Anda di halaman 1dari 8

PENDIDIKAN PANCASILA

ARTIKEL PELANGGARAN LEMBAGA HUKUM

PENJELASAN
Hukum dapat tercipta bila masyarakat sadar akan hukum tanpa membuat kerugian
pada orang lain. Penegakan hukum di Indonesia tidak terlepas dari peran para
aparat penegak hukum. Menurut Pasal 1 Bab 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud aparat peegak hukum oleh undang-
undang ini adalah sebagai berikut :

1. Penyelidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia atau pejabat Pegawai


Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oeh undang-
undang untuk melakukan penyelidikan.
2. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap.
3. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim.
4. Hakim adalah pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk mengadili.
5. Penasehat hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang
ditentukan oleh undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.
ARTIKEL

Kekerasan, Polisi, dan Pelanggaran HAM

Bambang Widodo Umar, CNN Indonesia | Jumat, 01/07/2016 16:25 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Kekerasan, Polisi, dan Pelanggaran HAM


Kekerasan terjadi di mana-mana, seperti bola salju yang terus bergulir, merebak, dan
merasuk ke dalam kehidupan terutama pada masyarakat kecil. Sejumlah kekerasan
terjadi dalam waktu yang hampir beruntun. Satu kekerasan belum tertangani secara
tuntas muncul lagi aksi-aksi kekerasan lain.

Secara umum kekerasan memiliki dimensi yang cukup luas, baik dari segi
filosofi maupun tindakan. Sementara ada pandangan bahwa budaya Indonesia sarat
dengan kekerasan, meskipun hal itu belum tentu benar. Beberapa pakar menganalisis
fenomena kekerasan yang terjadi di masyarakat.

Darmanto Jatman (2000) mengatakan, “Aksi anarki dan teror terjadi karena
negara sudah kehilangan kontrol terhadap masyarakat, sehingga seringkali muncul
pembunuhan massal maupun aksi main hakim sendiri. Yang terjadi berkaitan dengan
lemahnya supremasi hukum, hancurnya kewibawaan eksekutif, sehingga celah itu
dimanfaatkan oleh masyarakat yang tidak menaruh percaya lagi pada hukum.”

Satjipto Rahardjo (2005) mengingatkan, “Maraknya tindak kekerasan tidak


bisa dianggap kesalahan masyarakat. Bahkan tindakan masyarakat menunjukkan
masih ada kepedulian untuk ikut serta menghadapi kejahatan secara total.”

Di sisi lain, Ronny Nitibaskara (2009) mengatakan, “Patut dipercaya bahwa


meningkatnya kasus kekerasan kolektif primitif belakangan ini sedikit banyak dipicu
oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum.”

Dari beberapa pendapat itu, kebanyakan melihat kekerasan sangat terkait


dengan pembangunan hukum di Indonesia. Dalam korelasinya dengan pembangunan
ekonomi, ada asumsi yang menyatakan, “Pendidikan masyarakat yang belum setara
dan kurangnya lapangan kerja akan menimbulkan kegiatan yang menyimpang.”
(Robert K. Merton, 1964).

Maksudnya, dalam masa perekonomian yang belum stabil, warga yang tidak
mendapat peluang yang halal untuk memperoleh tujuan materialistik akan mencari
jalan pintas dengan memilih melakukan pelanggaran hukum untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya. Kondisi lain yang mendorong tindak kekerasan adalah migrasi
sebagian pemuda dari kota kecil ke kota besar yang hendak mengadu nasib.

Dalam kondisi ketidaksiapan kota menampung pendatang baru dan primary


social control yang menurun, membuat para pendatang merasa cemburu melihat
pemuda kota menikmati kehidupan lebih baik. Sedangkan mereka menganggur dan
tinggal di daerah kumuh.

Ketidakberdayaan menghadapi tekanan hidup di kota besar membuat sebagian


dari mereka memilih pulang kampung, sebagian lainnya mengambil jalan pintas
menjadi preman untuk mempertahankan hidup. Dari sini mulai terjadi perubahan
perilaku menjadi orang yang tidak takut sanksi, baik sanksi sosial maupun hukum.

Sejak pemisahan Polri dari TNI (ABRI) banyak pertanyaan, mengapa polisi
masih menggunakan kekerasan dalam menghadapi gejolak di masyarakat? Dalam UU
Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri dinyatakan, tugas polisi adalah penegak hukum,
pembina ketertiban dan keamanan masyarakat, serta pelayan masyarakat.

Kemampuan dalam penegakan hukum merupakan faktor penting bagi polisi


mewujudkan semaksimal mungkin perlindungan bagi setiap warga masyarakat.
Sebagai salah satu komponen sistem peradilan, polisi memiliki kedudukan kunci bagi
efektif atau tidak jaminan perlindungan HAM.
Konvenan Hak Sipil dan Politik, Code of Conduct for Law Enforcement
Officials, meletakkan tugas berat perlindungan terhadap masyarakat kepada petugas
penegak hukum, terutama polisi. Namun dalam kenyataan, masih ada penyimpangan
perilaku polisi yang bertentangan dengan keharusan itu.

Kecenderungan yang terjadi adalah kekerasan oleh polisi tidak hanya


kekerasan personal, namun juga kekerasan yang bersifat struktural, menggunakan
cara tidak langsung untuk mengungkap atau mengatasi masalah.

Dalam hal ini, warga masyarakat ditempatkan pada posisi yang patut
disalahkan, informasi masalah dikemas secara sepihak oleh aparat kepolisian, dan
disinyalir untuk membebaskan aparat yang bertanggung jawab atas sebuah
kerusuhan. Lantas dengan cara-cara tertentu dikemas justifikasi bahwa ada pihak-
pihak yang memprovokasi.

Argumentasi semacam itu pada dasarnya common sense yang merupakan


produk dari keputusasaan intelektual. Dengan terlampau cepat menempatkan masalah
kompleks dan unik, semata-mata sebagai suatu kegagalan atau ketidakmampuan
polisi. Argumen formalis ini mengabaikan dasar kepentingan dan latar belakang
kekerasan yang tumbuh dalam dinamika masyarakat.

Karenanya, simplifikasi yang diambil dapat menafikan relasi-relasi sosial


yang ada di belakangnya. Latar belakang fenomena kekerasan di masyarakat maupun
polisi perlu dikaji secara komprehensif. Hal ini menunjukkan masih ada masalah
yang perlu dibenahi untuk mengendalikan polisi dalam penggunaan kekerasan.
Selama ini pengawasan terhadap pelaksanaan tugas polisi dapat dikatakan sangat
lemah.

Pengawasan internal yang dilakukan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri
belum berjalan optimal karena hambatan budaya polisi yang berkisar pada solidaritas
(solidarity) dan kerahasiaan (secrecy). Solidaritas polisi mendorong ke arah semangat
saling melindungi antar kawan meski bersalah. Sedangkan implikasi kerahasiaan
adalah, sebagai institusi penegak hukum, polisi merasa tabu membuka aib anggota
yang melanggar hukum, terutama pada strata petinggi polisi.

Kehadiran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagimana


diamanatkan dalam Pasal 37 UU No 2/2002 tentang Polri sesungguhnya merupakan
angin segar bagi mekanisme pengawasan dari masyarakat terhadap pelaksanaan tugas
kepolisian. Jika selama ini polisi tanpa kontrol masyarakat secara formal dalam
menjalankan tugas dan wewenang, maka dengan kehadiran Kompolnas, masyarakat
diberi ruang untuk mengontrol pelaksanaan tugas polisi.

Namun dilihat dari fungsi dan wewenang yang dirumuskan dalam UU


tersebut, ternyata Kompolnas hanya terbatas sebagai pembantu Presiden dalam
memberikan saran dan mengumpulkan keluhan dari masyarakat. Hal ini sama saja
dengan mengaburkan fungsi Kompolnas yang sebenarnya.

Apalagi jika dilihat dari struktur keanggotaan yang mendudukkan tiga menteri
di dalamnya, harapan agar Kompolnas menjadi lembaga independen dan mampu
mengontrol tugas-tugas polisi secara cermat, pupuslah sudah. (rdk)

SUMBER ARTIKEL 1

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160629191431-13-141912/kekerasan-
polisi-dan-pelanggaran-ham Senin,14 oktober 2019, 14:41
Oknum Hakim Kembali Tertangkap, Reformasi Penegak
Hukum Dinilai Gagal

Kompas.com - 08/10/2017, 10:57 WIB BAGIKAN: Komentar ilustrasi


hakim(shutterstock) Penulis Ambaranie Nadia Kemala Movanita | EditorIndra
Akuntono JAKARTA, KOMPAS.com –

Bertambahnya oknum hakim yang tertangkap dalam operasi tangkap tangan


terhadap Ketua Pengadilan Tinggi Manado Sudiwardono disebut sebagai kegagalan
reformasi aparat penegak hukum. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti,
Abdul Fickar Hadjar, menilai reformasi kehakiman hanya berhasil pada level
pembuatan regulasi, khususnya dalah hal memperkuat sistem pengawasan. "Tetapi
reformasi dalam lingkup budaya hukum aparat penegak hukum di kekuasaan
kehakiman, reformasinya gagal total," ujar Fickar, melalui keterangan tertulis,
Minggu (8/10/2017). "Terutama pada mental dan moralnya sehingga budaya
korupnya tidak akan pernah hilang.

Bahkan sistemik atau melembaga," lanjut dia. (baca: Aditya Moha, Kader
Muda Golkar yang Terjerumus Dugaan Suap Hakim) Fickar mengatakan,
penangkapan Sudiwardono merupakan contoh ironi dari upaya reformasi itu. Pejabat
selevel ketua pengadilan yang semestinya menjadi teladan dalam keadilan malah
menjadi pelaku korupsi. Selain itu, Fickar juga menganggap sistem pengawasan
internal dan Komisi Yudisial masih belum optimal. "Sudah tidak bisa mendeteksi dan
bekerja dengan baik karena kejadian terus berulang," kata Fickar.

Di samping itu, perilaku kotor oknum hakim juga mencoreng citra hakim-
hakim lain yang bersih. Menurut dia, baik atau buruknya dunia peradilan yang
tercermin dari putusan hukum ya akan tergantung pada moral dan mental para hakim.
Secara sosiologis, kata Fickar, perilaku oknum penegak hukum peradilan menemukan
sisi pembenaran. Banyak kegiatan kantor pengadilan butuh dana besar yang tidak
mungkin ditutup seluruhnya oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Misalnya, sebut Fickar, turnamen golf atau tenis, kegiatan pesta dharma wanita
peradilan, pesta penyambutan tamu, dan sebagainya.

Kegiatan-kegiatan tersebut membutuhkan biaya besar yang tidak mungkin


diusulkan melalui anggaran resmi. "Bahkan, dalam suatu diskusi eksaminasi,
terungkap ada seorang oknum hakim yang menangani perkara yang sedang
dieksaminasi bolak balik Jakarta-Singapura 18 kali dalam sebulan," kata Fickar.
Fickar menambahkan, upaya minimal yang bisa dilakukan Mahkamah Agung yakni
dengan melarang kegiatan-kegiatan berbiaya tinggi agar tidak mendorong pejabat
peradilan melakukan korupsi. Baik korupsi untuk dirinya sendiri maupun untuk
tanggungjawab pada organisasinya. Fickar juga meminta agara para pejabat
Mahkamah Agung memberikan teladan kepada bawahan agar tidak bergaya hidup
berlebihan. Gaji pejabat aparat penegak hukum peradilan terukur, sehingga mudah
untuk mengenali mana pejabat yang korup dan tidak. "Karna itu pula budaya malu
harus dikembangkan oleh hakim-hakim dan pejabat MA agar bisa diteladani oleh
hakim hakim peradilan di bawahnya," kata Fickar.

Terkait penangkapan Sudiwardono, dia diduga menerima sejumlah uang dari


politisi Partai Golkar, Aditya Moha. Pemberian suap tersebut diduga untuk
mempengaruhi putusan banding atas kasus korupsi Tunjangan Pendapatan Aparat
Pemerintah Desa (TPAPD) Kabupaten Boolang Mongondow dengan terdakwa
Marlina Mona Siahaam, ibu Aditya Moha yang menjabat sebagai Bupati Bolaang
Mongondow periode 2001-2006 dan 2006-2011. KPK telah menetapkan Aditya
Moha dan Sudiwardono sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap ini. Sebagai
tersangka penerima suap, Sudiwardono disangkakan Pasal 12 Huruf a atau b atau c
atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
SUMBER ARTIKEL 2

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Oknum Hakim Kembali
Tertangkap, Reformasi Penegak Hukum Dinilai Gagal",

https://nasional.kompas.com/read/2017/10/08/10570701/oknum-hakim-kembali-
tertangkap-reformasi-penegak-hukum-dinilai-gagal?page=all.

Penulis : Ambaranie Nadia Kemala Movanita

https://nasional.kompas.com/read/2017/10/08/10570701/oknum-hakim-
kembali-tertangkap-reformasi-penegak-hukum-dinilai-gagal?page=all , 14 oktober
2019, 17:03

SARAN

Setelah membaca artikel dan memahami pengertian bagaimana seharusnya


seorang lembaga hukum melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Seharusnya
lembaga hukum dapat memberi contoh kepada masyarakat agar mereka

Anda mungkin juga menyukai