Anda di halaman 1dari 24

KEPERAWATAN MATRA I

MEDIKO LEGAL

KELAS C

Dosen Pengampu : Desak Nyoman Sithi, SKp, MARS

Kelompok 8

Disusun oleh :

Mentari Fajri Romadhona 1610711095

Vidya Hanan 1610711100

Trisna Irawati 1610711106

Dewi Astri Yulianti 1610711118

Siti Mutmainah Sukanta 1610711125

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

2018

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT kami ucapkan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapat kan
bantuan dari berbagai pihak sehiingga memperlancar pembuatan makalah
kami,untuk itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua yang terliat
dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kriik dari pembaca untuk
menyampaikan masukannya agar kami dapat memperbaiki makalah kami.

Akhir kata saya harapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun
pembaca.

Depok, September 2018

Penyusun Makalah

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................. i

Daftar Isi ...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ……………………………………………………….. 1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 2

A. Pengertian Medikolegal ............................................................................... 2


B. Petunjuk Medikolegal Dalam Pelayanan Kesehatan .................................. 2
C. Konteks Layanan Medikolegal Dalam Kerangka Sistem Kesehatan ......... 4
D. Pemeriksaan Medikolegal ............................................................................ 5
E. Aspek Medikolegal Tentang Tindakan Pembuktian Penyebab Kematian ... 7
F. Peristiwa Pidana Yang Memerlukan Pembuatan Yisum Et Repertum ....... 10

BAB IV PENUTUP ...................................................................................................... 15

A. Kesimpulan .................................................................................................... 15
B. Saran .............................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Petugas kesehatan dalam melayani masyarakat, juga akan terikat pada etika
dan hukum, atau etika dan hukum kesehatan. Dalam pelayanan kesehatan
masyarakat, perilaku petugas kesehatan harus tunduk pada etika profesi (kode etik
profesi) dan juga tunduk pada ketentuan hukum, peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku. Apabila petugas kesehatan melanggar kode etik profesi,
maka akan memperoleh sanksi “etika” dari organisasi profesinya. Dan mungkin
juga apabia melanggar ketentuan peraturan atau perundang-undangan, juga akan
memperoleh sanksi hukum (pidana atau perdata).

Seiring dengan kemajuan zaman, serta kemudahan dalam akses informasi,


era globalisasi atau kesejagatan membuat akses informasi tanpa batas, serta
peningkatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi membuat masyarakat semakin kritis.
Disisi lain menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan etik. Selain itu
perubahan gaya hidup, budaya dan tata nilai masyarakat, membuat masyarakat
semakin peka menyikapi berbagai persoalan, termasuk memberi penilaian terhadap
pelayanan yang diberikan petugas kesehatan.

Perkembangan ilmu dan tekhnologi kesehatan yang semakin maju telah membawa
manfaat yang besar untuk terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Perkembangan ini juga diikuti dengan perkembangan hukum di bidang kesehatan,
sehingga secara bersamaan, petugas kesehatan menghadapi masalah hukum terkait
dengan aktivitas, perilaku, sikap dan kemampuannya dalam menjalankan profesi
kesehatan.

iv
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Mediko-legal?

2. Bagaimana petunjuk medikolegal dalam pelayanan kesehatan?

3. Bagaimana konteks layanan mediko-legal?

4. Bagaimana pemeriksaan mediko-legal?

5. Apa tujuan dari pemeriksaan meiko-legal?

6. Apa aspek mediko-legal tentang tindakan pembuktian penyebab kematian?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian dari mediko-legal

2. Mengetahui apa petunjuk medikolegal dalam pelayanan kesehatan

3. Mengetahui konteks layanan mediko-legal

4. Mengetahui cara pemeriksaan mediko-legal

5. Mengetahui tujuan dari pemeriksaan meiko-legal

6. Mengetahui apa aspek mediko-legal tentang tindakan pembuktian penyebab


kematian

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan Medikolegal


adalah yang berkaitan, baik dengan kesehatan maupun hukum. Kebanyakan dokter
kurang memahami peranan dan tanggungjawab dalam interaksi mereka dengan
sistem hukum. Hal ini tidaklah mengejutkan, melihat meningkatnya kebutuhan
mendesak akan praktisi medis oleh perundang-undangan, peraturan dan petunjuk.

1. PETUNJUK MEDIKOLEGAL DALAM PELAYANAN KESEHATAN

• Persetujuan pengobatan

Praktisi medis dituntut memberikan informasi pada pasien mereka agar pasien
mampu memahami :

- Pilihan pengobatan mereka

- Konsekuensi yang dapat diperkirakan dan efek samping dari setiap terapi
atau intervensi yang diusulkan

- Konsekuensi jika tidak berproses dengan pengobatan

- Praktisi medis memberi nasehat pada pilihan klinis terbaik dan alasan mereka
untuk opini profesional tersebut

• Rekam Medis

Praktisi medis diharuskan menyimpan dengan akurat, rekaman perawatan yang


telah diberikan pada pasien.

• Kerahasiaan dalam hubungan dokter-pasien

vi
Kerahasiaan adalah landasan hubungan dokter-pasien. Sebagai prinsip umum,
pasien memiliki hak mengharapkan praktisi medis tidak akan menyingkap
informasi yang didapat dari pasien dalam rangka hubungan dokter-pasien tanpa ijin
dari pasien.

Pengecualian terhadap Kerahasiaan

a) Jika pasien setuju untuk diungkapkan

b) Dengan persetujuan seseorang yang berhak bertindak atas nama pasien

c) Anggota keluarga

d) Ketika informasi klinis perlu dibagi diantara tim yang melakukan pengobatan

e) Untuk jaminan kualitas dan evaluasi pelayanan kesehatan

f) Kelahiran

g) Kematian

h) Wajib melaporkan penganiayaan anak-anak

i) Pemberitahuan penyakit infeksi kepada otoritas yang berhubungan

j) Kebugaran untuk mengendarai kendaraan bermotor

k) Contoh darah setelah kecelakaan

l) Pemenuhan surat perintah pencarian

m) Pemberitahuan praktisi kesehatan yang kecacatan kesehatannya dapat


membahayakan publik

n) Sertifikasi orang dengan penyakit mental

o) Panggilan tertulis untuk tampil di pengadilan

p) Resiko serius untuk dirinya dan orang lain

vii
q) Pengungkapan terhadap otoritas pemerintah

• Permintaan pihak ketiga untuk penilaian atau laporan untuk pengadilan

Menyediakan laporan sebagaimana yang diminta pihak ketiga merupakan bagian


penting pada praktek medis kontemporer. Hal itu juga merupakan satu dari banyak
pengalaman praktisi medis sebagai gangguan terhadap kewajiban klinis mereka.

Praktisi medis yang diminta untuk memberikan laporan mungkin saja sebagai
seorang dokter biasa yang mengobati pasien, atau diminta sebagai ahli independen
untuk menilai pasien dan memberikan opini dan/atau rekomendasi tentang
permasalahan semisal kebugaran untuk kembali bekerja. Kunci permasalahannya
adalah bahwa laporan seperti itu ditulis sebagai permintaan pihak ketiga dan
biasanya dibayar oleh pihak tersebut.

Pihak ketiga yang mencari laporan mungkin saja perusahaan asuransi, pemberi
kerja pasien, otoritas menurut undang-undang, polisi, praktisi hukum, dan
pengadilan.

• Surat Keterangan Medis

Praktisi medis diminta untuk menyediakan sertifikat (surat keterangan) untuk


tujuan berbeda-beda – surat keterangan sakit, surat keterangan kembali bekerja,
kemampuan tubuh untuk mengendarai kendaraan dan surat keterangan kematian
dan lain-lain.

Biasanya surat sakit berisi:

- Nama dan alamat praktisi medis yang mengeluarkan surat keterangan

- Nama pasien

- Tanggal surat keterangan dibuat

- Tanggal dimana pasien tidak merasa sehat untuk bekerja

viii
- Penjelasan tambahan tentang bantuan terhadap pekerja dalam memperoleh
citu yang sesuai, khususnya jika terdapat pertentangan untuk kapan surat
keterangan dibuat dan tanggal pada sura keterangan.

Diagnosa tidak selalu dibutuhkan untuk surat keterangan. Praktisi medis memiliki
kewajiban untuk mengumpulkan dan membuat laporan informasi cukup
berdasarkan fakta melalui anamnesa dan pemeriksaan untuk dicatat dalam bentuk
apapun dalam surat keterangan. Surat keterangan harus tertanggal pada hari dimana
surat tersebut ditulis – tidak boleh dimundurkan dalam keadaan apapun.

• Memberikan Keterangan

Praktisi medis dapat dipanggil secara tertulis untuk tampil di pengadilan sebagai
saksi di hadapan hukum dan pengadilan dan juga dapat diminta untuk memberikan
keterangan. Ini berhubungan dengan pengobatan yang dilakukan oleh mereka,
penilaian yang dilakukan dan observasi yang mereka buat. Bukti tersebut dapat
berupa bukti fakta dan bukti pendapat.

Sebelum memberikan keterangan, praktisi medis harus meninjau kembali diri


mereka dengan dokumen yang berhubungan dengan pasien tentang keadaan medis
yang dibutuhkan untuk memberikan bukti. Praktisi medis harus mendasarkan
pendapat mereka pada data dan menahan diri dari spekulasi, kecuali dengan jelas
diminta melakukannya oleh pengadilan. Mereka harus menggambarkan dengan
jelas antara fakta dan pendapat pribadi dan dipersiapkan untuk menjelaskan alasan
muculnya pendapat tersebut, jika diminta untuk melakukannya.

• Memberi kesaksian

Ketika praktisi medis diminta untuk memberi kesaksian, para praktisi harus
menganggap dirinya bertindak dalam kapasitas sebagai praktisi medis dan
menerapkan kemampuan klinis mereka. Seorang praktisi seharusnya tidak
memberikan kesaksian jika dia menerima uang untuk kesaksian tersebut.

• Bersaksi untuk dokumen hukum lainnya

ix
Praktisi medis diminta untuk bersaksi atas berbagai dokumen hukum yang pasti.
Banyak pertimbangan garis besar dalam hubungan kesaksian yang bisa diterapkan
pada kesaksian dokumen lainnya.

B. KONTEKS LAYANAN MEDIKO-LEGAL DALAM KERANGKA


SISTEM KESEHATAN

Pengalaman layanan medikolegal setelah pemerkosaan bagi mereka yang


selamat dan penyedia layanan mereka sangat banyak pada tingkat klinis individual,
kualitas dan perlakuan perawatan yang diterima masih dipengaruhi oleh sejumlah
faktor namun meluas jauh ke pengaturan klinis segera. Jika kita mengerti dengan
baik tujuan dan kualitas pelayanan kesehatan bagi mereka yang selamat dari
pemerkosaan, kita harus mengerti cara layanan ini dipetakan secara luas dalam
lingkungan sosial dan politik sistem pelayanan kesehatan.

Pelayanan mediko-legal perlu ditinjau ulang dalam konteks sistem kesehatan


yang luas. Kebijakan, program dan prosedur yang akan dihasilkan dalam
kepedulian yang lebih baik dapat selalu diimplementasikan tanpa sumber daya yang
banyak, namun sistem kesehatan yang lebih luas tidak selalu mendukung
implementasinya.

C. PEMERIKSAAN MEDIKO-LEGAL

Tujuan Umum

Secara umum dilakukan untuk tujuan mempersiapkan laporan untuk klaim


perlukaan pribadi

• Melindungi pekerjaan

• Kewajiban umum

• Kealpaan medis

x
Pengaturan

• Rencana percobaan yang baik ke depan

• Janji temu melalui telepon dan mengkonfirmasikan dengan para dermawan


dalam pencatatan

• Semua pencitraan dan hasil-hasil tes lainnya yang ada

Tujuan Pemeriksaan

1. menetapkan yang menjadi penyebab

2. memperkirakan kapasitas untuk bekerja

3. menilai tingkat kecacatan

Pertanyaan-pertanyaan khusus, biasanya menyertakan hal-hal diatas, merupakan


garis besar dalam surat dari para dermawan dan menuntut jawaban khusus.

Keadilan

• Berlaku sebagai pihak ketiga yang tidak berat sebelah

• Sebagai ahli, tidak sebagai pengacara

• Melaporkan hasil harus mencegah jargon hukum dan komentar-komentar


mengenai kewajiban

Pendekatan

• Bedakan antara anamnese, pemeriksaan dan penyimpanan catatan sebagai


dokter yang mengobati

• Tidak bertindak secara langsung terhadap ketertarikan pasien

• Memberi waktu yang cukup (1 jam)

• Juru bahasa wajib

xi
• Mendorong untuk ditemani oleh keluarga atau teman

Perekaman

• Dictaphone

v Dapat menyela laporan

v Bukan perseorangan

v Setelah itu dihapus

• Catatan tertulis

v Terbaik setelah konsultasi

• Rekaman pasien

v Tidak diijinkan

Anamnesa

• Membangun sikap netral dengan cepat dan mengumpulkan kepercayaan diri


pasien

• Membangun kronologi kejadian dengan akurat

• Memisahkan dengan jelas antara riwayat yang didapatkan dari laporan lain
dan yang diberikan oleh pasien

• Pertanyaan rinci mengenai kapasitas kerja

Pemeriksaan

• Mulailah dengan perlahan

• Menjelaskan setiap gerakan pemeriksaan

• Memeriksa bagian yang tidak terluka terlebih dahulu

xii
• Mencoba manuver yang menyebabkan rasa sakit terlebih dahulu dan
berhenti jika muncul rasa sakit

• Sadar untuk menghormati privasi ketika pasien tidak mengenakan pakaian


dalam pemeriksaan

• Mengamati ketika berpakaian dan menanggalkan pakaian secara hati-hati,


khususnya anggota tubuh bagian atas; naik dan turun meja pemeriksaan; duduk di
ruang tunggu, berjalan ke dalam ruang periksa dan berjalan kembali ke kendaraan

• Ketidak-konsekuen-an akan hampir selalu muncul

• Bersaksi sebagaimana yang ditemukan, namun tetap memberi komentar


pada ketidak-konsekuen-an, jika memang ada

• Akhirnya, penilaian objektif terhadap kecacatan yang ada dibutuhkan,


karenanya siasat untuk memperlihatkan kepura-puraan bukannya tidak beralasan

Kelemahan

• Penilaian berdasarkan petunjuk yang diatur oleh Asosiasi Medis

• Jangan menawarkan pendapat seperti pada kerusakan pasien yang dapat


pulih sebagai hasil dari perlukaan

• Jangan berkomentar pada perlakuan proses pengadilan atau kemungkinan


penyelesaian

Penulisan Laporan

• Persiapkan dengan segera

• Tahan sampai pembayaran diselesaikan

• Tersusun

• Menolak jargon

Masalah sehubungan dengan pasien

xiii
• Perhatikan bahwa pasien tidak akan memperoleh kompensasi yang mereka
yakini bahwa mereka mungkin saja

v Marah

v Pengobatan minim oleh pekerja

v Paranoid

v Adanya tambahan sadar dan tidak sadar

• Salah pengertian mengenai tujuan pemeriksaan

v Menjelaskan tujuan kunjungan dengan jelas

v Persepsi bahwa dokter merupakan penjaga pintu untuk melindungi pekerjaan

Masalah sehubungan dengan dokter

• Takut penipuan

v Normalnya ada asumsi kejujuran satu sama lain

v Pertanyaan agresif

v Pemeriksaan yang kasar

• Tidak memihak pada pasien sebagai seorang manusia

v Bukan dokter yang mengobati

v Tidak ada kewajiban untuk peduli

Keluhan

• Sering didapati

• Akibat faktor dokter-pasien yang disebutkan sebelumnya

xiv
D. ASPEK MEDIKOLEGAL TENTANG TINDAKAN PEMBUKTIAN
PENYEBAB KEMATIAN

Kedokteran Forensik

Dalam perkembangan istilah, forensik datangnya dari perkataan romawi ‘forum’


yaitu tempat orang romawi mengadakan sidang peradilan.Terdapat beberapa
pengertian yang di berikan oleh ahli forensik tentang istilah forensik.

Menurut Sidney Smith, ilmu kedokteran forensik adalah kumpulan ilmu


pengetahuan medis yang menunjang pelaksanaan penegakan hukum. Menurut
Simpson K, ilmu Kedokteran Forensik ialah ilmu kedokteran yang berhubungan
dengan pengeluaran surat-surat keterangan untuk orang hidup maupun mati demi
kepentingan hukum, mempelajari kematian tiba-tiba, karena kekerasan atau
kematian mencurigakan sebabnya, penyidikan tindakan kriminal secara ilmiah

Menurut Jaiing P. Modi pula, ilmu kedokteran forensik adalah cabang ilmu
kedokteran yang menggunakan prinsip-prinsip dan pengetahuan kedokteran untuk
membantu proses hukum, baik sipil maupun criminal

Pengertian Yisum et Repertum

Pengertian yang terkandung dalam Visum Et Repertum ialah : ”YANG DILIHAT


DAN DIKETEMUKAN”. Jadi Visum Et Repertum adalah suatu keterangan dokter
tentang apa yang ”dilihat dan diketemukan” di dalam melakukan pemeriksaan
terhadap orang yang luka atau terhadap mayat. Jadi merupakan kesaksian tertulis.

xv
Menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M04.UM.01.06 tahun
1983 menyatakan, bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut
Visum et Repertum. Dengan demikian, menurut KUHAP keterangan ahli yang
diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman atau dokterdan atau ahli lainnya disebut
Visum et Repertum.

Tugas seorang dokter dalam bidang ilmu kedokteran kehakiman adalah membantu
para petugas kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam mengungkap suatu
perkara pidana yang berhubungan dengan perusakan tubuh, kesehatan dan nyawa
manusia, sehingga bekerjanya harus

objektif dengan mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan menghubungkannya satu


sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan, maka oleh
karenanya pada waktu memberi laporan dalam ”pemberitaan” dari Visum Et
Repertum itu harus yang sesungguh-sungguhnya dan seobyektif-obyektifnya
tentang apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu pemeriksaan dan dengan
demikian Visum Et Repertum merupakan kesaksian tertulis.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa tubuh manusia selalu berubahubah jadi
keadaannya tidak statis, misalnya pada suatu kasus perkara pidana ada orang yang
kena tusukan sehingga luka, lalu perkara ini diajukan ke sidang pengadilan, akan
tetapi sidangnya mungkin baru dilaksanakan beberapa bulan kemudian dan
sementara itu lukanya mungkin sudah sembuh atau semakin membusuk, keadaan
luka itu sudah lain daripada waktu penusukkan itu terjadi dan oleh karena itu
diperlukan suatu keterangan yaitu Visum Et Repertum yang menerangkan keadaan
luka pada saat atau tidak lama setelah peristiwa tersebut terjadi. Oleh sebab itu
pengiriman barang bukti harus dilakukan dengan cepat.

Visum Et Repertum merupakan rencana (verslag) yang diberikan oleh seorang


dokter mengenai apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukan
pemeriksaan secara obyektif, sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus

xvi
dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat
semua kenyataan sehingga akhirnya daripadanya dapat ditarik suatu kesimpulan
yang tepat. Selain itu Visum Et Repertum dipakai pula sebagai dokumen dengan
nama ditanyakan pada dokter lain tentang barang bukti yang telah diperiksa apabila
yang bersangkutan (Jaksa, Hakim) tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut.

Ada kemungkinan keluarga si korban berkeberatan dan menentang /menghalang-


halangi untuk diadakan pemeriksaan bedah mayat (sectio), apabila demikian dapat
dikenakan pasal 222 KUHP yang berbunyi :

”Barangsiapa dengan sengaja menghalang-halangi, merintangi atau menggagalkan


pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum penjara selama-lamanya sembilan
bulan atau denda setinggi- tingginya Rp. 4500,-”

Dari uraian tersebut diatas maka dapat ditarik simpulan bahwa tujuan Visum Et
Repertum ialah :

a. Harus sepenuhnya mengganti barang bukti yang diperiksa

b. Merupakan dokumen kedokteran

Syarat Pembuatan Yisum et Repertum

Pembuatan Visum et Repertum haruslah memenuhi syarat formil dan materiil.


Syarat formil, yaitu menyangkut prosedur yang harus dipenuhi dalam
pembuatannya. Menurut Instruksi Kepala Polisi Republik Indonesia No. Pol. :
INS/E/20/IX/75 tentang Tata Cara Permohonan/Pencabutan Visum et Repertum,
adalah :

• Permintaan Visum et Repertum haruslah secara tertulis (sesuai dengan Pasal


133 ayat (2) KUHAP)

xvii
• Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara dibedah, jika ada keberatan
dari pihak keluarga korban, maka pihak polisi atau pemeriksa memberikan
penjelasan tentang pentingnya dilakukan bedah mayat

• Permintaan Visum et Repertum hanya dilakukan terhadap peristiwa Pidana


yang baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan atas peristiwa yang telah lampau;

• Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat;

• Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka polisi perlu
melakukan pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat

Syarat materiil dalam pembuatan Visum et Repertum adalah berkaitan dengan isi,
yaitu sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh korban yang diperiksa, pada
saat diterimanya Surat Permintaan Visum et Repertum dari Penyidik.

Peristiwa pidana yang memerlukan pembuatan Yisum et Repertum, seperti


ditentukan dalam KUHP adalah :

1. Pelaku Tindak Pidana yang diduga menderita kelainan jiwa, yaitu berkaitan
dengan berlakunya ketentuan Pasal 44;

2. Penentuan umur korban/pelaku Tindak Pidana :

- Berkaitan dengan korban Tindak Pidana terhadap anak,khususnya di bidang


kesusilaan misalnya, ditentukan dalam Pasal 287, 288, 290 sampai dengan 295,

300 dan 301.

- Berkaitan dengan pelaku Tindak Pidana anak yang ditentukan dalam UU


No.

3/1997 tentang Pengadilan Anak.

3. Kejahatan kesusilaan diatur dalam Pasal 284 sampai dengan 290, dan Pasal
292 sampai dengan 294;

xviii
4. Kejahatan terhadap nyawa, yaitu Pasal 338 sampai dengan 348;

5. Penganiayaan, berkaitan dengan Pasal 351 sampai dengan 355,

6. Perbuatan alpa yang mengakibatkan mati atau luka orang lain, yaitu Pasal
359 dan 360.

Permintaan VER berdasarkan KUHAP pasal 133;

1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban


baik luka, keracunan atau mati yg diduga karena peristiwa yg merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1)


dilakukan secara tertulis, yg dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

3) Mayat yg dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada


rumah sakit harus diperlakukan secara baik dgn penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yg memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap
jabatan yg diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat.

Kendala Internal dalam Pembuatan Yisum Et Repertum

Kendala internal merupakan faktor atau keadaan dari dalam yang membatasi,
menghalangi pencapaian sasaran. Dalam hal ini sasaran yang ingin dicapai adalah
pembuatan Visum Et Repertum atas korban Tindak Pidana Pembunuhan. Adapun
dalam pembuatan Visum Et Repertum terkadang menemui beberapa kendala yang
menyebabkan terhambatnya

xix
dibuat Visum Et Repertum, meliputi :

1. Keterlambatan Permintaan Visum oleh Pihak Penyidik.

Hal ini bisa terjadi karena begitu mendapatkan laporan atau pengaduan, Penyidik
lebih fokus untuk mengumpulkan bukti-bukti berupa benda sehingga terkadang
terlambat untuk membuat surat pengantar kepada Dokter ahli untuk membuat Hasil
pemeriksaan atas korban tindak pidana, yang dituangkan dalam surat keterangan
atas hasil pemeriksaan atau biasa

disebut Visum Et Repertum. Apabila tidak ada permintaan secara tertulis oleh pihak
penyidik maka Dokter Ahli forensik atau Dokter ahli lain tidak akan melakukan
pemeriksaan atas jenazah korban tindak pidana pembunuhan, penganiayaan
ataupun perkosaan. Hal ini sesuai dengan

ketentuan yang diatur dalam pasal 133 KUHAP yang menyebutkan bahwa
permintaan atas Visum Et Repertum harus dibuat secara tertulis.

2. Keadaan mayat sudah membusuk,

Keadaan seperti ini dapat mempengaruhi hasil Visum Et Repertum. Biasanya hasil
organ tubuh yang memberikan hasil positif pada pemeriksaan toksiologi sudah
mengalami pembusukan maka dapat mengakibatkan hasil menjadi negatif.
Sehingga mempengaruhi pembuatan Visum Et Repertum menjadi tidak lengkap,
dikarenakan Visum Et Repertum tidak dilakukan sesegera mungkin dan mayat
menjadi busuk.

3. Kurangnya koordinasi antara Pihak Penyidik dengan Dokter, yang


mengakibatkan prosedur permintaan Visum Et Repertum menjadi lebih lama. Hal
ini berkaitan dengan kendala internal nomor 1.

Kendala Eksternal dalam Pembuatan Yisum Et Repertum

xx
Kendala Eksternal adalah faktor atau keadaan dari luar yang menghalangi
pembuatan Visum Et Repertum. Kendala Eksternal dalam pembuatan Visum Et
Repertum meliputi :

1. Lokasi Rumah Sakit Umum Daerah yang sangat jauh, bisa jauh dari tempat
kejadian, ataupun dari kantor polisi tempat pengusutan perkara. Sehingga memakan
waktu lama dalam proses pembuatan Visum Et Repertum.

2. Kurangnya tenaga Dokter Kehakiman atau Dokter ahli Forensik, ataupun


Dokter ahli lainnya. Sehingga dalam hal ini mengakibatkan efisiensi waktu
pembuatan Visum Et Repertum menjadi lama. Dan juga terkadang Dokter
membutuhkan tempat untuk mengadakan pemeriksaan lanjutan. Dimana jika
menempati Rumah Sakit Umum Daerah maka sulit untuk meminta tempat khusus
dalam melakukan pemeriksaan outopsi (bedah mayat), karena kondisi Rumah Sakit
yang padat akan pasien perawatan ataupun pasien yang meninggal dunia.

3. Dari pihak keluarga yang tidak mengijinkan untuk melakukan autopsy


(bedah mayat). Hal ini sering terjadi. Dimana pada kondisi umumnya keluarga
korban merasa tidak tega jika salah satu anggota keluarganya yang menjadi korban
tindak pidana khususnya tindak pidana pembunuhan, tubuhnya di periksa secara
mendalam. Apabila hal ini terjadi seorang Penyidik yang mempunyai kewenangan
untuk memaksa pihak keluarga korban harus menyerahkan jenazah korban untuk di
autopsi (bedah mayat) sebagai pemenuhan Pemeriksaan penyidikan yang nantinya
akan tertuang dalam BAP kepolisian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 134
ayat (3) KUHAP “Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan dari pihak
keluarga yang telah diberitahu oleh penyidik, maka penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3) KUHAP.

xxi
Berdasar konvensi medik dan system legal dari Negara-negara, secara umum ada 2
tipe autopsi yaitu :

1. Kematian non kriminal seperti kecelakaan, bunuh diri, kematian karena


bencana alam atau yang berhubungan medis dan operasi, kematian industri dan lain-
lain

2. Otopsi forensik untuk suspek pembunuhan, biasanya pada investigasi polisi,


kematian ini terdiri dari pembunuhan , pembunuhan orang dewasa, pembunuhan
bayi dan kategari lain dari berbagai macam hukum yang berbeda.

Tujuan dari Sebuah Otopsi :

✓ Membuat identifikasi dari tubuh memperkirakan ukuran, fisik dan


perawatan

✓ Menetapkan sebab kematian

✓ Menetapkan cara kematian dan waktu kematian yang penting dan mungkin

✓ Untuk mendemonstrasikan segala kelaian luar dan dalam, malformasi dan


penyakit

✓ Mendeteksi, menggambarkan dan mengukur luka luar dan luka dalam

✓ Mendapatkan sampel untuk analisis, pemeriksaan mikrobiologi dan


histologi dan infestigasi penting lainnya

✓ Menahan organ dan jaringan yang relevan sebagai bukti

✓ Mendapatkan foto dan video untuk keterangan dan pendidikan

✓ Menyediakan laporan tertulis yang lengkap untuk temuan otopsi

✓ Memberikan interpretasi ahli terhadap semua yang ditemukan

xxii
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan Medikolegal


adalah yang berkaitan, baik dengan kesehatan maupun hukum. Kebanyakan dokter
kurang memahami peranan dan tanggungjawab dalam interaksi mereka dengan
sistem hukum. Hal ini tidaklah mengejutkan, melihat meningkatnya kebutuhan
mendesak akan praktisi medis oleh perundang-undangan, peraturan dan petunjuk.

Konteks layanan mediko-legal dalam kerangka sistem kesehatan Yaitu:


Pengalaman layanan medikolegal setelah pemerkosaan bagi mereka yang selamat
dan penyedia layanan mereka sangat banyak pada tingkat klinis individual, kualitas
dan perlakuan perawatan yang diterima masih dipengaruhi oleh sejumlah faktor
namun meluas jauh ke pengaturan klinis segera. Jika kita mengerti dengan baik
tujuan dan kualitas pelayanan kesehatan bagi mereka yang selamat dari
pemerkosaan, kita harus mengerti cara layanan ini dipetakan secara luas dalam
lingkungan sosial dan politik sistem pelayanan kesehatan.

B. Saran

Pelayanan mediko-legal perlu ditinjau ulang dalam konteks sistem kesehatan yang
luas. Kebijakan, program dan prosedur yang akan dihasilkan dalam kepedulian
yang lebih baik dapat selalu diimplementasikan tanpa sumber daya yang banyak,
namun sistem kesehatan yang harus lebih luas dan selalu mendukung
implementasinya.

xxiii
DAFTAR PUSTAKA

Bertens k. 2000, Etika. Seri Filsafat Atma Jaya 15. Jakarta : Penerbit pt Gramedia
Pustsaka Utama.

Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of public service . Westport, connecticut,


Greenwood Press.

Henry, Nicholas.1995. Public Administration and public Affairs. Sixth edition .


Englewood cliffs,N.J: Prentice-Hall International, Inc.

Perry, James L 1989. Handbook of Public Administration , Sam Frasisca, CA:


Jossey.Bass Limited.

Shafritz,Jay.M. dan E.W.Russell.1997. Inroducing Public Administration . New


York ,

xxiv

Anda mungkin juga menyukai