Anda di halaman 1dari 17

RESUME

AKUNTANSI PERPAJAKAN

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH :

Rita Natalia, SE.,M.Ak

Oleh :

Achmad Nur Firdaus

(1601020819)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)

KH AHMAD DAHLAN LAMONGAN

2019
A. AKUNTANSI PERPAJAKAN

A.a. PERSYARATAN PEMBUKUAN DALAM PERPAJAKAN

Pajak merupakan iuran wajib yang diberikan oleh Wajib Pajak (WP) baik

pribadi maupu badan kepada Negara dengan mendapatkan imbalan secara tidak

langsung. Dalam perpajakan pembukuan sangatlah penting, karena dengan adanya

pembukuan Wajib Pajak bisa memperoleh informasi yang dibutuhkan apabila

terdapat suatu masalah dimasa yang akan dating.

Ketentuan perpajakan sebenarnya tidak mengatur bentuk atau tata cara

pembukuan yang harus dilakukan oleh wajib pajak (WP). Yang ditekankan dalam

ketentuan perpajakan itu adalah pembukuan atau pencatatan dan harus

diselenggarakan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

1. Pembukuan diselenggarakan dengan memperhatikan i’tikad baik dan

mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

2. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan secara teratur tentang

keadaan uang dan bank, daftar utang-piutang, dan daftar persediaan.

3. Pada setiap tahun pajak berakhir, wajib pajak harus menutup pembukuannya

dengan membuat neraca dan perhitungan rugi-laba berdasarkan prinsip

pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebelumnya.

4. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia.

5. Pembukuan dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang

rupiah dan disusun dalam Bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diizinkan oleh

Menteri Keuangan.
6. Pembukuan atau pencatatan, dokumen yang menjadi dasarnya, serta dokumen lain

yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari wajib pajak

harus disimpan selama sepuluh tahun.

A.b. SANKSI TIDAK MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN

Pentingnya penerimaan negara dari sektor pajak, maka bagi wajib pajak

akan dikenakan sanksi apabila tidak mematuhi ketentuan perpajakan. Dimana atas

sanksi tersebut juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan yang

salah satunya berkaitan dengan kewajiban penyelenggaraan pembukuan dan

pencatatan sesuai dengan pasal 28 dan 29 ayat 3. Adapun sanksi atas kondisi ini

adalah :

1. Sanksi Administrasi

Sanksi administrasi ini di atur dalam pasal 13 ayat 1 huruf d UU KUP yaitu

Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi

sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang, maka atas

kekurangan pembayaran pajak tersebut ditagih dengan SKPKB ditambah sanksi

administrasi berupa kenaikan sebesar :

a. 50 % (lima puluh persen) dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu

Tahun Pajak;

b. 100 % (seratus persen) dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau

kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi

tidak atau kurang disetor; atau

c. 100 % (seratus persen) dari PPN dan PPn BM yang tidak atau kurang dibayar.

2. Sanksi Pidana
Sesuai dengan Pasal 39 ayat 1 UU KUP yang mengatakan bahwa Setiap

orang yang dengan sengaja :

a.Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang

sebenarnya; atau

b. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak

memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; atau

c. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan

atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari

pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program

aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11);

Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)

tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau

kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak

atau kurang dibayar.

A.c. HUBUNGAN AKUNTANSI DENGAN PERPAJAKAN

Akuntansi menyajikan informasi tentang keadaan yang terjadi selama

periode tertentu bagi manajemen atau pihak – pihak lain yang berkepentingan

dengan tujuan untuk menilai kondisi dan kinerja perusahaan. Sedangkan dalam

perpajakan menggunakan istilah pembukuan/pencatatan, bukan menggunakan


istilah akuntansi. Pembukuan/pencatatan sendiri memiliki lingkup yang lebih

sempit dibandingkan dengan akuntansi.

Akuntansi pajak, merupakan bagian dalam akuntansi yang timbul dari

unsur spesialisasi yang menuntut keahlian dalam bidang tertentu. Akuntansi pajak

tercipta karena adanya suatu prinsip dasar yang diatur dalam UU perpajakan dan

pembentukannya terpengaruh oleh fungsi perpajakan dalammengimplementasikan

sebagai kebijakan pemerintah. Tujuan dari akuntansi pajak adalah menetapkan

besarnya pajak terutang berdasarkan laporan keuangan yang disusun oleh

perusahaan.Akuntansi pajak digunakan untuk mencatat transaksi yang

berhubungan dengan perpajakan.Akuntansi Komersial disusun dan disajikan

berdasarkan SAK.

A.d. LAPORAN KEUANGAN

Laporan keuangan komersial adalah laporan yang disusun dengan prinsip

akuntansi bersifat netral atau tidak memihak. Laporan keuangan fiskal adalah

laporan yang disusun khusus untuk kepentingan perpajakan dengan

mengindahkan semua peraturan perpajakan. Hal - hal yang perlu tercakup dalam

laporan keuangan fiskal terdiri dari:

1. Neraca fiskal;

2. Perhitungan laba rugi dan perubahan laba yang ditahan;

3. Penjelasan laporan keuangan fiskal;

4. Rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal;

5. Ikhtisar kewajiban pajak.


6. Wajib pajak diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan

(SPT) yang dilampiri oleh laporan keuangan.

Perbedaan konsep laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan

fiskal terdapat pada perbedaan mengenai konsep penghasilan atau pendapatan

Untuk menyesuaikan perbedaan dalam laporan keuangan komersial dan laporan

keuangan fiskal maka dilakukan koreksi fiskal. Ada dua cara untuk membuat

laporan keuangan fiskal, yaitu:

1. Pendekatan terpisah dimana Wajib Pajak mencatat semua transaksi atau informasi

berdasarkan prinsip pajak untuk menghitung PPh terutang dan berdasarkan

prinsip akuntansi keperluan komersial.

2. Extra compatible approach dimana Wajib Pajak membukukan semua transaksi

berdasarkan prinsip akuntansi dimana pada akhir tahun Wajib Pajak melakukan

koreksi laporan keuangan komersial agar sesuai dengan Undang-Undang Pajak

Penghasilan sehingga dapat digunakan untuk menghitung PPh terutang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan komersial

memiliki kaitan yang erat dengan laporan keuangan fiskal karena laporan

keuangan komersial merupakan dasar yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk

melakukan rekonsiliasi fiskal.

A.e. TUJUAN PELAPORAN KEUANGAN PERPAJAKAN

1. Tujuan Pelaporan Keuangan Perpajakan


a. Memberikan informasi-informasi yang diperlukan untuk menghitung

besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) dan Dasar Pengenaan Pajak

(PPN).

b. Membantu wajib pajak untuk menghitung besarnya pajak yang terutang.

a. Mengetahui dan menilai tingkat kepatuhan wajib pajak dalam

menjalankan sistem self assessment, terutama apabila sedang terjadi

pemeriksaan atau penyidikan pajak.

2. Ciri Kualitatif Pelaporan Keuangan Perpajakan

a. Dapat dipahami oleh petugas/pemeriksa pajak.

b. Sensitivitas informasi, bukan materialitas.

A.f. PENGHAPUSAN PIUTANG MENURUT AKUNTANSI PAJAK

Pasal 6 ayat (1) huruf h UU No.36 Tahun 2008 mengatur, beban piutang

tidak tertagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah piutang yang

nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:

1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada

Direktorat Jenderal Pajak; dan

Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau

instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian

tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan

debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum


atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah

dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.

Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk

penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam

pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaamya diatur lebih lanjut dengan

berdasarkan Menteri Keuangan.

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai

biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan

laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal

atau terakhir. Yang dimaksud usaha maksimal atau terakhir apabila merujuk pada

Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

105/PMK.03/2009 jo. UU PPh jelas menegaskan bahwa pembebanan

penghapusan piutang tidak tertagih menganut prinsip realisasi dengan

menggunakan Metode Penghapusan Langsung (Direct Write-off Method)

sepanjang memenuhi syarat-syarat di atas.

Metode Penyisihan tidak diperkenankan oleh peraturan perpajakan,

sehingga apabila WP menggunakan metode Penyisihan maka harus melakukan

koreksi dan melakukan pembebanan dengan menggunakan metode langsung atas

piutang yang tidak dapat ditagih yang telah memenuhi syarat yang ditentukan

peraturan perpajakan.
B. PEMERIKSAAN PAJAK

B.a. PENGERTIAN PEMERIKSAAN PAJAK

definisi pemeriksaan dijelaskan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor

82/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak Pasal 1 ayat (2) yang

berbunyi :

“Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah

data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional

berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan

kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

B.b. TUJUAN PEMERIKSAAN PAJAK

Tujuan dari pemeriksaan pajak ialah :

1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:

 Harus dilakukan dalam hal wajib pajak mengajukan permohonan restitusi

sebagaimana dimaksud dalam pasal 17B Undang-Undang KUP

 Dapat dilakukan dalam hal wajib pajak :

a. menyampaikan SPT LB, termasuk yang telah diberikan pengembalian

pendahuluan kelebihan pembayaran pajak;

b. menyampaikan SPT rugi;

c. tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi melampau jangka

waktu yang telah ditetapkan dalam Surat teguran;

d. melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran

usaha;
e. WP OP yang akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; atau

f. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi

berdasarkan hasil analisis risiko (risk based selection) mengindikasikan

adanya kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang tidak dipenuhi sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

B.c. RUANG LINGKUP PEMERIKSAAN PAJAK

1. Satu atau beberapa bulan (masa): ruang lingkup untuk menguji kewajiban

pemungutan atau pemotongan. Seperti PPn, PPnBM, PPh pasal 21, PPh pasal

22, 23, 26, PPh pasal 4 (2)

2. Bagian tahun pajak atau tahun pajak: menguji kewajiban PPh badan atau PPh

OP. Tidak selalu 12 bulan. Contoh: bulan Mei sebuah perusahaan dibubarkan

dan likuidasi bulan Agustus. Maka pemeriksaan tahun tersebut disebut bagian

tahun pajak.

B.d. JENIS DAN JANGKA WAKTU PEMERIKSAAN PAJAK

1. Jenis Pemeriksaan:

a. Pemeriksaan Lapangan dilakukan di tempat WP atas satu jenis pajak,

beberapa jenis pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahuntahun yang lalu

maupun untuk tahun berjalan.

b. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat

Jenderal Pajak.

2. Jangka Waktu:

a. Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)

bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang
dihitung sejak tanggal Surat perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal

Laporan Hasil Pemeriksaan.

b. Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tigabulan

dan dapat diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal

Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan

Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

Apabila dalam pemeriksaan lapangan ditemukan indikasi yang terkait

dengan transfer pricing dan atau transaksi khusus lain. Dalam hal pemeriksaan

dilakukan berdasarkan kriteria pemeriksaan pajak.

B.e. METODE DAN TEHNIK PEMERIKSAAN PAJAK

METODEPEMERIKSAAN PAJAK :

1. Metode Langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan melakukan

pengujian atas kebenaran pospos Surat Pemberitahuan (SPT) termasuk

lampirannya, yang dilakukan secara langsung terhadap buku, catatan, dan

dokumen terkait.

2. Metode Tidak Langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan

melakukan pengujian atas kebenaran pospos Surat Pemberitahuan (SPT)

termasuk lampirannya, yang dilakukan secara tidak langsung melalui suatu

pendekatan penghitungan tertentu.

Pendekatan:

a. Transaksi Tunai dan Bank;

b. Sumber dan Penggunaan Dana;


c. Penghitungan Rasio;

d. Satuan dan/atau Volume;

e. Pertambahan Kekayaan Bersih (Net Worth);

f. Penghitungan Biaya Hidup

Tehnik Pemeriksaan Pajak

a. Pemanfaatan informasi internal dan/atau eksternal Direktorat Jenderal Pajak;

b. Pengujian keabsahan dokumen;

c. Evaluasi;

d. Analisis angka-angka

e. Penelusuran angkaangka (tracing)

f. Penelusuran bukti

g. Pengujian keterkaitan

h. Ekualisasi atau rekonsiiasi

i. Permintaan keterangan atau bukti

j. Konfirmasi

k. Inspeksi

l. Pengujian kebenaran fisik

m. Pengujian kebenaran pengitungan matematis

n. Wawancara

o. Uji petik (sampling)

p. Teknik audit berbantuan computer (TABK)

q. Teknik-teknik lainnya.
C. Akuntansi perpajakan PPh Pasal 21 dan Pasal 26

C.a. Pengertian PPh Pasal 21/26


PPh Pasal 21 adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Subjek Pajak Dalam
Negeri.Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh ps 21)Yang berhak/wajib
melakukan pemotongan PPh 21 adalah:Pemberi kerja yang terdiri dari orang
pribadi dan badan;Bendaharawan pemerintah baik Pusat maupun Daerah;Dana
pensiun atau badan lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), PT
Taspen, PT ASABRI;Perusahaan dan bentuk usaha tetap;Yayasan, lembaga,
kepanitia-an, asosiasi, perkumpulan, organisasi massa, organisasi sosial politik
dan organisasi lainnya serta organisasi internasional yang telah ditentukan
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;Penyelenggara kegiatan.
Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26) adalah pajak
penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak Luar
Negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. PPh Pasal 26
adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang dibayarkan,
disediakan atas penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan atau
telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap di Indonesia.

C.b. Perhitungan PPh Pasal 21/26

Pegawai adalah orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan


berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan
hari tua yang dibayarkan sekaligus.
Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja
termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama
dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi
pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak.
Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang
dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana
Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh
badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah
mencapai usia pensiun. Sedankan Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang
dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau
keadaan lain yang ditentukan.
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang ditunjuk oleh
pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya membayarkan
Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya
masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan secara
langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon
Tenaga Kerja.
Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak
atas Uang Pesangon. Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon
secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja,
Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon. Dalam hal terjadi
pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara
Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta
dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara
sekaligus.
Perhitungan untuk karuawati antara lain :
1. Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
2. Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah
PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
3. Apabila karyawati berstatus kawin dan suami memiliki NPWP maka pajak
untuk karyawati tersebut nihil (nol).
Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukan keterangan tertulis dari
pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan
suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah
PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

C.c. Hubungan PTKP Dengan UMR


Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan jumlah penghasilan tertentu
yang akan dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) saat menghitung
PPh terutang pada SPT Tahunan PPh 21. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
merupakan komponen pengurang penghasilan neto yang khusus diberikan dan
dikenakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (OP).
Besaran PTKP tidak bersifat tetap. PTKP bisa mengalami kenaikan
bergantung pada indeks biaya hidup dan upah minimum. Kenaikan inflasi juga
menjadi bahan pertimbangan Dirjen Pajak untuk melakukan penyesuaian tarif
PTKP terbaru.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI
No.101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian PTKP, yang didasarkan pula pada
UU No. 38 Tahun 2008 Pasal 7, tarif PTKP terbaru adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pribadi orang pribadi adalah
sebesar Rp54.000.000.
b. Penghasilan Tidak Kena Pajak tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin adalah
Rp4.500.000.
c. Penghasilan Tidak Kena Pajak tambahan untuk seorang istri yang penghasilan
dengan suami digabung adalah Rp54.000.000.
d. Penghasilan Tidak Kena Pajak tambahan untuk setiap anggota keluarga, baik
yang sedarah maupun memiliki garis keturunan lurus dan anak angkat yang
menjadi tanggungan sepenuhnya yaitu Rp4.500.000. Jumlah tanggungan tersebut
maksimal 3 orang.
Penentuan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak akan dilihat pada
keadaan awal tahun seseorang dan tidak akan berubah sepanjang tahun tersebut.
Jumlah PTKP juga mengalami perkembangan mengikuti kondisi perekonomian
nasional secara umum. Namun jumlah PTKP tidak sama dengan UMR (Upah
Minimum Regional).
Hingga saat ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia
masih mempertimbangkan perihal Pendapatan Tidak Kena Pajak yang
berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP). Pertimbangan ini didasari dengan
fakta bahwa Penghasilan Tidak Kena Pajak di Indonesia, jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Negara- negara ASEAN
tersebut seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, bahkan Singapura.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
101/PMK.010/2016, pemerintah telah menetapkan besaran kenaikan Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak naik menjadi
Rp54.000.000 per tahun atau sebesar Rp4.500.000 per bulan dari yang
sebelumnya Rp36.000.000 atau Rp3.000.000 per bulan. Kebijakan kenaikan nilai
Penghasilan Tidak Kena Pajak ini dilakukan untuk mendorong daya beli
masyarakat di tengah perlambatan ekonomi. Perencanaan kebijakan penyesuaian
Penghasilan Tidak Kena Pajak, di sisi lain tetap mempertimbangkan kemungkinan
mengingat perbedaan nilai Upah Minimum Provinsi (UMP) antar daerah di
Indonesia cukup lebar.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) secara komprehensif masih melakukan
kajian terkait Penghasilan Tidak Kena Pajak bagaimana yang paling tepat
diberlakukan untuk Indonesia secara keseluruhan. Apa yang kemudian menjadi
dasar pertimbangan pemerintah soal besaran PTKP ini? Utamanya, pertimbangan
akan melihat dari kemampuan masyarakat Indonesia dalam sektor konsumsi
rumah tangga. Tujuannya tentu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,
investasi, termasuk memperhatikan daya beli masyarakat serta sektor UMKM.
Hal paling terpenting dalam tujuan pelaksanaan kebijakan penyesuaian ini adalah
tidak mengurangi pendapatan pekerja yang kemudian berdampak pada penurunan
daya beli dan kesejahteraan pekerja.
Apabila nantinya gaji bebas pajak diturunkan, maka diharapkan
kemampuan membayar pajak meningkat di tengah daya beli yang menurun.
Harapannya, apabila nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak kembali dinaikkan,
maka kemampuan daya beli bisa meningkat.
Sebelum wacana penyesuaian ini digulirkan, Center for Indonesia
Taxation Analysis (CITA) menyatakan apresiasi rencana gaji bebas pajak tersebut
berdasarkan wilayah atau zonasi. Akan tetapi, alangkah baiknya jika kebijakan
Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut lebih fleksibel tidak hanya untuk menggali
potensi penerimaan pajak. Kebijakan penyesuaian nilai Penghasilan Tidak Kena
Pajak dengan Upah Minimun Provinsi (UMP) setempat diharapkan kedepannya
bisa lebih tepat sasaran dan tidak hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat
berpenghasilan menengah atas.

Anda mungkin juga menyukai