Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran Konvensional
Seorang guru dituntut untuk menguasa berbagai model-model pembelajaran, di mana melalui
model pembelajaran yang digunakannya akan dapat memberikan nilai tambah bagi anak
didiknya. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya dari proses pembelajarannya adalah hasil
belajar yang optimal atau maksimal.
Namun, salah satu model pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak digunakan
oleh guru adalah model pembelajaran konvensional. Model ini sebenarnya sudah tidak layak
lagi kita gunakan sepenuhnya dalam suatu proses pengajaran, dan perlu diubah. Tapi untuk
mengubah model pembelajaran ini sangat susah bagi guru, karena guru harus memiliki
kemampuan dan keterampilan menggunakan model pembelajaran lainnya.
Memang, model pembelajaran kovensional ini tidak serta merta kita tinggal, dan guru mesti
melakukan model konvensional pada setiap pertemuan, setidak-tidak pada awal proses
pembelajaran di lakukan. Atau awal pertama kita memberikan kepada anak didik sebelum
kita menggunakan model pembelajaran yang akan kita gunakan. Menurut Djamarah (1996)
metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga
dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat
komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran.
Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi
dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan.
Selanjutnya menurut Roestiyah N.K. (1998) cara mengajar yang paling tradisional dan telah
lama dijalankan dalam sejarah Pendidikan ialah cara mengajar dengan ceramah. Sejak duhulu
guru dalam usaha menularkan pengetahuannya pada siswa, ialah secara lisan atau ceramah.
Pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh
para guru. Bahwa, pembelajaran konvensional (tradisional) pada umumnya memiliki
kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hapalan daripada pengertian, menekankan
kepada keterampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses, dan pengajaran
berpusat pada guru.
Metode mengajar yang lebih banyak digunakan guru dalam pembelajaran konvensional
adalah metode ekspositori. Menurut Ruseffendi (1991) metode ekspositori ini sama dengan
cara mengajar yang biasa (tradisional) kita pakai- pada pengajaran matematika”. Kegiatan
selanjutnya guru memberikan contoh soal dan penyelesaiannya, kemudian memberi soal-soal
latihan, dan siswa disuruh mengerjakannya.
Jadi kegiatan guru yang utama adalah menerangkan dan siswa mendengarkan atau mencatat
apa yang disampaikan guru. Subiyanto (1988) menjelaskan bahwa, kelas dengan
pembelajaran secara biasa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : pembelajaran secara klasikal,
para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu.
Guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada buku teks atau LKS, dengan
mengutamakan metode ceramah dan kadang-kadang tanya jawab. Tes atau evaluasi yang
1
bersifat sumatif dengan maksud untuk mengetahui perkembangan jarang dilakukan. Siswa
harus mengikuti cara belajar yang dipilih oleh guru, dengan patuh mempelajari urutan yang
ditetapkan guru, dan kurang sekali mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapat.
Banyak kita temukan di lapangan bahwa selama ini pembelajaran matematika didominasi
oleh guru melalui metode ceramah dan ekspositorinya.
Disamping itu, menurutnya guru jarang mengajar siswa untuk menganalisa secara mendalam
tentang suatu konsep dan jarang mendorong siswa untuk menggunakan penalaran logis yang
lebih tinggi seperti kemampuan membuktikan atau memperlihatkan suatu konsep. Hal senada
ditemukan oleh Marpaung (2001) bahwa dalam pembelajaran matematika selama ini siswa
hampir tidak pernah dituntut untuk mencoba strategi dan cara (alternatif) sendiri dalam
memecahkan masalah.
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
pembelajaran matematika secara biasa adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang selama
ini kebanyakan dilakukan oleh guru dimana guru mengajar secara klasikal yang di dalamnya
aktivitas guru mendominasi kelas dengan metode ekspositori, dan siswa hanya menerima saja
apa-apa yang disampaikan oleh guru, begitupun aktivitas siswa untuk menyampaikan
pendapat sangat kurang, sehingga siswa menjadi pasif dalam belajar, dan belajar siswa
kurang bermakna karena lebih banyak hapalan.
Oleh sebab itulah kiranya diharapkan sangat kepada guru untuk selalu mengikuti berbagai
seminar, lokakarya, semiloka, dan diklat, yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan,
terutama berkenaan dengan proses pengajaran dan pembelajaran. Sehingga kita memperoleh
berbagai pengetahuan dan keterampilan, dan merubah cara pengajaran dan pembelajaran kita
selama ini. Semoga.***
http://xpresiriau.com/artikel-tulisan-pendidikan/pembelajaran-konvensional/
Kooperatif adalah suatu gambaran kerjasama antara individu yang satu dengan
lainnya dalam suatu ikatan tertentu. Ikatan–ikatan tersebut yang menyebabkan antara
satu dengan yang lainnya merasa berada dalam satu tempat dengan tujuan–tujuan
yang secara bersama–sama diharapkan oleh setiap orang yang berada dalam ikatan itu.
Pemikiran tersebut hanya merupakan suatu gambaran sederhana apa yang tersirat
tentang kooperatif.
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang berlandaskan
konstruktivis. Konstruktivisme dalam pembelajaran kooperatif adalah bahwa siswa
mampu menemukan dan memahami konsep–konsep sulit jika mereka saling
mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Di dalam model pembelajaran
2
tersebut pada aspek masyarakat belajar diharapkan bahwa setiap individu dalam
kelompok harus berperan agar tujuan yang telah digariskan dapat tercapai.
Unsur–unsur dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut.
1. Siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama“.
2. Siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam kelompok disamping
tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dalam mempelajari materi yang
dihadapi.
3. Siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan yang sama.
4. Siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggungjawab sama besarnya di antara
para anggota kelompok.
5. Siswa akan diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berperan
terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
6. Siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan
bekerjasama selama belajar.
7. Siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang
ditangani dalam kelompok kooperatif.
Model pembelajaran kooperatif yang kita gunakan merupakan hal baru bagi guru dan
siswa karena memiliki perbedaaan–perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan
model pembelajaran selama ini, di mana peranan guru sangat dominan.
Hasil–hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik–teknik pembelajaran kooperatif
lebih banyak meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional
3
8. Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal
(hubungan antar pribadi yang saling menghargai)
4
dikerjakan, menjelaskan pada teman sekelas dan menghubungkan dengan pelajaran
yang terakhir dipelajari.
3. Pertanggungjawaban individu
Tujuan kelompok dalam pembelajaran kooperatif adalah agar masing-masing anggota
menjadi lebih kuat pengetahuannya. Siswa belajar bersama sehingga setelah itu mereka
dapat melakukan yang lebih baik sebagai individu. Untuk memastikan bahwa masing-
masing anggota lebih kuat, siswa harus membuat pertanggungjawaban secara individu
terhadap tugas yang menjadi bagiannya dalam bekerja. Pertanggungjawaban individu
akan terlaksana jika perbuatan masing-masing individu dinilai dan hasilnya
diberitahukan pada individu dan kelompok.
Pertanggungjawaban individu berguna bagi setiap anggota kelompok untuk
mengetahui:
a. siapa yang memerlukan lebih banyak bantuan, dukungan dan dorongan semangat
dalam melengkapi tugas,
b. bahwa mereka tidak hanya “membonceng” pada pekerjaan teman.
4. Interpersonal dan kemampuan grup kecil
Dalam pembelajaran kooperatif, selain materi pelajaran (tugas kerja) siswa juga harus
belajar tentang kerja kelompok. Nilai lebih pembelajaran kooperatif adalah siswa
belajar tentang keterampilan sosial. Penempatan sosial bagi individu yang tidak
terlatih, walaupun disertai penjelasan bagaimana mereka harus bekerjasama tidak
menjamin bahwa mereka akan bekerja secara efektif. Agar tercapai kualitas kerjasama
yang tinggi setiap anggota kelompok harus mempelajari keterampilan sosial.
Kepemimpinan, membuat keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi dan
keahlian menggelola konflik juga harus dipelajari seperti halnya tujuan mereka
mempelajari materi pelajaran.
5. Pengelolaan kelompok
Pengelolaan kelompok akan berhasil jika setiap anggota kelompok mendiskusikan
bagaimana mereka mencapai tujuan dan bagaimana mempertahankan hubungan kerja
secara efektif. Kelompok perlu menggambarkan tindakan-tindakan apa yang akan
membantu atau tidak akan membantu, selanjutnya membuat keputusan mengenai
tingkah laku yang harus dilanjutkan atau diganti. (dari berbagai Sumber)
http://massofa.wordpress.com/2008/09/12/perbedaan-pembelajaran-kooperatif-dan-
pembelajaran-konvensional/
5
6.Peserta didik tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan
merugikan.
http://www.idonbiu.com/2009/05/perbedaan-pembelajaran-kontekstual-dan.html