BAHASA INDONESIA
NIM : 191810087
KELAS : PS1SP
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT yang mana atas
berkat dan pertolongan-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Terimakasih juga saya ucapkan kepada dosen pembimbing Muhammad azhari,
M.Pd. yang turut membimbing kami sehingga bisa menyelesaikan makalah ini
sesuai waktu yang telah di tentukan. Terimakasih juga kepada teman-teman yang
turut andil dalam terselesainya makalah ini.
Sholawat serta salam senantiasa saya haturkan kepada suri tauladan kita
Nabi Muhammad SAW yang selalu kita harapkan syafa’atnya di hari kiamat
nanti.
Makalah ini saya buat dalam rangka untuk memperdalam pengetahuan dan
pemahaman mengenai fungsi dan peranan bahasa indonesia dalam bidang ilmu
psikologi . Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah bahasa
indonesia.
Dengan segala keterbatasan yang ada penulis telah berusaha dengan segala
daya dan upaya guna menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwasanya
makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk menyempurnakan
makalah ini. Atas kritik dan sarannya kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-
banyaknya.
Penulis
DAFTAR ISI
Bab II
Pembahasan...............................................................................................................
2.1. Sinopsis Cerpen Perempuan Sinting Di Dapur............................................
2.2. Tokoh Dan Penokohan.................................................................................
2.3. Hubungan Tokoh Dan Penokohan Dalam Psikologi Sastra.........................
Bab III
Penutup.......................................................................................................................
3.1. Kesimpulan............................................................................................
Daftar Pustaka ..............................................................................................
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia analisis psikologi sastra pada umumnya lebih lambat
perkembangannya dibandingkan dengan sosiologi sastra. Beberapa indikator
penyebabnya antaralain (1) psikologi sastra seolah-olah hanya berkaitan dengan
manusia sebagai individu. Kurang memberikan pengaruh sehingga analisis
dianggap sempit. (2) dikaitkan dengan tradisi intelektual teori psikologi sangat
terbatas. Sehingga para sarjana sastra kurang memiliki pemahaman terhadap
bidang psikologi sastra ( Ratna. 2010: 341).
Terkait dengan hal diatas karya sastra itu sendiri sebenarnya mengandung
aspek-aspek kejiwaan yang kaya. Yang perlu dikembangkan secara lebih serius.
Untuk itu seorang calon sarjana bahkan seorang sarjana harus mengerti tata cara
yang harus dilakukan dalam memahami hubungannya sastra dengan psikologi.
Dalam tulisan ini kami akan mengupas tentang hal tersebut dalam makalah yang
berjudul “ Analisis Psikologi Karya Sastra pada Cerpen Perempuan Sinting
Didapur”.
Sesuai dengan hakikatnya pada dasarnya karya sastra memberikan
pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman
terhadap tokoh-tokohnya. Misalnya masyarakat dapat memahami perubahan
kontradiksi. Dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam
masyarakat. Khususnya dalam kaitannya dengan kejiwaan (Ratna.2010: 342).
Kaitannya dengan hal tersebut analisis tokoh-tokoh inilah yang menjadi
konsentrasi dalam analisis psikologi sastra.
Dalam memahami aspek kejiwaan dalam sastra sebenarnya dapat
dilakukan melalui cara berikut (1) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang
sebagai penulis. (2) memahami unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksi dalam karya
sastra. (3) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca (Ratna. 2010: 343). Dalam
makalah ini, kami hanya mengupas point (2) sebagai fokus pembahasan, hal ini
mengingat kedalam analisis apabila semua unsur dikupas. Disamping itu juga
mengingat keterbatasan referensi dan pengalaman kami.
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mendeskripsikan sinopsis cerpen perempuan sinting di dapur kayra
urugan Prasad.
1.3.2 Untuk mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam cerpen perempuan
sinting di dapur.
1.3.3 Untuk mendeskripkan hubungan antara tokoh dan penokohan dalam
psikologi sastra dalam cerpen Perempuan Sinting di Dapur.
BAB II
PEMBAHASAN
Wak Haji Mail seorang tokoh terpandang di kampungnya yang saat itu
sedang sakaratul maut, mengakibatkan rumahnya berdesakan dengan empat belas
orang anaknya dan cucu-cucunya yang mengantri pembagian harta waris yang tak
kan pernah adil. Wak misnah istri pertama dari Wak Haji Mail yang selalu setia di
sisi Wak Haji Mail marah dan menenangkan keadaan. Wak Haji Mail
menginginkan agar tahlilan kematiannya di masakkan oleh Mak Saodah,
seseorang yang dicintainya dimana suami Mak Saodah ini difitnah oleh Wak Haji
Mail hingga mati tanpa harga diri.Cinta yang bertepuk sebelah tangan itu sama
dengan tokoh aku yang mencintai Aminah anak dari Mak Saodah walaupun tokoh
aku sudah beristri.
Ketika Wak Haji Mail sudah tiada, subuh hari Mak Saodah melaksanakan
pesan terakhir dari Wak Haji Mail, yaitu memasakkan orang yang akan
bertahlilan. Sudah bukan hal aneh lagi jika sedang memasak tak ada satu orang
pun yang boleh membantu, seperti juga pada saat itu ketika Aminah ingin
membantunya. Diam-diam Aminah dan tokoh aku mengintip kegiatan memasak
mak saodah. Betapa terkejutnya mereka ketika tahu apa yang dilakukan Mak
Saodah di dapur. Mak Saodah berkali-kali meludahi panci dan jugaa mengencingi
panci berisi masakan itu.
2.2.2 Penokohan
1) Tokoh “Aku” dalam cerpen ini merupakan seorang lelaki yang penurut
dan masih memendam cinta pada Aminah (putri sulung Mak Saodah) yang masih
terikat persaudaraan padahal dia sudah beristri. Seperti dalam kutipan berikut:
”Kau dengar?” tanya bibiku setengah membentak. Aku diam sebentar. Di
depanku, Wak Haji terbaring seperti sepotong kayu. Lamat-lamat, di antara
nafasnya yang berat, bisa kudengar suaranya, rendah dan kesakitan. Ke arah
Wak Misnah, aku mengangguk.
”Panggilkan dia.” Suara bibiku agak goyah, mengejutkanku. Apa yang
dicemaskannya?
Tokoh aku sangat mencintai Aminah terlihat dalam kutipan berikut.
Kupaksakan menatap matanya, berusaha keras tak menyerah pada
kecantikannya. Dulu, aku gagal, lalu menundukkan kepala, melangkah pulang
dengan gontai, menikahi sepupu yang sudah lama dijodohkan untukku supaya
lupa, tapi malah mendapati, sepanjang akad nikah, wajahnya menghantuiku. Kini
aku bersumpah, dalam hati, tak lagi.
2) Tokoh Wak Haji Mail merupakan pria tua terpandang di kampungnya
yang memiliki 14 anak dari tiga istrinya. Diceritakan dalam cerpen ini Wak Haji
Mail sedang menjelang ajalnya. Wak haji mail juga mengamalkan ilmu golok
dalam perkara sedekah. Bagi Wak Misnah, Haji Mail adalah sosok suami yang
kikir, sedangkan menurut tokoh Aku berbanding terbalik dengan pernyataan Wak
Misnah. Haji Mail memfitnah ayah Aminah suami Mak Saodah. Terlihat dalam
kutipan-kutipan berikut.
Dua minggu setelah rumah sakit menyerah dan mengembalikannya ke
rumah, Wak Haji Mail belum juga dijemput Izrail. Keempat belas anak dari tiga
pernikahannya semakin sulit meredam cemas, silih berganti berjaga di luar
kamar, siap untuk memberontak dari pembagian harta waris yang tak adil. Tak
mungkin adil.
Sekalipun Wak Haji Mail mengamalkan ilmu golok dalam perkara
sedekah, semua orang kampung tahu kalau Mak Saodah seperti selalu
menyimpan obat kikir di sayur dan lauk masakannya. Tak cukup mendirikan
kakus dengan tangki septik, Wak Haji Mail mengirim orang untuk membangun
lapak setengah permanen, menyemen lantai bagian depan rumah Mak Saodah,
memasangkan listrik, dan menyekolahkan kelima anak Mak Saodah sampai SMA.
Terakhir ia menghibahkan kulkas bekas istri keduanya supaya Mak Saodah bisa
bikin sendiri es batu dan es lilin.
Wak Misnah rajin memperbaiki kekacauanku. Ia menyampaikan ulang
ceritaku di telinga si kikir dengan lantang, sebagaimana yang selalu
dilakukannya 10 tahun terakhir.
Haji Mail berdosa pada Mak Saodah. Suaminya, ayah Aminah, difitnah
murtad, syirik, musyrik, kafir, diasingkan orang sekampung seperti penderita
kusta, dibiarkan mati tanpa harga diri.
3) Tokoh Wak Misnah bibi dari tokoh aku juga istri pertama Wak Haji
Mail yang suka membentak atau tempramen. Tetapi dia sabar karena meskipun
suaminya (Wak Haji Mail) poligami. Dia juga benci pada Mak Saodah karena
selain pada dua istrinya yang lain, Haji Mail juga cinta pada Mak Saodah. Terlihat
di kutipan-kutipan berikut.
… Wak Misnah naik pitam. Empat belas anak, beserta cucu-cucu, tentulah
membuat keadaan bisa cepat berubah menjadi pasar malam. Itulah saatnya Wak
Misnah, istri pertama Haji Mail, mengusir semua orang dan memanggilku masuk.
”Apa kata si Saodah?” tanyanya, setengah membentak. Pertanyaan ini tak sedikit
pun terasa janggal di mulutnya, padahal setengah jam yang lalu jawabannya
sudah ia terima.
4) Tokoh Mak Saodah perempuan yang dicintai Wak Haji Mail berbadan
tinggi besar, dan jalannya agak gontai. Dia pandai memasak sehingga orang-orang
kampung mengenali masakannya, tetapi dia juga sosok yang galak, keras, dan
misterius terutama masalah resep masakannya sehingga orang-orang kampung
menjulukinya Nenek Sihir Hutan Larangan karena bila malam tiba dia suka
menggerai rambutnya yang panjang dan membuat sosoknya semakin mengerikan.
Dia sedih ketika tokoh Aku meminta Mak Saodah untuk datang karena Haji Mail
sedang meregang nyawa. Ketika memasak dia meludahi masakan yang disiapkan
untuk orang kampung yang menghadiri tahlilan Wak Haji Mail. Seperti kutipan-
kutipan berikut ini:
Wak Haji Mail mengamalkan ilmu golok dalam perkara sedekah, semua
orang kampung tahu kalau Mak Saodah seperti selalu menyimpan obat kikir di
sayur dan lauk masakannya. Tak cukup mendirikan kakus dengan tangki septik,
Wak Haji Mail mengirim orang untuk membangun lapak setengah permanen,
menyemen lantai bagian depan rumah Mak Saodah, memasangkan listrik, dan
menyekolahkan kelima anak Mak Saodah sampai SMA. Terakhir ia
menghibahkan kulkas bekas istri keduanya supaya Mak Saodah bisa bikin sendiri
es batu dan es lilin.
Mak Saodah tak mau datang karena tak bisa menerima orang yang begitu
berjasa dalam hidupnya sedang menjelang ajal. Ia tak mau terlihat begitu sedih.
Tak mau menambah parah kesedihan yang ditanggung keluarga Haji Mail.
Semua orang tahu betapa keras Mak Saodah. Keras menghadapi
pelanggannya, keras menjaga rahasia dapurnya. Bertahun-tahun membuka
warung makan di kampung itu, tak membuatnya pandai beramah tamah. Para
pelanggan memanggilnya Mak Galak, tetap kembali ke warungnya semata-mata
karena kelezatan masakannya sulit disaingi. Aku mengenalnya hampir seumur
hidupku dan tak pernah sekali pun kulihat ia tersenyum. Tidak juga kepada Haji
Mail atau orang-orang terpandang di kampung ini. Bocah-bocah kampung kami
menjulukinya Nenek Sihir Hutan Larangan karena bila malam datang ia selalu
menggerai rambutnya yang panjang dan membuat sosoknya semakin mengerikan.
…Dengan sebelah mata bisa kulihat, Mak Saodah sedang bekerja, memotong-
motong bahan masakan, menyiapkan tungku, memasukkan bumbu-bumbu ke
dalam panci. Butuh beberapa detik untukku menemukan apa yang ganjil dari
semua ini. Mak Saodah terus-menerus meludahi bahan-bahan masakan yang
sedang dikerjakannya
Mak Saodah sedang mengangkat kainnya tinggi-tinggi, melewati lutut,
lalu berdiri setengah jongkok mengangkangi salah satu panci yang isinya mulai
mendidih. Raut wajahnya, gabungan yang ganjil antara mengejan dan kebencian,
mengerikan. Sedetik kemudian, dari tempatnya berdiri, kudengar suara desing
yang akrab dan gemericik air jatuh ke panci. Mak Saodah meludah lagi ke panci,
sekali.Desing dan gemericik itu belum selesai ketika mata Mak Saodah menusuk
tajam, menatapku.
5) Tokoh Aminah putri sulung dari Mak Saodah. Dia cantik, dan
merupakan gadis idaman tokoh “Aku”. Aminah adalah sosok anak yang penurut,
Aminah juga yang memberitahu “Aku” bahwa Mak Saodah melakukan hal ganjil
ketika memasak. Terdapat pada kutipan :
Di depanku Mak Saodah masih tak bergerak. Matanya mulai berkaca-
kaca dan sempat kukira ia terharu. Aminah, putri sulungnya
Semenjak tiba dari luar negeri, minggu lalu, baru kali ini kulihat dia. Aminah
semakin cantik.
Aku duduk diam dan berusaha memecahkan kebingunganku. Lama.
Sepuluh menit kemudian, Aminah sepertinya mulai kasihan pada wajahku yang
merot-perot karena tak paham. Ia memanggilku mendekat. Aku datang dengan
sigap, tapi ia cepat menempelkan jari telunjuk di mulutnya, matanya membeliak
nakal mengancam. Aku memperhalus langkahku, mendekatinya tanpa suara. Ia
membungkuk di dekat tirai dapur, aku mengikutinya. Sesaat kuingat, kami berdua
sebagai bocah berumur delapan tahun, 20 tahun yang lalu, berjingkat mengintip
Mak Saodah. Dulu, jauh sebelum mencapai tirai dapur Mak Saodah sudah
membentak kami. Kini suara bentakan itu tak kunjung datang. Aku menunduk di
belakang Aminah. Kami sangat dekat, aku bisa melihat tengkuk di bawah gelung
rambutnya, mencium wangi tubuhnya, rambutnya. Lehernya, siap
menenggelamkanku. Aku agak mabuk, tak percaya. Sesaat bahkan kegirangan
meluap-luap dan jantungku berdebar. Jari-jari Aminah yang cantik menyibak
tirai dapur
Kecemasan adalah hasil dari konflik bawah sadar merupakan akibat dari
konflik antara pulsi Id (Umumnya seksual dan agresif) dan pertahanan dari ego
dan superego. Kebanyakan dari pulsi tersebut mengancam individu yang
disebabkan oleh pertentangan nilai-nilai personal atau berseberangan dengan
nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Sosok pemilik rumah makan yang ramah –
tamah , penuh senyum, akrab dengan pengunjung, jauh berbeda dengan Mak
Saodah yang dianggap bertentangan dengan nilai masyarakat.
“Bertahun-tahun membuka warung makan di kampung itu, tak
membuatnya pandai beramah-tamah. Para pelanggan memanggilnya Mak Galak,
tetap kembali ke warungnya semata-mata karena kelezatan masakannya sulit
disaingi. Aku mengenalnya hampir seumur hidupku dan tak pernah sekali pun
kulihat ia tersenyum.”
Sublimasai terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial
menggantikan perasaan tidak nyaman. Sublimasi sesungguhnya suatu bentuk
pengalihan. Dalam hal ini, aktivitas memasak di dapur adalah bentuk pengalihan
rasa kemarahan Mak Saodah, dan agar diterima secara sosial, digunakanlah cara
berdagang. Seperti pada narasi berikut.
Berdehem-dehem tak pantas, kuputuskan untuk membuka percakapan. “
Kudengar kau suruh makmu berhenti dagang Minah?”
Aminah menatapku, tampak senang dengan pertanyaanku, lalu mengangguk.”Ya,
tetapi Mak enggak mau.”
“Kenapa?”
“Mak bilang, berdagang itu alasannya hidup.”
“Berdagang?”
Bukan, Bukan berdagangnya. Memasak untuk orang kampung. Ya itu yang
menyelamatkannya,”. Sorot matanya sempat nyalang ketika dia bergumam, “Itu
menyelamatkanku.”
Dalam teori kepribadian, mekanisme pertahanan merupakan karakteristik
yang cenderung kuat dalam diri setiap orang. Kegagalan mekanisme pertahanan
memenuhi fungsi pertahanannya bisa berakibat pada kelainan mental. Kualitas
kelainan mental tersebut dapat mencerminkan mekanisme pertahanan
karakteristik. Kelainan mental atas apa yang dialami Mak Saodah diperkuat
dengan narasi dibawah ini, ditambah perasan dikecewakan lingkungan sosialnya,
kehilangan suami yang dicintai, harus menjadi seorang ibu yang membesarkan
kelima anaknya sendirian. Maka reaksi mekanisme pertahanannya terhadap
lingkungannya sebagai berikut.
“Mak Saodah penuh kekuatan. Sampai di dapur, sempat ia sibakkan tirai,
menutupi pintu. Bayangannya tampak besar di tirai itu.”
Bekerja seorang diri untuk memenuhi permintaan almarhum Wak Haji, Mak
Saodah harus bergegas menyiapkan masakan untuk ratusan orang yang akan
bertahlil malam nanti.“
“Dengan sebelah mata bisa kulihat, Mak saodah sedang bekerja,
memotong – motong bahan masakan, menyiapkan tungku, memasukkan bumbu-
bumbu ke dalam panci, butuh beberapa detik untukku menemukan apa yang ganjil
dari semua ini. Mak Saodah terus-menerus meludahi bahan-bahan masakan yang
sedang dikerjakannya.”
“Mak Saodah sedang mengangkat kainnya tinggi – tinggi, melewati lutut,
lalu berdiri setengah jongkok mengangkangi salah satu panci yang isinya mulai
mendidih. Raut wajahnya, gabungan yang ganjil antara mengejan dan kebencian,
mengerikan. Sedetik kemudian, dari tempatnya berdiri, kudengar suara desing
yang akrab dan gemericik air jatuh ke panci.”
Sedangkan kelanjutan hubungan antara Aku dan Aminah tidak dijelaskan
di akhir cerita, hanya dalam kondisi kedua orang itu tegang saat sedang mengintip
Mak Saodah di dekat tirai dapur, perasaannya pada Aminah tidak bisa dibohongi
bahwa dia masih sempat berfantasi. Dalam psikologi sastra, saat kita menghadapi
masalah yang demikian bertumpuk, kadang kala kita mencari ‘solusi’ dengan
masuk ke dunia khayal, solusi yang berdasarkan fantasi ketimbang realitas.
Berikut ini adalah narasi fantasi dari Aku.
“Aku menunduk di belakang Aminah. Kami sangat dekat, aku bisa melihat
tengkuk di bawah gelung rambutnya, mencium wangi tubuhnya, rambutnya.
Lehernya, siap menenggelamkanku. Aku agak mabuk tak percaya. Sesaat bahkan
kegirangan meluap-luap dan jantungku berdebar. Jari – jari Aminah yang cantik
menyibak tirai dapur.”
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada analisis psikologi sastra cerpen Perempuan Sinting di Dapur karya Ugoran
Prasad ini membahas teori – teori psikologi Sigmund Freud dalam masing –
masing tokoh cerita ini, terutama hubungan Wak Haji Ismail dan Mak Saodah.
Juga tokoh Aku dengan Minah, tokoh Aku disini sebagai penyampai amanat
terakhir Wak Haji pada Mak Saodah. Namun, ada adegan yang terasa ganjil dan
saling berkontradiksi. Di salah satu adegan, dimana Mak Saodah diceritakan
meraung ketika si Aku menyampaikan amanat Wak Haji Ismail. Tetapi di adegan
lain Mak Saodah disebutkan mendengar permintaan almarhum dengan tenang lalu
kemudian berjalan ke dapur. Keganjilan tampak pada logika cerita yang
disampaikan. Meskipun menyimpan dendam dalam hatinya, Mak Saodah terbukti
tetap menerima semua bantuan Wak Haji Mail selama bertahun – tahun. Yang
berarti hubungan mereka cukup baik sepanjang yang dilihat orang. Ganjil rasanya
sikap dramatis Mak Saodah ketika diminta memasak untuk tahlilan lelaki tersebut,
bahkan untuk menjenguk Wak Haji Mail pun Mak Saodah tidak mau. Hal itulah
yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam analisis ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN:
Dinanti-nanti matinya, Wak Haji Mail malah mulai mengigau. Semula tak
seorang pun menangkap apa yang dikatakannya. Kupikir bukan tak bisa. Tak mau,
lebih tepatnya. Aku sendiri, begitu diizinkan mendengar langsung segera
mencerna, bukan kata, melainkan sepotong nama. Gumam ini berulang di antara
tarikan nafasnya yang payah. Saodah.
Dua minggu setelah rumah sakit menyerah dan mengembalikannya ke
rumah, Wak Haji Mail belum juga dijemput Izrail. Keempat belas anak dari tiga
pernikahannya semakin sulit meredam cemas, silih berganti berjaga di luar kamar,
siap untuk memberontak dari pembagian harta waris yang tak adil. Tak mungkin
adil.
Lepas maghrib tadi Haji Mail membuka mata dan mulutnya kembali
bersuara. Satu jam kemudian semua orang terus berebutan masuk sehingga Wak
Misnah naik pitam. Empat belas anak, beserta cucu-cucu, tentulah membuat
keadaan bisa cepat berubah menjadi pasar malam. Itulah saatnya Wak Misnah,
istri pertama Haji Mail, mengusir semua orang dan memanggilku masuk.
”Kau dengar?” tanya bibiku setengah membentak. Aku diam sebentar. Di
depanku, Wak Haji terbaring seperti sepotong kayu. Lamat-lamat, di antara
nafasnya yang berat, bisa kudengar suaranya, rendah dan kesakitan. Ke arah Wak
Misnah, aku mengangguk.
”Panggilkan dia.” Suara bibiku agak goyah, mengejutkanku. Apa yang
dicemaskannya?
Di jalan, kukarang-karang sendiri ihwal sepotong cinta tak sampai Wak Haji Mail
pada Mak Saodah. Persis seperti cintaku pada Aminah.
Beberapa menit usai kuajukan permintaan keluarga kami, Mak Saodah
tetap bergeming. Sebelumnya, kubayangkan ia akan bergegas, merapikan dirinya
dan sebentar kemudian duduk di boncengan motorku. Sekalipun Wak Haji Mail
mengamalkan ilmu golok dalam perkara sedekah, semua orang kampung tahu
kalau Mak Saodah seperti selalu menyimpan obat kikir di sayur dan lauk
masakannya. Tak cukup mendirikan kakus dengan tangki septik, Wak Haji Mail
mengirim orang untuk membangun lapak setengah permanen, menyemen lantai
bagian depan rumah Mak Saodah, memasangkan listrik, dan menyekolahkan
kelima anak Mak Saodah sampai SMA. Terakhir ia menghibahkan kulkas bekas
istri keduanya supaya Mak Saodah bisa bikin sendiri es batu dan es lilin.
Di depanku Mak Saodah masih tak bergerak. Matanya mulai berkaca-kaca
dan sempat kukira ia terharu. Aminah, putri sulungnya, mendekat. Sejak tadi ia
membisu di pojokan, mendengarkan. Kini ia meraba-raba punggung maknya,
menenangkan. Kulihat sesaat, sepertinya rahang Mak Saodah bergemeretak. Aku
tak yakin.
Aminah menatapku tajam-tajam. Aku mulai gelisah. Tatapannya selalu
membuatku merasa telah melakukan kesalahan. Sejak dulu. Mungkin karena
pikiran kotor mudah terbaca. Semenjak tiba dari luar negeri, minggu lalu, baru
kali ini kulihat dia. Aminah semakin cantik.
”Mak nggak mau. Sebaiknya kamu pulang,” kata Aminah pelan, sungguh-
sungguh.
Kalimat ini menusuk ulu hatiku. Perutku mulas. Ia pernah mengatakan
kalimat serupa ini padaku. Kata-katanya, susunannya, lagunya, hampir sama.
Satu-satunya perbedaan, dulu ia ajukan kalimat ini bukan atas nama maknya,
melainkan dirinya sendiri.
menatap matanya, berusaha keras tak menyerah pada kecantikannya. Dulu,
aku gagal, lalu menundukkan kepala, melangkah pulang dengan gontai, menikahi
sepupu yang sudah lama dijodohkan untukku supaya lupa, tapi malah mendapati,
sepanjang akad nikah, wajahnya menghantuiku. Kini aku bersumpah, dalam hati,
tak lagi.
Kubulatkan tekadku. Kali ini, aku tak akan pulang dengan tangan kosong.
Sekurang-kurangnya, aku harus mendapatkan alasan. Aminah tersenyum, agak
aneh. Sepertinya ia merendahkanku. Ya, ia merendahkanku. Apakah dulu juga ia
merendahkanku?
”Alasan, Minah. Sekurang-kurangnya ada alasannya.” Kalimat ini, aku tak
yakin sedang kuajukan untuk perkara yang mana.
Entah kenapa, ia menunduk. Ia sepertinya berpikir sebentar sebelum kemudian
memutuskan untuk memapah maknya bangkit, lalu menuntunnya ke belakang, ke
dapur. Sesaat kemudian, dari dapur itu, kudengar suara meraung. Suara Mak
Saodah.
Kukarang-karang penjelasan di dalam kepalaku. Mak Saodah tak mau
datang karena tak bisa menerima orang yang begitu berjasa dalam hidupnya
sedang menjelang ajal. Ia tak mau terlihat begitu sedih. Tak mau menambah parah
kesedihan yang ditanggung keluarga Haji Mail.
Ini pikiran yang aneh, sebenarnya. Semua orang tahu betapa keras Mak
Saodah. Keras menghadapi pelanggannya, keras menjaga rahasia dapurnya.
Bertahun-tahun membuka warung makan di kampung itu, tak membuatnya pandai
beramah tamah. Para pelanggan memanggilnya Mak Galak, tetap kembali ke
warungnya semata-mata karena kelezatan masakannya sulit disaingi. Aku
mengenalnya hampir seumur hidupku dan tak pernah sekali pun kulihat ia
tersenyum. Tidak juga kepada Haji Mail atau orang-orang terpandang di kampung
ini. Bocah-bocah kampung kami menjulukinya Nenek Sihir Hutan Larangan
karena bila malam datang ia selalu menggerai rambutnya yang panjang dan
membuat sosoknya semakin mengerikan.
Pikiranku belum terurai baik ketika Aminah keluar. Matanya merah dan
sembab. Aku yakin ia turut menangis. Ia duduk di hadapanku, tapi sempat
menoleh ketika mendengar teriakan dari arah dapur. Teriakan ini disusul bunyi
piring pecah terbanting. Atau dibanting.
Aminah kembali memandangku, tapi kali ini tenang, setenang suaranya
memenuhi permintaanku. Sepotong alasan, sepenggal cerita. Aku masih akan tak
paham bahkan jauh sesudah ia menyelesaikan cerita ini. Entah karena ceritanya
begitu sulit dan mengerikan atau karena sepanjang bercerita, ditingkahi bebunyi
piring pecah terbanting, suaranya tetap setenang kolam.
Ketika aku dipanggil masuk, Wak Misnah sedang duduk di sisi kiri kepala Haji
Mail. Itu sisi kuping Haji Mail yang masih mau bekerja. Aku duduk, tapi gagal
mengatasi cemas.
Haji Mail bergumam panjang, kepayahan. Wak Misnah mendekatkan
telinganya ke mulut Haji Mail. Tak yakin, Wak Misnah bertanya di telinga si
kikir. Ia kembali bergumam tak terang, tapi Wak Misnah sepertinya paham.
Bibiku itu berdehem dan mengangguk-angguk.
”Apa kata si Saodah?” tanyanya, setengah membentak. Pertanyaan ini tak
sedikit pun terasa janggal di mulutnya, padahal setengah jam yang lalu
jawabannya sudah ia terima.
Sekalipun sudah kuceritakan sebelumnya, aku tahu ceritaku akan kembali
terbata-bata. Bahkan lebih buruk. Begitu panik, kalimatku jadi berantakan dan tak
urut, seperti bocah belajar bicara. Untung, Wak Misnah rajin memperbaiki
kekacauanku. Ia menyampaikan ulang ceritaku di telinga si kikir dengan lantang,
sebagaimana yang selalu dilakukannya 10 tahun terakhir.
”Ada lagi?” sentak bibiku.
Aku tercekat sebentar sebelum menggeleng. Di antara perasaan cekat dan
gelengan kepalaku sempat terpikir untuk mengutarakan rahasia yang diceritakan
Aminah padaku. Rahasia yang sesungguhnya tak terang karena hanya berupa
garis-garis besar. Haji Mail berdosa pada Mak Saodah. Suaminya, ayah Aminah,
difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir, diasingkan orang sekampung seperti
penderita kusta, dibiarkan mati tanpa harga diri.
Kuurungkan pikiran ini ketika kudengar Haji Mail mengerang. Erangnya
panjang, kesakitan dan menyakitkan. Aku yakin pilihanku tepat. Tak perlu
kuceritakan, Haji Mail ingat.
Lima belas menit kemudian, sesudah menitipkan sepotong pesan yang hanya bisa
didengar istrinya, Haji Mail dan sepenggal ingatannya pergi. Aku melihatnya
meregang nafas yang terakhir, satu hembusan nafas pelan seperti menghempas
hidup yang melelahkan. Bulu kudukku naik. Aku baru saja sekamar dengan Izrail.
Wak Misnah masih berusaha memastikan perintah terakhir suaminya, bertanya
dengan lantang di telinga yang baru saja ditinggalkan pemiliknya.
Pagi buta, sehabis subuh, aku kembali ke rumah Mak Saodah dengan
perasaan tercampur-campur. Menghadapi Mak Saodah membuatku takut, tapi
pulang tanpa usaha dan menghadapi Wak Misnah juga sama mengerikannya.
Terbata-bata kupaksakan diriku menyampaikan permintaan terakhir Haji Mail.
Mak Saodah mendengarkan permintaan ini dengan tenang. Tak bisa kuceritakan
perasaan legaku ketika kulihat ia mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dan tak
kutemukan perempuan tua yang perlu dipapah untuk berjalan ke dapur, tadi
malam. Mak Saodah penuh kekuatan. Sampai di dapur, sempat ia sibakkan tirai,
menutupi pintu. Bayangannya tampak besar di tirai itu.
Aminah masih tinggal bersamaku. Tampaknya Mak Saodah belum
mengizinkan Aminah menginjakkan kaki di dapurnya. Bekerja seorang diri untuk
memenuhi permintaan almarhum Wak Haji, Mak Saodah harus bergegas
menyiapkan masakan untuk ratusan orang yang akan bertahlil malam nanti.
Gelas teh di depanku masih setengah penuh sehingga kuputuskan duduk lebih
lama. Lagi pula aku tak tahu mau ke mana. Pemakaman baru akan dilakukan
sesudah matahari terbit, kembali ke rumah bibiku cuma akan mengotori pikiran
ketimbang membersihkannya. Keempat belas sepupuku sudah lepas kendali,
pertengkaran tak mungkin ditunda lagi.
Suasana hati Aminah, entah bagaimana terasa sedikit cerah. Terpikir untuk
bertanya apa benar ia bekerja sebagai juru masak di luar negeri dan benarkah,
sebagaimana yang dikatakan orang-orang, bahwa ia tak ingin kembali tinggal di
kampung ini.
Berdehem-dehem tak pantas, kuputuskan untuk membuka percakapan.
”Kudengar kau suruh Makmu berhenti dagang, Minah?”
Aminah menatapku, tampak senang dengan pertanyaanku, lalu mengangguk. ”Ya,
tapi Mak nggak mau.”
”Kenapa?”
Senyum Aminah hilang, tapi matanya masih bulat bening. Ia tampak
berpikir sebentar sebelum kemudian berkata, ”Mak bilang, berdagang itu
alasannya hidup.”
”Berdagang?”
Aminah tampak memikirkan jawabannya lagi. Sebentar kemudian ia
menemukan kata yang lebih tepat. Beberapa kata. ”Bukan, bukan berdagangnya.
Memasak untuk orang kampung. Ya, itu yang menyelamatkannya,” kalimat
Aminah terputus sebentar. Sorot matanya sempat nyalang ketika dia bergumam,
”itu menyelamatkanku.”
Pernyataan ini, membingungkan. Seluruh kampung ini, jika benar cerita
Aminah kemarin, bukankah neraka bagi Mak Saodah?
Aku duduk diam dan berusaha memecahkan kebingunganku. Lama. Sepuluh
menit kemudian, Aminah sepertinya mulai kasihan pada wajahku yang merot-
perot karena tak paham. Ia memanggilku mendekat. Aku datang dengan sigap,
tapi ia cepat menempelkan jari telunjuk di mulutnya, matanya membeliak nakal
mengancam. Aku memperhalus langkahku, mendekatinya tanpa suara. Ia
membungkuk di dekat tirai dapur, aku mengikutinya. Sesaat kuingat, kami berdua
sebagai bocah berumur delapan tahun, 20 tahun yang lalu, berjingkat mengintip
Mak Saodah. Dulu, jauh sebelum mencapai tirai dapur Mak Saodah sudah
membentak kami. Kini suara bentakan itu tak kunjung datang. Aku menunduk di
belakang Aminah. Kami sangat dekat, aku bisa melihat tengkuk di bawah gelung
rambutnya, mencium wangi tubuhnya, rambutnya. Lehernya, siap
menenggelamkanku. Aku agak mabuk, tak percaya. Sesaat bahkan kegirangan
meluap-luap dan jantungku berdebar. Jari-jari Aminah yang cantik menyibak tirai
dapur.
Dengan sebelah mata bisa kulihat, Mak Saodah sedang bekerja,
memotong-motong bahan masakan, menyiapkan tungku, memasukkan bumbu-
bumbu ke dalam panci. Butuh beberapa detik untukku menemukan apa yang
ganjil dari semua ini. Mak Saodah terus-menerus meludahi bahan-bahan masakan
yang sedang dikerjakannya. Aku sempat tak awas karena Aminah menoleh ke
arahku, ia sepertinya merasakan nafasku terlalu dekat, hangat di pipinya. Aku
terkejut. Pada saat itulah aku berbisik, kelepasan bertanya. Pertanyaan yang lama
kupendam dan kukira sudah tak akan kuajukan lagi.
”Minah, kenapa dulu kau menolak lamaranku?”
Aku tak ingat apakah Aminah sempat menjawab, sebab dari dalam dapur maknya
membuatku terperangah.