Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Teori


1. Definisi Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi adalah
seperangkat rekomendasi tentang penyelenggaraan pelayanan asuhan
antenatal pada fasilitas kesehatan, mulai dari tingkat unit pelayanan
antenatal dan jaringannya. Fasilitas kesehatan pada level yang lebih tinggi
juga memerlukan standar pelayanan minimal, selain standar pelayanan
spesialistik dan obstetrik.
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini akan dapat
memberikan pedoman bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan status
kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi yang dilahirkan.
2. Tujuan
a. Deteksi dan antisipasi dini kelainan/ penyakit/ gangguan yang mungkin
terjadi dalam kehamilan.
b. Intervensi dan pencegahan kelainan/ penyakit/ gangguan yang mungkin
dapat mengancam ibu dan atau janin.
c. Standarisasi kegiatan pelayanan asuhan antenatal terintegrasi, meliputi :
tujuan, persyaratan, implementasi serta pemantauan dan penilaian
d. Mengintegrasikan asuhan antenatal rutin dengan pelayanan tambahan
dalam praktik asuhan antenatal.
3. Program-Program Yang di Integrasikan dalam Pelayanan Antenatal
Terintegrasi
a. Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE)
Standar:
Semua wanita yang melahirkan dan bayi yang dilahirkannya harus
terlindung dari Tetanus
Tujuan:
Mencegah Tetanus Maternal dan Neonatal (MNT)

1
Persyaratan:
1) Terdapat perencanaan, strategi, kebijakan, dan pedoman nasional
maupun lokal terkait MNTE pada tempat pelayanan asuhan
antenatal.
2) Di daerah yang tergolong risiko tinggi MNT, perlu perencanaan dan
strategi implementasi dengan “pendekatan risiko tinggi”, termasuk
imunisasi pada Wanita Usia Subur (WUS).
3) Tersedia Standard Operating Procedure (SOP) penilaian mutu
vaksin, jadwal imunisasi dan pemberian imunisasi.
4) Semua anggota tim antenatal di tempat pelayanan asuhan antenatal
telah dilatih untuk melakukan penapisan status imunisasi,
memberikan imunisasi Tetanus dan mengelola pelayanan imunisasi
TT.
5) Di tempat pelayanan asuhan antenatal , tersedia vaksin dan logistik
(refrigerator, ADS (Auto Disable Syringe) dll) yang dibutuhkan
untuk pelaksanaan imunisasi Tetanus.
6) Tempat pelayanan asuhan antenatal yang dapat melayani imunisasi
Tetanus mudah diakses oleh ibu hamil
7) Terdapat sistem monitoring dan evaluasi imunisasi Tetanus yang
efektif, termasuk register imunisasi, kartu imunisasi pribadi dan
buku KIA.
8) MNT dimasukkan dalam sistem surveilans nasional.
9) Tersedia informasi tentang sistem pelayanan rujukan dan tempat
pelayanan yang menjadi rujukan pada kasus MNT.
Pelaksanaan:
Tim asuhan antenatal di tempat pelayanan asuhan antenatal, secara
khusus, harus :
1) Sebelum pemberian vaksin, periksa tgl kadaluwarsa dan VVM (vial-
vaccine-monitoring)
2) Vaksin yang sebelumnya telah membeku tidak boleh diberikan.
3) Pada pelayanan antenatal, periksalah status imunisasi ibu hamil

2
melalui penapisan (dengan anamnesis atau memeriksa kartu),
sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2.1

Tabel 2.1
Cara Penapisan Imunisasi TT pada WUS dan ibu hamil
Pemberian Kapan diberikan (Selang Waktu Lama proteksi yang
immunisasi Pemberian Minimal) diharapkan
T1 -

T2 Minimal 4 minggu setelah T1 1-3 tahun

T3 Minimal 6 bulan setelah T2 Minimal 5 tahun

T4 Minimal setahun setelah T3 Minimal 10 tahun

T5 Minimal satu tahun setelah T4 Minimal 25 th

Tabel 2.2
Pedoman imunisasi TT bagi ibu hamil yang telah diimunisasi saat bayi, atau
anak usia sekolah

Usia saat vaksinasi Imunisasi Imunisasi yang dianjurkan


terakhir sebelumnya Pada kunjungan Kemudian
(berdasarkan ini/pada kehamilan (dengan interval
rekaman tertulis) minimal
setahun)
Bayi 3 DPT 2 dosis TT/Td 1 dosis TT/Td
(minimal interval 4
mgg antara kedua
dosis)
Anak Usia Sekolah 1 DT + 2 TT/Td 3 dosis TT/Td

3
4) Rekam/catat dosis yang telah diberikan pada register standar
imunisasi TT, kartu imunisasi pribadi, dan buku KIA. Kartu
imunisasi pribadi dan buku KIA harus disimpan oleh yang
bersangkutan.
5) Bila teridentifikasi suatu kasus Tetanus Neonatal (TN), berikan ibu
satu dosis TT secepatnya dan rawat bayinya sesuai pedoman
nasional. Dosis selanjutnya diberikan sesuai dengan waktu
pemberian minimal.
6) Rekam/catat semua kasus MNT dan laporkan pada yang berwenang.
Semua kasus MNT yang berasal dari daerah berisiko rendah harus
diselidiki lebih lanjut.
7) Rekam/catat dan laporkan semua kasus Tetanus dari kelompok umur
lain secara terpisah.
8) Penyuluhan kesehatan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat
tentang perlunya dilaksanakan imunisasi Tetanus.

b. Antisipasi Defisiensi Gizi Dalam Kehamilan (ANDIKA)


Standar:
Semua ibu hamil mendapatkan pelayanan dan konseling gizi pada
setiap kunjungan antenatal.
Tujuan:
Mencegah dan menangani masalah gangguan gizi selama masa
kehamilan agar menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan bayi
yang optimal, serta ibu yang sehat.
Persyaratan:
1) Terdapat perencanaan, strategi dan kebijakan nasional maupun lokal
dalam penanganan masalah gizi pada ibu hamil.
2) Ketersediaan pedoman tentang penanggulangan masalah gizi (KEK,
Anemia, KVA) dan konseling, alat peraga penyuluhan/konseling gizi
(seperti food-model, kit konseling menyusui), pemeriksaan
laboratorium (Hb), pita LILA, suplementasi tablet besi.

4
3) Ketersediaan pemberi pelayanan gizi yang berkompeten
4) Ketersediaan informasi tentang sistem dan tempat rujukan pelayanan
gizi oleh ahli gizi (tenaga gizi)
Pelaksanaan:
1) Semua ibu hamil mendapatkan penyuluhan/konseling gizi, termasuk
konseling menyusui.
2) Semua ibu hamil mendapatkan suplementasi tablet besi 1 tablet
perhari selama hamil sampai dengan masa nifas (minimal untuk 90
hari), termasuk konsumsi tablet besi mandiri. Pemberian dilakukan
pada waktu pertama kali ibu hamil memeriksakan kehamilannya
(K1).
3) Semua ibu hamil diperiksa status gizi dengan pita LILA pada
kunjungan pertama antenatal. Ibu hamil dengan KEK dirujuk ke
fasilitas pelayanan gizi (petugas gizi).
4) Semua ibu hamil diperiksa kadar Hb pada kunjungan pertama
antenatal. Ibu hamil dengan anemia dirujuk ke fasilitas pelayanan
gizi (petugas gizi).
5) Semua ibu hamil dengan anemia dan KEK berat dirujuk ke
pelayanan kesehatan rujukan antenatal. Ibu hamil dengan anemia
dirujuk ke fasilitas pelayanan gizi (petugas gizi).
6) Semua ibu hamil dengan anemia dan KEK berat dirujuk ke
pelayanan kesehatan rujukan

c. Pencegahan Dan Pengobatan IMS/ISK Dalam Kehamilan (PIDK)


Standar:
Semua ibu hamil pada setiap kunjungan antenatal mendapatkan
informasi dan penapisan Infeksi Menular Seksual (IMS)/Infeksi Saluran
Reproduksi (ISR), serta diberi pengobatan dan rujukan yang tepat dan
efektif bagi ibu hamil dan pasangannya.

5
Tujuan:
Menurunkan morbiditas, mortalitas, maternal dan infertilitas yang
disebabkan oleh IMS dan ISR, serta menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada bayi/anak.
Persyaratan:
1) Terdapat perencanaan, strategi dan Kebijakan nasional maupun lokal
tentang pedoman pencegahan dan pengelolaan IMS/ISR tersedia.
2) Tersedia pemberi pelayanan asuhan antenatal yang kompeten untuk
memberikan informasi tentang IMS dan ISR, serta mampu
mendiagnosis dan mengobati infeksi tersebut.
3) Seluruh perlengkapan, supplai dan obat-obatan yang dibutuhkan
guna mendiagnosis, mengelola serta (konseling) tentang IMS/ISR
tersedia di semua tempat pelayanan asuhan antenatal.
4) Pelayanan kesehatan IMS/ISR haruslah terjangkau (accessible and
affordable) bagi semua ibu hamil dan pasangannya.
5) Terdapat mekanisme pencatatan hasil pemeriksaan dan pengobatan
IMS/ISR.
6) Tersedia informasi tentang sistem dan tempat rujukan kasus
IMS/ISR
Pelaksanaan:
Tim Asuhan Antenatal Terintegrasi haruslah :
1) Semua ibu hamil yang datang memeriksakan diri selama masa
kehamilan, persalinan dan nifas harus diberikan informasi yang tepat
mengenai identifikasi dan pengendalian IMS/ISR.
2) Dengan cara simpatik menanyakan kepada semua ibu hamil pada
setiap kunjungan, menjelang persalinan dan kunjungan pasca
persalinan, adanya keluhan yang mengindikasikan adanya suatu
IMS/ISR.
3) Bilamana ibu mempunyai keluhan yang menandakan IMS/ISR
(misalnya adanya duh tubuh vagina abnormal, ulkus, nyeri perut
bagian bawah, dll) periksalah untuk menemukan gejala dan tanda

6
ISR, termasuk pemeriksaan vagina dengan menggunakan spekulum.
4) Berikan pengobatan bagi ibu, pasangannya, dan bayinya sesuai hasil
temuan kasus IMS/ISR, hasil tes sifilis on site dan pemeriksaan bayi,
dan rujuklah bila fasilitas yang dibutuhkan tidak tersedia di tingkat
pelayanan asuhan antenatal.
5) Diskusikan dengan ibu pentingnya pengobatan itu baginya, bagi
pasangannya, dan bayi mereka, jelaskan konsekuensi yang timbul
bila tidak segera mendapat pengobatan, dan pentingnya penggunaan
kondom selama pengobatan.
6) Berikan informasi tentang pencegahan primer IMS, penggunaan
kondom, gejala dan tanda IMS, konsekuensi bagi ibu dan bayinya
bila tidak mendapat pengobatan, saran untuk pencegahan terhadap
HIV serta saran untuk melakukan VCT.
7) Menyiapkan perawatan lanjutan atau rujukan bagi ibu, bayi dan
pasangannya, bila timbul komplikasi atau kegagalan pengobatan.
8) Rekam diagnosis dan pengobatan yang diberikan dalam buku kohort
atau buku KIA ibu.
9) Pelaksanaan kegiatan pendidikan/ penyuluhan kesehatan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pencegahan dan
pengelolaan IMS dan ISR.

d. Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK) Dan Frambusia


Standar:
Semua ibu hamil yang melakukan kunjungan antenatal harus
mendapatkan layanan penapisan sifilis dan atau penapisan frambusia
serta diberi pengobatan dan rujukan yang tepat dan efektif bagi ibu
hamil dan pasangannya.
Tujuan:
Menurunkan mortalitas dan morbiditas ibu dan atau bayi akibat sifilis
dan frambusia.

7
Persyaratan:
1) Tersedia perencanaan, strategi, kebijakan dan pedoman nasional dan
lokal tentang pencegahan, penapisan dan pengelolaan ibu hamil
dengan sifilis dan atau frambusia.
2) Tersedia informasi tentang manfaat penapisan sifilis dan risiko sifilis
jika tidak diobati pada ibu hamil.
3) Tersedia fasilitas untuk penapisan sifilis, atau fasilitas untuk
pengambilan dan pengiriman specimen untuk penapisan sifilis pada
tempat pelayanan asuhan antenatal dengan fasilitas terbatas.
4) Semua wanita hamil mempunyai akses untuk melakukan/dilakukan
penapisan terhadap sifilis.
5) Tersedia tenaga pemberi pelayanan kesehatan yang kompeten
didalam pencegahan sifilis, penapisan selama kehamilan, tindakan
pada wanita yang positif sifilis dengan pasangannya, perlindungan
dan perawatan pada bayi baru lahir, konseling pencegahan sifilis,
dan bagaimana mencegah reinfeksi selama kehamilan dengan
mempromosikan kondom.
6) Tersedianya metode dan logistik penapisan dengan RPR, VDRL,
atau Rapid Test di pelayanan antenatal.
7) Logistik untuk tes tersedia baik di tempat pelayanan asuhan antenatal
maupun di tingkat laboratorium.
8) Pusat laboratorium dan fasilitas kesehatan menjamin kualitas uji
laboratorium.
9) Benzatine Penicilin tersedia di tempat pelayanan asuhan antenatal ,
pelayanan maternal dan klinik pasca persalinan.
10) Tersedia sistem monitoring layanan sifilis yang efektif.
11) Tersedia materi pendidikan kesehatan untuk meningkatkan
kesadaran individu, keluarga dan komunitas tentang pentingnya
mendatangi klinik antenatal lebih awal untuk pencegahan sifilis dan
perawatannya.

8
12) Tersedianya buku saku atau leaflet yang berisi foto klinis penderita
frambusia.
13) Tersedianya informasi tentang sistem rujukan dan tempat pelayanan
yang menjadi rujukan kasus sifilis dan atau frambusia.
Pelaksanaan:
1) Penapisan semua ibu hamil dengan sifilis on site dengan metode uji
cepat (rapid test) pada kunjungan antenatal yang pertama. penapisan
harus dikerjakan sedini mungkin (lebih baik sebelum 16 minggu dari
kehamilan) untuk mencegah infeksi kongenital. Pada kunjungan
ulang, ibu yang dengan beberapa alasan tidak dapat menunjukkan hasil tes
sifilis harus di tes kembali.
2) Apabila hasil rapid test pertama positif, dilakukan pengobatan dan
diberi informasi tentang perlunya pemeriksaan terhadap infeksi HIV.
Satu minggu kemudian pasien dirujuk untuk pemantauan dan
penatalaksanaan lebih lanjut. Apabila hasil rapid test pertama
negatif, maka akan dilakukan pemeriksaan ulang pada trimester
ketiga.
3) Review hasil uji sifilis pada saat kunjungan dan saat persalinan. Jika
ibu belum dites pada saat kehamilan, tes sifilis seharusnya
ditawarkan setelah persalinan.
4) Semua ibu hamil yang seropositif diberikan Benzathine
benzylpenicilin, dosis 2,4 juta unit intramuskuler sebagai dosis
tunggal, kecuali alergi penicilin. Pada kasus alergi penisilin, ibu
hamil harus dirujuk pada pelayanan lebih tinggi.
5) Pada ibu yang positif, dilakukan konseling bahwa pasangannya juga
harus di tes dan diberi tindakan dengan regimen yang sama, segera
setelah kelahiran.
6) Semua ibu hamil dengan dengan riwayat kehamilan yang buruk,
seperti abortus, lahir mati, bayi terinfeksi sifilis harus di tes dan
diberikan perawatan yang sesuai.

9
7) Semua ibu hamil yang memiliki gejala klinis atau riwayat terpapar
dengan orang yang terkena sifilis harus mendapatkan perawatan.
8) Semua ibu hamil yang terinfeksi sifilis dilakukan penapisan untuk
IMS lainnya serta konseling dan perawatan yang sesuai.
9) Semua ibu hamil yang positif sifilis dianjurkan untuk konseling
VCT.
10) Buat perencanaan untuk perawatan bayi sejak saat kelahiran.
11) Rekam hasil tes dan perawatan di buku KIA.
12) Lakukan pemeriksaan inspeksi kulit pasien untuk mencari
kemungkinan adanya frambusia pada semua ibu hamil di daerah
endemis (dan pada daerah non-endemis jika hasil tes serologis sifilis
positif).
13) Dilakukan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran
individu, keluarga dan komunitas tentang pentingnya mendatangi
klinik antenatal lebih awal untuk pencegahan sifilis dan
perawatannya.

e. Pencegahan Penularan Hiv Dari Ibu Ke Bayi (PMTCT)


Standar:
Semua ibu hamil mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS, akses
untuk mendapatkan layanan VCT (Voluntery Counseling and Test),
profilaksis ART, dan layanan rujukan.
Tujuan:
Mencegah penularan HIV dari ibu dengan HIV ke bayi dan mengurangi
dampak epidemi HIV terhadap ibu dan bayi.
Persyaratan:
1) Tersedia kebijakan nasional maupun lokal tentang HIV-AIDS dan
PMTCT, termasuk buku pedoman (manual) pelayanan HIV pada ibu
hamil.
2) Adanya kebijakan dan dukungan dari pemerintah daerah dan institusi
pelayanan kesehatan untuk mendukung dan memberikan pelayanan

10
HIV pada ibu hamil.
3) Terdapat pemberi pelayanan kesehatan yang kompeten serta
mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk memberikan
dorongan pada ibu hamil dan suaminya untuk mengetahui status HIV
dengan datang ke klinik VCT terdekat, pengelolaan umum ibu hamil
dengan HIV , pengawasan efek samping obat ARV, kerahasiaan
status HIV pasien, kemampuan melakukan rujukan (khususnya ibu
hamil diduga/dengan HIV +), memberikan dukungan ibu hamil
dengan hasil tes HIV + dan mampu melakukan pencatatan dan
pelaporan.
4) Semua ibu hamil dengan faktor risiko HIV mempunyai akses untuk
mendapatkan layanan VCT
5) Adanya informasi fasilitas klinik VCT dan Rumah sakit rujukan HIV
terdekat dari tempat pelayanan asuhan antenatal .
6) Terdapat informasi tentang sistem dan tempat rujukan ibu hamil
dengan HIV
Pelaksanaan:
1) Semua ibu hamil mendapatkan informasi serta faktor risiko HIV,
cara pemeriksaan/tes HIV, risiko penularan ke bayi pada ibu hamil
dengan HIV.
2) Pada daerah yang prevalensi HIV tinggi dan atau pada populasi
berperilaku risiko tinggi dilakukan full-coverage untuk VCT.
3) Pada kunjungan antenatal pertama (K1) pemberi pelayanan
melakukan penapisan/penapisan tanda dan gejala HIV serta
penapisan/penapisan apakah ibu hamil termasuk dalam kelompok
berisiko tinggi HIV. Jika ya maka dorong dan beri dukungan agar ibu
hamil dan juga suaminya mau melakukan konsultasi dan tes HIV di
klinik VCT terdekat, melakukan aktivitas seksual yang sehat
(termasuk penggunaan kondom) dan konsultasikan ke klinik TBC
jika ditemukan batuk lama yang tidak sembuh.

11
4) VCT dilakukan dengan prinsip 3C; Counselling, Confidential dan
Consent
5) Ibu hamil dengan status HIV -, beri dukungan untuk tetap negatif
dan melakukan aktivitas seksual yang sehat.
6) Ibu hamil dengan HIV mengetahui upaya yang dilakukan untuk
menurunkan risiko penularan ke bayi dan mempunyai akses untuk
profilaksis ART, pilihan persalinan (melalui konseling) dan PASI
(Pengganti Air Susu Ibu) (melalui penyuluhan atau konseling).
7) Ibu hamil dengan status HIV +, diberikan profilaksis ARV (untuk
mencegah penularan dari ibu ke bayi) dan kemudian dilakukan
pemeriksaan CD4 nya untuk menentukan indikasi pemberian ARV.
8) Ibu hamil dengan HIV +, mempunyai pilihan untuk menentukan cara
persalinan (melalui konseling) apakah memilih melahirkan melalui
partus normal atau SC dan berharap ibu dengan HIV tidak
memberikan ASI kepada bayinya.
9) Ibu dengan HIV +, setelah melahirkan mendapatkan ARV dengan
indikasi (karena pemberian ART adalah untuk seumur hidup).
10) Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV , mendapatkan profilaksis ARV
dan dilakukan pemeriksaan status HIV nya pada umur 18 bulan.

f. Pencegahan Malaria Dalam Kehamilan


Standar:
Semua ibu hamil di daerah endemis malaria mendapatkan penapisan
malaria, kelambu berinsektisida (LLIN/Long Lasting Insecticide Nets
(Kelambu berinsektisida tahan lama)) pada kunjungan antenatal
pertamakali, dan bila hasil pemeriksaan positif untuk malaria, maka ibu
hamil diberi pengobatan sesuai usia kehamilan.
Tujuan:
Menurunkan insidens penyakit malaria dan berbagai
komplikasi/dampak negatif terhadap ibu hamil yang disebabkan oleh
penyakit malaria

12
Persaratan :
1) Tersedia pedoman teknis dan kebijakan nasional maupun lokal
dalam pencegahan, penegakan diagnosis dan pengobatan penyakit
malaria
2) Tersedianya pemberi pelayanan di unit pelayanan antenatal yang
sudah terlatih dan kompeten dalam pengelolaan kasus malaria
selama kehamilan antara lain: penegakan diagnosa baik secara
mikroskopis maupun RDT, pemberian obat untuk kasus positif
malaria, dan penyuluhan untuk penggunaan kelambu berinsektisida
3) Ibu hamil mau dan mampu mengakses ke tempat pelayanan asuhan
antenatal .
4) Ada jaminan ketersediaan mikroskop atau RDT, obat dan kelambu
5) Penyuluhan dan pendidikan untuk meningkatkan kepedulian
masyarakat tentang bahaya malaria bagi ibu hamil telah
dilaksanakan secara efektif.
6) Adanya informasi sistem dan tempat rujukan untuk kasus malaria.
Pelaksanaan:
Tim antenatal di daerah endemis harus mampu:
1) Melakukan pemeriksaan sediaan darah dengan mikroskopik atau
RDT pada kunjungan pertama ibu hamil ataupun kunjungan
berikutnya bila disertai dengan keluhan demam. Apabila serologis
positif dilakukan pengobatan berdasarkan umur kehamilan.
Trimester I : Kina (dosis 10 mg/kg BB/kali diberikan 3 kali sehari
selama 7 hari)
Trimester II, III : ACT (Artemisinin Combination Therapy)
(Artesunat 10 mg/kgBB, Amodiakuin 10mg/kgBB selama 3 hari )
2) Setiap ibu hamil diberikan kelambu berinsektisida disetiap
kunjungan pertama, atau kunjungan berikutnya apabila belum
mendapatkan kelambu pada kunjungan pertama/sebelumnya.
3) Dilakukan pemberian motivasi secara sungguh-sungguh agar semua
ibu hamil bersedia tidur memakai kelambu sesegera mungkin selama

13
umur kehamilan mereka bahkan dilanjutkan setelah pasca persalinan.
Tim Antenatal di daerah non-endemis harus mampu :
a) Mewaspadai jika dijumpai ibu hamil yang memiliki gejala anemis
dan/atau demam jika sebelumnya mempunyai riwayat pernah
menderita dan/atau berkunjung di daerah endemis malaria.
Selanjutnya diberikan pengobatan sesuai dengan standar teknis
pengobatan malaria yang berlaku secara nasional.
b) Sebagai bentuk upaya pencegahan dan dapat memberikan nasehat
agar semua ibu hamil lebih waspada apabila akan tinggal atau
berpergian ke wilayah endemis malaria dan dapat melakukan
tindakan pencegahan terhadap gigitan nyamuk misal dengan
memakai pakaian tertutup, lotion anti nyamuk , dll.
c) Dibuatkan catatan riwayat pengobatan malaria secara lengkap di
kartu antenatal dari semua ibu hamil.

g. Penatalaksanaan TB Dalam Kehamilan (TB-ANC) Dan Kusta


Standar:
Semua wanita yang dijumpai pada periode kehamilan harus diberikan
informasi yang tepat mengenai pencegahan dan pengenalan penyakit
TB Paru dan Kusta. Mereka harus diperiksa gejala dan tanda TB Paru
dan Kusta, dan bila perlu diberikan pengobatan yang tepat dan efektif
bagi mereka.
Tujuan:
Menurunkan angka kesakitan atau angka kematian penyakit TB Paru
dan Kusta dengan cara memutuskan rantai penularan, kekambuhan dan
Multi Drug Resistant (MDR) (khusus pada TB Paru) dapat dicegah
sehingga penyakit TB Paru dan Kusta tidak lagi merupakan masalah
kesehatan bagi ibu hamil di Indonesia.
Persyaratan:
1) Adanya suatu kebijakan nasional dan adaptasi lokal pedoman
pencegahan dan pengelolaan TB Paru dan Kusta pada semua ibu

14
hamil.
2) Tersedia pemberi pelayanan asuhan antenatal yang kompeten dalam
mengenali dan memberikan informasi kepada para ibu tentang
gejala, tanda dan pencegahan TB Paru dan Kusta.
3) Terdapat tenaga wasor Kusta Kabupaten, minimal 2 orang per
kabupaten, dibantu dengan dokter/petugas Kusta terlatih di
Puskesmas.
4) Seluruh perlengkapan, supplai dan pengobatan yang diperlukan
untuk penatalaksanaan, konseling dan pencegahan TB Paru dan
Kusta tersedia di berbagai level tempat pelayanan asuhan antenatal .
5) Jasa pelayanan kesehatan untuk TB Paru dan Kusta mudah didapat
dan terjangkau bagi ibu hamil
6) Terdapat mekanisme untuk merekam hasil pemeriksaan dan
pengobatan TB paru.
7) Kegiatan penyuluhan kesehatan dilaksanakan untuk meninggikan
kesadaran masyarakat tentang pencegahan dan penatalaksanaan TB
Paru dan Kusta pada kelompok ibu hamil.
Pelaksanaan:
1) Paradigma Sehat.
a) Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan kontak sedini
mungkin, serta meningkatkan cakupan program.
b) Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup
sehat.
c) Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi pada kondisi
tertentu.
2) Srategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), sesuai
rekomendasi WHO, terdiri dari 5 komponen yaitu :
a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dana.
b. Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis yang
terjamin mutunya.
c. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB

15
dengan tatalaksanan kasus yang tepat, termasuk pengawasan
langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
d. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
e. Sistim Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.
3) Prinsip pengobatan bagi ibu hamil yang menderita TB paru adalah
tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya :
a) Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 (6 bulan):
(1) Phase Intensif 2 bulan setiap hari
(2) Phase Lanjutan 4 bulan 3 kali seminggu
(3) Kategori 1 untuk pasien baru BTA (+), pasien baru BTA (-)
dengan Rontgen (+)
b) Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 (8 bulan):
(1) Phase Intensif 3 bulan setiap hari
(2) Phase Lanjutan 5 bulan 3 kali seminggu
(3) Kategori 2 untuk pasien kambuh, pengobatan setelah putus
berobat (default), gagal (failure)
4) Hampir semua OAT aman untuk kehamilan kecuali streptomisin
5) Ibu hamil dapat diberikan pengobatan TB kecuali streptomisin.
Sebaiknya bila ibu hamil memerlukan pengobatan kategori 2 maka
pengobatan sebaiknya ditunda setelah melahirkan.
Apabila pengobatan tidak bisa ditunda maka sebaiknya dirujuk untuk
pengobatannya.
6) Prinsip pengobatan ibu hamil yang menderita kusta tidak berbeda
dengan penderita kusta lainnya:
a) Multi Drug Treatment (MDT) untuk Pauci Basiler (PB) : Obat
diberikan selama 6-9 bulan, terdiri dari:
(1) Dapson setiap hari
(2) Rifamipisin (1x/bulan)
b) MDT Multi Basiler (MB) : Obat diberikan selama 12-18 bulan
terdiri dari:

16
(1) Rifamipisin (1x/bulan)
(2) Dapson setiap hari
(3) Klofazimin setiap hari
c) Reaksi Kusta
Reaksi kusta merupakan fase akut pada perjalanan penyakit kusta
yang kronis. Sebelum, selama, dan sesudah penyakit kusta, reaksi
dapat terjadi. Jika terjadi reaksi pada ibu hamil yang menderita
kusta, pasien harus dirujuk.
d) Semua MDT aman untuk ibu hamil.
7) Bidan di desa membantu penemuan kasus TB dan Kusta pada bumil
melalui pengiriman dahak ke Unit pelayanan ANTENATAL pada
TB, dan melaporkan tersangka/kasus Kusta pada petugas/wasor
kusta di Puskesmas/Kabupaten.
8) Pengembangan program dilaksanakan secara bertahap keseluruh
UPK.
9) Peningkatan kerjasama dengan semua pihak melalui kegiatan
advokasi, diseminasi informasi dengan memperhatikan peran
masing-masing.
10) Kabupaten/Kota sebagai titik berat manajemen program meliputi :
perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi serta
mengupayakan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
11) Kegiatan penelitian dan pengembangan dilaksanakan dengan
melibatkan semua unsur terkait.
12) Memperhatikan komitmen internasional.
13) Pada setiap ibu hamil harus dilakukan inspeksi kulit untuk mencari
tanda/gejala kusta, dilakukan minimal sekali selama kehamilan.
Bila ditemukan kelainan kulit/bercak disertai gangguan saraf
berupa mati rasa/baal, nyeri saraf, tangan/kaki bengkok, kaki
semper atau mata tidak dapat menutup, rujuk ke layanan yang lebih
tinggi (petugas/wasor kusta atau dokter terlatih).

17
14) Tersedia informasi sistem rujukan dan tempat rujukan kasus TB
Paru atau Kusta

h. Pencegahan Kecacingan Dalam Kehamilan (PKDK)


Standar:
Semua wanita hamil harus terlindung dari kecacingan dan akibat yang
ditimbulkannya, baik terhadap ibu maupun bayi yang dilahirkan. Bila
dijumpai anemia yang berat tanpa tanda-tanda lain, perlu adanya
penapisan khusus tentang kecacingan.
Tujuan :
Mencegah kecacingan dan akibat yang ditimbulkannya (anemia) pada
ibu hamil maupun bayi yang dilahirkan
Persyaratan:
1) Adanya kebijakan dan strategi nasional pencegahan kecacingan pada
wanita hamil dan diimplementasikan dengan baik.
2) Ketersediaan pemberi pelayanan antenatal yang kompeten untuk
memberikan penyuluhan/informasi tentang pencegahan, akibat dan
pengendalian kecacingan dalam kehamilan.
3) Terdapat fasilitas yang dibutuhkan untuk penapisan dan intervensi
anemia dan kecacingan pada ibu hamil.
4) Terdapat informasi tentang sistim rujukan dan tempat yang menjadi
rujukan pelayanan kecacingan dalam kehamilan.

i. Manajemen Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi


Standar:
Ibu hamil melakukan kunjungan antenatal minimal 4 kali dengan
mendapatkan pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi sesuai sesuai
dengan karakteristik, kebutuhan dan kemampuan lokal
Tujuan:
Membantu ibu hamil agar dapat tetap sehat selama kehamilan dan dapat
mempersiapkan persalinan dengan optimal sehingga didapatkan keluaran

18
ibu dan bayi yang sehat. Menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal
neonatal yang diakibatkan masalah kesehatan terkait kehamilan.
Persyaratan:
1) Cakupan pelayanan Asuhan Antenatal Dasar (K1dan K4) telah
memenuhi target cakupan.
2) Merupakan wilayah yang berpotensi endemis atau berisiko tinggi
terjadinya masalah kesehatan terkait kehamilan.
3) Tersedia perencanaan, strategi, pedoman, dan kebijakan nasional
maupun lokal terkait program pelayanan Asuhan Antenatal
Terintegrasi yang akan dijalankan.
4) Tersedia fasilitas pendukung layanan Asuhan Antenatal Terintegrasi
sesuai dengan program yang akan dijalankan.
5) Ibu hamil mau dan mampu mengakses tempat pelayanan asuhan
antenatal.
6) Tenaga asuhan antental telah mendapatkan pelatihan dan berkompeten
menyelenggarakan layanan Asuhan Antenatal Terintegrasi sesuai
dengan program yang akan dijalankan.
7) Tersedia informasi sistem dan tempat rujukan untuk masing-masing
kasus dalam program Asuhan Antenatal Terintegrasi yang akan
dijalankan.
8) Tersedia pedoman tentang standar pencegahan infeksi pada fasilitas
asuhan antenatal.
9) Persyaratan khusus mengacu pada masing-masing program Asuhan
Antenatal Terintegrasi yang akan dijalankan.
10) Tersedia catatan medik dan buku register yang disimpan di tempat
pelayanan asuhan antenatal dan buku pemeriksaan kehamilan (buku
KIA) yang dibawa oleh ibu hamil.
11) Sistem pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi mampu mendorong
terciptanya komunikasi 2 arah antara petugas dengan ibu hamil dan
suami, serta keduanya mampu merencanakan/menentukan rujukan dan
tempat rujukan jika menghadapi komplikasi/ kegawatan kehamilan

19
dan persalinan (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi/ P4K).
Pelaksanaan:
1) Setiap ibu hamil melakukan minimal 4 kali kunjungan ke fasilitas
asuhan antenatal dengan jadwal yang dianjurkan sesuai pedoman
nasional.
2) Dalam 4 kali kunjungan, minimal disertai/diantar oleh suami 1 kali
kunjungan.
3) Pada setiap kunjungan ibu hamil minimal mendapatkan pelayanan
”7T” sebagai berikut; Timbang berat badan dan ukur tinggi badan,
ukur Tekanan darah, ukur Tinggi fundus uteri, penapisan status
imunisasi Tetanus Toxoid (TT) dan pemberian bila perlu, pemberian
Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan, Tes laboratorium
sesuai indikasi (Hb, IMS/ISR, Sifilis, HIV/AIDS, TB, Malaria), Temu
wicara/konseling meliputi perencanaan persalinan dan pencegahan
komplikasi (terkait dengan Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi/P4K), perencanaan KB pasca persalinan,
gizi, dan asuhan bayi baru lahir.
4) Pada setiap kunjungan, semua pemeriksaan dan tindakan yang
diberikan harus memenuhi standar pencegahan infeksi (universal
precautions).
5) Pada setiap kunjungan diinformasikan tentang pengawasan kehamilan
yang dapat dilakukan oleh ibu hamil dan tanda kegawatan dimana ibu
hamil harus segera datang untuk memeriksakan diri.
6) Apabila ditemukan ketidak normalan pada kunjungan antenatal
petugas menyampaikan rencana tindak lanjut, kemungkinan untuk
melakukan rujukan (pemeriksaan penunjang; laboratorium atau USG,
konsultasi, perawatan) atau jarak kunjungan berikutnya yang lebih
pendek. Misalkan, jika ditemukan ibu hamil dengan Anemi maka
jadwal kunjungan berikutnya adalah 2 minggu, jika ditemukan
Hipertensi pada kehamilan 8 bulan atau lebih maka kunjungan

20
berikutnya adalah 1 minggu. Kunjungan lebih pendek dari jadwal juga
dilakukan pada ibu hamil dengan Malaria dan HIV positif.
7) Pada kunjungan terakhir diinformasikan tentang tanda-tanda
persalinan dan saran untuk datang tidak lebih dari 2 minggu sebelum
waktu tanggal taksiran persalinan.
8) Pelaksanaan disesuaikan dengan petunjuk pelaksanaan tiap program
dalam Asuhan Antenatal Terintegrasi

B. Konsep Dasar Teori Anemia Ringan dalam Kehamilan


1. Pengertian Anemia dalam kehamilan
Definisi anemia adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin
kurang dari 11 gr/dl pada trimester pertama dan trimester tiga, dan kadar
hemoglobin < 10,5 gr/ dl pada trimester 2. Nilai batas tersebut terjadi
karena proses hemodilusi terutama pada trimester ke-2 (Prawirohardjo,
2007)
Anemia atau kurang darah (KD) adalah keadaan dimana kadar
Hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal (< 12 gr%) yang
mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh, kemampuan dan
konsentrasi belajar, kebugaran tubuh, bisa menghambat tumbuh kembang
dan akan membahayakan kehamilan (Kemenkes RI, 2010)
2. Pengertian Anemia Ringan dalam kehamilan
Menurut Manuaba (2007), anemia ringan adalah dimana kadar
hemoglobin berkisar antara 9-10 gr%.Anemia ringan menurut Shafa
(2010) kadar hemoglobinnya berkisar antara 9-10.9 gr%
Anemia adalah suatu kondisi dimana kadar hemoglobin dalam
darah dibawah batas normal. Di Indonesia, kasus anemia umumnya terjadi
karena kekurangan zat besi dalam darah (Saifuddin, 2006).
3. Penyebab Anemia Pada Ibu Hamil
Penyebab utama anemia pada wanita adalah kurang memadainya
asupan makanan sumber Fe, meningkatnya kebutuhan Fe saat hamil dan
menyusui (kebutuhan fisiologis), dan kehilangan banyak darah saat

21
menstruasi (Manuaba, 2007).
Anemia lebih sering ditemukan dalam kehamilan karena
keperluan akan zat-zat makanan makin bertambah dan terjadi pula
perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang. Volume darah
bertambah banyak dalam kehamilan, yang lazim disebut hidremia atau
hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel- sel darah kurang
dibandingkan dengan plasma, sehingga terjadi pengenceran darah
(hemodilusi). Pertambahan tersebut berbanding sebagai berikut: plasma
30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19%.
Hemodilusi dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologi
dalam kehamilan dan bermanfaat bagi ibu yaitu dapat meringankan beban
kerja jantung yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil, yang
disebabkan oleh peningkatan cardiac output akibat hipervolemia. Kerja
jantung lebih ringan apabila viskositas darah rendah. Resistensi perifer
berkurang pula, sehingga tekanan darah tidak naik. Kedua, pada
perdarahan waktu persalinan, banyaknya unsur besi yang hilang lebih
sedikit dibandingkan dengan apabila darah itu tetap kental.
Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah mulai sejak kehamilan umur
10 minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36
minggu. (Wiknjosastro, 2006).
4. Macam-macam anemia
Menurut Prawirohardjo (2009), ada beberapa macam jenis anemia yang
dapat terjadi, yaitu :
a. Anemia Defisiensi Besi adalah anemia yang paling sering dijumpai
yang disebabkan karena kekurangan unsur zat besi dalam makanan,
karena gangguan absorpsi, kehilangan zat besi yang keluar dari badan
yang menyebabkan perdarahan.
b. Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan oleh defisiensi
asam folat, defisiensi vitamin B12 (kobalamin).
c. Anemia Aplastik adalah anemia aplastik pada kehamilan biasanya
terjadi eksaserbasi anemia aplastik yang telah ada sebelumnya oleh

22
kehmilan dan hanya membaik setelah terminsi kehamilan.
d. Anemia Penyakit Sel Sabit adalah anemia penyakit sel sabit (sickle cell
anemia) biasanya disertai dengan peningkatan insidens pielonefritis, infark
pulmonal, pneumonia, perdarahan antepartum, prematuritas, dan kematian
janin.
5. Klasifikasi Anemia Pada Kehamilan
Ibu hamil dikatakan anemia bila kadar hemoglobin kurang dari
11,0 gr%. Menurut Manuaba (2010), Anemia pada ibu hamil di Indonesia
sangat bervariasi, yaitu:
Tabel 2.3
Klasifikasi Anemia Menurut Kelompok Umur

Anemia (g/dL)
Populasi Non Anemia Ringan Sedang Berat
(g/dL)
Anak 6-59 bulan 11 10.0 - 10.9 7.0 - 9.9 < 7.0
Anak 5-11 tahun 11.5 11.0 - 11.4 8.0 - 10.9 < 8.0
Anak 12-14 tahun 12 11.0 - 11.9 8.0 - 10.9 < 8.0

Perempuan tidak
hamil (≥ 15 tahun) 12 11.0 - 11.9 8.0 - 10.9 < 8.0
Ibu hamil 11 10.0 - 10.9 7.0 - 9.9 < 7.0
Laki-laki ≥ 15 tahun 13 11.0 - 12.9 8.0 - 10.9 < 8.0

(Sumber : WHO, 2011)

6. Tanda dan Gejala Anemia


Suplai oksigen ke jaringan tubuh menyebabkan kadar hemoglobin
dalam darah menjadi berkurang atau menurun sehingga menimbulkan
gejala anemia secara umum, sebagai berikut keletihan mengantuk,
kelemahan, sakit kepala, malaise, pica, nafsu makan kurang (perubahan
dalam kesukan makanan), perubahan mood, perubahan kebiasan tidur
(Varney, 2006).

23
Pada pemerikasaan tanda-tanda anemia dapat meliputi pucat,
ikterus, hipotensi ortostatik, edema perifer, membran mukosa dan bantalan
kuku pucat, lidah halus (papilla tidak menonjol), lidah mengalami lecet,
splenomegali, takikardia atau aliran murmur, takipnea, serta dispnea saat
beraktivitas (Varney, 2006).
7. Pengaruh Anemia pada Kehamilan, Persalinan, Nifas, dan Janin
Anemia sangat berpengaruh terhadap kehamilan, persalinan, nifas,
dan janin. Menurut Manuaba (2009), pengaruh anemia tersebut, yaitu :
a. Bahaya anemia dalam kehamilan seperti : Resiko terjadi abortus,
Persalinan permaturus, Hambatan tumbuh kembang janin dalam Rahim,
Mudah menjadi infeksi, Ancaman dekompensasi kordis (Hb <6 gr %),
Mengancam jiwa dan kehidupan ibu, Mola hidatidosa, Hiperemesis
gravidarum, Perdarahan anterpartum, Ketuban pecah dini (KPD).
b. Bahaya Anemia Dalam Persalinan seperti : Gangguan kekuatan his,
Kala pertama dapat berlangsung lama, dan terjadi partus terlantar, Kala
dua berlangsung lama sehingga dapat melelahkan dan sering
memerlukan tindakan operasi kebidanan. Kala tiga dapat diikuti
retensio placenta dan perdarahan post partum karena atonia uteri. Kala
empat dapat terjadi perdarahan post partum sekunder dan atonia uteri.
c. Bahaya Anemia Dalam Masa Nifas seperti : Perdarahan post partum
karena Atonia uteri dan Involusio uteri memudahkan infeksi
puerperium, Pengeluaran ASI berkurang, Terjadi dekompensasi kordis
mendadak setelah persalinan, Mudah terjadi infeksi mammae, Bahaya
anemia terhadap janin.
d. Bahaya Anemia Pada Janin : Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap
berbagai keutuhan dari ibunya, tetapi dengan anemia akan mengurangi
kemampuan metabolisme tubuh sehingga menggangu pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam rahim. Akibat anemia dapat terjadi gangguan dan
bentuk : Abortus, Terjadi kematian intra uteri, Persalinan prematuritas tinggi,
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), Kelahiran dengan anemia, Dapat terjadi
cacat bawaan, Bayi mudah mendapat infeksi sampai kematian perinatal,

24
Intelengensi rendah, oleh karena kekurangan oksigen dan nutrisi yang
menghambat pertumbuhan janin.
8. Pencegahan Dan Penanganan Anemia
Pencegahan Anemia Untuk menghindari terjadinya anemia
sebaiknya ibu hamil melakukan pemeriksaan sebelum hamil sehingga
dapat diketahui data dasar kesehatan ibu tersebut, dalam pemeriksaan
kesehatan di sertai pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan tinja
sehingga di ketahui adanya infeksi parasit (Manuaba, 2009).
Penanganan pada Anemia sebagai berikut :
a. Memberikan pendidikan kesehatan tentang gizi ibu hamil.
Menganjurkan ibu untuk makan makanan dengan menu seimbang untuk
pertumbuhan janin dan penambahan berat badan ibu.
b. Menganjurkan ibu untuk istirahat yang cukup agar tidak mudah lelah,
yakni dengan pola istirahat 2 jam pada siang hari dan 8 jam pada malam
hari. Ibu sebaiknya tidak melakukan banyak pekerjaan dan menghindari
mengangkat beban yang berat.
c. Memberikan terapi sederhana yaitu sulfa ferous 2x1 dan vitamin B com
1x1. Obat sebaiknya diminum dengan air putih, bukan dengan susu, teh
atau kopi.
d. Menganjurkan ibu untuk melakukan kunjungan ulang (Betty dkk,
2014)
9. Faktor yang Berhubungan dengan Anemia
Besarnya angka kejadian anemia pada trimester I kehamilan adalah
20%, trimester II sebesar 70%, dan trimester III sebesar 70%. Perbedaan
ini terjadi karena zat besi yang dibutuhkan pada trimester pertama
kehamilan masih sedikit karena ibu tidak mengalami menstruasi dan
pertumbuhan janin masih lambat.
Menginjak trimester II hingga III, volume darah dalam tubuh
wanita akan meningkat sampai 35%. Angka ini setara dengan 450 mg zat
besi untuk memproduksi sel-sel darah merah . sel-sel tersebut harus
mengangkut oksigen lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan janin. Pada

25
saat melahirkan, wanita memerlukan tambahan zat besi 300-350 mg untuk
mengimbangi jumlah darah yang hilang. Sampai saat melahirkan, wanita
hamil butuh zat besi sekitar 40 mg per hari atau 2x lipat kebutuhan pada
saat tidak hamil. Faktor resiko anemia pada ibu hamil lainnya, yaitu :
a. Umur
Umur ibu adalah lama waktu hidup atau sejak dilahirkansampai
ibu tersebut hamil. Ada banyak hal yang menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi pada masa kehamilan diantaranya adalah umur
ibu pada saat hamil. Jika umur ibu terlalu muda yaitu usia kurang
dari 20 tahun, secara fisik dan panggul belum berkembang optimal
sehingga dapat mengakibatkan resiko kesakitan dan kematian pada
masa kehamilan, dimana pada usia kurang dari 20 tahun ibu takut
terjadi perubahan pada postur tubuhnya atau takut gemuk. Ibu
cenderung mengurangi makan sehingga asupan gizi termasuk asupan
zat besi kurang yang berakibat bisa terjadi anemia. Sedangkan pada usia
di atas 35 tahun, kondisi kesehatan ibu mulai menurun, fungsi rahim
mulai menurun, serta meningkatkan komplikasi medis pada kehamilan
sampai persalinan (Varney, 2006).
b. Paritas
Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah di alami oleh ibu
baik lahir hidup maupun lahir mati. Paritas 1-3 merupakan paritas I
paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal paritas I dan paritas
tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian lebih tinggi. Resiko
pada paritas 1 dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga
berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak
direncanakan
(Prawirohardjo, 2009).
Setelah kehamilan yang ketiga resiko Anemia (kurang darah)
meningkat. Hal disebabkan karena pada kehamilan yang berulang
menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah dan dinding uterus yang
biasanya mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin (Prawirohardjo,

26
2009).
c. Status Gizi Ibu Hamil
Anemia merupakan salah satu masalah utama penyebab angka
kematian ibu di Indonesia dan sering terjadi pada ibu hamil. Biasanya
Anemia ditemukan pada wanita hamil yang jarang mengkonsumsi
sayuran segar, khususnya jenis daun- daunan hijau yang mentah
ataupun makanan yang kandungan protein hewani.
Status gizi dinilai berdasarkan perhitungan Antropometri WHO
NCHS (National Center Of Health Statistic), yaitu pengukuran dan
berbagai dimensi fisik tubuh seperti berat badan terhadap umur (BB/U),
tinggi badan terhadap umur (TB/U) dan berat badan terhadap tinggi
badan (BB/TB) dan dikelompokkan. Menurut klasifikasi Departemen
Kesehatan Indonesia menjadi gizi buruk (BB/U < 60 %), gizi kurang
(BB/U 60-80%) dan gizi lebih (BB/U > 110%).
Ibu hamil memerlukan jumlah zat gizi yang relatif besar. Hal ini
berkaitan dengan pertumbuhan janin di dalam kandungan. Peningkatan
kebutuhan zat gizi ini terutama berupa vitamin B1, (Thiamin), Vitamin
E2 (Riboflapin), Vitamin A, D dan Mineral, dan Fe (Prawirohardjo,
2009).
C. Pengertian Ketidaknyamanan
Ketidaknyamanan merupakann suatu perasaan yang kurang ataupun
yang tidak menyenangkan bagi kondisi fisik ataupun mental pada ibu hamil.
Kehamilan merupakan proses alamiah pada wanita yang akan menimbulkan
berbagai perubahan dan menyebabkan rasa tidak nyaman, hal ini merupakan
kondisi yang normal pada wanita hamil. Beberapa ibu biasanya mengeluh
mengenai hal-hal yang membuat kehamilanya tidak nyaman dan kadang
menyulitkan ibu (Hidayat, 2008: 120).
Ketidaknyamanan Yang Dialami Oleh Ibu Hamil Pada Trimester II
1. Pusing
Pusing merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan oleh
banyak ibu hamil. Yang menyebabkan kondisi ini bisa terjadi pada ibu

27
hamil adalah karena tekanan darah menurun pada masa kehamilan
akibat hormon progresteron yang melemaskan dan melebarkan dinding
pembuluh darah, sehingga membuat ibu sakit kepala. Jika ibu mengalami
masalah ini, segera beristirahat dengan berbaring menghadap ke kiri untuk
memulihkan tekanan darah. Ketika ingin bangun dari posisi duduk atau
berbaring, lakukanlah secara perlahan-lahan. Ibu juga disarankan untuk
memperbanyak minum air putih (Irianti, 2013).
2. Sering buang air kecil
Seiring bertambahnya usia kehamilan, massa uterus akan
bertambah dan ukuran uterus akan mengalami peningkatan, sehingga
uterus membesar ke arah pintu atas panggul menuju rongga abdomen.
Perubahan tersebut menyebabkan tertekannya kandung kemih yang
terletak tepat di depan uterus. Tertekannya kandung kemih oleh volume
uterus yang semakin bertambah menyebabkan kapasitas kandung kemih
berkurang, akibatnya daya tampung kandung kemih berkurang. hal
tersebut memicu meningkatnya frekuensi kencing kehamilan trimester II
(Irianti, 2013).
3. Nyeri perut bagian bawah
Nyeri perut bagian bawah biasa dikeluahn 10%-30% ibu hamil
pada akhir trimester I atau ketika memasuki trimester II. Keluhan ini biasa
terasa lebih pada ibu multigavida disebabkan karena tertariknya
ligamentum, sehingga menimbulkan nyeri seperti kram ringan dan atau
terasa seperti tusukan yang akan lebih terasa akibat gerakan tiba – tiba, di
bagian perut bawah. Nyeri perut bawah disebabkan oleh semakin
membesarnya uterus sehingga keluar dari rongga panggul menuju rongga
abdomen. Keadaan ini berakibat pada tertariknya ligamen – ligamen
uterus seiring dengan pembesaran yang terjadi yang menimbulkan rasa
tidak nyaman dibagian perut bawah (Irianti, 2013).
4. Konstipasi
Pada keadaan tidak hamil,kadar hormon progesteron wanita kurang
dari 1ng/ml, dan akan mengalami peningkatan fase ovulasi yaitu menjadi

28
5- 20ng/ml. Pada saat kehamilan, kadar progesteron mengalami
peningkatan, yaitu pada trisemer II menjadi 19,5-82,5 ng/ml atau 62-
262nmol/L. Hal ini menyebabkan kerja otot-otot polos semakin melambat.
Tak heran keluhan konstipasi sering menjadi permasalahan ibu selama
kehamilan. (Chernecky, 2008)
5. Flek kehitaman pada wajah
Perubahan kulit yang terjadi selama kehamilan merupakan efek
dari ketidakseimbangan hormon selama kehamilan, yang mempengaruhi
perubahan pada kulit dan dialami oleh 90% wanita selama kehamilan. Hal
ini tidak menimbulkan efek yang berkenaan dengan estetika wanita,
sehingga mempengaruhi psikologis seorang ibu. Keluhan yang sering
dialami oleh wanita hamil yaitu timbulnya strecth mark dan
hiperpigmentasi pada kulit.
Sikatrik atau strecth mark – striae merupakan garis terang atau
gelap kemerahan yang biasa timbul pada bagian payudara, perut, bokong
dan betis pada waktu kehamilan. Pada multigravida, striae kemerahan
tersebut sering disertai garis – garis putih semua keperakan yang
mencerminkan striae lama (striae pada kehamilan sebelumnya). strecht
mark atau striae gravidarum diakibatkan oleh hiperdistensi yang terjadi
pada jaringan kulit akibat peningkatan ukuran maternal yang menyebabkan
peregangan pada lapisan kolagen kulit, terutama pada payudara, abdomen
dan paha. Etiologi pasti strecth mark belum diketahui, akan tetapi diduga
akibat pengaruh kombinasi hormon esterogen, adrenocorticoid, dan relaxin
yang mengubah kolagen dan elastisitas jaringan. (Hellen dkk, 2008)
6. Penambahan berat badan
Penambahan berat badan merupakan suatu hal yang menjadi bagian
pada proses kahamilan, dimana hal ini menggambarkan keadaan suatu
kehamilaan seseorang. Penambahan berat pada kehamilan harus dipantau
dengan baik, hal ini menjadi salah satu indikator kaeadaan kehamilan.
Berat badan yang mengalami penambahan secara signifikan dapat menjadi
tanda terjadinya gangguan gestasional(preeklamsia). Sedangkan ibu

29
dengan berat badan yang tidak mengalami peningkatan selama kehamilan
dapat menjadi faktor penyebab terjadinya pertumbuhan janin terhambat
akibat gangguan pada ibu. Gangguan tersebut dapat dikarenakan penyakit
yang menyertai ibu sebelum kehamilan. (James dkk,2006).
7. Pergerakan janin
Gerakan janin normal, yaitu dengan frekuensi 4 hingga 10 gerakan
selama 2 jam. Baik dihitung pada awal pagi(perkiraan pukul 6-8 pagi),
pagi hari (antara pukul 8-12)siang hari(antara 12-18)dan malam hari
termasuk waktu tidur (pukul 20-00), dengan mengikuti ritme aktifitas
janin.(Winje dkk,2012).
Pergerakan janin merupakan salah satu tanda yang menjadi
petunjuk keadaan janin. Jika terjadi gerakan janin yang melambat atau
lebih cepat, dapat menjadi penanda bahwa kebutuhan janin tidak terpenuhi
secara adekuat atau janin dalam keadaan yang tidak baik. Saat ibu
merasakan gerakan janin

30

Anda mungkin juga menyukai