Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Cedera Kepala
Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Cedera Kepala
Disusun oleh :
LINA AMBARWATI
CIDERA KEPALA
1. DEFINISI
Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada
jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang
terjadi (Price, 2005).
Cedera kepala menurut Suriadi & Rita (2001) adalah suatu trauma yang mengenai
daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala.
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan perlambatan
(decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan (Doenges, 1989).
2. ETIOLOGI
A. Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab cedera
kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :
a. Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan
deselerasi)
b. Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
B. Trauma akibat persalinan
C. Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat
olahraga.
D. Jatuh
E. Cedera akibat kekerasan.
3. MANIFESTASI KLINIS
Berdasarkan anatomis
A. Gegar otak (comutio selebri)
1. Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran
2. Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit
3. Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
4. Kadang amnesia retrogard
B. Edema serebri
1. Pingsan lebih dari 10 menit
2. Tidak ada kerusakan jaringan otak
3. Nyeri kepala, vertigo, muntah
C. Memar otak (kontusio selebri)
1. Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi tergantung
lokasi dan derajad
2. Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
3. Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)
4. Penekanan batang otak
5. Penurunan kesadaran
6. Edema jaringan otak
7. Defisit neurologis
8. Herniasi
D. Laserasi
1. Hematoma Epidural
“talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan,
merupakan periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa jam,
menyebabkan penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda hernia):
kacau mental → koma
gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
pupil isokhor → anisokhor
2. Hematoma subdural
Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid,
biasanya karena aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan
epidural
Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan
berbulan-bulan
Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
perluasan massa lesi
peningkatan TIK
sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
disfasia
3. Perdarahan sub arachnoid
Nyeri kepala hebat
Kaku kuduk
Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
Verbal : 1
Orientasi baik
2.
Orientasi terganggu
Kata-kata tidak jelas 5
Suara tidak jelas 4
Tidak ada respon 3
2
Motorik :
Mampu bergerak 1
Melokalisasi nyeri
3. Fleksi menarik
Fleksi abnormal
6
Ekstensi
5
Tidak ada respon
Menurut morfologi
1. Fraktur tengkorak :
kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi ;
terbuka/tertutup
Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal,
dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII
2. Lesi intracranial : fokal: epidural, subdural, intraserebral
difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus
4. PATOFISIOLOGI DAN PATHWAY
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak
langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai
akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan
hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi
kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang
disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak
menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam
empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan
otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
PATHWAY
Trauma kepala
5.
Terputusnya kontinuitas
jaringan kulit, otot dan
Terputusnya Jaringan otak rusak
6. kontinuitas jaringan (kontusio, laserasi)
vaskuler
tulang
Resiko kurangnya
volume cairan
Herniasi unkus
Mesesenfalon
10. tertekan
6. PENATALAKSANAAN
Semua terapi diarahkan untuk mempertahankan hemastatis otak dan mencegah
kerusakan otak sekunder. Tindakan ini mencakup stabilisasi kardiovaskuler dan
fungsi pernafasan untuk mempertahankan perfusi serebral adekuat. Hemoragi
terkontrol, hipovotemia diperbaiki, dan nilai - nilai gas darah dipertahankan pada
nilai yang diinginkan.
A. Pedoman Resusitasi dan Penilaian Awal
1. Menilai jalas nafas : Bersihkan jalas nafas dari debris atau muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
memasang kolar servikal, pasang guedel bila ditolerir, jika pasien
cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus
diintubasi.
2. Menilai pernafasan : tentukan apakah pasien bernafas spontan atau
tidak. Jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien
bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti
pneumotorak. Pasang oksimetri nadi jika tersedia dengan tujuan
menjaga saturasi oksigen minimun 95%.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya, perhatikan secara khusus
adanya cedera intraabdomen atau dada, ukur dan catat frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG. Pasang
jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk meperiksaan darah
perifer lengkap, ureum, elektrolit, glutosa dan analisa gas darah arteri.
4. Menilai tingkat kesadaran :
Cedera kepala ringan (GCS13-15)
Cedera kepala sedang (GCS 9-12)
Cedera kepala berat (GCS 3-8)
B. Mengontrol TIK pada cedera kepala :
1. Tinggikan kepala tempat tidur sampai 30 derajat
2. Pertahankan kepala dan leher pasien dalam kesejajaran sentral (tidak
memutar).
3. Memberikan medikasi yang diserarkan untuk menurunkan TIK (misal :
diuretik, kortikosteroid)
4. Mempertahankan suhu tubuh normal
5. Hiperventilasi pasien pada ventilasi mekanik : memberikan O2
6. Mempertahankan pembatasan cairan
7. Memberikan sedasi untuk menurunkan kebutuhan metabolik
C. Glasgow Coma Scale (GCS)
1. Membuka mata (E)
4 : spontan atau membuka mata spontan.
3 : terhadap rangsang suara atau membuka mata bila dipanggil atau
diperintah.
2 : terhadap rangsang nyeri membuka mata bila ada tekanan pada jari.
1 : tidak ada atau mata tidak membuka terhadap rangsang apapun.
2. Respon verbal (V)
5 : orientasi baik : dapat bercakap-cakap, mengetahui siapa dirinya,
dimana berada, bulan dan tahun.
4 : bingung : dapat bercakap-cakap, tetapi ada disorientasi.
3 : kata-kata yang diucapkan tidak tepat : percakapan tidak dapat
bertahan, susunan kata-kata kacau atau tidak tepat.
2 : tidak dapat dimengerti atau mengeluarkan suara (msl : merintih)
tetapi tidak ada kata - kata yang dapat dikenal.
1 : tidak ada : tidak mengeluarkan kata-kata.
3. Respon motorik (M)
6 : mematuhi perintah misal ”angkat tangan”
5 : melokalisasi nyeri : tidak mematuhi perintah tetapi berusaha
menunjukkan nyeri dan menghilangkan nyeri tersebut
4 : reaksi fleksi : lengan fleksi bila diberikan rangsang nyeri dan tanpa
posisi fleksi abnormal
3 : fleksi abnormal terhadap nyeri : lengan fleksi disiku dan pronasi
tangan mengepal (postur dekortitasi)
2 : ekstensi abnormal terhadap nyeri : ekstensi lengan disiku, lengan
biasanya adduksi dan bahu berotasi ke dalam (postur deserebrasi)
1 : tidak ada : tidak ada respon terhadap nyeri : flaksid.
D. Pemeriksaan sistem motorik
Mencakup pengkajian pada ukuran otot , tonus atot, kekuatan otot,
koordinasi dan keseimbangan. Pasien diintruksikan untuk berjalan
menyilang di dalam ruangan , sementara pengkaji mencatat postur dan
gaya berjalan. Lihat keadaan ototnya, dan bila perlu lakukan palpasi untuk
melihat ukuran dan keadaan simetris. Keadaan atrofi atau gerakan tidak
beraturan (tremor) perlu dicatat. Tonus otot dievaluasi dengan palpasi
yaitu dengan berbagai variasi pada saat otot istirahat dan selama gerakan
pasif. Pertahankan seuruh gerakan tetap dicatat dan didokumentasikan .
keadaan tonus yang tidak normal mencakup spastisitas (kejang), rigititas
(kaku atau fleksiditas).
E. Kekuatan otot
Kekuatan otot diuji melalui pengkajian kemampuan pasien untuk
melakukan fleksi dan ekstremitas sambil dilakukan penahanan. Beberapa
dokter mempunyai lima angka untuk menilai ukuran kekuatan otot. Nilai 5
adalah indikasi terhadap kekuatan konstraksi maksimal, nilai 4 untuk
kekuatan sedang, nilai 3 indikasi kekuatan hanya cukup untuk mengatasi
kekuatan gravitasi, nilai 2 menunjukkan kemampuan untuk menggerakkan
tapi tidak dapat mengatasi kekuatan gravitasi, nilai 1 mengindikasikan
kekuatan kontraksiminimal, dan 0 mengindikasikan ketidakmampuan
sama sekali dalam melakukan kontraksi.
F. Keseimbangan dan koordinasi
Pengaruh serebelum pada sistem motorik terliaht pada kontrol
keseimbangan dan koordiasi. Koordinasi tangan dan ekstremitas atas dikaji
dengan cara meminta pasien melakukan gerakan cepat, berselang-seling
dan ini manunjuk satu titik ke titik lain. Pertama pasien diminta untuk
menepukkan tangan ke paha secepat mungkin , masing-masing tagan diuji
secara terpisah. Kemudian pasien diinstruksikan untuk membalikkan
tangan dari posisi telentang ke posisi telungkup dengan gerakan cepat.
Selanjutnya pasien diperintahkan untuk menyenyuh masing-masing jari
dengan ibu jarisecara berurutan.catat setiap gerakan cepat, simetris dan
derajat kesulitan.
Tes Romberg dilakukan dengan menginstruksikan pasien berdiri
dengan menggunakan satu kali dengan tangan diturunkan pada sisi yang
sama, sementara kaki yang satu diangkat dan tangan yang satunya
dinaikkan ke atas.
G. Pemeriksaan saraf kranial
II. Saraf olfaktorius (Sensasi terhadap bau-bauan).
Pemeriksaan dilakukan dengan mata tertutup, pasien diperintahkan
mengeidentifikasikan bau yang sudah dikenal (kopi, tembakau). Masing-
masing lubang hidung di uji secara terpisah.
III. Saraf optikus (Ketajam penglihatan)
Pemeriksaan dengan kartu snellen, lapang pandang, pemeriksaan
oftalmoskopi.
III, IV, VI (Okulomotorius, Traklear, abdusen)
Fungsi saraf kranal III, IV, dan VI dalam pengaturan gerakan-gerakan mata :
Syaraf kranial III turut dalam pengaturan gerakan kelopak mata, kontrol otot
pada pupil dan otot siliaris dengan mengontrol akomodasi pupil. Pemeriksaan
: kaji rotasi akular, mengkonjugasikan gerakan nistagmus, kaji reflek pupil dan
periksa kelopam mata terhadap adanya ptosis
V. (Trigeminal)
1) Sensasi pada wajah
Pemeriksaan : anjurkan pasien menutup kedua mata, sentuhkan kapas
pada dahi, pipi dan dagu, bandingkan kedua sisi yang berlawanan.
Sensitivitas terhadap nyeri daerah permukaan diuji dengan menggunakan
benda runcing dan diakhiri dengan spatel lidah yang tumpul, lakukan
pengkajian dengan benda tajam dan tumpul secara bergantian.
2) Refleks kornea
Pemeriksaan : pada saat pasien melihat ke atas, lakukan sentuhan
ringan dengan sebuah gumpalan kapas kecil di daerah temporal masing –
masing kornea, bila terjadi kedipan mata keluarnya air mata adalah
respons yang normal.
3) Mengunyah
Pegang daerah rahang pasien dan rasakan gerakan dari sisi ke
sisi.Palpasi otot maseter dan temporal, apakah kekuatannya sama atau
tidak sama.
VII. (Fasial)
Gerakan otot wajah, ekspresi wajah, sekresi air mata dan ludah.
Observasi simetrisitas gerakan wajah saat : tersenyum, bersiul,
mengangkat alis, mengerutkan dahi, saat menutup mata rapat-rapat.
Rasa kecap : dua pertiga anterior lidah.
Pasien mengekstensikan lidah, kemampuan lidah membedakan rasa
gula dan garam.
VIII. Vestibulokoklear (auditorius)
Keseimbangan dan pendengaran : Pemeriksaan : uji bisikan suara / bunyi
detak jam, uji untuk lateralisasi (weber), uji untuk konduksi udara dan tulang
(Rinne).
IX. Glosofaringeus
Rasa kecap : sepertiga lidah bagian pasterior.
X. Vagus
Konstraksi faring dengan tekan spatel lidah pada lidah posterior, atau
menstimulasi faring posterior untuk menimbulkan refleks menelan. Gerakan
simetris dari pita suara, gerakan simetris palatum mole minta pasien
mengatakan ah, observasi terhadap peninggia ovula simetris dan palatum
mole.
XI. Aksesorius spinal
Gerakan otot sternokleidomastoid dan trapezius
Palpasi dan catat kekuatan otot trapezius pada saat pasien mengangkat
bahu sambil dilakukan penekanan.
Palpasi dan catat kekuatan otot sternokleidomastoid pasien saat memutar
kepala sambil dilakukan penahanan dengan tangan penguji ke arah yang
berlawanan.
XII. Hipoglosus
Gerakan lidah
Bila pasien menjulurkan lidah keluar, terdapat devlasi atau tremor.
Kekuatan lidah dikaji dengan cara pasien menjulurkan lidah dan
menggerakkan ke kiri atau kanan sambil diberi tahanan.
7. KOMPLIKASI
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi
beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala.
Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya
cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera
kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40%
penderita yang memiliki luka tembus di kepala.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat)
biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering
diberikan kepada seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk
mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut selama
beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa
karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan
fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis
di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena
stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek
dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan
biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis.
Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah
menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan
merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran
atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali
wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum
(misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan
menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi
pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda
penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera setelah
terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa
penderita mengalami perbaikan secara spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama
berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.
Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang
terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa
yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma).
Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam
(tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya.
Pada cedera otak yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali
dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan
lobus temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan
waktu, tempat dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan
bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Alkoholik
dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut
sindroma Wernicke-Korsakoff. Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut
(sejenis ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung lama. Amnesia Korsakoff
terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Amnesia Korsakoff juga
bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis
akut.
6.Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat
timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi perlu dilakukan
untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskuler untuk
mencegah hilangnya penglihatan yang permanent.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah
besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
8. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau
lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi
untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk
kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
9. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya
leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup.
Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada
85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini
memiliki risiko meningitis yang meningkat, pemberian antibiotic profilaksis
masih controversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau
meningitis berulang merupakan indikasi untuk reparative.
10. Edema serebral & herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi 72 Jam
setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan
gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan dikranium dikompensasi oleh
tertekannya venosus & cairan otak bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus
menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi
vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial &
menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak kebawah / lateral
& menekan di enchephalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak
posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut RES. Mekanisme
kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.
11. Defisit Neurologis & Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran, Nyeri
kepala hebat, Mual / muntah proyektil (tanda dari peningkatanTIK).
Analisa Data
No Etiologi Masalah
Keperawatan
1 Trauma kepala Gangguan perfusi
jaringan otak
Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah
Pendarahan otak
SDH
Penurunan pH
Asidosis metabolik
Toksik
Kerusakan membran sel
Edema sel
Edema serebri
TTIK
2 Trauma kepala Tidak efektifnya
pola napas
Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah
Pendarahan otak
SDH
Penurunan pH
Asidosis metabolik
Toksik
Edema sel
Edema serebri
TTIK
Kesadaran menurun
Perubahan pola napas
3 Trauma kepala Tidak efektifnya
kebersihan jalan
Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah napas
Pendarahan otak
SDH
Penurunan pH
Asidosis metabolik
Toksik
Edema sel
Edema serebri
TTIK
Kesadaran menurun
Penumpukan sekret
SDH
Penurunan pH
Asidosis metabolik
Toksik
Edema sel
Edema serebri
TTIK
Kesadaran menurun
Pendarahan otak
SDH
Penurunan pH
Asidosis metabolik
Toksik
Edema sel
Edema serebri
TTIK
Kesadaran menurun
Cemas
6 Trauma kepala Potensial gangguan
integritas kulit
Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah
Pendarahan otak
SDH
Penurunan pH
Asidosis metabolik
Toksik
Edema sel
Edema serebri
TTIK
Kesadaran menurun
Imobilisasi
Doenges, M. 1989. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Car. 2 nd ed.
Philadelpia : F.A. Davis Company.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta : EGC.
Price and Wilson. (2005). Patofisiologi. Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. Jakarta : EGC.
Suriadi & Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I. Jakarta: CV Sagung
Seto
Suzanne CS & Brenda GB. (1999). Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta :
EGC.