Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fotokatalisis heterogen menggunakan titanium dioksida merupakan

metode yang efisien untuk mendegradasi secara lengkap senyawa organik dalam

fase cair dan gas. beberapa aplikasi komersial, termasuk pemurnian air, unit

pembersih udara, pelapis antimikroba dan kaca self-cleaning. Jumlah paten yang

berkaitan dengan degradasi senyawaan organik yang berbahaya menggunakan

teknik fotokatalitik terus meningkat. Namun, kebanyakan dari mereka masih

menggunakan sumber sinar dari lampu UV karena energi celah pita dari TiO2

cukup besar (3,2 eV) sehingga bila menggunakan sinar matahari kurang efisien

karena hanya menggunakan ± 5 % dari spektrum sinar matahari (fraksi UV cahaya

matahari).

Penggunaan lampu UV saat ini menimbulkan masalah yang serius karena

konsumsi energi yang tinggi sehingga meningkatkan biaya operasi sistem

fotokatalitik TiO2. Modifikasi terhadap fotokatalis TiO2 yang dapat menggunakan

sinar tampak untuk aktivasinya akan menghilangkan keterbatasan dari penggunaan

TiO2 untuk mendegradasi polutan organik. Sehingga saat ini sedang

dikembangkan fotokatalis titanium dioksida yang dapat secara efisien

menggunakan sinar matahari atau cahaya dalam ruangan. (Anpo, 2000).

Pendekatan yang paling menjanjikan untuk penggunaan TiO2 pada daerah sinar

tampak adalah dengan modifikasi struktur kimia dari fotokatalis TiO2 sehingga

terjadi pergeseran penyerapan spektrum sinar ke daerah sinar tampak. Modifikasi


2

fotokatalis TiO2 melibatkan pengantar (doping) dari logam dan spesies bukan

logam. Urea merupakan hidrokarbon dengan kandungan nitrogen yang tinggi,

mudah didapat serta relatif murah sehingga cukup potensial digunakan sebagai

sumber nitrogen untuk pembuatan TiO2 -dopan-N yang diharapkan aktif pada

daerah sinar tampak dan efisien menggunakan sinar matahari sebagai sumber

cahaya.

Perkembangan di daerah Sulawesi Tenggara khususnya Kota Kendari

semakin berkembang dengan pesat. Dampak negatif dari pembangunan industri

tersebut terutama dari proses pencelupan dimana mengandung zat warna azo

dimana mempunyai gugus kromofor –N=N- dalam struktur molekulnya.

Senyawaan azo ini diketahui nonbiodegradable dalam kondisi aerobik dan akan

tereduksi menjadi produk antara yang lebih berbahaya pada kondisi anaerobic.

Pewarna azo

TiO merupakan katalis yang paling stabil mempunyai sifat inert yang baik

secara biologis maupun secara kimia, stabil terhadap korosi, merupakan oksidator

kuat. TiO2 telah digunakan untuk degradasi beberapa senyawa organik seperti

pestisida dan zat warna. Titanium oksida ini termasuk senyawa semikonduktor

yang stabil dan bertindak sebagai katalis untuk degradasi senyawa organik dengan

konsentrasi rendah, karena melibatkan spesies radikal aktif. Berdasarkan hal

di atas, maka sangat menarik merekayasa struktural dan porositas TiO dan

turunannya yang efektif dan efisien sebagai pendegradasi polutan. Titanium

dioksida dapat sebagai fotokatalis dalam katalis komposit karena dapat

mendegradasi CO, NO2, dan HC dengan baik.


3

Pada penelitian kali ini dilakukan sintesis komposit hidroksiapatit/titania

(HA/TiO). Prekursor yang digunakan dalam pembuatan HA adalah batu kapur

sebagai sumber Ca dan diamonium hidrogen fosfat sebagai sumber fosfat.

Pengkompositan HA dengan TiO2 dapat menghasilkan distribusi TiO2 yang

merata serta ukuran yang relatif kecil. Sehingga luas permukaan TiO2 relatif

besar dan aktivitas fotokatalitiknya semakin meningkat. Substrat HA yang juga

merupakan adsorben dapat menyediakan situs adsorpsi yang dapat mendukung

TiO dalam mengadsorpsi senyawa-senyawa berbahaya seperti pestisida dan zat

warna, sehingga semakin banyak polutan yang ada di lingkungan yang dapat

terdegradasi.

Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan uji degradasi komposit HA/TiO

terhadap zat warna yang menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Pada

penelitian kali ini, dilakukan salah satu upaya dan metode untuk mendegradasi

pestisida yakninya menggunakan komposit HA/TiO. Titanium dioksida (TiO2)

merupakan oksida logam transisi yang secara kimia bersifat inert, tidak mahal

serta stabil secara kimia (tidak mengalami fotokorosi dan korosi kimiawi) hampir

dalam semua pelarut kecuali larutan yang sangat asam atau mengandung florida

(Brown et al., 1992). Selain itu, TiO2 mudah didapatkan, bersifat semikonduktor

dan non toksik. Nanostruktur TiO2 sering digunakan dalam aplikasi solar sel,

merupakan material yang menarik untuk dijadikan elektroda (Kaudriachova et

al., 2001). Kemampuan TiO2 untuk menginterkalasi ion-Li ke dalam struktur

internal kisi kristal menunjukkan TiO2 mampu mengakomodasi ion-Li selama

proses pemakaian baterai sehingga berpotensi sebagai material anoda baterai ion-
4

Li (Rahmawati dkk., 2010). Meskipun demikian, TiO2 memiliki nilai kelistrikan

yang rendah. Polianilin (PAni) adalah salah satu polimer konduktif yang

serbaguna karena memiliki stabilitas termal dan kimiawi yang baik serta memliki

sifat konduktivitas yang tinggi. Kombinasi polianilin (Pani) dengan bahan organik

atau anorganik lain dapat menghasilkan bahan fungsional baru yang tidak hanya

meningkatkan sifat mekanik tetapi juga sifat lain tergantung material yang

ditambahkan (Phang, 2008). Dalam penelitian ini, polianilin diharapkan dapat

meningkatkan konduktivitas komposit. Studi tentang aplikasi polimer konduktif

seperti polianilin (PAni) telah luas dikembangkan pada perangkat elektronik

seperti baterai (Ghanbari et al., 2006). PAni banyak digunakan sebagai elektroda

katalitik maupun komposit pada suatu material elektroda (Bejbouji et al., 2010).

Berdasarkan sifat ketiga bahan tersebut diatas, maka sangat menarik untuk

mengkombinasi material graphene yang disintesis dari grafit, TiO2 dan PAni yang

diharapkan dapat meningkatkan kapasitas energi elektroda baterai Li-ion.

Graphene dapat diproduksi dengan beberapa metode yang berbeda diantaranya,

pengelupasan mikromekanik (Tang dan Hu, 2012), deposisi uap kimia (CVD)

dan reduksi graphene oksida (RGO) (Li dkk., 2008). Graphene yang dihasilkan

oleh pengelupasan mikromekanik dan deposisi uap kimia menunjukkan morfologi

monolayer yang baik. Namun metode ini kompleks dan hanya dapat menghasilkan

sejumlah kecil graphene, sehingga tidak cocok untuk produksi massal dan aplikasi.

Metode yang paling cocok untuk produksi graphene skala besar saat ini adalah

reduksi kimia dari graphene oksida. Jadi graphene yang digunakan sebagai

bahan elektroda ion lithium sebagian besar adalah dengan reduksi graphene oksida
5

(RGO). Reduksi kimia GO (Graphene Oxide) masih merupakan metode utama

yang digunakan oleh para peneliti, karena kesederhanaan dan beban peralatan

yang lebih rendah (Fan dkk., 2008). Metode kimiawi yang terkenal dalam proses

sintesis graphene oksida sebelum direduksi adalah metode hummers. Metode ini

melibatkan beberapa asam kuat seperti H2SO4, HNO3, HCl, dan KMnO4

dalam jumlah besar. Proses ini dalam skala industri tidak ramah terhadap

lingkungan sebab menghasilkan limbah asam kuat yang banyak. Untuk

menghindari pengunaan asam yang terlalu banyak maka sebagian prosesnya

biasanya diganti dengan eksfoliasi secara fisik menggunakan gelombang

ultrasonik atau dengan pemanasan pada suhu tinggi. Pada penelitian ini modifikasi

metode hummers menggunakan ultraonikasi dan microwave. Proses sintesis yang

melibatkan gelombang ultrasonik dapat dilihat pada (Junaidi dan Susanti, 2014).

Ide dasar penelitian ini merujuk pada Huang et al (2015). Mereka telah

membuat elektroda komposit PAni/graphene/TiO2 nanotube arrays (PGTNs)

untuk aplikasi superkapasitor yang difabrikasi dengan metode in-situ polimerisasi.

Komposit yang dihasilkan mewarisi keunggulan dari setiap bahannya sehingga

memenuhi persyaratan sebagai perangkat penyimpanan energi kinerja tinggi.Oleh

karena itu, menarik untuk melakukan penelitian ini sebagai terobosan baru, dengan

membuat komposit graphene/TiO2/PAni sebagai bahan elektroda. Hal Yang

berbeda dari penelitian ini dengan Huang et al (2015) adalah akan dibuat

lapisan dengan 2 metode utama yaitu teknik Penyemprotan pada substrat, dan

dilanjutkan dengan metode dip-coating. Proses karakterisasi dilakukan dengan

XRD, FTIR, dan SEM serta pengujian dengan voltametri sklik dan uji
6

konduktvitas listrik bahan. Material yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan

dapat diaplikasikan sebagai bahan elektroda baterai Li-ion dengan performa yang

lebih baik sehingga bisa menjadi solusi permasalahan energi kedepannya.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana mensintesis degradasi zat warna reactive yellow 105

dengan menggunakan fabrikasi elektroda komposit FeTI03-TIO2/TI?

2. Bagaimana menghasilkan nanopartikel TiO2 dan karakteristiknya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Mensintesis melalui degradasi zat warna reactive yellow 105 dengan

menggunakan fabrikasi elektroda komposit FeTI03-TIO2/TI

2. Menghasilkan nanopartikel TiO2 dan karakteristiknya.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan pada penelitian ini adalah :

1. Menambah wawasan keilmuan peneliti di bidang riset fabrikasi

elektroda komposit FeTI03-TIO2/TI.

2. Menemukan material baru yang dapat diaplikasikan sebagai material

nanopartikel TiO2 dan karakteristiknya.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Titanium Dioksida (TiO2)

Titanium adalah sebuah unsur kimia dalam tabel periodik yang

memiliki simbol Ti dan nomor atom 22 merupakan logam transisi yang

ringan, kuat, tahan korosi (termasuk tahan terhadap air laut dan chlorine

dengan warna putih metalik keperakan). Sedangkan TiO2 merupakan

nanomaterial yang bersifat semikonduktor yang dapat menghantarkan

listrik, sifat logam yang kuat, ringan dan memiliki kerapatan yang rendah.

Nanopartikel TiO2 merupakan material semikonduktor tipe-n yang

mempunyai ukuran partikel antara 10 sampai 50 nanometer. TiO2

berperan penting dalam pemanfaatan fotoenergi karena memiliki daya

oksidatif dan stabilitas yang tinggi terhadap fotokorosi, murah, mudah

didapat dan tidak beracun (Rahmawati, 2011). TiO2 mempunyai

kemampuan untuk menyerap warna lebih banyak karena di dalamnya

terdapat rongga dan ukurannya dalam nano, maka disebut nanoporous.

Di alam umumnya TiO2 mempunyai tiga fasa yaitu rutile, anatase, dan

brukit. Fasa rutile dari TiO2 adalah fasa yang umum dan merupakan fasa

disintesis dari mineral ilmenite melalui proses Becher. Pada proses Becher,

oksida besi yang terkandung dalam ilmenite dipisahkan dengan temperatur

tinggi dan juga dengan bantuan gas sulfat atau klor sehingga menghasilkan

TiO2 rutile dengan kemurnian 91-93%. Titania pada fase anatase

umumnya stabil pada ukuran partikel kurang dari 11nm, fasa brookite
8

stabil pada ukuran 11-35 nm, dan fasa rutile stabil pada ukuran diatas 35

nm (Septina dkk, 2007). Hanya rutil dan anatase yang cukup stabil

keberadaannya. Selain itu, dapat digunakan sebagai fotokatalis, dengan

struktur terlihat pada Gambar 4. Perbedaan struktur kristal yang terlihat

pada gambar tersebut mengakibatkan perbedaan tingkat energi struktur

pada pita elektroniknya (Gunlazuardi, 2001).

Gambar 4. Struktur TiO2 fasa anatase dan rutile (Satoh et al., 2013)

B. Komposit

Komposit memiliki definisi dasar yaitu submikro (nano), mikrostruktur,

makrostruktur. Submikro (nano) adalah material matrik dapat didefinisikan

sebagai fasa dalam komposit yang mempunyai bagian atau fraksi volume terbesar

disusun dari dua atom atau lebih yang terletak pada molekul tunggal dan kisi

Kristal, contohnya senyawa, paduan (alloy) polimer, keramik. Mikrostruktur

merupakan material yang disusun dari dua fase atau senyawa. Makrostruktur

merupakan material yang disusun dari campuran dua atau lebih penyusun makro
9

yang berbeda dalam bentuk dan komposisi yang tidak larut satu sama lain

(Roylance, 2000).

Karekteristik komposit ditentukan berdasarkan karekeristik material

penyusun dan dapat ditentukan secara teoritis dengan pendekatan metode rule of

mixture (ROM), sehingga akan berbanding secara proporsional. Bentuk (dimensi)

dan struktur (ikatan) penyusun komposit juga akan mempengaruhi karekteristik

komposit, begitu pula bila terjadi interaksi antar penyusun akan meningkatkan

sifat dari komposit (Pramono, 2008)

C. Elektroda

Elektroda adalah konduktor yang digunakan untuk bersentuhan dengan

bagian atau media non-logam dari sebuah sirkuit (seperti semikonduktor, elektrolit

atau vakum). Hal ini diungkapkan oleh ilmuan Michael Faraday dari bahasa

Yunani yaitu elektron berarti amber, dan hodos berarti sebuah cara. Elektroda

dalam sel elekrokimia dapat disebut sabagai anoda atau katoda, kata ini juga

diungkapkan oleh Faraday.

Adapun syarat-syarat elektroda yang baik yaitu memiliki konduktor listrik

yang baik, potensial yang terbentuk disekitar elektoda harus rendah, tidak mudah

bereaksi dengan metal yang lain, tidak membentuk campuran yang dapat

mengganggu proses elektrolisa, mudah diperoleh atau disiapkan dengan murah,

tahan korosi dalam zat pelarut, stabil, kuat dan tidak mudak terkikis serta

harganya murah. Ada dua jenis elekroda yaitu anoda dan katoda :
10

1. Anoda

Pada sel galvanik, anoda adalah tempat terjadinya oksidasi yang

bermuatan negatif disebabkan oleh reaksi kimia yang spontan, elektron

akan dilepas oleh elektroda ini. Pada sel elektrolisis, sumber eksternal

tegangan didapat dari luar, sehingga anoda bermuatan positif apabila

dihubungkan dengan katoda. Ion-ion bermuatan negatif akan engalir pada

anoda untuk dioksidasi (Dogra, 1990).

2. Katoda

Katoda merupakan elektroda tempat terjadinya reduksi sebagai zat kimia.

Katoda bermuatan positif bila dihubugkan dngan anoda yang terjadi

pada sel galvanik. Ion bermuatan positif mengalir ke elektroda ini untuk

direduksi oleh elektron-elektron yang datang dari anoda. Pada sel

elektrolisis, katoda adalah elektroda yang bermuatan nagatif. Ion-ion

bermuatan positif (kation) mengalir ke elektroda ini untuk direduksi.

Dengan demikian, pada sel galvanik, elektron bergerak dari anoda ke

katoda dalam sirkuit eksternal (Bird, 1993).

3. Potensial Elektroda Standar (E0)

Potensial elektroda standar adalah potensial yang terkait dengan setengah

reaksi yang ada (wadah eletroda). Potensial elektroda standar suatu

elektroda adalah daya gerak listrik yang timbul karena pelepasan

elektron dari reaksi reduksi. Oleh karena itu, potensial elektroda standar

sering juga disebut potensial reduksi standar. Potensial ini relatif karena

dibandingkan dengan elektroda hidogen sebagai standar.


11

Nilai potensial elektroda standar dinyatakan dalam satuan Volt (V). Untuk

elektroda hidrogn, E0-nya adaah 0,00 V.

a. Bila E0 > 0  cenderung mengalami reduksi (bersifat oksidaor)

b. Bila E0 < 0  cenderung mengalami oksidasi (bersifat reduktor)

(Hiskia,1992).

D. Zat Warna

Penggunaan zat warna dewasa ini meningkat, sejalan dengan memangnya

seperti bahan tekstil, makanan maupun obat-obatan. Salah satu proses penting

dalam tahap penyempurnaan bahan tekstil adalah proses pewarnaan. Pemakaian

zat warna yang bertujuan untuk memperindah bahan tekstil teryata membawa

dampak bagi kelestarian lingkungan. Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas

mengenai zat warna dan proses perombakannya secara biologi menggunakan

proses aerob. Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh

dengan kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat warna

dengan serat.

zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan zat warna adalah

senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan turunannya, fenol

dan turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang mengandung nitrogen.

Gugus kromofor adalah gugus yang menyebabkan molekul menjadi berwarna. Pada

tabel 2.1. dapat dilihat beberapa nama gugus kromofor dan memberi daya ikat

terhadap serat yang diwarnainya. Gugus auksokrom terdiri dari dua golongan,

yaitu:
12

Golongan kation : -NII2; NIIR; j -NR2 seperti -NRCI.

Golongan anion : -S03H; -OH; -COOH seperti -0; -S02; dan lain-lain

Tabel 2.1. Nama dan Struktur Kimia Kromofor

1. Penggolongan Zat Warna

Zat warna dapat digolongkan menurut sumber diperolehnya yaitu zat warna

alam dan zat warna sintetik. Van Croft menggolongkan zat warna berdasarkan

pemakaiannya, misalnya zat warna yang langsung dapat mewarnai serat disebutnya

sebagai zat warna substantif dan zat warna yang memerlukan zat-zat pembantu

supaya dapat mewarnai serat disebut zat reaktif. Kemudian Henneck membagi zat

warna menjadi dua bagian menurut warna yang ditimbulkannya, yakni zat warna

monogenetik apabila memberikan hanya satu warna dan zat warna poligenatik

apabila dapat memberikan beberapa warna.

Penggolongan zat warna yang lebih umum dikenal adalah berdasarkan

konstitusi (struktur molekul) dan berdasarkan aplikasi (cara pewarnaannya) pada

bahan, misalnya didalam pencelupan dan pencapan bahan tekstil, kulit, kertas dan

bahan-bahan lain. Penggolongan zat warna menurut "Colours Index" volume 3,

yang terutama menggolongkan atas dasar sistem kromofor yang berbeda misalnya

zat warna Azo, Antrakuinon, Ftalosia, Nitroso, Indigo, Benzodifuran, Okazin,


13

Polimetil, Di- dan Tri-Aril Karbonium, Poliksilik, Aromatik Karbonil, Quionftalen,

Sulfer, Nitro, Nitrosol dan lain-lain (Heaton, 1994).

Zat warna Azo merupakan jenis zat warna sistetis yang cukup penting.

Lebih dari 50% zat warna dalam daftar Color Index adalah jenis zat warna azo. Zat

warna azo mempunyai sistem kromofor dari gugus azo (-N=N-) yang berikatan

dengan gugus aromatik. Lingkungan zat warna azo sangat luas, dari warna kuning,

merah, jingga, biru AL (Navy Blue), violet dan hitam, hanya warna hijau yang

sangat terbatas. Penggolongan lain yang biasa digunakan terutama pada proses

pencelupan dan pencapan pada industri tekstil adalah penggolongan berdasarkan

aplikasi (cara pewarnaan). Zat warna tersebut dapat digolongkan sebagai zat warna

asam, basa, direk, dispersi, pigmen, reaktif, solven, belerang , bejana dan lain-lain.

Dari uraian di alas jelaslah bahwa tiap-tiap jenis zat warna mempunyai

kegunaan tertentu dan sifat-sifatnya tertentu pula. Pemilihan zat warna yang akan

dipakai bergantung pada bermacam faktor antara lain : jenis serat yang akan

diwarnai, macam wana yang dipilih dan warna-warna yang tersedia, tahan

lunturnya dan peralatan produksi yang tersedia Jenis yang paling banyak digunakan

saat ini adalah zat warna reaktif dan zat warna dispersi. Hal ini disebabkan produksi

bahan tekstil dewasa ini adalah serat sintetik seperti serat polamida, poliester dan

poliakrilat. Bahan tekstil sintetik ini, terutama serat poliester, kebanyakan hanya

dapat dicelup dengan zat warna dispersi. Demikian juga untuk zat warna reaktif

yang dapat mewarnai bahan kapas dengan baik.


14

2. Zat Warna Reaktif

Dalam daftar "Color Index" golongan zat warna yang terbesar jumlahnya

adalah zat warna azo, dan dari zat warna yang berkromofor azo ini yang paling

banyak adalah zat warna reaktif zat warna reaktif ini banyak digunakan dalam

proses pencelupan bahan tekstil. Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan

sistem azo dan antrakuinon dengan berat molekul relatif kecil. Daya serap terhadap

serat tidak besar. Sehingga zat warna yang tidak bereaksi dengan serat mudah

dihilangkan. Gugus-gugus penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan

ketahanan lat wama terhadap asam atau basa.

Gugus-gugus reaktif merupakan bagian-bagian dari zat warna yang mudah

lepas. Dengan lepasnya gugus reaktif ini, zat warna menjadi mudah bereaksi

dengan serat kain. Pada umumnya agar reaksi dapat berjalan dengan baik maka

diperlukan penambahan alkali atau asam sehingga mencapai pH tertentu.

Disamping terjadinya reaksi antara zat warna dengan serat membentuk ikatan

primer kovalen yang merupakan ikatan pseudo ester atau eter, molekul air pun dapat

juga mengadakan reaksi hidrolisa dengan molekul zat warna, dengan memberikan

komponen zat warna yang tidak reaktif lagi. Reaksi hidrolisa tersebut akan

bertambah cepat dengan kenaikan temperatur. Selulosa mempunyai gugus alkohol

primer dan sekunder yang keduanya mampu mengadakan reaksi dengan zat warna

reaktif. Tetapi kecepatan reaktif alkohol primer jauh lebih tinggi daripada alkohol

sekunder. Mekanisme reaksi pada umumnya dapat digambarkan sebagai

penyerapan unsur positif pada zat warna reaktif terhadap gugus hidroksil pada

selulosa yang terionisasi. Agar dapat bereaksi zat warna memerlukan penambahan
15

alkali yang berguna untuk mengatur suasana yang cocok untuk bereaksi,

mendorong pembentukan ion selulosa dan menetralkan asam-asam hasil reaksi.

a. Degradasi Zat Warna

Tekstil dengan Sistem Anaerobik Limbah cair industri tekstil dari proses

pewarnaan mengandung warna yang cukup pekat. Zat warna ini berasal dari sisa-

sisa zat warna yang tak larut dan juga dari kotoran yang berasal dari serat alam.

Warna selain mengganggu keindahan, mungkin juga bersifat racun dan sukar

dihilangkan. Beberapa penelitian tentang biodegradasi zat warna khususnya zat

warna azo telah dilaporkan (Seshadri dkk., 1994; Carliell dkk. 1995; Kenapp dan

Newby, 1995 ; Nigam dkk. 1996; Oxspring dkk. 1996). Zat warna azo ini banyak

digunakan dalam industri tekstil, makanan, obat-obatan dan kosmetika. Pada tahun

1990 di negara Amerika Serikat penjualan zat warna azo menduduki nomor teratas

daripada golongan zat warna lain (Heaton, 1994).

Penelitian perombakan zat warna ini berawal dari penemuan hasil

metabolism hewan mamalia yang diberi makanan campuran zat warna azo. Zat

warna azo yang masuk ke dalam pencernaan hewan ini direduksi oleh mikroflora

yang berada di dalam saluran pencernaan pada kandisi anaerobik. Ikatan azo yang

direduksi ini menghasilkan produk samping (intermediat) yaitu turunan amino azo

benzen yang dikhawatirkan karsinagen. Meyer (1981) menjelaskan bahwa reduksi

azo dikatalisa aleh enzim azo reduktase di dalam liver sama dengan reduksi aza

aleh mikroorganisme yang ada di dalam pencemaan pada kandisi anaerobik. Dari

hasil penelitian-penelitian inilah berkembang penelitian lanjutan perombakan zat


16

warna secara anaerobik. Selanjutnya biadegradasi zat warna dengan kandisi

anaerobik ini cukup patensial untuk merombak zat warna tekstil.

Perlakuan secara anaerobik pada dasarnya sebagai pengalahan pendahuluan

untuk limbah cair yang mengandung bahan organik tinggi dan sukar untuk

didegradasi. Pada proses anaerobik terjadi pemutusan molekul-molekul yang sangat

kompleks menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana, sehingga mudah

terbiadegradasi oleh proses aerobik menjadi CO2, H2O, NH dan Biomassa. Pada

Gambar 2.1. dapat dilihat biadegradasi zat warna secara anaerabik-aerobik.

Bhattacharya dkk (1990), menggunakan zat warna Acid Orange 10, yaitu

zat warna mono azo yang larut dalam air. Penghilangan warna dilakukan secara

anaerobikaerobik pada skala lab; diperoleh penurunan warna pada system anaerobic

sebesar 30-50% dan aerobik 1-18%. Kemudian pada tahun 1992 Zaoyan dkk

menerapkan perlakuan anaerobik-aerobik pada percobaan skala pilot. Diperoleh

hasil penurunan COD 75-80%, warna 72-78%, PVA 80-85% dan BOD 95%

dengan waktu tinggal cairan 7-8 jam (anaerbik) dan 4,4 - 5 jam (aerobik). Haug
17

dkk; (1992), mengadakan perlakuan yang sama untuk merombak zat warna Acid

Red 27,4 Hydrokxy azobenzene-4-sulphonic acid, Acid Yellow 23, Acid Yellow

21 dan Mordant Yellow 3 (MY3). Haug menyimpulkan bahwa pada kondisi

anaerobic dibutuhkan empat reduksi ekivalen untuk memutuskan ikatan ala,

sehingga menghasilkan amina-amina aromatik. MY3 yang direduksi secara

anaerobik menghasilkan 6aminonaphthalene-2-sulfonic acid (6A2NS) dan 5

aminosalicylate (5AS). Laju reduksi azo juga akan meningkat dengan penambahan

glukosa ke dalam media sebagai sumber karbon tambahan. Setelah 3 hari inkubasi

di bawah kondisi anaerobik pada temperature 37°C diperoleh persen penurunan zat

warna Amarant 37%, 4 hidroksiazobenzene-4sulfonic acid 43%, acid yellow 21

98% dan lat warna MY3 51 %.

Seshadri dan Bishop (1994), melakukan percobaan menggunakan empat

zat warna yaitu zat warna Acid Orange 7, Acid Orange 8, Acid Orange 10 dan Acid

Red 14. Penelitian dititikberatkan pada feasibilitas penggunaan reaktor embun

fluidisasi untuk kesempurnaan pemutusan ikatan zat warna. Reaktor ini berfungsi

untuk mereduksi ikatan ala menjadi amina-amina aromatik. Kemudian dilakukan

pengolahan lanjutan secara aerobik menggunakan reaktor lumpur aktif (Activated

Sludge Reactor) untuk mendegradasi amina-amina aromatik menjadi biomassa.

Hasil reduksi masing-masing zat warna dengan waktu tinggal cairan (HRT)

bervariasi 1-24 jam diperoleh persen penurunan warna sebagai berikut : Acid

Orange 7 (90%), Acid Orange 10 (1782%), Acid Orange 8 (98%), dan Acid Red 14

(86,3%).
18

Ikatan zat warna azo dapat direduksi oleh mikroorganisme anaerobik yang

berperanan panting dalam pemutusan ikatan. Meyer, (1981); Haug dkk., (1991) dan

Carliell dkk., (1994) telah meneliti dan melaporkan mekanisme perombakan zat

warna secara anaerob. Khan dkk., (1983) yang dilaporkan oleh Kremer (1989)

menyimpulkan bahwa reduksi azo secara enzimatis dikatalisa oleh suatu enzim

yang disebut azo reduktase. Enzim ini sensitif terhadap oksigen, sehingga aktivitas

maksimum diperoleh pada kondisi anaerobik. Hasil penelitian ini masih kurang

jelas apakah azoreduktase secara langsung mengkatalisa transfer elektron akhir ke

campuran zat. Ternyata secara umum digunakan hasil penelitian yang dilaporkan

oleh Gingel dan Walker (1971), Larsen dkk. (1976), Wuhrmann dkk. (1980), dan

Haug dkk. (1991). Mereka mengatakan bahwa reduksi azo terjadi bersama dengan

terbentuknya flavin yang tereduksi secara enzimatik, tetapi transfer elektron akhir

terjadi secara non enzimatik.

Mekanisme dasar pemutusan ikatan azo terjadi bersamaan dengan

reoksidasi dari nukleotida yang dibangkitkan secara enzimatis. Selama nukleotida

direduksi dari system pengangkutan elektron, zat warna berperan sebagai

oksidator. Elektron yang dilepas oleh nukleotida yang mengalami oksidasi akan

diterima oleh campuran azo (aseptor electron akhir) melalui FAD (Flavin Adenin

Dinucleotida) sehingga zat warna dapat direduksi menjadi amina-amina yang

bersesuaian. Flavoprotein mengkatalisa pembentukan flavinflavin tereduksi

dengan regenerasi dari Nikotinamida Adenin Dinucleotida fosfat (NADPH).

Mekanisme reduksi azo oleh enzim dan NADPH yang dilaporkan oleh

Carliell dkk (1995) dapat dilihat pada reaksi :


19

Gambar 2.2. Degradasi Zat Warna C.I Reactive Red 141 yang diusulkan
oleh Carliell dkk (1995)

Mekanisme perombakan zat warna yang dilaporkan oleh Gingel dan Walker (1971)

dengan penambahan flavin yang dapat larut ke preparasi sel bebas S. faecalis

meningkatkan laju reduksi azo. Ini berarti laju reduksi campuran azo sebanding

dengan laju generasi dari FMN tereduksi. Flavin yang tereduksi berperan sebagai

dua electron donor seperti reaksi:

Zat warna azo bertindak sebagai elektron aseptor akhir bila tidak ada oksigen

yang hadir di dalam media. Selanjutnya laju reduksi azo akan ditentukan oleh laju

pembentukan elektron donor yaitu nukleatida tereduksi. Laju pembentukan flavin

ini berhubungan dengan metabolisme dari mikroba.


20

Haug dkk (1991) mengatakan bahwa reduksi azo peka terhadap jumlah

sumber karbon yang tersedia dalam sistem, sehingga katabolisme dari substrat ini

yang menyebabkan terbentuknya fiavin tereduksi. Laju reduksi azo akan

dikontrol dari kemampuan dari karbon tambahan yang hadir dalam sistem. Dubin

dan Wright (1975) melaporkan bahwa kinetika reduksi azo untuk reduksi yang

terjadi di luar sel, dan sistem bebas sel adalah orde nol, sedangkan menurut Larsen

(1976) Whurmann dkk (1980), dan Kremer (1989) kinetika reduksi azo di dalam

sel adalah orde satu. Agar reduksi azo dapat mengikuti kinetika di atas maka

elektron aseptor yang bersaing dalam mendapatkan elektron (competitive

electron acceptor) harus dihilangkan terlebih dahulu dari media. Jika pada media

masih terdapat elektron aseptor selain zat warna maka laju reduksi azo akan

terhambat dan warna tidak dapat hilang. Dari beberapa penelitian yang telah

dilakukan, secara umum masih dititik beratkan pada pengolahan air limbah

sintetik, belum dilakukan terhadap limbah cair industri. Hal yang sama juga akan

dilakukan pada penelitian ini.


21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2019. Yang

bertempat di Laboratorium Kimia, Biologi dan Fisika Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo. Fabrikasi elektroda komposit

feti03-tio2/ti untuk degradasi zat warna reactive yellow 105 sampel dilakukan

di Laboratorium Kimia FMIPA UHO.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan bidang kajian

kimia sintesis.

C. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang akan digunakan pada penelitian ini dapat

dilihat sebagai berikut :

Peralatan Penelitian

1. Peralatan Sintesis Fotokatalis

- Beaker glass 100 ml, 250 ml, 500 ml

- Gelas ukur

- Corong

- Spatula

- Pipet tetes

- Alat sentrifugal
22

- Pengaduk ultrasonic

- Pemanas/furnace

2. Peralatan Uji Kinerja Fotokatalis dan Analisis Produk

- Fotoreaktor skala lab (Gambar 3.7)

- Hot plate dengan magnetic stirrer

- Lampu Visible Light

- Lampu UV

- Gas Chromatography

- Tabung Argon

- Tabung Nitrogen

3. Bahan Penelitian

a. Bahan Sintesis Fotokatalis

- TiO2 P-25 Degussa

- Air demineralisasi

- Larutan NH

- Gas nitrogen

- H2PtCl6 .6H32O (prekursor Pt, sebagai dopan logam pembanding)

- Ni(NO3)2.3H2O. (prekursor Ni)

- Cu (NO3)23H2O 2O (prekursor)

4. Bahan Uji Kinerja Fotokatalis

- Air distilasi

- Gliserol

- Metanol
23

D. Prosedur Penelitian

1. Fabrikasi elektroda komposit FeTI03-TIO2/TI

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, untuk Fabrikasi

elektroda komposit FeTI03-TIO2/TI bila sintesis dilakukan dengan mendopankan

Fe ke TiO lebih dulu dilanjutkan dengan dopan TI, dicurigai sebagian Fe terlepas

kembali (Anny, 2010). Karena itu, dilakukan Fabrikasi FeTI03-TIO2/TI lebih dulu

kemudian dilanjutkan dengan dopping Fe. Sintesis TI03-TIO2/TI adalah Cu dan Ni

dilakukan dengan metode Impregnasi, sedangkan sintesis Fe-TiO dilakukan dengan

metode PAD (Photo Assisted Deposition). Hasil yang diperoleh kemudian didopan

dengan Fe dengan menggunakan metode yang paling optimal yang diperoleh.

2. Uji Kinerja Fotokatalis

Reaktor yang akan digunakan adalah reaktor pyrex yang dilengkapi dengan

magnetic stirrer dan hotplate. Reaktor berada di dalam kotak uji yang dilengkapi

dengan fitting lampu yang merupakan tempat penyangga lampu yang digunakan

sebagai sumber foton, baik lampu UV ataupun lampu sinar tampak (sesuai

kebutuhan). Sebelum dilakukan pengujian produksi hidrogen, akan dilakukan

terlebih dahulu purging pada udara dalam kotak uji agar oksigen yang terkandung

pada sistem uji hilang. Purging dilakukan dengan mensirkulasikan gas Argon

dengan tekanan 35 Torr. Adapun tujuan dilakukan purging adalah membuang gas

oksigen agar tidak terjadi reaksi balik menjadi H2O antara O2 dan H2 yang

terbentuk.

Pengujian kinerja katalis dilakukan di dalam fotoreaktor dengan reaktan

campuran air dan gliserol sebanyak 500 ml dengan konsentrasi gliserol 10%. Ke
24

dalamnya dimasukkan katalis yang telah dipreparasi dengan divariasikan jenis dan

loading-nya. Wadah tempat uji diletakkan di atas hot plate agar bisa diatur dan

divariasikan suhunya selain juga agar dapat diaduk dengan magnetic stirrer untuk

meningkatkan kinetika reaksi. Setelah itu, lampu sinar tampak dinyalakan sehingga

aktivitas fotokatalisis dimulai. Lamanya waktu reaksi adalah 5 jam.

Pengukuran konsentrasi hidrogen dilakukan dengan menggunakan Gas

Chromatograph Thermal Conductivity Detector (GC TCD) secara online. Sampel

gas diambil setiap selang waktu 1 jam kemudian komposisi tersebut dianalisa

dengan Gas Chromatograph.

3. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan dibuat untuk melihat pengaruh berbagai parameter

terhadap kinerja reaktor dalam memproduksi hidrogen dari campuran gliserol dan

air. Pada percobaan ini, akan dilihat pengaruh empat parameter dalam

menghasilkan hidrogen dari gliserol dan air. Keempat parameter itu adalah: metode

sintesis, jenis dopan logam, loading dopan logam dan komposisi campuran

gliserol-air.

E. Variabel Penelitian

Adapun variabel yang terkait pada penelitian ini adalah adalah:

- Variasi metode sintesis katalis nanokomposit Fe-TiO . Adapun variabel terikat

dari variasi ini adalah konsentrasi Fe yang terdopan dalam katalis.

- Variasi loading dopan (Cu dan Ni) dalam fotokatalis, yaitu sebesar 0%, 1%, 3%,

5%, 10% , 20% dari berat N-TiO, adapun variabel terikat dari variasi ini adalah

jumlah mol hidrogen yang terbentuk.


25

- Variasi jenis dopan (Pt, Cu, Ni) dalam fotokatalis TiO . Adapun variabel terikat

dari variasi ini adalah jumlah mol hidrogen yang terbentuk.

- Variasi konsentrasi gliserol dalam sistem campuran gliserol dan air dengan

besar persentase gliserol 0%, 10%, 20% dan 50%. Adapun variabel terikat dari

variasi konsentrasi gliserol ini adalah jumlah mol hidrogen yang terbentuk.
26

DAFTAR PUSTAKA
Adhytiawan, AA. dan Susanti D.(2013). Pengaruh Variasi waktu tahan
hidrotermal terhadap sifat kapasitif superkapasitor material
graphen. Jurnal Teknik Pomits.Vol.2.no.1:2337-3539.
Annafi, M., 2009, Studi Biodegrasdasi Poliblend antara Polistirena-
Kitosan Menggunakan Lumpur Aktif, Skiripsi. Jurusan Kimia ITB.
Bandung.
Ansari R. and Keivani M.B. 2006. Polyaniline Conducting
Electroactive Polymers: Thermal and Environmental Stability
Studies. Journal of Chemistry. 202-217.Abdullah, M., dan
Khairurrijal, 2009, Karakterisasi Nanomaterial, Jurnal Nanosains
dan Nanoteknologi, Vol. 2 (1):
1979-0880.
Apriliani, R., 2009, Studi penggunaan Kurkumin sebagai Modifier
elektroda pasta Karbon untuk Analisis Timbal (II) Secara Stripping
Voltammetry, Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Atabaki, MM and Kovacevic, R. (2013). Electron Mater Lett 2:133-153.

Bird, T., 1993, Kimia Fisik untuk Universitas. PT. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.
Bolotin KI, Sikes KJ, Jiang Z, Klima M, Fudenberg G, Hone J, Kim P,
Stormer HI. (2008). Solid State Commun. 146, 351-355.
Brown, G N., Birks, J. W. and Koval, 1992, Development and
Characterization of a Titanium-Dioxide Based Semiconductor
Photoelectrochemical Detector, Anal. Chem, 64, 427-434.

Chao Zhou et al., 2014. Graphene’s cousin: the present and future of
graphane.DOI:10.1186/1556-276X-9-26.
Chaudhuri dan D Sarma . 2006. BF3-Doped Polyaniline: A Novel
Conducting Polymer. Journal of Phisics. 135-139.
Dey RS, Hajra S, Sahu RK, Raj RC, Panigrahi MK. (2012). A rapid room
temperature chemical route for the synthesis of graphene: metal-
mediated reduction of graphene oxide. Chem. Comm. 48(12):
1787-1789.
27

Dogra, S., 1990, Kimia Fisik dan Soal-Soal, Universitas indonesia: jakarta.
Ellingson, R., and Heben, M. (2011). Sheet Resistance:
Measurement and Significance. University of Toledo: PHYS 4580,
PHYS 6/7280.
Fan, X., Peng, W., Li, Y., Li, X., Wang, SS., Zhang, S., Zhang, F.
(2008). Adv Mater 20:4490-4493.
Faust B., 1998. Modern Chemicals Techniques, Royal Society of
Chemistry. London.
Fitriani, L., 2012, Studi Reaksi Reduksi CO2 dengan Metode
Elektrokimia Menggunakan Elektroda Cu, Skripsi, Universitas
Indonesia, Depok. Geim AK, Novoselov KS: The Rise Of
Graphene, nat mater 2007,6: 183.
Ghanbari, K., Mousavi, M. F., Shamsipur, M. (2006). Preparation of
polyaniline nanofibers and their use as a cathode of aqueous
rechargeable batteries, Electrochimica Acta, 52, 1514 – 1522.
Ghani, SA., Heah Chen Y. 2010. Development of Carbon white-
Carbon Black-Polyaniline Composite As a Conductive Polymer.
Journal Physical Science.
Gosser, D.K., 1993, Cyclic Voltammetry Simulation and Analysis of
Reaction mechsnisms, VCH Publisher Inc.

Gunlazuardi, J., 2001. Fotokatalisis pada Permukaan TiO2: Aspek


Fundamental dan Aplikasinya, Departemen Kimia F-MIPA,
Universitas Indonesia, Jakarta, Makara, Jurnal Penelitian
Universias indonesia.
Guo,J.(2010).” Nanoparticle/Graphene Composites: Toward High-
Performance Anode Materials for Lithium-ion Batteries”. Literature
Seminar
Hao, Q., 2003, Development of Conductrometric Polymer Sensor for Gasous
Hydrogen Chloride, Disertasi, Faculty of Chemistry and Pharmacy,
University of Regensburg. Jerman.
Hattu, N., Buchari, Indra, N., dan Sadijah, A., 2009, Studi Voltametri
Antihistamin Deksklorfeniramin Maleat Menggunakan Elektroda
Pasta karbon, Prosiding Seminar Nasional penelitian, pendidikan
dan penerapan MIPA, Yogyakarta.
Hidayah, IN. (2015). Aplikasi Graphene Untuk Lithium Ion Battery.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
28

House, V. E. and Ross, F., 2007, “Anode‟r‟ way” – Why the anode yields
better result, Altair nanotechnologies, (Altairnano) Inc.
Huang J ., 2006. Syntheses and Applications of Conducting Polymer
Polyaniline Nanofibers. Pure Appl. Chem.15–27
Huang,H.,Gan, M.et al. 2015. Fabrication of polyaniline/ graphene/
titania nanotube arrays nanocomposite and their application in
supercapasitors. Journal of Alloys and Compounds 630, 214-221.
Hubber, T., Saville, P., and Edwards, D., 2003. Investigations into the
Polyaniline and Polypyrrole Families of Conducting Polymers for
Application as Radar Absorbing Materials, DRDC Atlantic TM
2003-005, Defence R&D Canada.
Ilhami,L.N. dan Susanti D.(2014).”Pengaruh Variasi Kadar Zn Dan
Temperatur Hydrotermal Terhadap Struktur Dan Nilai Konduktivitas
Elektrik Material Graphene”. Jurnal Teknik Pomits.Vol.3.no.2:2337-
3539.
Jagadale, T. C., Takale, S. P., Sonawabne, R. S, 2008, N-Doped TiO2
nanoparticle based visible ligh photocatalyst by by modiied peroxide
sol-gel method, J. Phys. Chem. C, 112(37), 14595-14602.
Junaidi, M dan susanti, D. (2014). Pengaruh variasi waktu ultrasonikasi
dan waktu tahan hydrotermal terhadap struktur dan konduktivitas
listrik material graphene. Jurnal Teknik Pomits.Vol.3.no.1.
Kartawidjaja. M., Abdurrochman, A., Rumeksa, E., 2008, Prosiding
seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008, Lampung,
Universitas Lampung: 105-115.
Kosova, N.V., Osintsev, D.I., Uvarov, N.F., and Devyatkina. Et., 2005,
Lithium Titanium Phosphate as Cathode, anode, and Electrolyte for
Lithium Rechargeable Batteries, Chemistry for Subtainable
Development, Vol. 13:4271-4274.
Koudriachova, M. V., Harrison, N. M. and de leeuw, S., 2001, Effect Of
Diffusion On Lithium Intercalation In Tithanium Diokside, Physical
review letters, volume 85, No. 7.
Kroschwitz, J., 1990, Polymer Characterization and Analysis, John
Wiley andSons, Inc.,Canada.
Lee, Changhoon., Choi, Hanshin., Lee, Changhee., Kim, Hyungjun.
(2003).Photocatalytic Properties Of Nano-Structured Tio
Plasma Sprayed Coating, Elsevier: Surface and Coatings
Technology, 173 (2003) 192–200.
29

Lestari, D. N., 2009, Study Pereparasi dan Karakterisasi N-Doped TiO2


dengan Motode sol-gel Menggunakan Prekursor Titanium Iso
Propoksida (TTIP) dan Diethylamine, Skripsi, Universitas
Indonesia, Jakarta.
Li, D., Müller, MB., Gilje, S., Kaner, RB., Wallace, CG. (2008). Nat
Nanotechnol.3:101-105.
Liang, K., and Shao, H., 2003, Study on the Cracking of SiO2-TiO2
FilmsPrepared by Sol-Gel Method, Department of Materials
Science and Engineering,Tsinghua University, Beijing.
Masrukan, 2008, Analisis Kualitatif Dengan Menggunakan Teknik
Difraksi Sinar-X Pada Penambahan Unsur Zr Terhadap
Pembentukan Fasa Paduan U-Zr, Urania, Pusat Teknologi Bahan
Bakar Nuklir-BATAN Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang.
Netro, Castro., A. H. et al., 2009, The electronic Properties of
graphene, Rev.Modern Physics, Journal of The American Physical Society.
Niu Herlin., Wang Q., Liang H., Chen Min., Mao C., Song J., Zhang., Gao
Y., and Chen C, 2014, Visible-Ligh Active and Magmetically
Recyclable Nanocomposites for the Degradation of Organic Dye,
Materials, 7(5), 4034- 4044.
Nugraha T. W., dan Susanti Diah., 2015, Analisis Pengaruh Susunan
Komposit Laminat Graphene- TiO2 sebagai Lapisan Semikonduktor
terhadap untuk Kerja Dye Sensitized Solar Cell (DSSC), Jurnal
Teknik ITS, 4 (1), 66-71.
Nuwaiir, 2009, Kajian Impedansi dan Kapasitansi Listrik pda Membran
Telur Ayam Ras. Skripsi, Departemen Fisika F-MIPA IPB, Bogor.
Oates, Krysten. 2010. Lithium-ion Batteries : Commercialization
History and Current Market, Foresight Science and Technology.
Ozkazanc, E., Zor, S., and Ozkazanc, H. (2012). Synthesis, Characterization,
and AC Conductivity of Polyaniline/Selenium Composites.
Journal of Macromolecular Science. Part B: Physics. 51:11, 2122-
2132.
Phang, S.W., Tadakoro, M., Watanabe, J. dan Kuramoto, N., 2008,
Synthesis, Characterization and Microwave Absorption Property
of Doped Polyaniline Nanocomposites Containing TiO2
Nanoparticles and Carbon Nanotubes, Syntetic Metals, No.158, 251-
258.
30

Prasetyo, Anton. (2012). Graphene. Bandung: Institut Teknologi


Bandung. Pratapa, S., 2004, Prinsip-prinsip Difraksi
Sinar-X Erlangga. Jakarta.
Rahayu, A. M., dan Fredy, K., 2011, Modifikasi Elektroda Emas dengan
Polirol/Emas Nanopartikel untuk Penentuan Kromium, Prosiding
Tugas Akhir Semeter Genapp 2011/2012, Surabaya.
Rahmawati, F., Wahyuningsih, S. Dan Handayani, N., 2008,
Modifikasi Permukaan Lapis Tipis Semikonduktor TiO2 Bersubstrat
Grafit dengan Elektrodeposisi Cu, Indo. J. Chem., Vol. 8 (3): 33-336.
Rahmawati, Fitria., Nuryani, Wijayanti, Liviana., (2010),
TiO2/Grafit dan Cu-TiO2/Grafit Sebagai Elektroda Bateai Ion-
Litium, seminar nasional basic science II, ISBN: 978-602-97522-
0-5, Surakarta: Universits sebelas maret.
Reiger, P,H., 1994, Electrochemistry, 2nd edition USA: Chapman and Hall,
Inc.
Rizky, Dharmawan., Satriaji, Sudigdo., Hamidah, Harahap. 2014.
KarakterisasiSensor Polimer Konduktif Polianilin Berpengisi Serbuk
Ban UntukMendeteksi Konduktivitas Minyak. Medan: Teknik Kimia USU.
Vol. 3, No.2.
Rohman, Fadli.2012.Aplikasi grafen untuk baterai Litium ion.Bandung:
InstitutTeknologi Bandung.
Roylance, David. 2000. Introduction To Composite Materials. Department
of Materials Science and Engineering Massachusetts Institute of
Technology Cambridge, MA 02139.
Santoso, I., Surahman, H., Krisnadi, Y,K., Tribidasari, I., dan
Gunlazuardi, J.,2010, Optimasi Sistem Penetuan Chemical Oxygen (COD)
Menggunakan Probe Berbasis Fotoelektrokatalisis TiO2 : Preparasi dan
Karakterisasi Elektroda Lapis Tipis TiO2/SnO2- F, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Sarker,A.K. and Hong,JD.2014. Flexible and transparent palastic electrodes
composed of reduce graphene oxide/polyaniline films for
supercapacitor applicaion. Vol.35, No.6,1799.
Sastrohamidjojo H., 1992. Spektroskopi Inframerah., Liberty. Yogyakarta.
Satoh, N., Nakashima, T., and Yamamoto K. (2013), Metastability Of
Anatase: Size Dependent And Irreversible Anatase-Rutile Phase
Transition In Atomic-Level Precise Titania. Scientific Reports,
3 : 1959. DOI:10.1038/srep01959.
31

Schmidt, H., and Mennig, M., 2000, Wet Coating Technologies for Glass,
INM, Institu fur Neue Materialien, saarbrucken, Germany.
Shao G, Lu Y, Wu F, Yang C, Zeng F, Wu Q. (2012). Graphene
oxide: the mechanisms of oxidation and exfoliation. J. Mater. Sci.
47(10): 4400-4409.
Stoller, M. D., Park, S. J., Zhu, Y. W., An, J. H., Ruoff, R. S. Graphene-
BasedUltracapacitors. Nano Lett. 2008, 8, 3498– 3502. Tang, B and
Hu, G. (2012). J Power Source. 220:95-98.
Taufantri,. Yudha, Irdhawati., Ida, A.R., Asih, Astiti. 2016. Sintesis dan
Karakterisasi Grafena dengan Metode Reduksi Grafit Oksida
Menggunakan Pereduksi Zn. Jurnal Kimia VALENSI: Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kimia, 2(1), 17-23.
Wang, J., 2000, Analitycal Electrochemistry, 2nd Ed., Wiley-VCH:
New York. Warren, 8.E., 1969. X-Ray Diffraction, Addittion-
wesley pub: Messach$ssetfs.
Whang, C.M., Yeo, C.S., and Kim, Y.H., 2001, ”Preparation and
characterization of Sol-Gel derived SiO2-TiO2-PDMS Composite
Films”, Bull. Korean Chem. Soc., 22, 12.

Widiatmoko, Eko. (2009). Graphene : Sifat, Fabrikasi Dan Aplikasinya.


Artikel Ilmiah. (http://102fm-itb.org/uploads/graphene.pdf).

Wijaya, L., 2008, Modifikasi Elektroda Karbon dengan Nanopartikel


Emas dan Aplikasinya sebagai Sensor Arsen (III), Universitas
Indonesia, Jakarta.

Williams G, Seger B, Kamat PV. TiO2-graphene nanocomposites. UV-


assisted photocatalytic reduction of graphene oxide. ACS
Nano.2008;2:1487-1491.

Yulianto, A., 2007, Fasa Oksida Besi untuk sintsis Serbuk Magnet Ferit,
Jurnal sains Materi Indonesia. Vol.8 (3): 39-41.

Zhamu A, Chen G, Liu C, Neff D, Fang Q, Yu Z, Xiong W, Wang Y, Wang


X, and Jang B, (2012), Reviving Rechargeable Lithium Metal
Batteries: Enabling Next-generation High-energy and High-power
32

Cells, Electronic Supplementary Material (ESI) for Energy and


Environmental Science This journal : The Royal Society of
Chemistry 201.

Zhao, Xin, et al., (2011). In-plane Vacancy-Enabled High-Power Si-


Graphene Composite Electrode for Lithium-ion Batteries. Journal of
Advanced Energy Materials.

Zhou, Q., Zhang, M.C., Shuang, C. D., Li, Z. Q., Li, A. M, 2014,
Preaparation of A Novel Magnetic Powder Resin for the Rapid
Removal of Tetracycline in the Aquatic Environmen, China
Chemistry Letters, 23, 745-748.
33

Anda mungkin juga menyukai