"TUBERKULOSIS"
Disusun oleh:
Kelompok 5
Dewa Made Oka Purnama 2019000017
Dila Febriana Pratiwi 2019000018
Dina Fatma Alia S. 2019000019
Dinna Chaerani 2019000020
Kelas A
PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2019
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2
BAB I ......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 3
BAB II ....................................................................................................................................... 5
BAB III.................................................................................................................................... 35
PENUTUP ............................................................................................................................... 35
A. KESIMPULAN ............................................................................................................. 35
B. SARAN ......................................................................................................................... 35
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga
memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-
paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia yang erat kaitannya dengan kemiskinan, malnutrisi, kepadatan
penduduk, perumahan di bawah standar, dan tidak memadainya layanan kesehatan.
Tuberkulosis (TB) ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien tuberkulosis
batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat
bernapas. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang menyerang pada saluran pernafasan yang
disebabkan oleh bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini bersifat aerob yakni
menyukai daerah yang banyak oksigen oleh karena itu bakteri ini senang tinggal di daerah
apeks paru-paru dan bakteri ini juga mempunyai sifat khusus, yakni mampu tahan terhadap
asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik, sehingga dikenal sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA) (1).
Di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka
kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya.
Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India
dan China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di
dunia. TB merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia, berdasarkan data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman
TB. Dan pada tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman TB. Sebagian
besar penderita TB adalah penduduk yang berusia produktif antara15-55 tahun, dan penyakit
ini merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan
akut pada seluruh kalangan manusia (2)
Penyakit tuberculosis paru merupakan penyakit yang penyebarannya sangat mudah yaitu
penularan melalui perantara ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberculosis
paru. Pengobatan TB paru dapat dilaksanakan secara tuntas dengan kerjasama yang baik antara
4
penderita TB paru dan tenaga kesehatan atau lembaga kesehatan, sehingga penyembuhan
pasien dapat dilakukan secara maksimal. Penanganan TB paru oleh tenaga dan lembaga
kesehatan dilakukan menggunakan metode Direct Observe Treatment Shortcourse (DOTS)
atau observasi langsung untuk penanganan jangka pendek. DOTS terdiri dari lima hal, yaitu
- Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk dukungan dana)
- Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
- Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan
pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO)
- Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
- Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB (1).
Peningkatan jumlah kasus TB diberbagai tempat pada saat ini diduga disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) progam
penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) pelayanan kesehatan yang kurang
memadai. Keberhasilan pengobatan tuberculosis tergantung pada pengetahuan pasien dan
dukungan dari keluarga. Tidak adanya upaya dari diri sendiri dan dukungan dari keluarga akan
memberikan dampak buruk terhadap keberhasilan pengobatan. Apabila ini dibiarkan, dampak
yang akan muncul apabila pasien menghentikan pengobatan adalah timbulnya bakteri
tuberculosis yang resisten terhadap obat, bakteri terus menyebar dan pengendalian obat
tuberculosis akan semakin sulit dilaksanakan serta dapat meningkatkan angka kematian akibat
penyakit Tuberkulosis (3).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3. Kasus pindahan
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain
dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut
harus membawa surat rujukan / pindah
4. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2
bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita
tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
5. Kasus gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih;
atau penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
6. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
Seseorang yang terinfeksi kuman TB belum tentu sakit atau tidak menularkan
kuman TB. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor risiko. Kemungkinan
untuk terinfeksi TB, tergantung pada :
- Kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara
- Lamanya kontak dengan droplet nuklei tersebut
- Kedekatan dengan penderita TB
F. EPIDEMIOLOGI (2)
Di Indonesia tahun 2001 diperkirakan 582 ribu penderita baru atau 271 per 100 ribu
penduduk, sedangkan yang ditemukan BTA positif sebanyak 261 ribu penduduk atau
122 per 100 ribu penduduk, dengan keberhasilan pengobatan diatas 86 % dan kematian
sebanyak 140 ribu. Jumlah penderita di Indonesia ini merupakan jumlah persentase
ketiga terbesar di dunia yaitu 10 %, setelah India 30 % dan China 15 %.
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)
di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan
ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang
akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita
TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari
keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%,
maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis
setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif.
Penularan TB sangat dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat
penduduk, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah lingkungan yang terkait
seperti masalah kesehatan yang berhubungan dengan kepadatan anggota keluarga,
kepadatan penduduk, konsentrasi kuman, ketersediaan cahaya matahari, dll. Sedangkan
masalah perilaku sehat antara lain akibat dari meludah sembarangan, batuk
sembarangan, gizi yang kurang atau tidak seimbang, dll. Untuk sarana pelayanan
kesehatan, antara lain menyangkut ketersediaan obat, penyuluhan tentang penyakit dan
mutu pelayanan kesehatan. Masalah lain yang muncul dalam pengobatan TB adalah
adalah adanya resistensi dari kuman yang disebabkan oleh obat (multidrug resistent
organisme).
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang
dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa
akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat
gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.
b. Gejala sistemik
Demam, malaise, keringat malam, berat badan menurun
2. Diagnosis
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapatnya paling sedikit satu spesimen
konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi TB atau
bukti klinis sesuai TB.
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
a. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan
jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah
dengan cara Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh) dan
Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti,
dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga
Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi
12
e. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh
mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan
biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.
f. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah
g. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan
trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB),
biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan
biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi
dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada
tuberkulosis ekstra paru
h. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan
kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator
tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita,
sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan
penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan
penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/
daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED
sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal
tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit pun kurang spesifik.
14
15
1. Terapi nonfarmakologi
Pengobatan ini dapat dilakukan dengan mencegah penyebaran dari infeksi TBC
dengan mengisolasi pasien yang terinfeksi TBC, menghubungi dan melaporkan
kejadian infeksi TBC kepada pusat pengendalian penyakit menular,
mengembalikan status gizi dan berat badan pasien, serta menghilangkan
jaringan paru-paru yang rusak, yaitu melalui operasi.
2. Terapi farmakologi
a. Pengobatan infeksi TBC laten
Pengobatan yang umum digunakan untuk infeksi ini adalah isoniazid (INH).
Dosis tunggal diberikan sebanyak 300 mg per hari selama 9 bulan. Apabila
terjadi resistensi atau toleransi terhadap INH maka dapat diberikan
rifampisin 600 mg seiap hari selama 4 bulan. Selain rifampisin dapat pula
digunakan rifabutin 300 mg sehari sebagai penggantinya.
b. Pengobatan TBC aktif
Pengobatan pada penyakit TBC aktif membutuhkan kombinasi dari
beberapa antibiotik. Penggunaan obat tunggal untuk penyakit ini dapat
menyebabkan kegagalan terapi. Isoniazid dan rifampisin sering digunakan
bersamaan karna dapat mencegah terjadinya resistensi. Pemilihan obat-
obatan yang tepat untuk pengobatan TBC aktif sebaiknya didasarkan pada
hasil uji resistensi antibiotik. Uji resistensi ini dapat diulangi lagi apabila
setelah mendapatkan terapi pasien masih memberikan hasil positif terhadap
kultursetelah mendapatkan terapi selama 8 minggu atau lebih.
Pengobatan TBC aktif dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap awal yang
sangat krusial untuk mencegah resistensi obat dan menentukan outcome dari
regimen yang diberikan. Tahap kontinu yang diberikan selama 6-9 bulan.
Pada pasien TB tanpa komplikasi, tanpa kavitasi, dan tidak resisten terhadap
antibiotik setelah beberapa bulan menggunakan obat maka terapi kontinu
dillakukan hanya selama 6 bulan. Namun untuk pasien denggan resiko
resitensi tinggi dan memberikan hasil uji kultur positif setelah 2 bulan
menggunakan obat, maka waktu terapi kontinu yang dibutuhkan adalah 9
bulan.
Secara umum pengobatan standar untuk penyakit ini adalah isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol digunakan selama 2 bulan, dan
kemudian diikuti dengan penggunaan isoniazid dan rifampisin selama 4
17
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi.
Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap
hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti
pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu (selama 4 bulan).
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap
dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Keuntungan kombinasi dosis tetap
antara lain:
a) Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
b) Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
c) Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar
d) Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
e) Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi.
Kategori Pasien Tuberkulosis Alternatif Panduan Pengobatan
Pengobatan Tuberkulosis
Tuberkulosis
Fase Awal Fase Lanjutan
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
b) Kategori II
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES
setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan
dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam
seminggu. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang).
Dosis OAT Kombipak Kategori
c) Katergori III
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu.
Tablet Kaplet
Tahap Lamanya Tablet Pirazinamid
Isoniazid Rifampisin
Pengobatan Pengobatan @ 500 mg
@300 mg @ 450 mg
Tahap intensif
2 bulan 1 1 3
(dosis harian)
Tahap lanjutan
(dosis 3 x 4 bulan 2 1 -
seminggu)
Lanjut
an
(dosis
5 bulan 2 1 - 1 2 -
3x
seming
gu)
1. Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z)
selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ).
2. Tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan
diberikan setiap hari (4HR).
24
Catatan : - Penderita yang berat badannya kurang dari 5 kg harus dirujuk ke Dokter
Ahli
- Pemantauan kemajuan pengobatan pada anak dapat dilihat antara lain
dengan terjadinya perbaikan klinis, naiknya berat badan, dan anak
menjadi lebih aktif dibanding dengan sebelum pengobatan.
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil kB, suntikan KB, susuk
KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Pencegahan
terhadap hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan kontrasepsi non-hormonal
atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (5- mcg).
3. SIKLOSERIN
Indikasi : Dalam kombinasi obat-obat lain, tuberkulosis yang resisten
terhadap obat-obata pilihan pertama.
Kontraindikasi : Gangguan fungsi ginjal berat, epilepsi, depresi, ansietas berat,
keadaan psikotik, ketergantungan alkohol, porfiria.
Peringatan : Hentikan (atau kurangi dosis) jika muncul dermatitis alergik
atau gejala toksisitas pada SPP; kurangi dosis pada gangguan fungsi ginjal
(hindari jika parah); monitor fungsi hematologi, ginjal, dan hati; kehamilan dan
menyusui.
Efek samping : Terutama neurologis, termasuk sakit kepala, pusing, vertigo,
mengantuk, tremor, kejang, psikosis, depresi, ruam; anemia megaloblastik;
perubahan pada uji fungsi hati.
Sediaan Beredar : Cycloserine Meiji-Meiji Indonesia
4. ETIONAMID
Indikasi : Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap etionamid, kerusakan hati parah
Peringatan : Perlu dilakukan pengukuran SGOT dan SGPT sebelum dan
selama pengunaan obat setiap bulannya. Memonitor kadar gula darah dan fungsi
tiroid secara perodik
Efek samping : Depresi, pusing, konvulsi, neuritis perifer dan neuropati,
gangguan alfaktori, pandangan kabur, neuritis optik, sakit kepala, lemas,
tremor, psikosis, anoreksia, mual dan muntah, diare, rasa logam, hepatitis,
jaundice, stomatitis, hipertensi postural, kemerahan pada kulit, jerawat,
alopesia, trombositopenia, ginekomastia, impontesi, kesulitan dalam mengatur
gula darah
5. P-ASAM AMINOSALISILAT
Indikasi : Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap p-asam aminosolisilat, gangguan
ginjal parah
Peringatan : Timbul sindrom malabsirbsi, mengganggu pembacaan AST
dengan metode dye azoene dan uji urin kualitatif untuk keton, bilirubin,
urobilinogen, atau porfobilinogen, terbentuknya kristaluria
28
8. STREPTOMISIN
Indikasi : Sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama
isoniazid, Rifampisin, dan pirazinamid, atau untuk penderita yang dikontra
indikasi dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut.
Kontraindikasi : hipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat atau
aminoglikosida lainnya.
Peringatan : hati hati pada penderita gangguan ginjal, Lakukan
pemeriksaan bakteri tahan asam, hentikan obat jika sudah negatif setelah
beberapa bulan. Penggunaan intramuskuler agar diawasi kadar obat dalam
plasma terutama untuk penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
Efek samping : gangguan pada pendengaran/ototoksik.
9. PIRAZINAMID
Indikasi : Digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan
anti tuberkulosis lain.
Kontraindikasi : Pada gangguan fungsi hati parah, porfiria, hipersensitivitas.
Peringatan : Hanya dipakai pada terapi kombinasi anti tuberkulosis dengan
pirazinamid, namun dapat dipakai secara tunggal mengobati penderita yang telah
resisten terhadap obat kombinasi. Obat ini dapat menghambat ekskresi asam urat
dari ginjal sehingga menimbulkan hiperurikemia. Jadi penderita yang diobati
pirazinamid harus dimonitor asam uratnya.
Efek samping : Efek samping hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia,
hepatomegali, ikterus; gagal hati; mual, muntah, artralgia, anemia sideroblastik,
urtikaria.
10. ETAMBUTOL
Indikasi : sebagai terapi kombinasi tuberkulosis dengan obat lain, sesuai
regimen pengobatan jika diduga ada resistensi.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik.
Peringatan : Jika Etambutol dipakai, maka diperlukan pemeriksaan fungsi
mata sebelum pengobatan. Turunkan dosis pada gangguan fungsi ginjal, usia
lanjut, kehamilan, ingatkan penderita untuk melaporkan gangguan penglihatan.
Efek samping : gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna
dan penyempitan lapangan pandang. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif;
30
bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan,
biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Reaksi adversus berupa sakit kepala,
disorientasi, mual, muntah dan sakit perut.
2. RIFAMPISIN
31
Rifampisin adalah salah satu OAT yang paling efektif, bersama dengan isoniazid,
merupakan regimen dasar dari pengobatan tuberkulosis. Rifampisin ini aktif
melawan bakteri yang tumbuh dengan cepat maupun yang tumbuh dengan lambat.
Mekanisme Kerja:
Rifampisin dapat dengan mudah berdifusi masuk menyebrangi membran sel karena
karakteristik lipofiliknya. Aktivitas bakterisidal obat ini bergantung pada
kemampuan obat ini untuk menghambat transkripsi ribonucleotida acid (RNA).
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan berikatan pada beta subunit dari RNA
Polimerase (RNAP) yang bergantung pada DNA sehingga menghambat transkripsi
RNA. Komplek ikatan enzim dan obat ini menghambat inisiasi pembentukan rantai
RNA dan juga elongasinya.
3. PIRAZINAMID
Pirazinamid adalah analog nikotamid yang penting diberikan sebagai OAT lini
pertama bersama isoniazid dan rifampisin untuk pengobatan tuberkulosis.
Pirazinamid membunuh 95% populasi dari mikroorganisme semi dormant yang
hanya aktif pada suasana asam.
Mekanisme Kerja:
Pirazinamid bekerja secara bakteriostatik. Pirazinamid dalam bentuk prodrug akan
dikonversi menjadi asam pirazinoat oleh enzim piramidase bakteri. Asam
pirazinoat dan analognya 5-kloro-pirazinamid dapat menghambat sintesis asam
lemak dari bakteri.
Pirazinamid mengganggu lalu lintas energi dan transport di membran
bakteri. Akumulasi dari asam pirazinoat di dalam kondisi asam akan mengasamkan
sitoplasma dan merusak sel bakteri.
4. ETAMBUTOL
Etambutol adalah agen antimycobacterial yang termasuk dalam ethylaminobutan.
Etambutol efektif bekerja melawan Mycobacterium tuberculosis tetapi tidak efektif
melawan jamur, virus, dan bakteri lain.
Mekanisme Kerja:
Etambutol bekerja sebagai bakteriostatik melawan bakteri tuberkulosis dan bakteri
yang resisten terhadap agen antimycobacterial lainnya.
Mekanisme kerja dari etambutol adalah menghambat sintesis metabolit
penting dari metabolisme sel dan multiplikasi bakteri dengan menghambat
32
pembentukan asam mikolat dan dinding sel. Penghambatan sintesis dinding sel
dilakukan dengan menghambat arabinosyl transferases yang terlibat dalam sintesis
dinding sel. Hal ini kemudian mengakibatkan permeabilitas dinding sel bakteri
meningkat.
5. STREPTOMISIN
Streptomisin berasal dari isolasi Streptomyces griseus, dan merupakan antibiotik
pertama yang sukses digunakan melawan tuberkulosis. Sayangnya resistensi
terhadap streptomisi muncul tidak lama setelah digunakan karena penggunaannya
sebagai monoterapi. Antibiotik ini termasuk ke dalam kelompok obat
aminoglikosida. Penggunaan streptomisin seringkali diganti dengan penggunaan
etambutol, sebab absorbsi oral dan toksisitas streptomisin lebih buruk daripada
etambutol.
Mekanisme Kerja:
Streptomisin adalah aminoglikosida yang aktif melawan basil aktif yang sedang
tumbuh. Cara kerja dari antibiotik ini adalah dengan menghambat inisiasi dari
translasi untuk sintesis protein. Lebih spesifik, streptomisin bekerja dengan
mengikat subunit 30S dari ribosom pada protein ribosomal S12 dan rantai rRNA
16 yang dikode gen rpsL dan rrs. Kedua kode gen yang sering menimbulkan
resistensi. Ikatan streptomisin inilah yang kemudian menghambat pembentukan
polipeptida sehingga proses translasi pun terhambat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dengan gejala mengalami batuk dan berdahak terus-menerus selama 3
minggu atau lebih, batuk darah atau batuk yang disertai darah.
Antibiotik harus dikonsumsi selama 3-9 bulan secara kontinu dan teratur. Jenis obat
dan lamanya pengobatan bergantung pada usia, tingkat keparahan penyakit, risiko
resistensi antibiotik, bentuk TBC (aktif atau laten) dan lokasi infeksi.
Obat anti tuberkulosis yang sering digunakan merupakan obat lini pertama yaitu adalah
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol, streptomisin.
B. SARAN
Perlu kerjasama antara pasien, keluarga dan tenaga kesehatan melalui pendekatan, motivasi
serta peningkatan pengetahuan dan motivasi yang kuat kepada pasien dan anggota keluarga
dari tenaga kesehatan maupun masyarakat terhadap pencegahan penularan penyakit TB.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. Depkes RI. Pharmaceutical Care Untuk penyakit Tuberkulosis. Jakarta: Depkes
RI;2005
4. Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. ISO Farmakoterapi.
Jakarta: PT. ISFI Penerbitan; 2008