. Orang tuanya melaporkan bahwa sekarang Mardi mau
belajar di rumah.

Pada waktu yang telah ditentukan guru membawa murid untuk mengadakan
karyawisata atau peninjauan ke suatu proyek pembuatan jalan raya. Setiap murid diminta untuk
memperhatikan mesin-mesin yang ada, seperti buldozer, mesin derek, mesin giling, pemecah
batu, dan sebagainya. Kemudian membuat laporan untuk didiskusikan di dalam kelas. Dalam
kegiatan itu guru memperhatikan tingkah laku Mardi yang nampak sangat senang dan gembira.
Ia menunjukkan sesuatu dan menjelaskan kepada teman-temannya, ia sangat aktif mencatat
dan bertanya kepada para pekerja di situ. Setelah selesai peninjauan, Mardi diminta berdiskusi
dan membuat laporan. Ternyata Mardi berhasil membuat laporan yang paling baik, ia berhasil
membuat gambar mesin-mesin yang dilihatnya.

Semua teman-temannya merasa kagum atas prestasi Mardi, dan mulai saat itu kawan-
kawannyapun mulai menghargai keunggulan Mardi. Dari kenyataan itu Mardi merasa harga
dirinya kembali.

Kemudian guru merencanakan suatu proyek kerja kelompok yaitu membuat mesin-
mesin dari kayu. Untuk itu Mardi ditunjuk sebagai ketua kelompok dan harus memimpin
kegiatannya. Ia sangat aktif dan ternyata ia berhasil memimpin kawan-kawannya dalam
membuat mainan dari kayu itu. Ketika diadakan pameran, hasil kerajinan itu mendapat penilaian
yang baik. Kini kawan-kawannya tidak menganggap Mardi sebagai anak yang harus dijauhi,
tetapi sebagai seorang anak yang memiliki kemampuan tertentu. Mardipun telah merasakan
bahwa dirinya dihargai dan diakui oleh kawan-kawan sekelasnya.

22
Dalam hal pelajaran-pelajaran yang mundur, guru telah memberikan bantuan secara
individual, baik yang sifatnya mengulang maupun tambahan. Mardi bersedia untuk menerima
tambahan pelajaran pada waktu-waktu tertentu. Ia diberi tugas-tugas pelajaran pada waktu-
waktu tertentu. Ia diberi tugas-tugas pelajaran tambahan untuk dikerjakan baik di sekolah
maupun di rumah. Dengan bantan guru-guru, teman-temannya dan juga orang tuanya, Mardi
dapat melaksanakan tugasnya itu. Amir sebagai kawan yang disenanginya dicoba didekatkan dan
ternyata Amir dapat memberikan bantuan yang baik dalam belajar.

Di samping itu gurupun memberikan penjelasan-penjelasan tentang cara-cara belajar


yang baik. Kemudian guru memberikan penerangan tentang sekolah-sekolah lanjutan yang
dapat dimasuki setelah taman Sekolah Dasar. Pada umumnya murid-murid ingin melanjutkan
sekolahnya termasuk Mardi, tetapi Mardi ingin melanjutkan ke Sekolah Teknik atau memasuki
kursus montri mobil.

Proses pemberian bantuan itu dilakukan secara kontiny dan dalam waktu yang agak
cukup lama. Setelah kurang lebih sebulan proses itu berjalan, mulai terlihat ada perubahan
dalam diri Mardi. Guru kelas melaporkan bahwa hasil ulangannya sudah agak lebih baik dari
sebelumnya. Ia mulai mau membuat catatan dan jarang tidak masuk. Dalam satu bulan ini ia
tercatat tidak masuk dua hari. Itupun ada berita sebelumnya. Pergaulan dengan kawan-
kawannya menjadi lebih baik. Ia bersedia menjadi ketua kelas dan kawan sekelasnyapun
menyenanginya sebagai ketua kelas. Dalam kegiatan kelompok ia aktif. Orang tuanya ketika
suatu hari datang ke sekolah melaporkan bahwa anaknya sekarang lebih rajin belajar di rumah
dan mejadi periang, bahkan dapat membantu adik-adiknya. Orang tuanya lebih yakin akan
keberhasilan anaknya dalam sekolah. Sedikit-sedikit ia sudah agak mengetahui tentang mesin
mobil dan ia sangat senang sekali kalau diajak bekerja di bengkel memperbaiki mesin-mesin
mobil.

Dari data sosiometri sekarang nampak ada perubahan. Ia tidak lagi tergolong sebagai
anak yang terisolir, tetapi sebagai anak yang cukup disenangi dalam pergaulan.

Dalam wawancara dengan Mardi, ia menyatakan bahwa ia sekarang merasa senang


belajar, keadaan di rumah sudah berubah, ia tidak lagi dimarahi oleh ibunya, ia diperbolehkan
ikut dengan ayahnya bekerja di bengkel. Angka-angka ulangan sudah agak lebih baik, dan ia
berjanji akan belajar lebih baik lagi. Cita-citanya ialah akan melanjutkan ke sekolah teknik
setelah taman ujian di SD.

23
Dari hasil pengamatan tersebut guru pembimbing menyimpulkan bahwa usaha
pemberian bimbingan kepada Mardi sampai batas tertentu nampak ada hasilnya. Dengan kata
lain : kesulitan belajar Mardi telah sebagian dapat teratasi, ia telah berhasil memperoleh harga
dirinya sehingga ia dapat menyesuaikan diri yang lebih baik dalam kelompoknya. Pertentangan
batin yang terjadi karena sikap ayah dan ibunya telah dapat diselesaikan karena ada pengertian
dari kedua orang tuanya.

24
MATERI 6:
LANGKAH-LANGKAH BIMBINGAN

Dalam pemberian bimbingan di kenal adanya langkah-langkah sebagai berikut:


a. Langkah identifikasi kasus
Langkah ini di maksudkan untuk mengenal kasus beserta gejala-gejala yang nampak. Dalam
langkah ini pembimbing mencatat kasus-kasus yang perlu mendapat bimbingan dan memilih
kasus mana yang akan mendapat bantuan terlebih dahulu.

b. Langkah diagnosa
Langkah diagnosa yaitu langkah untuk menetapkan masalah yang dihadapi kasusu beserta
latar belakangnya. Dalam langkah ini kegiatan yang di lakukan ialah mengumpulkan data
dengan mengadakan studi kasus dengan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data.
Setelah data terkumpul kemudian ditetapkan masalah yang dihadapi serta latar
belakangnya.

c. Langkah Prognosa
Langkah ini merupakan langkah untuk menetapkan jenis bantuan atau terapi apa yang akan
dilaksanakan untuk membimbing kasus. Langkah prognosa ini di tetapkan berdasarkan
kesimpulan dalam langkah diagnosa, yaitu setelah di tetapkan masalah beserta latar
belakangnya

d. Langkah terapi
Langkah terapi yaitu langkah pelaksanaan bantuan atau bimbingan. Langkah ini merupakan
pelaksanaan apa-apa yang di tetapkan dalam langkah prognosa.pelaksanaan ini tentu
memakan banyak waktu dan proses yang kontinu dan sistematis serta memerlukan adanya
pengamatan yang cermat.

e. Langkah evaluasi dan follow up


Langkah ini di maksudkan untuk menilai atau mengetahui sejauh manakah langkah terapi
yang telah dilakukan telah mencapai hasilnya. Dalam langkah follow up, dilihat
perkembangan selanjutnya dalam jangka waktu yang lebih jauh.

25
MATERI 7: TEKNIK-TEKNIK BIMBINGAN
Pada umumnya teknik-teknik yang dipergunakan dalam bimbingan mengambil dua pendekatan,
yaitu pendekatan kelompok dan pendekatan secara individuil.

a. Bimbingan kelompok (group guidance)


Teknik ini dipergunakan dalam membantu murid atau sekelompok murid memecahkan
masalah-maslah dengan melakukan kegiatan kelompok.

1. Home room Program (program home room)


Yaitu suatu program kegiata yang dilakukan dengan tujuan agar guru dapat mengenal
murid-muridnya lebih baik, sehingga dapat membantunya secara efisien. Kegiatan ini
dilakukan dalam dalam kelas dalam bentuk pertemuanantara guru dengan muriddi luar
jam-jam pelajaran untuk membicarakan hal-hal yang di anggap perlu.

2. Karya wisata (field trip)


Karya wisata atau field trip disamping sebagai berfungsi sebagai kegiatan rekreasi atau
metode mengajar, dapat pula berfungsi sebagai salah satu teknik dalam bimbingan
kelompok. Di samping itu diharapkan murid-murid mendapatkan kesempatan untuk
memperoleh penyesuaian dalam kehidupan kelompok, misalnya dalam berorganisasi,
kerja sama, rasa tanggung jawab , percaya pada diri sendiri. Juga dapat mengembangkan
bakat dan cita-cita yang ada.

3. Diskusi kelompok
Diskusi kelompok merupakan suatu cara dimana murid-murid akan mendapat
kesempatan untuk memecahkan masalah barsama-sama. Setiap murid mendapatkan
kesempatan untuk menyumbangkan pikiran masing-masing dalam memecahkan suatu
masalah. Dalam diskusi itu dapat tertanam pula rasa tanggung jawab dan harga diri.

4. Kegiatan kelompok
Kegiatan kelompok merupakan teknik yang baik dalam bimbingan, karena kelompok
memberikan kesempatan kepada individu untuk berpartisipasi dengan sebaik-baiknya.

5. Organisasi murid
Melalui organisasi murid ini banyak masalah-maslah yang sifatnya individuil maupun
kelompok dapat diselesaikan. Dalam organisasi murid mendapat kesempatan untuk
belajar mengenai berbagai aspek kehidupan sosial, serta dapat mengembangkan bakat
kepemimpinan disamping memupuk tanggung jawab dan harga diri.

26
6. Sosiodrama
Sosiodrama dapat juga diartikan dengan bermain peran, di dalamsosio drama ini
individu akan memerankan suatu peranan tertentu dari suatu situasi masalah sosial.

Dalam kesempatan itu individu akan menghayati secara langsung situasi masalah yang
dihadapinya.

7. Psikodrama
Psikodrama adalah teknik untuk memecahkan masalah-masalah psichis yang dialami
oleh individu. Dengan memerankan suatu peranan tertentu, konflik atau ketegangan
yang ada pada dirinya dapat di kurang atau dihindarkan.

8. Remedial teaching
Pengajaran remedial yaitu bentuk pengajaran yang di berikan kepada seorang murid
untuk membantu kesulitan belajar yang dihadapinya.remedial ini mungkin berbentuk
penambahan pelajaran, pengulangan kembali, latihan-latihan, penekanan aspek-aspek
tertentu tergantung dari jenis dan tingkat kesulitan belajar yang dialami murid.

f. Penyuluhan individuil (individual counseling)


Counseling atau penyuluhan merupakan salah satu teknik pemberian bantuan secara
individuil dan secara langsung berkomunikasi. Dalam teknik ini pemberian bantuan
dilakukan dengan hubungan yang bersifat face to face relationship (hubungan empat mata),
yang dilaksanakan dengan wawancara antara counselor dengan kasus.

Pada umumnya dikenal ada tiga teknik khusus dlam konseling yaitu:

1. Directive counseling
Yaitu teknik konseling dimana yang paling berperan ialah counselor; counselor berusaha
mengarahkan counselee sesuai dengan masalahnya.

2. Non- Directive counseling


Teknik ini adalah kebalikan dari teknik diatas, yaitu semua berpusat kepada counselee.
Counselor hanya menampung pembicaraan, yang berperan ialah counselee. Counselee
bebas bicara sedangkan counselor menampung dan mengarahkan

3. Eclective counseling

teknik ini merupakan campuran dari kedua teknik diatas.

27
MATERI 8:
ALAT-ALAT PENGUMPULAN DATA DALAM STUDI KASUS

1. Pedoman wawancara
2. Catatan anekdot
3. Daftar cek
4. Skala penilaian
5. Angket murid
6. Angket pengamatan guru
7. Angket orang tua
8. Daftar isisan sosiometri
9. Kartu pemeriksaan kesehatan
10. Laporan individuil hasil psychotest7

28
MATERI 9:

CONTOH STUDI KASUS DENGAN KASUS ANAK AUTIS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Paparan Kasus
Pepatah Yunani Kuno mengatakan bahwa harapan merupakan impian yang
terbangun. Arti dari pepatah tersebut bahwa harapan adalah suatu keinginan
yang diwujudkan. Harapan merupakan suatu hal yangdiwujudkankarena manusia
pada hakikatnya memiliki kemampuan untuk berharap, melakukan suatu rencana
untuk mencapai harapan, dan memacu diri untuk mewujudkan harapan.
Manusia umumnya menggunakan harapan sebagai bentuk afektif dari
penguatan sekunder dan pemahaman yang memungkinkan manusia untuk
bergerak mencapai tujuan (Lopez & Snyder, 2003). Bentuk afektif dari penguatan
sekunder merupakan bentuk emosi dari harapan yang muncul akibat kehadiran
suatu stimulus yang diasosiasikan dengan hal menyenangkan (Lopez & Snyder,
2003). Pemahaman yang memungkinkan manusia untuk bergerak mencapai
tujuan diarahkan oleh perspektif manusia terhadap sumber daya atau sumber
daya yang manusia merasa dapat menguasainya (Godfrey dalam Lopez &
Snyder, 2003). Menurut Gottschalk (dalam Lopez & Snyder, 2003) harapan
dipandang sebagai ekspektansi positif, didefinisikan sebagai jumlah optimisme
terhadap terjadinya hal-hal yang favorable atau disukai.Harapan yang
diasosiasikan dengan hal-hal positif dan optimisme dapat memberikan
kebahagiaan dan emosi positif bagi manusia, sehingga secara tidak langsung
dapat meningkatkan kualitas hidup manusia (Mengapa Kita Membutuhkan
Harapan?, 2004).
Harapan kemudian dirangkum sebagai suatu gabungan antara aspek emosi
dan kognitif, karena harapan melibatkan aspek emosi untuk membuat manusia
merasa optimis dan aspek kognitif untuk membuat manusia merasa yakin dan

29
dapat merencanakan harapan. Snyder (dalam Lopez & Snyder, 2003)
mendefinisikan harapan sebagai pemikiran yang mengarah pada tujuan yang
individu anggap dapat menghasilkan jalan menuju tujuan yang diinginkan dan
diperlukan motivasi untuk menggunakan jalan tersebut. Tujuan dapat bervariasi
dari tujuan jangka pendek hingga jangka panjang. Tujuan yang ditetapkan harus
memiliki nilai-nilai yang cukup. Tujuan dapat berorientasi pada hal positif yang
ingin diwujudkan individu atau hal negatif yang ingin diantisipasi oleh individu
(Lopez & Snyder, 2003).
Harapan dapat muncul dalam setiap situasi yang dihadapi manusia, termasuk
dalam tahap perkembangan kehidupan yang dijalani manusia. Salah satu dari
tahap perkembangan tersebut adalah usia dewasa. Usia dewasa umumnya
dikaitkan dengan maturasi, karier, pernikahan, dan produktivitas (Hurlock, 1980).
Salah satu tanggung jawab utama saat memasuki usia dewasa adalah
membentuk hubungan dan membangun keluarga, sehingga pada usia dewasa
manusia belajar menjadi orangtua dari anak-anak yang mereka miliki, baik
secara biologis maupun nonbiologis.
Orangtua tentu memiliki harapan dalam kehidupan, terutama saat orangtua
sudah memasuki usia dewasa madya dan anak sudah memasuki usia dewasa
awal. Usia dewasa madya yang secara umum dikaitkan dengan masa tua,
membuat orangtua berharap agar anak mau merawat orangtua dengan telaten
dan anak sudah dapat hidup mandiri (Fitriani, 2015). Cara yang dilakukan
orangtua adalah dengan mengajak anak untuk berdiskusi terkait rencana hidup
yang dibuat oleh anak. Harapan yang muncul juga terkait dengan hubungan
dengan pasangan yang menjadi lebih lekat karena anak sudah mulai belajar
berkeluarga (Papalia, Old, & Feldman, 2011).
Pasangan umumnya menjadi tempat utama untuk berbagi terkait kondisi
anak, selain untuk berbagi tentang kegiatan rumah tangga, pekerjaan, maupun
romantisme pasangan (Papalia, Old, & Feldman, 2011). Kondisi yang berbeda
seperti kehilangan pasangan, akan membuat orangtua menjadi orangtua tunggal.
Orangtua yang menjadi orangtua tunggalbisa terdiri dari bapak saja atau ibu saja.
Kondisi orangtua tunggalmengasumsikan tanggung jawab untuk memelihara
anak-anak setelah kematian pasangan, perceraian, atau kelahiran anak di luar
nikah (Hurlock, 1999).

30
Perlmutter & Hall (1985) menyatakan bahwa orangtua tunggaladalah
orangtua yang membesarkan anak tanpa kehadiran pasangan. Kehadiran
pasangan yang dimaksud dalam hal ini meliputi dukungan dan tanggungjawab.
Ketidakhadiran pasangan memberikan beban emosional bagi orangtua
tunggal(Orangtua Tunggal, Banyak Tantangannya, 2016). Seorang ibu yang
menjadi orangtua tunggal harus memikul tanggung jawab rumah tangga karena
kehilangan pasangan hidup, seperti pengasuhan dan pencarian nafkah.
Penyesuaian diperlukan untuk kestabilan diri ibu maupun rumah tangga. Hal
tersebut dapat berimplikasi pada pengasuhan anak (Orangtua Tunggal, Banyak
Tantangannya, 2016).
Kondisi orangtua tunggal mengakibatkan perbedaan harapan dengan
harapan yang umumnya muncul pada orangtua utuh. Ibu sebagai orangtua
tunggal, mungkin saja akan mencari pasangan pengganti untuk menjadi suami
dan bapak bagi anak atau mencari dukungan sosial dari kalangan keluarga dan
teman. Dukungan sosial dari kalangan keluarga umumnya menjadi alternatif
pertama. Hal tersebut disebabkan karena ibu umumnya ingin melewati tahap
berduka atas kehilangan pasangan dan menyesuaikan diri dengan situasi yang
dihadapi. Kondisi anak yang tidak normal, seperti autis, dapat menyebabkan ibu
menunda untuk memiliki pasangan dan fokus untuk memfasilitasi kebutuhan
anak.
Harapan menjadi hal penting bagi ibu orangtua tunggal yang memiliki anak
autis. Harapan menjadi media bagi ibu orangtua tunggal untuk bangkit dan
menjalankan tugas rumah tangga demi memfasilitasi kebutuhan anak sekaligus
meringankan keparahan gangguan autis yang dialami anak. Ibu orangtua tunggal
dari anak autis umumnya berharap bahwa anak dapat menjalani tahap dan tugas
perkembangan yang sama seperti teman-teman seusia anak. Hal tersebut dapat
saja bertentangan dengan realita kondisi anak. Ibu orangtua tunggal perlu
mendapatkan edukasi dan mencari informasi terkait kondisi gangguan autis yang
dialami anak.
Autis merupakan salah satu gangguan perkembangan pervasif yang dicirikan
dengan gangguan perilaku, gangguan komunikasi, dan gangguan dalam
membentuk interaksi dengan orang lain yang muncul pada anak di bawah usia
tiga tahun (APA, 2013). Gangguan yang muncul dapat seperti kesulitan dalam
menggunakan perilaku nonverbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur

31
tubuh, dan isyarat untuk mengatur hubungan sosial, kesulitan membentuk
hubungan dengan teman sebaya yang sesuai dengan tahap perkembangannya,
ketidakmampuan untuk secara spontan mencari orang lain untuk tujuan berbagi
kesenangan, minat atau keberhasilan, dan ketidak-mampuan membentuk
hubungan sosioemosional yang timbal balik (Puspita, 2007).
Gangguan tersebut menyebabkan individu autis memiliki kesempatan bergaul
dengan teman sebaya yang terbatas, sehingga individu autis tidak mendapatkan
pengalaman bergaul yang cukup untuk membentuk hubungan emosional yang
sehat sesuai usia mereka (Puspita, 2007). Individu autis seringkali dianggap tidak
mampu berkomunikasi atau memberikan respon, sehingga orang-orang di
lingkungan sekitar anak berasumsi bahwa individu autis tidak paham atas
stimulasi atau percakapan yang dilakukan. Orang-orang di lingkungan sekitar
anak kemudian memutuskan untuk tidak berinteraksi dengan anak-individu autis,
dengan pemikiran yang sangat sederhana “mereka ‘kan tidak mengerti”
(Margaretha, 2014; Putri, 2015).
Anak autis secara fisiologis akan tetap menjalani tahap perkembangan yang
sama dengan anak seusianya. Hal yang nampak berbeda adalah pada tahap
penyelesaian tugas perkembangan (Puspita, 2007). Menurut Erikson, manusia
dalam menjalani pertumbuhan dan perkembangan akan melewati delapan tahap
perkembangan psikososial, yaitu infancy, early childhood, play age, school age,
adolescence, young adulthood, adulthood, dan old age (Feist & Feist, 2009).
Masa dewasa awal merupakan transisi dari masa remaja menuju masa
dewasa. Erikson mendefinisikan masa dewasa awal sebagai fase yang diawali
dengan intimacy dan diakhiri dengan generativity pada tahap perkembangan.
Fase dewasa awal terjadi pada usia 19 – 30 tahun (Feist & Feist, 2009). Tugas
perkembangan pada fase dewasa awal adalah untuk mencapai intimacy dengan
lawan jenis dan membentuk keluarga. Manusia dalam tahap perkembangan ini
tidak serta merta membentuk keluarga. Ada beberapa proses yang perlu dijalani
seperti menjalin relasi, membangun karier, memilih pasangan, dan
merencanakan masa depan termasuk masa depan orangtua. Salah satu hal
yang berperan penting dalam pelaksanaan tugas perkembangan adalah aspek
kognitif dari manusia.
Fase dewasa awal dicirikan dengan tahap pemikiran postformal, yaitu
kemampuan individu untuk berpikir dan berhadapan dengan ketidakpastian,

32
ketidakkonsistenan, kontradiksi, ketidaksempurnaan, dan kompromi (Papalia,
Old, & Feldman, 2011). Schaie mengemukakan model rentang kehidupan
perkembangan kognitif (Papalia, dkk., 2011). Salah satu dari model rentang
kehidupan perkembangan kognitif yang berhubungan dengan tahap pemikiran
postformaladalah tahap pencapaian yang dimulai sejak usia remaja akhir sampai
awal usia tiga puluhan. Tahap ini mencerminkan bahwa pada usia dewasa awal,
manusia mencari informasi untuk mengejar target, seperti karier dan keluarga.
Pencapaian terhadap tugas perkembangan merupakan suatu prestasi (Feist
& Feist, 2009). Hal tersebut yang akan berbeda pada anak autis yang sudah
memasuki usia dewasa awal. Gangguan yang dialami oleh individu autis
menyebabkan ketidakmampuan dalam menyelesaikan tugas perkembangan. Hal
tersebut juga dapat diperparah oleh tingkat keparahan autis yang dialami dan
stimulasi dari lingkungan seperti terapi dan pemberian pendidikan bina diri.
Kerjasama dari orangtua juga diperlukan agar individu autis dapat dilatih dan
diberikan terapi saat berada di rumah. Kemampuan orangtua dalam bekerjasama
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti dukungan sosial, pasangan,
tingkat pemahaman tentang anak autis dan ekonomi.
Subjek dalam studi kasus ini merupakan seorang ibu dari anak autis berjenis
kelamin perempuan. Anak subjek saat ini berusia 20 tahun dan sedang menjalani
pendidikan bina diri serta terapi di Pusat Layanan Autis (PLA) Kota
Denpasar.Subjek berkata bahwa sudah ditinggal oleh suami sejak anak pertama
berusia empat tahun dan didiagnosis mengalami autis. Hal tersebut juga
bertepatan dengan kelahiran anak kedua subjek. Alasan suami meninggalkan
subjek adalah karena keluarga besar dari pihak suami tidak setuju jika suami
melanjutkan hubungan dan memiliki anak tidak normal. Orangtua subjek
kemudian memutuskan untuk mengajak subjek serta anak-anak untuk tinggal
bersama kembali.
Subjek mengalami kondisi “tanpa status” selama beberapa tahun. Hal
tersebut dikarenakan subjek belum resmi bercerai tetapi suami sudah tidak
menjalankan kewajiban sebagai seorang suami maupun ayah. Kondisi tersebut
membuat orangtua subjek meminta agar subjek yang berinisiatif melakukan cerai
melalui proses hukum.
Menurut subjek, orangtua dan kerabat sangat mendukung subjek dalam
merawat anak subjek. Orangtua dan kerabat mengatakan “Kamu diam saja

33
disini, urusi anakmu saja, tidak usah pikir yang lain lagi” pada saat subjek
ditinggalkan oleh suami. Salah satu saudara subjek juga membantu dengan
merawat anak kedua subjek dan saat ini sedang berdomisili di Kota Bandung.
Subjek nampak giat dalam mencari informasi untuk meningkatkan
kemampuan anak. Anak subjek sempat disekolahkan di taman kanak kanak dan
sekolah dasar inklusi, sebelum diterapi dan dididik di PLA Kota Denpasar. Anak
subjek dikategorikan mengalami Autism Spectrum Disorder dengan tingkat
keparahan sedang sampai berat.
Koordinator terapis di PLA Kota Denpasar mengatakan bahwa, orangtua yang
menerapi anak di PLA umumnya mengalami kecemasan dan kekhawatiran
tentang masa depan anak. Beberapa pertanyaan yang muncul seperti
bagaimana jika saya sudah tidak ada, siapakah yang akan merawat anak saya,
apakah dia dapat hidup mandiri.Subjek juga pernah mengatakan kepada
koordinator terapis terkait bagaimana jika subjek sudah tidak dapat menemani
anaknya lagi. Menurut koordinator terapis, mungkin hal tersebut yang membuat
beberapa orangtua termasuk subjek, bisa bekerjasama dengan terapis dalam
memberikan terapi maupun bina diri kepada anak autis di rumah.
Hal tersebut serupa dengan pernyataan subjek bahwa di rumah terkadang
mengajari anak untuk makan sendiri, mengatakan jika ingin buang air besar atau
buang air kecil, menggunakan pakaian, dan kegiatan-kegiatan keseharian
lainnya. Subjek mengatakan terkadang ia tidak mampu konsisten dalam
memberikan latihan tersebut kepada anak, karena ada kesibukan rumah tangga
yang harus diselesaikan subjek. Menurut subjek, dibutuhkan kesabaran,
ketelatenan, pengulangan dan konsistensi dalam mendidik anak autis. Untuk
saat ini, subjek mengatakan hanya mengalami kendala pada waktu, sehingga
tidak bisa selalu mendidik dan melatih anak untuk melakukan kegiatan
keseharian secara mandiri.

B. Rumusan Kasus
Rumusan kasus dari studi kasus ini adalah, bagaimana gambaran harapan
pada ibu sebagai orangtua tunggal terkait dengan kondisi anak subjekyang
mengalami gangguan autis?

34
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan dari studi kasus ini adalah untuk mengetahui gambaran harapan pada
subjek terkait dengan kondisi anak subjek yang mengalami gangguan autis.
2. Manfaat dari studi kasus ini dibagi menjadi dua:
a. Manfaat Teoritis, yaitu dapat menambah kajian dalam ilmu Psikologi
Klinis, Psikologi Perkembangan, Psikologi Positif dan Psikologi
Perkembangan Keluarga.
b. Manfaat Praktis, yaitu dapat media pembelajaran bagi praktisi maupun
orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk memahami dan
mencari solusi atas konflik psikologis yang dialami oleh orangtua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus, khususnya orangtua tunggal yang
memiliki anak autis usia dewasa awal.

35
BAB II
METODE PENGUMPULAN DATA

A. Observasi
Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti melihat dan
memperhatikan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan
secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan
hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari & Hassan, 1998).
Melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku
tersebut (Marshall dalam Sugiyono, 2014). Menurut Banister (dalam Poerwandari
& Hassan, 1998) observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratorium
(eksperimental) maupun alamiah. Penelitian studi kasus ini berlangsung dalam
konteks alamiah, tanpa pengondisian situasi dan kondisi subjek oleh peneliti.
1. Teknik Observasi
Menurut Patton (dalam Poerwandari & Hassan, 1998) terdapat beberapa
alternatif pertimbangan pendekatan observasi, yaitu:
a. Observasi partisipatif dan observasi nonpartisipatif
Terdapat derajat partisipasi aktif menurut Spradley (dalam Sugiyono,
2014) yaitu:
1. Partisipasi pasif, terjadi ketika peneliti datang di tempat kegiatan subjek
penelitian, tetapi tidak ikut pada kegiatan tersebut.
2. Partisipasi moderat, ketika terjadi keseimbangan pada peneliti sebagai
orang luar maupun orang dalam pada kegiatan subjek penelitian.
3. Partisipasi aktif, terjadi ketika peneliti secara umum mengikuti kegiatan
yang dilakukan subjek penelitian, tetapi tidak sepenuhnya.
4. Partisipasi lengkap, terjadi ketika peneliti terlibat sepenuhnya terhadap
kegiatan subjek penelitian dan peneliti tidak nampak sedang
melakukan penelitian.
Patton (dalam Poerwandari & Hassan, 1998) mengungkapkanbahwa
hal terpenting dalam pertimbangan observasi ini adalah peneliti
menyesuaikan derajat partisipasi aktif dengan karakteristik subjek, sifat
interaksi peneliti dan subjek penelitian, maupun konteks sosial politik yang
melingkupi fenomena yang diteliti.
b. Observasi terbuka dan observasi tertutup

36
Pertimbangan observasi terbuka dan tertutup berkaitan dengan isu etis
dan kealamiahan subjek penelitian dalam berperilaku (Poerwandari &
Hassan, 1998). Observasi terbuka memungkinkan subjek penelitian untuk
mengetahui aktivitas peneliti dalam mengamati subjek, sedangkan
observasi tertutup memungkinkan peneliti untuk melakukan pengamatan
tersamar agar tidak diketahui oleh subjek penelitian. Observasi terbuka
dilakukan terkait dengan isu etik bahwa subjek berhak mengetahui
perlakuan dan mekanisme penelitian yang akan dilakukan terhadap
pribadi subjek, sehingga dapat menghindarkan peneliti dari penuntutan
secara hukum di kemudian hari. Observasi tertutup dilakukan terkait
adanya aspek-aspek amatan yang dikhawatirkan akan menjadi bias
apabila subjek mengetahui sedang diamati, atau subjek menolak untuk
diamati (Poerwandari & Hassan, 1998; Sugiyono, 2014).
1. Jangka waktu observasi
Menurut Patton (dalam Poerwandari & Hassan, 1998), jangka waktu
observasi disesuaikan dengan fenomena yang akan diobservasi.
Penelitian studi kasus umumnya melakukan observasi dalam jangka
waktu yang lebih praktis karena meneliti fenomena khusus yang
berlangsung pada saat-saat tertentu (Poerwandari & Hassan, 1998).
2. Fokus observasi
Fokus observasi terbagi menjadi dua, yaitu fokus pada fenomena
utuh dan fokus pada aspek khusus. Fokus pada fenomena utuh
merujuk pada keutuhan fenomena subjek pada situasi pengamatan.
Fokus pada aspek khusus merujuk pada kekhususan kejadian atau
perilaku yang muncul pada situasi pengamatan yang dianggap relevan
dengan penelitian (Patton dalam Poerwandari & Hassan, 1998;
Sugiyono, 2014).
Berdasarkan pemaparan alternatif pertimbangan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa penelitian ini menggunakan partisipasi pasif dan
terbuka dalam jangka waktu singkat dengan fokus penelitian pada aspek
khusus. Partisipasi pasif dilakukan agar peneliti dapat fokus mengamati
situasi dan perilaku subjek penelitian dengan objektif, sedangkan
partisipasi terbuka dilakukan karena peneliti harus menyampaikan
prosedur penelitian kepada subjek melalui informed concent sesuai

37
dengan etika penelitian. Penelitian dilakukan dalam waktu singkat
disesuaikan dengan aspek khusus yang akan diteliti, berfokus pada situasi
dan perilaku subjek yang muncul dan dianggap relevan dengan penelitian.
Terkait dengan kesimpulan di atas, maka desain observasi yang tepat
untuk digunakan dalam penelitian ini adalah anecdotal record.Anecdotal
record merupakan desain penelitian yang memungkinkan peneliti atau
observer mendapat keleluasaan untuk menetapkan perilaku subjek yang
penting untuk diamati, serta tidak terdapat batasan waktu dan tempat
dalam mengamati perilaku yang berlangsung (Prakosa, 1997).
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa studi
kasus ini menggunakan metode observasi partisipasi pasif dan terbuka
dalam jangka waktu singkat dengan fokus penelitian pada aspek khusus.
Pelaksanaan observasi dilakukan dengan menggunakan desain anecdotal
record.

2. Tujuan Observasi
Tujuan observasi adalah mendeskripsikan latar yang dipelajari, aktivitas
yang berlangsung, orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian
dilihat dari perspektif orang yang terlibat dalam kejadian yang diamati
(Poerwandari & Hassan, 1998). Tujuan dilakukan metode observasi pada
penelitian ini antara lain:
a. Untuk mendapatkan pemahaman tentang konteks harapan yang dilakukan
oleh subjek terhadap anak subjek.
b. Memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka dan berorientasi pada
pembuktian perilaku subjek terkait harapan subjek pada anak subjek dan
untuk meminimalisir kecenderungan peneliti dipengaruhi oleh
konseptualisasi yang telah ada.
c. Memungkinkan peneliti melihat atau menemukan refleksi pikiran atau hal-
hal yang kurang disadari subjek yang tidak disampaikan dalam
wawancara.
d. Memungkinkan peneliti untuk mendapatkan data objektif dari subjek yang
tidak dipengaruhi oleh persepsi selektif subjek yang umumnya
disampaikan subjek melalui wawancara.

38
e. Sebagai perbandingan dan konsistensi antara hasil wawancara dan hasil
observasi terhadap subjek.

3. Subjek Observasi
Penelitian kualitatif dapat meneliti secara mendalam suatu kasus tunggal
dengan satu subjek yang dipilih secara purposif. Penentuan subjek observasi
dapat didasarkan pada pendekatan pengambilan sampel kasus tipikal (Patton
dalam Poerwandari & Hassan, 1998). Pendekatan pengambilan sampel
kasus tipikal didasarkan pada anggapan bahwa subjek dan atau lokasi
observasi secara tipikal dapat mewakili fenomena yang diteliti. Fenomena
yang diteliti adalah harapan ibu sebagai orangtua tunggal yang memiliki anak
autis berusia dewasa awal. Kriteria subjek penelitian sebagai berikut:
a. Subjek berjenis kelamin perempuan.
b. Subjek berusia dewasa madya yaitu 31-60 tahun (Erikson dalam Feist &
Feist, 2009).
c. Subjek memiliki anak autis berusia dewasa awal yaitu 19-30 tahun
(Erikson dalam Feist & Feist, 2009).
d. Subjek merupakan orangtua tunggal.

4. Hasil Observasi
Observasi subjek dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada saat
wawancara pertama (29 September 2011)wawancara kedua (10 November
2016). Hasil observasi pertama sebagai berikut:

Observasi Pertama
Tanggal, Pukul: 29 September 2016, 09.20 – 10.38 WITA
Observee, Lokasi: Subjek, Ruang Bermain PLA Denpasar
Peneliti datang pukul 09.20 wita dan bertemu dengan subjek. Subjek
merupakan ibu berusia dewasa madya yaitu 48 tahun, menggunakan
kerudung, pakaian lengan panjang dan celana panjang. Subjek dan peneliti
melakukan wawancara di ruang bermain PLA Kota Denpasar. Di sekitar
lokasi wawancara nampak ada beberapa anak berkebutuhan khusus sedang
bermain. Anak-anak tersebut mengatakan sedang menunggu dijemput oleh

39
keluarga masing-masing. Peneliti dan subjek duduk di lantaidi dekat tembok,
berjarak sekitar satu meter dari pintu.
Peneliti memulai dengan memberikan informed concent dan menjelaskan
penelitian yang dilakukan. Dilanjutkan dengan menyiapkan alat perekam
suara. Subjek tampak mengamati yang dilakukan peneliti dan menanyakan
tentang jurusan kuliah peneliti.
Subjek tampak kooperatif dalam menjawab pertanyaan peneliti. Subjek
juga aktif melakukan kontak mata dengan peneliti. Volume dan artikulasi
suara subjek jelas terdengar. Volume suara subjek sempat mengecil ketika
menceritakan telah bercerai dengan suami. Mata subjek nampak berkaca-
kaca saat menceritakan kronologis bercerai dengan suami.
Subjek menceritakan tentang kondisi anak subjek yang mengalami
gangguan autis. Subjek memeragakan saat anak subjek mengajak subjek
untuk mematikan televisi dengan menarik tangan peneliti. Subjek tertawa
saat menceritakan anak subjek yang terkadang bisa mengatakan akan
buang air kecil, tetapi terkadang tidak mengatakan ingin buang air kecil.
Subjek mengatakan hal tersebut lucu bagi subjek. Subjek tertawa sambil
sesekali menepuk lutut peneliti.
Subjek juga tertawa saat menceritakan anak subjek yang tidak suka jika
ada orang bertamu ke rumah tetapi masih menggunakan jaket. Hal tersebut
dikarenakan anak subjek berpikir jika menggunakan jaket, artinya akan pergi.
Subjek juga tertawa saat memeragakan anak subjek yang memanggil subjek
karena telepon genggam yang bergetar, padahal anak subjek tidak suka
dengan telepon genggam yang berdering.
Subjek memeragakan tingkah laku anak subjek yang marah sambil
memukul dada atau memukul kepala sendiri dengan memukul dada dan
kepala subjek. Subjek juga memeragakan adegan saat anak subjek meniru
suatu adegan di sinetron. Diceritakan anak subjek memandang tembok
sambil marah-marah dan menuding tembok, subjek memeragakan dengan
menuding peneliti.
Subjek mengatakan anak subjek sangat dekat dengan saudara subjek
yang kini serumah dengan subjek. Anak subjek selalu memanggil saudara
subjek dengan sebutan mama, terkadang memeluk saudara subjek tersebut

40
dari belakang atau meminta dipangku oleh saudara subjek. Subjek
memeragakan gerakan pelukan dengan melingkarkan lengan di depan
badan subjek saat menceritakan hal tersebut.
Subjek memeragakan perilaku anak saat diajak ke minimarket dekat
rumah yang selalu mengatakan ucapan salam dalam agama Islam. Mata
subjek sempat berkaca-kaca saat menceritakan ada pengunjung minimarket
yang mengatakan bahwa anak subjek “gila”. Tekanan suara subjek sempat
meningkat saat menceritakan pegawai minimarket yang marah terhadap
pengunjung yang mengatakan anak subjek gila.
Wawancara selesai pukul 10.38 wita, ditutup dengan ucapan terima kasih.
Subjek nampak tersenyum dan mengatakan bisa bertemu kapan saja di PLA
Kota Denpasar sesuai jadwal kelas anak subjek. Subjek juga mengatakan
bersedia jika peneliti ingin ke rumah subjek dengan pemberitahuan melalui
telepon terlebih dahulu.

Hasil observasi kedua sebagai berikut:

Observasi Kedua
Tanggal, Pukul: 10 November 2016, 10.00 – 10.45 WITA
Observee, Lokasi: Subjek, Ruang Tunggu PLA Denpasar
Peneliti menemui subjek pukul 10.00 wita di ruang tunggu orangtua PLA
Kota Denpasar. Subjek mengatakan baru saja tiba dari berjalan-jalan
dengan teman subjek yang juga orangtua dari anak berkebutuhan khusus di
PLA Kota Denpasar. Subjek mengatakan bahwa ia dan temannyaadalah
teman yang akrab. Teman subjek nampak menggunakan kerudung, pakaian
lengan panjang dan celana panjang. Saya dan subjek duduk duduk di lantai
di pojok ruangan. Terdapat lima ibu-ibu di dalam ruangan tersebut. Subjek
mengatakan bahwa ia dan temannya juga sedang menunggu anaknya
selesai terapi.
Subjek nampak menawarkan kue gethuk di dalam plastik putih kepada
orang-orang di dalam ruangan dan menaruh kue di tengah-tengah ruangan.
Subjek sempat membalas pertanyaan ibu yang duduk di seberang subjek.
Subjek menjelaskan kepada peneliti, bahwa peneliti tepat waktu datang ke

41
PLA Kota Denpasar karena bertepatan dengan kedatangan subjek. Subjek
tertawa sambil menepuk lutut peneliti.
Peneliti memulai dengan menanyakan aktivitas subjek saat ke luar
dengan teman subjek dan bagaimana jadwal subjek di rumah. Subjek
meminta izin kepada peneliti untuk menggunakan telepon genggam dan
membalas pesan singkat. Subjek mengatakan bahwa kegiatan jalan-jalan
tersebut untuk refreshing, karena akan bosan jika seharian menunggu di
PLA Kota Denpasar. Subjek mengatakan masih ada undangan pernikahan
yang beliau dapatkan, tetapi dalam bulan ini tidak terlalu banyak. Subjek
mendiskusikan undangan pernikahan dari staf PLA Kota Denpasar dengan
teman subjek yang duduk satu meter dari subjek.
Anak subjek tiba-tiba masuk ke dalam ruang tunggu sambil membawa
tas kecil. Subjek menyambut dengan berkata “hai anakku sayang, sudah
habis makanannya?”. Anak subjek tampak menghampiri subjek dan
menyalami tangan subjek tanpa menjawab. Subjek mengulangi lagi
pertanyaan sebelumnya sambil menarik tangan anak subjek dan meminta
anak untuk melihat subjek. Anak subjek tampak berlutut di samping peneliti.
Anak subjek sempat menoleh ke arah peneliti tetapi menoleh ke arah subjek
lagi.
Bunda (guru kelas anak subjek) tampak masuk ke dalam ruangan sambil
tersenyum ke arah peneliti dan subjek. “makanannya habis, Bun?” ujar
subjek kepada Bunda. Bunda tampak mengangguk sambil berkata “habis
kok mama”. Subjek meminta anak subjek untuk berdiri dan mengikuti
Bunda, “ayo terapi dulu sayang, berdiri berdiri, itu ditunggu Bunda”. Anak
subjek nampak tidak mampu berdiri dan nampak agak goyah. Subjek berdiri
dan mengangkat tangan anak subjek, kemudian menarik anak subjek ke
arah Bunda. “sekarang terapi dulu dan diantar Bunda ya? Mama tunggu
disini” ujar subjek ke anak subjek sambil melihat mata subjek. Subjek
mengucapkan terima kasih kepada Bunda, Bunda nampak tersenyum ke
arah subjek.
Subjek duduk kembali, kemudian mengambil telepon genggam sambil
membalas pesan singkat. Subjek mengatakan bahwa peneliti bisa langsung
menanyakan pertanyaan. Subjek meminta maaf karena sesekali akan

42
melihat telepon genggam. Peneliti memulai dengan menanyakan kronologis
bercerai. Subjek menghentikan membalas pesan singkat, kemudian
memandang peneliti. Subjek mulai bercerita, mata subjek nampak berkaca-
kaca, volume suara subjek lebih kecil jika dibandingkan dengan volume
suara saat meminta maaf karena menggunakan telepon genggam.
Subjek kemudian menceritakan bagaimana saat keluarga subjek
mendukung terapi dan pendidikan yang diberikan untuk anak subjek. Subjek
menceritakan bahwa pekerjaan subjek saat ini hanya mengurus anak subjek
dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah tangga lain. Bantuan
keuangan datang dari saudara-saudara subjek. Untuk saat ini subjek
mengatakan lebih fokus untuk menerapi anak di PLA Kota Denpasar.
Subjek menceritakan tentang riwayat terapi yang pernah dijalani anak
subjek sejak terdiagnosa autis di usia empat tahun. Subjek memeragakan
gerakan menggunakan sepatu saat menceritakan bahwa anak subjek
sempat dilatih menggunakan sepatu khusus seperti untuk orang yang patah
tulang. Subjek juga memeragakan gerakan anak subjek saat menaiki-
menuruni tangga menggunakan tangan, nampak tangan kanan terlebih
dahulu bergerak, dilanjutkan dengan tangan kiri tetapi berakhir dalam posisi
sejajar dengan posisi tangan kanan.
Subjek menceritakan bahwa dalam beberapa minggu lalu anak subjek
sempat berubah menjadi pendiam. Tidak ingin menyapa, menolak untuk
menyanyi, dan kurang kooperatif. Subjek mengatakan mungkin hal tersebut
dimulai ketika anak subjek tiba-tiba menunjukkan ekspresi marah kepada
subjek. Subjek mengatakan hal tersebut terjadi tanpa sebab. Subjek
menceritakan, anak subjek menuding subjek sambil berkata bahwa anak
subjek malas dan tidak perlu melakukan terapi ke PLA Kota Denpasar, anak
subjek tidak diizinkan mengadu kepada subjek. Subjek menduga hal
tersebut membuat anak subjek sedikit sakit hati sehingga menjadi
pemurung.
Subjek menceritakan bahwa saat ini anak subjek sudah mulai kembali
seperti sedia kala. Diceritakan kondisi anak subjek awalnya periang, senang
menyanyi, selalu menyapa orang yang ditemui, dan cukup kooperatif.
Kemudian kejadian beberapa minggu lalu yang mengakibatkan anak subjek

43
menjadi cenderung murung dan diam tanpa ingin menyapa atau bernyanyi.
Saat wawancara ini berlangsung, subjek mengatakan anaknya sudah mulai
ceria, mau menyapa dan bernyanyi lagi walaupun masih nampak sedikit
pendiam. Subjek berpikir mungkin hal tersebut masih dalam proses
pemulihan dari kejadian yang mengakibatkan anak subjek menjadi
murung.Subjek juga mengatakan selalu berkoordinasi dengan Bunda di PLA
Kota Denpasar. Subjek nampak berkaca-kaca saat bercerita, sambil
sesekali menepuk lutut peneliti.
Subjek menceritakan tentang anak subjek yang semenjak pubertas
menjadi lebih sensitif dan cepat marah. Subjek memeragakan anak subjek
yang sedang marah dengan memukul dada dan kepala. Subjek juga
memeragakan anak subjek yang kesal dengan iklan di radio. Subjek
mengatakan anak subjek nampak tidak menyukai jeda iklan di radio karena
selalu mengatakan “nanti ada lagi Ma” yang sebenarnya ditujukan untuk diri
sendiri. Subjek terkadang tertawa atau menepuk lutut peneliti saat bercerita.
Peneliti kemudian menanyakan tentang harapan subjek terkait anak
subjek. Subjek mengatakan takut kecewa, sehingga saat ini hanya berharap
anak subjek dapat mandiri. Subjek menceritakan kegiatan di rumah bersama
anak yang subjek rasa dapat membantu anak menjadi lebih mandiri. Subjek
menceritakan tentang anak subjek yang terkadang bisa mengatakan ingin
buang air kecil, terkadang tidak mengatakan dan mengompol. Subjek
menceritakan anak subjek terkadang sudah berada di kamar mandi dan
ingin buang air besar. Subjek tertawa saat bercerita sambil menepuk lutut
peneliti. Subjek mengatakan mungkin anak subjek memiliki mood tersendiri.
Subjek menceritakan saat mengajari anak subjek untuk memakai
pakaian. Subjek memeragakan pakaian yang akan dipakai oleh anak
diletakkan terlebih dahulu di atas kasur dengan posisi bagian belakang
pakaian (punggung) menghadap anak. Hal tersebut untuk memudahkan
anak subjek dalam menggunakan. Subjek mengatakan bahwa anak subjek
belum mengerti bagian depan dan belakang pakaian serta cara
membalikkan sisi luar dan sisi dalam dari pakaian.
Wawancara terhenti karena anak subjek sudah selesai terapi dan
menghampiri subjek pada pukul 10.45 wita. Subjek kemudian pamit kepada

44
peneliti dan mengajak anak subjek ke toilet.

B. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh
pengetahuan tentang makna subjektif yang dipahami subjek penelitian terkait
dengan topik penelitian serta untuk mengeksplorasi isu dari topik tersebut
(Poerwandari & Hassan, 1998).
1. Teknik Wawancara
Terdapat tiga pendekatan dasar yang dapat digunakan dalam wawancara,
yaitu (Moleong, 2004; Poerwandari & Hassan, 1998):
a. Wawancara konvensional yang informal
Merupakan proses wawancara yang didasarkan pada pengajuan
pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Pembicaraan terjadi
seperti pada percakapan sehari-hari yang tidak direncanakan.
b. Wawancara dengan pedoman umum
Peneliti menggunakan pedoman wawancara yang meliputi isu-isu dalam
penelitian. Peneliti diharuskan membuat rumusan pedoman dalam bentuk
kerangka, dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu
ditanyakan secara berurutan.
c. Wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka
Peneliti menulis pedoman wawancara secara terperinci, lengkap dengan
pertanyaan dan penjabaran dari pertanyaan dalam sebuah kalimat.
Keluwesan dalam mendalami jawaban subjek berkaitan dengan sifat
wawancara dan keterampilan peneliti atau pewawancara dalam
memberikan pertanyaan pendalaman (probing).
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
wawancara dalam penelitian ini menggunakan pendekatan wawancara
dengan pedoman terstandar yang terbuka. Sebelum penelitian dilakukan,
peneliti sudah menyiapkan pedoman wawancara lengkap dengan pertanyaan
wawancara.
Adapun isi dari wawancara bertujuan untuk mengungkapkan aspek
tingkah laku, nilai, perasaan, dan pemahaman subjek dari topik penelitian. Isi

45
dari wawancara dapat diperinci sebagai berikut (Patton dalam Poerwandari &
Hassan, 1998):
a. Pertanyaan tentang apa yang dilakukan atau biasa dilakukan oleh subjek,
mengacu pada pertanyaan tentang tingkah laku.
b. Pertanyaan terkait proses pemahaman dan interpretasi subjek akan
memberi kejelasan mengenai pemikiran, tujuan, impian, dan nilai-nilai
yang dimiliki subjek.
c. Pertanyaan tentang perasaan bertujuan untuk mendapatkan pemahaman
terkait aspek afektif dalam diri subjek, seperti respon emosional subjek
terhadap pengalaman dan pemikiran subjek.
Penyusunan pertanyaan dalam wawancara perlu memperhatikan
beberapa aspek seperti sifat netral dari suatu pertanyaan, penghindaran
penggunaan istilah yang tidak dipahami oleh masyarakat awam, dan
penggunaan pertanyaan terbuka (Smith dalam Poerwandari & Hassan, 1998).
Perancangan mekanisme dan sistematisasi wawancara diharapkan dapat
membantu peneliti dalam mengeksplorasi topik penelitian terhadap subjek
penelitian sesuai dengan tujuan dan etika penelitian.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa studi
kasus ini menggunakan pendekatan wawancara dengan pedoman terstandar
yang terbuka, dilengkapi dengan pedoman wawancara. Pedoman wawancara
berisikan topik dan pertanyaan yang akan diajukan pada saat wawancara,
tetapi tidak menutup kemungkinan bagi peneliti untuk mengajukan pertanyaan
lain di luar pedoman yang masih sejalan dengan alur pembicaraan dengan
responden. Perancangan pertanyaan mengacu pada penggalian aspek
kognitif, afektif, dan perilaku yang dilakukan responden.

2. Tujuan Wawancara
Tujuan wawancara yang dilakukan peneliti adalah untuk mendapatkan
gambaran harapan subjek terhadap anak subjek terkait dengan kondisi autis
pada anak dan peran sebagai orangtua tunggal.

3. Subjek Wawancara

46
Subjek wawancara dari penelitian ini terdiri dari narasumber utama dan
informan. Narasumber utama merupakan subjek penelitian, sedangkan
informan terdiri dari guru dan/atau terapis anak subjek.

4. Hasil Wawancara
Wawancara dilakukan sebanyak empat kali yaitu satu kali dengan
koordinator terapis, satu kali dengan asisten terapis, dan dua kali dengan
subjek. Berikut tabel kegiatan wawancara.
No. Waktu Tempat Topik Keterangan
1. Kamis, 22 Ruang Permasalahan Wawancara
September 2016 Fisioterapi PLA anak autis di koordinator
Pukul 13.00-14.00 Kota Denpasar PLA Kota terapis
wita Denpasar
2. Kamis, 29 Ruang Bermain Membangun Wawancara
September 2016 PLA Kota rapport, subjek EM
Pukul 09.20-10.38 Denpasar identitas subjek
wita dan
perkembangan
anak
3. Kamis, 20 Oktober Ruang Terapi yang Wawancara
2016 Fisioterapi PLA pernah asisten
Pukul 10.00-11.00 Kota Denpasar diberikan pada terapis
wita anak subjek,
permasalahan
saat terapi
4. Kamis, 10 Ruang Tunggu Kronologis Wawancara
November 2016 PLA Kota perceraian, subjek EM
Pukul 10.00-10.45 Denpasar perkembangan
wita anak saat ini,
harapan subjek

Wawancara terhadap subjek dilakukan dua kali, pada tanggal 29


September 2016 dan 10 November 2016, lokasi di PLA Kota

47
Denpasar.Rangkuman hasil wawancara terhadap subjek secara keseluruhan
adalah sebagai berikut:

Judul: Wawancara Sb
Tanggal, Lokasi: 29 September dan 10 November 2016, PLA Kota Denpasar

Interviewee: EM

Identitas Subjek memiliki nama EM, berusia 48 tahun, sedangkan


subjek suami bernama JH berusia 50 tahun. Subjek saat ini
bekerja sebagai ibu rumah tangga dan sudah bercerai
secara resmi. Subjek memiliki dua orang anak. Anak
pertama berjenis kelamin perempuan, berusia 20 tahun
dan mengalami gangguan autis. Anak kedua berjenis
kelamin laki-laki, berusia 16 tahun, merupakan anak
normal dan kini tinggal bersama saudara subjek di
Bandung.
Identitas dan Anak subjek merupakan anak pertama, berjenis kelamin
karakteristik perempuan, berusia 20 tahun dan saat ini sedang
anak subjek menempuh pendidikan serta terapi di PLA Kota Denpasar.
Anak subjek memiliki seorang adik laki-laki berusia 16
tahun dan kini menetap di Bandung bersama saudara
subjek. Subjek mengatakan bahwa anak subjek memahami
jika memiliki adik, siapa nama adik, dimana adik tinggal,
dan sesekali pernah menanyakan kapan adik pulang.
Subjek mengatakan, sewaktu kecil anak subjek tidak
melewati fase tengkurap, duduk, dan merangkak. Subjek
yang menengkurapkan dan mendudukkan anak, tetapi
anak tidak dapat melakukannya secara mandiri. Subjek
mengatakan jika mendongak dan menoleh saat dipanggil,
anak subjek dapat melakukannya.
Anak subjek sudah bisa berjalan di usia satu tahun
tanpa melewati fase merangkak, kemudian anak subjek
pernah terjatuh karena tersandung. Subjek mengatakan

48
kaki anak subjek agak goyang sehingga terjatuh dan
trauma. Subjek mengatakan bahwa suami subjek pernah
memegang anak subjek untuk berjalan. Ketika suami
subjek bertemu teman, ia melepaskan pegangan pada
anak subjek dan bersalaman dengan teman. Anak subjek
melanjutkan berjalan. Subjek mengatakan anak subjek
tidak akan berhenti berjalan jika belum menemukan
pegangan untuk berhenti. Hal tersebut juga berlanjut
sampai sekarang. Anak subjek juga tidak dapat berdiri
sendiri setelah duduk.
Subjek menceritakan bahwa saat kecil, anak subjek
sangat pendiam, tidak rewel, sesekali pernah menangis
tanpa sebab tetapi hal tersebut masih dapat subjek atas.
Subjek mulai merasa anak mengalami pergolakan emosi,
sering marah, dan sensitif sejak anak mulai mengalami
menstruasi di usia sembilan tahun. Anak subjek pada saat
itu hanya mengatakan “Mama, celana Mbak Inka
berdarah”. Subjek sempat khawatir jika anak akan gerah
dan tidak betah menggunakan pembalut, tetapi ternyata
anak subjek tidak rewel. Subjek menduga mungkin hal
tersebut disebabkan karena anak subjek terbiasa
menggunakan pampers.
Subjek menceritakan jika koordinasi tangan dan kaki
anak subjek kurang bagus, sehingga untuk kemampuan
motorik kasar juga masih dilatih di PLA Kota Denpasar.
Subjek menduga hal tersebut mungkin karena anak subjek
trauma karena jatuh, selain karena keseimbangan anak
subjek belum cukup baik. Subjek juga mengatakan bahwa
dari segi keseimbangan, anak subjek masih perlu dibantu.
Untuk melakukan naik-turun tangga, anak subjek masih
perlu dibantu dan ditemani walaupun hanya dengan
memegang ujung jari atau ada pegangan di sisi tangga.
Subjek mengatakan jika tidak ada pegangan, anak subjek

49
tidak akan mau menaiki atau menuruni tangga.
Untuk beberapa kegiatan yang memerlukan koordinasi
mata dan tangan, subjek mengatakan anak subjek cukup
sulit melakukan. Subjek mengatakan hal tersebut
dikarenakan saraf tangan anak subjek belum terlalu bagus.
Subjek mengatakan tangan anak subjek sering mengalami
tremor. Subjek juga mengatakan bahwa anak subjek masih
agak kaku dalam memegang benda yang harus digunakan
seperti menyendokkan makanan ke dalam mulut.
Untuk interaksi dan komunikasi verbal, subjek
mengatakan anak subjek dapat melakukan dengan baik.
Anak subjek adalah anak yang ramah dan senang
menyapa. Subjek mengatakan anak subjek terkadang
menanyakan keadaan orang lain yang dikenal. Subjek
hanya merasa kewalahan semenjak anak subjek
mengalami pubertas, karena emosi anak subjek
bermasalah sejak beranjak remaja dan mengalami
pubertas. Subjek mengatakan tidak memberikan perlakuan
khusus karena anak subjek akan lelah sendiri dan
menasehati diri sendiri. Contohnya seperti berkata “Mbak
Inka cape, ma. Mbak Inka kapok”, kemudian subjek hanya
mengingatkan agar tidak marah-marah seperti itu.
Subjek mengatakan, anak subjek terkadang
menunjukkan ketertarikan pada lawan jenis. Anak subjek
secara tiba-tiba bisa saja duduk di teras rumah. Subjek
kemudian ikut menemani dan anak subjek berkata“Mama,
itu cakep orangnya”. Menurut subjek, anak subjek tidak
pernah menunjukkan ketertarikan lebih dari itu.
Subjek mengatakan anak subjek terkadang bisa
mengatakan ingin buang air kecil saat memakai pampers,
tetapi terkadang tidak mengatakan. Subjek memakaikan
pampers agar tidak susah untuk mengganti pakaian saat
berada di luar rumah, selain itu juga untuk mengantisipasi

50
mengompol.
Kronologis Anak pertama subjek terdiagnosis mengalami ganguan
perceraian autis pada usia empat tahun. Adik subjek pada saat itu
berusia sekitar tujuh bulan. Pihak keluarga besar suami
mengatakan tidak setuju memiliki anak tidak normal, tetapi
hal tersebut hanya disampaikan kepada suami. Kakek
(bapak dari suami) mengatakan bahwa anak subjek “gila”.
Suami subjek pergi ke luar pulau untuk melakukan tugas.
Subjek sempat menemani ke bandara. Setelah itu tidak
ada kabar lagi dari suami subjek sama sekali. Subjek
sempat menghubungi keluarga pihak suami tetapi mereka
mengatakan tidak tahu. Subjek menduga jika keluarga
pihak suami ada menutupi sesuatu.
Keluarga dari pihak suami sempat mengatakan agar
subjek dan kedua anak subjek tinggal di rumah orangtua
suami saja. Subjek yang merasa bahwa keluarga suami
tidak menyukai anak subjek memilih untuk menolak dan
tinggal dengan keluarga subjek.
Riwayat Di usia balita, subjek dan anak subjek sempat tinggal di
diagnosa Ambon karena suami subjek bertugas. Subjek, anak subjek
anak dan suami subjek tinggal di suatucamp. Diduga, karena
sedikit ada teman untuk bergaul, anak subjek jadi lambat
bicara dan perkembangannya juga terhambat. Subjek
mulai membandingkan kemampuan anak subjek dengan
anak lain yang usianya tergolong masih lebih muda dari
anak subjek yang nampak sudah bisa melakukan banyak
hal.
Subjek memutuskan untuk memeriksakan anak ke
RSUP Sanglah saat pulang ke Bali, karena di Ambon
masih awam tentang anak berkebutuhan khusus. Subjek
bertemu dengan Bu R, pada saat itu anak subjek dikatakan
mengalami gangguan ADHD. Subjek memutuskan untuk
langsung mengikutkan anak terapi di rumah sakit,

51
kemudian lanjut terapi di tempat lain di belakang rumah
sakit sanglah.
Setelah itu, subjek bertemu dengan Dokter E dan seiring
berjalannya waktu muncul ciri-ciri anak autis pada anak
subjek.
Riwayat Subjek mengatakan bahwa anak subjek sempat
terapi dan mengikuti jenjang pendidikan di playgroup, TK
pendidikan Dharmapatni, SDLB Kuncup Bunga, dan terakhir di PLA
pada anak Kota Denpasar.
Subjek mengatakan, selain di PLA Kota Denpasar, anak
subjek diajarkan pengetahuan akademis dasar. Seingat
subjek, anak subjek bisa memahami dan mengikuti
walaupun masih memerlukan bantuan dalam hal fokus dan
berkonsentrasi. Anak subjek dahulu juga sempat hapal
nama-nama buah dalam bahasa inggris, tetapi untuk saat
ini sepertinya anak subjek sudah lupa karena sudah lama
tidak belajar.
Subjek juga mengatakan selama anak bersekolah di
SDLB Kuncup Bunga, subjek selalu mengajak anak untuk
terapi. Terapi yang sangat subjek ingat saat di RSUP
Sanglah adalah terapi untuk menyeimbangkan anak dalam
berjalan.
Di PLA Kota Denpasar, anak cenderung diajarkan untuk
bina diri. Di awal menjalani pendidikan di PLA Kota
Denpasar, anak sempat diajarkan merangkak untuk
melatih keseimbangan anak. Subjek mengatakan kaki anak
subjek agak bengkok saat merangkak. Subjek mengatakan
anak subjek paling banyak menunjukkan perubahan
menuju kemajuan semenjak mengikuti terapi di PLA Kota
Denpasar.
Pengalaman Subjek mengatakan mendapatkan ilmu dari sesi berbagi
dan edukasi dengan dokter, terapis dan guru, teman-teman yang
yang memiliki anak autis, pelatihan dan seminar yang diadakan

52
didapatkan PLA Kota Denpasar. Subjek juga menerapkan pendidikan
subjek yang diberikan di PLA Kota Denpasar terhadap anak
subjek seperti cara makan, cara mandi atau buang air
besar/kecil, cara mengganti pakaian, kontak mata, disiplin
waktu. Subjek melakukan dengan konsisten dan berulang-
ulang. Subjek mengatakan semakin memahami dan
semangat untuk menerapi anak karena ada teman-teman
dan keluarga yang mendukung, saling memotivasi, berbagi
pengalaman dan ada kesamaan terkait kondisi anak.
Relasi antara Keluarga besar dan anak kedua subjek memahami
subjek, anak, kondisi anak pertama subjek tidak normal. Hal tersebut
dan keluarga membantu subjek dalam menyesuaikan diri dan juga
besar membantu perkembangan anak pertama subjek yang
mengalami autis. Sesekali kedua anak subjek telpon-
telponan karena kangen. Menurut subjek, ikatan batin
antara kedua anak subjek sangat kuat. Contoh ketika anak
bungsu subjek sakit, anak sulung mengetahui dan
mengatakan kepada subjek bahwa anak bungsu sedang
sakit. Subjek melakukan konfirmasi kepada saudara subjek
yang mengajak anak bungsu subjek dan ternyata anak
bungsu subjek memang sedang sakit.
Anak bungsu subjek sudah tinggal sejak usia 2.5 tahun
karena permintaan anak sendiri. Kedua anak subjek
sampai saat ini tidak pernah menanyakan tentang bapak
biologis mereka. Anak bungsu subjek cenderung
menganggap saudara dan ipar subjek sebagai orangtua.
Subjek saat ini tinggal satu rumah dengan keluarga adik
subjek. Anak subjek cenderung dekat dengan adik subjek.
Hubungan anak subjek dengan ipar dan keponakan subjek
terkadang kurang cukup baik. Subjek mengatakan tidak
paham apa pencetusnya. Subjek hanya menduga mungkin
karena keponakan subjek merupakan anak angkat, jadi
anak subjek merasa cemburu pada adik subjek yang

53
sebelumnya memberikan perhatian penuh untuk anak
subjek.
Subjek mengatakan, anak subjek terkadang bisa saja
memukul kepala dan dada saat kebetulan melihat
keponakan subjek melintas. Di lain kesempatan, anak
subjek sangat memperhatikan keponakan subjek, seperti
membelikan makanan dan menawari makanan. Subjek
mengatakan bahwa keponakan subjek memahami kondisi
anak subjek, sehingga mereka tidak pernah bertengkar.
Kondisi Subjek mengatakan saat berpisah dengan suami, ia
perpisahan tetap melakukan aktivitas dengan biasa. Subjek tetap
dengan suami merawat dan mengasuh anak, menemani anak ke tempat
terapi. Subjek hanya memikirkan agar anak mendapatkan
penanganan dan terapi yang tepat agar dapat membaik.
Subjek mengatakan bahwa orangtua dan saudara subjek
juga mendukung untuk kesembuhan anak subjek.
Orangtua subjek sempat menegaskan untuk tidak
menghubungi dan meminta bantuan ke pihak keluarga
suami. Orangtua subjek berkata “Kamu diam saja disini,
urusi anakmu saja, tidak usah pikir yang lain lagi” saat
subjek ditinggalkan oleh suami, sehingga subjek berpikir
bahwa tugas saat ini adalah memfasilitasi perkembangan
anak dengan sebaik-baiknya.
Proses Subjek sulit untuk melakukan penyesuaian diri. Subjek
penyesuaian mengatakan walaupun ia tetap beraktivitas seperti biasa
diri untuk anak, ia terkadang melamun sendiri di malam hari.
Subjek terkadang berpikir tentang anaknya seperti, “kamu
salah apa sih, nak” sambil terkadang menangis.
Subjek juga cenderung menutup diri dari pergaulan
setelah ditinggal suami. subjek juga tidak menceritakan
peristiwa tersebut kepada sahabat dekat subjek. Subjek
mengatakan pada saat itu hanya orangtua dan saudara
subjek yang mengetahui.

54
Semenjak ditinggal suami, subjek juga memilih untuk
menggunakan pakaian lengan panjang dan celana
panjang. Subjek terkadang merasa risih melihat orang lain
sedang bercengkrama, karena subjek berpikir bahwa ia
yang dibicarakan.
Subjek kemudian memutuskan untuk melakukan proses
cerai secara hukum. Hal tersebut karena orangtua subjek
mengatakan kepada subjek agar tidak membiarkan
kehidupannya menggantung. Subjek akhirnya
menghubungi seorang teman untuk dibantu proses
perceraian sepihak.
Subjek mengatakan mulai berani bercerita kepada
teman-teman dekat setelah proses perceraian selesai.
Subjek mengatakan teman-teman sempat menangis saat
subjek bercerita, tetapi teman-teman memberikan
dukungan untuk kelangsungan hidup subjek dan
kesembuhan anak subjek.
Sejak dua tahun yang lalu, subjek memutuskan untuk
menggunakan kerudung. Alasan subjek karena keinginan
pribadi untuk menggunakan kerudung. Subjek mengatakan
semenjak mengikutkan anak terapi di PLA Kota Denpasar,
subjek merasa tidak terlalu repot untuk mengantar anak
sekolah dan terapi. Subjek juga mengatakan di PLA
Denpasar bisa bertemu dengan banyak orangtua yang
mengalami hal yang hampir serupa. Subjek mengatakan
menjadi semakin paham dan termotivasi setelah berbagi
cerita dengan orangtua anak berkebutuhan khusus yang
lain.
Harapan yang Subjek mengatakan tidak berani memiliki harapan
muncul berlebihan karena tidak ingin kecewa. Subjek juga
mengatakan belum berani untuk memikirkan atau
membayangkan masa depan subjek maupun anak subjek
yang mengalami gangguan autis. Subjek hanya

55
mengatakan ingin bila anak subjek dapat mandiri.
Subjek kini mengusahakan agar anak subjek dapat
melakukan beberapa kegiatan keseharian dengan mandiri
dengan sedikit bantuan. Subjek mengetahui tingkat
keparahan autis anak, sehingga subjek berusaha sabar
dan telaten dalam mendidik anak.
Beberapa hal yang pernah diajarkan subjek seperti
mengajari makan dengan sendok. Anak subjek bisa
menyuapkan makanan sendiri melalui sendok walaupun
gerakan tangan masih kaku. Anak subjek belum
memahami jika sendok kosong, maka harus disendokkan
makanan dahulu.
Subjek mengajarkan anak cara buang air besar maupun
kecil dan mandi. Etika yang diajarkan adalah dengan
menutup pintu kamar terlebih dahulu, membuka pakaian,
lalu ke kamar mandi. Anak subjek juga diajarkan untuk
mengatakan kepada subjek agar tidak mengompol atau
agar tidak dilihat telanjang oleh orang lain. Menurut subjek,
sampai saat ini anak subjek terkadang mengikuti aturan
yang ditetapkan, terkadang lupa dan tidak melakukan
sesuai yang diajarkan.
Subjek mengajarkan anak subjek untuk berinteraksi
dengan memperkenalkan anak kepada orang-orang yang
subjek kenal. Anak subjek bisa menghapalkan nama dan
wajah orang, menyapa, bersalaman, berpamitan. Subjek
juga mengajarkan anak subjek untuk melihat orang yang
sedang mengajak berbicara. Hal tersebut sering subjek
contohkan saat berbicara dengan anak atau saat mengajak
anak berkenalan.
Subjek rutin mengantar anak ke PLA Kota Denpasar
untuk mengikuti terapi dan kelas bina diri. Subjek
mengatakan tidak sungkan untuk konsultasi terkait
masalah anak di luar lingkungan PLA Kota Denpasar.

56
Subjek berani terbuka dengan teman-teman sesama
orangtua anak berkebutuhan khusus di PLA Kota
Denpasar. Subjek mengatakan sesi berbagi dengan
teman-teman sangat membantu subjek dalam memahami
anak maupun menangani masalah anak.

Rangkuman wawancara dengan koordinator terapis sebagai berikut:


Judul: Wawancara SO 1
Tanggal, Lokasi: 22 September 2016, Ruang Fisioterapis PLA Kota Denpasar
Interviewee: KT
Koordinator terapis mengatakan bahwa anak subjek sudah mengikuti
terapi sejak empat atau lima tahun yang lalu. Anak subjek saat ini difokuskan
untuk mengikuti kelas dan terapi bina diri dengan harapan agar dapat
melakukan kegiatan keseharian tanpa bantuan penuh. Koordinator terapis
mengatakan bahwa orangtua anak berkebutuhan khusus di PLA Kota
Denpasar, terutama yang orangtua tunggal, sudah tua dan/atau kondisi
ekonomi lemah mengkhawatirkan tentang masa depan anak. Orangtua
terkadang cemas dan memikirkan bagaimana anak mereka jika mereka
sudah tidak ada nanti. Koordinator terapis juga mengatakan bahwa anak
subjek masih membutuhkan bantuan penuh karena agak sulit bagi anak
subjek untuk melakukan secara mandiri. Koordinator terapis berpendapat
mungkin hal tersebut disebabkan oleh tingkat keparahan gangguan autis
pada anak subjek dan frekuensi latihan yang diberikan di rumah.

Rangkuman wawancara dengan asisten terapis anak subjek sebagai


berikut:
Judul: Wawancara SO2
Tanggal, Lokasi: 20 Oktober 2016, Ruang Fisioterapis PLA Kota Denpasar
Interviewee: BS
Asisten terapis mengatakan ada beberapa program yang tidak tuntas
diberikan kepada anak subjek. Hal tersebut disebabkan karena anak subjek
tidak mampu melakukan program. Saat proses wawancara berlangsung,

57
program yang diberikan adalah bina diri. Program bina diri yang diberikan
saat ini adalah cara memakai pakaian dan menyisir rambut. Anak subjek juga
diajarkan memasukkan balok-balok berlubang ke dalam tali dan memasukkan
kancing pakaian ke dalam celengan. Asisten terapis mengatakan anak subjek
terkadang memunculkan emosi seperti marah dan tertawa tiba-tiba. Untuk
mendapatkan fokus dan perhatian dari anak subjek, asisten terapis
meningkatkan volume suara dan menepukkan tangan. Untuk mengarahkan
anak subjek ke suatu posisi, asisten terapis mengatakan perlu menepuk
lokasi yang dimaksud agar anak subjek mengerti. Terkait dengan toilet
training, asisten terapis mengetahui bahwa anak subjek menggunakan
pampers. Asisten subjek pernah mendengar dari terapis lain yang sudah lebih
lama bekerja di sana bahwa untuk toilet training, anak subjek memang belum
dapat mengatakan dan melakukan sendiri secara sepenuhnya. Asisten
terapis mengatakan bahwa anak subjek masih membutuhkan bantuan penuh.
Asisten terapis mengatakan jika ia baru menangani anak subjek saat itu
karena selama ini hanya sebagai observer.

C. Dokumen
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Studi dokumen
merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara
dalam penelitian kualitatif (Sugiyono, 2014). Dokumen dapat berwujud tulisan,
gambar, karya, maupun film (Sugiyono, 2014). Dokumen sebagai sumber data
dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, dan meramalkan suatu kondisi dari
suatu konteks (Moleong, 2004).

1. Tujuan Penggunaan Dokumen


Tujuan penggunaan dokumen antara lain:
a. Dokumen merupakan sumber data yang stabil dan berguna sebagai suatu
bentuk pengujian.
b. Dokumen bersifat alamiah, sesuai dengan konteks, tercipta dan berada
dalam konteks.

2. Hasil Dokumen

58
Dokumen yang berhasil diperoleh terdiri dari dokumenData Anak yang
Dilayani di PLA Kota Denpasar pada bulan September 2016 serta buku terapi
anak subjek. Dokumen Data Anak yang Dilayani di PLA Kota Denpasar
berisikan tentang identitas dan karakteristik serta diagnosa anak. Buku terapi
berisikan riwayat terapi dan pendidikan bina diri yang sudah diberikan kepada
anak serta evaluasi dari program tersebut.
Berdasarkan dokumen Data Anak yang Dilayani di PLA Kota Denpasar,
diperoleh data sebagai berikut:
Nama ALK
Tanggal lahir 4 Juli 1996
Nama orangtua JHdan EM
Karakteristik Kemampuan komunikasi anak cukup baik (verbal),
komunikasi namun kadang masih belum terarah.
Karakteristik interaksi Anak sudah mulai peduli dengan lingkungan sekitar
sosial (memanggil nama orang yang ada disekitarnya
namun belum mampu bermain bersama).
Karakteristik perilaku Anak suka tertawa tanpa sebab, marah tanpa
sebab, meracau, berteriak, memukul diri sendiri.
Karakteristik -
pemrosesan sensori
Karakteristik Daya ingat dan konsentrasi pada anak masih
pemrosesan informasi kurang (belum konsisten).
Karakteristik -
keterampilan motorik
Diagnosis Autism Spectrum Disorder

Berdasarkan dokumen dari buku terapi, diperoleh data sebagai berikut:


a. Anak subjek sudah menjalani terapi selama kurang lebih empat tahun di
PLA Kota Denpasar.
b. Anak lebih difokuskan pada pelatihan bina diri. Pelatihan bina diri seperti
mengancing pakaian, mengganti pakaian, dan menyisir rambut, sudah
diberikan sejak awal tahun 2016.

59
c. Tahun 2014 dan 2015 terapi yang umum diberikan adalah terapi
kelompok, yaitu dengan berinteraksi antar sesama anggota kelompok dan
bermain untuk merangsang motorik kasar anak.
d. Beberapa aspek emosi dan perilaku yang dinilai saat terapi antara lain
marah, tertawa tanpa sebab, meracau, dan memanggil nama orang.
e. Tidak semua program dan evaluasi nampak dibukukan, karena peneliti
melihat ada beberapa tanggal yang hilang.

60
BAB III
ANALISIS KASUS DAN DISKUSI

A. Rangkuman Kasus
Subjek merupakan seorang ibu orangtua tunggal yang saat ini memiliki dua
orang anak. Anak pertama berjenis kelamin perempuan, berusia 20 tahun dan
mengalami gangguan autis. Anak kedua berjenis kelamin laki-laki, berusia 16
tahun dan normal. Saat ini subjek menyekolahkan anak subjek yang mengalami
gangguan autis di PLA Kota Denpasar untuk mendapatkan pendidikan bina diri
dan terapi. Anak kedua subjek sudah sejak balita tinggal bersama saudara
subjek dan saat ini sedang berdomisili di Kota Bandung.
Subjek menjadi orangtua tunggal karena suami kabur setelah mengetahui
anak pertama mengalami gangguan dan bukan anak normal. Subjek
berpendapat bahwa suami terpaksa kabur karena mertua dari pihak suami tidak
menyetujui memiliki anak tidak normal. Hal tersebut bertepatan dengan diagnosis
ADHD yang awalnya diberikan kepada anak pertama subjek dan kelahiran anak
kedua subjek. Subjek kemudian berinisiatif menggugat cerai sepihak dengan
bantuan kerabat dan dukungan keluarga subjek setelah beberapa tahun tetap
tidak mendapatkan kabar dari suami.
Kesibukan subjek saat ini hanya sebagai ibu rumah tangga dan fokus untuk
memfasilitasi anak pertama yang mengalami gangguan autis. Subjek dan anak
subjek tinggal bersama saudara dan ipar serta keponakan. Subjek mengatakan
sumber keuangan berasal dari donasi keluarga besar subjek yang terdiri dari
orangtua subjek, saudara subjek dan ipar subjek. Orangtua subjek mengatakan
agar subjek fokus untuk merawat dan mengasuh anak subjek saja saat suami
subjek telah pergi.
Anak subjek mulai mendapatkan diagnosis autis saat subjek mengajak anak
untuk berobat ke Dokter E. seiring berjalannya waktu, anak subjek lebih
menunjukkan tanda-tanda gangguan autis. Saat ini anak subjek mengikuti
pendidikan di PLA Kota Denpasar sejak sekitar empat tahun yang lalu. Subjek
mengatakan anak subjek sempat diberikan terapi agar dapat berjalan dengan
seimbang dan tidak goyang, seperti diajarkan merangkak terlebih dahulu. Subjek
juga mengatakan anak subjek fokus diberi latihan bina diri baik saat di kelas
pelajaran maupun saat terapi. Subjek mengatakan perkembangan anak subjek

61
semakin baik semenjak di PLA Kota Denpasar. Subjek juga mengulangi kembali
beberapa hal yang diajarkan di PLA Kota Denpasar maupun hal yang disarankan
oleh terapis anak subjek.
Subjek saat ini berpendapat bahwa anak subjek pribadi yang periang, senang
menyapa, senang menyanyi, kemampuan verbal tidak mengalami masalah,
kemampuan motorik kasar dan halus masih perlu dilatih karena sampai saat ini
anak subjek masih takut untuk menaiki atau menuruni tangga dan tidak dapat
berdiri dari posisi duduk jika tidak dibantu. Subjek juga mengatakan saraf tangan
anak subjek kurang bagus dan tangan anak subjek sering tremor, sehingga
kemampuan tangan dalam beraktivitas juga masih dilatih. Subjek berpendapat
anak subjek tidak berani menaiki dan menuruni tangga karena pernah terjatuh
saat kecil dan hal tersebut mungkin menimbulkan trauma bagi anak subjek.
Subjek mengatakan untuk saat ini emosi anak subjek cenderung sering
berubah-ubah. Subjek menceritakan semenjak anak subjek beranjak remaja,
anak subjek semakin sering ngomel dan marah-marah. Anak subjek terkadang
juga memukul bagian kepala dan dada sendiri sebagai ekspresi perasaan marah,
kesal, dan tidak setuju atau ada hal yang terjadi tidak sesuai dengan
keinginannya. Cara subjek untuk menangani hal tersebut adalah dengan
membiarkan tetapi tetap mengawasi perilaku anak, kemudian saat anak datang
dan bercerita, subjek mendengarkan. Anak subjek umumnya akan bercerita jika
ia sudah lelah dan capai marah-marah.
Saat ini, berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan terapis
maupun subjek, diketahui bahwa anak subjek masih membutuhkan bantuan
penuh dalam aktivitas kehidupan keseharian. Hal-hal yang menonjol diceritakan
dalam proses wawancara seperti kemampuan toilet training yang belum
konsisten dan tetap, etika membuka pakaian, kemampuan menaiki dan menuruni
tangga, cara menggunakan pakaian, dan pemahaman anak subjek tentang
makan.
Kemampuan toilet training dikatakan belum konsisten karena anak subjek
terkadang mengatakan ingin buang air besar atau buang air kecil, tetapi dalam
situasi lain anak tidak mengatakan ingin buang air besar atau buang air kecil.
Etika membuka pakaian yang dimaksud seperti menutup pintu kamar sebelum
membuka pakaian untuk ke kamar mandi. Kemampuan menaiki dan menuruni
tangga yang belum baik karena anak subjek masih takut untuk menaiki atau

62
menuruni tangga sendirian, hal itu dapat disebabkan oleh trauma jatuh di masa
kecil dan kondisi tubuh yang belum seimbang. Pemahaman anak subjek tentang
makan yang dimaksud seperti anak subjek tidak paham jika sendok kosong
harus diisikan makanan lagi sebelum akhirnya disuapkan ke mulut.
Subjek mengatakan tidak berani memiliki harapan berlebihan karena tidak
ingin kecewa. Subjek juga mengatakan belum berani untuk memikirkan atau
membayangkan masa depan subjek maupun anak subjek yang mengalami
gangguan autis. Subjek hanya mengatakan ingin bila anak subjek dapat mandiri.
Subjek kini mengusahakan agar anak subjek dapat melakukan beberapa
kegiatan keseharian dengan mandiri dengan sedikit bantuan. Subjek mengetahui
tingkat keparahan autis anak, sehingga subjek berusaha sabar dan telaten dalam
mendidik anak.

B. Harapan
1. Definisi
Konseptualisasi harapan dibagi menjadi tiga, yaitu harapan sebagai
proses emosi, harapan sebagai proses kognitif, dan harapan sebagai
gabungan proses emosi dan kognitif.
a. Harapan sebagai proses emosi
Averill, Catlin, & Chon (dalam Lopez & Snyder, 2003) pada tahun 1990
mendeskripsikan harapan sebagai suatu proses emosi, walau dibentuk
melalui kognisi. Harapan dianggap tepat apabila tujuan dari harapan (1)
dapat dicapai secara rasional, (2) dapat dikontrol, (3) dipandang penting
oleh individu, dan (4) dapat diterima pada level sosial maupun moral
(Lopez & Snyder, 2003). Cara pandang terkait harapan pada konteks ini
berlandaskan pada norma dan peraturan masyarakat untuk
mendefinisikan arti sesungguhnya dari harapan. Averill dan kawan-kawan
yakin bahwa harapan hanya dapat dipahami dalam konteks sosial dan
kultural.
Mowrer (dalam Lopez & Snyder, 2003) pada tahun 1960
mengonsepkan harapan dalam pandangan yang lebih mengarah pada
perilaku. Harapan didefinisikan sebagai bentuk afektif dari penguatan
sekunder. Berlawanan dengan pendapat Marcel yang dikutip dalam
Godfrey pada tahun 1987, harapan didefinisikan sebagai bentuk afektif

63
dari koping yang dapat digunakan pada situasi paling mengerikan dari
hukuman penjara. Harapan seharusnya muncul pada situasi menghadapi
keputusasaan yang melekat pada proses berduka (Lopez & Snyder,
2003). Marcel berpendapat bahwa harapan hanya dapat diaplikasikan
pada konditi tidak tertolong (helpless).
b. Harapan sebagai proses kognitif
Erikson (dalam Lopez & Snyder, 2003) pada tahun 1964
mendefinisikan harapan sebagai elemen dari perkembangan kognitif yang
sehat. Harapan merupakan pemikiran atau kepercayaan yang
mengizinkan individu untuk mengembangkan pergerakan menuju tujuan.
Erikson menempatkan harapan pada konteks perkembangan manusia,
yang memosisikan bahwa harapan muncul saat manusia terlahir, dan
harapan juga yang menimbulkan konflik secara internal pada manusia.
Breznitz (dalam Lopez & Snyder, 2003) pada tahun 1986 berpendapat
bahwa harapan berhubungan dengan pemikiran yang fana atau
berhubungan dengan keadaan kognitif. Breznitz membedakan antara
harapan dan cara kerja harapan. Cara kerja harapan merupakan proses
aktif dan individu harus terikat dengan pengalaman sesungguhnya dari
esensi harapan. Harapan juga didefinisikan sebagai ilusi dan pertentangan
yang berbeda dengan penolakan (denial).
Gottschalk (dalam Lopez & Snyder, 2003) pada tahun 1974
mendefinisikan harapan sebagai jumlah optimisme yang mengakibatkan
hal-hal yang disukai terwujud. Harapan juga dipercaya sebagai usaha
provokatif yang memaksa individu untuk bergerak melewati masalah
psikologis. Godfrey (dalam Lopez & Snyder, 2003) pada tahun 1987
mendefinisikan harapan sebagai kepercayaan pada beberapa
kemungkinan dari hasil yang menyenangkan. Harapan dituntun oleh
persepsi individu dari sumber daya atau sumber daya yang dirasa individu
dapat dikuasai (Lopez & Snyder, 2003).
Staats (dalam Lopez & Snyder, 2003) pada tahun 1989 memandang
harapan sebagai interaksi antara harapan dan ekspektasi. Harapan
dipandang sebagai upaya mediasi yang menimbang ekspektasi dari
pencapaian dan intensitas afektif dari keinginan dan hasrat (Lopez &
Snyder, 2003).

64
c. Harapan sebagai gabungan proses emosi dan kognitif
Snyder (dalam Lopez & Snyder, 2003) mendefinisikan harapan
sebagai pemikiran yang mengarah pada tujuan yang individu anggap
dapat menghasilkan jalan menuju tujuan yang diinginkan dan diperlukan
motivasi untuk menggunakan jalan tersebut. Tujuan dapat bervariasi dari
tujuan jangka pendek hingga jangka panjang. Tujuan yang ditetapkan
harus memiliki nilai-nilai yang cukup. Tujuan dapat berorientasi pada hal
positif yang ingin diwujudkan individu atau hal negatif yang ingin
diantisipasi oleh individu (Lopez & Snyder, 2003).

2. Komponen Harapan
Harapan memiliki beberapa komponen yaitu goal, pathway thinking,
agency thinking, barrier and emotion, dan stressors. Komponen-komponen
harapan dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Goal
Goal atau tujuan adalah sasaran dari tahapan tindakan mental yang
menghasilkan komponen kognitif. Tujuan dapat berupa tujuan jangka
pendek ataupun jangka panjang, namun tujuan harus cukup bernilai untuk
mengaktifkan pemikiran yang disadari. Tujuan harus memiliki
kemungkinan untuk dicapai tetapi juga mengandung beberapa
ketidakpastian. Lopez, Snyder & Pedrotti (dalam Lopez & Snyder, 2003)
menyatakan bahwa tujuan dapat berupa approach-oriented in nature
(misalnya sesuatu yang positif yang diharapkan untuk terjadi) atau
preventative in nature (misalnya sesuatu yang negatif yang ingin
dihentikan agar tidak terjadi lagi). Tujuan juga sangat beragam dilihat
daritingkat kemungkinan untuk mencapainya. Bahkan suatu tujuan yang
tampaknya tidak mungkin untuk dicapai pada waktunya akan dapat
dicapai dengan perencanaan dan usaha yang lebih keras (Lopez &
Snyder, 2003).
b. Pathway Thinking
Pathway thinking merupakan kemampuan seseorang untuk
mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Pathway thinking ditandai dengan self talk seperti “Saya akan menemukan
cara untuk menyelesaikannya!”(Lopez & Snyder, 2003). Pathway thinking

65
mencakup pemikiran mengenai kemampuan untuk menghasilkan satu
atau lebih cara yang berguna untuk mencapai tujuan yang diinginkan
(Lopez & Snyder, 2003).
c. Agency Thinking
Agency thinking merupakankomponen motivasional dari teori harapan
yaitu kapasitas untuk menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Agencymencerminkan persepsi individu bahwa dia
mampu mencapai tujuannya melalui jalur-jalur yang dipikirkannya, agency
juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai kemampuannya
bertahan ketika menghadapi hambatan dalam mencapai tujuannya.
Komponen agency dan pathway saling memperkuat satu sama lain
sehingga satu sama lain saling mempengaruhi dan dipengaruhi secara
berkelanjutan dalam proses pencapaian tujuan (Lopez & Snyder, 2003).
d. Barrier and Emotion
Hambatan didefinisikan sebagai suatu substansi yang menciptakan
kondisi stresful sehingga individuterhalang dalam mencapai tujuan. Emosi
positif dapat muncul apabila terdapat persepsi untuk mengejar tujuan agar
berhasil. Emosi negatif cenderung akan muncul karena individu merasa
kurang untuk mencapai keberhasilan dalam meraih tujuan, baik dalam
situasi dengan hambatan maupun tanpa hambatan (Lopez & Snyder,
2003).
e. Stressors
Stressor merupakan penyebab stres yang dapat disebabkan oleh
hambatan, baik dari internal individu maupun eksternal individu (Lopez &
Snyder, 2003).

3. Faktor yang Memengaruhi


Weil (2000) dala mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi harapan, yaitu dukungan sosial, kepercayaan religius,
dan kontrol.
a. Dukungan Sosial
Harapan memiliki kaitan erat dengan dukungan sosial. Keluarga dan
teman pada umumnya diidentifikasikan sebagai sumber harapan untuk
beberapa aktivitas seperti mengunjungi suatu tempat, mendengarkan,

66
berbicara dan memberikan bantuan secara fisik. Herth (dalam Weil, 2000)
mengidentifikasikan pertahanan hubungan peran keluarga sebagai
sesuatu yangpenting bagi tingkat harapan dan coping.
b. Kepercayaan Religius
Kepercayaan religius dan spiritual telah diidentifikasikan sebagai
sumber utama harapan dalam beberapa penelitian. Kepercayaan religius
dijelaskan sebagai kepercayaan dan keyakinan seseorang pada hal positif
atau menyadarkan individu pada kenyataan bahwa terdapat sesuatu atau
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk situasi individu saat ini.
Spiritual merupakan konsep yang lebih luas dan terfokus pada tujuan dan
makna hidup serta keterkaitan dengan orang lain, alam, ataupun dengan
Tuhan (Reed dalam Weil, 2000).
c. Kontrol
Mempertahankan kontrol merupakan salah satu bagian dari konsep
harapan. Mempertahankan kontrol dapat dilakukan dengan cara tetap
mencari informasi, menentukan nasib sendiri, dan kemandirian yang
menimbulkan perasaan kuat pada harapan individu.

C. Analisis Kasus dan Diskusi


Perceraian merupakan metode yang sah secara hukum untuk mengakhiri
suatu pernikahan (DeGenova, 2008).Perceraian tidak hanya melibatkan figur
suami dan istri, tetapi juga menjadi runtutan pengalaman yang menimbulkan
stres bagi seluruh anggota keluarga.
Kasus perceraian yang dialami subjek diawali dengan penolakan keluarga
dari pihak suami terkait kondisi anak pertama subjek yang mengalami gangguan
autis. Di tahun keempat usia anak pertama sekaligus kelahiran anak kedua,
suami subjek kabur dan tidak memiliki kabar sampai saat ini. Kondisi stres
dialami oleh subjek maupun keluarga subjek, walaupun tidak disampaikan secara
eksplisit dalam proses wawancara. Cara yang ditempuh keluarga subjek untuk
membantu subjek adalah dengan mengajak subjek untuk tinggal kembali
bersama orangtua subjek serta menjamin kehidupan subjek baik dari segi
ekonomi maupun sosial. Cara tersebut dapat disimpulkan sebagai bentuk dari
problem focus coping(Lazarus, 1966). Problem focused coping digunakan untuk
memperbaiki stres yang disebabkan oleh situasi tertentu dengan mengidentifikasi

67
dan membuat usaha untuk menyelesaikan sumber masalah (Lazarus & Folkman,
1984). Subjek juga melakukan problem focused coping yaitu dengan
memfokuskan untuk merawat anak dan mencari terapi atau pengobatan yang
dapat meningkatkan kemampuan anak.
Emotion focused coping juga terdapat pada situasi ketika subjek memilih
untuk menarik diri dari pergaulan sebelum sah bercerai. Emotion focused
copingdidefinisikan sebagai pola koping yang bertujuan untuk mengurangi
intensitas dari emosi negatif yang diasosiasikan dengan stres, bertujuan untuk
membuat seseorang merasa lebih baik terkait dengan stressor yang diterima
seseorang tanpa menyelesaikan sumber stress tersebut(Lazarus & Folkman,
1984). Perilaku menangis dan merenung juga menjadi salah satu bagian dari
emotion focused coping yang dilakukan subjek.
Proses perpisahan akibat perceraian akan membutuhkan penyesuaian.
Subjek mengatakan bahwa iasulit dan membutuhkan waktu lama dalam proses
menyesuaikan diri setelah ditinggal pergi oleh suami. Subjek cenderung menarik
diri dari pergaulan dan menggunakan pakaian tertutup. Subjek juga menjadi
pribadi pencuriga dan merasa orang lain berbicara negatif tentang dirinya.
Dukungan dari keluarga besar yang selalu menerima subjek dan memberikan
bantuan ekonomi membuat subjek merasa terbantu.Kehadiran anak juga
memotivasi subjek agar tidak terlalu larut dalam kesedihan. Beberapa tahun
setelah ditinggal suami, subjek dan keluarga subjek memutuskan agar dilakukan
proses perceraian yang sah walau secara sepihak. Proses perceraian subjek
juga dibantu oleh salah satu teman subjek di masa SMA. Setelah proses
perceraian berakhir, subjek sudah berani terbuka kepada teman-teman dan tidak
menarik diri lagi. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian oleh Fashihatin
Nisa (2009) yang mengatakan bahwa dukungan dari teman, keluarga, dan
kehadiran anak sangat membantu penyesuaian perceraian yang dilalui.
Subjek memiliki kewajiban untuk mengasuh dan merawat anak pertama yang
mengalami gangguan autis, sedangkan anak kedua diasuh oleh saudara
subjek.Untuk dapat mengasuh dan merawat dengan baik, diperlukan penerimaan
terhadap kondisi anak terlebih dahulu.Proses penerimaan sebagai ibu orangtua
tunggal dari anak autis juga nampak pada hasil wawancara. Subjek dapat
memahami kondisi anak dan tidak menuntut anak untuk menjadi apa yang subjek
inginkan, subjek juga nampak memahami kebiasaan-kebiasaan anak, serta

68
memahami apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan anak. Subjek juga
berusaha mencari tahu dan berdiskusi terkait penyebab perilaku buruk atau baik
yang dilakukan oleh anak dan bagaimana cara menanggulangi atau
mempertahankan perilaku tersebut. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian
oleh Rachmayanti & Zulkaida (2007) yang menemukan bahwa penerimaan
orangtua terhadap anak autis dapat dilihat dari perwujudan perilaku seperti
mengetahui perkembangan anak, menerima kondisi anak dan mampu
membentuk ikatan batin yang kuat dengan anak.
Selama 20 tahun mengasuh dan merawat anak tanpa didampingi oleh
pasangan, subjek mengatakan belum ingin mencarikan ayah pengganti bagi
anak.Subjek mengatakan hanya fokus untuk merawat dan mendidik anak. Tujuan
subjek saat ini adalah untuk membuat anak dapat berinteraksi dengan teman
sebaya serta orang lain dan dapat mandiri. Mandiri yang dimaksud subjek adalah
mandiri untuk melakukan hal-hal sederhana seperti makan, mengganti pakaian,
merawat diri, dan kegiatan keseharian lainnya.
Berdasarkan teori harapan, maka subjek sudah memiliki goal yaitu agar anak
agar dapat berinteraksi dengan orang lain dan menjadi mandiri.Goal subjek
bersifat approach oriented in nature yaitu dengan mengharapkan sesuatu yang
positif untuk terjadi (Lopez & Snyder, 2003).
Subjek kini mengusahakan agar anak subjek dapat melakukan beberapa
kegiatan keseharian dengan mandiri dengan sedikit bantuan.Subjek mengetahui
tingkat keparahan autis pada anak, sehingga subjek berusaha sabar dan telaten
dalam mendidik anak.Beberapa hal yang pernah diajarkan subjek seperti
mengajari makan dengan sendok. Subjek mengajarkan anak cara buang air
besar maupun kecil dan mandi. Etika yang diajarkan adalah dengan menutup
pintu kamar terlebih dahulu, membuka pakaian, lalu ke kamar mandi. Anak
subjek juga diajarkan untuk mengatakan kepada subjek agar tidak mengompol
atau agar tidak dilihat telanjang oleh orang lain. Subjek mengajarkan anak subjek
untuk berinteraksi dengan memperkenalkan anak kepada orang-orang yang
subjek kenal.Subjek juga mengajarkan anak subjek untuk melihat orang yang
sedang mengajak berbicara.Hal tersebut sering subjek contohkan saat berbicara
dengan anak atau saat mengajak anak berkenalan.
Berdasarkan pemaparan terkait kegiatan yang subjek lakukan agar anak
dapat belajar mandiri dan berinteraksi dengan orang lain, perilaku subjek dapat

69
dikategorikan ke dalam pathway thinking.Pathway thinking yang ditunjukkan oleh
subjek adalah dengan menyiapkan tahap-tahap dan rencana pendidikan untuk
anak subjek di rumah, selain dengan rutin mengajak anak untuk mengikuti terapi
dan kelas bina diri.
Subjek rutin mengantar anak ke PLA Kota Denpasar untuk mengikuti terapi
dan kelas bina diri.Subjek mengatakan tidak sungkan untuk konsultasi terkait
masalah anak di luar lingkungan PLA Kota Denpasar.Subjek berani terbuka
dengan teman-teman sesama orangtua anak berkebutuhan khusus di PLA Kota
Denpasar.Subjek mengatakan sesi berbagi dengan teman-teman sangat
membantu subjek dalam memahami anak maupun menangani masalah anak.
Berdasarkan pemaparan terkait kegiatan mengajak anak ke PLA Kota
Denpasar, nampak perilaku dalam komponen harapan yaitu agency
thinking.Agency thinking tidak disebutkan secara eksplisit melalui wawancara,
tetapi secara implisitagency thinking muncul pada saat subjek menceritakan
tentang kemajuan anak saat menjalani pendidikan dan terapi di PLA Kota
Denpasar.Agency thinking juga nampak ketika subjek mengatakan termotivasi
untuk mengajak anak ke PLA Kota Denpasar karena anak mengalami kemajuan
dan subjek merasa mendapat dukungan dari teman-teman sesama orangtua
anak berkebutuhan khusus.
Barrier and emotion nampak pada kesibukan subjek sebagai ibu rumah
tangga, yang terkadang membuat subjek tidak sempat mengajari anak untuk
melakukan kegiatan kehidupan keseharian.Berdasarkan hasil wawancara, hal
tersebut belum sampai memengaruhi kondisi emosi subjek.Subjek mengatakan
hanya merasa kasihan tidak dapat mengajari anak, tetapi keadaan membuat
subjek harus cepat melayani anak.Stressortidak nampak dalam proses
wawancara maupun observasi. Subjek mengatakan, walaupun dalam kondisi
tidak ada suami, subjek sejak dulu tetap melakukan tanggung jawab pengasuhan
dan tidak pernah lalai atau membuat anak terbengkalai.Subjek mengatakan
hanya sesekali sempat hanya diam di kamar sembari berbaring, kemudian
merenung dan menangis.Anak subjek pada saat itu masih berusia kanak-kanak
dan subjek tinggalkan di luar kamar, tetapi anak subjek hanya diam dan duduk
tenang.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, diketahui bahwa faktor-faktor
yang memengaruhi harapan subjek adalah kondisi anak autis, dukungan dari

70
keluarga dan teman-teman, rasa sayang terhadap anak, usia subjek yang sudah
memasuki dewasa madya, usia anak yang sudah memasuki dewasa awal, dan
ketersediaan informasi maupun fasilitas terapi. Beberapa dari faktor tersebut
sejalan dengan faktor-faktor yang memengaruhi harapan yang tercantum dalam
penelitian Weil (2000) yaitu terdiri dari dukungan sosial, kepercayaan religius,
dan kontrol.Faktor dukungan sosial nampak pada pernyataan termotivasi dan
merasa didukung oleh teman-teman dan keluarga, serta faktor kontrol nampak
pada kemauan individu mencari informasi dan menerapkan terapi bina diri untuk
anak di rumah.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis kasus, dapat disimpulkan bahwa subjek memiliki
harapan yang memenuhi komponen-komponen harapan menurut Lopez &
Snyder (2003) yang terdiri dari goal, pathway thinking, agency thinking, barrier
and emotion, dan stressors.Faktor-faktor yang memengaruhi harapan subjek
adalah kondisi anak autis, dukungan dari keluarga dan teman-teman, rasa
sayang terhadap anak, usia subjek yang sudah memasuki dewasa madya, usia
anak yang sudah memasuki dewasa awal, dan ketersediaan informasi maupun
fasilitas terapi.
Sebelum subjek mampu terbuka dan bersedia untuk konsultasi atau berbagi
dengan orang lain, subjek harus melewati fase penyesuaian diri terlebih dahulu
yang akhirnya membawa subjek ke fase penerimaan atas kondisi subjek yang
menjadi orangtua tunggal dari anak autis.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan antara lain:
1. Bagi orangtua tunggal yang memiliki anak berkebutuhan khusus, utamanya
autis, agar mencari informasi yang relevan dan valid terkait kondisi anak dan
tindakan apa yang dapat meningkatkan perkembangan anak. Orangtua

71
tunggal juga dapat merancang pendidikan bagi anak bersama terapis untuk
diterapkan di rumah.
2. Bagi terapis maupun guru dari anak berkebutuhan khusus, utamanya autis,
agar dapat memberikan edukasi dan informasi kepada orangtua anak
sehingga terjalin kerjasama antara orangtua dan pihak institusi dalam
peningkatan kemampuan anak. Pihak institusi juga dapat bekerjasama
dengan orangtua untuk menyusun individual educational program (IEP) bagi
anak.
3. Bagi peneliti lain agar dapat menggali lebih dalam informasi terkait harapan
orangtua tunggal terhadap anaknya yang berkebutuhan khusus, utamanya
yang mengalami gangguan autis.

72
DAFTAR PUSTAKA

______. (2004). Retrieved November 19, 2016, from Mengapa Kita Membutuhkan
Harapan?: http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/102004282
______. Orangtua Tunggal, Banyak Tantangannya. (2016). Retrieved November 14, 2016,
from http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/1020027
APA. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). Washington,
DC: American Psychiatric Publishing.
DeGenova, M. (2008). Intimate relationships, marriages, & families (7th Ed.). New York:
McGraw Hill.
Feist, J., & Feist, G. (2009). Theories of personality, 7th ed. New York: McGraw-Hill.
Fitriani. (2015, Juni 24). Retrieved November 19, 2016, from Kompasiana:
http://m.kompasiana.com/pipifitriani/harapan-orang-tua-kepada-anaknya-di-masa-
tua-mereka
Hurlock, E. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Lazarus, R. (1966). Psychological stress and the coping process. New York: McGraw Hill.
Lazarus, R., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer.
Lopez, S., & Snyder, C. (2003). Positive psychological assessment: A handbook of models
and measures. Washington DC: American Psychological Association.
Margaretha. (2014, September 3). Pendidikan seks untuk remaja dengan autisme. Retrieved
April 29, 2016, from Psikologi Forensik dan Psikopatologi:
https://psikologiforensik.com/2014/09/03/pendidikan-seks-untuk-remaja-dengan-
autisme/
Moleong, L. J. (2004). Metodologi penelitian kualitatif, edisi revisi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset.
Nisa, F. (2009). Penyesuaian perceraian pada wanita desa yang bercerai.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14519/1/09E02627.pdf.
Papalia, D., Old, S., & Feldman, R. (2011). Human development (psikologi perkembangan)
ed 9. Jakarta: Kencana.
Perlmutter, M., & Hall, E. (1985). Adult development and aging. New York: John Willey and
Sons.
Poerwandari, E., & Hassan, F. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi.
Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi
(LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

73
Prakosa, H. (1997). Observasi: bahan kuliah psikodiagnostik IV PSU 307. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Puspita, D. (2007). Seksualitas pada individu autis remaja. Retrieved April 29, 2016, from
Puterakembara: http://puterakembara.org/rm/seksualitas.htm
Putri, G. (2015, Juni 18). Pendidikan seks pada anak autis. Retrieved April 29, 2016, from
Kompasiana: http://m.kompasiana.com/gitanoviaputri/pendidikan-seks-pada-anak-
autis_54f98817a3331157628b492b
Rachmayanti, S., & Zulkaida, A. (2007). Penerimaan diri orangtua terhadap anak autisme
dan peranannya dalam terapi autisme. Jurnal Psikologi (01), 1-11.
Sugiyono. (2014). Metode penelitian kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta.
Weil, C. (2000). Exploring hope in patients with end stage renal disease on chronic
hemodialysis. ANNA Journal, 27, 219-223.

74
MATERI 10: CONTOH KASUS II

GAMBARAN REGULASI EMOSI REMAJA YANG BERMEDITASI

Penelitian Studi Kasus

Diajukan Oleh:

Natassa R. Tejena

1302205016

Kepada

Program Studi Psikologi

75
Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana

2016

76
BAB I
PENDAHULUAN
A. Paparan Kasus
Masa remaja merupakan sebuah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa. Pada umumnya, para remaja berharap dapat menemukan jati diri,
mengembangkan potensi dimiliki, memperluas lingkungan sosial dan mempersiapkan diri
untuk memasuki masa dewasa. Namun, harapan dari para remaja tidak dapat terwujud
dengan mudah dikarenakan oleh beberapa faktor, seperti perubahan dalam fisik, emosi dan
psikososial (Santrock, 2007). Perubahan emosi yang terjadi pada masa remaja mempunyai
pengaruh besar dalam kehidupan para remaja. Emosi remaja cenderung mudah berubah
dan ekstrim, dari yang sebelumnya merasa sangat senang, karena suatu hal kecil dapat
berubah menjadi merasa sangat sedih. Ketika sedang diikuti emosi marah ataupun sedih
yang sangat kuat, kemungkinan besar remaja akan melakukan perbuatan yang tidak
didahului oleh akal sehat. Penelitian yang dilakukan oleh Rivers, Reyna, dan Mills (2008)
menunjukkan bahwa emosi yang sedang dialami remaja memengaruhi keputusan remaja
untuk melakukan tindakan berisiko.
Perubahan emosi pada remaja terjadi karena adanya perubahan hormonal dan
pengalaman dari lingkungan. Dari kedua faktor tersebut, pengalaman dari lingkungan lebih
besar pengaruhnya terhadap perubahan emosi remaja (Santrock, 2007). Tentunya setiap
remaja tidak dapat mengontrol agar hanya pengalaman positif yang terjadi pada diri remaja
sehingga, remaja memerlukan suatu kemampuan dari dalam diri untuk dapat mengelola
agar emosi-emosi negatif yang dihasilkan dari pengalaman-pengalaman negatif.
Kemampuan yang diperlukan oleh remaja adalah kemampuan regulasi emosi. Gratz dan
Roemer (2004) mendefinisikan regulasi emosi sebagai konstruk multidimensional yang
melibatkan kesadaran, pemahaman dan penerimaan emosi, kemampuan untuk terlibat
dalam perilaku yang bertujuan dan mencegah perilaku impulsif ketika mengalami emosi
negatif, fleksibelitas dalam menggunakan strategi untuk mengatur intensitas atau durasi dari
respons emosional daripada menghilangkan emosi tersebut sepenuhnya dan keinginan
untuk mengalami emosi negatif sebagai bagian dari pengalaman hidup yang bermakna.
Gratz dan Roemer (2004) menyatakan bahwa terdapat empat aspek dalam regulasi
emosi, yaitu: (1) kemampuan menyadari dan memahami emosi yang dialami; (2)
kemampuan menerima emosi yang dialami; (3) kemampuan mengontrol perilaku impulsif
dan tetap berperilaku untuk mencapai tujuan yang diinginkan ketika mengalami emosi yang
negatif; dan (4) kemampuan menggunakan strategi regulasi emosi yang pantas sesuai
dengan situasi secara fleksibel agar respons emosional yang dimunculkan sesuai dengan
yang diinginkan guna mencapai tujuan pribadi dan tuntutan lingkungan.

77
Kemampuan regulasi emosi sangat dibutuhkan bagi para remaja. Para remaja
umumnya memiliki keinginan untuk diterima oleh teman sebaya, dengan regulasi emosi
yang baik remaja dapat mengelola emosi negatif saat mempunyai masalah dan berperilaku
dengan cara yang dapat diterima oleh teman sebaya sehingga keinginan untuk diterima oleh
teman sebaya dapat terwujud. Penelitian yang dilakukan oleh Nisfiannoor dan Kartika (2004)
menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara regulasi emosi dengan penerimaan
teman sebaya. Selain bermanfaat dalam hubungan dengan teman sebaya, regulasi emosi
juga berkontribusi dalam kesehatan psikologis remaja. Remaja yang memiliki regulasi emosi
yang baik dapat mengatasi perasaan sedih, kecewa, dan putus asa sehingga dapat
menghindari risiko terjadinya depresi pada remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Betts,
Gullone dan Allen (2009) menunjukkan bahwa kemampuan regulasi emosi yang baik
merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi risiko depresi pada remaja.
Remaja dengan regulasi emosi yang kurang baik rentan untuk mengalami depresi dan
kemarahan yang merujuk pada kenakalan remaja dan kesulitan dalam bidang akademis
(Santrock, 2007). Remaja yang mempunyai tingkat regulasi emosi yang rendah tidak
mampu mengelola emosi negatif sehingga emosi negatif yang sedang dialami mendominasi
diri remaja dan menghasilkan berbagai perilaku yang termasuk dalam kenakalan remaja.
Hal tersebut dibuktikan lewat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat regulasi emosi seorang remaja, maka semakin rendah tingkat kenakalan remaja
(Faridh, 2008). Emosi yang sedang dialami remaja memengaruhi pengambilan keputusan
pada remaja. Kemampuan regulasi emosi yang rendah dapat membuat remaja mengambil
keputusan yang salah karena remaja tidak berpikir panjang mengenai dampak dari
keputusan yang di ambil. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Nurhasanah (2014) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara strategi regulasi
emosi dengan gaya pengambilan keputusan pada anak didik tindak pidana narkoba di
Lapas Anak Pria di Tangerang.
Remaja membutuhkan sebuah sarana untuk belajar meregulasi emosinya. Salah satu
sarana yang dapat digunakan oleh remaja adalah meditasi. Meditasi merupakan teknik atau
metode latihan yang bertujuan untuk melatih perhatian guna meningkatkan kesadaran, yang
selanjutnya dapat membuat proses-proses mental menjadi lebih terkontrol (Walsh, 1983).
Penelitian-penelitian terdahulu telah menunjukkan beberapa bukti bahwa meditasi
berkontribusi secara positif terhadap emosi individu, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Menezes dkk. (2013) yang menunjukkan bahwa meditasi terbukti dapat menurunkan emosi
negatif dan kecemasan pada mahasiswa. Adapun penelitian lain yang menunjukkan bahwa
latihan meditasi loving kindness membantu individu untuk mengembangkan perasaan positif
serta merangkul semua aspek dalam diri sendiri dan orang lain tanpa syarat, yang

78
merupakan jalan untuk mengalami inner peace dan kebahagiaan (Brantley & Hanauer,
2008).
Melalui pemaparan diatas dapat dikatakan bahwa perubahan emosi yang terjadi pada
masa remaja mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan para remaja. Emosi remaja
cenderung mudah berubah dan terkadang cenderung ekstrim, dari yang sebelumnya
merasa sangat senang, karena suatu hal kecil berubah menjadi sangat sedih. Ketika sedang
diikuti emosi marah ataupun sedih yang sangat kuat, kemungkinan besar remaja akan
melakukan perbuatan yang tidak didahului oleh akal sehat. Untuk mengatasi masalah-
masalah remaja yang disebabkan oleh perubahan emosi, dibutuhkan kemampuan untuk
meregulasi emosi. Salah satu sarana yang dapat dipakai untuk melatih regulasi emosi
adalah meditasi.
Subjek penelitian ini adalah tiga orang remaja perempuan yang bermeditasi. Subjek
pertama bernama Putri (bukan nama sebenarnya) berusia 20 tahun. Putri merupakan
seorang mahasiswi semester 5 di suatu Universitas Swasta di Bali. Saat Putri duduk di kelas
4 SD, ayahnya mulai mengikuti aliran yang diajarkan oleh seorang guru spiritual. Ibu Putri
memiliki kewajiban untuk menjadi seorang pemangku sehingga ia tidak bisa mengikuti aliran
yang diyakini oleh suaminya. Perbedaan keyakinan tersebut menyebabkan kedua
orangtuanya sering bertengkar, hingga akhirnya kedua orangtua Putri memutuskan untuk
berpisah. Putri tinggal dengan ibunya sedangkan ayahnya memutuskan untuk tinggal
sendirian. Menurut Putri pertengkaran dan perpisahan kedua orangtuanya tersebut
menyebabkan Putri memiliki masalah dalam mengendalikan emosi. Putri menjadi pribadi
yang pendiam, sensitif dan pendendam. Selain itu, hubungan Putri dengan ayahnya kurang
baik, ayahnya tidak mau berbicara dengan anak-anaknya dan Putri juga malas untuk
memulai pembicaraan. Semua hal tersebut berubah semenjak Putri rutin melakukan
kegiatan yoga dan meditasi setiap harinya sejak tahun lalu. Putri merasakan perubahan
yang besar dalam dirinya terutama dalam hal emosi.
Subjek kedua bernama Dina (bukan nama sebenarnya) berusia 19 tahun. Dina adalah
seorang mahasiswi semester 5 di sebuah Universitas Negeri di Bali. Tentunya sebagai
seorang mahasiswi, selain belajar, Dina harus mengikuti berbagai kegiatan kepanitiaan di
kampus. Dina mengaku bahwa ia tipe yang gampang stres apabila mendapat banyak tugas
kepanitiaan dari temannya. Apabila ia merasa sangat stress ataupun sedih ia akan berusaha
mengatasinya dengan bermeditasi. Hal yang paling membuat Dina sedih adalah saat
ayahnya meninggal. Ayahnya meninggal sembilan hari sebelum Dina merayakan ulang
tahun ke-17. Dina merasa sedih, marah, dan kecewa karena kejadian tersebut. Pada saat
itu, Dina tidak dapat menangis karena takut ibu dan adik-adiknya terpengaruh dan ikut
menangis. Tidak mengekspresikan emosi negatif yang dirasakannya tentu merupakan
sebuah beban, sehingga akhirnya Dina memutuskan untuk mengikuti retret meditasi yang

79
diadakan oleh suatu guru terkemuka di Bali. Melalui retret itu Dina dapat mengeluarkan
tangisan yang selama ini telah ditahannya sehingga ia merasa lebih tenang.
Subjek ketiga bernama Indah (bukan nama sebenarnya) berusia 20 tahun. Indah
adalah seorang mahasiswi di suatu Universitas Swasta di Bali. Indah sudah tidak
mempunyai ayah dan ibu. Ayah Indah meninggal saat ia duduk di kelas 3 SD karena sakit
hepatitis sedangkan Ibu Indah meninggal setahun yang lalu karena sakit stroke. Indah
merasa bersyukur menemukan meditasi karena Indah terlibat dalam kegiatan positif dan
tidak terjerumus dalam kegiatan-kegiatan yang merugikan. Apalagi, Indah sudah tidak
mempunyai ayah ibu, meditasi membantu Indah lebih menerima hal-hal yang terjadi pada
dirinya. Indah merasakan perubahan pada dirinya semenjak mengikuti meditasi, salah
satunya dalam hal emosi. Ketika Indah ingin marah, ia pasti berusaha menempatkan
posisinya pada orang lain. Ia menganggap bahwa semua orang menginginkan kebahagiaan,
sehingga ia tidak ingin marah dan membuat orang yang ia marahi tersebut sedih.
Putri, Dina dan Indah mengalami permasalahan-permasalahan yang menimbulkan
emosi negatif dalam diri masing-masing. Melalui pemaparan dari Putri, Dina dan Indah
bagaimana meditasi membawa perubahan dalam diri masing-masing salah satunya dalam
hal emosi, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran regulasi emosi remaja yang
bermeditasi.

B. Rumusan Kasus
Rumusan kasus dari paparan cerita diatas adalah bagaimana gambaran regulasi
emosi remaja yang bermeditasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian studi kasus ini adalah untuk mengetahui bagaimana
gambaran regulasi emosi remaja yang bermeditasi.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian studi kasus ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat
ke pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini, diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Manfaat Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi untuk bidang
psikologi, khususnya psikologi perkembangan, psikologi pendidikan dan
psikologi klinis.

80
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk remaja,
orangtua dan guru mengenai peran meditasi pada regulasi emosi remaja.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pijakan untuk penelitian
berikutnya yang terkait dengan regulasi emosi remaja dan meditasi.
b. Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk para
remaja mengenai manfaat dari memiliki kemampuan regulasi emosi yang
baik sehingga meningkatkan motivasi remaja untuk melatih kemampuan
regulasi emosi dengan salah satu cara yaitu mengikuti kegiatan meditasi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk para
orangtua mengenai manfaat dari kemampuan regulasi emosi yang baik
pada remaja sehingga para orangtua dapat memberi dukungan kepada
remaja untuk melatih regulasi emosi dengan salah satu cara yaitu
mengajak remaja untuk mengikuti kegiatan meditasi.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk para
guru mengenai manfaat dari kemampuan regulasi emosi yang baik pada
remaja sehingga para guru dapat memberi dukungan kepada remaja
untuk melatih regulasi emosi dengan cara mengajak remaja untuk
mengikuti kegiatan meditasi, mengadakan kegiatan ekstrakulikuler
meditasi di sekolah, ataupun menjadikan meditasi sebagai bagian dari
kegiatan rutin di sekolah.
4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk
masyarakat mengenai manfaat dari kemampuan regulasi emosi yang baik
pada remaja sehingga masyarakat memberi dukungan kepada remaja
sekitar untuk melatih regulasi emosi dengan cara mengajak remaja di
sekitar untuk mengikuti kegiatan meditasi, misalnya dengan cara
mengadakan sosialisasi mengenai meditasi, menyediakan sarana
prasarana untuk bermeditasi dan mengadakan program pelatihan
meditasi untuk para remaja.

81
BAB II
METODE PENGUMPULAN DATA
A. Observasi Kasus
Observasi merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data
dalam penelitian studi kasus ini. Observasi memungkinkan peneliti untuk mencatat peristiwa
dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan yang
langsung diperoleh dari data, serta untuk memahami situasi-situasi yang rumit untuk
perilaku yang kompleks (Moleong, 2004). Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah event sampling. Event sampling merupakan teknik observasi yang fokus pada
perilaku yang muncul, dan pencatatan dilakukan ketika perilaku yang diinginkan muncul
(Irwin & Bushnell, 1980). Selama proses wawancara berlangsung, peneliti mengamati dan
mencatat gesture tubuh subjek dan membuat laporan dalam bentuk fieldnote.
Tujuan dilakukannya observasi adalah untuk melihat bagaimana regulasi emosi dari
remaja yang bermeditasi.
1. Hasil Observasi Subjek 1 (Putri)
Observasi dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 15 0ktober 2016, Pukul 10.35 WITA
di Universitas Swasta tempat Putri kuliah.
No Aktivitas Peristiwa
1 Putri menunggu Putri terlihat duduk di kursi plastik di lobby
peneliti kampus sambil menunduk memandangi
handphone-nya. Putri memakai kemeja putih
bermotif, celana panjang hitam, dan sepatu
hitam. Peneliti menyapa “Putri ya?” sehingga
Putri menengok ke arah peneliti dan berkata
“Iya.” sambil tersenyum. Peneliti
mengulurkan tangan sambil memperkenalkan
diri, Putri pun menyalami peneliti sambil
menyebutkan namanya dan bertanya “kakak
sendiri saja?” sambil tersenyum.
2 Putri dan peneliti Putri mengajak peneliti pergi ke
berjalan menuju perpustakaan karena disana cukup sepi.
tempat wawancara Ketika berjalan ke perpustakaan, seorang
mahasiswa menyapa Putri dan Putri pun
membalas menyapa sambil tersenyum.

3 Putri meminta untuk Setelah peneliti memberi tahu bahwa

82
melakukan tes wawancara ini direkam, Putri meminta untuk
rekaman melakukan tes rekaman sebelum wawancara
dimulai agar tahu apakah suaranya terdengar
jelas atau tidak.
4 Selesai wawancara Peneliti melihat waktu di layar handphone
sudah menunjukkan pukul 11.18 dan
bertanya apakah sudah waktunya Putri untuk
kuliah. Putri balik bertanya apakah semua
pertanyaan sudah terjawab, jika tidak, Putri
bisa diwawancarai lagi setelah perkuliahan
selesai. Setelah peneliti berkata cukup untuk
wawancara hari ini dan berterima kasih pada
Putri, peneliti dan Putri membereskan barang
dan mengambil tas masing-masing. Putri
pamit pada peneliti dan keluar dari
perpusakaan. Putri terlihat menaiki tangga
untuk pergi ke kelas kuliahnya.

2. Hasil Observasi Subjek 2 (Dina)


Observasi dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 15 0ktober 2016, Pukul 11.57
WITA di Mc Donald Robinson.
No Aktivitas Peristiwa
1 Dina menghampiri Dina menghampiri peneliti dan menyapa
peneliti “Kak Tassa ya? Maaf ya lama menunggu”.
Peneliti menjawab dan mengajak Dina untuk
bersalaman. Dina bertanya apakah peneliti
menunggu lama. Dina mengenakan baju
kaos berwarna putih dengan luaran jaket
berwarna hitam, celana jeans berwarna biru
tua dan sepatu hitam.
2 Setelah wawancara Peneliti bertanya apakah Dina ada urusan
setelah wawancara ini. Dina memberi tahu
peneliti bahwa setelah ini ia akan berkumpul
dengan teman-temannya untuk pergi ke
suatu kegiatan sosial. Setelah peneliti
mengatakan cukup untuk wawancara hari ini

83
dan berterimakasih pada Dina, Dina
menyalami dan pamit dengan peneliti.
Kemudian, Dina berjalan keluar dari pintu Mc
Donald.

3. Hasil Observasi Subjek 3 (Indah)


Observasi dilakukan pada hari Selasa, tanggal 25 0ktober 2016, Pukul 17.40
WITA di Universitas Swasta tempat Indah kuliah.
No Aktivitas Peristiwa
1 Peneliti bertemu Terlihat Indah dan temannya menunggu di
dengan Indah tempat parkir kampusnya. Indah dan
temannya memakai seragam kuliah yaitu
kemeja putih dan rok cokelat. Peneliti
menyapa Indah, kemudian berkenalan
dengan Indah dan temannya yang bernama
Vita. Indah berkata “Maaf ya kak harus kesini
untuk wawancara.” sambil tersenyum.
Sebelumnya peneliti meminta untuk bertemu
di suatu restaurant, namun Indah tidak bisa
meninggalkan kampus karena Indah masih
ada acara di kampus setelah ini.
2 Peneliti, Indah dan Indah mengajak peneliti untuk melakukan
Vita mencari tempat wawancara di kantin. Setelah sampai kantin
yang bisa dipakai dan melihat suasana yang ramai, Indah
wawancara mengajak peneliti untuk melakukan
wawancara di kelas yang kosong. Indah
mengajak peneliti ke lantai 2 gedung kuliah
tersebut. Setelah Indah bertanya sambil
tersenyum ke beberapa mahasiswa yang
berada di depan kelas apakah kelas tersebut
dipakai kuliah atau tidak, akhirnya Indah
menemukan satu kelas yang tidak terpakai
dan mengajak Peneliti dan Vita masuk ke
dalamnya.

3 Sebelum wawancara Peneliti bertanya apakah wawancara

84
dimulai tersebut dapat direkam, Indah mengatakan
“Ooh iya, boleh” sambil tersenyum.
4 Setelah wawancara Indah bertanya berapa subjek yang
diperlukan oleh peneliti dan mengatakan
bahwa Indah mau mencarikan peneliti subjek
lagi apabila masih kurang. Sambil menuruni
tangga, Indah bercerita bahwa ia merasa
sangat nyaman dengan komunitas meditasi
yang Indah ikuti. Ketika sudah sampai tempat
parkir, peneliti bersalaman dan
mengucapkan terima kasih pada Indah.
Indah berkata “sama-sama, Kak. Hati-hati ya,
kak” sambil tersenyum.

B. Wawancara Kasus
Wawancara merupakan metode utama yang digunakan untuk mengumpulkan data
dalam penelitian studi kasus ini. Menurut Moleong (2014), wawancara adalah percakapan
yang dilakukan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
dan terwawancara.
Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur yaitu teknik
wawancara yang sudah termasuk dalam in-depth interview yang dalam pelaksanaannya
peneliti menyiapkan daftar pertanyaan untuk diajukan kepada orang yang akan
diwawancarai, namun tidak menutup kemungkinan peneliti dapat mengajukan pertanyaan
yang tidak terdapat di dalam daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya
(Poerwandari, 1998). Pertanyaan dibuat berdasarkan aspek-aspek regulasi emosi oleh
Gratz and Roemer (2004). Selama proses wawancara berlangsung, peneliti merekam
seluruh pembicaraan dengan subjek agar tidak ada hal yang tertinggal dengan persetujuan
subjek.

85
1. Hasil wawancara dengan Subjek 1 (Putri)
Wawancara dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 15 0ktober 2016, Pukul 10.42 sampai
dengan 11.18 WITA di Universitas Swasta tempat Putri kuliah. Wawancara berlangsung
selama 36 menit 26 detik.

a. Permasalahan yang dialami oleh Putri


Saat Putri duduk di kelas 4 SD, ayahnya mulai mengikuti suatu aliran yang
diajarkan seorang guru spiritual. Ibu Putri memiliki kewajiban untuk menjadi
seorang pemangku sehingga ibu Putri tidak bisa mengikuti aliran yang diyakini oleh
suaminya. Perbedaan keyakinan tersebut menyebabkan kedua orangtuanya sering
bertengkar, hingga akhirnya kedua orangtua Putri memutuskan untuk berpisah.
Putri tinggal dengan ibunya sedangkan ayahnya memutuskan untuk tinggal
sendirian. Menurut Putri perpisahan kedua orang tuanya tersebut menyebabkan
Putri memiliki masalah dalam mengendalikan emosi. Putri menjadi pribadi yang
pendiam, sensitif dan pendendam. Selain itu, hubungan Putri dengan ayahnya
kurang baik, ayahnya tidak mau berbicara dengan anak-anaknya dan Putri juga
malas untuk memulai pembicaraan.
b. Proses mengenal meditasi
Putri sudah mengenal meditasi kurang lebih selama satu tahun. Sebelumnya,
orangtua Putri pernah menyarankan Putri untuk mengikuti yoga karena Putri
kurang dapat mengelola emosi. Putri mengaku dirinya sangat sensitif dan suka
memendam emosi sehingga orangtua Putri takut Putri akan sakit-sakitan. Namun
Putri selalu merasa bahwa yoga adalah olahraga untuk orangtua sehingga Putri
enggan untuk ikut. Sampai pada akhirnya di kampus tempat Putri belajar
diumumkan akan ada kelas workshop dari suatu komunitas yoga dan meditasi.
Teman Putri tertarik dan mengajak Putri untuk menghadiri kelas tersebut. Namun
ternyata teman Putri tidak dapat menghadiri workshop tersebut karena ada jadwal
kuliah, sehingga Putri datang menghadiri workshop tersebut sendiri. Setelah
mengikuti workshop tersebut Putri menjadi sadar bahwa yoga dan meditasi
bermanfaat untuk dirinya.
c. Objek meditasi dan manfaat meditasi menurut Putri
Putri melakukan rutinitas yoga, meditasi, dan olah nafas selama kurang lebih satu
jam setiap hari. Setelah berkeringat karena yoga, Putri melakukan meditasi yang
dianggapnya dapat memulihkan energi. Objek meditasi yang Putri pakai adalah
nafas. Putri merasa lebih tenang setelah melakukan meditasi. Putri merasa
meditasi adalah saat untuk pikiran beristirahat dari kesibukan-kesibukan sehari-hari

86
karena pikiran hanya fokus menyadari nafas. Putri banyak membaca bahwa
meditasi bagus untuk kesehatan, relaksasi serta fokus dan merasakan manfaat
tersebut secara langsung. Putri merasa bahwa setelah meditasi, energinya menjadi
penuh dan lebih fokus dalam mengerjakan sesuatu. Selain itu, sakit kepala yang
Putri sering rasakan karena terhanyut dalam emosi marah sudah jarang Putri
rasakan. Selain menggunakan objek nafas, Putri juga mengikuti kelas meditasi
yang menggunakan mantra. Mantra tersebut adalah mantra pribadi yang diberikan
oleh guru meditasi berdasarkan nama lahir. Mantra tersebut diucapkan setiap hari
sehingga berguna untuk menghilangkan rasa dendam di hati.
d. Perubahan setelah mengikuti meditasi
Putri merasa bahwa meditasi membawa perubahan dalam dirinya terutama dalam
hal emosi. Putri merasa dirinya yang sekarang sangat berbeda dengan yang dulu.
Putri mengaku dirinya yang dulu sangat sensitif. Apabila ada orang yang
mengatakan hal yang menyakitkan bagi dirinya, Putri akan terus mengingat
omongan tersebut dan membenci orang yang menyakitinya tersebut. Setiap Putri
mengingat kejadian tersebut Putri akan menangis. Putri membenci orang yang
menyakitinya dan ingin agar orang itu juga sakit hati. Ketika Putri sedang kesal dan
sakit hati, Putri akan merasa sakit kepala.
Setelah mengikuti meditasi, Putri merasa lebih bebas namun tetap menjadi diri
sendiri. Putri menjadi lebih sadar bagaimana ia harus berpikir dan berperilaku. Putri
menyatakan bahwa dirinya bukan berubah menjadi pribadi yang selalu tersenyum
dan tidak pernah marah. Putri mengaku ia masih merasakan emosi marah. Putri
merasa bahwa wajar seorang manusia normal mempunyai perasaan marah namun
apabila dulunya ketika sedang marah Putri sampai tidak bisa tidur, sekarang ketika
Putri merasa marah, Putri tidak terlarut di dalam emosi marah tersebut.
Putri mengaku dulu sebelum bermeditasi, Putri akan berulang kali menangis
apabila sedih karena suatu hal. Setiap mengingat hal yang menyedihkan tersebut
Putri bisa menangis kembali. Putri bisa menangis seminggu karena suatu hal.
Sekarang, apabila Putri merasa sedih maka ia akan menangis, namun setelah itu
perasaan sedih itu hilang dan Putri menjadi bahagia kembali. Apabila Putri
mengingat hal menyakitkan yang sudah berlalu, Putri sudah tidak merasa sedih
lagi.
Putri menjadi berani untuk melawan egonya dan memperbaiki situasi keluarganya.
Putri tidak memikirkan lagi pertengkaran-pertangkaran antara ayah dan ibunya dan
hanya berfokus bagaimana ia sebagai anak harus bersikap. Putri memberanikan
diri untuk membawakan makanan ke tempat tinggal ayahnya. Putri menyatakan

87
pada ayahnya bahwa Putri tidak bermasalah ayah dan ibunya berbeda
kepercayaan, ayahnya tetaplah orangtuanya, Putri tetap akan memberikan kasih
sayang terutama waktu ayahnya tua nanti. Putri merasa setelah itu hubungan
dengan ayahnya menjadi lebih baik. Ayahnya sering main ke rumah, sering
menelfon, dan sering mengajak Putri untuk pergi makan. Putri juga menceritakan
hal-hal positif kepada ayahnya, sehingga ayahnya memutuskan untuk minta maaf
dan balik ke rumah.
Sebelum mengenal meditasi, ketika Putri marah dengan pacarnya, ia akan
mendiamkan pacarnya. Sekarang ketika ada masalah, Putri mau lebih terbuka dan
menjelaskan mengapa Putri marah. Ketika Putri merasa bahwa masalah tersebut
adalah masalah besar Putri akan mengajak pacarnya untuk mendiskusikan hal
tersebut. Namun apabila Putri merasa bahwa hal tersebut hanya masalah kecil dan
dirinya lah yang terlalu berlebihan dalam merespon, maka Putri yang akan
berusaha memperbaiki dirinya.
e. Faktor lain yang memengaruhi perubahan dalam diri Putri
Putri merasa bahwa meditasi dan yoga harus dilakukan secara sepaket. Apabila
hanya salah satunya saja dilakukan maka terasa tidak lengkap. Yoga membuat
tubuh lebih segar dan meditasi membuat pikiran menjadi tenang setelah kesibukan
sehari-hari seperti tugas kampus dan masalah di rumah.
Putri merasa selain meditasi, perubahan yang terjadi pada dirinya juga
dikarenakan oleh pola pikir Putri yang sudah berkembang semakin ia dewasa
dengan membaca dan mendengar banyak pengetahuan.
Putri mengakui sifat keluarga di rumahnya ada yang pemarah, ada yang suka
mengeluh, sehingga Putri terkadang masih terpengaruh. Putri butuh sesekali
berkumpul dengan komunitasnya untuk sekedar sharing dengan gurunya sehingga
pikirannya kembali positif dan membawa hal positif tersebut ke rumah.
f. Kemampuan menyadari dan memahami emosi yang dialami
Putri sadar ketika emosi marah timbul dan segera mencari cara untuk mengatasi
emosi marah tersebut. Selain itu, Putri mengaku bahwa ia tidak pernah kesal
tanpa sebab, setiap Putri merasa kesal pasti ada penyebabnya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa Putri menyadari dan memahami emosi yang dialaminya.
g. Kemampuan menerima emosi yang dialami
Putri merasa apabila sedang merasa marah, dengan tidak mengakui dan menolak
untuk merasakan perasaan marah tersebut hanya membuat kita merasa tidak lega.
Emosi marah harus diekspresikan namun dengan hal yang tidak merugikan seperti
dengan mengalihkannya ke olahraga. Putri sadar dan menerima kenyataan bahwa

88
dirinya sedang marah namun tidak terlarut dalam emosinya. Walaupun sudah
semakin jarang, Putri terkadang masih lalai dalam mengontrol emosinya sehingga
Putri kelepasan marah pada seseorang. Putri tidak merasa bersalah dan
berpendapat bahwa terkadang amarah tersebut bermanfaat, karena ada orang
yang ketika dimarah baru sadar bahwa dirinya salah. Sehingga dapat dikatakan
bahwa Putri menerima emosi yang dialaminya.
h. Kemampuan mengontrol perilaku impulsif dan tetap berperilaku untuk
mencapai tujuan yang diinginkan ketika mengalami emosi yang negatif
Putri menyadari ketika emosi marah timbul, dan berusaha untuk mencari cara
untuk mengatasi emosi marah tersebut misalnya dengan cara mengalihkan pikiran
dengan berolahraga. Putri sudah jarang kelepasan kontrol emosi dan marah pada
seseorang. Namun menurut Putri wajar sebagai manusia normal apabila terkadang
masih tidak bisa mengontrol emosi dan kelepasan marah.
Ketika Putri sedang mengalami suatu masalah yang mengganggu pikirannya dan
ada tugas kuliah yang harus dikerjakannya, Putri akan meditasi sejenak sekitar 15-
20 menit sehingga pikirannya menjadi lebih tenang dan terkontrol. Kemudian, baru
Putri mengerjakan tugas kuliahnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Putri dapat
mengontrol perilaku impulsif dan tetap berperilaku untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
i. Kemampuan menggunakan strategi regulasi emosi yang pantas sesuai
dengan situasi secara fleksibel agar respons emosional yang dimunculkan
sesuai dengan yang diinginkan guna mencapai tujuan pribadi dan tuntutan
lingkungan
Ketika sedang marah atau sedih, Putri akan menyatakan pada orang yang
bersangkutan. Namun hal tersebut juga tergantung situasi, apakah waktunya tepat
atau tidak, dan apakah dengan menyatakan pikirannya akan membawa manfaat
bagi orang tersebut. Apabila tidak memungkinkan, Putri akan mengalihkan ke
aktivitas lain seperti berolahraga. Misalnya ketika temannya sedang kesal dan
menjadikan Putri sebagai sasaran kekesalannya, Putri tidak akan balas marah
pada temannya. Karena Putri merasa apabila ia membalas, situasi akan
memburuk. Sehingga Putri memutuskan untuk mengajak temannya menceritakan
alasan kekesalannya tersebut. Melalui pernayataan Putri diatas, dapat dikatakan
bahwa Putri mengetahui cara untuk mengatasi emosi-emosi negatifnya dan
mengetahui cara memberi respons yang sesuai dengan situasi.

2. Hasil wawancara dengan Subjek 2 (Dina)

89
Wawancara dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 15 0ktober 2016, Pukul 12.16 sampai
dengan 12.34 WITA di Mc Donald Robinson. Wawancara berlangsung selama 18 menit
43 detik.

a. Permasalahan yang dialami oleh Dina


Dina adalah seorang mahasiswa semester 5 di suatu Universitas Negeri di
Bali. Tentunya sebagai seorang mahasiswa, Dina harus mengikuti berbagai
kegiatan kepanitiaan di kampus. Dina mengaku bahwa ia tipe yang
gampang stress apabila mendapat banyak tugas kepanitiaan dari temannya.
Selain itu, saat yang paling membuat Dina sedih di masa remajanya adalah
saat ayahnya meninggal. Ayahnya meninggal sembilan hari sebelum Dina
merayakan ulang tahun ke-17. Dina merasa sedih, marah, dan kecewa
karena kejadian tersebut. Pada saat itu, Dina tidak dapat menangis karena
takut ibu dan adik-adiknya terpengaruh dan ikut menangis.
b. Proses mengenal meditasi
Dina mulai mengikuti meditasi sejak Juli tahun 2014. Dina mengetahui
mengenai informasi kegiatan meditasi yang diadakan oleh seorang tokoh
terkemuka di Bali melalui televisi serta blog dan berinisiatif sendiri untuk
mengikuti kegiatan meditasi tersebut. Kegiatan meditasi yang Dina ikuti
berupa retret meditasi. Lama berlangsungnya retret meditasi tersebut
bervariasi, ada yang 3 hari, 5 hari dan satu minggu. Dina sudah mengikuti
retret meditasi kurang lebih 10 kali.
c. Objek meditasi dan manfaat meditasi menurut Dina
Objek meditasi yang dipakai oleh Dina adalah nafas. Dina melakukan
meditasi ketika ia sedang merasa stres karena Dina merasa bahwa meditasi
dapat menenangkan pikirannya. Dina merasa bahwa lewat meditasi ia
merasa lebih dapat mengontrol diri. Ketika Dina merasa stres, marah dan
sedih, meditasi membuatnya tidak terlarut dalam hal-hal negatif tersebut.
Dina bermeditasi kurang lebih seminggu sekali dengan durasi selama satu
sampai dengan tiga jam. Dina bermeditasi di rumah dan di tempat
perkumpulan meditasi yang diikutinya.
Ketika ada masalah, Dina merasa susah untuk menangis dan Dina berpikir
bahwa melampiaskan emosinya ke orang lain bukanlah cara yang tepat
sehingga Dina memutuskan untuk mengikuti meditasi. Dulu, beberapa hari

90
setelah ayah Dina meninggal, ada kegiatan retret meditasi yang diadakan
dan Dina memutuskan untuk mengikutinya. Melalui retret itu Dina dapat
mengeluarkan tangisan yang telah ditahannya sehingga Dina merasa lebih
tenang.
d. Perubahan setelah mengikuti meditasi
Dina merasakan terdapat perbedaan setelah mengikuti meditasi terutama
dalam hal emosi. Dina merasa bahwa ia lebih dapat mengatur emosinya
dan lebih tenang.
e. Faktor lain yang memengaruhi perubahan dalam diri Dina
Sebelum meditasi, Dina biasanya melakukan relaksasi. Menurut Dina,
apabila tidak melakukan relaksasi sebelum meditasi, maka hasilnya tidak
akan maksimal. Relaksasi yang dimaksud adalah kegiatan untuk
mengeluarkan emosi yang telah dipendam selama ini. Saat relaksasi,
pengajar meditasi akan meminta peserta untuk menenangkan diri dan
mendekap pada bagian tubuh yang sakit. Hal tersebut mengakibatkan
banyak peserta terpancing untuk menangis, termasuk Dina.
Selain itu, ketika mengikuti retret meditasi, Dina bertemu dengan banyak
orang baru dan berdiskusi tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh
peserta-peserta meditasi. Dina menjadi sadar bahwa masalah yang
dihadapi orang lain lebih berat daripada yang dihadapinya. Selain itu
pengajar meditasi sering memberikan solusi untuk menghadapi masalah-
masalah yang Dina alami.
f. Kemampuan menyadari dan memahami emosi
Dina merasa dulu ia sering kesal tanpa ada alasan karena Dina senang
memendam emosi ketika ada masalah. Namun semenjak mengikuti
meditasi, Dina belajar untuk melampiaskan emosinya ke hal-hal yang lebih
positif seperti meditasi dan mengikuti kegiatan-kegiatan sosial sehingga ia
tidak sering lagi kesal tanpa alasan. Ketika Dina kelepasan marah pada
temannya, Dina akan merenungi kembali penyebab kenapa ia marah, dan
ketika sudah mengetahuinya, Dina mencoba menyelesaikan masalah
tersebut. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Dina sadar penyebab
dari emosi negatif yang ia alami.
g. Kemampuan menerima emosi yang dialami

91
Dina merasa wajar bagi manusia untuk merasakan emosi negatif. Menurut
Dina setiap orang pasti ada sisi baik dan buruknya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa Dina menerima apabila dirinya merasakan emosi
negatif.
h. Kemampuan mengontrol perilaku impulsif dan tetap berperilaku untuk
mencapai tujuan yang diinginkan ketika mengalami emosi yang negatif
Sebelum mengikuti meditasi, ketika kesal Dina akan melampiaskan dengan
cara mengganggu temannya. Setelah mengikuti meditasi, Dina mengalihkan
pikiran mengenai emosi-emosi negatif nya dengan mengikuti berbagai
kegiatan sosial seperti mengunjungi panti asuhan.
Ketika Dina harus mengerjakan suatu tugas di saat ia sedang banyak
masalah, Dina akan menunda pekerjaan tersebut selama kurang lebih
setengah jam dan melakukan kegiatan seperti mendengarkan lagu, diam
ataupun bermeditasi. Ketika sudah lebih tenang, maka Dina akan
mengerjakan tugasnya tersebut. Melalui pernyataan Dina, dapat dikatakan
bahwa dina sudah mampu menghilangkan perilaku impulsif dan tetap dapat
berperilaku untuk mencapai suatu tujuan.
i. Kemampuan menggunakan strategi regulasi emosi yang pantas sesuai
dengan situasi secara fleksibel agar respons emosional yang
dimunculkan sesuai dengan yang diinginkan guna mencapai tujuan
pribadi dan tuntutan lingkungan
Ketika emosi negatif muncul, Dina akan mencoba diam dan menenangkan
diri terlebih dahulu. Apabila tidak dapat menenangkan diri, Dina akan
bermeditasi. Dina juga mengalihkan pikirannya ke kegiatan sosial seperti
mengunjungi panti asuhan. Dina menganggap bahwa apabila ia
mengungkapkan amarahnya, maka hal tersebut akan memperburuk situasi
dan membuat hubungannya dengan orang tersebut menjadi canggung
sehingga Dina memilih untuk menenangkan dirinya sendiri.Dina akan
melihat situasi dengan siapa, kapan dan dimana ia akan marah. Dina
merasa wajar apabila merajuk pada orangtua, namun apabila dengan
teman, tentu Dina tidak boleh begitu. Ketika Dina tidak dapat mengontrol
emosinya dan kelepasan marah pada temannya, ia akan meminta maaf dan
mengakui kesalahannya. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa Dina

92
mengetahui cara-cara yang dapat ia lakukan untuk mengatasi emosi negatif
yang Dina rasakan. Selain itu Dina juga mengetahui dalam situasi seperti
apa Dina boleh marah dan dalam situasi seperti apa Dina sebaiknya tidak
mengungkapkan emosinya tersebut.

3. Hasil wawancara dengan subjek 3 (Indah)


Wawancara dilakukan pada hari Selasa, tanggal 25 0ktober 2016, Pukul 17.45
sampai dengan 18.16 WITA di Universitas Swasta tempat Indah kuliah.
Wawancara berlangsung selama 31 menit 27 detik.

a. Permasalahan yang dialami oleh Indah


Indah sudah tidak mempunyai ayah dan ibu. Ayah Indah meninggal saat Indah
duduk di kelas 3 SD karena sakit hepatitis. Ibu Indah meninggal setahun yang lalu
karena sakit stroke. Pengalaman paling menyedihkan bagi Indah adalah saat
ibunya sakit. Indah sangat sedih karena tidak tega melihat ibunya kesakitan.
Setelah Indah pulang dari menjenguk ibunya di rumah sakit, Indah bisa berteriak-
teriak sendiri di rumah untuk melampiaskan kesedihannya tersebut. Indah merasa
lebih baik ibunya meninggal daripada terus-terusan sakit seperti itu. Indah merasa
bahwa lingkungannya seperti teman-temannya sangat membantunya dalam
melewati saat-saat terberatnya. Indah menerima ketika ibunya meninggal, karena
Indah merasa ibunya sudah damai disana. Indah sering rindu dengan orangtuanya.
Namun guru meditasinya mengajarkan Indah untuk mendoakan dan mengingat
kebaikan-kebaikan yang pernah orangtua Indah lakukan agar dapat menerangi
jalan orangtua Indah. Setelah mendoakan orangtuanya, Indah merasa lebih lega.
b. Proses mengenal meditasi
Sejak dulu, Indah merasa tertarik dengan kegiatan yang berkaitan dengan
sprititual. Indah pertama kali mengenal meditasi saat duduk di bangku SMA.

93
Orangtua salah satu temannya sering mengikuti meditasi dan mengajak teman-
teman anaknya untuk mengikuti suatu retret meditasi pada bulan Desember tahun
2012. Saat mengikuti retret tersebut, Indah merasa cocok dengan apa yang
diajarkan disana. Sehingga setelah itu, Indah berulang kali mengikuti retret
tersebut dengan inisiatif sendiri. Setiap tahun, Indah minimal satu kali mengikuti
retret meditasi. Retret meditasi tersebut berlangsung selama 7 hari.
c. Objek meditasi dan manfaat meditasi menurut Indah
Objek meditasi yang diajarkan oleh guru meditasi Indah adalah nafas. Saat
meditasi, guru meditasi memberikan instruksi “apapun yang terjadi, apapun yang
terlintas di pikiran, kita hanya menyaksikannya”. Namun fokus meditasi tetap
kepada nafas. Apapun yang Indah rasakan, misalnya perasaan sedih, Indah tetap
kembali berfokus pada nafas. Apabila merasa damai, Indah juga tetap kembali
berfokus pada nafas. Kunci dalam meditasi yang dilakukan oleh Indah adalah
kesadaran. Saat berada di dalam retret, selain meditasi dalam posisi duduk,
terdapat juga meditasi sambil berjalan. Berjalan sambil menyadari apa yang kita
rasakan di telapak kaki kita, suhu seperti apa yang kita rasakan.
Indah bermeditasi kurang lebih 2 kali seminggu. Apabila Indah bermeditasi dengan
menyebut nama Tuhan dan mendoakan semua makhluk, Indah dapat bermeditasi
selama kurang lebih satu jam. Apabila bermeditasi dengan objek nafas, Indah
hanya mampu bermeditasi selama 30 menit.
d. Perubahan setelah mengikuti meditasi
Indah merasakan perubahan besar semenjak mengikuti meditasi. Indah mengaku
bahwa pada awalnya ia adalah orang yang sangat egois, kurang bisa bersyukur
dan kurang pengendalian diri. Semenjak mengikuti meditasi, setiap akan
melakukan perbuatan buruk, Indah otomatis teringat nasehat gurunya dan segera
mencegah dirinya melakukan perbuatan buruk tersebut.
Selain itu, Indah merasa bersyukur menemukan meditasi karena Indah terlibat
dalam kegiatan positif dan tidak terjerumus melakukan kegiatan-kegiatan yang
merugikan. Apalagi, Indah sudah tidak mempunyai ayah ibu, meditasi membuat
Indah lebih menerima keadaannya saat ini. Indah menganggap bahwa ini semua
adalah perputaran karma. Indah melihat banyak orang lain yang kehilangan bapak
ibunya justru terjerumus ke hal-hal negatif dan merasa tidak adil. Sedangkan,
Indah merasa bahwa setiap hal pasti ada sebabnya. Indah merasa bahwa apabila
bapaknya tidak meninggal, Indah tidak akan tinggal di Denpasar, Indah tidak akan
sekolah di SMAnya dulu, apanila tidak bersekolah disana, Indah mungkin tidak
akan bertemu dengan guru meditasinya yang sekarang.

94
Indah merasa perubahan dalam hal emosi. Ketika Indah ingin marah, Indah pasti
berusaha menempatkan posisinya pada orang lain. Indah menganggap bahwa
semua orang menginginkan kebahagiaan, sehingga Indah tidak ingin marah dan
membuat orang yang ia marahi tersebut sedih. Ketika ada orang lain marah, Indah
menganggap bahwa pasti ada hal yang menyebabkan orang tersebut menderita,
sehingga Indah menjadi kasihan pada orang tersebut. Selain itu, ketika Indah
merasa sedih, Indah berusaha kembali ke nafas. Ketika ingin mengeluh karena
tugas kuliah yang banyak, Indah kembali ke nafas dan bersyukur bahwa ia bisa
kuliah.
Indah merasa dulu ia adalah seorang pendendam, sedangkan sekarang, apabila
Indah kesal, rasa kesal tersebut hanya mucul sebentar lalu hilang. Indah merasa
apabila ada yang berbuat buruk kepada dirinya, orang tersebut pasti mempunyai
penderitaan dalam dirinya sehingga Indah menjadi kasihan pada orang tesebut.

e. Faktor lain yang memengaruhi perubahan dalam diri Indah


Indah merasa bahwa selain meditasi, tuntunan dari guru meditasinya sangat
berperan dalam perubahan yang ia alami.
f. Kemampuan menyadari dan memahami emosi yang dialami
Indah berkata bahwa gurunya mengajarkan untuk selalu sadar. Sehingga ketika
Indah sedih ataupun kesal, Indah menyadari emosi tersebut dan berusaha
menenangkan diri dengan kembali ke nafas. Selain itu Indah mengaku bahwa ia
tidak pernah kesal atau sedih tanpa sebab. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Indah sadar dan paham mengenai emosi yang dialami.
g. Kemampuan menerima emosi yang dialami
Ketika Indah kelepasan marah, Indah merasa menyesal. Namun perasaan
menyesal tersebut diatasi dengan cara mengakui kesalahan dan memaafkan diri
sendiri. Indah merasa wajar apabila kita merasa sedih atau marah, tapi yang
terpenting adalah bagaimana kita bereaksi. Setiap manusia wajar untuk merasa
marah tapi jangan sampai kemarahan tersebut membuat kita menyakiti orang lain.
Melalui pernyataan Indah dapat dikatakan bahwa Indah mampu menerima emosi
yang dialami.
h. Kemampuan mengontrol perilaku impulsif dan tetap berperilaku untuk
mencapai tujuan yang diinginkan ketika mengalami emosi yang negatif
Indah merasa bahwa ia kesulitan berpikir apabila sedang emosi. Sehingga apabila
Indah mempunyai masalah, Indah akan berusaha menyelesaikan masalahnya
tersebut. Namun apabila ada tugas yang harus dikerjakan, ia akan

95
mengesampingkan masalahnya tersebut dan berusaha menyadari bahwa ada
tugas yang harus ia kerjakan.
Apabila Indah merasa kesal dengan temannya, seperti saat kerja kelompok dan
temannya tidak ikut mengerjakkan, Indah tidak menyindir-nyindir temannya karena
Indah tidak mau menyakiti hati temannya. Indah akan berusaha mengerjakan
bagian tugasnya sehingga temannya yang tidak mau bekerja tersebut sadar. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Indah dapat mengontrol perilaku impulsive dan tetap
berperilaku untuk mencapai tujuan.
i. Kemampuan menggunakan strategi regulasi emosi yang pantas sesuai
dengan situasi secara fleksibel agar respons emosional yang dimunculkan
sesuai dengan yang diinginkan guna mencapai tujuan pribadi dan tuntutan
lingkungan
Ketika Indah ingin marah, Indah pasti berusaha menempatkan posisinya pada
orang lain. Indah menganggap bahwa semua orang menginginkan kebahagiaan,
sehingga Indah tidak ingin marah dan membuat orang yang ia marahi tersebut
sedih. Ketika ada orang lain marah, Indah menganggap bahwa pasti ada hal yang
menyebabkan orang tersebut menderita, sehingga Indah menjadi kasihan pada
orang tersebut. Apabila Indah merasa marah dengan temannya dan berada dalam
tempat umum, Indah akan menarik temannya ke tempat lain sehingga bisa
berbicara berdua dan menanyakan kenapa temannya bersikap seperti itu.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Indah mengetahui bagaimana cara meredakan
emosinya sehingga respons yang Indah munculkan sesuai dengan situasi.

96
BAB III
ANALISA KASUS DAN DISKUSI
Perubahan emosi pada remaja terjadi karena adanya perubahan hormonal dan
pengalaman dari lingkungan. Dari kedua faktor tersebut, pengalaman dari lingkungan lebih
besar pengaruhnya terhadap perubahan emosi remaja (Santrock, 2007). Putri, Dina dan
Indah mengalami pengalaman yang dapat menimbulkan emosi negatif dalam diri masing-
masing. Pengalaman yang dialami Putri adalah orangtua Putri memiliki perbedaan dalam
keyakinan sehingga sering bertengkar dan memutuskan untuk berpisah. Menurut Putri
perpisahan kedua orang tuanya tersebut menyebabkan Putri memiliki masalah dalam
mengendalikan emosi. Pengalaman yang dialami Dina adalah kematian ayahnya beberapa
hari sebelum Dina berusia 17 tahun. Pada saat itu Dina merasa sangat sedih namun Dina
harus menahan tangisannya karena takut akan mempengaruhi Ibu dan adik-adiknya. Selain
itu, ketika kuliah Dina sering merasa stress karena banyaknya tugas kepanitiaan.
Pengalaman yang dialami oleh Indah adalah saat ibunya dirawat di rumah sakit. Indah
merasa tidak tega melihat ibunya kesakitan seperti itu. Ketika pulang ke rumah sehabis
menjenguk ibunya di rumah sakit, Indah bisa berteriak-teriak sendiri di rumah untuk
melampiaskan kesedihannya tersebut. Selain itu, Indah mengalami beberapa permasalahan
dalam perkuliahan seperti adanya masalah dengan teman saat kerja kelompok ataupun
belum dapat dosen pembimbing untuk tugas akhir yang harus Indah kerjakan.
Agar dapat mengelola agar emosi-emosi negatif yang dihasilkan dari pengalaman-
pengalaman negatif, para remaja memerlukan suatu kemampuan yang berasal dari dalam
diri remaja. Kemampuan yang diperlukan oleh remaja adalah kemampuan regulasi emosi.
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang
timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang
tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi yang
berhubungan dengan emosi, dan reaksi terhadap emosi (Shaffer, 2005).
Kemampuan regulasi emosi dapat dilatih dengan berbagai cara, salah satunya adalah
meditasi. Meditasi merupakan teknik atau metode latihan yang bertujuan untuk melatih
perhatian guna meningkatkan kesadaran, yang selanjutnya dapat membuat proses-proses
mental menjadi lebih terkontrol (Walsh, 1983). Salah satu teknik meditasi yang umum
digunakan adalah meditasi mindfulness. Mindfulness berarti memerhatikan dengan sengaja,
pada saat ini, dan tanpa menghakimi. Jenis perhatian ini dapat memelihara kesadaran,
kejelasan, dan penerimaan pada kenyataan yang terjadi pada saat ini (Kabat-Zinn, 1994).
Putri, Dina dan Indah menggunakan teknik meditasi mindfulness dengan objek nafas.
Seseorang yang lebih memiliki mindfulness (kesadaran) lebih mampu dalam
melakukan kontrol diri dan regulasi diri. Mindfulness membuat seseorang memiliki

97
kemampuan dalam menyesuaikan kebutuhan, perasaan, nilai-nilai yang sesuai dengan
situasi tertentu (Brown, Ryan, & Creswell, dalam Ciarrochi, Bilich, & Godsell, 2010).
Menurut Kristeller (2004) latihan mindfulness dapat memberikan manfaat bagi individu
dalam berbagai aspek, yaitu aspek kognitif, fisiologis, emosional, perilaku, serta hubungan
dengan diri sendiri. Manfaat emosional dari mindfulness adalah adanya penurunan
reaktivitas emosi negatif dan peningkatan kesadaran akan pola emosional.
Semenjak melakukan meditasi, Putri, Dina dan Indah merasakan adanya manfaat dan
perubahan dalam diri masing-masing. Menurut Putri, ia merasa dirinya yang sekarang
sangat berbeda dengan yang dulu. Putri mengaku dirinya yang dulu sangat sensitif. Apabila
ada orang yang mengatakan hal yang menyakitkan bagi dirinya, Putri akan terus mengingat
omongan tersebut dan membenci orang yang menyakitinya tersebut. Putri membenci orang
yang menyakitinya dan ingin agar orang itu juga sakit hati. Ketika Putri sedang kesal dan
sakit hati, Putri akan merasa sakit kepala. Putri akan marah sampai ia tidak bisa tidur
sedangkan sekarang, apabila Putri merasa marah, Putri tidak terlarut di dalam emosi marah
tersebut. Selain itu, Putri mengaku dulu sebelum bermeditasi, Putri akan berulang kali
menangis apabila sedih karena suatu hal. Setiap mengingat hal yang menyedihkan tersebut
Putri bisa menangis kembali. Putri bisa menangis seminggu karena suatu hal. Sekarang,
apabila Putri merasa sedih maka Putri akan menangis, namun setelah itu perasaan sedih itu
hilang dan Putri menjadi bahagia kembali. Apabila Putri mengingat hal menyakitkan yang
sudah berlalu, Putri sudah tidak merasa sedih lagi.
Perubahan yang dialami Dina adalah ia merasa bahwa ia lebih dapat mengatur
emosinya dan lebih tenang. Dina merasa bahwa lewat meditasi ia merasa lebih dapat
mengontrol diri. Ketika Dina merasa stress, marah dan sedih, meditasi membuatnya tidak
terlarut dalam hal-hal negatif tersebut. Perubahan yang dialami indah adalah sekarang
ketika Indah ingin marah, ia pasti berusaha menempatkan posisinya pada orang lain. Indah
menganggap bahwa semua orang menginginkan kebahagiaan, sehingga Indah tidak ingin
marah dan membuat orang yang ia marahi tersebut sedih. Ketika ada orang lain marah,
Indah menganggap bahwa pasti ada hal yang menyebabkan orang tersebut menderita,
sehingga Indah menjadi kasihan pada orang tersebut. Ketika ingin mengeluh karena tugas
kuliah yang banyak, ia kembali ke nafas dan bersyukur bahwa ia bisa kuliah. Indah merasa
dulu ia adalah seorang pendendam, sedangkan sekarang, apabila Indah kesal hanya
sebentar lalu hilang. Indah merasa apabila ada yang berbuat buruk kepada dirinya, orang
tersebut pasti mempunyai penderitaan dalam dirinya sehingga Indah menjadi kasihan pada
orang tesebut. Selain itu, ketika Indah merasa sedih, Indah akan selalu berusaha untuk
mengalihkan kesedihannya itu dengan kembali ke nafas.
Selain meditasi, Putri merasa perubahan yang terjadi pada dirinya juga didukung oleh
pola pikir Putri yang sudah berkembang semakin ia dewasa dengan membaca dan

98
mendengar banyak pengetahuan. Selain itu, ketika Putri merasa jenuh, dengan berkumpul
dengan komunitas meditasinya untuk sekedar sharing dengan gurunya dapat membuat diri
Putri kembali berpikir positif. Dina merasa hal lain yang membantu perubahan dalam dirinya
selain meditasi adalah kegiatan sharing dengan peserta retret meditasi mengenai masalah
yang dialami Dina dan solusi-solusi yang diberikan oleh guru meditasinya. Sedangkan
Indah, merasa bahwa selain meditasi, tuntunan dari guru meditasinya sangat berperan
dalam perubahan yang ia alami.
Melalui pemaparan mengenai perubahan-perubahan dalam hal emosi yang dialami
Putri, Dina dan Indah semenjak mengikuti meditasi, Putri, Dina dan Indah menunjukkan
kemampuan regulasi emosi. Gratz dan Roemer (2004) mendefinisikan regulasi emosi
sebagai konstruk multidimensional yang melibatkan kesadaran, pemahaman dan
penerimaan emosi, kemampuan untuk terlibat dalam perilaku yang bertujuan dan mencegah
perilaku impulsif ketika mengalami emosi negatif, fleksibelitas dalam menggunakan strategi
untuk mengatur intensitas atau durasi dari respons emosional daripada menghilangkan
emosi tersebut sepenuhnya dan keinginan untuk mengalami emosi negatif sebagai bagian
dari pengalaman hidup yang bermakna. Gratz dan Roemer (2004) menyatakan bahwa
terdapat empat aspek dalam regulasi emosi, yaitu: (1) kemampuan menyadari dan
memahami emosi yang dialami; (2) kemampuan menerima emosi yang dialami; (3)
kemampuan mengontrol perilaku impulsif dan tetap berperilaku untuk mencapai tujuan yang
diinginkan ketika mengalami emosi yang negatif; dan (4) kemampuan menggunakan strategi
regulasi emosi yang pantas sesuai dengan situasi secara fleksibel agar respons emosional
yang dimunculkan sesuai dengan yang diinginkan guna mencapai tujuan pribadi dan
tuntutan lingkungan.
Aspek pertama yaitu kemampuan menyadari dan memahami emosi yang dialami,
merupakan kemampuan untuk menyadari ketika emosi timbul dan paham penyebab
mengapa emosi tersebut timbul. Putri mengatakan bahwa ia sadar ketika emosi marah
timbul dan segera mencari cara untuk mengatasi emosi marah tersebut. Selain itu, Putri
mengaku bahwa ia tidak pernah kesal tanpa sebab, setiap Putri merasa kesal pasti ada
penyebabnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Putri menyadari dan memahami penyebab
emosi yang dialaminya. Dina mengatakan ketika ia kelepasan marah pada temannya, Dina
akan merenungi kembali penyebab kenapa ia marah, dan ketika sudah mengetahuinya,
Dina mencoba menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa Dina
sadar penyebab dari emosi negatif yang ia alami. Indah berkata bahwa gurunya
mengajarkan untuk selalu sadar. Sehingga ketika Indah sedih ataupun kesal, Indah
menyadari emosi tersebut dan berusaha menenangkan diri dengan kembali ke nafas. Selain
itu Indah mengaku bahwa ia tidak pernah kesal atau sedih tanpa sebab. Sehingga dapat
dikatakan bahwa Indah sadar dan paham penyebab emosi yang ia alami.

99
Aspek kedua yaitu kemampuan menerima emosi yang dialami, merupakan
kemampuan untuk menerima emosi apapun yang timbul pada dirinya, tidak berusaha
menolak suatu emosi ataupun merasa bersalah karena telah mengalami suatu emosi. Putri
merasa apabila sedang merasa marah, dengan tidak mengakui dan menolak untuk
merasakan perasaan marah tersebut hanya membuat kita merasa tidak lega. Ketika Putri
kelepasan marah pada seseorang, Putri tidak merasa bersalah dan berpendapat bahwa
terkadang amarah tersebut bermanfaat. Sehingga dapat dikatakan bahwa Putri menerima
emosi yang dialaminya. Dina merasa wajar bagi manusia untuk merasakan emosi negatif.
Menurut Dina setiap orang pasti ada sisi baik dan buruknya. Hal tersebut menunjukkan
bahwa Dina menerima apabila dirinya merasakan emosi negatif. Ketika Indah kelepasan
marah, Indah merasa menyesal. Namun perasaan menyesal tersebut diatasi dengan cara
mengakui kesalahan dan memaafkan diri sendiri. Indah merasa wajar apabila kita merasa
sedih atau marah, tapi yang terpenting adalah bagaimana kita bereaksi. Setiap manusia
wajar untuk merasa marah tapi jangan sampai kemarahan tersebut membuat kita menyakiti
orang lain. Melalui pernyataan Indah dapat dikatakan bahwa Indah mampu menerima emosi
yang ia alami.
Aspek ketiga yaitu kemampuan mengontrol perilaku impulsif dan tetap berperilaku
untuk mencapai tujuan yang diinginkan ketika mengalami emosi yang negatif. Putri sudah
jarang kelepasan kontrol emosi dan marah pada seseorang. Ketika Putri sedang mengalami
suatu masalah yang mengganggu pikirannya dan ada tugas kuliah yang harus
dikerjakannya, Putri akan meditasi sejenak sekitar 15-20 menit sehingga pikirannya menjadi
lebih tenang dan terkontrol. Kemudian, baru ia mengerjakan tugas kuliahnya. Sehingga
dapat dikatakan bahwa Putri dapat mengontrol perilaku impulsif dan tetap berperilaku untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Sebelum mengikuti meditasi, ketika Dina kesal, Dina akan
melampiaskannya dengan cara mengganggu temannya. Setelah mengikuti meditasi, Dina
mengalihkan pikiran mengenai emosi-emosi negatif nya dengan mengikuti berbagai
kegiatan sosial seperti mengunjungi panti asuhan. Ketika Dina harus mengerjakan suatu
tugas di saat Dina sedang banyak masalah, Dina akan menunda pekerjaan tersebut selama
kurang lebih setengah jam dan melakukan kegiatan seperti mendengarkan lagu, diam
ataupun bermeditasi. Ketika sudah lebih tenang, maka Dina akan mengerjakan tugasnya
tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa Dina sudah mampu menghilangkan perilaku
impulsif dan tetap dapat berperilaku untuk mencapai suatu tujuan. Apabila Indah merasa
kesal dengan temannya, seperti saat kerja kelompok dan temannya tidak ikut mengerjakkan,
Indah tidak menyindir-nyindir temannya karena ia tidak mau menyakiti hati temannya. Indah
akan berusaha mengerjakan bagian tugasnya sehingga temannya yang tidak mau bekerja
tersebut sadar. Selain itu, Indah merasa bahwa ia kesulitan berpikir apabila sedang emosi.
Sehingga apabila Indah mempunyai masalah, Indah akan berusaha menyelesaikan

100
masalahnya tersebut. Namun apabila ada tugas yang harus dikerjakan, Indah akan
mengesampingkan masalahnya tersebut dan berusaha menyadari bahwa ada tugas yang
harus ia kerjakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indah dapat mengontrol perilaku
impulsif dan tetap berperilaku untuk mencapai tujuan.
Aspek keempat yaitu kemampuan menggunakan strategi regulasi emosi yang pantas
sesuai dengan situasi secara fleksibel agar respons emosional yang dimunculkan sesuai
dengan yang diinginkan guna mencapai tujuan pribadi dan tuntutan lingkungan, merupakan
kemampuan individu untuk fleksibel dalam menggunakan strategi untuk mengatur intensitas
atau durasi dari respons emosional agar respons yang dimunculkan sesuai dengan situasi.
Ketika sedang marah atau sedih, Putri akan menyatakan pada orang yang bersangkutan.
Namun hal tersebut juga tergantung situasi, apakah waktunya tepat atau tidak, dan apakah
dengan menyatakan pikirannya akan membawa manfaat bagi orang tersebut. Apabila tidak
memungkinkan, Putri akan mengalihkan ke aktivitas lain seperti berolahraga. Melalui
pernyataan Putri diatas, dapat dikatakan bahwa Putri mengetahui cara untuk mengatasi
emosi-emosi negatifnya dan mengetahui cara memberi respons yang sesuai dengan situasi.
Ketika emosi negatif muncul, Dina akan mencoba diam dan menenangkan diri terlebih
dahulu. Apabila tidak dapat menenangkan diri, Dina akan bermeditasi. Dina juga
mengalihkan pikirannya ke kegiatan sosial seperti mengunjungi panti asuhan. Selain itu,
Dina akan melihat situasi dengan siapa, kapan dan dimana ia akan marah. Hal-hal tersebut
menunjukkan bahwa Dina mengetahui cara-cara yang dapat ia lakukan untuk mengatasi
emosi negatif yang ia rasakan dan dapat memberi respons sesuai situasi. Ketika Indah ingin
marah, Indah pasti berusaha menempatkan posisinya pada orang lain. Indah menganggap
bahwa semua orang menginginkan kebahagiaan, sehingga ia tidak ingin marah dan
membuat orang yang ia marahi tersebut sedih. Ketika ada orang lain marah, Indah
menganggap bahwa pasti ada hal yang menyebabkan orang tersebut menderita, sehingga
Indah menjadi kasihan pada orang tersebut. Apabila Indah merasa marah dengan temannya
dan berada dalam tempat umum, Indah akan menarik temannya ke tempat lain sehingga
bisa berbicara berdua dan menanyakan kenapa temannya bersikap seperti itu. Sehingga
dapat dikatakan bahwa Indah mengetahui bagaimana cara meredakan emosinya sehingga
respons yang ia munculkan sesuai dengan situasi.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Melalui hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa Putri, Dina dan Indah mengalami pengalaman dari lingkungan

101
yang dapat menimbulkan emosi negatif dalam diri masing-masing namun meditasi
membantu Putri, Dina dan Indah dalam menyikapi pengalaman-pengalaman
tersebut dengan cara yang positif. Objek meditasi yang Putri, Dina dan Indah
gunakan adalah nafas. Putri, Dina dan Indah merasakan adanya manfaat dan
perubahan dalam hal emosi semenjak mengikuti meditasi. Meditasi membantu Putri,
Dina dan Indah untuk tidak menyimpan dendam kepada orang-orang yang telah
menyakiti, untuk dapat mengontrol emosi negatif seperti emosi marah dan sedih
sehingga tidak terlarut di emosi tersebut serta untuk mengontrol perilaku ketika
mengalami emosi negatif. Selain meditasi, hal-hal yang menunjang perubahan
emosi pada Putri, Dina dan Indah adalah bimbingan dan nasehat dari guru meditasi
dan komunitas meditasi yang dapat menjadi tempat sharing masalah bagi Putri, Dina
dan Indah.
Melalui pemaparan mengenai perubahan dalam hal emosi yang dialami oleh
Putri, Dina dan Indah, dapat dilihat bahwa Putri, Dina dan Indah memenuhi aspek-
aspek kemampuan regulasi emosi. Putri, Dina dan Indah sadar dan paham
mengenai emosi yang dialami, menerima emosi yang dialami, dapat mengontrol
perilaku impulsif dan tetap berperilaku untuk mencapai tujuan yang diinginkan ketika
mengalami emosi yang negatif, serta mampu menggunakan strategi regulasi emosi
yang pantas sesuai dengan situasi secara fleksibel.

B. Saran
Adapun saran yang diberikan kepada remaja-remaja yang mengalami
pengalaman yang membuat para remaja merasakan emosi negatif adalah agar
mencoba belajar meregulasi emosi dengan salah satu cara yaitu meditasi.
Saran untuk para orangtua yang memiliki anak remaja adalah agar mencoba
memberi dukungan kepada remaja untuk melatih regulasi emosi dengan salah satu
cara yaitu mengajak remaja untuk mengikuti kegiatan meditasi.
Saran untuk para guru adalah agar mencoba memberi dukungan kepada
remaja untuk melatih regulasi emosi dengan cara mengajak remaja untuk mengikuti
kegiatan meditasi, mengadakan kegiatan ekstrakulikuler meditasi di sekolah,
ataupun menjadikan meditasi sebagai bagian dari kegiatan rutin di sekolah.
Saran untuk masyarakat adalah agar mencoba membantu remaja di sekitar
melatih regulasi emosi dengan cara mengajak remaja di sekitar untuk mengikuti
kegiatan meditasi, misalnya dengan cara mengadakan sosialisasi mengenai

102
meditasi, menyediakan sarana prasarana untuk bermeditasi dan mengadakan
program pelatihan meditasi untuk para remaja.
Saran untuk para guru meditasi adalah agar mencoba untuk memberikan
bimbingan dan nasehat mengenai kehidupan dan cara menghadapi masalah-
masalah yang terjadi pada para remaja yang mengikuti meditasi. Selain itu, bisa
membentuk komunitas meditasi remaja yang memungkinkan para remaja untuk
diskusi mengenai masalah yang dialami dan mendapat solusi untuk menghadapi
masalah tersebut.
Saran untuk peneliti selanjutnya adalah, sebaiknya melakukan wawancara
yang lebih mendalam serta observasi yang lebih lama, sehingga data yang diperoleh
lebih lengkap. Selain itu peneliti dapat menggunakan subjek penelitian yang
memakai objek meditasi selain nafas agar dapat dilakukan perbandingan hasil dari
latihan meditasi yang memakai objek yang berbeda.

103
Daftar Pustaka

Betts, J., Gullone, E., & Allen, J. S. (2009). An examination of emotion regulation,
temperament, and parenting style as potential predictors of adolescent depression
risk status: A correlational study. British Journal of Developmental Psychology, 27(2),
473-485.
Brantley, M., & Hanauer, T. (2008). The Gift of Loving-Kindness. Oakland: New Harbinger
Publication, Inc.
Ciarrochi, J., Bilich, L., & Godsell, C. (2010). Psychological Flexibility as A Mechanism of
Change in Acceptance and Commitment Therapy. In R. Baer, Assessing Mindfulness
and Acceptance:Illuminating the Processes of Change (pp. 51-76). Oakland: New
Harbinger Publication.
Faridh, R. (2008). Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Kecenderungan Kenakalan
Remaja. (Naskah Publikasi). Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu
Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Gratz, K.L., & Roemer, L. (2004). Multidimensional Assessment of Emotion Regulation and
Dysregulation: Development, Factor Structure, and Initial Validation of the Difficulties
in Emotion Regulation Scale. Journal of Psychopatology and Behavioral Assesment,
26(1), 41-53.
Irwin, D. M, & Bushnell, M. M. 1980. Observational Strategies for Child Study. United
States of America: Holt, Rineheart and Winston.
Kabat-Zinn, J. (1994). Wherever You Go, There You Are: Mindfulness Meditation in
Everyday Life. New York: Hyperion.
Kristeller, J.L. (2004). Meditation: Multiple effects, a unitary process? In M. Blows, S.
Srinivasan, J. Blows, C.P Bankart, M.M. Delmonte, & Y. Haruki (Eds), The
Relevance of The Wisdom Traditions in Contemporary Society: The Challenge to
Psychology (pp. 21-37). Delft, the Netherlands: Eburon.
Menezes, C.B., Couto, M., Buratto, L.C., Erthal, F., Pereira, M.G., & Bizzaro, L.
(2013). The Improvement of Emotion and Attention Regulation after a 6-Week
Training of Focused Meditation: A Randomized Controlled Trial. Evidence -
Based Complementary and Alternative Medicine.
Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Nisfiannoor, M., & Kartika, Y. (2004). Hubungan antara Regulasi Emosi dan Penerimaan
Kelompok Teman Sebaya pada Remaja. Jurnal Psikologi, 2, 160-178.

104
Nurhasanah, M. (2014). Hubungan antara Strategi Regulasi Emosi Cognitive Reappraisal
dan Expressive Suppression dengan Kecenderungan Gaya Pengambilan Keputusan
pada Anak Didik Tindak Pidana Narkoba di Lapas Anak Pria di Tangerang. (Tesis
tidak dipublikasikan). Program Studi Psikologi Fakultas Humaniora Universitas Bina
Nusantara, Jakarta.
Poerwandari, E. K. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: LPSP
UI.
Rivers, S. E., Reyna, V. F., & Mills, B. (2008). Risk taking under the influence: A fuzzy-trace
theory of emotion in adolescence. Developmental Review, 107-144.
Santrock, J. W. 2007. Remaja. Ed. Kesebelas. Jilid. 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Walsh, R. (1983). Meditation Practice and research. Journal of Humanistic Psychology, 23,
18-50.

105
LAMPIRAN

INFORMED CONSENT
PERNYATAAN PERSETUJUAN

106
Terima kasih atas kesediaan saudara memberikan waktu kepada saya guna melaksanakan
wawancara.

PERKENALKAN, nama saya Natassa R. Tejena.

Saya adalah mahasiswa semester VII Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. Saya ingin melakukan wawancara dengan saudara dalam rangka
pengambilan data untuk mata kuliah Studi Kasus mengenai remaja yang bermeditasi.
Harapan saya, hasil wawancara ini dapat saya gunakan sebagai dasar dari pelaksanaan tri
dharma perguruan tinggi, khususnya terkait dengan pengembangan ilmu Psikologi.

Wawancara ini akan MEMAKAN WAKTU kira-kira 1 jam. Saya meminta izin pada saudara
untuk DIPERBOLEHKAN MEREKAM semua proses dalam wawancara ini, hal tersebut
karena saya tidak ingin kehilangan informasi sedikitpun dari pernyataan-pernyataan yang
saudara berikan nanti.

Semua pernyataan yang akan saudara berikan akan saya JAGA KERAHASIAANNYA. Hal
ini artinya, semua pernyataan saudari hanya akan saya bagikan dengan pembimbing studi
kasus saya dan saya juga pastikan bahwa segala informasi tidak akan menyebutkan secara
eksplisit bahwa saudara adalah informan dalam penelitian ini.

Selama wawancara ini, saudara berhak untuk tidak menjawab pertanyaan yang saya ajukan
dan juga berhak untuk mengakhiri wawancara ini kapanpun saudara mau.

Denpasar,
2016

( )

Responden

107
GUIDELINE WAWANCARA

No Pertanyaan

1 Identitas 1. Nama
2. Usia
3. Pekerjaan
4. No HP
5. Kapan pertama kali anda mengenal meditasi?
6. Dari siapa anda mengenal meditasi?
7. Jenis meditasi yang anda lakukan?
8. Nama perkumpulan meditasi?
9. Apakah pernah mengikuti retreat meditasi?
10. Seberapa sering bermeditasi?
11. Durasi setiap bermeditasi?
12. Tempat bermeditasi?
13. Apakah atas kemauan sendiri atau dorongan
orang lain?

2 Pengaruh 14. Apakah merasa ada perubahaan semenjak


Meditasi mengikuti meditasi? Perubahan dalam hal apa
saja?
15. Apakah terjadi perubahan dalam emosi semenjak
bermeditasi?
16. Apakah perubahan tersebut murni berasal dari
meditasi? Ataukah ada faktor lain yang
mendukung?
3 Regulasi emosi
17. Hal-hal apa saja yang dapat membuat anda sedih,
marah dan merasakan emosi negatif lain?
18. Apa saja yang membuat anda dapat meredakan
kesedihan?
19. Bagaimana cara anda meredakan kesedihan?
Apakah cara tersebut selalu berhasil?
20. Apa saja yang membuat anda dapat meredakan
kemarahan anda?
21. Bagaimana cara anda meredakan kemarahan?
Apakah cara tersebut selalu berhasil?
22. Apa saja yang membuat anda justru terlarut dalam
emosi tersebut?
23. Pernah tidak anda merasa tidak tahu bagaimana
cara untuk mengatasi emosi negatif yang muncul?
24. Apakah pernah merasa sedih/kesal/cemas tanpa
tahu penyebabnya? kapan apa saja terjadi?
Bagaimana cara mengatasinya?
25. Pernah tidak mengalami sesuatu yang benar-
benar membuat anda sedih atau marah? Bisa
coba ceritakan pengalaman tersebut? Bagaimana
cara mengatasinya?
26. Seperti yang kita ketahui, emosi memerankan

108
peran penting dalam kehidupan setiap orang.
Untuk beberapa orang, ada yang sulit untuk
berpikir dengan jernih, berkonsentrasi dan
melakukan tugasnya ketika sedang merasakan
emosi negatif, dan untuk beberapa orang emosi
tidak mengganggu mereka. Kalau untuk anda
sendiri bagaimana? Bagaimana hal tersebut bisa
terjadi?
27. Menurut anda, wajar tidak kita mengalami emosi
negatif? Pernah merasa bersalah sudah
mempunyai emosi negatif?
28. Pernah atau tidak emosi negatif membuat anda
melakukan hal-hal yang spontan?
29. Ketika mengalami suatu emosi baik itu senang
ataupun sedih, apakah selalu menyatakan
perasaan/ emosi yang dirasakan? Atau
melupakan? Atau justru memendam?
Dengan cara?
30. Apakah selalu dapat mengekspresikan emosi
sesuai dengan lingkungan? Atau tidak peduli
tempat dalam mengekspresikan kemarahan?

109
MATERI 11: CONTOH KASUS III

GAMBARAN PENERIMAAN ORANGTUA DENGAN ANAK


TUNGGAL YANG MENGALAMI AUTISME

LAPORAN STUDI KASUS

Diajukan oleh :
Putu Sonia Insani Sudarmintawan
1302205023

Kepada
Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana
November 2016

110
BAB I
PENDAHULUAN

A. Paparan Kasus
Kehadiran seorang anak merupakan saat yang dinantikan oleh
pasangan suami istri yang telah menikah. Kehadiran seorang anak tidak
hanya mempererat tali cinta antara pasangan suami istri dan seluruh anggota
keluarga, namun kehadiran seorang anak juga dapat menjadi penerus
generasi dan harapan dimasa depan bagi keluarga. Anak yang terlahir
sempurna dan sehat merupakan harapan dari semua orangtua. Setiap
orangtua pasti memiliki keinginan untuk melihat anak yang terlahir dapat
tumbuh dan berkembang dengan sempurna hingga dewasa. Orangtua juga
pasti memiliki harapan-harapan untuk anak yang lahir dimasa depan. Namun,
tidak semua anak yang terlahir ke dunia tumbuh dan berkembang dalam
keadaan yang normal sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orangtua,
ada juga anak yang terlahir berbeda dengan anak-anak pada umumnya
akibat adanya gangguan ataupun penyebab lainnya. Klasifikasi yang
termasuk gangguan dimasa kanak-kanak antara lain, gangguan pemusatan
perhatian hiperaktivitas, gangguan tingkah laku, disabilitas, retardasi mental,
dan anak dengan gangguan autistik (Davison, Neale, & Kring, 2014).
Autisme merupakan suatu jenis gangguan dalam perkembangan
perpasif anak yang kompleks dan berat yang biasanya tampak sebelum anak
berusia usia 3 tahun. Perilaku autis dapat digolongkan menjadi dua jenis,
yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan) yang ditandai dengan perilaku yang
hiperaktif dan tantrum serta perilaku defisit (berkekurangan) seperti adanya
gangguan dalam bicara ataupun kurangnya perilaku sosial dengan
lingkungan sekitar (Pratiwi & Dieny, 2014). Keadaan ini menyebabkan anak
dengan autisme tidak mampu untuk berkomunikasi sebagaimanamestinya
anak-anak pada umumnya, tidak mampu mengekspresikan perasaan maupun
keinginan sehingga perilaku dan hubungan anak dengan lingkungannya
dapat terganggu (Ginting, Ariani, & Sembiring, 2004). Mengingat sifat
gangguan autisme yang kompleks dan mengenai hampir seluruh aspek
perkembangan pada anak, maka gangguan autisme tidak dapat dipandang

111
sebelah mata dan memerlukan perhatian dan penanganan yang khusus dari
orangtua maupun orang-orang disekitar anak.
Tidak bisa dipungkiri reaksi orangtua pertama kali ketika mengetahui
anak yang terlahir mengalami autisme akan merasa sedih maupun kecewa.
Orangtua akan merasa kaget, bahkan menolak serta tidak menyangka jika
harus berada dalam situasi ketika mengetahui anak yang terlahir mengalami
autisme. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Puspita (2004) bahwa
reaksi yang ditampilkan pertama kali oleh orangtua ketika mengetahui sang
anak didiagnosis mengalami autisme adalah tidak percaya, shock, sedih,
kecewa, merasa bersalah, marah, dan menolak. Tidak mudah bagi orangtua
yang memiliki anak dengan autisme untuk melewati masa-masa ini, terlebih
dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh anak dengan autisme
membuat orangtua tidak jarang merasa kesulitan untuk merawat dan
membesarkan anak dengan autisme, terlebih merawat anak dengan autisme
merupakan pengalaman pertama dan satu-satunya bagi orangtua.
Penerimaan dari orangtua sangat memengaruhi perkembangan anak
dengan autisme dikemudian hari. Penerimaan orangtua dapat terlihat dari
berbagai perhatian maupun tindakan yang ditunjukan oleh orangtua kepada
anak dengan autisme, seperti orangtua mampu memahami keadaan anak
apa adanya dengan segala kekurangan maupun kelebihan anak, orangtua
mampu memahami kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh anak, orangtua
mampu menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan oleh anak,
orangtua memahami penyebab perilaku buruk dan baik anak, orangtua
membentuk ikatan batin yang kuat dengan anak, dan orangtua
mengupayakan alternatif penanganan sesuai dengan kebutuhan anak
(Rachmayanti & Zulkaida, 2007). Porter (dalam Straus & Brown, 1978),
mengemukakan aspek-aspek penerimaan orangtua terhadap anak, antara
lain: (1) Peduli terhadap perasaan anak dan memenuhi kebutuhan anak untuk
mengekspresikan perasaan; (2) Apresiasi anak sebagai diri yang unik
sehingga orangtua mampu memelihara keunikan anak agar menjadi pribadi
yang sehat; (3) Mengakui kebutuhan anak untuk dapat hidup dengan mandiri;
(4) Mencintai anak tanpa syarat. Seiring berjalannya waktu orangtua akan
selalu berusaha mencintai anak dan berusaha untuk memberikan anak yang

112
terbaik sesuai dengan kebutuhan anak. Terlebih keadaan ini akan sangat
terlihat apabila orangtua hanya memiliki satu anak atau anak tunggal.
Anak tunggal adalah keturunan satu-satunya dalam keluarga yang lahir
tanpa saudara, yang dimaksud saudara disini adalah kakak atau adik
kandung (Hadibroto, 2002). Kehadiran anak tunggal bisa berasal dari dua hal,
yaitu orangtua yang secara sengaja dan orangtua yang tidak sengaja memiliki
anak tunggal. Artinya, ada orangtua yang memang sengaja berencana untuk
memiliki anak tunggal ataupun yang tidak sengaja berencana memiliki anak
tunggal. Hal ini dapat terjadi karena tidak diberi karunia anak lagi atau telah
memiliki anak namun karena kondisi tertentu sehingga hanya ingin memiliki
satu anak saja didalam keluarga. Permasalahan ini sering muncul dalam
perspektif yang diterangkan dalam sisi sosiologis, khususnya dalam sosiologi
keluarga (Hermanto, 2014).
Pada umumnya orangtua yang memiliki anak tunggal akan menaruh
harapan yang tinggi kepada anaknya karena anak tersebut merupakan satu-
satunya harapan bagi orangtua dimasa depan (Dariany, 2015). Hal ini yang
tidak jarang membuat konflik dalam diri orangtua yang memiliki anak tunggal
dan mengalami autisme. Satu sisi, orangtua memiliki harapan yang tinggi
terhadap anak, namun disisi lain anak memiliki keterbatasan yang membuat
harapan-harapan orangtua tidak bisa tercapai secara maksimal. Adanya
kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dialami oleh orangtua yang
memimiliki anak tunggal mengalami autisme menyebabkan timbul beragam
reaksi emosi dan berbagai upaya akan dilakukan oleh orangtua hingga pada
akhirnya orangtua dapat menerima kondisi anak.
Subjek dalam penelitian ini merupakan seorang ibu berinisial IY yang memiliki
anak tunggal laki-laki yang mengalami autisme berumur 7 tahun berinisial R. ibu IY
mengetahui R mengalami autisme sejak R berumur 2,5 tahun. Awal mulanya ibu IY
merasa R mengalami terlambat bicara diusi 2 tahun, yang menurut ibu IY tidak
seperti anak seusia R pada umumnya. Kemudian R dibawa untuk berkonsultasi
kepada salah satu psikolog di Denpasar. Awal mengetahui R mengalami autisme,
ibu IY merasa sangat terpukul dengan fonis yang diberikan kepada R, terlebih usia
ibu R saat itu masih muda dan merasa belum memiliki pengalaman terkait merawat
anak. Sejak saat itu segala bentuk upaya telah dilakukan untuk mendukung tumbuh
kembang R, seperti berusaha menyekolahkan R di sekolah normal untuk

113
merangsang R agar mampu untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya hingga
berusaha mencari informasi terkait tempat terapi yang sesuai untuk R. Ibu IY sering
merasa bahwa kelemahan yang dimiliki R sering membuat orang-orang disekitarnya
membicarakan R dan tidak jarang membuat ibu IY merasa sedih dengan omongan
dari orang-orang disekitar, terlebih saat ini suami dari ibu R baru saja bekerja di
kapal pesiar yang membuat ibu IY hanya tinggal berdua saja dengan R. Selama ini
ibu IY masih belum siap untuk memiliki anak kembali karena ibu IY merasa belum
berani untuk meninggalkan R dan merasa R belum mampu untuk menolong diri
sendiri tanpa bantuan ibu IY, sehingga sampai saat ini R masih menjadi anak tunggal
dan masih menjadi fokus perhatian utama dari ibu IY.

B. Rumusan Kasus
Rumusan kasus dari paparan kasus yang telah dijelaskan adalah bagaimana
penerimaan ibu terhadap anak tunggal yang mengalami autisme?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian studi kasus ini adalah untuk mengetahui
bagaimana penerimaan orangtua yang memiliki anak tunggal yang
mengalami autisme.
2. Manfaat penelitian
Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini, beberapa manfaat tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
sumber literatur terkait penerimaan orangtua dengan anak
autisme dan juga menjadi sumber kajian bagi disiplin ilmu
psikologi khususnya dalam psikologi klinis, psikologi
perkembangan.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
orangtua mengenai pentingnya penerimaan orangtua terhadap
anak dengan autism agar anak dengan autisme dapat tumbuh di
lingkungan yang positif dan sekaligus dapat berdampak pada
perkembangan anak kearah yang lebih baik.

114
3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar teori bagi
pengembangan penelitian selanjutnya dalam kajian mengenai
penerimaan orangtua
b. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi orangtua
dengan anak autisme mengenai pentingnya penerimaan dari orangtua
untuk meningkatkan prognosis anak dengan autisme
2. Dapat menjadi masukan bagi keluarga serta masyarakat untuk lebih
memahami kehidupan orangtua yang memiliki anak dengan autisme,
sehingga dapat membantu orangtua dengan anak autisme untuk
menerima dan merawat anak dengan autisme.

115
BAB II

METODE PENGUMPULAN DATA

A. Observasi Kasus
Observasi merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data
dalam penelitian studi kasus ini. Observasi memungkinkan peneliti untuk mencatat peristiwa
dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan yang
langsung diperoleh dari data, serta untuk memahami situasi-situasi yang rumit untuk
perilaku yang kompleks (Moleong, 2004).
1. Teknik Observasi
Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
partisipasi pasif. Dalam observasi ini, peneliti datang ke tempat dimana suatu
peristiwa atau aktivitas yang diamati tersebut berlangsung, tetapi tidak ikut
terlibat dalam kegiatan tersebut (Sugiyono, 2014). Teknik observasi ini
digunakan karena peneliti hanya berperan sebagai observer dan tidak terlibat
langsung dalam aktivitas sehari-hari subjek yang diamati. Tujuan dari
observasi adalah untuk memperoleh informasi berupa fakta atau bukti fisik
sebagai data empiris yang dapat mendukung pernyataan subjek saat
wawancara berlangsung dan juga melihat bagaimana aktivitas sehari-hari
respoden sebagai pelengkap data. Berdasarkan sifatnya, observasi dalam
penelitian ini dilakukan secara tertutup, yang artinya subjek tidak mengetahui
bahwa dirinya sedang diamati selama wawancara. Peneliti memilih observasi
secara tertutup untuk menghindari terjadinya bias pada data observasi yang
diperoleh karena subjek mengetahui bahwa dirinya sedang diamati.
2. Tujuan Observasi
Hal yang menjadi tujuan observasi dalam penelitian ini adalah respon
yang ditunjukkan subjek terhadap pertanyaan-pertanyaan peneliti, perilaku,
serta ekspresi emosi yang ditampilkan subjek selama wawancara
berlangsung dan hal-hal lain yang dapat mendukung bahwa subjek telah
menunjukkan penerimaan terhadap anaknya yang mengalami autisme,
seperti bagaimana interaksi subjek dengan anaknya yang mengalami
autisme.
3. Subjek Observasi

116
Subjek observasi dalam penelitian ini adalah seorang ibu berinisial IY
yang memiliki anak tunggal mengalami autisme berinisial R dengan usia anak
saat ini adalah 7 tahun. Usia ibu IY saat ini adalah 28 tahun.

4. Tabel Kegiatan Observasi

No Tanggal Tempat Hal yang Keterangan


diobservasi
1 5 Rumah Perilaku Saat observasi peneliti
Oktober Belajar subjek saat berada di halaman belakang
2016 Turiya bersama anak Rumah Belajar Turiya.
Observasi dimulai pada pukul
16.40-17.00 ketika IY sampai
di Rumah Belajar Turiya
untuk mengantar R terapi dan
observasi selajutnya dimulai
pada pukul 17.54 -18.08 saat
ibu IY menjemput R ketika
sudah selesai terapi.
2 6 Rumah Perilaku Saat observasi peneliti
Oktober Belajar subjek saat berada disalah satu ruangan
2016 Turiya wawancara di Rumah Belajar Turiya.
Observasi berlangsung
selama 48 menit dimulai
pada pukul 17.05 WITA
hingga pukul 17.53 WITA.
3 10 Rumah Perilaku Saat observasi peneliti
Oktober Belajar subjek saat berada di halaman belakang
2016 Turiya bersama anak Rumah Belajar Turiya.
Observasi dimulai pada pukul
16.45-17.02 ketika ibu IY
sampai di Rumah Belajar
Turiya untuk mengantar R

117
terapi dan observasi
selajutnya dimulai pada pukul
17.55-18.10 saat ibu IY
menjemput R ketika sudah
selesai terapi.

5. Hasil Observasi

1. Observasi Pertama
Observasi hari pertama dimulai ketika ibu IY datang ke Rumah
Belajar Turiya untuk mengantar R melakukan terapi. Pada saat
observasi, ibu IY menggunakan baju kaos berwarna merah dengan
gambar bunga dibagian depan dan menggunakan celana jeans
panjang. Ketika ibu IY sampai Rumah Belajar Turiya, ibu mengajak
R masuk ke dalam ruangan dengan menggandeng tangan kanan R
dan kemudian ibu IY menyapa pengajar yang sedang duduk di
dalam ruangan Rumah Belajar Turiya. Setelah menyapa pengajar,
ibu IY menghampiri R yang berlari ke halaman belakang Rumah
Belajar Turiya untuk bermain rumput. Melihat R yang sedang
bermain rumput, ibu IY berkata “jangan R, itu kotor nak” sambil
duduk di salah satu kursi yang ada di halaman belakang Rumah
Belajar Turiya. Selama R bermain di halaman belakang, ibu IY
sesekali melihat kearah R dan berkata “hati-hati ya nak”. Ketika
salah satu pengajar yang bertugas mengajar R datang untuk
mengajak R masuk ke kelas, ibu IY kemudian menghampiri R
sambil memeluk R dan berkata “ayo R, sudah dulu mainnya
sekarang cuci tangan dulu yuk”. Ibu IY kemudian berjalan menuju
dapur untuk mencuci tangan R. Setelah mengantar R untuk cuci
tangan, kemudian ibu IY memeluk dan mencium R sambil berkata
“R pintar, sekarang waktunya belajar ya nak” dan kemudian ibu IY
melambaikan tangan ke R yang berjalan menuju kelas bersama
pengajar yang mengajar R. Setelah R masuk ke kelas, ibu IY
berpamitan dengan peneliti serta pengajar yang ada di ruangan dan
kemudian ibu IY berjalan ke arah motor.

118
Observasi selanjutnya dimulai kembali saat ibu IY datang ke
Rumah Belajar Turiya untuk menjemput R. Pada saat itu ibu IY
menunggu R di depan tangga kelas R sambil berbicara dengan
peneliti yang sedang duduk disalah satu ruangan di Rumah Belajar
Turiya. Ketika R sudah selesai terapi, R berjalan menuruni tangga
dan kemudian ibu IY menyapa R sambil tersenyum dan berkata
“halo R”. Ibu IY kemudian memeluk R yang ingin berlari ke arah
halaman belakang sambil berbicara dengan pengajar R dan berkata
“apakah R hari ini menangis bunda di kelas?” kemudian pengajar
berkata “tidak ma, hari ini R pintar”. Setelah berbicara dengan
pengajar R, ibu IY kemudian mengajak R untuk pulang dan
menggandeng tangan R kearah motor. Observasi hari itu selesai
saat ibu IY berpamitan dengan peneliti untuk pulang.

2. Observasi Kedua
Observasi kedua dilakukan selama proses wawancara
berlangsung. Pada observasi kali ini, ibu IY menggunakan baju
kemeja berwarna hitam dengan celana panjang berbahan kain
berwarna coklat muda dan membawa dompet. Dari awal proses
wawancara dimulai, ibu IY bercerita dengan suara yang terdengar
jelas serta tampak sangat ramah dan bersemangat. Sebelum
wawancara di mulai, ibu IY menceritakan mengenai R ketika
mengalami sakit. Saat menceritakan hal tersebut, ibu IY tampak
sangat bersemangat sambil memperaktekan saat R menjambak
rambut ibu IY apabila R tidak bisa mengungkapkan bahwa R
sedang sakit. Setelah selesai menceritakan mengenai R,
wawancara dimulai dengan pertanyaan seputar identitas dan
kehidupan sehari-hari ibu IY. Selama menjawab pertanyaan
mengenai identitas dan kehidupan sehari-hari, ibu IY menjawab
dengan lancar dan sesekali tertawa ketika menceritakan mengenai
daerah asal ibu IY. Kemudian, pertanyaan selanjutnya dilanjutkan
dengan pertanyaan mengenai bagaimana saat ibu IY akhirnya
mengetahui R mengalami autisme. Saat pertanyaan diajukan, nada

119
bicara ibu IY menjadi lebih pelan dan ibu IY tampak mengingat-
ngingat kembali proses dari awal yang ibu IY lakukan hingga sampai
pada akhirnya R didiagnosis mengalami autisme. Selama
menjawab, sesekali ibu IY tampak mengerutkan alis ketika
menjelaskan mengenai bagaimana ketika R menjalani pengobatan
menggunakan obat-obatan yang membuat R menjadi anak yang
pasif. Ibu IY mengatakan bahwa “gak tega, dia lemes, mukanya
pucet. Namanya orangtua kan lihat anak kayak gitu kan seneng kalo
liat anaknya ceria lagi gitu, mana ada orangtua yang lihat anaknya
ngeluh gitu”. Pertanyaan selanjutnya dilanjutkan dengan pertanyaan
menganai bagaimana respon awal ibu IY mengetahui R mengalami
autisme. Reaksi pertama ibu IY ketika peneliti menanyakan respon
awal mengetahui R mengalami autisme adalah ibu IY tampak
menarik nafas panjang dengan nada suara ibu IY yang tetap tenang
menjawab. Tampak raut muka yang terlihat sedih selama ibu IY
menjawab pertanyaan mengenai bagaimana ketika awal mula ibu IY
mengetahui R mengalami autism. Ketika ibu IY menjelaskan
mengenai ada orang lain yang kadang meremehkan R, ibu IY
menceritakan dengan penekanan dan raut muka yang tampak sinis.
Tidak jarang juga nada suara ibu Iy menjadi tinggi ketika
menceritakan bagimana orang-orang menganggap R sebelah mata.
Nada bicara ibu IY kemudian kembali terdengar pelan ketika ibu IY
menceritakan bagaimana ibu IY berusaha untuk menerima semua
kondisi yang dialami. Hingga akhir wawancara, ibu IY menjawab
dengan lancar semua pertanyaan yang diberikan oleh peneliti.

3. Observasi Ketiga
Observasi ketiga dimulai ketika ibu IY sudah sampai di Rumah
Belajar Turiya untuk mengantar R melakukan terapi. Pada saat
observasi ketiga, ibu IY menggunakan baju kaos berwarna putih
dengan celana berbahan kain berwarna biru tua dan membawa tas
kecil. Ketika baru sampai di Rumah Belajar Turiya, R langsung lari
ke arah halaman belakang dan kemudian ibu IY langsung mengikuti

120
R ke arah halaman belakang. Saat sampai di halaman belakang, ibu
IY duduk di salah satu kursi yang ada di halaman belakang sambil
menyapa peneliti yang menghampiri ibu IY. Sesekali ibu IY melihat
R yang sedang bermain dan berlari-lari di halaman belakang. Saat
ibu IY berbicara dengan peneliti, ibu IY tiba-tiba melihat R yang
masuk ke arah sanggah dan sedang menaiki sanggah, kemudian
ibu IY menghampiri R sambil berkata “R ngapain? Yuk taruh nak”
dan kemudian ibu IY memeluk R serta berusaha memegang tangan
R yang berusaha meraih canang yang ada di dalam sanggah.
Setelah R terlihat bisa lebih tenang, ibu IY kembali duduk di kursi
dengan sesekali tetap memperhatikan R yang sedang bermain dan
berkata ke peneliti “gitu dah R, dia setiap kesini suka banget ke
sanggah” sambil tertawa. Ketika pengajar R datang untuk mengajak
R masuk ke kelas, ibu IY kemudian memanggil R dan mengajak R
untuk cuci tangan. Setelah R selesai mencuci tangan, ibu IY
meminta R untuk menciumnya dan meminta R untuk melambaikan
tangan sebelum memasuki kelas. Ketika R sudah mencium ibu IY,
kemudian ibu IY melambaikan tangan kepada R dan berkata “bye
bye R, mama pulang ya”. Setelah R masuk ke dalam kelas, ibu IY
berpamitan dengan peneliti dan pengajar yang ada, kemudia
berjalan kearah motor.
Observasi selanjutnya dimulai saat ibu IY datang kembali ke
Rumah Belajar Turiya untuk menjemput R. Saat R keluar kelas, ibu
IY menyapa R dengan berkata “hai sayang” sambil tersenyum dan
memeluk R. Kemudian R diajak oleh pengajar untuk merapikan
permainan yang tadi digunakan untuk terapi, sambil ibu IY berkata
pada R “belajar apa tadi sayang?” tapi R tetap fokus dengan
permainan yang sedang dipegang. Saat R sudah selesai merapikan
permainannya, ibu IY mengajak R bernyanyi topi saya bundar dan
kemudian diikuti satu dua patah kata oleh R. Setelah selesai
bernyanyi, ibu IY kemudian berkata pada pengajar dan peneliti “kalo
lagu topi saya bundar, suka dia” sambil tertawa. Saat ibu IY sedang
berbicara dengan pengajar dan peneliti, R berlari ke arah motor dan

121
kemudian ibu IY mengikuti R sekaligus berpamitan dengan peneliti
dan pengajar. Observasi hari itu selesai.

B. Wawancara Kasus
Wawancara merupakan metode utama yang digunakan untuk mengumpulkan data
dalam penelitian studi kasus ini. Menurut Moleong (2014), wawancara adalah percakapan
yang dilakukan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
dan terwawancara.
1. Teknik Wawancara
Teknik wawancara yang gunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
semi terstruktur yaitu teknik wawancara yang sudah termasuk dalam in-depth
interview yang dalam pelaksanaannya diawali dengan menyiapkan daftar pertanyaan
untuk diajukan kepada narasumber, namun tidak menutup kemungkinan ditengah
proses wawancara muncul pertanyaan yang tidak terdapat di dalam daftar
pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Selama proses wawancara
berlangsung, seluruh pembicaraan dalam proses wawancara direkam agar tidak ada
hal yang tertinggal dengan tetap meminta persetujuan dari subjek.
2. Tujuan Wawancara
Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran
penerimaan orangtua dengan anak tunggal yang mengalami autisme. Mulai dari
bagaimana respon awal ketika mengetahui anak mengalami autism, faktor-faktor
yang memengaruhi penerimaan orangtua, alasan hingga saat ini belum berniat
memiliki anak kembali dan harapan orangtua terhadap anak kedepannya.
3. Subjek wawancara
Subjek wawancara dari penelitian ini terdiri dari narasumber utama dan
informan. Narasumber utama merupakan subjek dalam penelitian ini yaitu ibu yang
memiliki anak tunggal dengan autisme, sedangkan infroman adalah kepala sekolah
di Rumah Belajar Turiya.

4. Tabel Kegiatan Wawancara

No Tanggal Tempat Hal yang di Keterangan


wawancara
1 3 Oktober Rumah a. Identitas informan Interviewee: Informan
2016 Belajar b. Seberapa (kepala sekolah Rumah
Turiya informan Belajar Turiya)
Wawancara dilakukan

122
mengenal subjek selama 37 menit yang
c. Bagaimana dimulai pada pukul 15.00

kedekatan subjek WITA hingga pukul 15.37


WITA.
dengan anaknya
2 6 Oktober Rumah a.Identitas dan latar Interviewee: subjek
2016 Belajar belakang riwayat (IY).
Turiya hidup Wawancara dilakukan
b.Respon awal selama 48 menit yang
ketika mengetahui dimulai pada pukul
anak mengalami 17.05 WITA higga
autisme pukul 17.53 WITA.
c. Reaksi orang-
orang terdekat
3 3 Rumah a. Gambaran Interviewee: subjek (IY)
November Belajar Penerimaan Wawancara dilakukan
2016 Turiya Orangtua selama 54 menit yang
b.Harapan orangtua dimulai pada pukul
kedepannya 17.10 WITA hingga
pukul 16.04 WITA.

5. Hasil Wawancara
1. Wawancara Pertama
a. Identitas Informan
Informan dalam penelitian ini adalah seorang perempuan
yang berinisial W. W berusia 23 tahun dan merupakan lulusan
S1 Psikologi di Universitas Udayana. W bertempat tinggal di
Jalan Cokroaminoto Denpasar. W merupakan kepala sekolah di
Rumah Belajar Turiya. W sudah menjadi kepala sekolah di
Rumah Belajar Turiya selama 3,5 tahun.

b. Sejauhmana informan mengenal subjek


Sejak saat R masuk menjadi murid di Rumah Belajar Turiya,
W sudah melihat keseriusan dari ibu IY untuk memberikan R

123
pendidikan yang sesuai untuk R. R sudah menjalani terapi di
Rumah Belajar Turiya selama kurang lebih satu tahun. W
mengatakan bahwa ibu IY pernah menceritakan bagaimana
usaha ibu IY untuk menemukan sekolah yang sesuai dan mau
menerima R dengan kondisi R. Selama R melakukan terapi di
Rumah Belajar Turiya ibu IY juga sering melakukan konsultasi
dengan W untuk mengetahui bagaimana perkembangan R
setiap harinya dan ibu IY selalu sangat antusias setiap
membahas mengenai perkembangan R setiap harinya.

c. Bagaimana kedekatan subjek dengan anaknya


W mengatakan bahwa, ibu IY sangat menyayangi R.
Selama ini W melihat bahwa ibu IY selalu melakukan hal yang
terbaik apapun untuk R, segala keinginan R juga selalu dipenuhi
oleh ibu IY. Terlebih saat ini ibu IY hanya tinggal berdua dengan
R karena suami ibu IY sering bekerja yang mengharuskan jauh
dari keluarga, sehingga membuat segala kebutuhan dan
kehidupan sehari-hari R lebih banyak diurus semua oleh ibu IY.
Namun tidak jarang juga ibu W merasa kesulitan harus
mengurus R sendiri. Ketika melakukan konsultasi dengan W, ibu
IY pernah mengatakan bahwa ibu IY jarang bisa mengulang
kembali pelajaran saat R terapi karena kurangnya waktu di
rumah akibat segala sesuatunya hanya dikerjakan ibu IY sendiri.
Untuk mengatasi keterbatasan itu, maka ibu IY sangat rutin
untuk mengajak R data terapi agar R tetap mendapatkan
pendidikan yang seharusnya diperoleh oleh R.

2. Wawancara Kedua
a. Identitas dan latar belakang riwayat hidup
Respoden dalam penelitian ini adalah seorang ibu yang
berinisial IY. Usia ibu IY saat ini adalah 28 tahun. Ibu IY berasal
dari Banyuwangi dan bekerja di salah satu agen travel di
Denpasar milik saudara ibu IY. Ibu IY hanya memiliki satu anak

124
laki-laki yang berinisial R berusia 7 tahun yang mengalami
autisme. Ibu IY bertempat tinggal di Jalan Kresek Gang Cucut
Nomor 6, Sesetan, Denpasar. Saat ini ibu IY hanya tinggal
berdua dengan R, karena suami ibu IY sedang bekerja di kapal
pesiar kurang lebih enam bulan yang lalu. Apabila ibu IY sedang
bekerja, R sementara diasuh oleh mertua ibu IY yang tinggal
tidak jauh dari rumah ibu IY saat ini. Dari hasil wawancara, ibu Iy
mengatakan bahwa dari keluarga ibu IY ataupun suami tidak ada
riwayat ada anggota keluarga yang mengalami autisme.

b. Respon awal ketika mengetahui anak mengalami autisme


Ibu IY mengetahui R mengalami autisme saat R berusia 2,5
tahun. Saat itu R diajak berkonsultasi dengan salah satu
psikolog di Denpasar. Gejala awal yang muncul pada R hingga
ibu IY membawa R ke psikolog adalah R belum mampu
berbicara sebagaimana mestinya anak seusia R saat itu dan R
menunjukkan perilaku yang sangat aktif. Saat dibawa ke
psikolog, R baru didiagnosis akan mengarah ke autisme dan
belum benar-benar mengalami autisme. Penanganan yang
diberikan saat itu adalah berubah obat yang membuat R berubah
180 derajat, seperti R lebih banyak diam dan malamun
dibandingkan sebelum diberikan obat. Respon ibu IY ketika
mengetahui R mengalami autisme adalah terpukul dan awalnya
merasa tidak terima dengan diagnosa yang diberikan oleh
psikolog saat itu. Masa awal mengetahui anak mengalami
autisme, ibu IY masih sering menangis, namun disisi lain ibu IY
mampu menguatkan diri sendiri agar tidak berlarut-larut dengan
kesedihan dan mau berusaha untuk memberikan penanganan
yang terbaik untuk perkembangan R kedepannya.

c. Reaksi orang-orang terdekat


Reaksi pertama suami dari ibu IY ketika mengetahui R
mengalami autisme adalah sama seperti ibu IY, yaitu sama-

125
sama terpukul dan merasa sangat tidak terima dengan diagnosis
yag diberikan oleh psikolog tentang R. Ibu IY mengatakan,
suaminya lah yang selama ini sangat membantu ibu IY untuk
saling menguatkan ketika mengetahui R mengalami autisme.
Suami ibu IY juga menjadi orang yang mau ikut membantu untuk
berupaya memberikan R penanganan yang yang terbaik.
Sementara orangtua dari ibu IY menunjukkan rasa keberatan
dengan adanya R. Menurut orangtua dari ibu IY, R merupakan
anak yang susah diatur. Ibu IY mengatakan bahwa ibu IY
enggan ke Jawa membawa R akibat sikap orangtua ibu IY yang
merasa keberatan dengan adanya R. Lain dengan mertua dari
ibu IY, mereka lebih mau mengerti R dengan kondisi R karena
apabila ibu IY sedang bekerja, yang mengurus R selama ibu IY
bekerja adalah mertua ibu IY.

d. Upaya yang dilakukan setelah mengetahui anak mengalami


autisme
Beberapa hari setelah ibu IY mengetahui R mengalami
autisme segala upaya dilakukan untuk perkembangan R, mulai
dari penanganan medis dan non medis. Penanganan medis
yang dilakukan seperti dengan membawa R ke psikolog dan ke
dokter. R pernah menjalani pengobatan menggunakan obat-
obatan yang membuat R sangat pasif, sehingga ibu IY
menghentikan penanganan dengan obat-obatan untuk R.
Sementara penanganan non medis yang diberikan untuk R salah
satunya adalah dengan mencari sekolah dan tempat terapi yang
tepat untuk R. Mulai dari menyekolahkan R di sekolah umum
untuk merangsang R agar mampu bersosialisasi dengan teman
sebayanya hingga mencari sekolah khusus anak dengan
autisme. Banyak suka dan duka yang dialami oleh ibu IY selama
ini, salah satunya adalah ada guru di sekolah umum yang
menolak dan merasa tidak mampu untuk menghadapi R. Hal itu
membuat ibu IY merasa sedih dan mengambil keputusan untuk

126
memindahkan R ke Jawa dengan harapan di Jawa R
mendapatkan suasana sekolah yang lebih baik. Selama di Jawa,
R tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, sehingga
membuat ibu IY kembali memikirkan untuk mengajak R ke Bali
dan mencari R sekolah khusus untuk anak dengan autisme.
Segala informasi berusaha ibu IY kumpulkan untuk mencari
sekolah yang sesuai, mulai dari mendengar dari orang-orang
terdekat, mencari di artikel, hingga mencari di internet.

3. Wawancara Ketiga
a. Gambaran penerimaan orangtua
Proses ibu IY hingga akhirnya dapat menerima kondisi R
tidak mudah. Awalnya ibu IY melewati fase-fase dimana ibu IY
merasa shock, tidak terima dan lebih banyak menangis. Namun
seiring berjalannya waktu,, ibu IY mulai dapat menerima
kenyataan yang terjadi. Faktor utama yang membuat ibu IY kuat
dalam menerima kenyataan memiliki anak dengan autisme
adalah suami dan R itu sendiri. Ibu IY merasa bersyukur memiliki
suami yang selalu menguatkan dan membantu dalam merawat
R, terlebih menurut ibu IY suami ibu IY sangat menyayangi R
melebihi ibu IY sendiri. Selain itu, R pun juga menjadi salah satu
penguat terbesar ibu IY dalam menerima keadaan. Ibu IY
menganggap bahwa R adalah darah dagingnya sendiri dan ibu
IY yakin bahwa tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi
batas kemampuan umatnya, sehingga ibu IY merasa R adalah
anugerah yang dititipkan tuhan padanya. Selama merawat R, ibu
IY merasakan banyak suka duka yang dialami. Rasa suka yang
dialami selama ini adalah ibu IY menyadari bahwa R adalah
anak yang pintar dan sebenarnya mengerti banyak hal. Selain
itu, ibu IY sangat senang merawat R karena ibu IY memang
senang dengan anak-anak sehingga R tidak terlalu menjadi
beban bagi ibu IY. Sementara duka yang dialami ibu IY selama
merawat R adalah mendengar omongan orang-orang lain yang

127
sering meremehkan R yang membuat ibu IY kadang jengkel
bercampur sedih. Hingga saat ini ibu IY masih memilih untuk
tidak menambah anak, karena ibu IY masih belum siap untuk
membagi perhatiannya dengan adik R kelak. Ibu IY masih
merasa R belum mampu untuk mandiri tanpa bantuannya dan
ibu IY merasa takut untuk merawat anak bayi di rumah dengan
sikap R yang masih sangat aktif dan belum mampu di kontrol.

b. Harapan orangtua kedepannya


Harapan ibu IY untuk R kedepannya adalah R bisa menjadi
anak yang lebih baik lagi dan memiliki kemajuan disetiap
waktunya. Ibu IY juga berharap R bisa seperti anak-anak pada
umumnya, bisa bermain, sekolah, bisa melakukan hal-hal positif.

128
BAB III
ANALISA KASUS DAN DISKUSI

Setiap anak yang terlahir ke dunia pasti menjadi harapan bagi setiap orangtua,
terlebih anak yang lahir adalah anak pertama dan satu-satunya dalam sebuah keluarga.
Orangtua pasti mengharapkan anak yang lahir adalah anak yang sehat dan tidak kurang
suatu apapun, sehingga kelak bisa menjadi penerus dalam keluarga. Harapan yang dimiliki
oleh setiap orangtua terhadap anak kadang bisa tidak sesuai dengan kenyataan yang
terjadi. Tidak jarang ada anak yang terlahir memiliki keterbatasan yang membuat orangtua
tidak dapat berharap tinggi dengan anak dan harus menerima bagaimanapun kondisi sang
anak. Terjadinya kesenjangan antara harapan dan kenyataan pada orangtua yang memiliki
anak dengan kebutuhan khusus dapat membuat konflik pribadi bagi orangtua itu sendiri,
terlebih anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah anak pertama dan satu-satunya
dalam keluarga.
Subjek dalam studi kasus ini adalah seorang ibu berinisial IY yang memiliki anak
pertama dan satu-satunya yang mengalami autisme berinisial R. R merupakan anak tunggal
yang saat ini berusia tujuh tahun. Alasan ibu IY belum mau untuk memiliki anak kembali
adalah, yang pertama suami ibu IY sedang bekerja di kapal pesiar yang mengharuskan jauh
dari keluarga dan yang kedua adalah ibu IY masih belum siap membagi perhatian untuk R
ke anak keduanya nanti. Sampai sekarang ibu IY masih merasa R belum mampu untuk
mandiri dan segala sesuatunya masih harus dengan bantuan ibu IY. Kedua alasan inilah
yang membuat R hingga saat ini masih menjadi anak tunggal.
Tidak mudah bagi ibu IY ketika 4,5 tahun yang lalu mengetahui bahwa anak laki-laki
pertamanya mengalami autisme. Pada awalnya ibu IY tidak menyadari bahwa R mengalami
autisme, gejala awal yang ibu IY lihat pada R adalah adanya keterlambatan bicara yang
tidak sesuai dengan anak seusia R pada saat itu. Menyadari keterlambatan R, ibu IY
kemudian membawa R kesalah satu psikolog di Denpasar. Tidak bisa dipungkiri, respon
pertama ibu IY ketika mengetahui anak satu-satunya didiagnosis mengalami autisme adalah
terpukul dan tidak bisa menerima diagnosis psikolog yang diberikan terhadap R saat itu.
Diawal-awal masa awal saat mengetahui diagnosis R, ibu IY masih sering menangis dan
masih sulit untuk percaya. Respon pertama yang muncul pada ibu IY sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2004), bahwa reaksi yang ditampilkan pertama kali
oleh orangtua ketika mengetahui sang anak didiagnosis mengalami autisme adalah tidak
percaya, shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah, dan menolak. Seiring berjalannya
waktu dan seiring ibu IY mengasuh dan merawat R, ibu IY mulai kembali menguatkan diri
dan mulai bisa menerima bagaimanapun kondisi R.

129
Segala bentuk perhatian dan kasih sayang ibu IY berikan untuk R selama ini, terlebih
R adalah anak pertama dan satu-satunya. Semua kebutuhan R, ibu IY selalu berusaha
penuhi untuk perkembangan R kearah yang lebih baik. Ibu IY juga lebih banyak
menghabiskan waktunya bersama R dengan memilih untuk mengambil jadwal kerja disaat R
tidak melakukan terapi, yakni hanya bekerja seminggu dua kali dan selebihnya ibu IY
menghabiskan waktu untuk bersama R. Pilihan untuk bekerja hanya seminggu dua kali ibu
IY ambil agar jadwal bekerja ibu IY tidak mengganggu jadwal terapi R, dan agar ibu IY bisa
fokus mendampingi R saat R melakukan terapi. Tidak hanya memberikan perhatian dan
kasih sayang, ibu IY juga memberikan penanganan yang sesuai untuk R selama ini, seperti
mengupayakan penanganan medis yaitu membawa R ke dokter dan psikolog untuk
memperoleh penanganan awal, serta penanganan non medis untuk R yaitu dengan
menyekolahkan dan memberikan terapi untuk kelanjutan penanganan jangka panjang.
Menurut Hurlock (1978), penerimaan orangtua dapat ditandai dengan adanya perhatian dan
rasa kasih sayang yang diberikan oleh orangtua untuk anak, serta orangtua juga
memperhatikan perkembangan anak, kemampuan dan minat yang dimiliki oleh anak.
Pendapat Hurlock (1978) mengenai penerimaan orangtua yang telah dijelaskan sesuai
dengan sikap yang telah ditunjukkan oleh ibu IY selama ini untuk R.
Ada beberapa hal yang membuat ibu IY akhirnya mampu menerima kondisi R, antara
lain adanya dukungan dari suami, keyakinan kepada tuhan, dan R itu sendiri. Ibu IY
mengatakan bahwa suami lah yang selama ini menguatkan ibu IY dan mau untuk bersama-
sama mengupayakan segala hal terbaik yang bisa diberikan untuk R. Menurut ibu R, suami
ibu R merupakan satu-satunya orang yang mendukung dan menguatkan ibu R, tidak seperti
orang-orang lain yang biasanya sering meremehkan R. Selain dukungan dari suami, ibu IY
juga memiliki keyakinan terhadap rencana yang telah digariskan Tuhan. Ibu IY percaya
bahwa tuhan menitipkan R pada ibu IY pasti sudah ada jalannya dan ibu IY juga meyakini
bahwa tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan umatnya. Terakhir
yang membuat ibu IY mampu menerima kondisi R adalah R itu sendiri. Ibu IY merasa R
adalah darah dagingnya sendiri dan tidak ada alasan untuk tidak menyayangi R
bagaimanapun kondisi R. Dibalik keterbatasan yang dimiliki oleh R, ibu IY juga melihat
perkembangan R setiap harinya kearah yang lebih baik yang membuat ibu IY tetap merasa
bersyukur. Ketiga hal itulah yang membuat ibu IY selama ini kuat hingga mampu menerima
kondisi R saat ini.
Berdasarkan penjabaran mengenai bagaimana pengalaman yang ibu IY alami selama
merawat R dari awal didiagnosis hingga sekarang, ibu IY menunjukkan kemampuan
penerimaan orangtua terhadap anak. Porter (dalam Straus & Brown, 1978), mengemukakan
aspek-aspek penerimaan orangtua terhadap anak, antara lain: (1) Peduli terhadap perasaan
anak dan memenuhi kebutuhan anak untuk mengekspresikan perasaan; (2) Apresiasi anak

130
sebagai diri yang unik sehingga orangtua mampu memelihara keunikan anak agar menjadi
pribadi yang sehat; (3) Mengakui kebutuhan anak untuk dapat hidup dengan mandiri; (4)
Mencintai anak tanpa syarat.
Aspek pertama adalah peduli terhadap perasaan anak dan memenuhi kebutuhan
anak untuk mengekspresikan perasaan. Aspek pertama bisa juga diartikan sebagai
kemampuan orangtua untuk dapat memahami apa yang anak rasakan dan mampu
membantu anak untuk mengungkapkan apa yang dirasakan anak. Tidak bisa dipungkiri,
dengan keterbatasan R dalam berkomunikasi peran ibu IY untuk mampu memahami
maksud dari R adalah sangat penting. Khususnya ketika R mengalami sakit. Ibu IY
mengatakan apabila R sakit, R menjadi anak yang rewel karena R tidak mampu untuk
mengungkapkan apa yang dirasakan. Sikap yang sering ditunjukkan R ketika R sakit adalah
salah satunya dengan menarik rambut ibu IY, yang ibu IY anggap sebagai bentuk keluhan R
terhadap sakit yang dirasakan. Berikut adalah kutipan wawancara dengan ibu IY “tapi dia
kalo sakit, parah dia kalo sakit. Uh semaleman rambut gini dah… trus aku kalo ngakalin
rambutnya dia yang ini… ayo terus ayo terus.. mungkin kan gak bisa ngeluh gimana”.
Berdasarkan kutipan wawancara sebelumnya, menunjukkan bahwa ibu IY telah mampu
memahami apa yang anak rasakan.
Aspek kedua adalah apresiasi anak sebagai diri yang unik sehingga orangtua mampu
memelihara keunikan anak agar menjadi pribadi yang sehat. Aspek kedua bisa juga
diartikan sebagai kemampuan orangtua dalam menghargai anak dengan segala kekurangan
dan kelebihan yang dimiliki oleh anak. Ibu IY sangat sadar bahwa R adalah anak yang
khusus dan harus dirawat dengan perhatian khusus pula, terlebih R anak yang hiperaktif
dan membuat berbeda dengan anak lain. Sempat ketika R diberikan penanganan dengan
obat-obatan, ibu IY merasa tidak tega melihat perubahan yang terjadi pada R. Awal sebelum
diberikan obat R adalah anak yang aktif dan ceria, namun semenjak diberikan obat R
menjadi anak yang pasif, sehingga saat itu ibu IY memilih untuk menghentikan pemberian
obat-obatan untuk R. Berikut adalah kutipan wawancara dengan ibu IY “bener sih dia dikasik
obat itu dia diem, gak terlalu aktif.. dia diem. Cumak pandangannya dia kosong..
ngengkleng.. gak tega, dia lemes, mukanya pucet gitu. Namanya orangtua kan lihat anak
segitu kan seneng liat kalo anaknya ceria lagi gitu, mana ada orangtua yang lihat anaknya
ngeluh gitu”. Selain itu, ibu IY juga menyadari dibalik keterbatasan yang dimiliki oleh R, R
sebenarnya adalah anak yang pintar dan ibu IY terlihat sangat bangga dengan R. Berikut
kutipan wawancara dengan ibu IY “Pinter, sebenernya dia pinter. R itu pinter lo sebenernya
dia. Tadi malem itu dia diare itu, aku lo males bangun. Yang kedua kan diare.. o yang
pertama. Narik-narik aku “ R kenapa?”. Udah nyala lampu, pup nya padahal udah jatuh. Dia
mungkin kan perutnya udah mules. Dia ke kamar mandi, “ngapain ke kamar mandi?”
celananya mau dicuci udah basah. Yaampun R.. gak jadi tak marahin kan. Dia lo

131
sebenernya pinter, aku lo bangun-bangun lampu udah idup. Dia ke kamar mandi,
sebenarnya dia itu mau nyuci celanya, tapi dia takut padahal perutnya udah mules kan.
Takut tak marahin dia”. Berdasarkan kutipan wawancara sebelumnya, menunjukkan bahwa
ibu IY mampu untuk mengapresiasi segala keunikan yang dimiliki oleh anak.
Aspek ketiga adalah mengakui kebutuhan anak untuk dapat hidup dengan mandiri.
Aspek ketiga bisa juga diartikan sebagai kesadaran orangtua dan upaya orangtua untuk
membuat anak dapat hidup dengan mandiri. Hingga saat ini ibu IY selalu berharap dan
berupaya agar R nantinya bisa menjadi anak yang mandiri. Upaya yang telah dilakukan ibu
IY selama ini adalah salah satunya dengan menyekolahkan dan mengajak R untuk
mengikuti terapi, dengan harapan R kedepannya bisa mandiri seperti anak-anak pada
umumnya. Berikut adalah kutipan wawancara dengan ibu IY “kalo sekolah di kota diusahai
ditinggal biarin dia buat mandiri”. Berdasarkan kutipan wawancara sebelumnya,
menunjukkan bahwa ibu IY telah menyadari dan berupaya untuk membuat anak dapat hidup
dengan mandiri.
Aspek keempat adalah mencintai anak tanpa syarat. Aspek keempat bisa juga
diartikan sebagai sikap orangtua yang mencintai anak dengan apa adanya tanpa alasan
apapun. Selama ini ibu IY sangat menyayangi R dengan segala keterbatasan yang R miliki.
Segala kebutuhan R ibu IY selalu berusa penuhi untuk perkembangan R kearah yang lebih
baik. Ibu IY mengakui bahwa memang tidak mudah untuk merawat anak yang terbilang
khusus seperti R, namun ibu IY sadar bahwa R adalah anaknya sendiri dan tidak dijadikan
beban oleh ibu IY. Berikut kutipan wawancara dengan ibu IY “Capek sih ada capek. Tapi ya
dinikmatin aja, ya namanya ngurus anak.. anak sendiri ya. Kalo dibawa beban pikiran kan
namanya gak tulus namanya gak ikhlas”. Berdasarkan kutipan wawancara sebelumnya,
menunjukkan bahwa ibu IY telah menunjukkan sikap orangtua yang mencintai anak dengan
apa adanya tanpa alasan apapun.

132
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang diperoleh dan analisa yang telah dilakukan, maka dapat dibuat
kesimpulan sebagai berikut:
1. Alasan yang membuat ibu IY hingga saat ini masih memilih untuk enggan memiliki
anak kembali karena masih belum siap untuk membagi perhatian ke anak keduanya
kelak, terlebih melihat R yang masih belum mandiri hingga saat ini.
2. Ibu IY menunjukkan bentuk penerimaan orangtua sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Hurlock (1978), yaitu ibu IY telah memberikan perhatian dan rasa kasih sayang
untuk R, terlebih R adalah anak pertama dan satu-satunya. Ibu IY juga
memperhatikan perkembangan R, peduli pada kemampuan dan minat yang dimiliki
oleh R dengan memberikan penanganan yang sesuai dengan kebutuhan R untuk
meningkatkan perkembangan R kearah yang lebih baik.
3. Faktor utama yang memengaruhi penerimaan ibu IY terhadap R antara lain adalah
peran dukungan dari suami yang selama ini menguatkan ibu IY dan membantu ibu IY
dalam merawat R, keyakinan dengan Tuhan bahwa R adalah anugerah yang
dititipkan pada ibu IY, dan R itu sendiri yang merupakan darah daging ibu IY
sehingga tidak ada alasan bagi ibu IY untuk tidak menerima R.
4. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dianalisis, ibu IY telah memenuhi keempat
aspek penerimaan orangtua menurut Porter (dalam Straus & Brown, 1978), antara
lain: (1) Peduli terhadap perasaan anak dan memenuhi kebutuhan anak untuk
mengekspresikan perasaan; (2) Apresiasi anak sebagai diri yang unik sehingga
orangtua mampu memelihara keunikan anak agar menjadi pribadi yang sehat; (3)
Mengakui kebutuhan anak untuk dapat hidup dengan mandiri; (4) Mencintai anak
tanpa syarat.

4.1 Saran
Berikut adalah saran yang dapat diberikan, antara lain:
1. Saran untuk subjek yaitu ibu IY dan orangtua yang memiliki anak dengan autisme
Penerimaan orangtua terhadap anak dengan autisme merupakan hal yang
sangat penting bagi perkembangan anak kedepannya, sehingga diharapkan
orangtua dapat secara konsisten menunjukkan sikap bahwa orangtua dapat
menerima anak apa adanya. Jangan terlalu fokus dengan anggapan negatif orang
lain tentang anak.
2. Saran untuk keluarga dan masyarakat

133
Peran keluarga serta masyarakat sangat penting dalam membantu orangtua
yang memiliki anak dengan autisme, sehingga keluarga dan masyarakat sebaiknya
tidak mengucilkan, mau memahami, serta membantu orangtua dengan anak autisme
agar dapat menerima menerima dan merawat anak.
3. Saran untuk peneliti selanjutnya
Saran untuk peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian
khususnya penelitian kualitatif, sebaiknya melakukan observasi dan wawancara yang
lebih mendalam, sehingga data yang diperoleh lebih lengkap. Selain itu, peneliti
selanjutnya juga dapat menggali lebih mendalam mengenai konflik yang biasa
dialami oleh orangtua yang memiliki anak dengan autisme.

134
DAFTAR PUSTAKA

Dariany, D. (2015). Dukungan Sosial pada Orangtua yang Memiliki Anak Tunggal Remaja
Autis. (Skripsi tidak dipublikasi). Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya
Mandala Surabaya.
Davison, G. C., Neale, J. M., & Kring, M. A. (2014). Psikologi Abnormal Edisi ke-9. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
Ginting, S. A., Ariani, A., & Sembiring, T. (2004). Terapi Diet Pada Autisme. Sari Pediatri
Vol. 6 No. 1, 47-51.
Hadibroto. (2002). Misteri Perilaku Anak Sulung, Tengah, Bungsu, dan Tunggal. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Hermanto, B. (2014, September). Makna dan Sosialisasi Nilai Orang Tua terhadap Anak
Tungga ). 3(3), 1-10.
Hurlock, E. B. (1978). Child Development 6th Edition. New York: McGraw-Hill Book
Company.
Moleong, L. J. (2014). Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Pratiwi, R. A., & Dieny, F. F. (2014). Hubungan Skor Frekuensi Diet Bebas Gluten Bebas
Casein dengan Skor Perilaku Autis. Journal of Nutrition College, 3, 34-42.
Puspita, D. (2004). Makalah : Peran Keluarga pada Penanganan Individu Autistik. Jakarta:
Yayasan Autis Indonesia.
Rachmayanti, S., & Zulkaida, A. (2007). Penerimaan Diri Orangtua Terhadap Anak Autisme
dan Peranannya dalam Terapi Autisme. Jurnal Psikologi , Vol. 01, 1-11.
Rupu, N. Y. (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Orangtua Anak
Retardasi Mental di SLB Negeri Pohuwato. Jurnal Keperawatan , 1-14.
Straus, M. A., & Brown, B. W. (1978). Family Measurement Techniques Abstracts of
Published Instruments, 1935-1974. Don Mills: Canada by Burns & Maceachern.

135
LAMPIRAN

136
Lampiran 1.

INFORMED CONSENT
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN
Terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i telah memberikan waktunya untuk
bertemu dan melaksanakan wawancara ini.
Perkenalkan, nama saya Putu Sonia Insani Sudarmintawan, saya sebagai mahasiswa
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ingin melakukan
wawancara kepada Bapak/Ibu/Saudara/i terkait dengan Bagaimana Penerimaan Orangtua
dengan Anak Tunggal yang Mengalami Autisme. Harapan saya, hasil wawancara ini dapat
saya gunakan sebagai dasar dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Semua komentar yang akan Bapak/Ibu/Saudara/i sampaikan pada saya akan
DIRAHASIAKAN dan tidak akan disampaikan secara terbuka kepada umum. Hal ini berarti
semua komentar Bapak/Ibu/Saudara/i hanya akan saya bagikan kepada dosen pembimbing
saya untuk kepentingan penelitian tanpa menyebutkan secara eksplisit identitas
Bapak/Ibu/Saudara/i sebagai responden dalam penelitian ini.
Wawancara ini akan MEMAKAN WAKTU kurang lebih selama 1 hingga 2 jam.
Dengan surat pernyataan ini, saya juga meminta izin kepada Bapak/Ibu/Saudara/i untuk
diperbolehkan MEREKAM semua proses dalam wawancara ini, hal tersebut dilakukan untuk
meminimalisir kehilangan informasi dari komentar-komentar yang telah Bapak/Ibu/Saudara/i
sampaikan. Selain rekaman, saya memohon izin untuk melakukan pengambilan catatan
terhadap komentar Bapak/Ibu/Saudara/i secara manual dan tertulis dengan jaminan informasi
pribadi Bapak/Ibu/Saudara/i akan dirahasiakan.
Selama wawancara ini, Bapak/Ibu/Saudara/i BERHAK UNTUK TIDAK
MENJAWAB pertanyaan yang saya ajukan dan Bapak/Ibu/Saudara/i juga BERHAK
UNTUK MENGAKHIRI WAWANCARA ini kapanpun Bapak/Ibu/Saudara/i menghendaki.
Sebelum memulai wawancara ini, saya meminta kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk
menandatangani lembar ini sebagai bukti kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i dalam menjadi
responden wawancara.
Denpasar, .........................................
Penyelenggara InisialResponden

(____________________________) (_________________________)

137
Lampiran 2.
GUIDELINE WAWANCARA RESPONDEN

POIN PERTANYAAN
a) Identitas dan latar belakang riwayat 1. Nama
hidup 2. Usia sekarang
3. Alamat
4. Suku
5. Agama
6. Pendidikan terakir
7. Pekerjaan
8. Status
9. Jumlah anak
10. Apakah ada orangtua, saudara, anak
dari saudara atau keluarga orangtua
anda yang mengalami autisme?
11. Apakah ada orangtua, saudara, anak
dari saudara atau keluarga orangtua
suami anda yang mengalami
autisme?
12. Pada usia berapa anda melahirkan
anak anda yang mengalami autisme?
b) Reaksi atau respon awal ketika 13. Berapa usia anak ada saat
mengetahui anak mengalami autisme didiagnosis megalami autisme?
14. Dari mana anda mengetahui anak
anda ternyata mengalami autisme?
15. Apa yang anda rasakan dan
bagaiaman rekasi anda ketika
pertama kali mengetahui anak anda
mengalami autisme?
c) Rekasi orang-orang terdekat 16. Bagaimana suami anda ketika
mengetahui anak anda mengalami
autisme?

138
17. Coba ceritakan bagimana peran
suami anda untuk membantu anda
dimasa awal ketika anda mengetahui
anak anda mengalami autisme?
18. Bagaimana orangtua anda, mertua
anda, saudara-saudara anda ketika
mengetahui anak anda mengalami
autisme?
19. Coba ceritakan bagimana peran
orangtua anda, mertua anda,
saudara-saudara anda untuk
membantu anda dimasa awal ketika
anda mengetahui anak anda
mengalami autisme?
d) Gambaran Penerimaan Orangtua 20. Butuh waktu berapa lama anda sejak
mengetahui diagnosis anak anda
hingga anda benar-benar bisa
menerima kondisi anak anda?
21. Upaya apa saja yang anda lakukan
hingga pada akhirnya anda bisa
menerima anak anda?
22. Apakah ada kendala yang anda
alami hingga pada akhirnya anda
bisa menerima kondisi anak anda?
23. Bagaimana kedekatan anda dengan
anak anda selama ini?
24. Mengapa sampai saat ini ada belum
berniat untuk memiliki anak
kembali?
25. Bagaimana suka dan duka yang
dialami selama merawat anak?
26. Faktor apa saja yang memengaruhi
penerimaan anda terhadap anak

139
anda?
27. Bagaimana anda menilai anak anda
saat ini?
28. Apa harapan anda untuk anak anda
kedepannya?

140
Lampiran 3.

Tinjauan Pustaka

1. Penerimaan Orangtua dengan Anak Autisme


a. Pengertian Penerimaan Orangtua dengan Anak Autisme
Orangtua memiliki pengaruh penting bagi perkembangan anak dan setiap
tindakan yang diberikan oleh orangtua pasti memberikan dampak bagi anak.
Menurut Gordon (2000) setiap orangtua dari masa ke masa mempunyai dua
perasaan yang berbeda terhadap anak, yaitu ada orangtua yang menerima dan
orangtua yang tidak menerima.
Hurlock (1978) mengatakan bahwa penerimaan orangtua ditandai
dengan perhatian besar dan rasa kasih sayang yang diberikan untuk anak.
Orangtua yang menerima anak akan memperhatikan perkembangan anak,
kemampuan dan minat anak. Anak yang diterima oleh orangtua akan
menunjukkan kemampuan bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal,
gembira, dan secara emosional stabil.
Pengertian penerimaan orangtua yang dikemukakan Hurlock (1978)
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakhiroh (2011) yang
menyebutkan bahwa penerimaan orangtua dengan anak autisme merupakan
sikap orangtua yang ditunjukkan dari orangtua yang dapat memperlakukan anak
dengan baik, menerima bagaimanapun kondisi anak, peduli terhadap tumbuh
kembang anak, dan memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada
anak. Anak yang diterima oleh orangtua akan lebih mau untuk bekerjasama
dengan orang lain, bersahabat, ceria, dan bersikap optimis.
Berdasarkan pemaparan dari beberapa sumber, maka dapat dikatakan
bahwa penerimaan orangtua dengan anak autisme adalah sikap orangtua yang
ditandai dengan perhatian besar terhadap tumbuh kembang anak, rasa kasih
sayang yang diberikan untuk anak, mampu memperlakukan anak dengan baik,
dan menerima bagaimanapun kondisi anak, sehingga anak dengan autisme yang
diterima oleh orangtua dapat menunjukkan kemampuan bersosialisasi dengan
baik, mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, bersikap optimis,
dan secara emosional menjadi lebih stabil.
b. Aspek-aspek Penerimaan Orangtua dengan Anak Autisme
Orangtua yang menerima anak akan menempatkan anak pada
posisi penting dalam keluarga dan akan mengembangkan hubungan
emosional yang hangat dengan anak. Porter (dalam Straus & Brown,

141
1978), mengemukakan aspek-aspek penerimaan orangtua terhadap anak,
antara lain:
1. Peduli terhadap perasaan anak dan memenuhi kebutuhan anak
untuk mengekspresikan perasaan.
2. Apresiasi anak sebagai diri yang unik sehingga orangtua mampu
memelihara keunikan anak agar menjadi pribadi yang sehat.
3. Mengakui kebutuhan anak untuk dapat hidup dengan mandiri.
4. Mencintai anak tanpa syarat.
Aspek-aspek penerimaan orangtua yang dikemukakan oleh Porter (dalam
Straus & Brown, 1978) sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rachmayanti dan Zulkaida (2007) yang menemukan bahwa penerimaan
orangtua dengan anak Autisme merupakan bentuk perilaku yang ditunjukkan
oleh orangtua kepada anak dengan autisme yang terlihat dari beberapa sikap,
antara lain:
1. Mengetahui bagaimana perkembangan anak, seperti apa yang
belum mampu dilakukan anak ataupun hal-hal yang sudah mampu
dilakukan anak dan memahami penyebab prilaku anak.
2. Orangtua mampu menerima bagaimanapun kondisi anak apa
adanya dan mengupayakan tindakan apapun yang terbaik untuk
anak.
3. Orangtua mampu membentuk ikatan batin yang kuat dengan anak.
Berdasarkan pemaparan dari beberapa sumber, maka dapat dikatakan
bahwa aspek-aspek penerimaan orangtua dengan anak autisme dapat terlihat
dari beberapa sikap, antara lain orangtua mengetahui bagaimana tumbuh
kembang anak, seperti apa yang belum mampu dilakukan anak ataupun hal-hal
yang sudah mampu dilakukan anak dan memahami penyebab prilaku anak,
orangtua mampu menerima kondisi anak apa adanya dan menerima anak
sebagai individu yang unik, orangtua mengupayakan tindakan apapun yang
terbaik untuk anak, dan orangtua mampu membentuk ikatan batin yang kuat dan
mencintai anak tanpa syarat.
c. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penerimaan Orangtua dengan Anak
Autisme
Hurlock (1978) menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi sikap
orangtua terhadap anak, antara lain:

142
1. Konsep “anak idaman” yang terbentuk sebelum anak lahir yang
diwarnai dengan romantisme dan didasarkan gambaran anak ideal
dari orangtua.
2. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orangtua terhadap
anak.
3. Nilai dalam budaya tentang cara terbaik memperlakukan anak akan
memengaruhi sikap orangtua dalam bersikap terhadap anak.
4. Orangtua yang menyukai peran sebagai orangtua, merasa bahagia
dan mempunyai penyesuaian yang baik terhadap perkawinan akan
mencerminkan penyesuaian yang baik untuk anak.
5. Apabila orangtua merasa mampu berperan sebagai orangtua, sikap
orangtua akan memperlakukan anak lebih baik dibandingkan
dengan orangtua yang merasa kurang mampu dan ragu-ragu.
6. Kemampuan dan kemauan untuk menyesuaikan diri dengan pola
kehidupan yang berpusat pada keluarga.
7. Alasan memiliki anak. Apabila alasan memiliki anak untuk
mempertahankan perkawinan tidak berhasil maka sikap orangtua
yang menginginkan anak akan berkurang dibandingkan dengan
sikap orangtua yang menginginkan anak karena untuk mencapai
kepuasan mereka dengan perkawinan mereka. Cara anak bereaksi
terhadap orangtua juga memengaruhi sikap orangtua terhadap
anak Hurlock (1978).
Faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan orangtua terhadap anak
yang telah dikemukakan oleh Hurlock (1978) sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Rupu (2015) yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi penerimaan orangtua dengan anak autisme antara lain:
1. Faktor usia orangtua
Orangtua yang berada pada usia dewasa akhir yaitu usia
antara 36-59 tahun lebih menunjukkan penerimaan terhadap anak
bagaimanapun kondisi anak dibandingkan orangtua pada usia
dewasa awal yaitu usia antara 25-35 tahun, karena orangtua yang
berada pada usia dewasa akhir lebih matang secara fisik maupun
psikologis dan lebih dewasa akibat pengalaman melewati banyak
hal selama masa perkembangan menuju dewasa akhir, sehingga

143
orangtua yang berada pada usia dewasa akhir menjadi lebih siap
dalam menghadapi anak (Rupu, 2015).
2. Faktor pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua makan semakin
cepat pula orangtua dapat menerima anak, terkait dengan
pengetahuan orangtua mengenai bagaiman cara memperlakukan
anak dengan sebaik mungkin (Rupu, 2015).

3. Faktor ekonomi keluarga


Faktor ekonomi keluarga dapat mempengaruhi penerimaan
orangtua terhadap anak, karena status ekonomi keluarga yang baik
dapat membuat orangtua merasa lebih mampu untuk
memperlakukan anak lebih baik sesuai dengan kebutuhan
perkembangan anak (Rupu, 2015).
4. Faktor dukungan sosial
Dukungan sosial dapat menimbulkan pengaruh positif bagi
orangtua dalam menerima anak dengan segala kondisinya.
Dukungan sosial dapat berasal dari keluarga, lingkungan sekitar,
dan tenaga kesehatan. Semakin tinggi dukungan sosial yang
didapat makan penerimaan orangtua terhadap anak akan semakin
baik (Rupu, 2015).
5. Faktor latar belakang agama (religiusitas)
Penerimaan orangtua terhadap anak dapat dipengaruhi oleh
latar belakang agama, karena orangtua yang telah memiliki nilai-
nilai mengenai keyakinan dapat memengaruhi sikap orangtua
dalam menerima dan memperlakukan anak (Rupu, 2015).
6. Faktor status keharmonisan perkawinan
Orangtua dengan status keharmonisan perkawinan yang
baik dapat menerima anak dengan lebih baik, karena adanya
perhatian dan dukungan antar suami istri dapat membuat pasangan
suami istri saling bahu membahu dalam mengasuh anak (Rupu,
2015).

144
7. Faktor sarana penunjang
Sarana penunjang seperti sekolah maupun ketersediaan
tenaga kesehatan untuk anak dapat membuat anak tetap
mendapatkan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi mereka yang dapat membuat penerimaan orangtua
terhadap anak menjadi meningkat (Rupu, 2015).
Berdasarkan pemaparan dari beberapa sumber, maka dapat dikatakan
bahwa faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan orangtua dengan anak
autisme antara lain, adanya konsep “anak idaman” yang didasarkan pada
gambaran anak ideal dari orangtua, faktor usia ketika orangtua memiliki anak,
faktor pendidikan dan ekonomi orangtua, ada atau tidaknya dukungan sosial,
pengaruh budaya dan keyakinan yang memengaruhi sikap orangtua terhadap
anak, status keharmonisan perkawinan, serta kesiapan untuk menjadi orangtua
dan kesiapan untuk memiliki anak.

145
MATERI 12: KESIMPULAN/REVIEW

Tujuan studi kasus adalah mengkaji secara intensif latar belakang, status terkini, dan
interaksi unit-unit sosial (individu, kelompok, lembaga, atau komunitas) dengan
lingkungannya. Menurut Isaac & Michael (ibid.: 48), studi karus merupakan investigasi
mendalam atas unit sosial tertentu yang menghasilkan sebuah gambaran lengkap dan
tertata baik dari unit sosial tersebut. Cakupan gambaran itu tergantung pada tujuan-tujuan
penelitiannya. 18 Studi kasus dapat mengkaji keseluruhan siklus kehidupan atau hanya satu
segmen terpilih; bisa berkonsentrasi pada faktor-faktor spesifik atau mengkaji totalitas
elemen-elemen atau kejadiankejadian. Berbeda dengan survei yang bermaksud mengkaji
sedikit variabel pada sejumlah besar sampel dari populasi unit-unit, studi kasus bermaksud
mengkaji sedikit unit dengan cakupan variabel dan kondisi dalam jumlah besar.
Sifat eksploratif studi kasus itu berguna memberi latar belakang informatif dalam
rencana investigasi utama ilmu-ilmu sosial. Berkat sifat intensifnya, studi kasus dapat
mengungkap variabel-variabel, proses-proses, dan interaksi-interaksi penting yang patut
mendapat perhatian ekstensif. Studi kasus bisa menemukan landasan baru dan sering
menjadi sumber hipotesis-hipotesis yang berguna untuk studi lanjutan. Data studi kasus
menyediakan anekdot-anekdot bermanfaat dan contoh-contoh untuk mengilustrasikan
temuan-temuan statistik yang lebih umum.
Selain manfaat atau kekuatan di atas, studi kasus juga memiliki kelemahan. Fokusnya
yang sempit pada sedikit unit, membatasi keterwakilan (reperesentativeness) studi kasus.
Generalisasi yang valid untuk populasi asal unit-unit ini hanya bisa diperoleh setelah
penelitian lanjutan selesai. Penelitian lanjutan ini berfokus pada hipotesis-hipotesis spesifik
dan menggunakan metoda sampling yang tepat. Kelemahan lainnya adalah kerentanan
terhadap biasbias subjektif. Kasus dipilih mungkin karena dramatis, bukannya bersifat khas;
atau karena kasusnya cocok dengan prakonsepsi peneliti. Tafsiran subjektif mempengaruhi
hasil penelitian; hal ini terjadi karena penilaian-penilaian selektif peneliti menentukan aliran
data, atau menentukan tinggi rendahnya signifikansi data, atau penempatan data pada satu
konteks daripada konteks lainnya.
Belum ada inventarisasi beragam tipe studi kasus, begitu menurut Yin (1989) dalam
“Case Study Research: Design and Methods” sebagaimana dikutip oleh de Vaus (ibid: 228).

146
Namun menurut de Vaus, elemen-elemen studi kasus di bawah ini dapat membantu
mengkerangkakan ragam studi kasus:
1) deskriptif atau eksplanatoris
2) menguji atau mengembangkan teori
3) kasus tunggal atau jamak
4) unit analisis yang – meminjam istilah Yin – „holistik‟ (cases as a whole) atau „embedded‟
(cases that consist of various levels of components)
5) studi kasus paralel atau sekuensial
6) retrospektif (memerlukan rekonstruksi sejarah kasus) atau prospektif (melacak
perubahan mulai saat ini ke depan).

Langkah-langkah studi kasus menurut Isaac & Michael (ibid.: 48-49) adalah sebagai berikut:
1) Nyatakan tujuan-tujuannya. Apa unit studinya? Sifat-sifat, hubungan-hubungan, dan
proses-proses apa saja yang akan mengarahkan penelitian?
2) Rancang pendekatannya. Bagaimana unit-unit akan dipilih? Sumber data apa saja yang
tersedia? Metoda pengumpulan data mana yang akan dipakai?
3) Kumpulkan data.
4) Susun informasi untuk merekonstruksi unit studi secara koheren dan terintegrasi dengan
baik.
5) Laporkan hasilnya dan diskusikan signifikansinya.

147
DAFTAR PUSTAKA

Djumhur I. dan Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance & Counseling),
C.V. ILMU: Bandung. 1975

Nugroho, Obed Agung http:// obedan.wimamadiun.com/studi-kasus-bimbingan-konseling/.


02 juni 08

Worung, E. J. I. Kasie dan Hermien Laksmiwati, Mencermati Masalah Keterampilan


Melaksanakan Studi Kasus Wujud Kinerja Konselor Sekolah, Unesa Uneversity Press:
Surabaya. 2005

148

Anda mungkin juga menyukai