Anda di halaman 1dari 36

TUGAS FARMAKOTERAPI TERAPAN

"TUBERKULOSIS"

Disusun oleh:

Kelompok 5
Dewa Made Oka Purnama 2019000017
Dila Febriana Pratiwi 2019000018
Dina Fatma Alia S. 2019000019
Dinna Chaerani 2019000020

Kelas A

PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2019
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2

BAB I ......................................................................................................................................... 3

PENDAHULUAN .................................................................................................................... 3

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 3

BAB II ....................................................................................................................................... 5

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 5

A. DEFINISI DAN PENYEBAB ........................................................................................ 5

B. MORFOLOGI & STRUKTUR Mycobacterium tuberculosis ........................................ 5

C. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS (6) ........................................................................... 5

D. KLASIFIKASI RIWAYAT PENGOBATAN (6) .......................................................... 6

E. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS TUBERKULOSIS (1) ............................................ 7

F. EPIDEMIOLOGI (2) .................................................................................................... 10

G. GEJALA KLINIS & DIAGNOSIS (5) ......................................................................... 10

H. TATALAKSANA TERAPI TUBERKULOSIS (2)...................................................... 15

I. OBAT-OBAT TUBERKULOSIS (7) ........................................................................... 26

J. MEKANISME KERJA (6) ........................................................................................... 30

K. INTERAKSI OBAT ANTI TUBERKULOSIS (7) ...................................................... 32

BAB III.................................................................................................................................... 35

PENUTUP ............................................................................................................................... 35

A. KESIMPULAN ............................................................................................................. 35

B. SARAN ......................................................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 36


3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga
memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-
paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia yang erat kaitannya dengan kemiskinan, malnutrisi, kepadatan
penduduk, perumahan di bawah standar, dan tidak memadainya layanan kesehatan.
Tuberkulosis (TB) ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien tuberkulosis
batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat
bernapas. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang menyerang pada saluran pernafasan yang
disebabkan oleh bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini bersifat aerob yakni
menyukai daerah yang banyak oksigen oleh karena itu bakteri ini senang tinggal di daerah
apeks paru-paru dan bakteri ini juga mempunyai sifat khusus, yakni mampu tahan terhadap
asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik, sehingga dikenal sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA) (1).
Di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka
kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya.
Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India
dan China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di
dunia. TB merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia, berdasarkan data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman
TB. Dan pada tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman TB. Sebagian
besar penderita TB adalah penduduk yang berusia produktif antara15-55 tahun, dan penyakit
ini merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan
akut pada seluruh kalangan manusia (2)
Penyakit tuberculosis paru merupakan penyakit yang penyebarannya sangat mudah yaitu
penularan melalui perantara ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberculosis
paru. Pengobatan TB paru dapat dilaksanakan secara tuntas dengan kerjasama yang baik antara
4

penderita TB paru dan tenaga kesehatan atau lembaga kesehatan, sehingga penyembuhan
pasien dapat dilakukan secara maksimal. Penanganan TB paru oleh tenaga dan lembaga
kesehatan dilakukan menggunakan metode Direct Observe Treatment Shortcourse (DOTS)
atau observasi langsung untuk penanganan jangka pendek. DOTS terdiri dari lima hal, yaitu
- Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk dukungan dana)
- Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
- Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan
pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO)
- Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
- Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB (1).
Peningkatan jumlah kasus TB diberbagai tempat pada saat ini diduga disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) progam
penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) pelayanan kesehatan yang kurang
memadai. Keberhasilan pengobatan tuberculosis tergantung pada pengetahuan pasien dan
dukungan dari keluarga. Tidak adanya upaya dari diri sendiri dan dukungan dari keluarga akan
memberikan dampak buruk terhadap keberhasilan pengobatan. Apabila ini dibiarkan, dampak
yang akan muncul apabila pasien menghentikan pengobatan adalah timbulnya bakteri
tuberculosis yang resisten terhadap obat, bakteri terus menyebar dan pengendalian obat
tuberculosis akan semakin sulit dilaksanakan serta dapat meningkatkan angka kematian akibat
penyakit Tuberkulosis (3).
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI DAN PENYEBAB


Tuberkulosis atau biasa disingkat TB merupakan penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Umumnya Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat
khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi
dahak secara mikroskopis. Sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman
dapat dormant (tertidur sampai beberapa tahun). TB timbul berdasarkan
kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit (4).

B. MORFOLOGI & STRUKTUR Mycobacterium tuberculosis


Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm dan panjang 1 –
4 μm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi
(60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks
(complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak
berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan
glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang
terdapat pada diniding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan
dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri
M.tuberculosis bersifat tahan asam (5).

C. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS (6)


Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenkim paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB
Paru dibagi dalam:
6

a. Tuberkulosis Paru BTA Positif


1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto
rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB Paru BTA
Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran
foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses "far advanced" atau millier), dan/atau keadaan umum
penderita buruk.

2. Tuberkulosis ekstra paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat
keparahan penyakit, yaitu :
a. TB ekstra paru ringan
TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal
b. TB ekstra paru berat
Meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex,
TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

D. KLASIFIKASI RIWAYAT PENGOBATAN (6)


1. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
7

3. Kasus pindahan
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain
dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut
harus membawa surat rujukan / pindah
4. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2
bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita
tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
5. Kasus gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih;
atau penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
6. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik

E. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS TUBERKULOSIS (1)


Penularan TB terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei seperti ilustrasi gambar
1. Droplet nuclei akan melewati mulut/saluran hidung, saluran pernafasan atas, bronkus
kemudian menuju alveolus. Setelah tubercle bacillus sampai di jaringan paru-paru,
mereka akan mulai memperbanyak diri. Lambat laun, mereka akan menyebar ke
kelenjar limfe. Proses ini disebut sebagai primary TB infection. Ketika seseorang
dikatakan penderita primary TB infection, tubercle bacillus berada di tubuh orang
tersebut. Seseorang dengan primary TB infection tidak dapat menyebarkan penyakit ke
orang lain dan juga tidak menunjukkan gejala penyakit (WHO, 2004).

Gambar 1. Penyebaran Tuberkulosis


Tuberkulosis menyebar dari satu orang ke orang lain melalui udara.
Titik merah di udara menggambarkan droplet nuclei yang mengandung tubercle bacili.
8

Seseorang yang terinfeksi kuman TB belum tentu sakit atau tidak menularkan
kuman TB. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor risiko. Kemungkinan
untuk terinfeksi TB, tergantung pada :
- Kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara
- Lamanya kontak dengan droplet nuklei tersebut
- Kedekatan dengan penderita TB

Risiko terinfeksi TB sebagian besar adalah faktor risiko external, terutama


adalahfaktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat & kumuh.
Sedangkan risiko menjadi sakit TB, sebagian besar adalah faktor internal dalam tubuh
penderita sendiri yang disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh
penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, pengobatan dengan immunosupresan
dan lain sebagainya.
Pada penderita TB sering terjadi komplikasi dan resistensi. Komplikasi berikut
sering terjadi pada penderita stadium lanjut:
1. Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial
3. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura)
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu perawatan di rumah sakit.
Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA Negatif)
masih bisa mengalami batuk darah. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT
tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simtomatis. Bila perdarahan berat,
penderita harus dirujuk ke unit spesialistik. Resistensi terhadap OAT terjadi umumnya
karena penggunaan OAT yang tidak sesuai (penderita yang menggunakan obat tidak
patuh dengan jadwal atau tidak sesuai dosisnya).
Setelah infeksi pertama, sel pertahanan tubuh orang sehat (makrofag) akan
bergerak menuju tempat infeksi dan memakan bacilli. Namun, tubercle bacilli
sangatlah kuat karena struktur dinding selnya. Perlindungan ini membuat tubercle
9

bacilli dapat bertahan meskipun makrofag memakannya. Setelah makrofag memakan


tubercle bacilli, bacilli kemudian menginfeksi makrofag. Bacilli hidup di dalam
makrofag hidup yang tumbuh seperti biasa. Setelah makrofag ditaklukkan oleh tubercle
bacilli, sistem imun tubuh mencoba strategi pertahanan lain. Sejumlah sel pertahanan
sampai di kelenjar limfa dan mengelilingi area infeksi. Sel-sel ini membentuk gumpalan
sel keras dengan sebutan tubercle. Sel ini membantu untuk membunuh bacilli melalui
pembentukkan dinding pencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Pada beberapa kasus,
sel pertahanan dapat merusak semua tubercle bacilli secara permanen. Pada beberapa
kasus, sel pertahanan tidak mampu untuk merusak semua tubercle bacilli. Tubercle
bacilli yang bertahan masuk ke dalam status dormant dan dapat bertahan lama.
Sepanjang waktu ini, bakteri tertidur. Pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak dapat
menularkannya ke orang lain. Kondisi tersebut dikenal dengan TB laten. Bakteri
dormant dapat bangun kembali dan merusak dinding sel pertahanan dalam suatu proses.
Proses tersebut dikenal sebagai Secondary TB infection. Secondary TB infection dapat
terjadi ketika sistem imun tubuh menjadi lemah dan tidak mampu melawan bakteri,
atau ketika bakteri mulai untuk memperbanyak diri dan melimpah. Secondary TB
infection biasanya terjadi dalam 5 tahun dari primary infection. Secondary TB infection
sering dianggap sebagai onset penyakit TB aktif ( kondisi ketika bakteri mulai
memenangkan perlawanan terhadap sistem pertahanan tubuh dan mulai menyebabkan
gejala) (WHO, 2004).

Gambar 2. Patogenesis Tuberkulosis


10

F. EPIDEMIOLOGI (2)
Di Indonesia tahun 2001 diperkirakan 582 ribu penderita baru atau 271 per 100 ribu
penduduk, sedangkan yang ditemukan BTA positif sebanyak 261 ribu penduduk atau
122 per 100 ribu penduduk, dengan keberhasilan pengobatan diatas 86 % dan kematian
sebanyak 140 ribu. Jumlah penderita di Indonesia ini merupakan jumlah persentase
ketiga terbesar di dunia yaitu 10 %, setelah India 30 % dan China 15 %.
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)
di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan
ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang
akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita
TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari
keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%,
maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis
setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif.
Penularan TB sangat dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat
penduduk, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah lingkungan yang terkait
seperti masalah kesehatan yang berhubungan dengan kepadatan anggota keluarga,
kepadatan penduduk, konsentrasi kuman, ketersediaan cahaya matahari, dll. Sedangkan
masalah perilaku sehat antara lain akibat dari meludah sembarangan, batuk
sembarangan, gizi yang kurang atau tidak seimbang, dll. Untuk sarana pelayanan
kesehatan, antara lain menyangkut ketersediaan obat, penyuluhan tentang penyakit dan
mutu pelayanan kesehatan. Masalah lain yang muncul dalam pengobatan TB adalah
adalah adanya resistensi dari kuman yang disebabkan oleh obat (multidrug resistent
organisme).

G. GEJALA KLINIS & DIAGNOSIS (5)


1. Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik
1) Batuk ≥ 3 minggu
2) Batuk darah
3) Sesak napas
4) Nyeri dada
11

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang
dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa
akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat
gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.
b. Gejala sistemik
Demam, malaise, keringat malam, berat badan menurun
2. Diagnosis
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapatnya paling sedikit satu spesimen
konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi TB atau
bukti klinis sesuai TB.
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
a. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan
jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah
dengan cara Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh) dan
Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti,
dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga
Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi
12

MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya


pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun
pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang
timbul.
b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang
dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah
2) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
3) Bayangan bercak milier
4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
c. Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di
daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai
alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini
akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang
dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang
didapat besar sekali atau bula. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin
kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya
negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya
menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan a) reaksi
peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang terkena infeksi
atau b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent
dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis)
c. Polymerase chain reaction (PCR)
d. Pemeriksaan serologi
13

e. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh
mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan
biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.
f. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah
g. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan
trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB),
biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan
biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi
dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada
tuberkulosis ekstra paru
h. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan
kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator
tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita,
sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan
penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan
penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/
daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED
sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal
tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit pun kurang spesifik.
14
15

H. TATALAKSANA TERAPI TUBERKULOSIS (2)


Pengobatan TBC membutuhkan waktu yang lebih lama daripada pengobatan infeksi
bakteri lainnya. Antibiotik harus dikonsumsi selama 3-9 bulan secara kontinu dan
teratur. Jenis obat dan lamanya pengobatan begantung pada usia, tingkat keparahan
penyakit, resiko resistansi antibiotik, bentuk TBC (aktif atau laten), dan lokasi infeksi.
Umumnya untuk pengobatan TBC laten hanya membutuhkan satu jenis antibiotik saja,
sedangkan untuk TBC aktif membutuhkan kombinasi dari beberapa antibiotik. Obat
yang sering digunakan adalah isoniazid, rifampisin, etambutol, dan pirazinamid.
Penggunaan obat-obatan untuk terapi TBC umumnya menimbulkan efek
samping ringan yang dapat ditoleransi seperti perut kembung, flatulen, mual, perubahan
warna pada cairan tubuh, insomnia, dan fotosensitivitas. Namun perlu diingat bahwa
semua pengobatan TBC dapat bersifat toksik terhadap hati. Oleh karna itu apabila
muncul efek samping seperti mual, muntah, nafsu makan menurun, kulit berwarna
kuning/jaundis, urine gelap, demam tiga hari atau lebih tanpa adanya penyebab yang
jelas dan perubahan pada perilaku dan daya ingat, maka penderita diwajibkan,untuk
segera menghubungi dokter. Penggunaan obat TBC harus diperhatikan untuk pasien
yang memiliki riwayat penyakit hepatitis maupun menggunakan obat-obatan lainnya
yang bersifat hepatotoksik. Penggunaan obat-obatan harus dihentikan ketika toksisitas
mata, neurotoksisitas, ototoksisitas, hepatotoksisitas, dan renototoksisitas muncul.
TBC dapat disembuhkan dengan pengobatan yang tepat dan terartur.
Ketidakpatuhan terhadap terapi TBC dapat menimbulkan resistensi bakteri terhadap
obat standar TBC. Multidrug-resistant TBC (MDR-TB) merupakan suatu bentuk TBC
yang sulit dan mahal untuk diobati akibat gagalnya terapi menggunakan standar obat
lini pertama. Orang dengan MDR-TB resisten terhadapa minimal 2 antibiotik pilihan
pertama. Pada tahun 2010, WHO melporkan kejadian MDR-TB tertinggi dengan
kejadian 28% pada negara-negara bekas Uni Soviet dan sekitar 650.000 orang diseluruh
negara memiliki MDR-TB. Pada tahun 2008 diestimasikan kejadian MDR-TB sebesar
440.000 untuk seluruh dunia, namun hanya lebih dari 30.000dari kejadian yang terjadi
dilaporkan kepada WHO. Akibat dari kurangnya pemantauan dan penanganan yang
baik terhadap penyakit TBC, maka sekarang telah dilaporkan adanya resistensi
terhadap obat lini kedua (extensively drug-resistant TB) pada 58 negara. Resistensi ini
akan meningkatkan angka mortalitas terhadap penyakit TBC di seluruh dunia. Oleh
karna itu, berbagai organisasi kesehatan sedang merancang dan menggalangkan
program pengobatan dan pengendalian TBC secara global.
16

1. Terapi nonfarmakologi
Pengobatan ini dapat dilakukan dengan mencegah penyebaran dari infeksi TBC
dengan mengisolasi pasien yang terinfeksi TBC, menghubungi dan melaporkan
kejadian infeksi TBC kepada pusat pengendalian penyakit menular,
mengembalikan status gizi dan berat badan pasien, serta menghilangkan
jaringan paru-paru yang rusak, yaitu melalui operasi.
2. Terapi farmakologi
a. Pengobatan infeksi TBC laten
Pengobatan yang umum digunakan untuk infeksi ini adalah isoniazid (INH).
Dosis tunggal diberikan sebanyak 300 mg per hari selama 9 bulan. Apabila
terjadi resistensi atau toleransi terhadap INH maka dapat diberikan
rifampisin 600 mg seiap hari selama 4 bulan. Selain rifampisin dapat pula
digunakan rifabutin 300 mg sehari sebagai penggantinya.
b. Pengobatan TBC aktif
Pengobatan pada penyakit TBC aktif membutuhkan kombinasi dari
beberapa antibiotik. Penggunaan obat tunggal untuk penyakit ini dapat
menyebabkan kegagalan terapi. Isoniazid dan rifampisin sering digunakan
bersamaan karna dapat mencegah terjadinya resistensi. Pemilihan obat-
obatan yang tepat untuk pengobatan TBC aktif sebaiknya didasarkan pada
hasil uji resistensi antibiotik. Uji resistensi ini dapat diulangi lagi apabila
setelah mendapatkan terapi pasien masih memberikan hasil positif terhadap
kultursetelah mendapatkan terapi selama 8 minggu atau lebih.
Pengobatan TBC aktif dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap awal yang
sangat krusial untuk mencegah resistensi obat dan menentukan outcome dari
regimen yang diberikan. Tahap kontinu yang diberikan selama 6-9 bulan.
Pada pasien TB tanpa komplikasi, tanpa kavitasi, dan tidak resisten terhadap
antibiotik setelah beberapa bulan menggunakan obat maka terapi kontinu
dillakukan hanya selama 6 bulan. Namun untuk pasien denggan resiko
resitensi tinggi dan memberikan hasil uji kultur positif setelah 2 bulan
menggunakan obat, maka waktu terapi kontinu yang dibutuhkan adalah 9
bulan.
Secara umum pengobatan standar untuk penyakit ini adalah isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol digunakan selama 2 bulan, dan
kemudian diikuti dengan penggunaan isoniazid dan rifampisin selama 4
17

bulan. Pengobatan menggunakan isoniazid dan rifampisin selama 9 bulan


dianjurkan untuk oenderita yang beresiko tinggi terhadap
terjadinyakegagalan terapi dan reinfeksi bakteri TBC, termasuk penderita
yang masih memberikan hasil kultur positif setelah mendapatkan terapi
intensif selama dua bulan. Setelah mendapatkan hasil kultur yang negatif,
terapi tetao harus dilanjutkan selama 6 bulan.
Pengobatan pasien ini harus dimonitor dengan ketat karna sering sekali
pasien kesulitan mengonsumsi obat TBC bersamaan dengan obat HIV.
Selain itu terdapat beberapa obat yang saling berinteraksi jika digunakan
bersamaan. Oleh karna itu resiko terjadinya MDR-TB sangat besar untuk
pasien HIV.
Pada pasien gagal ginjal pengobatan TBC aktif menggunakan isoniazid
dan rifampisin tidak perlu dilakukan modifikasi dosis karna dieliminasi
melalui hati. Sedangkan penggunaan pirazinamid dan etambutol harus
diturunkan hingga tiga kali seminggu untuk mencegah terjadinya akumulasi
dari obat induk atau metabolitnya. Penggunaan obat-obat lainnya yang
dieliminasi melalui ginjal seperti aminoglikosida, siklosporin,
levofloksasin, dan sikloserin harus diperpanjang interval dosisnya dan
dimonitor kadarnya dalam serum. Penggunaan obat-obatan seperti INH,
rifampisin, pirasinamida, etionamida, dan asam p-aminsalilat yang
dieliminasi melalui hari.
Terapi secara farmakologi juga bisa dikelompokkan berdasarkan kategori
penyakit tuberkulosis berikut:
1) Kategori-1
 Pasien baru TB paru BTA positif
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
 Pasien TB ekstra paru
2) Kategori-2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya.

Pada pendekatan umum kategori 1 diobati dengan INH, rifampisin,


pirazinamid, dan etambutol selama 2 bulan (fase intesif) setiap hari dan
selanjunya 4 bulan (fase lanjutan) dengan INH dan rifamfisin 3 kali dalam
18

seminggu (2HRZE/4H3RE). Kategori 2 diobati dengan INH, rifamfisin,


pirazinamid, etambutol dan streptomisin selama 2 bulan setiaphari dan
selanjutnya dengan INH, rifampisin, dan etambutol selama 5 bulan
seminggu 3 kali (2HRZES/ HRZE/5H3R3E3. Jika selama 2 bulan BTA
masih positif, fase intensif ditambah 1 bulan sebagai sisipan (dengan
HRZE).

 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk kategori 1


Berat badan (kg) Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
selama 56 hari seminggu selama 16
RHZE (150/75/400/275) minggu
RH (150/50)
30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
>71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
KDT = Kombinassi Dosis Tetap

 Dosis untuk paduan OAT KDT kategori 2


Berat Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
badan (kg) RHZE (150/75/400/275) + S seminggu selama 16
minggu RH (150/50)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg + 2 tablet etambutol
streptomisin inj.
38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg + 3 tablet etambutol
streptomisin inj.
55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg + 4 tablet etambutol
streptomisin inj.
>71 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg + 5 tablet etambutol
streptomisin inj.
19

 Mekanisme kerja obat


Isoniazid bekerja dengan cara menghambat sintesis asam mikolat, komponen
terpenting pada dinding sel bakteri. Rifampisin menghambat aktivitas
polymerase RNA yang tergantung DNA pada sel-sel yang rentan. Pirazinamid
adalah analog pirazin dari nikotinamid yang bersifat bakteriostatik atau
bakterisid terhadap mycobacterium tuberculosis tergantung pada dosis
pemberian. Mekanisme kerja piraziamid belum diketahui secara pasti.
Atambutol menghambat sintesis minimal 1 metabolit yang menyebabkan
kerusakan pada metabolisme sel, menghambat multiplikasi, dan kematian sel.
Streptomisin adalah antibiotik bakterisid yang mempengaruhi sintesis protein.
 Regimen Pengobatan Tuberkulosis
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik
dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktifitas obat
TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas
sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,
Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini
disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam
hal membunuh bakteri. Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam
mekanisme sterilisasi. Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah
Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin,
Rifapentin dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin,
Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih
toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Sedangkan
Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam
pengobatan kombinasi anti TB. Regimen pengobatan TB mempunyai kode
standar yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara
pemberian (harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh
2HRZE/4H3R3 atau 2HRZES/5HRE
Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni:
H = Isoniazid R = Rifampisin
Z = Pirazinamid E = Etambutol
S = Streptomisin
20

Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi.
Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap
hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti
pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu (selama 4 bulan).

Kombinasi Dosis Tetap (OAT- Paket Kombipak


KDT)
Tablet OAT KDT ini terdiri dari Adalah paket obat lepas yang terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid dan
dalam satu tablet. Dosisnya Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
disesuaikan dengan berat badan Paduan OAT ini disediakan program untuk
pasien. Paduan ini dikemas dalam digunakan dalam pengobatan pasien yang
satu paket untuk satu pasien terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
Paket OAT KDT Tahap Intensif
1. Paket OAT KDT tahap Jenis obat dalam paket kombipak
intensif Tablet isoniazid @300 mg
1 tablet mengandung 4 jenis obat Kaplet Rifampisin @450 mg
yaitu: Tablet Pirazinamid @500 mg
Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 Tablet Etambutol @250 mg
mg, Pirazinamid 400 mg, dan
Etambutol 275 mg

2. Paket OAT KDT tahap


lanjutan
1 tablet mengandung 2 jenis obat,
yaitu:
Rifampisin 150 mg, Isoniazid 150
mg.
21

Obat pertama yang digunakan ialah INH, Rifampisin, pirazinamid, Streptomisin ,


Etambutol. Oat lini kedua yaitu Kanamisin, Amikasin, Kuinolon.
1. Jenis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis
Kisaran Dosis Kisaran Dosis Maksimum
Harian Intermitten (mg)
(mg/kgBB) (mg/kgBB)
Rifampisin (R) Bakterisidal 10 10 600
Isoniazid (H) Bakterisidal 5 10 300
Pyrazinamide (Z) Bakterisidal 25 35
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30
Streptomisin (S) Bakterisidal 15 15 1000

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap
dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Keuntungan kombinasi dosis tetap
antara lain:
a) Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
b) Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
c) Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar
d) Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
e) Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi.
Kategori Pasien Tuberkulosis Alternatif Panduan Pengobatan
Pengobatan Tuberkulosis
Tuberkulosis
Fase Awal Fase Lanjutan

I - Kasus baru TB paru BTA (+) 2 RHZE 4 R3H3


- Kasus baru TB paru BTA (-)
dengan kerusakan parenkim yang
luas
- Kasus baru dengan kerusakan yang
berat pada TB ekstra pulmoner
II TB paru BTA (+) dengan riwayat 2 RHZES + 1 5 R3H3E3
pengobatan sebelumnya : RHZE
 Kambuh
 Kegagalan pengobatan
 Pengobatan tidak selesai
III - Kasus baru TB paru dengan BTA 2 RHZ 4 R3H3
(-) (diluar kategori I)
- Kasus baru yang berat dengan TB
Ekstra pulmoner
22

2. Paduan OAT di Indonesia


a) Kategori I
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan.
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga
kali dalam seminggu selama 4 bulan.

Dosis per hari/kali Jumlah


Tahap Lama Tablet Tablet Tablet Tablet hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@300 mg @450 mg @500 mg @250 mg obat

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Dosis OAT Kombipak Kategori 1


Tahap lanjutan
Tahap intensif
3 kali seminggu selama 16
Berat Badan tiap hari selama 56 hari
minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
≥71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

b) Kategori II
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES
setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan
dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam
seminggu. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang).
Dosis OAT Kombipak Kategori

Tahap intensif Tahap Lanjutan


tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu
Berat Badan
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E
Selama 56 hari Selama 28 hari (400)
2 tablet 4 KDT + 500 2 tablet 2 KDT
30-37 kg 2 tablet 4 KDT
mg Steptomisin injeksi +2 tablet Ethambutol
3 tablet 4 KDT + 750 3 tablet 2 KDT
38-54 kg 3 tablet 4 KDT
mg Streptomisin injeksi + 3 tablet Ethambutol
4 tablet 4 KDT + 750 4 tablet 2 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT
mg Streptomisin injeksi +4 tablet Ethambutol
5 tablet 4 KDT + 750 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT
≥71 kg
mg Streptomisin injeksi (> dosis maksimal) +5 tablet Ethambutol
23

c) Katergori III
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu.

Tablet Kaplet
Tahap Lamanya Tablet Pirazinamid
Isoniazid Rifampisin
Pengobatan Pengobatan @ 500 mg
@300 mg @ 450 mg
Tahap intensif
2 bulan 1 1 3
(dosis harian)
Tahap lanjutan
(dosis 3 x 4 bulan 2 1 -
seminggu)

 Pengobatan TB Pada Anak


Prinsip dasar pengobatan TB pada anak tidak berbeda dengan pada orang dewasa, tetapi
ada beberapa hal yang memerlukan perhatian:
1. Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan setiap
hari.
2. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Susunan paduan obat TB anak adalah 2HRZ/4HR.
Tablet Kaplet Tablet Tablet Tablet Strepto
Tahap Lama
Isoniazid Rifampisin pyrazinamide Ethambutol Ethambutol mycin
Terapi Terapi
@300 mg @450 mg @500 mg @250 mg @400 mg injeksi

Awal 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr


(dosis
harian) 1 bulan 1 1 3 3 - -

Lanjut
an
(dosis
5 bulan 2 1 - 1 2 -
3x
seming
gu)

1. Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z)
selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ).
2. Tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan
diberikan setiap hari (4HR).
24

Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 – 20 kg BB 20 –33 kg


Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Catatan : - Penderita yang berat badannya kurang dari 5 kg harus dirujuk ke Dokter
Ahli
- Pemantauan kemajuan pengobatan pada anak dapat dilihat antara lain
dengan terjadinya perbaikan klinis, naiknya berat badan, dan anak
menjadi lebih aktif dibanding dengan sebelum pengobatan.

 Pengobatan TB pada kondisi khusus


a) Wanita hamil

1. Prinsip pengobatan TB pada wanita hamil tidak berbeda dengan pengobatan TB


pada umumnya. Semua OAT aman untuk ibu hamil kecuali sterptomisin, karena
dapat menembus barier plasenta yang dapat menyebabkan janin mengalami
gangguan pendengaran dan keseimbangan.
2. Ibu menyusui dan bayinya
Prinsip pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada
umumnya. Semua OAT aman untuk ibu menyusui, dalam terapinya pengobatan
harus dilakukan dengan paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang baik
menccegah penularan kuman TB terhadap bayi. Pengobatan pencegahan dengan
INH dapat diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badanya selama 6
bulan. BCG diberikan setelah pengobatan pencegahan.
3. Wanita penderita TB pengguna kontrasepsi
25

Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil kB, suntikan KB, susuk
KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Pencegahan
terhadap hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan kontrasepsi non-hormonal
atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (5- mcg).

4. Penderita TB dengan HIV/AIDS


Pengobatan TB pada penderita HIV/AIDS sama dengan penderita TB lainnya. Obat
pada penderita HIV/AIDS sama efektifnya
5. Penderita TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada penderita TB dengan hepatitis akut atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatiti akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana OAT
sangat diperlukan dapat diberikan SE selma 3 bulan sampai hepatitisnya membaik
dan dilanjutkan denga RH selama 6 bulan, bila hepatitis tidak membaik dapat
dilanjutkan sampai 12 bulan.
6. Penderita TB dengan penyakit hati kronik
Pada penderita TB dengan indikasi gangguan fungsi hati yang ditandai dengan
meningkatnya SGOT dan SGPT lebih dari 3 kali OAT harus dihentikan.
Pirazinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan obat yang dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE atau 9RE.
7. Penderita TB dengan gangguan ginjal
Isoniazid, Rifampisin dan pirazinamid dapat diberikan dengan dosis normal pada
penderita TB dengan gangguan ginjal. Penggunaan Strepromisin dan Ethambutol
dihindari kecuali dapat dilakukan pengawasan pada fungsi ginjal dengan dosis
diturunkan atau interval pemberian yang lebih jarang. Paduan OAT yang paling
aman ialah 2RHZ/6HR.
8. Penderita TB dengan diabetes melitus
Pengobatan dilakukan dengan pengontrolan diabetes penderita. Penggunaan
Rifampisin dapat mengurangi efektifitas penggunaan obat orat antidiabetes
(sulfonil urea) sehingga dosis perlu ditingkatkan. Perhatikan penggunaan
Ethambutol karena dapat menyebabkan komplikasi mata.
9. TB meningitis, TB pleuritis eksudativ dan TB perikarditis konstriktiva
26

I. OBAT-OBAT TUBERKULOSIS (7)


1. ISONIAZID
Indikasi : Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain; profilaksis
Kontraindikasi : Penyakit hati yang aktif; hipersensitivitas terhadap isoniazid
Peringatan : Gangguan fungsi hati (uji fungsi hati); gangguan fungsi
ginjal; resiko efek samping meningkat pada asetilaton lambat, epilepsy; riwayat
psikosis; alkoholisme; kehamilan dan menyusui, porfiria
Efek samping : Mual, muntah, neuritis perifer, neuritis optic, kejang, episode
psikosis; reaksi hipersensitivitas seperti eritema multiforme, demam, purpura,
agronulositiosis; hepatitis (terutama pada usia lebih dari 35 tahun); sindrom
SLE, pellagra, hiperglikemia dan ginekomastia
Sediaan Beredar : INH Generik, Beniazide Pembangunan, Decadoxin
Harsen, INH CIBA Novartis Indonesia, Inoxin Forte Dexa Medika, Pehadoxin
Phapros, Pulmolin Pharos, Pyravit LPN Yupharin, Pyrifort Mediafarma,
Suprazid Armoxindo
2. RIFAMPISIN
Indikasi : Bruselosis, legionelosis, infeksi berat stafilokokus dalam
kombinasi dengan obat lain, tuberkulosis, lepra
Kontraindikasi : Penyakit hati aktif
Peringatan : kurangi dosis pada gangguan funsi hati, lakukan pemerikasaan
uji fungsi hati dan hitumg sel darah pada pengobatan jangka panjang; gangguan
fungsi ginjal (jika dosis lebih daru 600 mg/hari), kehamilan dan menyusui
Efek samping : Gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah, anoreksia,
diare; pada terapi interminten dapat terjadi sindrom influenza, gangguan
respirasi (nafas pendek), kolaps dan syok, anemia hemolitik, anemia, gagal
ginjal akut, purpura trombositopenia; gangguan fungsi hati, ikterus; flushing,
urikaria, ruam, udem, kelemahan otot, miopati, leucopenia, eosinofilia,
gangguan menstruasi, warna kemerahan pada urin, saliva dan cairan tubuh
lainnya; tromboflebitis pada pemberian infu jangka panjang.
Sediaan Beredar : Rifamisin Generik, Kombipak Generik, Ipirif Tempo,
Kalrifam Farma, RIF Armoxindo, Rifabiotic Bernofarm, Rifacin Prafa,
Rifam Dexa Medica, Rifamec Mecosin, Rifampin Pharos, Rifamtibi Sanbe,
Rimactane Novartis Indonesia, Rimactazid Novartis Indonesia
27

3. SIKLOSERIN
Indikasi : Dalam kombinasi obat-obat lain, tuberkulosis yang resisten
terhadap obat-obata pilihan pertama.
Kontraindikasi : Gangguan fungsi ginjal berat, epilepsi, depresi, ansietas berat,
keadaan psikotik, ketergantungan alkohol, porfiria.
Peringatan : Hentikan (atau kurangi dosis) jika muncul dermatitis alergik
atau gejala toksisitas pada SPP; kurangi dosis pada gangguan fungsi ginjal
(hindari jika parah); monitor fungsi hematologi, ginjal, dan hati; kehamilan dan
menyusui.
Efek samping : Terutama neurologis, termasuk sakit kepala, pusing, vertigo,
mengantuk, tremor, kejang, psikosis, depresi, ruam; anemia megaloblastik;
perubahan pada uji fungsi hati.
Sediaan Beredar : Cycloserine Meiji-Meiji Indonesia

4. ETIONAMID
Indikasi : Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap etionamid, kerusakan hati parah
Peringatan : Perlu dilakukan pengukuran SGOT dan SGPT sebelum dan
selama pengunaan obat setiap bulannya. Memonitor kadar gula darah dan fungsi
tiroid secara perodik
Efek samping : Depresi, pusing, konvulsi, neuritis perifer dan neuropati,
gangguan alfaktori, pandangan kabur, neuritis optik, sakit kepala, lemas,
tremor, psikosis, anoreksia, mual dan muntah, diare, rasa logam, hepatitis,
jaundice, stomatitis, hipertensi postural, kemerahan pada kulit, jerawat,
alopesia, trombositopenia, ginekomastia, impontesi, kesulitan dalam mengatur
gula darah

5. P-ASAM AMINOSALISILAT
Indikasi : Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap p-asam aminosolisilat, gangguan
ginjal parah
Peringatan : Timbul sindrom malabsirbsi, mengganggu pembacaan AST
dengan metode dye azoene dan uji urin kualitatif untuk keton, bilirubin,
urobilinogen, atau porfobilinogen, terbentuknya kristaluria
28

Interaksi : Berinterkasi dengan isoniazid, digoxin, dan vitamin B12


Efek samping : Mual, muntah, diare, nyeri abdominal, demam, erupsi kulit,
leukopenia, agranulositosis, trombositopenia, jaundicem hepatitis, perikarditis,
hipoglikemia, neuritis optik, enselopati, vaskulitis, dan reduksi pada protombin
Sediaan Beredar : Paser Jacobus Pharma
6. KAMPREOMISIN
Indikasi : Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain yang
digunakan ketika obat tahap pertama tidak efektif atau tidak dapat digunakan
karena toksisitas atau resistensi.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap kapreomisin
Peringatan : Dapat menyebakan hambatan pada neuromuskular parsial
dengan dosis IV besar, perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan
hipokalemia.
Interaksi : Berinteraksi dengan aminoglikosida dan obat penghambat
neuromuskular nondepolarisasi
Efek samping : Ototoksisitas, tinnitus, vertigo, nyeri indurasi, dan pendarahan
berlebihan pada daerah injeksi, abses steril, leukositosis, leukopenia,
eusinofilia, abnormalpada uji fungsi hati, urtikaria, dan kemerahan kulit
makulopapular.
7. RIFAPENTIN
Indikasi : Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain
Kontraindikasi : Hepersensitivitas terhadap rifamisin
Peringatan : Kurangi dosis pada gangguan fungsi hati; lakukan pemeriksaan
uji fungsi hati dan hitung sel darah pada pengobatan jangka panjang; gangguan
fungsi ginjal (jika dosis lebih dari 600 mg/hari), kehamilan dan menyusui
Interaksi : Berinteraksi dengan penghambat protease, obat-obat yang
dimetabolisme oleh sitokrom P450 3A4 dan P450 2C9/9, kontrasepsi hormonal
dan sistemik
Efek samping : Kemerahan, pyuria, proteinuria, hematuria, sedimen pada urin,
neutropenia, limfopenia, hiperurikemia, dan peningkatan SGOT dan SGPT
Sediaan Beredar : Priftin Aventis
29

8. STREPTOMISIN
Indikasi : Sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama
isoniazid, Rifampisin, dan pirazinamid, atau untuk penderita yang dikontra
indikasi dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut.
Kontraindikasi : hipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat atau
aminoglikosida lainnya.
Peringatan : hati hati pada penderita gangguan ginjal, Lakukan
pemeriksaan bakteri tahan asam, hentikan obat jika sudah negatif setelah
beberapa bulan. Penggunaan intramuskuler agar diawasi kadar obat dalam
plasma terutama untuk penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
Efek samping : gangguan pada pendengaran/ototoksik.

9. PIRAZINAMID
Indikasi : Digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan
anti tuberkulosis lain.
Kontraindikasi : Pada gangguan fungsi hati parah, porfiria, hipersensitivitas.
Peringatan : Hanya dipakai pada terapi kombinasi anti tuberkulosis dengan
pirazinamid, namun dapat dipakai secara tunggal mengobati penderita yang telah
resisten terhadap obat kombinasi. Obat ini dapat menghambat ekskresi asam urat
dari ginjal sehingga menimbulkan hiperurikemia. Jadi penderita yang diobati
pirazinamid harus dimonitor asam uratnya.
Efek samping : Efek samping hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia,
hepatomegali, ikterus; gagal hati; mual, muntah, artralgia, anemia sideroblastik,
urtikaria.

10. ETAMBUTOL
Indikasi : sebagai terapi kombinasi tuberkulosis dengan obat lain, sesuai
regimen pengobatan jika diduga ada resistensi.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik.
Peringatan : Jika Etambutol dipakai, maka diperlukan pemeriksaan fungsi
mata sebelum pengobatan. Turunkan dosis pada gangguan fungsi ginjal, usia
lanjut, kehamilan, ingatkan penderita untuk melaporkan gangguan penglihatan.
Efek samping : gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna
dan penyempitan lapangan pandang. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif;
30

bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan,
biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Reaksi adversus berupa sakit kepala,
disorientasi, mual, muntah dan sakit perut.

J. MEKANISME KERJA (6)


1. ISONIAZID
Isoniazid adalah salah satu obat pilihan untuk obat lini pertama tuberkulosis.
Fungsinya adalah untuk menghambat produksi dari asam mikolat, komponen
dinding sel penting pada bakteri. Asam mikolat ini menyebabkan bakteri menjadi
resisten terhadap kerusakan kimia dan dehidrasi, sehingga mencegah aktifitas
efektif dari antibiotik hidrofobik. Selain itu, asam mikolat membuat bakteri mampu
tumbuh didalam makrofag, bersembunyi dari sistem imun host. Oleh karena itu
sangat penting memilih asam mikolat sebagai target obat.
Mekanisme Kerja:
Mekanisme kerja utama dari isoniazid adalah dengan berfokus pada pembentukan
berbagai senyawa reaktif yaitu reactive oxygen species (ROS).
Setelah isoniazid beredar dalam aliran darah, isoniazid akan berdifusi secara pasif
masuk ke dalam tubuh bakteri, yang mana bentuk tidak aktif dari isoniazid akan
diaktifkan oleh MnCl2 dan enzim katalase-peroksidase. Enzim ini juga berfungsi
untuk melawan kadar pH rendah ketika terjadi proses oksidatif yang mengubah
radikal bebas oksigen menjadi H2O2 di dalam fagosom. Proses ini juga mengubah
isoniazid menjadi bentuk aktifnya, dimana bentuk aktifnya ini akan berikatan
dengan NADH di sisi aktif protein InhA. Kompleks ini akan menghambat elongasi
dari rantai terakhir asam lemak dan karenanya pembentukan asam mikolat dan
dinding sel pun terhambat, sehingga juga menyebabkan deoksiribonucleotida acid
(DNA) bakteri rusak, dan kemudian bakteri tersebut akan mati.
Kerja dari isoniazid sangat penting di minggu pertama pengobatan terutama pada
bakteri yang cepat membelah. Pada bakteri yang lambat tumbuh, obat ini bekerja
sebagai bakterisidal.

2. RIFAMPISIN
31

Rifampisin adalah salah satu OAT yang paling efektif, bersama dengan isoniazid,
merupakan regimen dasar dari pengobatan tuberkulosis. Rifampisin ini aktif
melawan bakteri yang tumbuh dengan cepat maupun yang tumbuh dengan lambat.
Mekanisme Kerja:
Rifampisin dapat dengan mudah berdifusi masuk menyebrangi membran sel karena
karakteristik lipofiliknya. Aktivitas bakterisidal obat ini bergantung pada
kemampuan obat ini untuk menghambat transkripsi ribonucleotida acid (RNA).
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan berikatan pada beta subunit dari RNA
Polimerase (RNAP) yang bergantung pada DNA sehingga menghambat transkripsi
RNA. Komplek ikatan enzim dan obat ini menghambat inisiasi pembentukan rantai
RNA dan juga elongasinya.

3. PIRAZINAMID
Pirazinamid adalah analog nikotamid yang penting diberikan sebagai OAT lini
pertama bersama isoniazid dan rifampisin untuk pengobatan tuberkulosis.
Pirazinamid membunuh 95% populasi dari mikroorganisme semi dormant yang
hanya aktif pada suasana asam.
Mekanisme Kerja:
Pirazinamid bekerja secara bakteriostatik. Pirazinamid dalam bentuk prodrug akan
dikonversi menjadi asam pirazinoat oleh enzim piramidase bakteri. Asam
pirazinoat dan analognya 5-kloro-pirazinamid dapat menghambat sintesis asam
lemak dari bakteri.
Pirazinamid mengganggu lalu lintas energi dan transport di membran
bakteri. Akumulasi dari asam pirazinoat di dalam kondisi asam akan mengasamkan
sitoplasma dan merusak sel bakteri.
4. ETAMBUTOL
Etambutol adalah agen antimycobacterial yang termasuk dalam ethylaminobutan.
Etambutol efektif bekerja melawan Mycobacterium tuberculosis tetapi tidak efektif
melawan jamur, virus, dan bakteri lain.
Mekanisme Kerja:
Etambutol bekerja sebagai bakteriostatik melawan bakteri tuberkulosis dan bakteri
yang resisten terhadap agen antimycobacterial lainnya.
Mekanisme kerja dari etambutol adalah menghambat sintesis metabolit
penting dari metabolisme sel dan multiplikasi bakteri dengan menghambat
32

pembentukan asam mikolat dan dinding sel. Penghambatan sintesis dinding sel
dilakukan dengan menghambat arabinosyl transferases yang terlibat dalam sintesis
dinding sel. Hal ini kemudian mengakibatkan permeabilitas dinding sel bakteri
meningkat.
5. STREPTOMISIN
Streptomisin berasal dari isolasi Streptomyces griseus, dan merupakan antibiotik
pertama yang sukses digunakan melawan tuberkulosis. Sayangnya resistensi
terhadap streptomisi muncul tidak lama setelah digunakan karena penggunaannya
sebagai monoterapi. Antibiotik ini termasuk ke dalam kelompok obat
aminoglikosida. Penggunaan streptomisin seringkali diganti dengan penggunaan
etambutol, sebab absorbsi oral dan toksisitas streptomisin lebih buruk daripada
etambutol.
Mekanisme Kerja:
Streptomisin adalah aminoglikosida yang aktif melawan basil aktif yang sedang
tumbuh. Cara kerja dari antibiotik ini adalah dengan menghambat inisiasi dari
translasi untuk sintesis protein. Lebih spesifik, streptomisin bekerja dengan
mengikat subunit 30S dari ribosom pada protein ribosomal S12 dan rantai rRNA
16 yang dikode gen rpsL dan rrs. Kedua kode gen yang sering menimbulkan
resistensi. Ikatan streptomisin inilah yang kemudian menghambat pembentukan
polipeptida sehingga proses translasi pun terhambat.

K. INTERAKSI OBAT ANTI TUBERKULOSIS (7)


Obat A Obat B Efek samping yang tejadi/ deskripsi
Isoniazid Rifampisin Terjadi peningkatan hepatotosik. Jika terjadi
perubahan fungsi hati haentikan salah satu atau
keduanya.
Isoniazid Asetaminofen Terjadipeningkatan hepatotoksik akibat hambatan
penguraian asetaminofen, kemungkinan isoniazid
menginduksi enzim oksidase P450IIE1 pada hati
dan ginjal sehingga metabolit hepatoksik dari
asetaminofen meningkat
Isoniazid Karbamazepin Toksisitas INH naik akibat peruraian menjadi
metabolit toksik meningkat akibat induksi enzim
33

oleh karbamazepin dan toksisitas karbamazepin


meningkat
Isoniazid Klorzoksazon Kensentrasi plasma klorzoksazon meningkat, efek
tak diinginkan meningkat
Isoniazid Disulfiram Terjadi perubahan koordinasi dan perilaku,
mekanisme tidak diketahui kemungkinan aktivitas
dorpaminergik meningkat. Dosis disulfiram
dikurangi atau dihentikan.
Isoniazid Teofilin Isoniazid meningkatkan kadar plasma teofilin dan
terjadi sedikit penurunan eliminasi isoniazid,
lakukan monitoring dosis.
Rifampisin Asam amino Asam amino salisilat menurunkan efek rifampisin.
salisilat oral Gunakan interval waktu 8-12 jam untuk masing-
masing obat
Rifampisin Halotan Hapatotoksik meningkat dan ensefalopati
Rifampisin ACEI Inhibitor Efek farmakologi enalapril menurun
Rifampisin Antiaritmia Konsentrasi serum antiaritmia menurun karena
induksi CYPA4 oleh rifampisin. Monitor secara
ketat pada waktu mulai menggunakan dan
menghentikan rifampisin
Rifampisin antikoagulan Rifampisin menurunkan efek antikoagulan warfarin
karen peningkatan metabolisme oleh enzim
mikrosoma hati, peningkatan dosis antikoagulan
mungkin diperlukan
Rifampisin barbiturat Ifampisin dapat menstimulasi enzim mikrosomal
pada hati sehinggan barbiturat cepat diuraikan, jika
perlu tingkatkan dosis barbiturat
Rifampisin benzodiazepin Efek farmakologi diazepin, midazolam, triazolam
menurun karena peningkatan metabolisme
benzodiazepin.
Rifampisin Beta bloker Efek farmakologi bisospranolol, metoptolol,
propanolol menurun karena peningkatan
34

metabolisme hepatik oleh enzim yang diinduksi


rifampisin
35

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
 Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dengan gejala mengalami batuk dan berdahak terus-menerus selama 3
minggu atau lebih, batuk darah atau batuk yang disertai darah.
 Antibiotik harus dikonsumsi selama 3-9 bulan secara kontinu dan teratur. Jenis obat
dan lamanya pengobatan bergantung pada usia, tingkat keparahan penyakit, risiko
resistensi antibiotik, bentuk TBC (aktif atau laten) dan lokasi infeksi.
 Obat anti tuberkulosis yang sering digunakan merupakan obat lini pertama yaitu adalah
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol, streptomisin.

B. SARAN
Perlu kerjasama antara pasien, keluarga dan tenaga kesehatan melalui pendekatan, motivasi
serta peningkatan pengetahuan dan motivasi yang kuat kepada pasien dan anggota keluarga
dari tenaga kesehatan maupun masyarakat terhadap pencegahan penularan penyakit TB.
36

DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. Depkes RI. Pharmaceutical Care Untuk penyakit Tuberkulosis. Jakarta: Depkes
RI;2005

2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Kemenkes RI; 2016

3. Syamsudin. Buku Ajar Farmakoterapi Gangguan Saluran Pernapasan. Jakarta: Penerbit


Salemba Medika; 2013

4. Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. ISO Farmakoterapi.
Jakarta: PT. ISFI Penerbitan; 2008

5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan


Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2014.

6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No.67 tahun 2016 : Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.

7. Iriandi T, Kuswandi, Yasin MN, Kusumaningtyas AR. Mengenal Antituberkulosis.


Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2016

Anda mungkin juga menyukai