Anda di halaman 1dari 2

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka isi dari Obyek Sengketa yang meminta kepada PT.

CI untuk menyerahkan tanah untuk Jalan Tol seluas ±116.809 m2 dan tanah untuk Hijau
Pengaman Tol seluas ±29.820 m2 yang seharusnya diserahkan kepada Bina Marga
(Departemen Pekerjaan Umum) diubah menjadi Fasum/Fasos dan selanjutnya diserahkan
kepada Pemprov DKI Jakarta, berakibat PT.CI tidak mendapatkan ganti rugi. Dengan
demikian Obyek Sengketa telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan azas-azas umum pemerintahan yang baik, sehingga sangatlah beralasan
apabila putusan Hakim dalam kasus tersebut memenangkan PT CI, dan Obyek Sengketa
dinyatakan batal atau tidak sah karena memenuhi unsur- unsur Pasal 53 ayat 2 Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut di atas.

Disamping itu akibat hukum lainnya adalah dengan diterbitkannya obyek sengketa tersebut
pihak Pemprov DKI Jakarta tanpa menunggu putusan Pengadilan yang bersifat tetap telah
melakukan langkah-langkah yang menghambat jalannya operasional perusahaan
pengembang, sehingga menimbulkan akibat hukum bagi PT. CI, dan karenanya PT. CI
merasa dirugikan, antara lain tidak terlaksananya jual beli kavling kepada konsumen dan
proyek pembangunan perumahan menjadi terhambat karena diterbitkannya surat
penangguhan dan penundaan pelayanan perizinan oleh Kepala Dinas Pengawasan dan
Penertiban Bangunan (P2B) dan Walikota Jakarta Barat sehingga mengakibatkan kerugian
baik materiil maupun immateriil yaitu hilangnya keuntungan yang diharapkan.

Apabila dikaji dari isi ketentuan dalam SIPPT yang ditebitkan tahun 1997, jelas dapat
diketahui adanya upaya untuk menguasai tanah dengan proses yang tidak benar yaitu tanpa
memberikan ganti rugi kepada PT. CI, mengindikasikan bahwa Pemprov DKI Jakarta telah
melanggar prinsip penghormatan tehadap hak atas tanah sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 3 Perpres Nomor 65 Tahun 2006.

Selain itu, seharusnya Pemprov DKI Jakarta memberikan dasar pertimbangan yang dapat
mendukung maksud diadakannya perubahan atau perbaikan Obyek Sengketa, yang jelas
harus menjamin kepastian hukum sehingga tidak merugikan pihak yang dikenai keputusan.
Adapun alasan kesalahan atau kekeliruan yang dijadikan dasar adalah tidak cermat, karena
kesalahan tersebut baru diketahui kemudian dan dilaksanakan perbaikannya setelah SIPPT
yang diterbitkan tanggal 1 Oktober 1997 berjalan kurang lebih 11 (sebelas) tahun, sehingga
apabila dilakukan tanpa menunggu waktu yang lama tentunya tidak akan menimbulkan
kerugian bagi PT. CI.

Dilihat dari peraturan perundangan yang berlaku tujuan diterbitkannya Obyek Sengketa
tersebut adalah untuk mengambil hak orang atau hak Warga Negara Indonesia yang
dilindungi oleh Undang- undang, itu berarti adanya itikad tidak baik pihak Pemprov DKI
Jakarta yang bermaksud menyerahkan tanah untuk Jalan Tol seluas ±116.809 m2 (meter
persegi) dan tanah untuk Hijau Pengaman Tol seluas ±29.820 m2 (meter persegi) tersebut,
kepada Bina Marga (Departemen Pekerjaan Umum), sehingga memberikan akibat hukum
bagi PT.CI untuk tidak mendapatkan ganti rugi, yang mana seharusnya ganti rugi tersebut
adalah milik PT. CI, karena kewajiban penyerahan Fasos/Fasum sendiri sudah ditentukan
didalam SIPPT, dan pemenuhan kewajiban Fasos/Fasum PT. CI selaku pengembang telah
tercemin dari telah dipersiapkannya lahan sejumlah 41,5% (empat puluh satu koma lima
persen) atau sama dengan 561.164 m2 (meter persegi), dengan perincian sebagai berikut :
Fasilitas Umum ±69.677 m2 (5,15 %);
Penyempurnaan Hijau Taman (PHT) ± 32.286 m2 (2,39 %);
Penyempurnaan Tegangan Tinggi (PTT) ±65.070 m2 (4,81 %) Penyempurnaan Hijau
Umum ±9.312 m2 (0,69 %);
Jalan dan Saluran ±323.010 m2 (23,89%);
Jalan Penunjang Tol ±61.809 m2 (4,57 %).

Tindakan Pemprov DKI Jakarta telah menimbulkan ketidak


pastian hukum, dan menunjukkan adanya sikap dan tindakan yang saling bertentangan
pada pihak Pemerintah daerah dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta, sikap yang demikian
tersebut adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.

Sehubungan dengan pembangunan trase jalan oleh Pemprov DKI Jakarta maka akibatnya
seharusnya pemilik sah lahan yang semestinya mendapatkan ganti rugi yang layak. Selain
itu hal inipun telah akan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi dalam pengadaan
tanahnya yaitu melanggar Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.

Namun yang dibahas dalam analisis ini lebih memfokuskan pada masalah keperdataannya
yaitu proses pengadaan tanah dengan mengatas namakan kepentingan umum yang
berakibat timbulnya sengketa dalam hal pembayaran ganti ruginya.

Dalam kasus sengketa tanah antara PT. CI dan Pemprov DKI Jakarta, pihak CI memperoleh
ganti rugi dari Departemen Pekerjaan Umum sebagai pihak yang sesuai SIPPT berhak
menerima bidang tanah yang terkena rencana jalan tol/saluran lingkungan dan lahan
pengaman tol melalui Pengadilan Negeri Jakarta Barat, atau disebut konsinyasi. Mahkamah
Agung Republik Indonesia menegaskan melalui putusannya Reg. No. 3757 PK/Pdt/1991
tanggal 6 Agustus 1991 yang menyatakan bahwa konsinyasi tidak dapat diterapkan dalam
pengadaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah. Konsinyasi hanya dikenal atau diatur
dalam KUH Perdata dan Keppres No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang sekarang telah dinyatakan
tidak berlaku berdasarkan Perpres No.36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, namun dalam Perpres No. 65
Tahun 2006.

Pasal 10 konsinyasi atau penitipan pembayaran ganti rugi dapat dititipkan kepada
Pengadilan Negeri setempat dalam hal musyawarah tidak tercapai.
Secara teoritis pelepasan hak dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dalam
kasus PT. CI adalah untuk kepentingan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya proyek ini
merupakan proyek swasta karena kepentingan swasta adalah sejajar dengan kepentingan
swasta lainnya dan bukan kepentingan umum (pemerintah). Oleh karena itulah secara
teoritis transaksinya bersifat keperdataan murni yaitu dimana seorang dihadapkan pada
pelanggaran-pelanggaran perseorangan dalam arti pelanggaran hak orang lain dan bukan
berubah mewakili kepentingan umum.

Anda mungkin juga menyukai