Anda di halaman 1dari 9

TRANSFORMASI FILSAFAT DALAM PENERAPAN SYARIAT ISLAM

(Analisis Kritis terhadap Penerapan Syari’at Islam di Aceh)

Chairul Fahmi

Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh


Jl.Ibnu Sina No.1 Darussalam Banda Aceh 23111
Email: fahmiatjeh@gmail.com

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji konsep penerapan syari’at Islam di Aceh, di
mana pada umumnya lebih banyak ditonjolkan simbolik dari pada subtansi.
Sementara, tujuan utama dari penerapan syari’at Islam sering tidak
teraktualisasikan. Khususnya ketika substansi tersebut dituangkan dalam
ketentuan perundangan-undangan (qa>nu>n) tentang penerapan syari’at Islam.
Sehingga nilai hukum Islam dalam penerapannya menjadi sangat sempat. Lebih
jauh, kepentingan politik diantara para pengambil kebijakan dalam membuat
qanun tersebut juga sangat kompleks. Penelitian ini akan mengkaji suatu
perspektif yang berbeda dalam proses pelaksanaan hukum Islam di Aceh.
Sementara penelitian ini akan dilakukan dengan metode kajian kepustakaan, di
mana akan berfokus pada sumber-sumber yang membahas tentang hukum Islam
dan sumber lainnya yang berkaitan dengan isu ini. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa dibutuhkan banyak pendekatan untuk menerapkan nilai-nilai
Islam seperti halnya mewujudkan tujuan dari filosofi syari’at dibandingkan
dengan penerapan syari’at yang berperspektif fikih semata.

Abstract

This article aims to study of implementation of sharia Islam in Aceh, which


mostly based on symbolic approached rather than the subtantial. Meanwhile, the
philosophy or the maqa>si} d of sharia was missing in its implementation, especially
when it’s integrated to the rule of law (qa>nu>n). Therefore, the values of Islamic
law are being a monolithic. Moreover, the political interest among the politicians
make the rule of sharia more complicated either. This study will elaborate the
other perspective on implementation of Islamic law in Aceh. This study will be
conducted based on library research which focuses on the resources of Islamic law
and other references related to this issue. And the result of this study stated that
there is need more approaches to actualization Islamic values such as the value of
philosophy rather then fikih perspective entirely.

Kata kunci: transformasi, filsafat, pencerahan, syari’at Islam

A. Pendahuluan sedangkan esensinya tetap sama. Ibnu


Rusyd juga menyebutkan bahwa tidak
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa
ada kebenaran ganda, baik kebenaran
filsafat dan syari’at adalah dua sisi dari
agama maupun kebenaran akal, tetapi
mata uang yang sama. Perbedaan
yang ada satu kebenaran saja. Namun,
hanyalah pada ungkapannya saja,

Chairul Fahmi | Transformasi Filsafat Dalam Penerapan Syariah islam Hal. 167-176
jalan untuk menuju kebenaran itu yang manusia dengan Tuhannya secara
berbeda.1 subyektif dan personal (private) dan
Ungkapan Ibnu Rusyd di atas tidak dalam lingkup publik, sehingga
menarik untuk dijadikan sebagai refleksi penerapan syari’at tidak membutuhkan
terhadap upaya mencari kebenaran lembaga negara atau melegal-formalkan
penerapan hukum Tuhan (syari’at Islam) aturan syari’at tersebut.
di Aceh. Secara prinsipil, tuntutan Pemahaman seperti ini
penerapan syari’at Islam tidak hanya mengakibatkan munculnya sikap antipati
merupakan upaya rekonstruksi sejarah terhadap syari’at dalam proses
kejayaan Aceh pada zaman kerajaan implementasi di lapangan. Sikap tersebut
dahulu yang menerapkan sistem hukum tidak hanya dari dunia luar Islam,
syari’at, melainkan juga merupakan melainkan juga dari kalangan Islam itu
sebuah keyakinan dari setiap muslim sendiri. Fenomena seperti ini
dalam upaya mencapai nilai-nilai memerlukan suatu upaya untuk
ketauhidan dan kebenaran. memberikan pemahaman yang utuh
Namun dalam perjalanannya, mengenai hakikat dan tujuan dari
penerapan syari’at Islam di Aceh yang pelaksanaan syari’at Islam secara
sebagian hukumnya telah dilegal- komprehensif. Artinya, pemahaman
formalkan dalam qa>nu>n (perda) tentang hakekat syari’at tidak hanya
seringkali mengalami berbagai berkenaan dengan sanksi-sanksi hukum
perselisihan dan kritikan, baik dalam hal fikih, tetapi juga berkenaan dengan tujuan
substansinya maupun dalam proses dan filosofi dari nilai-nilai syari’at itu
implementasinya. Di sisi lain, penerapan sendiri.
syari’at juga mengalami distorsi makna Selama ini, muncul upaya untuk
akibat ketidaktahuan publik dan melaksanakan aturan-aturan yang berasal
pencitraan negatif oleh pihak-pihak dari kodifikasi kitab-kitab fikih yang
penentangnya. Syari’at yang berarti dikodifikasikan pada 13 abad yang lalu,
aturan kehidupan yang berasal dari yang kemudian dilegal-formalkan dan
wahyu Allah yang menyeluruh dan memaksakan fikih tersebut masuk dalam
universal, didistorsi maknanya menjadi sistem hukum positif, sehingga
sekedar pemasangan huruf-huruf Jawi di penerapan syari’at di Aceh hanya terbatas
perkantoran, pelaksanaan razia busana, pada wilayah empirik dan moral saja,
pengenaan sejumlah denda kepada suatu yang melahirkan pandangan bahwa
kampung jika kedapatan ada orang hukum sebagai akibat realitas sosial.
berbuat asusila dikampung tersebut, Padahal hukum (syari’at) tidak hanya
penghukuman dalam bentuk menyiram dimaknai sebagai realitas sosial yang
dengan air comberan, dan pengenaan empirik an sich, tetapi hukum (syari’at)
hukum potong tangan dengan juga harus dimaknai sebagai realitas
sekehendaknya oleh masyarakat dan metafisik yang tidak dapat dijangkau oleh
sebagainya. indera. Dengan kata lain, hukum tidak
Lebih jauh, Syarqawi2 saja dimaknai sebagai fenomena sosial
mengatakan bahwa pemahaman syari’at tetapi juga fenomena rohani.3
Islam di kalangan masyarakat Aceh saat Di sisi lain suatu pemahaman
ini, kelihatan masih samar-samar. mengenai tujuan dari syari’at, masih
Sebagian memahami syari’at Islam belum terintegrasi dalam pelaksanaa
hanya sekedar mengenakan jilbab, dan syari’at di Aceh, di mana tujuannya
sebagian lain memahaminya sebagai adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
larangan berjudi, minuman keras, dan umatnya secara keseluruhan. Sedangkan
khalwat. Bahkan yang lebih radikal persoalan kemiskinan, kebodohan,
memahami syari’at Islam sebatas aturan degradasi moral, akses keadilan yang

Chairul Fahmi | Transformasi Filsafat Dalam Penerapan Syariah islam Hal. 167-176
masih sulit, penindasan secara struktural berbeda dengan tujuan agama, yakni
terhadap kaum lemah, baik dalam hal mengetahui semua wujud. Hanya saja
politik, hukum maupun ekonomi, seakan filsafat memakai dalil-dalil yang tertentu
tak tersentuh oleh penerapan syari’at dan ditujukan pada golongan tertentu
Islam di Aceh. Di sinilah diperlukan pula, sedangkan agama memakai cara
suatu upaya merekonstruksi pemahaman iqna’i (pemuasan perasaan), kiasan serta
terhadap syariat yang tidak hanya dalam gambaran, dan bersifat universal. Filsafat
perspektif fikih dalam pengertian sempit, adalah al-‘ilm bi al-mauju>da>t bima hiya
yang tidak hanya terbatas dalam mauju>dah (mengetahui semua yang
fenomena sosial, tetapi juga dalam wujud karena ia wujud), yaitu
pengertian moral dan spiritual. Syari’at pengetahuan yang yakin akan sampai
Islam adalah way of life secara kepada sebab-sebab sesuatu. Ilmu tentang
menyeluruh dan universal, baik dalam wujud-wujud tersebut bersifat
wilayah individu maupun publik, tidak keseluruhan, tidak detil, karena
hanya hubungan dengan Tuhan, akan pengetahuan terinci menjadi lapangan
tetapi juga mengatur hubungan sesama ilmu-ilmu empiris.5
makhluk, dan bahkan dengan alam Dalam kajian filsafat, terdapat
semesta. beberapa hal yang menjadi obyek kajian,
Upaya rekontruksi terhadap yaitu; ontologi, aksiologi, dan
syari’at Islam di Aceh harus dipahami epistemologi. Ontologi adalah ilmu dan
sebagai upaya membangun kembali suatu bidang filsafat yang mempelajari
pemikiran dan pemahaman terhadap metafisika yang mengarah pada
syari’at sebagai way of life melalui proses pembicaraan mengenai teologi (tauhid).
tranformasi nilai-nilai filosofi, di mana Sementara aksiologi adalah bidang
untuk memahami tentang syari’at secara filsafat yang berkenaan dengan nilai-nilai
menyeluruh, maka diperlukan upaya yang kemudian dibagi menjadi dua
untuk memahami dari hakikat syari’at bagian lagi, yaitu etika dan estetika.
terebut. Karena hakikat syari’at bertujuan Sedangkan epistemologi adalah bidang
untuk mewujudkan keadilan dan filsafat yang mempelajari bagaimana cara
kemashlahatan bagi sekalian umat manusia mengetahui sesuatu. Bidang
manusia (rahmatan li al-’alami>n). epistemologi ini menempati posisi yang
Syari’at Islam harus lebih bersifat sangat strategis, karena ia mengkaji
fleksibel, dinamis dan universal, sehingga mengenai cara dan metode untuk
penerapan syari’at Islam di Aceh, tidak mendapatkan ilmu pengetahuan yang
hanya terjebak dalam simbol-simbol dan erat dengan hasil yang ingin dicapai.6
formalisasi sanksi-sanksi fikih saja. Adapun syari’at secara bahasa
diartikan sebagai mata air. Sedangkan
B. Memahami Filsafat dan Syari’at secara istilah, syari’at adalah hukum dan
Filsafat merupakan studi yang jalan hidup yang diturunkan Tuhan
mempelajari seluruh fenomena kehidupan kepada hamba-Nya, yaitu pedoman
dan pemikiran manusia secara kritis.4 hidup yang mencakup seluruh ruang
Filsafat, di antara ilmu pengetahuan yang lingkup kehidupan manusia.7 Syari’at
dikembangkan manusia, mempunyai juga dapat dipahami sebagai ideologi,
kedudukan khusus. Jika ilmu manifestasi iman, tingkah laku, cara
pengetahuan merupakan upaya manusia hidup dan segala sikap kegiatan manusia
untuk mengungkapkan realitas, maka yang berlandaskan ajaran Tuhan.
filsafat mengungkapkan hakikat realitas Menurut Hashim Kamali, syari’at adalah
tersebut. jalan dalam agama (al-t}a>riq fi al-din), ia
Al-Farabi (870-950 M) tidak dapat dipisahkan dari agama, dan
menyatakan bahwa tujuan filsafat tidak aturan dalam memahami agama (Islam).

Chairul Fahmi | Transformasi Filsafat Dalam Penerapan Syariah islam Hal. 167-176
Syari’at merupakan suatu bagian yang maksudnya, tetapi tetap harus bersandar
sangat penting dan menjadi suatu sumber pada makna teks tersebut.10
dari pengajaran/pengetahuan, Sehingga Dengan demikian, dalam
berbicara syari’at sama halnya dengan perspektif baya>ni> proses penemuan suatu
berbicara tentang Islam itu sendiri. 8 hukum bersumber pada teks (nash), yakni
Untuk mengetahui dan mengenal al-Qur`an dan hadis. Karena itulah,
syari’at sebagai wahlu Ilahi yang epistemologi baya>ni> berfokus pada proses
mengandung nilai-nilai ketentuan hukum transformasi dari teks ke formal aplikatif
yang tidak hanya dalam hal empirik an dengan pemahaman secara tekstual.11
sich diperlukan suatu upaya penalaran Pemahaman seperti ini dianggap penting,
yang dikenal dengan ijtihad (ra’yu/akal). karena wahyu sebagai sumber
Proses penalaran (ijtihad) tersebut dalam pengetahuan, dapat menentukan benar
studi epistemologi terbagi dalam ilmu atau salahnya suatu ketentuan hukum
baya>ni>, irfa>ni>, dan burha>ni>. Jika dalam yang diambil. Jika pemahaman terhadap
khazanah filsafat hukum Eropa (Barat), teks bisa di pertanggung-jawabkan berarti
kajiannya berfokus pada masalah- teks tersebut benar dan bisa dijadikan
masalah hukum dan legitimasinya dalam dasar hukum. Sebaliknya, jika
suatu konteks sosial dan instusional, pemahamannya/penafsirannya diragukan,
maka teori hukum Islam melihat maka kebenaran teks tidak bisa
masalah-masalah itu sebagai isu-isu dipertanggung jawabkan dan itu berarti ia
epistemologi. Artinya, para mujtahid tidak bisa dijadikan landasan hukum.
(ulama) Islam mendekati masalah Karena itu pula, pada masa tadwi>n
tersebut dari segi hakekat dan kategori (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis,
pengetahuan hukum.9 para ilmuan begitu ketat dalam
menyeleksi sebuah teks yang diterima.
C. Transformasi Filsafat dalam Dalam pemahaman mengenai
Pelaksanaan Syari’at Islam hukum dari teks tersebut, metode baya>ni
Sebagaimana telah diuraikan di membagi dua cara; pertama, berpegang
atas setidaknya ada tiga model sistem pada redaksi (lafaz}) teks murni, yaitu
berpikir dalam Islam, yakni baya>ni>, irfa>ni> dengan menggunakan ilmu kaidah bahasa
dan burha>ni>, yang masing-masing Arab, seperti ilmu nahwu dan saraf;
mempunyai pandangan yang berbeda kedua, berpegang pada makna teks
tentang pengetahuan mengenai penemuan dengan menggunakan logika, penalaran
hukum dari ketetapan Tuhan. atau rasio sebagai sarana analisa untuk
1. Epistimologi Baya>ni> mengetahui tujuan dibalik teks hukum
Epistimologi baya>ni> adalah suatu tersebut.12
metode pemikiran dalam penemuan suatu Dalam perkembangannya sistem
hukum yang didasarkan atas otoritas teks hukum Eropa membagi metode
(nas), baik secara langsung maupun tidak penemuan hukum ke dalam beberapa
langsung. Secara langsung artinya bentuk, yakni penemuan hukum dengan
memahami teks sebagai suatu ketentuan cara interpretasi, argumentasi, dan
yang sudah jelas dan langsung penemuan hukum secara bebas.
mengaplikasikan tanpa perlu proses Penemuan hukum secara interpretasi
penalaran. Sedangkan, secara tidak mencakup beberapa metode, di antaranya
langsung artinya memahami suatu teks metode bahasa (gramatika), sosiologis,
sebagai pengetahuan yang masih teologis, sistematis, historis, komparatif,
memerlukan upaya tafsir dan penalaran. antisipatif, restriktif, dan metode
Meski demikian, al-Jabiri mengatakan interpretasi ekstensif.13
bahwa akal atau ra’yu tidak bisa secara
bebas menentukan makna dan

Chairul Fahmi | Transformasi Filsafat Dalam Penerapan Syariah islam Hal. 167-176
2. Epistemologi ‘Irfa>ni> sebagai obyek yang diketahui. Namun,
Metode ‘irfa>ni> adalah suatu realitas kesadaran dan realitas yang
metode dalam upaya memahami hukum- disadari tersebut bukan sesuatu yang
hukum syari’ah, yang tidak didasarkan berbeda tetapi merupakan eksistensi yang
pada teks seperti halnya metode baya>ni, sama, sehingga obyek yang diketahui
melainkan pada kasyf, yaitu tidak lain adalah kesadaran yang
tersingkapnya rahasia-rahasia realitas dari mengetahui itu sendiri.16
Tuhan, sehingga epistimologi ‘irfa>ni> Ketiga, pengungkapan, yakni
tidak diperoleh berdasarkan analisa teks pengalaman mistik diinterpretasikan dan
tetapi melalui proses ruhani, di mana diungkapkan kepada orang lain, lewat
dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan ucapan atau tulisan. Namun, karena
akan melimpahkan pengetahuan langsung pengetahuan ‘irfa>ni> bukan masuk tatanan
kepadanya. Masuk dalam pikiran, konsepsi dan representasi, tetapi terkait
dikonsep, kemudian disampaikan kepada dengan kesatuan simpleks kehadiran
orang lain secara logis. Untuk Tuhan dalam diri dan kehadiran diri
mendapatkan kasyf, pengetahuan ‘irfa>ni> dalam Tuhan yang tidak bisa
mempunyai tiga tahapan, yaitu proses dikomunikasikan, maka tidak semua
persiapan, penerimaan, dan pengalaman ini bisa diungkapkan. Dalam
pengungkapan, dengan lisan atau konsep ‘irfa>ni>, rasio dianggap sebagai
tulisan.14 penghalang antara jiwa manusia dengan
Pada tahapan pertama, seseorang Tuhan, bukan rasio yang mampu
harus menempuh jenjang-jenjang menerima pengetahuan dari sumber
kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh aslinya (Tuhan) melainkan hati (intuisi)
tahapan yang harus dijalani, mulai dari yang telah mengalami kondisi kasyf.17
bawah menuju puncak, yaitu (1) tawbah, Orang-orang suci yang telah
memohon segala keampunan atas segala mencapai maqam walāyah dan
dosa-dosanya; (2) wara` , menjauhkan nubuwwah diyakini memiliki
diri dari segala sesuatu yang syubhat; (3) pengetahuan tersebut sehingga terjaga
zuhud, tidak tamak dan tidak dari kesalahan (`is}mah). Secara
mengutamakan kehidupan dunia; (4) hierarkhis, jenis pengetahuan semacam
faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan ini dianggap berada pada posisi paling
harapan masa depan, dan tidak tinggi dan prasyarat pemerolehannya
menghendaki apapun kecuali Allah SWT, amat bergantung pada mujāhadah dan
(5) sabar, menerima segala bencana riyād}ah. Pengetahuan spiritual-sufistik
dengan laku sopan dan rela. (6) tawakkal, mengenai ajaran Syari’at melalui konsep
percaya atas segala apa yang ditentukan- ini umumnya dilakukan oleh para sufisme
Nya; dan (7) rid}a, hilangnya rasa dalam berhubungan dengan Tuhannya.
ketidaksenangan dalam hati sehingga Ini merupakan suatu aplikasi bahwa
yang tersisa hanya gembira dan hukum (syari’at) tidak hanya dipahami
sukacita.15 dan dijalankan dalam kerangka fenomena
Tahapan kedua adalah tahap sosial, akan tetapi juga harus dimaknai
penerimaan. Jika telah mencapai tingkat sebagai realitas metafisik yang tidak
tertentu dalam sufisme, seseorang akan dapat dijangkau oleh indera, sehingga
mendapatkan limpahan pengetahuan hukum tidak saja dimaknai sebagai
langsung dari Tuhan secara illuminatif. fenomena sosial tetapi juga fenomena
Pada tahap ini seseorang akan rohani.
mendapatkan realitas kesadaran diri yang 3. Epistemologi Burha>ni>
demikian mutlak (kasyf), sehingga Epistemologi burha>ni> adalah
dengan kesadaran itu ia mampu melihat pengetahuan yang diperoleh melalui
realitas dirinya sendiri (musya>hadah) indera, percobaan, dan hukum-hukum

Chairul Fahmi | Transformasi Filsafat Dalam Penerapan Syariah islam Hal. 167-176
logika. George Makdisi18 mengatakan disebabkan tidak dipakainya rasionalisme
bahwa akal budi tidak dapat menyerap dalam penafsiran agama. Lebih lanjut ia
sesuatu, dan panca indera tidak dapat mengatakan bahwa agama tidaklah
memikirkan sesuatu. Namun, bila menafikan metode burha>ni> atau
keduanya bergabung timbullah rasionalisme, tetapi malah
pengetahuan, sebab menyerap sesuatu menganjurkannya, agar menjadi sarana
tanpa dibarengi akal budi sama dengan yang efektif bagi kalangan ulama atau
kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama kaum rasionalis (as}ha>b al-burha>n) untuk
dengan kehampaan. Burhani atau memahami agama secara rasional.
pendekatan rasional argumentatif adalah
pendekatan yang mendasarkan diri pada D. Konteks Penerapan Syari’at di Aceh
kekuatan rasio melalui instrumen logika Proses penerapan syari’at Islam di
(induksi, deduksi, abduksi, simbolik, Aceh yang tidak terlepas dari intervensi
proses, dan lain-lain) dan metode suatu mazhab, kepentingan politik, dan
diskursif (bat}iniyyah). Pendekatan ini budaya (adat) menyebabkan pemikiran
menjadikan realitas maupun teks dan syari’at kehilangan universalitasnya
hubungan antara keduanya sebagai dalam perkembangan dunia post-modern.
sumber kajian. Penerapan syari’at dalam perspektif fikih
Sebuah realitas tidak dapat saja harus diakui telah menyebabkan
dilepaskan dalam proses penemuan suatu pemahaman Islam monolitik menurut
hukum dan pemikiran. Realitas yang mazhab tertentu saja. Hal ini
dimaksud mencakup realitas alam menyebabkan kebebasan berfikir
(kawniyyah), realitas sejarah terpasung dalam sistem yang telah
(ta>rikhiyyah), realitas sosial (ijtima>’iyyah) dikodifikasikan dan dialogpun menjadi
dan realitas budaya (s|aqa>fiyyah). Dalam terbatas.
pendekatan ini teks dan realitas (konteks) Oleh karena itu pemahaman
berada dalam satu wilayah yang saling terhadap syari’at tidak hanya dibatasi dari
mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, satu sisi dengan mengadopsi sistem-
ia selalu terikat dengan konteks yang sistem yang telah terbentuk pada abad ke-
mengelilingi dan mengadakannya 13 Hijriah (masa pengkodifikasian fikih),
sekaligus darimana teks itu dibaca dan namun juga harus mengintegrasikan
ditafsirkan. metode penerapan secara menyeluruh
Konsep epistimologi burhani yang dalam upaya penerapan secara kaffah,
mengedepankan rasionalisme dalam termasuk bagaimana mewujudkan
pemahaman Syari’ah, menurut Ibnu prinsip-prinsip epistimologi secara
Rusyd19 tidak bertentangan dengan menyeluruh dalam penerapan syari’at
wahyu. Menurutnya, sisi rasionalitas dari Islam ini.
perintah-perintah agama beserta Selama ini sumber hukum yang
larangan-larangannya dibangun atas diterapkan dalam upaya penerapan
landasan moral keutamaan atau fad}ilah. hukum-hukum syari’at di Aceh adalah
Landasan tersebut sama dengan yang ada ketentuan-ketentuan fikih yang berfokus
pada filsafat, sehingga ia mengatakan hanya pada sistem epistimologi baya>ni,
“al-h}ikmah hiya s}a>hi} b al-syari>’ah wa al- atau memahami teks (al-Qur’an dan al-
ukht al-rad}iah” (filsafat merupakan hadis) baik secara literal maupun
kawan akrab syari’at dan teman penalaran (lafaz}-ma’na/us}ul> -furu’).
sesusuannya). Bagi Ibnu Rusyd, bila Sementara pendekatan pengetahuan
dalam permukaan tampak perbedaan atau mengenai hukum syara’ dengan
pertentangan, maka hal itu merupakan pola/metode ‘irfa>ni (kasyf) dan burha>ni
kekeliruan dan kesalahpahaman dalam (rasionalitas) tidak teraktualisasikan.
menafsirkan keduanya. Hal itu

Chairul Fahmi | Transformasi Filsafat Dalam Penerapan Syariah islam Hal. 167-176
Kecenderungan dominasi pola Epistimologi baya>ni>, hanya mendasarkan
pikir tekstual-baya>ni ini telah diri pada teks, sehingga terfokus pada
menyebabkan sistem epistemologi hukum hal-hal yang bersifat aksidental bukan
Islam kurang begitu peduli dan terlepas substansial, yang berakibat pada kurang
dari isu-isu sosial-keagamaan yang bisa dinamis mengikuti perkembangan
bersifat kontekstual. Kelemahan paling sejarah dan sosial masyarakat. Sementara
mencolok dari tradisi nalar epistemologi burha>ni>, tidak mampu mengungkap
baya>ni yang tekstual-skriptualistik seluruh kebenaran dan realitas yang
tersebut adalah rigiditas paradigma yang mendasari semesta, misalnya, tidak
ditampilkan ketika harus berhadapan mampu menjelaskan seluruh eksistensi
dengan teks-teks keagamaan komunitas diluar pikiran seperti soal warna, bau,
kultur atau bangsa lain yang beragama rasa atau bayangan.
lain.20 Karena itu, ketiga konsep tersebut
Demikian pula, kelemahannya harus disatukan, sebagaimana konsep
dalam menjawab persoalan-persoalan yang dikembangkan oleh Mullah Sadra
global kontemporer menyangkut (1571-1640 M) seperti dikutip oleh
pluralisme, HAM dan sebagainya. Dalam Rahmat. Dengan memadukan tiga metode
berhadapan dengan komunitas agama lain tersebut sekaligus; baya>ni> yang tekstual,
dan menjawab problem kemanusiaan burha>ni> yang rasional dan ‘irfa>ni> yang
kontemporer itu, menurut Abu Zayd21, intuitif membentuk filsafat transenden
corak argumen keagamaan model (al-h}ikmah al-muta`a>liyah). 22
tekstual-baya>ni> biasanya mengambil Dengan metode transenden ini,
sikap mental yang bersifat dogmatik, pengetahuan atau hikmah yang diperoleh
defensif, apologis, dan polemis. tidak hanya yang dihasilkan oleh
Dominasi dasar pola pikir tekstual- kekuatan akal tetapi juga oleh pencerahan
hegemonik epistemologi baya>ni> yang ruhaniah, yang kemudian disajikan dalam
diaksentuasikan dalam fikih dan usul bentuk rasional dengan menggunakan
fikih, kajian hukum Islam mengalami argumen-argumen rasional, sehingga
penyempitan cakupan metodologi yang pemahaman syari’at tidak hanya dalam
lebih menfokuskan pada perspektif persoalan keagamaan dan juga bentuk
hukum law in book daripada law in praktek-praktek ritual melainkan juga
action. Artinya, hukum yang diterapkan mencakup kehidupan sosial, politik,
hanya bersumber dari ketentuan- sains-sains modern yang empiris dan
ketentuan yang telah dikodifikasikan bahkan teknologi tinggi (high
dalam kitab fikih pada abad ke-13 H, technology).
sementara fenomena perkembangan
zaman dan konteks ke-Aceh-an tidak E. Penutup
dijadikan sebagai sumber dalam Upaya transformasi filsafat dalam
penemuan hukum baru. penerapan syari’at Islam di Aceh
Meskipun dalam perspektif merupakan suatu langkah rekontruksi
keilmuan klasik ke tiga epistemologi terhadap metodologi dalam memahami
tersebut mempunyai basis dan karakter syari’at Islam secara menyeluruh dan
yang berbeda dan berdiri sendiri secara universal, sehingga penerapan syari’at
terpisah (separated entities) namun untuk Islam di Aceh tidak hanya terbatas dalam
mewujudkan penerapan syari’ah yang konotasi penerapan aturan-aturan fikih
utuh dan universal (kaffah), diperlukan yang dikodifikasikan pada abad 13 H, di
upaya untuk mengintegrasikan ke tiga mana penerapan syari’at hanya
konsep tersebut. Hal ini terlepas dari menggunakan satu metode baya>ni>
masing-masing konsep tersebut (pemahaman terhadap teks, baik secara
mempunyai kelebihan dan kekurangan. tekstual maupun penalaran) terhadap

Chairul Fahmi | Transformasi Filsafat Dalam Penerapan Syariah islam Hal. 167-176
suatu realitas sosial. Sementara membutuhkan transformasi filsafat
perkembangan zaman yang (epistemologi) secara integral, sehingga
mengakibatkan berbagai perubahan, yang dapat melihat kebenaran secara integral
memerlukan suatu upaya dalam dan universal. Dengan menggabungkan
memahami hukum syarak tidak hanya ketiga pendekatan epistimologi ini akan
terbatas pada segi teks, namun juga dari menghasilkan warna yang lebih indah,
konteks dimana hukum itu berlaku sesuai integritas bukan hanya persamaan metode
zaman dan waktu. (baya>ni>,’irfa>ni>, burha>ni>) tapi juga mampu
Akhirnya diperlukan suatu upaya saling memahami dalam mewujudkan
untuk membangun pemahaman terhadap kemaslahatan dan keadilan di negeri
penerapan syari’at Islam di Aceh yang Aceh dan juga di Indonesia tercinta ini.
tidak hanya terkooptasi dalam perspektif
fikih, namun lebih dari itu, yaitu

Catatan akhir: 14
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, terj.
1
Ibn Rusyd, Fas}l al-Maqa>l fi> ma> bayna Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 1994),
al-H}ikmah wa al-Syari>’ah min al-Ittis}al> (Mesir: hlm.80.
15
Da>r al-Ma`a>rif), hlm. 187. Ibid.
2 16
Syarqawi, Urgensi Maqashid Syari’ah Ibid., hlm. 189.
17
dalam Penerapan Syariat Islam di Aceh (Banda Ibid., hlm. 230.
18
Aceh: Aceh Institute., 2007), hlm. 87. George Makdisi, “The Juridical
3
Mahmud Arif, Epistemologi Theology, Origin and Significance of Ushul
Pendidikan Islam: Kajian atas Nalar Masa Fikih” dalam Studi Islamica, Nomor 59, 1984,
Keemasan Islam dan Implikasinya di Indonesia, hlm. 223.
19
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Press, 2006), Ibnu Rusyd, Mana>hij al-Adillah fi
hlm. 124. ‘Aqa>’id al-Millah (Beirut: Muassasat, 1995), hlm.
4
Ibid., hlm. 233. 178.
5 20
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Farid Essack, Membebaskan yang
cet. 5, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 120. Tertindas, Al-Qur’an, Liberalisme, dan
6
R. Harre, The Philosophies of Science: Pluralisme, terj. Watung A Budiman, (Jakarta:
An Introductory Survey, (London: Oxford Mizan, 2000), hlm. 230.
21
University Press, 1978), hlm. 57. Nas}r Hāmid Abū Zayd, Reformation of
7
Khuram Murad, “Shariah: the Way of Islamic Thought: a Critical Historical Analysis,
Justice”, dalam www.syariahonline.com diakses (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006),
pada 30 Juli 2011. hlm. 125.
8 22
Muhammad Hashim Kamali, “Sumber, Jalaluddin Rahmat, “Hikmah
Sifat Dasar dan Tujuan-tujuan Syari’ah”, dalam Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rushd”, Jurnal al
al-Hikmah: Jurnal Studi-Studi Islam, No.10, Juli- Hikmah, edisi 10, tahun 1993, hlm. 80.
September, 1999, hlm. 125.
9
Syamsul Anwar, Kerangka DAFTAR PUSTAKA
Epistemologi Hukum Islam, dalam
http://www.badilag.net., diakses pada 1 Agustus
2011. Abū Zayd, Nas}r Hāmid. Reformation of
10
Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Islamic Thought: a Critical
(Beiru>t: al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 1991), Historical Analysis. Amsterdam:
hlm. 244.
11
Abdul Wahab Khalla>f, Ilmu Ushul
Amsterdam University Press, 2006.
Fikih, terj. Masdar Helmi, (Bandung: Gema Anwar, Syamsul. “Kerangka
Risalah Pres, 1996.), hlm. 76. Epistemologi Hukum Islam” dalam
12
Al-Sya>t}ibi, al-Muwa>faqa>t fî Us}u>l al- http://www.badilag.net. Diakses
Ah}ka>m (Beirut: Dar al-Fikir, t.t.), III: 221. pada 15 September 2011.
13
Salam Madkur, al-Qada>’ fi al-Isla>m
(Mesir: Dar al-Qalam, t.t.), hlm. 221.
Arif, Mahmud. Epistemologi Pendidikan
Islam: Kajian atas Nalar Masa
Keemasan Islam dan Implikasinya

Chairul Fahmi | Transformasi Filsafat Dalam Penerapan Syariah islam Hal. 167-176
di Indonesia. Yogyakarta: UIN Makdisi, George. “The Juridical
Sunan Kalijaga Press, 2006. Theology, Origin and Significance
Essack, Farid. Membebaskan yang of Ushul Fikih” dalam Studi
Tertindas, Al-Qur’an, Liberalisme, Islamica, Nomor 59 tahun 1984.
dan Pluralisme, terj. Watung A Murad, Khuram. “Shariah: the Way of
Budiman. Jakarta: Mizan, 2000. Justice”, dalam
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat www.syariahonline.com, diakses
Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 30 Juli 2009.
1990. Mazkur, Salam. Al-Qad}a’> fi al-Isla>m.
Ibn Rusyd. Fas}l al-Maqa>l fi> ma> Bayna al- Mesir: Da>r al-Qalam, t.t.
H}ikmah wa al-Syari>’ah min al- R. Harre. The Philosophies of Science:
Ittis}al> , (Ed) M. Imarah. Mesir: Dar An Introductory Survey. London:
al-Ma`arif, tt. Oxford University Press, 1978.
________. Mana>hij al-Adillah fi Aqa>’id Rahmat, Jalaluddin. “Hikmah
al-Millah. Beirut:Muassasat, 1995. Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn
Al-Jabiri. Bunyah al-‘Aql al-Arabi. Rushd”, dalam Jurnal Al Hikmah,
Beiru>t: al-Markaz al-S|aqafi al- edisi 10, tahun 1993.
‘Arabi, 1991. Syarqawi. Urgensi Maqashid Syari’ah
Khalaf, Abd Wahab. Ilmu Ushul Fikih, dalam Penerapan Syariat Islam di
terj. Madar Helmi. Bandung: Gema Aceh, Banda Aceh: Aceh Institute.,
Risalah Press, 1996. 2007.
Kamali,Muhammad Hashim. “Sumber, Al-Sya>t}ibi>. Al-Muwa>faqa>t fî Us}u>l al-
sifat dasar dan tujuan-tujuan Ah}ka>m. Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.t.
syari’ah”, dalam al-Hikmah: Yazdi, Mehdi Hairi. Ilmu Hudhuri, terj.
Jurnal Studi-Studi Islam Nomor Ahsin Muhammad. Bandung:
10, Juli-September, 1999. Mizan, 1994.

Chairul Fahmi | Transformasi Filsafat Dalam Penerapan Syariah islam Hal. 167-176

Anda mungkin juga menyukai